Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali di Timor Barat Nusa Tenggara Timur

PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI
DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR

ANDY YUMINA NINU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produktivitas Karkas dan Mutu
Daging Sapi Bali di Timor Barat Nusa Tenggara Timur adalah karya saya dengan
arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, September 2008


Andy Yumina Ninu
NIM D051060011

ABSTRACT
Andy Yumina Ninu. Carcass Productivity and Meat Quality of Bali Cattle in West
Timor, East Nusa Tenggara. Under direction HENNY NURAINI, RUDY
PRIYANTO and EDDIE GURNADI
West Timor was known as one of Bali cattle producing area. Bali cattle was
kept in extensive and semi-intensive system. A research was conducted to study
Carcass Productivity and Meat Quality of Bali Cattle. The research was carried out
in Kupang-East Nusa Tenggara from March to May 2008. Sixty three Bali cattle
comprising twenty eigth male and theerty five female were used in this study. The
experiment used a Completely Randomized Factorial Design (2x3). To study
carcass productivity, sex class (male and female) and slaughter weight group
(220 kg) were used as the factors. To study meat quality of
Bali Cattle, sex class and the aged group (I2, I3 and I4) were used as the factors. The
result of this study showed that no interaction effect between sex and slaughter
weight on carcass productivity and commercial cut weights and percentage. There
was an interaction between sex and age of Bali Cattle on tenderness of meat.
Therewere no interaction effects for other meat quality characteristics (pH, cooking

loss, water holding capacity, meat and fat colour). Male cattle had higher carcass
percentage and commercial cut weights than female cattle. Both, male and female
cattle had similar meat tenderness on approriately 3 years old.
Keywords: carcass, meat quality, Bali cattle

RINGKASAN
ANDY YUMINA NINU. Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali Di
Timor Barat Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh HENNY NURAINI, RUDY
PRIYANTO dan EDDIE GURNADI.
Timor Barat merupakan salah satu daerah penghasil sapi Bali. Umumnya
sistem pemeliharaan ternak sapi Bali adalah sistem pemeliharaan secara ekstensif
dan semi intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas karkas
dan mutu daging sapi Bali. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di
Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Materi yang digunakan adalah sapi
Bali jantan dan betina berjumlah 63 ekor terbagi atas 28 ekor jantan dan 35 ekor
betina. Produktivitas karkas ditentukan dengan Rancangan Acak Lengkap Pola
Faktorial, 2X3 yaitu jenis kelamin (kelamin jantan dan betina) dan 3 kelompok
bobot potong (< 190 kg, 191-220 kg, > 201 kg), untuk mengetahui sifat fisik
daging sapi Bali digunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial 2X3 yaitu 2
jenis kelamin (kelamin jantan dan betina) dan 3 kelompok umur (I2, I3 dan I4).

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan
kelompok bobot potong terhadap produktivitas karkas, namun masing-masing
faktor berpengaruh nyata terhadap produktivitas dan potongan komersial karkas.
Hasil analisis juga menunjukkan terdapat interaksi antara jenis kelamin dan umur
terhadap keempukan daging, sedangkan tidak ada interaksi terhadap pH, susut
masak, daya mengikat air, warna daging dan warna lemak. Ternak jantan
menghasilkan produktivitas karkas dan potongan komersial yang lebih tinggi
dibanding betina dengan semakin tinggi bobot potong. Baik sapi jantan maupun
betina mempunyai nilai keempukan yang sama pada umur kurang lebih 3 tahun.
Kata kunci: karkas, kualitas daging, sapi Bali

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI
DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR

ANDY YUMINA NINU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc

Judul Tesis
Nama
NIM


: Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali di Timor
Barat Nusa Tenggara Timur
: Andy Yumina Ninu
: D051060011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si
Ketua

Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi
Anggota

Dr. Rudy Priyanto
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi

Ilmu Produksi Ternak

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas segala bimbingan-Nya tulisan dengan judul “Produktivitas Karkas dan
Mutu Daging Sapi Bali di Timor Barat” dapat diselesaikan.
Ucapan terimakasih penulis kepada Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si selaku
Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Rudy Priyanto dan Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi
sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak arahan,
bimbingan dan saran kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga

penyelesaian tesis.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Tim Beasiswa Program
Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai
penulis selama pendidikan, Pimpinan Politeknik Pertanian Negeri Kupang yang
telah mengijinkan penulis untuk mengikuti pendidikan, seluruh pimpinan Sekolah
Pascasarjana dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor atas segala
bantuannya selama mengikuti pendidikan Pascasarjana.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Albert Porsiana SE,
selaku Manejer, yang telah memberi ijin kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang dan kepada seluruh
karyawan RPH yang telah membantu penulis selama penelitian. Semua pihak yang
telah membantu penulis mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian
sampai dengan penyelesaian tesis. Rekan-rekan Pascasarjana (S2) Fakultas
Peternakan, Program Studi Ilmu Ternak “angkatan 2006”, Zubir SPt. MP,
Ir.Tabita Naomi Ralahalu, M.Si atas segala saran dan motivasinya.
Akhir kata penulis mempersembahkan tulisan ini kepada orangtuaku
Nikodemus Ninu (Almarhum) dan Ibu Naltjie Ninu-Taniu atas segala dukungan
doanya, Kakak-kakakku: Yani, Heni, Lenci, Joni, Dia, Yapi, Eri, Oce, Dina, Isa,
Fira dan Sulce beserta keluarga masing-masing atas segala doa dan motivasinya
hingga penulis menyelesaikan studi.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca!
Amin

Bogor, September 2008

Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ayotupas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS),
Propinsi Nusa
Tenggara Timur pada tanggal 10 April 1980 dari ayah
Nikodemus Ninu (Almarhum) dan ibu Niltjie Ninu-Taniu.
Tahun 1999 penulis tamat dari Sekolah Menengah Atas Negeri I Kupang
dan pada tahun yang sama penulis diterima melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN) pada Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan
Universitas Nusa Cendana (UNDANA)-Kupang dan lulus tahun 2003. Pada tahun
yang sama penulis diterima sebagai staf pengajar pada Jurusan Peternakan
Politeknik Pertanian Negeri Kupang (POLITANI). Pada tahun 2006 penulis
melanjutkan studi pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................

v

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

vi

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................... ...................................................................
Tujuan Penelitian.................................................................................. .....

