Pengaruh Perubahan Harga Sapi Terhadap Permintaan Dan Penawaran Pada Usaha Penggemukan Sapi Bali Di Nusa Tenggara Barat

PENGARUH PERUBAHAN HARGA SAPI TERHADAP
PERMINTAAN DAN PENAWARAN PADA USAHA
PENGGEMUKAN SAPI BALI DI NUSA TENGGARA BARAT

SASONGKO WIJOSENO RUSDIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengaruh Perubahan
Harga Sapi terhadap Permintaan dan Penawaran pada Usaha Penggemukan Sapi
Bali di Nusa Tenggara Barat adalah benar karya saya dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016.
Sasongko Wijoseno Rusdianto
NIM H363100121

1

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
SASONGKO WIJOSENO RUSDIANTO.
Pengaruh Perubahan Harga Sapi
terhadap Permintaan dan Penawaran pada Usaha Penggemukan Sapi Bali di Nusa
Tenggara Barat. Dibimbing oleh HENY KS DARYANTO, KUNTJORO and
ATIEN PRIYANTI.
Usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat merupakan produsen
sapi siap potong untuk memenuhi kebutuhan daging sapi. Populasi sapi potong di

NTB didominasi oleh sapi bali yang memiliki potensi pemasaran baik di tingkat
lokal maupun nasional. Sapi bali bakalan tersedia cukup di pasaran untuk
mendukung usaha penggemukan. Usaha penggemukan sapi umumnya dilakukan
oleh peternak kecil, merupakan sumber pendapatan dan penyerap tenaga kerja di
pedesaan. Dalam sistem pemasaran sapi usaha penggemukan sering kali dihadapkan
dengan perubahan harga sapi (fluktuasi harga sapi), oleh karena itu peternak harus
selalu mencari informasi harga untuk melakukan keputusan pada manajemen usaha
penggemukan. Penelitian ini bertujuan : 1) Mendeskripsikan kinerja usaha
penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat, 2) Menganalisis pengaruh
perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap permintaan sapi bakalan dan
penawaran sapi hasil penggemukan pada usaha penggemukan ternak sapi bali di
Nusa Tenggara Barat, 3) Menganalisis dampak perubahan harga sapi potong di
tingkat pasar terhadap pendapatan pada usaha penggemukan sapi bali di Nusa
Tenggara Barat.
Penelitian dilakukan bulan Juli sampai September tahun 2014, pada 44
peternak sapi dengan jumlah penjualan sapi satu tahun terakhir 113 sapi, pada usaha
penggemukan sapi bali. Lokasi penelitian dan kelompok sampel ditentukan secara
purposive pada dua kelompok peternak di dua desa : Repok Nyerot dan Gemel di
Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, dengan pertimbangan kedua desa
dapat merepresentasikan usaha penggemukan sapi bali yang dilakukan di wilayah

NTB. Data yang dikumpulkan : 1) Data sekunder yaitu data harga sapi potong lintas
waktu bulanan dan tahunan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB;
2) Data primer hasil wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur.
Analisis data dengan sistem persamaan simultan dengan Two-Stage Least Square
(2SLS), menggunakan perangkat lunak Statistic Analysis System (SAS versi 9.0).
Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan harga sapi potong di tingkat
pasar berpengaruh negatif terhadap permintaan sapi bakalan. Sapi bakalan adalah
input utama usaha penggemukan, pembelian sapi bakalan dilakukan di pasar hewan
menyebabkan harga sapi bakalan yang diterima mengikuti perubahan harga sapi
potong di tingkat pasar. Permintaan sapi bakalan dipengaruhi secara signifikan dan
negatif oleh harga sapi bakalan yang dibayar peternak.
Permintaan sapi bakalan memberikan pengaruh signifikan dan positif
terhadap penawaran sapi hasil penggemukan, sehingga kenaikan harga sapi bakalan
dapat memberikan dampak pada menurunnya penawaran sapi hasil penggemukan.
Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar tidak mempengaruhi penawaran sapi
hasil penggemukan, karena penjualan sapi hasil penggemukan sebagian besar
dilakukan di luar pasar hewan sehingga penawaran sapi hasil penggemukan lebih
dipengaruhi oleh harga sapi hasil penggemukan.
Produksi sapi dipengaruhi secara positif oleh umur sapi bakalan dan jumlah
pakan dedak. Semakin tua umur sapi bakalan semakin tinggi produksi sapi. Pakan

dedak adalah jenis pakan yang diberikan setiap hari untuk meningkatkan produksi

sapi. Kenaikan harga dedak tidak menurunkan permintaan pakan dedak, karena
permintaan pakan dedak tergantung pada permintaan pakan hijauan dan pakan
limbah pertanian. Pada sistem pemeliharaan tradisional umumnya kualitas pakan
(hijauan dan limbah pertanian) kurang diperhatikan sehingga memerlukan pakan
dedak untuk meningkatkan produksi sapi.
Permintaan input-input produksi saling terkait antara permintaan pakan
hijauan dengan pakan limbah pertanian dan permintaan pakan dedak. Biaya terhadap
input-input pakan hijauan, pakan limbah pertanian dan pakan dedak menentukan
besarnya biaya pakan. Permintaan sapi bakalan dipengaruhi oleh biaya pakan,
semakin besar biaya pakan maka permintaan terhadap sapi bakalan meningkat
sehingga meningkatkan penawaran sapi hasil penggemukan. Penerimaan ditentukan
oleh harga sapi dan penawaran sapi hasil penggemukan. Pendapatan usaha
penggemukan sapi tergantung pada keuntungan per ekor sapi dan jumlah penjualan
sapi per tahun.
Simulasi menunjukkan bahwa dengan menurunkan harga sapi bakalan
menyebabkan kenaikan permintaan sapi bakalan dan menaikkan penawaran sapi
hasil penggemukan, sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan per tahun.
Selanjutnya kenaikan harga sapi hasil penggemukan menyebabkan kenaikan

produksi dan penawaran sapi hasil penggemukan yang berdampak terhadap
peningkatan pendapatan per tahun.
Disimpulkan bahwa usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat
bersifat tradisional, pemberian pakan umumnya berkualitas rendah dengan berat
badan sapi bakalan rata-rata 208 kg/ekor dalam waktu penggemukan 183 hari
menghasilkan sapi penggemukan rata-rata 257 kg/ekor. Perubahan harga sapi
berpengaruh terhadap permintaan sapi bakalan tetapi tidak berpengaruh terhadap
penawaran sapi hasil penggemukan. Harga sapi bakalan berpengaruh negatif
terhadap permintaan sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan berpengaruh
positif terhadap penawaran sapi hasil penggemukan. Produksi sapi dipengaruhi
secara positif oleh umur sapi bakalan dan pakan dedak. Pendapatan usaha
penggemukan ditentukan keuntungan yang diperoleh dan jumlah penjualan sapi per
tahun. Implikasinya bahwa diperlukan kebijakan pemerintah untuk mendukung
usaha penggemukan dalam meningkatkan pendapatan peternak adalah melalui
subsidi terhadap harga sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan.
Kata kunci : indeks harga, penawaran, permintaan, penggemukan, sapi bali

