KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

APBN mengalokasikan DAK untuk membiayai pelayanan publik tertentu yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah. Meskipun DAK termasuk ke dalam APBD, dalam pemanfaatannya, pemda harus menaati berbagai regulasi pusat. Selain itu, DAK, yang tujuannya untuk membantu keuangan daerah, dalam batas tertentu ternyata telah berubah menjadi kendala dalam proses penganggaran pemerintah daerah.

Penelaahan atas berbagai regulasi menemukan empat hal yang berpotensi menghambat pengelolaan DAK. (i) 24 Belum ada PP yang secara khusus mengatur DAK, seperti PP tentang DAK (UU

No. 32/2004 Pasal 162 (4) dan UU No. 33/2004 Pasal 42) dan PP tentang pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi DAK (UU No. 33/2004 Pasal 108).

(ii) Jadwal pengeluaran keputusan alokasi dan penerbitan regulasi DAK oleh Pemerintah Pusat tidak sesuai dengan jadwal penyusunan APBD. Sebagai akibatnya, selain pemda pada akhirnya perlu melakukan penyesuaian terhadap anggarannya, waktu pengerjaan proyek menjadi terbatas.

(iii) Terdapat kebijakan yang seharusnya berlaku seragam secara nasional namun masih menyediakan ruang bagi ketidakseragaman. Sebaliknya, ada juga kebijakan yang seharusnya memberi ruang bagi perbedaan sebagai akibat dari kondisi antardaerah yang memang berbeda namun justru memaksakan keseragaman secara nasional.

(iv) Berbagai UU tentang organisasi dan tugas kementerian/lembaga yang bernuansa sentralistis belum disesuaikan dengan UU desentralisasi. Oleh karenanya, kebijakan pengelolaan DAK menjadi berbeda antarkementerian/lembaga dan antardaerah. Tidak adanya sinkronisasi antara DAK, dana dekonsentrasi, dan tugas pembantuan berakibat pada penggunaan dana yang menjadi tidak optimal.

Keempat penghambat itu menuntun kita pada sebuah kesimpulan bahwa reformasi terhadap berbagai regulasi perlu dilakukan agar pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada umumnya dan pengelolaan DAK pada khususnya dapat berlangsung dengan baik. Dengan demikian, upaya menyeimbangkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik di seluruh Indonesia dapat dioptimalkan.

Secara formal, regulasi menyediakan ruang bagi pemda untuk secara aktif mengajukan proposal pemanfaatan DAK. Namun, dalam praktiknya, mereka menjadi penerima pasif, padahal sebenarnya pemda sangat mengandalkan belanja modal daerahnya pada DAK. Selama ini, pemda hanya sebatas diminta untuk mengirim data tentang kondisi sarana dan prasarana berbagai sektor di daerahnya sebagai bahan bagi Pemerintah Pusat dalam menetapkan alokasi DAK. Mengenai penetapan alokasi DAK, sikap

24 PP yang mengatur DAK digabung dengan PP yang mengatur dana perimbangan secara keseluruhan. DAK merupakan salah satu komponen dana perimbangan.

pemda mengindikasikan adanya penilaian bahwa Pemerintah Pusat tidak berlaku transparan dalam hal ini sampai-sampai pejabat daerah perlu berusaha “melobi Jakarta” untuk mendapatkan alokasi DAK yang lebih besar. Analisis kuantitatif terhadap alokasi DAK per provinsi memang menunjukkan korelasi yang rendah terhadap buruknya kondisi infrastruktur pelayanan publik di bidang pendidikan dan infrastruktur jalan, sementara pada bidang kesehatan arah korelasinya bahkan bertentangan dengan tujuan DAK.

Koordinasi dan komunikasi dalam pengelolaan DAK antarinstansi baik di pusat maupun di daerah, termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota, terlihat masih terbatas. Selain itu, masih sedikit terdapat pemda yang memenuhi kewajibannya untuk melaporkan perkembangan penggunaan DAK-nya setiap tiga bulan sebagaimana dimandatkan oleh peraturan perundangan. Penyebabnya ada empat kemungkinan, yakni

(i) meskipun regulasi memberikan sanksi atas kelalaian pelaporan, Pemerintah Pusat

tidak pernah melaksanakannya; (ii) beberapa pemda yang menyampaikan laporan tidak pernah mendapatkan respons

dari Pemerintah Pusat sehingga pada akhirnya pemda bersikap tidak peduli lagi dengan kewajiban melapor tersebut;

(iii) sanksi atas kelalaian pelaporan dikenakan kepada daerah, bukan pejabat yang lalai, sehingga pejabat tersebut tidak begitu merasa wajib untuk membuat laporan; dan/atau

(iv) kapasitas pemda dalam pengelolaan keuangan publik tidak memadai.

Berdasarkan berbagai temuan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa manajemen DAK bersifat sentralistis, sementara kapasitas Pemerintah Pusat dalam pengawasan penggunaannya di lebih dari 400 kabupaten/kota tidak memadai. Oleh karena itu, SMERU menyarankan hal-hal berikut ini.

(i) Pemerintah Pusat hendaknya membangun sebuah paradigma baru dalam manajemen DAK dengan mendesentralisasikannya kepada pemerintah provinsi sehingga pemerintah provinsi berwenang dalam melaksanakan pengalokasian DAK, pengkoordinasian pengelolaan DAK, dan pengawasan atas penggunaan DAK oleh pemerintah kabupaten/kota. Tentu saja kewenangan ini harus dikawal oleh sejumlah regulasi yang dapat menjamin terlaksananya mekanisme transparansi dan partisipasi, prosedur akuntabilitas, dan sistem ganjaran (hadiah dan hukuman). Kebijakan ini mempunyai tiga manfaat, yaitu (i) menyederhanakan manajemen DAK di tingkat pusat; (ii) memperkuat kewenangan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah; dan

(iii) memberdayakan provinsi sebagai daerah otonom melalui diskresi fiskal. 25