Manfaat Penelitian .....................................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Produktivitas ............................................................................................
Sapi Bali ....................................................................................................
Sapi Bali ii Timor Barat .............................................................................
Sistem Pemeliharaan Sapi Bali di Timor Barat .........................................
Penampilan Produksi dan Reproduksi Sapi Bali .......................................
Pakan Sapi Bali .........................................................................................
Produktivitas Karkas Sapi Bali ...........................................................
Bobot Karkas .......................................................................................
Persentase Karkas ................................................................................
Tebal Lemak Punggung ......................................................................
Luas Urat Daging Mata Rusuk ............................................................
Persentase Lemak, Ginjal, Pelvic dan Jantung ....................................
Komposisi Karkas .....................................................................................

Pengaruh Bobot Potong terhadap Karkas Sapi .........................................
Mutu Daging .............................................................................................

3
3
4
5
5
6
7
8
9
10
10
11
11
12
13

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................
Materi ..................................................................................................
Metode ................................................................................................
Rancangan Percobaan ........................................................................
Peubah yang Diukur ............................................................................

17
17
17
19
20

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Timor Barat ....................................................................
Letak Geogrrafi ...................................................................................
Iklim ....................................................................................................
Usaha Peternakan Sapi di Timor Barat ...............................................
Manajemen Pemeliharaan Ternak Sapi .....................................................
Sistem Pemeliharaan ...........................................................................
Pakan ....................................................................................................
Pola Pemberian Pakan dan Air Minum................................................
Pertambahan Bobot Badan ..................................................................

23
23
23
24
25
25
26
26
27

Sistem Perkawinan ..............................................................................
Perkandangan ......................................................................................
Penanganan Limbah ............................................................................
Penanganan Kesehatan ........................................................................
Pemasaran ...........................................................................................
Produktivitas Karkas Sapi Bali ..................................................................
Bobot Karkas Panas ............................................................................
Persentase Karkas ................................................................................
Bobot Karkas Dingin ..........................................................................
Tebal Lemak Punggung ......................................................................
Luas Urat Daging Mata Rusuk ............................................................
Potongan Komersial Karkas Sapi Bali ......................................................
Mutu Daging Sapi Bali .............................................................................
Keempukan Daging .............................................................................
pH Daging ...........................................................................................
Susut Masak ........................................................................................
Daya Mengikat Air ..............................................................................
Warna Daging .....................................................................................
Warna Lemak ......................................................................................

28
28
29
29
29
31
31
33
33
34
34
35
38
38
39
40
40
41
42

SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
Simpulan ...................................................................................................
Saran ..........................................................................................................

43
43
34

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

44

LAMPIRAN ..............................................................................................

48

iv

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Penampilan Produksi dan Reproduksi sapi Bali di NTT .............................. 6
2 Persentase Karkas dan Kualitas Daging Sapi Bali ... .................................... 8
3 Rataan Produktivitas Karkas ....................................................................... 32
4 Rataan Bobot Potongan Komersial Karkas ................................................. 35
5 Persentase Potongan Komersial Karkas ...................................................... 37
6 Rataan Mutu Daging Sapi Bali ................................................................... 38

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Jalur Pemasaran Sapi Bali Di Timor Barat ..........................................

30

2 Interaksi antara Jenis Kelamin dan Umur terhadap Keempukan ............

39

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta Timor Barat, Nusa Tenggara Timur ..............................................

48

2 Gambar-gambar penelitian ....................................................................

49

3 Potongan komersial karkas sapi Bali ....................................................

51

4 Daftar isian materi pengamatan .............................................................

52

5 Produk lahan potongan komersial karkas ..............................................

53

RINGKASAN
ANDY YUMINA NINU. Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali Di
Timor Barat Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh HENNY NURAINI, RUDY
PRIYANTO dan EDDIE GURNADI.
Timor Barat merupakan salah satu daerah penghasil sapi Bali. Umumnya
sistem pemliharaan ternak sapi Bali adalah sistem pemeliharaan secara ekstensif
dan sistem pemeliharaan semi intensif. Manajemen pemeliharaan adalah salah satu
faktor yang mempengaruhi produktivitas dari ternak. Terdapat berbagai
sumberdaya peternakan yang digunakan dalam memelihara ternak, dengan
demikian produksi yang dihasilkan juga akan beragam. Penelitian ini untuk
mengetahui produktivitas karkas dan mutu daging sapi Bali di Timor Barat Nusa
Tenggara Timur. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di Rumah
Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Pengumpulan data pengukuran produktivitas
karkas dilakukan di RPH Aldia, sedangkan analisis sifat fisik daging dilakukan di
Laboratorium Umum Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan Laboratorium Ilmu
Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Materi yang digunakan adalah sapi Bali jantan dan betina. Untuk mengetahui
produktivitas karkas, digunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial, 2X3
yaitu 2 jenis kelamin (kelamin jantan dan betina) dan 3 kelompok bobot potong
(< 190 kg, 191-220 kg, > 201 kg) dengan jumlah ulangan maksimal 63, sedangkan
untuk mengetahui sifat fisik daging sapi Bali digunakan Rancangan Acak Lengkap
Pola Faktorial 2X3 yaitu 2 jenis kelamin (kelamin jantan dan betina) dan 3
kelompok umur (I2, I3 dan I4) dengan jumlah ulangan 36 .
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin
dan kelompok bobot potong terhadap produktivitas karkas, namun masing-masing
faktor berpengaruh nyata terhadap produktivitas dan potongan komersial karkas.
Hasil analisis juga menunjukkan terdapat interaksi antara jenis kelamin dan umur
terhadap keempukan daging, sedangkan tidak ada interaksi terhadap pH, susut
masak, daya mengikat air, warna daging dan warna lemak. Ternak jantan
menghasilkan produktivitas dan potongan komersial yang lebih tinggi dibanding
betina dengan semakin tinggi bobot potong. Baik sapi jantan maupun betina
mempunyai nilai keempukan yang sama pada umur kurang lebih 3 tahun. Untuk
memperoleh produktivitas karkas yang tinggi sebaiknya dipilih ternak jantan.
Kata kunci: karkas, kualitas daging, sapi Bali