SUMMARY
SASONGKO WIJOSENO RUSDIANTO. The Effect of Fluctuations in Cattle Price
on the Supply and Demand in the Bali-Cattle Fattening Business in West Nusa

Tenggara. Supervised by HENY KS DARYANTO, KUNTJORO and ATIEN
PRIYANTI.
The bali cattle fattening business in West Nusa Tenggara is producer of
ready-to-slaughter cattle to fulfil needs of beef. The population of beef cattle in NTB
are dominated by bali cattles and has a lot of potential for marketing both in the
local and national level. The number of bali cattle feeders in the market must be
adequate in order to support the fattening business. The fattening business is mostly
conducted by small-scale farmers and it plays an important role in the people’s
income, providing employment and fulfilling the need for beef. The marketing
system for fattened beef cattle often faces changes in the price of cattle (fluctuations
in cattle price); therefore, the farmers must always be on the lookout for information
regarding the price of cattle in order to make managerial decisions in their fattening
business. This study aims to: 1) describing the performance of bali cattle fattening
in West Nusa Tenggara, 2) analyze the effect of fluctuations in the beef cattle price
at market level on the demand for feeders and the supply of fattened cattle in the
bali-cattle fattening business in West Nusa Tenggara, 3) to analyze the effect of
fluctuations in beef cattle price at market level on income of the bali-cattle fattening
business in West Nusa Tenggara.
This study was conducted between July and September 2014 on 44 cattle
farmers who had sold 113 heads of cattle in the previous year in the bali-cattle

fattening business. The study location and respondents were determined purposively
from two farmers groups in two villages, Repok Nyerot and Gemel in Jonggat Subdistrict, Central Lombok Regency, because these two villages could represent the
bali-cattle fattening business conducted in West Nusa Tenggara. The data that were
collected included: 1) secondary data, the monthly and annual time-series data from
the Animal Husbandry and Animal Health Agency of West Nusa Tenggara
Province; 2) data compiled through interviews using a structured list of questions.
The data were analyzed using the simultaneous equation system with the Two-Stage
Least Square (2SLS) method with help from the Statistic Analysis System (SAS
version 9.0) software .
The results of the analysis demonstrate that changes in the price of beef cattle
in market level negatively affect to the demand for feeders. The feeders are the
main input in the cattle-fattening business, and purchase of feeders in the livestock
market causes the price of the feeders that will be received to follow the changes in
the price of beef cattle at market level. The demand for feeders is significantly and
negatively influenced by the price of feeders paid.
The demand for feeders has a sigificant and positive influence on the supply
of fattened cattle; therefore, an increase in feeder price could lead to the decreased
supply of fattened cattle. Changes in the price of beef cattle at market level do not
affect the fattened beef cattle supply because salling of fattened cattle are mostly
conducted ouside of the livestock market; therefore, the supply of fattened cattle is

influenced by the received price of fattened cattle.

Cattle production is positively influenced by the age of the feeders and the
amount of bran fed. The older the feeder, the higher the productivity is. Bran is a
type of feed given daily to increase productivity. An increase in the price of bran
does not decrease the demand for bran because it depends on the demand for feed in
the form of roughage and agricultural waste products. In the traditional husbandry
system the quality of feed (roughage and agricultural waste products) is usually
neglected; therefore, bran is needed to increase cattle productivity.
There is a relationship between the demands for production inputs, namely the
demand for roughage and the demand for agricultural waste products and feed. The
cost of inputs, roughage, agricultural waste, and bran, determine the cost of feed.
The demnd for feeders is influenced by feed cost; the higher the feed cost, the higher
the demand for feeders which will lead to an increase in the fattened cattle supply.
The revenue is determined by the price of cattle and the supply of fattened cattle.
The income from the cattle fattening business is depend by the profit per head of
cattle and the number of cattle sold annually. An increase in feeder price could
decrease the demand fore feeders and decrease the supply of fattened cattle, leading
to a decrease in the profit received. The simulation demonstrates that decreasing the
price of feeders causes an increase in the demand for feeders and increase the supply

of fattened cattle which in the end would increase the annual income. Furthermore
in which the increase in fattened cattle price causes an increased production and
supply of fattened cattle, resulted in an increased annual income.
Conclusion that Bali cattle fattening business in West Nusa Tenggara are
traditional, the feeding is generally of low quality with a weight of cows on average
208 kg / head within 183 days of fattening cattle feedlot produces an average of 257
kg / head. Changes in cattle price affect the demand for feeders but do not have any
influence of the supply of fattened cattle. The price of feeders has a negative
influence on the demand for feeders and the price of fattened cattle has a positive
influence on the supply of fattened cattle. Cattle production is positively influenced
by the age of the feeders and bran.The income from the fattening business is
determined by the profit received and the number of cattle sold annually. The
implications that needs the government policy for support order to aid the fattening
business to increase the farmers’ income, the government should subsidize the price
of feeders and the price of fattened cattle.
Keywords: bali cattle, derived demand, fattening, price index, derived supply

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH PERUBAHAN HARGA SAPI TERHADAP
PERMINTAAN DAN PENAWARAN PADA USAHA
PENGGEMUKAN SAPI BALI DI NUSA TENGGARA BARAT

SASONGKO WIJOSENO RUSDIANTO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup

: Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
Prof (R) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU

Penguji pada Sidang Promosi

: Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
Prof (R) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU

Judul Disertasi

Nama Mahasiswa
NIM

: Pengaruh Perubahan Harga Sapi terhadap Permintaan dan
Penawaran pada Usaha Penggemukan Sapi Bali di Nusa
Tenggara Barat
: Sasongko Wijoseno Rusdianto
: H363100121

