SEROEPIDEMIOLOGI BRUCELLOSIS PADA SAPI BALI DI NUSA TENGGARA BARAT SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI KEJADIAN PENYAKIT.
SupportedBy:
<J?
�
.
-
.
,’
,i§
·
-
J
SEMINAR
NASIONAL SAINS
DAN
TEKNOLOGI II
2015
lnovasi Humaniora,
Sains dan Teknologi
untuk Pembangunan
Berkelanjutan
KUTA.29-30 OKTOBER 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS
&
TEKNOLOGI 112015
lnoY.asi Humaniora, Sains dan Teknologi
untuk Pembangunan Berkelanjutan
(2)
iv | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Kuta, 29 - 30 Oktober 2015
Ni Made Ary Esta Dewi Wirastuti, S.T., MSc. PhD Prof. Dr. Drs. IB Putra Yadnya, M.A.
Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, M.S. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM.
Prof. Dr. drh. I Nyoman Suarsana, M.Si Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, M.P.
Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D Prof. Dr. Ir. Nyoman Gde Antara, M.Eng
Dra. Ni Luh Watiniasih, MSc, Ph.D Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes. Prof. Dr. Ir. I Made Alit Karyawan Salain, DEA.
Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.Sc., Ph.D. Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP, Ph.D dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, SpMK, Ph.D
Dr. Agoes Ganesha Rahyuda, S.E., M.T. Putu Alit Suthanaya, S.T., M.Eng.Sc, Ph.D.
I Putu Sudiarta, SP., M.Si., Ph.D. Dr. Ir. Yohanes Setiyo, M.P. Dr. P. Andreas Noak, SH, M.Si I Wayan Gede Astawa Karang, SSi, MSi, PhD.
Dr. Drh. I Nyoman Suarta, M.Si l
Udayana University Press, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Udayana 2015, xli + 2191 hal, 21 x 29,7
(3)
PENAMPILAN ITIK DIBERI RANSUM MENGANDUNG SEKAM PADI TERFERMENTASI
DISUPLEMENTASI DENGAN TEPUNG DAUN UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatasL)
Tjok. Gede OkaSusila, Tjok. Gede Belawa Yadnya dan Ni Gst. Ketut Roni ...910
PERFORMANS KELINCI LOKAL (LEPUS NIGRICOLLIS) YANG DIBERI PAKAN DASAR
RUMPUT LAPANGAN DISUPLEMENTASI MULTI NUTRIENT BLOCK (MNB) DENGAN ARAS BERBEDA
A.W. Puger, I.M Nuriyasa, dan E. Puspani ...916
PENGARUH BIOSUPLEMEN BERPROBIOTIK ASAL RAYAP TERHADAP PERFORMANS DAN PRODUKSI KARKAS ITIK BALI
Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi 1, I Nyoman Sutarpa Sutama2dan I Wayan Wijana ...922
PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI
MELALUI PENGGUNAAN BIBIT BEBAS VIRUS DAN TANPA GULMA
IDN Nyana1,2), IGRM Temaja1)K. Siadi ...928
SEROEPIDEMIOLOGI BRUCELLOSIS PADA SAPI BALI
DI NUSA TENGGARA BARAT SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI KEJADIAN PENYAKIT
I Nengah Kerta Besung1, Ni Ketut Suwiti1, I Gusti Ketut Suarjana ...936
KADAR MINERAL SAPI BALI DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
(The Levels Of Bali Cattle Mineral In West Nusa Tenggara Province)
Ni Ketut Suwiti1I Nengah Kerta Besung1, Ni Luh Watiniasih2, I Nyoman Puja ...943
APLIKASI SRI DENGAN SISTEM LEGOWO
UNTUK EFISIENSI IRIGASI DAN PRODUKTIVITAS BERAS MERAH
I Wayan Tika1), I Putu Gede Budisanjaya1), Sumiyati ...950
INTRODUKSI AGRO-EKOWISATA PADA SUBAK SIGARAN
Sumiyati , I W. Tika1, I.P.G. Budisanjaya ...959
RESPON TIGA KULTIVAR PADI BALI TERHADAP KEKERINGAN
Made Pharmawati, Ni Nyoman Wirasiti, IGA Sugi Wahyuni ...965
APLIKASI PATI TALAS KIMPUL TERMODIFIKASI PADA PEMBUATAN MIE INSTAN
I Nengah Kencana Putra, I Putu Suparthana dan Anak Agung Istri Sri Wiadnyani ...970
OPTIMASI PEMBUATAN KEJU LUNAK (SOFT CHEESE) DENGAN KULIT TANAMAN
RAMPELAS (FICUS AMPELAS) SEBAGAI KOAGULAN ALAMI