18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Timor Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki populasi ternak
sapi Bali terbesar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni 419 644 ekor (Statistik
Peternakan NTT 2006). Keberadaan ternak sapi bagi masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sehari-hari karena ternak sapi lebih diandalkan dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi. Sapi Bali sebagai penghasil daging di daerah ini
juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan daging bagi restoran-restoran, hotel
dan industri pengolahan daging yang ada di kota Kupang dan sekitarnya.
Produktivitas dari seekor ternak sangat berhubungan dengan faktor genetik
dan lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang menentukan kemampuan
produksi karena penampilan suatu sifat tergantung pada gen-gen yang dimiliki
oleh ternak, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor pendukung bagi
ternak agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Sobang
(1997) mengemukakan bahwa manajemen atau sistem pemeliharaan sapi potong
di Timor Barat masih sederhana, hal ini dapat dilihat dari penggunaan saranasarana produksi yang masih mengandalkan sumberdaya alam yang tersedia secara
lokal dengan harga yang relatif murah. Selanjutnya dikatakan bahwa manajemen
atau sistem pemeliharaan ternak di Timor Barat berbeda-beda dalam
memanfaatkan sumberdaya alam.
Sistem pemeliharaan ternak sapi Bali yang dilakukan oleh masyarakat di
Timor Barat umumnya adalah pemeliharaan secara ekstensif yaitu ternak
digembalakan di padang penggembalaan secara terus menerus dan semi intensif
dengan cara ternak digembalakan pada waktu siang dan dikandangkan pada
malam hari (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Sistem pemeliharaan yang
dilakukan bervariasi terutama dalam penggunaan sumber daya alam diantaranya
pakan, ternak, lahan maupun topografi. Beragamnya sumberdaya alam yang
digunakan maka produksi atau bobot badan yang dihasilkan juga bervariasi yang
berpengaruh pada produktivitas karkas dan mutu daging yang dihasilkan.

19

Produktivitas karkas dan mutu daging sapi Bali di Timor Barat, Nusa
Tenggara Timur perlu dikaji, untuk itu penelitian ini dilakukankan.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui produktivitas karkas dan mutu
daging sapi Bali di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada:
1. Masyarakat tentang produktivitas karkas dan mutu daging sapi Bali di Timor
Barat, Nusa Tenggara Timur.
2. Pemerintah dan instansi-instansi terkait dalam rangka pengembangan sapi
Bali di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur.

20

TINJAUAN PUSTAKA
Produktivitas
Produktivitas atau kemampuan berproduksi ternak dapat diartikan sebagai
kemampuan berproduksi dari seekor ternak. Sobang (1996) mengemukakan
produktivitas yang dimaksudkan dalam usaha pemeliharaan ternak sapi adalah
produksi yang dihasilkan selama proses pemeliharaan berlangsung yang
ditunjukkan oleh pertambahan bobot badan yang dihasilkan selama periode
tersebut. Produktivitas ternak ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya pakan,
tatalaksana, pemuliabiakan dan pemasaran.
Secara umum produktivitas ternak ditentukan oleh tiga faktor yaitu faktor
genetik, lingkungan dan umur ternak. Faktor genetik adalah potensi yang dimiliki
ternak sejak terjadinya persatuan antara sel telur dan spermatozoa. Potensi ini
tidak akan berubah selama tidak terjadi mutasi. Pengukuran produksi pada suatu
waktu tertentu menggambarkan potensi pada waktu itu. Produktivitas dari seekor
ternak dapat juga dinilai dari segi reproduksi, produksi dan mutu daging yang
dihasilkan.
Sapi Bali
Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil
domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Hardjosubroto (1994) mengemukakan
bahwa ditinjau dari sistematika ternak, sapi Bali termasuk Familia: Bovidae,
Genus: Bos, Subgenus: Bibovine. Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada
tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya
dilakukan pada tahun 1920 dan 1927. Penyebaran sapi Bali ke Lombok mulai
dilakukan pada abad ke-19 yang dibawa oleh raja-raja pada zaman itu dan sampai
ke pulau Timor antara tahun 1912 dan 1920 yang bertujuan menyebarkan dan
memperbaiki mutu genetik sapi lokal serta meningkatkan pendapatan peternak,
maka pemerintah memprioritaskan penggunaan sapi Bali ke seluruh Nusantara
terutama di daerah transmigrasi dan daerah Indonesia bagian timur salah satunya
NTT.
Sapi Bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan dengan
meningkatnya laju pertambahan bobot badan. Amril et al. (1990) mengemukakan

