Regulasi DAK Tingkat Daerah
2.3 Regulasi DAK Tingkat Daerah
Ketergantungan keuangan daerah pada hibah Pemerintah Pusat melalui dana perimbangan dapat dikatakan belum berubah meskipun UU tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah direformasi. Selama sumber-sumber penerimaan negara yang berpotensi besar tetap dikuasai Pemerintah Pusat, selama itu pula kondisi ketergantungan pemda akan terus berlangsung.
Meskipun jumlah DAK relatif kecil dibanding jumlah DAU, kebanyakan daerah mengandalkan DAK untuk belanja modal (dulu belanja pembangunan), sementara bagian terbesar DAU dipakai untuk belanja pegawai/barang (dulu belanja rutin). Dalam mengelola DAK, daerah umumnya bekerja berdasarkan regulasi yang dikeluarkan Pemerintah Pusat. Hanya beberapa daerah saja yang mengeluarkan regulasi pengaturan
13 Tidak semua departemen menyediakan dana operasional untuk Tim Koordinasi tingkat departemen. Untuk itu, staf pengelola DAK Depdiknas, misalnya, mengusulkan agar Pemerintah menyediakan dana
monitoring dan evaluasi DAK.
pemanfaatan DAK sebagai rincian atas regulasi Pemerintah Pusat. Salah satu daerah yang secara khusus mengeluarkan regulasi semacam ini adalah Kabupaten Gorontalo, namun itupun hanya terbatas untuk bidang pendidikan. Setiap tahun, Bupati Gorontalo mengeluarkan Peraturan Bupati tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan DAK. Tujuannya adalah untuk mengatur pengelolaan DAK bidang pendidikan yang dilaksanakan secara swakelola berapa pun nilai proyeknya. Kegiatan swakelola yang tidak membatasi nilai proyeknya seperti ini tidak sesuai dengan Keppres No. 80/2003 yang membatasi nilai
proyek swakelola sebesar maksimal Rp50.000.000. 14 Bupati Gorontalo tidak mengeluarkan petunjuk teknis untuk bidang lain karena pengelolaan DAK bidang-bidang
lain sepenuhnya didasarkan pada Keppres No. 80/2003. Kegiatan yang nilainya lebih dari Rp50.000.000 diproses melalui tender terbuka.
Pemda Kabupaten Kupang memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk ikut melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara swakelola. Dalam rangka pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM), setiap tahun kabupaten ini mengeluarkan petunjuk pelaksanaan PPM melalui surat keputusan bupati. PPM pada dasarnya memberi ruang bagi masyarakat untuk mengerjakan proyek yang dibiayai APBD secara swakelola (tanpa tender) dengan nilai maksimal Rp250.000.000 (Surat Keputusan Bupati Kupang No. 134/SKEP/HK/2007). Pada dasarnya, SK ini tidak sesuai dengan isi Keppres No. 80/2003 yang seperti telah disebut sebelumnya membatasi nilai proyek swakelola sebesar maksimal Rp50.000.000.
Karena DAK termasuk ke dalam APBD, selain harus tunduk pada regulasi Pemerintah Pusat tentang DAK, pemda juga harus mengelolanya bersama dengan unsur legislatif (DPRD). Kotak 2.1 antara lain menggambarkan beberapa persoalan yang terkait dengan hambatan penggunaan DAK. Hambatan tersebut sebenarnya tidak semata-mata bersumber di daerah. Dalam banyak hal, proses pengambilan keputusan di daerah tergantung pada berbagai keputusan di pusat. Keterlambatan keputusan di pusat membuat keputusan di daerah menjadi tertunda.
Di tingkat kabupaten/kota, prioritas dan plafon anggaran setiap SKPD disusun berdasarkan kebijakan umum APBD yang seharusnya sudah disepakati pada Juli tahun sebelumnya (lihat Pasal 35 PP No. 58/2005). Untuk kasus APBN 2007, misalnya, APBN baru ditetapkan pada Oktober 2006 dan alokasi DAK pada Desember, disusul kemudian dengan ketetapan petunjuk teknis penggunaan DAK oleh Menteri Teknis. Jadwal penerbitan berbagai keputusan yang saling terkait tetapi tidak saling mendukung dari segi waktu ini menyebabkan penyusunan APBD menjadi tersendat-sendat (lihat Tabel 2.5). Ketika isi keputusan pusat yang terbit terlambat itu ternyata berbeda dengan yang diperkirakan daerah dalam membuat kesepakatan APBD, banyak hal dalam rancangan APBD yang terpaksa harus dirombak atau diteliti ulang dan wajib dibicarakan lagi dengan DPRD. Proses seperti ini, selain menyita waktu pejabat daerah, juga menghabiskan banyak dana, sementara kemampuan keuangan daerah terbatas.