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai bulan September 2014 ini ialah
perubahan harga sapi, dengan judul Pengaruh Perubahan Harga Sapi terhadap
Permintaan dan Penawaran pada Usaha Penggemukan Sapi Bali di Nusa Tenggara
Barat.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Komisi Pembimbing, Ibu Dr Ir Heny KS Daryanto, MEc, Bapak Prof Dr
Kuntjoro dan Ibu Dr Ir Atien Priyanti, MSc yang telah memberikan
pembimbing dan arahan landasan teori, sistematika berpikir dan pengamatan
empirik dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi.
2. Penguji Luar Komisi pada Ujian Prakualifikasi Lisan, Bapak Dr Ir Parulian
Hutagaol, MS, dan Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MS dan Ibu Dr Meti Ekayani, S
Hut, MSc wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.
3. Penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Tim Promosi luar komisi : Prof Dr
Ir Sri Hartoyo, MS dan Prof (R) Dr Ir I Wayan Rusastra, APU. Bapak Dr. Ir.
Lukman M Baga, MS yang mewakili Dekan Pascasarjana pada pelaksanaan
Ujian Tertutup. Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, MS yang mewakili Rektor
Institut Pertanian Bogor pada pelaksanaan Sidang Promosi.
4. Koodinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS yang
telah memfasilitasi selama studi, pelaksanaan penelitian serta penulisan
disertasi.
5. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor yang telah menerima untuk melaksanakan studi.
6. Staf Pengajar pada Fakultas Eknomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama melaksanakan studi
7. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian
yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan studi dan Staf Badan
Litbang Pertanian yang telah membantu kelancaran administrasi.
8. Dr Ir Dwi Praptomo S, MS, Dr Ir Ketut Puspadi, MEd dan Dr Ir Tanda
Panjaitan, MSc yang telah memberikan dukungan pada penelitian.
9. Almarhun ayahanda Rusman Siswowarsokusumo, ibunda Siswanti, istri Farida
Sukmawati M, SPt, ananda Febrianti Retno Wulaningrum, Syaiful Anwar
Budisantoso dan adinda Irawati Sesotyaningrum, SE serta seluruh anggota
keluarga atas dukungan dan do’a selama pelaksanaan studi.
10. Pegawai Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara
Barat, Pegawai Pasar Hewan Praya dan Masbagik, Kelompok peternak Pade
Angen dan Pantang Mundur.
11. Rekan-rekan, staf pada Sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuan dan
dukungan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016.
Sasongko Wijoseno Rusdianto

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Kebaruan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Usaha Penggemukan Sapi di NTB
Perubahan Harga Sapi
Permintaan Sapi Bakalan
Produksi Usaha Penggemukan Sapi
Biaya Produksi Usaha Penggemukan Sapi
Lama Waktu Penggemukan
Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi
Kebijakan Usaha Sapi Potong
3 KERANGKA TEORITIS
Faktor Produksi Sapi
Biaya Produksi Usaha Penggemukan Sapi
Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi
Waktu Produksi
Kerangka Pemikiran Konseptual
4 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Lokasi Penelitian
Penentuan Sampel
Variabel dan Pengukurannya
Analisis Data
Spesifikasi Model
Blok Permintaan Sapi Bakalan
Blok Produksi
Blok Penawaran Sapi Hasil Penggemukan
Blok Pendapatan Usaha Penggemukan
Identifikasi Pendugaan Model
Validasi dan Simulasi Model
Validasi Model
Simulasi Model
5. DESKRIPSI USAHA PENGGEMUKAN SAPI BALI
Profil Usaha Penggemukan Sapi
Sistem Usaha Penggemukan Sapi
Pembelian Sapi Bakalan

xiv
xv
xvi
1
1
4
5
5
5
6
9
9
10
11
12
13
13
14
15
17
17
17
18
20
22
27
27
27
27
29
32
32
33
34
38
39
44
44
44
45
47
47
53
55

DAFTAR ISI (Lanjutan)
Hasil Penggemukan Sapi
Penjualan Sapi Hasil penggemukan
Pendapatan dari Penjualan Sapi
6. PENDUGAAN MODEL PENGGEMUKAN SAPI BALI
Analisis Ragam
Permintaan Sapi Bakalan
Produksi Sapi
Permintaan Input Pakan Hijauan
Permintaan Input Pakan Limbah Pertanian
Permintaan Input Pakan Dedak
Permintaan Input Tenaga Kerja
Lama Waktu Penggemukan
Penawaran Sapi Hasil Penggemukan
Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi
7 DAMPAK PERUBAHAN HARGA SAPI TERHADAP PENDAPATAN
Validasi Model Persamaan Simultan
Dampak Kebijakan terhadap Pendapatan Usaha Penggemukan
Dampak Perubahan Harga Sapi Bakalan
Dampak Perubahan Harga Sapi Hasil Penggemukan
8. UPAYA MENGATASI PERUBAHAN HARGA SAPI
Harga Sapi Bakalan
Harga Sapi Hasil Penggemukan
Perubahan Harga Sapi terhadap Pendapatan Usaha Penggemukan
9. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan dan Saran Penelitian Lanjutan
DAFTAR PUSTAKA

56
61
62
65
65
66
69
70
71
72
73
73
74
77
79
79
81
81
83
85
85
86
87
89
89
89
91

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

5
6
7
8

9
10

11

12

13
14
15
16
17
18
19

Populasi, pemotongan dan pengeluaran sapi potong di NTB
Sampel penelitian
Simulasi perubahan harga sapi bakalan dan harga sapi hasil
penggemukan
Karakteristik peternak yang menjadi responden dalam penelitian pada
usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun
2014
Klasifikasi responden pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten
Lombok Tengah tahun 2014
Nilai rata-rata dan standar error mean variabel pada usaha
penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014
Analisis ragam persamaan struktural model penggemukan sapi bali di
Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014
Hasil estimasi parameter persamaan permintaan sapi bakalan pada
usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun
2014
Hasil estimasi parameter persamaan produksi sapi pada usaha
penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014
Hasil estimasi parameter persamaan permintaan hijauan pakan hijauan
pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun
2014
Hasil estimasi parameter persamaan permintaan pakan limbah pertanian
pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun
2014
Hasil estimasi parameter persamaaan permintaan pakan dedak pada
usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun
2014
Hasil estimasi parameter persamaan permintaan tenaga kerja pada usaha
penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014
Hasil estimasi parameter penggunaan waktu penggemukan pada usaha
penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014
Hasil estimasi parameter persamaan penawaran sapi potong pada usaha
penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014
Pendapatan usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok
Tengah tahun 2014
Validasi model penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah
tahun 2014
Pengaruh harga sapi hasil bakalan turun sebesar 10 persen
Pengaruh kenaikan harga sapi hasil penggemukan sebesar 10 persen