21

bahwa rataan laju

pertambahan bobot badan sapi Bali yang diberi rumput

lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah 175.75 g/ekor/hari, dan
pertambahan berat badan hariannya meningkat jika diberi pakan tambahan
konsentrat 1.8 % hingga mencapai 313.88 g/ekor/hari. Selanjutnya dilaporkan
bahwa laju pertambahan berat badan sapi Bali mencapai 690 dan 820 g/ekor/hari
berturut-turut bagi ternak yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu ditambah
konsentrat 1 %.
Pane (1991) mengemukakan bahwa pubertas sapi Bali dicapai pada
kisaran umur 20–24 bulan untuk sapi betina, sedangkan pada jantan dicapai pada
umur 24–28 bulan. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa sapi Bali
mempunyai tingkat kesuburan yang sangat baik dan walaupun dalam kondisi
lingkungan yang kurang baik sapi Bali masih mampu mempertahankan sifat ini.
Sapi Bali di Timor Barat
Para peternak di Timor Barat (pulau Timor) telah lama memelihara ternak
seperti sapi, kerbau, kuda, babi, kambing maupun ayam buras, tetapi daerah ini
dikenal sebagai penghasil ternak sapi Bali. Sapi Bali dimasukkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1912 dan ditempatkan di pulau Timor. Tujuan
dimasukkan ternak ini untuk memperkuat ekonomi masyarakat, konsumsi lokal
dan nasional. Sapi Bali sudah dipelihara di NTT hampir satu abad sehingga
disebut sebagai sapi Bali Timor (Statistik Peternakan NTT 2006).
Usaha peternakan ini telah lama dikenal oleh masyarakat dan telah
menyatu dengan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Dari
berbagai jenis ternak yang diusahakan, ternak sapi merupakan ternak yang paling
banyak diandalkan dalam kehidupan ekonomi masyarakat sehingga menjadi
komoditas unggulan NTT (Nulik dan de Rosari 2004). Kawasan Timor Barat,
memiliki populasi sapi terbanyak di NTT yakni sebesar 419 644 ekor yang
tersebar secara tidak merata di 4 Kabupaten yaitu kabupaten Kupang, Timor
Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu

(Statistik

Peternakan NTT 2006).
Jelantik (2005) mengemukakan bahwa produktivitas sapi Bali yang
dipelihara secara ekstensif tradisional (digembalakan) adalah 9.46%, sedangkan
angka kelahiran sebesar 63.5%. Selanjutnya dilaporkan bahwa angka tersebut

22

bervariasi antara desa yang satu dengan yang lain yakni dari 51.1% sampai 73.4%.
Malessy et al. (1990) mengemukakan bahwa pertambahan berat badan sapi Bali di
Timor tergantung pada persediaan dan mutu pakan. Pertambahan berat badan akan
meningkat pada musim hujan, namun akan menurun kembali selama musim
kemarau, hal ini terkait dengan ketersediaan pakan yang dipengaruhi oleh musim.
Sistem Pemeliharaan Sapi Bali di Timor Barat
Secara umum sistem pemeliharaan ternak sapi dapat dibagi menjadi 3
macam yaitu ekstensif, intensif dan semi intensif. Pemeliharaan sapi secara
ekstensif adalah ternak dilepas di padang penggembalaan dan sapi-sapi mencari
makan sendiri tanpa campur tangan peternak. Pemeliharaan secara intensif
dilakukan dengan cara ternak diikat secara terus-menerus di kandang dan peternak
yang memberi makan, sistem pemeliharaan kombinasi antara ekstensif dan
intensif yakni ternak dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak
digembalakan.
Kedang dan Nulik (2004) mengemukakan bahwa pemeliharaan ternak di
Timor Barat dengan cara digembalakan ini sangat dominan di NTT dengan
mengandalkan rumput alam dalam meningkatkan produktivitas ternak. Sistem
pemeliharaan yang masih sederhana menyebabkan penampilan produksi dan
reproduksi belum diperhatikan secara maksimal, demikian pula dengan biaya
pemeliharaan. Ternak bagi sebagian masyarakat petani, masih berfungsi sebagai
tabungan yang dapat dijual sewaktu-waktu ketika mereka dibutuhkan uang tunai.
Nulik dan Bamualim (1998) mengemukakan bahwa pola pemeliharaan ternak di
Nusa Tenggara Timur bervariasi dan didominasi oleh pemeliharaan secara
ekstensif dan semi-intensif, sedangkan pola pemeliharaan secara intensif masih
relatif sedikit.
Penampilan Produksi dan Reproduksi Sapi Bali di Timor Barat Nusa
Tenggara Timur
Kemampuan produksi seekor ternak dapat dilihat dari berbagai sifat yang
dianggap sebagai indikator dari produktivitas ternak yaitu bobot lahir, bobot
sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas dan
penampilan reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, calving interval

23

dan persentase beranak. Pada Tabel 1 diperlihatkan penampilan produksi dan
reproduksi sapi Bali di Nusa Tenggara Timur.
Tabel 1 Penampilan produksi dan reproduksi sapi Bali di Nusa Tenggara Timur
Sifat produksi (kg)
Bobot lahir
Bobot sapih
Bobot umur 1 tahun
Bobot saat pubertas
Bobot dewasa induk
Sifat Reproduksi
Umur pubertas betina (bulan)
Umur pubertas jantan (bulan)
Persentase beranak (%)
Jarak beranak (hari)
Conception rate (%)

Nilai
11.9 ± 1.8
79.2 ± 18.2
100.3 ± 12.4
179.8 ± 14.8
221.5 ± 45.6
Nilai
23
26
70
521
85.9

Sumber: Talib et al. (2003)

