Teori Komunikasi Pembangunan Desa

3.2. Teori Komunikasi Kritis untuk Pembangunan Desa

Belajar dari teori-teori komunikasi pembangunan sebelumnya, maka rumusan teori komunikasi kritis untuk pembangunan desa selayaknya memiliki Belajar dari teori-teori komunikasi pembangunan sebelumnya, maka rumusan teori komunikasi kritis untuk pembangunan desa selayaknya memiliki

Pemerdekaan diri tidak cukup disampaikan dalam media massa, melainkan dikembangkan lebih jauh dalam kelompok atau organisasi. Bentuknya tidak persis sebagai kelompok media yang mendiskusikan isi media massa, namun memiliki arus balik sebagai organisasi pembebasan diri dengan menyampaikan ide-ide pembebasan melalui media massa.

Komunikasi kritis untuk pembangunan desa, dengan demikian, perlulah mencakup hal-hal berikut:

1. melakukan pembahasan tentang ideologi pembangunan.

2. melakukan hubungan interpersonal di dalam kelompok dan organisasi

3. melakukan penyebaran ide-ide pembebasan ke dalam media massa Realitas sekarang berasal dari sejarah yang sudah ditutupi ideologi yang

menekan kekritisan manusia sendiri. Masa lalu berisi dominasi, eksploitasi dan opresi, sehingga komunikasi kritis menghendaki manusia terbebaskan dari kondisi negatif tersebut. Oleh karena dominasi tersebut bersifat sruktural, maka tindakan sehari-hari dengan mudah terhubung kepada lembaga-lembaga yang lebih besar. Di sini muncul pola hubungan interpersonal di dalam kelompok dan organisasi. Bersamaan dengan itu, teori-teori kritis menghalangi upaya dominasi antar manusia, juga dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi antar manusia selayaknya berupa hubungan dialogis.

Dalam situasi normal secara inheren pernyataan mengandung harapan dan klaim untuk komprehensif, kredibel (benar), terlegitimasi (terhadap sistem nilai), dan jujur. Situasi ini dapat dites melalui komunikasi dialektis yang kritis, yaitu dalam suatu dialog setara. Dalam komunikasi tersebut tidak dikemukakan kekuasaan, status, prestise, ideologi, manipulasi, aturan dari para ahli, ketakutan, rasa tidak aman, kesalahpahaman, melainkan diajukan kekuatan atas argumen yang setara. Peluang untuk duduk secara setara terkait dengan faktor pengetahuan, pengalaman, kebijaksanaan dan bobot argumen menurut klaim-klaim di atas. Sebaliknya, lawan dari kesetaraan mungkin muncul melalui infiltrasi hubungan kekuasaan, dominasi ideologis, hubungan sosial yang asimetris, mistifikasi, ketidakjujuran, manipulasi, retorika, penggambaran yang terdistorsi, dan disinformasi.