I Made Sugitha, Ni Nyoman Puspawati, dan AAI.Sri Wiadnyani ...977
(4)
936 | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEROEPIDEMIOLOGI BRUCELLOSIS PADA SAPI BALI
DI NUSA TENGGARA BARAT SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI
KEJADIAN PENYAKIT
I Nengah Kerta Besung1, Ni Ketut Suwiti1, I Gusti Ketut Suarjana1
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB Sudirman Denpasar
Email: [email protected] ABSTRACT
This study aimed to determine the incidence of brucellosis distribution maps along with the level of events in West Nusa Tenggara, especially in Dompu, Bima and West Sumbawa regency. A total of 300 serum samples derived from
3 districts in West Nusa Tenggara used sample. Serum was tested with Rose Bengal Test, which was con rmed by Complement xation Test (CFT). Data obtained in the form of serum samples positive and negative brucellosis on
testing with CFT, presented descriptively to explain the results seropositip and seronegatip of each sample. The results showed that all the samples came from the district of Sumbawa, Bima and Dompu reacted negatively to the RBT. The conclusion was that cattle on the island of Sumbawa not infected by brucellosis.
Keywords : Brucellosis, Complement Fixation Test, Bali cattle, West Nusa Tenggara ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta sebaran kejadian brucellosis beserta tingkat kejadiannya di Nusa Tenggara Barat khususnya di Kabupaten Dompu, Bima dan Kabupaten Sumbawa Barat. Sebanyak 300 sampel serum yang berasal dari 3 kabupaten di Nusa Tenggara Barat dipakai sampel penelitian. Serum diuji dengan Tes Rose
Bengal, yang dikon rmasi dengan uji ksasi komplement. Data yang diperoleh berupa serum sampel yang positif
dan negatif brucellosis pada pengujian dengan CFT, disajikan secara deskriptif dengan menjelaskan terhadap hasil seropositip dan seronegatip dari masing-masing asal sampel. Hasil penelitian menunjukkan semua sampel yang berasal dari Sumbawa, Bima dan Dompu bereaksi negatif pada uji RBT. Dengan demikian sapi yang ada Pulau Sumbawa tidak terinfeksi Brucellosis.
Keywords : Brucellosis, Uji Fiksasi Complemen, Sapi bali, Nusa Tenggara Barat.
1. PENDAHULUAN
Penyakit brucella atau yang dikenal dengan nama brucellosis dikatagorikan oleh Food and Agriculture Organisation (FAO), the World Health Organisation (WHO) dan the Of ce International
des Epizooties (OIE)sebagai salah satu penyakit zoonosis yang tersebar secara meluas di dunia [1]. Di Indonesia Brucellosis merupakan penyakit yang termasuk dalam Penyakit Hewan Karantina Golongan II berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 3238/Kpts/PD.630/9/2009, dan oleh Direktorat Jenderal Peternakan melalui SK No. 59 Tahun 2007, ditetapkan sebagai penyakit hewan menular strategis.
Penyakit ini terutama menyerang sapi, disamping itu juga dapat menyerang domba, kambing, babi, anjing dan berbagai hewan lain. Kebanyakan dari kasus penyakit ini tidak menunjukkan gejala klinis atau sub klinis, namun hewan yang terserang dapat berperan sebagai agen penularan. Gejala yang timbul akibat infeksi brucella adalah keguguran pada fase akhir kebuntingan, keluarnya cairan keluron, dan menimbulkan gangguan pertumbuhan. Manusia dapat terinfeksi brucellosis akibat kontak langsung atau mengkonsumsi
produk hewan terinfeksi dengan menimbulkan gejala demam seperti in uenza, berkeringat, sakit kepala,
sakit pada bagian punggung, bahkan pada beberapa kasus mampu menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, dan pada kasus kronis menimbulkan gangguan jantung [2].