Pakan Sapi Bali di Timor Barat
Pakan merupakan salah faktor yang sangat penting untuk kebutuhan hidup
ternak baik untuk kebutuhan hidup pokok, maupun untuk pertumbuhannya.
Ketersediaan pakan yang cukup sepanjang tahun akan sangat menentukan tingkat
produktivitas dan keberhasilan dari ternak tersebut. Timor Barat yang dikenal
mempunyai iklim yang relatif kering maka ketersediaan dipengaruhi oleh musim
hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan ketersediaan pakan melimpah,
namun sebaliknya pada musim kemarau ketersediaan pakan baik dalam jumlah
maupun kualitas menurun, dengan demikian terjadi fluktuasi produktivitas sapi
yang dapat dilihat dari bobot badan yang meningkat pada musim hujan dan
sebaliknya menurun pada musim kemarau (Bamualim dan Wirdahayati 1996).
Pakan utama sapi Bali di Timor Barat pada umumnya adalah rumput alam
yang ada di padang penggembalaan, namun ketersediaannya sangat berfluktuasi
disesuaikan dengan musim. Oleh karena itu peranan pakan yang berasal dari luar
padang penggembalaan sangat penting terutama pada musim kemarau dan
khususnya bagi daerah yang mempunyai kepadatan ternak lebih tinggi seperti di
Timor Barat.
Hasil penelitian Wirdahayati dan Bamualim (1996) bahwa peranan petani
peternak dalam menyediakan pakan bagi ternaknya sangat mempengaruhi
produktivitas dari ternak yang dipeliharanya. Selanjutnya dikatakan bahwa jenis

24

pakan yang diberikan petani pada ternak yang dipelihara cukup bervariasi
diantaranya lamtoro, king grass, dan hijauan pohon lokal seperti tanaman busi
(Melochia umbelata), daun kabesak (Acacia leucophloea), daun kapok (Ceiba
petandra), batang pisang, jerami jagung. Pemberian batang pisang pada ternak
hanya dilakukan pada musim kemarau yakni antara bulan Juni hingga September
dan hanya digunakan sebagai pengganti air minum bagi ternak. Dengan demikian
jenis dan jumlah pakan yang diberikan petani bervariasi dan disesuaikan dengan
ketersediaannya.
Bamualim dan Wirdahayati (2006) mengemukakan bahwa mutu pakan di
daerah lahan kering seperti di NTT dipengaruhi oleh musim, dan ada tiga unsur
kandungan pakan yang dipengaruhi oleh musim antara lain kandungan protein,
mineral dan serat kasar yang terkandung dalam pakan. Pada musim kemarau
terjadi kecepatan tumbuh dan penuaan tanaman sehingga serat kasar meningkat
dan menyebabkan rendahnya konsumsi ternak sebagai akibat dari lambatnya
proses pencernaan pakan.
Produktivitas Karkas Sapi Bali
Ditinjau dari segi produksi dan suplai daging dari sapi potong,
produktivitas diukur dari produksi daging rata-rata untuk setiap unit ternak atau
setiap ekor ternak. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa berat karkas, jumlah
daging yang dihasilkan, kualitas daging dari karkas yang bersangkutan serta
potongan karkas yang dapat dijual merupakan faktor-faktor yang menentukan
nilai produktivitas karkas dari seekor ternak.
Kempster et al. (1982) mengemukakan bahwa nilai dari sebuah karkas
tergantung pada ukuran, struktur dan komposisi. Struktur dan karakteristik karkas
dapat ditentukan oleh proporsi dari jaringan (otot, lemak dan tulang), distribusi
jaringan pada karkas, ketebalan otot dan komposisi kimia serta sifat fisik dari
jaringan dan kualitas daging. Swatland (1984) mengemukakan bahwa
produktivitas karkas dapat ditentukan dengan indikator-indikator kualitas karkas
yang meliputi: 1) bobot karkas, 2) ketebalan lemak sub kutan, 3) luas urat daging
mata rusuk, 4) lemak penyelubung ginjal, pelvic dan jantung.

25

Bobot Karkas
Salah satu peubah dalam sistem evaluasi karkas adalah bobot karkas.
Karkas bukanlah merupakan prediktor produktivitas karkas yang baik karena
terdapat variasi di antara bangsa, nutrisi dan pertumbuhan jaringan sehingga
mengakibatkan penurunan tingkat akurasi. Untuk memperkecil sumber keragaman
tersebut bobot karkas dikombinasikan dengan variabel lain seperti tebal lemak sub
kutan dan luas urat daging mata rusuk dalam memprediksi bobot komponen
karkas.
Preston

dan

Willis

(1982)

mengemukakan

bahwa

faktor

yang

mempengaruhi persentase karkas adalah pakan, umur, bobot hidup, jenis kelamin,
hormon, bangsa dan konformasi. Kempster et al. (1982) menyatakan bahwa nilai
komersial dari karkas pada akhirnya akan tergantung pada ukuran, struktur dan
komposisinya dimana sifat-sifat struktural karkas yang utama untuk kepentingan
komersial adalah terdiri atas bobot, proporsi jaringan utama karkas, distribusi
jaringan-jaringan karkas, ketebalan lemak, komposisi serta penampilan luar dari
jaringan tersebut dan kualitas daging.
Sapi Bali memiliki persentase karkas yang tinggi, lemaknya sedikit, serta
perbandingan tulang dengan dagingnya rendah. Selama ini sapi Bali dijual untuk
memenuhi kebutuhan pasar lokal seperti rumah tangga, hotel, restoran, industri
pengolahan daging di daerah Jakarta, Bali dan Surabaya. Pada Tabel 2
diperlihatkan penampilan produksi karkas sapi Bali.
Tabel 2 Persentase karkas dan kualitas daging sapi Bali
Sifat karkas
Persentase Karkas a (%)
Komposisi karkas (kg/100 kg) b
- Tulang
- Daging
- Lemak
Komposisi kimia daging (%) b
- Kadar air
- Protein
- Lemak
- Abu
Marbling b
Warna daging b
Sumber: a=Payne dan Rollinson (1973); b=Arka (1990)

Nilai
52-57.7
14.72-16.95
69.24-71.03
13.81-14.25
72.07-74.93
19.65-21.28
2.01-6.68
1.17-1.78
0
Merah coklat tua