1
28
45
51

51
63
65
69

70
71

71

72

73
74
77
78
80
82
84

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5

6
7

8

Fluktuasi harga ternak sapi 2009-2013 (Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi NTB)
Kerangka pemikiran konseptual pengaruh perubahan harga terhadap
pembelian sapi bakalan dan penjualan sapi hasil penggemukan
Hubungan antar variabel dalam model persamaan simultan
Harga sapi potong di tingkat pasar, persentase pembelian sapi bakalan
dan persentase penjualan sapi hasil penggemukan pada Kabupaten
Lombok Tengah tahun 2014
Perubahan harga sapi potong terhadap pembelian sapi bakalan pada
usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun
2014
Harga sapi bakalan terhadap pembelian sapi bakalan pada usaha
penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014
Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap penjualan sapi
hasil penggemukan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten
Lombok Tengah tahun 2014
Pengaruh harga sapi hasil penggemukan terhadap penjualan sapi
hasil penggemukan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten
Lombok Tengah tahun 2014

3

26
41
53

67

68
75

76

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Daftar nama variabel dalam model
Spesifikasi model usaha penggemukan sapi bali
Program estimasi model usaha penggemukan sapi bali
Hasil estimasi model usaha penggemukan sapi bali
Program simulasi model usaha penggemukan sapi bali
Hasil simulasi model usaha penggemukan sapi bali
Program simulasi model usaha penggemukan sapi bali, harga sapi
bakalan diturunkan sebesar 10 persen
Hasil simulasi model usaha penggemukan sapi bali, harga sapi
bakalan diturunkan sebesar 10 persen
Program simulasi model usaha penggemukan sapi bali, harga sapi
hasil penggemukan dinaikkan sebesar 10 persen
Hasil simulasi model usaha penggemukan sapi bali, harga sapi hasil
penggemukan dinaikkan sebesar 10 persen

97
99
104
105
113
114
115
116
117
118

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Sapi potong adalah ternak penghasil daging yang merupakan bahan pangan
sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pemenuhan kebutuhan daging
sapi nasional sebagian besar berasal daerah-daerah produsen sapi di wilayah
Indonesia dan dari impor. Kebutuhan daging sapi meningkat sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan rumah tangga dan
kesadaran akan bahan pangan berkualitas. Konsumsi daging sapi nasional pada
tahun 2009 sampai 2012, meningkat rata-rata sebesar 4 persen per tahun.
Peningkatan produksi rata-rata sebesar 7.5 persen per tahun dan peningkatan
pemotongan sapi rata-rata 4.7 persen per tahun untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan konsumsi (Ditjennak Kemtan 2013).
Pemerintah melalui “Program Swasembada Daging Sapi” (PSDS) berupaya
meningkatkan kesejahteraan peternak sapi melalui pemberdayaan peternak dan
mengoptimalkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi. Di samping itu
upaya tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sapi dan daging sapi secara
swadaya agar dapat mengurangi impor. Pemenuhan kebutuhan yang berasal dari
impor berdampak negatif pada menurunnya harga sapi dan daging sapi lokal. Hal
ini menyebabkan menurunnya peluang usaha bagi peternakan sapi berskala kecil
di dalam negeri dan mengganggu produktivitas sapi lokal (Matondang dan
Rusdiana 2013; Purba dan Hadi 2012).
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu produsen sapi
potong nasional, dengan potensi populasi sapi potong sekitar 4.6 persen dari total
populasi nasional (Soedjana et al. 2013). Untuk mendukung PSDS, Pemerintah
provinsi NTB mengeluarkan program “Bumi Sejuta Sapi” (BSS) dilaksanakan
sejak tahun 2009 (Pemda NTB 2009). Pada awal pelaksanaan BSS tahun 2009
sampai 2010 jumlah pengeluaran sapi potong menurun sebesar 32.09 persen
(Tabel 1), hal ini diduga disebabkan pembatasan pengeluaran sapi potong oleh
Pemerintah NTB pada awal pelaksanaan program BSS. Tahun 2011 peningkatan
pengeluaran sapi potong sebesar 167 persen (Disnak NTB 2014).
Tabel 1 Populasi, pemotongan dan pengeluaran sapi potong di NTB
Uraian

2009

2010

Populasi (ekor)
680.544 695.951
Pemotongan (ekor)
31.823
47.930
Produksi daging
(ton/thn)
7.912
9.668
Pengeluaran sapi
potong (ekor)
8.248
5.601
Sumber : Disnak NTB (2009 - 2013)

2011
784.037
50.511

2012

2013

916.560 1.002.731
55.103
46.593

10.958

12.431

13.884

11.713

13.590

20.793

Produksi sapi potong di NTB sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan
lokal masyarakat NTB. Konsumsi daging sapi masyarakat NTB tahun 2012