Kejadian Brucellosis di Tanzania berkisar antara 12 – 20 % [3]. Sedangkan di negara tetangga
(5)
tahun 1979 telah telah menurun dan telah berhasil mendeklarasikan eradikasi brucellosis. Namun tahun 1996 kasus penyakit kembali meledak dengan angka kejadian sekitar 13%. Namun pada tahun 2005 dengan program vaksinasi dan eradikasi kasus dapat ditekan menjadi 1,8%.
Brucellosis di Indonesia bersifat endemis dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada sapi perah di Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah. Prevalensi kejadian Brucellosis di Pulau Madura tahun 2011 adalah sebesar 0.04% [5]. Pulau Bali, Pulau Lombok, Kalimantan dan Pulau Sumatra bagian tengah dinyatakan bebas brucellosis. Nusa Tenggara Timur termasuk pulau Timor dan Sumba, penyakit ini masih bersifat endemis. Kejadian penyakit di Pulau Sumbawa masih belum jelas. Hal ini karena wilayahnya berdekatan dengan Pulau Sumba dan lalu lintas ternak dari Sumba ke Sumbawa atau sebaliknya sering terjadi.
Pulau Sumbawa yang dikenal sebagai bumi sejuta sapi, mendapat ancaman yang serius terhadap kasus brucellosis [6]. Hal ini karena sistem pemeliharaan sapi masih bersifat tradisional, dan wilayah Sumbawa berdekatan dengan daerah endemis brucellosis. Lalu lintas sapi dari daerah endemis brucellosis
ke daerah sumbawa begitu juga sebaliknya sangat sulit dibendung. Secara geogra s letak Pulau Sumbawa
sangat berdekatan dengan daerah endemis brucellosis yaitu Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Alor. Adanya lalu lintas ternak yang tidak terkontrol akan membuka peluang terjadinya perpindahan penyakit dari daerah tertular ke daerah bebas.
Informasi peternak di Kabupaten Sumbawa mengungkapkan bahwa ada beberapa ternak sapi yang mengalami keguguran dan majir. Keguguran biasanya terjadi pada umur kebuntingan di atas 5 bulan. Kadang-kadang juga diikuti gejala klinis berupa keluron yang keluar dari vagina. Penyakit yang ditandai dengan keguguran dan diikuti dengan keluarnya keluron, patut dicurigai sebagai brucellosis. Namun sampai saat ini belum ada data tentang kejadian brucellosis di Nusa Tenggara Barat.
2. METODE DAN METODE
2.1. Bahan
Sampel diperoleh dari sapi yang dipelihara di Kabupaten Bima, Dompu dan Sumbawa Besar. Darah sapi dari ketiga Kabupaten tersebut dikoleksi dan diambil serumnya, lalu diuji dengan RBT dan CFT. Sebanyak 300 ekor sapi bali jantan dan betina yang sudah dewasa kelamin diambil serum dan darah penuh. Sampel ini berasal dari 100 ekor dari Kabupaten Dompu, 100 ekor dari Kabupaten Bima, dan 100 ekor sampel dari Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Darah tersebut diperoleh dengan mengambil darah sapi melalui vena jugularis dan diendapkan selama beberapa menit. Serum yang diperoleh ditampung dan disimpan pada suhu 200C.
Sebagai uji pendahuluan terhadap sampel dilakukan dengan uji RBPT (Rose Bengal Plate Test). Sampel yang menunjukkan reaksi positif atau aglutinasi tidak sempurna (dubius)dikon rmasi dengan uji
CFT.
2.2. Metode Uji RBT
Sampel serum, reagen dan antigen yang digunakan ditempatkan pada suhu ruangan (22 + 4oC),
selanjutnya sebanyak 25-30 µ l setiap serum dipipet ke dalam plate RBT atau WHO haemagglutination
plate. Lalu ditambahkan antigen Brucella dalam volume yang sama. Antigen dan serum dicampur segera dengan menggunakan pengaduk kaca / mikrotip sampai membentuk zona bulat atau oval dengan diameter
(6)
Positif 2 : Terjadi aglutinasi sedang yang ditandai dengan butiran seperti pasir dengan tepi pinggiran lebar yang dibentuk partikel aglutinasi.