26

Persentase karkas sapi Bali cukup tinggi jika dilihat dari segi produksi
karkas, yaitu berkisar antara 52–57.7 % (Tabel 2), lebih tinggi dibandingkan sapi
Ongole dan sapi Madura yang dilaporkan Moran (1979) berturut-turut sebesar
51.9 dan 52.5%. Sapi Bali betina dewasa memiliki nilai karkas sebesar 56%. Hasil
penelitian Arka (1990) dikemukakan bahwa kandungan lemak daging sapi Bali
cukup rendah kurang dari 4% dan daging sapi Bali tidak mempunyai marbling.
Kualitas daging sapi sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor
eksternal. Faktor internal meliputi potensi genetik, umur, jenis kelamin, lokasi
anatomi daging dan kesehatan ternak. Faktor eksternal meliputi pakan ternak,
perlakuan

saat

sebelum

disembelih,

kebersihan

tempat

dan

alat-alat

penyembelihan, perlakuan mulai pengangkutan sampai ke tempat penjualan.
Ditinjau dari bentuk badan yang kompak dan serasi sapi Bali dapat
digolongkan sebagai sapi penghasil daging. Sapi Bali mempunyai berat hidup
rata-rata dan tergolong tipe sedang dengan bobot hidup rata-rata untuk jantan
dapat mencapai 450 kg sedangkan betina 250-300 kg dengan persentase karkas
dapat mencapi 57% (Santoso at al. 1995 dikutip Kanahau 2005).
Hasil penelitian Oematan (2000) pada sapi Bali jantan yang diberi 3
macam ransum yang mengandung imbangan energi metabolisme dan protein
kasar yang berbeda yaitu energi-tinggi dan protein-tinggi, energi-tinggi dan
protein-sedang dan energi-sedang protein-tinggi diperoleh persentase karkas
secara berturut-turut 57.85 %, 57.81 % dan 55.64 %.
Persentase karkas
Persentase karkas biasanya digunakan untuk menyatakan hasil karkas
yakni perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong yang dinyatakan
dalam persen. Persentase karkas dapat ditentukan berdasarkan bobot karkas panas
atau segar ataupun bobot karkas layu (Forest et al. 1975). Jika karkas panas
dihitung berdasarkan karkas layu, akan terjadi penyusutan bobot sekitar 2-3% dari
bobot karkas panas yang hilang sebagai drip. Preston dan Willis (1982)
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas antara
lain: pakan, umur, bobot hidup, hormon, bangsa sapi serta konformasi. Persentase
karkas akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong.

27

Tebal Lemak Punggung
Lemak sub kutan merupakan salah satu indikator produktivitas karkas.
Tebal lemak sub kutan pada rusuk ke 12 dan 13 menunjukkan hubungan yang erat
dengan persentase lemak karkas dan persentase daging. Swatland (1984)
mengemukakan bahwa tebal lemak punggung adalah tebal lemak sub kutan yang
diukur antara rusuk 12 dan 13 di atas urat daging mata rusuk pada posisi tiga per
empat panjang irisan melintang urat daging mata rusuk. Tebal lemak punggung
juga merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan perlemakan
karkas. Selanjutnya dikatakan bahwa banyaknya lemak sub kutan yang menutupi
karkas merupakan faktor penting dalam menentukan nilai karkas dengan
mengukur ketebalan lemak punggung. Besarnya proporsi urat daging karkas dapat
ditentukan oleh luas urat daging mata rusuk (Longissimus dorsi et lumbarum),
sedangkan proporsi lemak karkas ditentukan oleh tebal lemak punggung.
Oematan (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan kompensasi sapi
Bali jantan yang diberi 3 macam ransum yang mengandung imbangan energi
metabolisme dan protein kasar yang berbeda diperoleh tebal lemak punggung
secara berturut-turut 6.50 mm, 7.88 mm dan 5.85 mm.
Luas Urat Daging Mata Rusuk
Luas daerah mata rusuk merupakan indikator perdagingan yang umum
digunakan. Daging tanpa lemak merupakan komponen karkas terbesar dan
bernilai tinggi baik ditinjau dari segi nutrisi maupun ekonomi. Luas urat daging
mata rusuk tidak dapat digunakan sebagai indikator tunggal dalam menduga
produksi daging melainkan hanya sebagai pelengkap saja. Luas urat daging mata
rusuk dipengaruhi oleh bobot hidup dan berkorelasi positif dengan bobot karkas.
Pada sapi jantan peranakan ongole, setiap pertambahan 1 cm luas urat
daging mata rusuk akan meningkatkan bobot karkas 2.90 kg. Hasil penelitian
yang dikemukakan oleh Moran (1979) bahwa urat daging mata rusuk sapi
Madura, Ongole, Bali berturut-turut adalah 62, 61 dan 64 cm2. Hasil penelitian
Oematan (2000) dilaporkan bahwa pertumbuhan kompensasi sapi Bali jantan yang
diberi tiga macam ransum yang mengandung imbangan energi dan protein yang
berbeda maka luas urat daging mata rusuk secara berturut-turut adalah 66, 61 dan
64 cm2.