2

sebesar 2.07 kg/ kapita/tahun, dengan laju peningkatan konsumsi daging sapi dari
tahun 2009 sampai 2012 rata-rata sebesar 16 persen per tahun. Artinya jumlah
sapi potong yang dibutuhkan meningkat setiap tahun, namun persoalan pada berat
sapi potong di pasaran perlu mendapat perhatian dalam pemenuhan kebutuhan
daging sapi. Pemotongan sapi yang tidak dikontrol akan mengarah pada
pemotongan sapi dengan berat badan yang rendah (kurang dari 250 kg), sehingga
untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang sama diperlukan jumlah sapi yang
lebih banyak (Purba dan Hadi 2012). Pada dasarnya pemerintah tidak
membenarkan pemotongan sapi dengan berat badan kurang dari 250 kg, tetapi
tidak mudah untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh (Rutherford 2004).
Produsen sapi potong di NTB adalah peternakan rakyat dengan skala usaha
kecil. Usaha ternak sapi potong merupakan salah satu sumber pendapatan daerah
dan penyerap tenaga kerja di pedesaan (Pemda NTB 2009). Jumlah rumah tangga
pertanian di NTB adalah sebanyak 600.613 KK dan sekitar 47.69 persen adalah
rumah tangga pada sub sektor peternakan sapi (BPS 2013). Dikenal 2 tipe usaha
peternakan sapi potong yaitu usaha perbibitan dan usaha penggemukan.
Pengembangan usaha sapi potong baik melalui usaha perbibitan maupun usaha
penggemukan telah dilaksanakan pada program PSDS dan BSS melalui bantuan
modal dan pendampingan oleh sarjana peternakan.
Usaha penggemukan (fattening) sapi merupakan produsen sapi siap potong.
Sapi dipelihara dalam kandang sepanjang hari pada kandang komunal dengan
sistem penyediaan pakan secara tradisional (Rutherford 2004). Usaha
penggemukan sapi yang bersifat komersial belum banyak dilakukan pada
peternakan rakyat. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan sumber daya
yang dimiliki seperti pakan yang diberikan adalah jenis pakan yang tersedia di
sekitarnya seperti rumput alam, rumput gajah, limbah pertanian dan dedak,
menyebabkan produksi sapi relatif rendah. Rendahnya produksi harian
(pertambahan berat badan harian) menyebabkan penggemukan sapi membutuhkan
waktu yang relatif panjang. Variasi lama waktu penggemukan tergantung pada
berat sapi bakalan pada awal penggemukan, berat sapi pada saat dijual dan
pertambahan berat badan harian (Dahlanudin et al. 2013; Panjaitan et al. 2013).
Sapi bali dikenal sebagai salah satu plasma nutfah provinsi NTB, dengan
jumlah sekitar 90 persen dari total populasi. Penyebarannya yang luas sehingga
terdapat di seluruh wilayah NTB, dan bakalan sapi bali relatif tersedia di pasaran.
Hal ini berpotensi mendukung usaha penggemukan sapi di NTB (Purba dan Hadi
2012). Pengembangan usaha penggemukan sapi bali sekaligus merupakan upaya
melestarikan plasma nutfah, untuk mengurangi dampak negatif dari sapi
persilangan yaitu salah satunya adalah penurunan daya adaptasi. Hal ini semakin
memperkuat posisi sapi bali untuk dikembangkan sebagai sapi potong
(Matondang dan Rusdiana 2013); Dirpangtan 2013). Sapi bali juga memiliki
potensi pasar yang luas baik di tingkat lokal maupun nasional, terbukti dengan
meningkatnya permintaan sapi potong yang berasal dari luar daerah setiap tahun.
Pada sistem pemasaran sapi potong di NTB seringkali peternak sapi
menghadapi perubahan harga sapi potong di tingkat pasar. Perubahan harga sapi
potong diduga menyebabkan perubahan harga sapi bakalan dan harga sapi hasil
penggemukan. Kenaikan harga sapi potong di tingkat pasar dapat mencapai 15
persen di atas harga rata-rata tahunan dan turunnya harga sapi potong dapat
mencapai 17 persen di bawah harga rata-rata tahunan. Harga sapi potong di

3

tingkat pasar diduga mempengaruhi harga sapi bakalan dan harga sapi hasil
penggemukan. Pola perubahan harga sapi yang berbeda setiap tahun
menyebabkan peternak harus melakukan pertimbangan dan keputusan pada
permintaan input sapi bakalan maupun penawaran output sapi hasil penggemukan.
Oleh karena itu peternak selalu mencari informasi harga sapi di tingkat pasar
untuk dapat memutuskan permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil
penggemukan.
Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar pada Gambar 1, menunjukkan
pada tahun 2009 sampai 2011 harga sapi potong cenderung stagnan, namun pada
tahun 2012 cenderung meningkat hingga tahun 2013. Rutherford (2004)
menyatakan bahwa terbentuknya harga sapi di tingkat pasar ditentukan secara
kompleks oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran sapi
potong dan perubahan harga terjadi karena pengaruh kondisi pasar.

Gambar 1 Fluktuasi harga ternak sapi 2009-2013 (Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi NTB)
Usaha penggemukan sapi yang berbasis peternakan rakyat dengan skala
usaha kecil relatif peka terhadap perubahan harga (Yusdja dan Ilham 2004;
Matondang dan Rusdiana 2013). Salah satu ciri usaha penggemukan sapi rakyat
adalah jumlah pembelian sapi bakalan dan jumlah penjualan sapi yang dihasilkan
dari usaha penggemukan relatif kecil umumnya 1 – 2 ekor. Perbedaan waktu
pembelian sapi bakalan dan penjualan sapi
penggemukan menyebabkan
perbedaan harga sapi yang diterima oleh peternak. Perbedaan harga sapi bakalan
maupun sapi hasil penggemukan akan menentukan perbedaan keuntungan yang
diperoleh per ekor sapi yang digemukan dan menentukan tingkat pendapatan
usaha penggemukan sapi per tahun. Hal ini yang menjadi pertimbangan peternak
pada saat akan memutuskan untuk melakukan pembelian sapi bakalan dan
penjualan sapi hasil penggemukan.

4

Perumusan Masalah
Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar menentukan tingkat harga sapi
bakalan yang harus dibayar peternak. Harga sapi menjadi pertimbangan penting
dalam memutuskan berat sapi bakalan yang dibeli, penyerapan biaya terbesar
adalah pada pembelian sapi bakalan. Dengan demikian perubahan harga sapi
potong menentukan perolehan pendapatan usaha penggemukan. Pada penawaran
sapi hasil penggemukan, harga ditentukan oleh pembeli sapi. Harga sapi hasil
penggemukan ditetapkan oleh pembeli sapi, juga ditentukan oleh harga sapi
potong di tingkat pasar.
Perilaku ekonomi peternak sebagai pengelola usaha penggemukan sapi
mewujudkan keputusan pada permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil
penggemukan dengan pertimbangan harga sapi. Pengetahuan dan pengalaman
peternak menjadi salah satu kekuatan dalam menentukan langkah yang dilakukan
untuk menerapkan strategi usaha penggemukan sapi, yaitu keputusan untuk
menyediakan sapi bakalan dan penjualan sapi hasil penggemukan. Informasi
perubahan harga sapi potong di tingkat pasar umumnya besifat relatif, sehingga
seringkali peternak salah menentukan strategi usaha dan tidak memberikan
menguntungkan.
Upaya dilakukan peternak untuk menghadapi kenaikan harga sapi bakalan
umumnya dilakukan dengan cara tradisional seperti penundaan pembelian sapi
bakalan jika terjadi kenaikan harga sapi. Peternak tidak mempertimbangkan
bahwa penundaan pembelian sapi bakalan menyebabkan usaha penggemukan
tidak produktif. Sebaliknya di dalam penawaran sapi hasil penggemukan,
kenaikan harga sapi potong tidak dapat segera direspon oleh peternak dengan
meningkatkan penawaran, karena penggemukan sapi memerlukan waktu.
Turunnya harga sapi dapat meningkatkan permintaan sapi bakalan, namun
pada penawaran sapi hasil penggemukan akan menerima harga sapi yang rendah
dan berdampak pada menurunnya pendapatan. Strategi yang biasa dilakukan
untuk menghadapi perubahan harga sapi potong agar memperoleh harga yang
lebih tinggi adalah dengan dilakukan penundaan penjualan sampai harga kembali
naik. Penundaan penjualan menyebabkan tambahan total biaya produksi, sehingga
dapat mempengaruhi pendapatan.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka berikut ini dapat dirumuskan
permasalahan utama yaitu :
1. Mengapa peternak perlu mengetahui informasi harga sapi potong yang
berlaku di pasaran? Apakah perubahan harga sapi potong di tingkat pasar
mempengaruhi keputusan peternak pada permintaan sapi bakalan dan
penawaran sapi hasil penggemukan?
2. Apakah permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan
mempengaruhi pendapatan usaha penggemukan sapi bali di NTB? Bagaimana
upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan harga sapi potong di
tingkat pasar untuk menjamin perolehan pendapatan usaha penggemukan
sapi?
Untuk dapat memberikan solusi atas dampak perubahan harga sapi potong
di tingkat pasar terhadap pendapatan usaha penggemukan sapi potong maka
diperlukan penelitian ini.