Positif 3 : Terjadi aglutinasi sempurna yang ditandai dengan butiran sangat jelas dan kasar
Uji CFT
Setiap lubang cawan micro yang mempunyai dasar berbentuk U (U bottom) pada baris A masing-masing diisi serum sebanyak 0,05 ml (termasuk serum kontrol negatif dan positif), kemudian diinaktivasi pada suhu 58°C selama 30 menit di dalam penangas air. Setiap lubang cawan kecuali baris A di isi pengencer Barbital Buffer Saline (BBS) sebanyak 0,025 ml. Serum di encerkan dalam BBS dengan cara memindahkan 0,025 ml serum dari A ke lubang cawan di baris B, begitu seterusnya sampai baris H, sehingga diperoleh enceran serum 1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya. Setiap lubang cawan mikro mulai baris C sampai dengan H masing-masing diisi antigen sebanyak 0,025 ml. Mulai baris B sampai dengan H masing-masing lubang ditambah 0,025 ml komplemen. Semua lubang pada baris B ditambah pengencer 0,025 ml dan digunakan sebagai kontrol terhadap adanya aktivitas antikomplementer. Cawan-cawan ini kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Setelah masa inkubasi berakhir, setiap lubang cawan mulai dari baris B sampai dengan H masing-masing ditambah 0,025 ml eritrosit yang telah disensitifkan dengan hemolisin. Selanjutnya cawan-cawan ini diinkubasikan lagi pada temperatur 37°C selama 30 menit sambil dikocok dengan alat pengocok (shaker). Cawan-cawan mikro diputar pada kecepatan 2.000 rpm selama 5 menit atau didiamkan pada suhu 4°C semalam, lalu hasil reaksinya dibaca dengan kriteria sebagai berikut :
Negatif (-) : Terjadi hemolisis sempurna, cairan dalam lubang cawan berwarna merah, tidak ada endapan eritrosit didasar cawan
.+(+1) : Terjadi hemolisis hampir sempurna, cairan dalam cawan berwama merah, ada sedikit eritrosit didasar cawan
++(+2) : Sebagian besar hemolisis, cairan berwarna merah, endapan eritrosit agak melebar dengan tepi rata.
+++(+3) : Sebagian eritrosit tidak lisis, warna cairan agak merah, endapan eritrosit terlihat jelas. ++++(+4) : Tidak terjadi hemolisis, cairan dalam cawan bening, endapan eritrosit terlihat nyata dengan
batas pinggir rata.
Interpretasi hasil uji pengikatan komplemen : hasil reaksi ditentukan berdasarkan terjadinya 50% hemolisis pada pengenceran serum tertinggi. Serum dengan 'titer CFT 1/4 atau lebih dikategorikan positif
Analisis Data
Data yang diperoleh berupa serum sampel yang positif dan negatif brucellosis pada pengujian dengan CFT, disajikan secara deskriptif dengan menjelaskan terhadap hasil seropositip dan seronegatip dari masing-masing asal sampel.
3. HASIL
Sebanyak 300 sampel serum dan darah penuh dikumpulkan dari masing-masing kabupaten di Pulau Sumbawa. Dalam hal ini setiap kabupaten diambil 100 sampel yang terdiri dari sapi dewasa jantan dan betina. Sapi yang diambil sampelnya diupayakan yang mengalami gangguan kesehatan seperti keguguran/ abortus atau bulunya berdiri. Pengambilan sampel ini melibatkan petugas dari karantina Sumbawa yang dibantu oleh peternak. Sapi yang diambil sampelnya dan tatacara pengambilan sampel dapat terlihat seperti gambar berikut :
Setelah dilakukan uji RBT pada sampel serum yang berasal dari Kabupaten Sumbawa, Bima, dan Dompu didapatkan hasil seperti Gambar 7.
(7)
(8)
Hasil di atas menunjukkan bahwa semua sampel tidak menunjukkan adanya aglutinasi, kecuali kontrol positip ( sampel no. 79). Begitu juga untuk dengan kontrol negatif (no. 78) tidak menunjukkan adanya aglutinasi. Begitu juga dengan sampel lainnya tidak menunjukkan adanya aglutinasi. Keseluruhan sampel yang berjumlah 300 sampel serum tidak ada yang menunjukkan adanya aglutinasi.