28

Persentase Lemak Ginjal, Pelvic dan Jantung
Forest et al. (1975) mengemukakan bahwa produktivitas karkas juga dapat
dinilai berdasarkan lemak penyelubung ginjal, pelvic dan jantung. Banyaknya
lemak ini bervariasi dan merupakan faktor penting dalam menentukan nilai
potongan karkas. Selama pertumbuhan persentase lemak akan bertambah dan jika
perlemakan berlebihan akan menurunkan proporsi daging yang dihasilkan.
Komposisi Karkas Sapi
Komposisi karkas dapat berbeda dalam bangsa yang sama, setiap bangsa
ternak menghasilkan karkas dan karakteristiknya sendiri, misalnya pada ternak
sapi Angus cenderung untuk menimbun lemak intramuskuler. Perbedaan antara
bangsa sapi tipe perah dan sapi pedaging adalah ciri distribusi lemak di antara
depot-depot lemak (Forrest et al. 1975). Selanjutnya dikatakan bahwa sapi tipe
perah cenderung mempunyai proporsi lemak ginjal dan pelvis yang lebih tinggi,
sedangkan lemak sub kutannya lebih rendah dibanding tipe potong.
Soeparno (2005) mengemukakan bahwa proporsi tulang, otot dan lemak
sebagai komponen utama karkas dipengaruhi oleh faktor nutrisi, umur, berat
hidup dan kadar laju pertumbuhan. Williams (1982) mengemukakan bahwa
perbedaan komposisi tubuh atau karkas di antara bangsa ternak terutama
disebabkan oleh perbedaan ukuran atau berat tubuh dewasa. Proporsi komponen
karkas dapat ditentukan dengan 3 cara, antara lain 1) menyeleksi keseluruhan
karkas dengan memisahkan otot atau daging dari tulang (deboning) kemudian
lemaknya, 2) membagi karkas ke dalam potongan komersial kemudian
memisahkan lemak, otot, tulang dari potongan karkas tersebut, 3) memisahkan
potongan rusuk ke 9, 10 dan 11 sebagai sampel proporsi komponen karkas.
Perbedaan komposisi tubuh dan karkas terutama disebabkan oleh
perbedaan ukuran tubuh atau bobot pada saat dewasa. Perbandingan komposisi
karkas antara bangsa sapi tipe besar dan kecil didasarkan pada berat yang sama,
maka bangsa sapi tipe besar akan lebih berdaging (lean), proporsi tulang lebih
tinggi, lemak lebih rendah daripada bangsa sapi tipe kecil (Wiliams 1982).
Perbedaan ini disebabkan karena pada berat yang sama bangsa tipe besar secara
fisiologis lebih muda.

29

Komposisi karkas biasanya bervariasi tergantung pada target bobot tubuh
dewasa dan maturitas. Rasio daging dan tulang serta rasio daging lemak dapat
menggambarkan proporsi daging tanpa lemak (lean), pada tingkat perlemakan
yang sama. Jika terdapat perbedaan semata-mata disebabkan deposisi lemak sub
kutan, intermusculer, intramuscular, lemak ginjal dan lemak pelvis yang berbeda
(Kempster et al. 1982). Bobot potong dapat mempengaruhi distribusi relatif
daging (lean), lemak dan tulang dari keseluruhan bagian tubuh ternak. Apabila
ternak dipotong pada rata-rata berat dewasa tubuh yang hampir sama, diperoleh
bahwa perbedaan laju pertumbuhan dan hasil daging eceran relatif kecil.
Pengaruh Bobot Potong terhadap Karkas Sapi
Soeparno (2005) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan, nutrisi, umur
dan berat tubuh adalah faktor-faktor yang berhubungan erat antara satu dengan
yang lain dan biasanya secara individu atau kombinasi mempengaruhi komposisi
tubuh atau karkas. Variasi komposisi tubuh atau karkas sebagian besar didominasi
oleh variasi berat tubuh, sebagian kecil dipengaruhi oleh umur. Selanjutnya
dikemukakan bahwa berat tubuh mempunyai hubungan yang erat dengan
komposisi tubuh dan variasi komponen tubuh yang terbesar adalah lemak.
Pada ternak sapi, dengan bertambahnya umur terjadi peningkatan
pertumbuhan organ-organ dan terutama depot lemak serta peningkatan persentase
komponen lainnya seperti otot dan tulang. Soeparno (2005) mengemukakan
bahwa deposisi lemak pada sapi merupakan fungsi linear dari waktu dan umur
misalnya laju deposisi lemak bisa konstan tetapi persentase lemak tubuh
meningkat pada saat ternak dewasa dan struktur lain berhenti bertumbuh.
Demikian pula dengan adanya kenaikan berat karkas maka proporsi otot, tulang
dan fasia serta tendo menurun sedangkan proporsi lemak meningkat.
Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan bahwa

proporsi jaringan

tulang, daging dan lemak akan dipengaruhi oleh umur, bangsa, bobot tubuh, jenis
kelamin dan makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa lemak akan ditimbun selama
pertumbuhan dan perkembangan sehingga karkas ternak dewasa dapat
mengandung lemak sampai sekitar 30-40%. Tingkat perlemakan sangat
menentukan kapan ternak tersebut harus dipotong dan pemotongan ternak
sebaiknya dilakukan pada saat perlemakan mencapai tingkat yang optimum.

30

Soeparno (2005) mengemukakan bahwa pada berat hidup yang lebih tinggi
jenis kelamin dapat mempengaruhi komposisi karkas, namun pengaruh jenis
kelamin ini baru dapat terjadi setelah mencapai fase pertumbuhan penggemukkan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa perbedaan komposisi karkas antara jenis
kelamin terutama disebabkan oleh steroid kelamin. Pada berat tubuh yang sama
jumlah lemak sapi, domba dan babi bervariasi, pada sapi jumlah lemak betina dara
lebih besar daripada jantan kastrasi dan keduanya lebih besar daripada sapi
pejantan.
Mutu Daging
Menurut Forrest et al. (1975) mutu daging ditentukan oleh keempukan
(tenderness), lemak intramuskular (marbling), tekstur, aroma, warna, sari minyak
(juiciness), cita rasa (flavour), hilangnya air selama perebusan atau susut masak
(cooking loss), daya mengikat air oleh protein daging (water holding capacity)
dan pH daging. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa parameter spesifik untuk
menilai kualitas fisik daging meliputi:
1) Warna
Warna adalah salah satu penentu kualitas daging. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas daging antara lain: pakan, bangsa, spesies, umur, jenis
kelamin, stress, tingkat aktivitas dan tipe otot, pH dan ketersediaan oksigen.
Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu pigmen
daging mioglobin. Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin dan kondisi
kimia serta fisik yang terdapat dalam daging mempunyai peranan besar dalam
menentukan warna daging (Lawrie 1995).
Swatland (1984) mengemukakan bahwa perubahan konsentrasi mioglobin
otot selama pertambahan umur bisa disebabkan oleh peningkatan deposisi
mioglobin pada serabut merah atau peningkatan dari jumlah serabut merah.
Mioglobin otot terutama terkonsentrasi di dalam serabut merah jadi otot merah
terutama mengandung serabut berwarna merah.
Soeparno (2005) mengemukakan bahwa mioglobin sebagai salah satu dari
protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida tunggal terikat di
sekeliling suatu group heme yang membawa oksigen. Group heme tersusun dari
suatu atom Fe dan suatu cincin porfinin. Perbedaan warna di antara spesies