5

Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kinerja usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara
Barat.
2. Menganalisis pengaruh perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap
permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan pada usaha
penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat.
3. Menganalisis dampak perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap
pendapatan usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh berbagai
kalangan yaitu :
1. Petani/peternak sapi dan kelembagaan usaha ternak sapi, dalam
mengembangkan usaha penggemukan ternak sapi yang dapat memberikan
peningkatan pendapatan. Hasil penelitian dapat membantu peternak untuk
menentukan keputusan yang diambil dalam menghadapi fluktuasi harga.
2. Pemerintah Daerah NTB. Memberikan sumbangan pemikiran kepada
pemerintah untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun programprogram pengembangan usaha peternakan sapi potong yang menguntungkan
dan dapat menjamin kesejahteraan peternak. Menjadi pendorong dalam
peningkatan produksi sapi potong, sehingga tujuan swasembada daging sapi
dapat tercapai. Memberikan gambaran pada pemerintah dalam menentukan
instrumen yang dapat dijadikan dalam penyusunan kebijakan.
3. Ilmuan dan praktisi. Memberikan informasi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi akademisi, ilmuan dan
masyarakat lainnya.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada usaha penggemukan sapi bali, dipelihara
secara intensif dengan lama pemeliharaan kurang lebih 6 (enam) bulan. Sifat
usaha mengarah pada komersial. Status kepemilikan sapi adalah milik sendiri,
karena yang dipelajari adalah respon peternak terhadap adanya perubahan harga
sapi tanpa intervensi dari pihak lain. Biaya-biaya yang dikeluarkan secara tunai
dikalkulasikan dalam mengukur tingkat pendapatan, sedangkan faktor-faktor
produksi yang tidak dikeluarkan tunai baik berupa barang maupun jasa,
dikalkulasikan sesuai nilai yang berlaku.
Produksi yang dimaksud adalah pertambahan berat badan sapi yang diukur
berdasarkan selisih berat badan sapi pada akhir penggemukan dengan berat badan
sapi bakalan pada awal penggemukan. Produksi merupakan fungsi dari
penggunaan input variabel seperti : pakan hijauan, pakan limbah pertanian,
pakan dedak dan tenaga kerja.

6

Analisis perubahan harga diukur berdasarkan pada harga pasar sapi potong
di tingkat pasar di NTB. Harga sapi potong di tingkat pasar adalah nilai sapi
hidup per kilogram berat badan. Pembelian sapi bakalan maupun penjualan sapi
hasil penggemukan per ekor tergantung pada berat badan dan harga yang diterima.
Harga sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan yang diterima ditentukan
secara tidak langsung oleh harga sapi potong di tingkat pasar. Dalam penelitian ini
pendugaan dilakukan terhadap permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil
penggemukan serta produksi dan keuntungan yang diperoleh akibat adanya
perubahan harga sapi potong.
Proses produksi dalam usaha penggemukan sapi ditentukan oleh waktu
penggemukan, memasukkan variabel waktu dalam proses produksi yang
diimplementasikan pada lama pemeliharaan (penggemukan). Perilaku ekonomi
akan dipelajari dalam penelitian ini dengan unit analisis ternak sapi, mengukur
biaya yang dikeluarkan berdasarkan penggunaan satuan unit input pada satu
satuan waktu.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei melalui wawancara pada
peternak sapi. Pada umumnya peternak tidak memiliki catatan yang terkait dengan
usaha penggemukan, maka informasi yang dikumpulkan adalah usaha
penggemukan yang dilakukan pada tahun 2013 sampai 2014. Informasi yang
diperoleh tergantung pada kemampuan peternak untuk mengingat aktivitas yang
telah dilakukan pada usaha penggemukan. Oleh sebab itu dalam penelitian ini
terbatas pada informasi usaha penggemukan yang dilakukan.
Pakan hijauan yang diberikan per hari diperhitungkan berdasarkan
kebutuhan pakan sapi (feed intake) per hari. Pakan limbah pertanian tidak
diberikan setiap hari, tetapi diberikan saat pakan hijauan tidak diberikan.
Penggunaan tenaga kerja diperhitungkan dalam satuan waktu kerja (jam) untuk
per ekor sapi. Input seperti pakan hijauan (rumput alam) dan pakan limbah
pertanian (jerami padi) tidak seluruhnya dibayar tunai. Harga input tersebut
dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan pakan hijauan
dan limbah pertanian. Upah tenaga kerja diperhitungkan sebagai biaya
oportunitas, karena tenaga kerja untuk sapi tidak dibayar secara tunai. Besarnya
upah dihitung berdasarkan upah buruh tani yang berlaku pada usaha tani di
sekitar lokasi usaha penggemukan. Harga input variabel seperti pakan dan tenaga
kerja diasumsikan tidak mengalami perubahan, sehingga pada penelitian ini tidak
melakukan simulasi terhadap perubahan harga input pakan dan tenaga kerja.
Pada penelitian ini unit analisis adalah ternak sapi, agar dapat menganalisis
pengaruh perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap permintaan sapi
bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan. Oleh karena itu pada penelitian
ini tidak dapat menganalisis skala usaha penggemukan ternak sapi.

Kebaruan Penelitian
Penelitian terhadap usaha penggemukan sapi potong cukup banyak dilakukan
dengan latar belakang permasalahan dan fokus analisis yang berbeda, sehingga
metode yang digunakan berbeda. Pada beberapa penelitian terdahulu, analisis

7

usaha penggemukan sapi tidak menjelaskan tingkat harga pada permintaan input
(pembelian sapi bakalan) maupun penawaran output (penjualan sapi hasil
penggemukan). Harga sapi diperhitungkan pada kondisi yang konstan, sedangkan
harga sapi yang diterima peternak bisa berbeda antar waktu. Perbedaan harga antar
waktu menggambarkan bahwa harga bersifat dinamis, maka diperlukan suatu
pendekatan untuk dapat menganalisis pengaruh perubahan harga sapi potong di
tingkat pasar terhadap harga sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan yang
diterima peternak.
Analisis terhadap pengaruh perubahan harga menggunakan indeks harga sapi.
Dalam penelitian ini perhitungan nilai indeks diadopsi dari hasil penelitian Peel
dan Meyer (2002), Lawrence (2009) menggunakan indeks harga untuk mengukur
tingkat fluktuasi harga yang digunakan untuk meramalkan harga sapi. Penelitian
serupa pada usaha penggemukan sapi bali dengan memasukkan variabel indeks
harga sebagai variabel independen untuk menganalisis permintaan sapi bakalan
dan penawaran sapi hasil penggemukan, belum pernah dilakukan sebelumnya.
Respon perubahan harga sapi potong di tingkat pasar dianalisis melalui permintaan
sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan yang berdampak pada
pendapatan usaha penggemukan sapi.

8

Halaman sengaja dikosongkan

9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Usaha Penggemukan Sapi di NTB
Pola pengembangan peternakan sapi di NTB yang dilakukan pemerintah
adalah dengan sistem kelompok kandang kolektif (kandang komunal) terutama di
pulau Lombok; sedangkan di pulau Sumbawa dengan sistem penggembalaan
(Lar-So). Penetapan pengembangan berdasarkan pertimbangan kultur setempat.
Di pulau Lombok luas lahan untuk ternak relatif sempit dengan kepemilikan sapi
antara 2 sampai 3 ekor per peternak, sehingga pemeliharaan dilakukan secara
intensif. Di pulau Sumbawa padang penggembalaan masih tersedia dan dapat
dimanfaatkan secara umum, dengan aturan-aturan masyarakat sekitarnya. Jumlah
pemilikan sapi di pulau Sumbawa lebih besar antara 9 sampai 10 ekor per
peternak, pemeliharaan secara semi intensif dan ekstensif (Pemda NTB 2009).
Usaha peternakan sapi rakyat di terutama di pulau Lombok sebagian besar
dilakukan secara berkelompok dalam lingkungan kandang kolektif, dan
merupakan kumpulan kandang individu yang dibangun secara berkelompok.
Kelompok kandang kolektif terdiri dari 5 sampai 56 anggota. Keterbatasan lahan
untuk kandang dan faktor keamanan ternak menjadi alternatif pembentukan
kelompok-kelompok peternakan yang memelihara sapi secara bersama dalam
suatu kandang kolektif (ACIAR 2005). Kandang kolektif berfungsi untuk menjaga
lingkungan dari pencemaran limbah sapi pada lingkungan sekitar. Sistem kandang
kelompok menguntungkan bagi peternak untuk melakukan manajemen
pemeliharaan, dan memudahkan pemasaran sapi karena umumnya pembeli sapi
langsung ke kandang kelompok untuk melakukan pembelian sapi. Transaksi bisa
dilakukan sewaktu-waktu, mengingat bahwa pasar hewan memiliki jadwal
operasi. Jual-beli di kandang kolektif pembeli tidak membayar biaya retribusi,
biaya jasa pedagang perantara dan biaya transportasi. Panjaitan et al. (2010),
berdasarkan hasil pengkajian pada kelompok SMD melaporkan bahwa walaupun
berada pada suatu organisasi kelompok, namun manajemen pemeliharaan sapi
bersifat perorangan.
Hasil penelitian Dahlanuddin et al. (2013) pada bulan Maret sampai Juli
2012 terhadap penggemukan sapi di tiga desa yang berada di Kabupaten Lombok
Tengah yaitu : Montong Oboq, Bun Prie dan Repok Nyerot. Keragaman bobot
awal penggemukan, lama penggemukan, pertambahan berat badan harian (PBBH)
dan bobot jual (berat badan sapi saat dijual) menghasilkan perolehan keuntungan
yang berbeda berkisar antara 8 sampai 11 persen. Perbedaan harga pembelian
sapi bakalan dan harga penjualan sapi hasil penggemukan berkisar 3 sampai 9
persen. Perbedaan waktu pembelian dan penjualan sapi antar peternak dapat
menyebabkan harga yang diterima tidak sama. Dengan demikian perbedaan harga
dan faktor-faktor lain seperti lama penggemukan, PBBH dapat mempengaruhi
perbedaan perolehan keuntungan.
Penggemukan sapi potong didominasi oleh jenis sapi bali yang merupakan
salah satu plasma nutfah daerah NTB. Sapi bali memiliki peluang pasar nasional
dan lokal masih besar. Keunggulan sapi bali salah satunya adalah daya
adaptasinya. Dirpangtan (2013), dalam studinya menyampaikan bahwa daerah
sentra sapi potong seperti NTB makin sulit mendapatkan sapi bali dengan bobot di