31

sebagian besar disebabkan konsentrasi mioglobin. Pada umumnya makin
bertambah umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat, tetapi
peningkatan ini tidak konstan.
Menurut Forrest et al. (1975) warna dapat dilihat dengan mata dan
merupakan hasil kombinasi dari berbagai atribut diantaranya hue = warna, chroma
= jumlah atau intensitas warna (misalnya merah, biru, hijau) dan value = nilai
terang atau gelap. Setiap warna dapat terbentuk dari campuran antara ketiga warna
utama dan jumlah yang dibutuhkan untuk membentuk suatu warna disebut nilai
tristimulus.
2) Daya mengikat air
Daya mengikat air oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk
mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar
misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno
2005). Daya mengikat air dipengaruhi oleh pH. Faktor yang menyebabkan
perbedaan daya mengikat air diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi
otot. Daya mengikat air oleh protein mempunyai pengaruh yang besar terhadap
sifat fisik daging diantaranya warna, tekstur, juiceus, keempukan dan susut masak
(Forrest et al. 1975). Selanjutnya dikatakan bahwa daya mengikat air adalah
kemampuan daging untuk mempertahankan air selama pengolahan seperti
pemotongan, penggilingan, pemanasan ataupun tekanan.
Penurunan daya mengikat air dapat diketahui dengan adanya eksudasi
cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip
pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak
(Soeparno 2005). Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai
pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara pH 5.0-5.1. Pada pH
isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama
dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih
tinggi dari pH isoelektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan
terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen
dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Begitupula pada pH lebih
rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat akses muatan positif
yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi banyak ruang untuk

32

molekul-molekul air. Dengan demikian nilai pH tinggi atau rendah dari titik
isoelektrik protein-protein daging, daya mengikat air meningkat (Forrest et al.
1975).
Pada fase prerigor daya mengikat air masih tinggi, akan tetapi secara
bertahap menurun seiring dengan penurunan pH dan jumlah adenosin tripospat
(ATP) jaringan otot. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti spesies,
umur, fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan
dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan
lemak intramuskular.
3) Nilai pH daging
Penurunan pH otot dan pembentukan asam laktat merupakan suatu hal
yang nyata terjadi pada otot selama berlangsungnya konversi otot menjadi daging.
Penurunan pH otot setelah pemotongan ternak banyak ditentukan oleh laju
glikolisis post mortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat yang
normalnya adalah 5.4-5.8. Stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi
hormon-hormon dan atau obat-obatan tertentu, spesies, individu ternak, macam
otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah
faktor-faktor yang menghasilkan variasi nilai pH daging (Soeparno 2005).
Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot pasca mati
tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan.
Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi
habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk
menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis an
aerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot
menjadi habis sehingga enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH
rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim
glikolitik (Lawrie 1995). Nilai pH ultimat daging setelah dipotong adalah sekitar
5.5, sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein
myofibril, umumnya glikogen tidak ditemukan pada pH 5.4-5.5.
Penurunan pH otot

post mortem juga bervariasi diantara ternak.

Penurunan pH karkas mempunyai hubungan erat dengan temperatur lingkungan
(penyimpanan), pH daging yang berhubungan dengan daya mengikat air, kesan

33

jus daging, keempukkan dan susut masak juga berhubungan dengan warna dan
sifat mekanik daging (daya putus, kohesi, adhesi, dan kekuatan tarik). Suatu
kenaikan pH daging akan meningkatkan jus daging dan menurunkan susut masak.
Perubahan pH pada daging akan mempengaruhi warna, daya menahan air,
keempukan, rasa, aroma, dan kualitas daging secara umum.
4) Susut masak
Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan.
Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang
potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging
dan penampang melintang daging (Soeparno 2005). Pemasakan yang relatif lama
akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak.
Susut masak menurun secara linear dengan bertambahnya umur ternak.
Misalnya pada sapi susut masak pada otot Semimembranosus yang dimasak pada
temperatur 800C selama 90 menit menurun dengan meningkatnya umur.
Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak.
5) Keempukan dan tekstur daging
Keempukan dan tekstur daging kemungkinan merupakan penentu yang
paling penting pada kualitas daging (Soeparno 2005). Tekstur menunjukkan
ukuran-ukuran serabut otot yang dibatasi oleh septum-septum perimiseal jaringan
ikat yang membagi otot secara longitudinal. Hewan-hewan jantan mempunyai
tekstur lebih besar dan sifatnya kasar dibanding dengan hewan betina, dan hewanhewan yang berkerangka besar mempunyai tekstur yang lebih besar dibanding
dengan hewan yang berkerangka kecil, begitupula dengan bangsa juga turut
mempengaruhi tekstur dari daging.
Lawrie (1995) mengemukakan bahwa urat-urat daging yang disusun
dengan pola serat kasar umumnya mempunyai tingkat pertumbuhan pasca lahir
yang paling besar seperti otot semimembranosus, mempunyai berkas urat-urat
daging yang disusun dengan pola serat yang halus mempunyai berkas kecil.
Selanjutnya dikatakan bahwa ukuran berkas tidak hanya ditentukan oleh jumlah
serat tetapi juga oleh ukuran serat. Ukuran kasar suatu tekstur akan meningkat
bersama dengan umur, tetapi dalam urat daging yang mempunyai serat kecil tidak
jelas k