10

atas 300 kg per ekor, salah satunya disebabkan pengiriman sapi jantan berkualitas
baik ke luar daerah. Matondang dan Rusdiana (2013) menyatakan bahwa
persilangan sapi lokal dengan sapi unggul asal luar negeri (limosin, simental dan
brahman) yang tidak terkontrol yang dilakukan pada peternak/petani berakibat
pada menurunnya sifat genetis sapi lokal, salah satunya yaitu menurunkan daya
adaptasi terhadap lingkungan. Harga seekor sapi bali adalah nilai dari jumlah
dagingnya, produk sisa hasilnya (kulit, jeroan) dan performan dari sifat yang
diturunkan (sifat genetik). Harga sapi di pasaran ditentukan oleh faktor-faktor
yang mempengaruhi permintaan dan penawaran (Rutherford, 2004).
Pada sistem pemasaran sapi di NTB cara penentuan harga masih dengan
taksiran, cara ini dikehendaki terutama oleh pedagang sapi untuk mendapatkan
margin yang lebih tinggi. Cara tradisional ini lebih banyak merugikan peternak.
Penjualan sapi oleh peternak lebih banyak kepada pedagang pengumpul atau
jagal, mereka datang ke kandang untuk membeli sapi, karena meskipun peternak
membawa ke pasar hewan tidak ada jaminan untuk mendapatkan harga yang lebih
tinggi sehingga lebih memilih menjual sapi di tempat (Purba dan Hadi, 2012)

Perubahan Harga Sapi
Harga menurut Ward dan Schroeder (2002) dibentuk oleh dua hal yaitu
yaitu price determination : harga sebagai refleksi dari penawaran dan permintaan,
price discovery : harga yang terbentuk karena adanya persaingan antara para
penjual dan para pembeli, ini terkait dengan jumlah dan kualitas. Harga yang
berlaku dalam transaksi individual dipengaruhi oleh keadaan umum harga pasar,
pada posisi harga rendah atau tinggi. Perubahan harga komoditi pertanian naik
atau turun relatif sering terjadi, dibanding dengan harga barang non pertanian.
Harga produk pertanian relatif tidak stabil karena produksi yang relatif tetap harus
menghadapi perubahan yang besar pada permintaan.
Penjualan sapi pada harga yang lebih tinggi akan meningkatkan pendapatan
peternak, memberikan dampak positif pada permintaan input. Perubahan struktur
harga juga dapat mengubah metode produksi. Penggunaan input produksi yang
berkualitas dan peningkatan jumlah input termasuk penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan upah pada sektor peternakan dapat mengubah harga sapi (Jefferis
2007). Kenaikan harga pakan berpengaruh terhadap kenaikan harga sapi di
tingkat produsen (usaha ternak), walaupun pada kasus tertentu harga sapi harus
menyesuaikan harga sapi di tingkat pasar. Variasi harga sapi terhadap penggunaan
input yang sama terkait dengan waktu, dimana ada perbedaan harga pakan antar
musim. Di samping itu permintaan dan penawaran pasar dapat mempengaruhi
harga sapi (Burdin 2011).
Rusdianto dan Sukmawati (2014) menyatakan bahwa perubahan harga sapi
tidak mudah diramalkan walaupun dengan menganalisis perubahan harga secara
historis. Adanya faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi harga sapi dan
bersifat insidental menyebabkan harga sulit untuk diprediksi. Oleh karena itu
peternak melakukan perkiraan harga berdasarkan pada kondisi harga pada bulan
sebelumnya atau perkiraan perubahan harga yang disebabkan adanya aktivitas
sosial budaya dan keagamaan di waktu yang akan datang.

11

Pemasaran yang dilakukan pada usaha sapi potong ada dua hal penting yang
perlu diperhatikan yaitu pemanfaatan informasi pasar tentang harga dan tren
harga, sehingga memberikan keputusan yang lebih baik. Kedua adalah tidak
mengadakan sapi bakalan yang lebih kecil setelah penjualan sapi untuk dapat
penyediaan input lainnya. Pembelian sapi bakalan yang lebih kecil merupakan
keputusan yang tidak tepat (Meyer 2015).
Indeks Harga
Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur indeks harga seperti
indeks harga sederhana (tak tertimbang), dan indeks harga tertimbang seperti
metode : Laspeyers dan Paasche (Frank 1997). Indeks harga tertimbang yang
mengukur tingkat perubahan harga bersama kuantitas komoditi yang berdasarkan
penghitungan tahun dasar. Laspeyers menghitung berdasarkan pada kuantitas
komoditi tahun dasar atau waktu lalu; sedangkan Paasche berdasarkan pada harga
komoditi tahun berjalan (waktu saat ini). Indeks harga sederhana adalah relatif
harga yang membandingkan satu harga komoditi pada waktu tertentu terhadap
waktu sebelumnya, dengan rumus :
; dimana Pn : harga
sekarang, Po : harga yang lalu (waktu dasar).

Permintaan Sapi Bakalan
Faktor-faktor yang menentukan produksi usaha penggemukan sapi adalah :
sapi bakalan, pakan dan tenaga kerja (Mulyana 2009; Ratnawaty dan Budianto
2011; Budiraharjo et al. 2011; Dahlanuddin et al. 2013). Kualitas sapi bakalan
menentukan efektivitas terhadap input-input yang diberikan untuk menghasilkan
produksi. Harga sapi bakalan tergantung pada kondisi kesehatannya, penampilan,
umur dan berat badan. Pada peternakan sapi rakyat faktor produksi pakan terkait
dengan penggunaan tenaga kerja, karena hijauan pakan sapi diperoleh peternak
dengan mencari pada sumber pakan yang tersedia di sekitarnya dan bergantung
pada sumberdaya alam. Perbedaan harga pakan tergantung pada kualitas pakan,
disamping itu intensitas pemberian pakan mempengaruhi biaya untuk pakan.
Ayalew et al (2013) menyatakan bahwa pada peternakan skala kecil
penentuan harga melalui tawar-menawar sangat kuat, keterlibatan perantara
menurunkan keuntungan yang diperoleh peternak, karena biaya transaksi yang
harus dikeluarkan. Sebagian besar (87%) penentuan harga melalui tawar
menawar. Pembelian sapi bakalan lebih banyak (81.8%) membeli sapi bakalan
pada peternak lain di luar wilayah mereka. Harga sapi akan mengalami perubahan
pada waktu-waktu tertentu yang terkait dengan kehidupan sosial-budaya
masyarakat. Peningkatan permintaan pada hari-hari besar keagamaan
meningkatkan harga sapi.
Perubahan harga sapi dan daging sapi tidak hanya terjadi di Indonesia,
bahkan di negara lain, juga mengalami fluktuasi. Norton (2005) menyampaikan
hasil empiris di Amerika Serikat bahwa sebagai produsen daging sapi dunia juga
mengalami pergerakan harga disebabkan adanya perubahan penawaran dan
permintaan. Harga pakan, serangan. penyakit, pada produksi ternak sapi, relatif
tidak memberikan pengaruh t