4. PEMBAHASAN
Dalam imunologi, aglutinasi mengacu pada penyatuan bersama-sama partikel. Proses ini sangat penting sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh, proses respon yang menggunakan organisme untuk melawan penyakit. Aglutinasi adalah proses pengikatan antigen oleh antibodi. Antigen yang berasal dari bakteri akan dikenali oleh tubuh sebagai benda asing. Sehingga tubuh memicu terbentuknya kekebalan
berupa produk antibodi yang spesi k terhadap antigen pemicunya. Antibodi memiliki setidaknya dua
lengan untuk mengikat antigen, sehingga mereka mampu mengikat dengan lebih dari satu bakteri. Adanya
ikatan antara antibodi dengan antigen yang bersifat spesi k ini membentuk gumpalan-gumpalan yang
besar.
(9)
Pada uji RBT yang diuji adalah mendeteksi adanya antibodi terhadap Brucella pada serum. Jika sapi terinfeksi brucella, maka tubuh akan menghasilkan antibodi yang berguna untuk melawan infeksi. Jika serum sampel yang diuji mengandung antibodi, maka penambahan antigen yang sudah diketahui sebagai antigen brucella, akan menimbulkan ikatan antara antigen dengan antibodi. Adanya ikatan ini ditandai dengan terbentuknya presipitasi atau gumpalan pada serum tersebut. Jika tidak ada antibodi terhadap brucella, maka tidak ada ikatan dengan antibodi sehingga sampel yang diuji tetap homogen.
Dengan tidak adanya aglutinasi pada keseluruhan sampel, berarti tidak ada antibodi pada sampel tersebut. Dengan kata lain, sapi yang dipakai tersebut terbebas dari infeksi brucella. Bebasnya Pulau Sumbawa dari penyakit brucella tidak terjadi begitu saja, melainkan karena kerja keras dari instansi terkait yang didukung oleh petani peternak. Pengendalian serta pemantauan penyakit dilakukan secara teratur dan terus menerus. Dalam 5 tahun terakhir pemerintah telah menerapkan Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit brucellosis di Indonesia dari Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 1998 yaitu dengan caratest and slaughterpada daerah tertular ringan (prevalensi<2%). Kejadian diatas 2% dilakukan vaksinasi selama 5 tahun berturut-turut [7]. Program ini juga diikuti pemantauan secara terus menerus terhadap kondisi ternaknya. Uji RBT secara rutin dilakukan, dan jika ditemukan hasil positif dilakukan pemotongan.
Pemantauan dan pengendalian penyakit juga dilakukan di pulau yang berdekatan dengan Pulau Sumbawa. Program test dan slaughter juga diberlakukan. Pulau Sumba yang pada awal tahun tahun 1990 merupakan daerah Brucellosis, namun kini sudah dinyatakan bebas. Turunnya SK MENTAN NO 52/ Kpts/PD.630/1/2015 yang menetapkan Pulau Sumba sebagai daerah bebas brucellosis merupakan bukti keberhasilan dalam penanganan penyakit brucella. Kedepannya semua wilayah di Nusa Tenggara Timur dicanangkan sebagai daerah bebas brucella.
5. KESIMPULAN
Sampel serum yang berasal dari Kabupaten Sumbawa, Bima dan Dompu tidak mengandung antibodi brucella, sehingga daerah Pulau Sumbawa terbebas dari penyakit Brucellosis
UCAPAN TERIMAKASIH
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : Menteri Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini, Rektor Universitas Udayana dan Ketua LPPM Universitas Udayana yang telah mengusulkan penelitian ini. Ucapan terimakasih juga kami tujukan kepada Dekan FKH Unud yang telah menyetujui penelitian ini. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar beserta staf Mikrobiologi yang telah membantu mengerjakan penelitian ini. Terimakasih juga kami tujukan kepada Kepala Stasiun Karantina Sumbawa beserta staf yang telah membantu dalam pengambilan sampel.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Schelling E, Diguimbaye C, Daoud S, Nicolet J, Boerlin P, Tanner M and Zinsstag J. 2003 Brucellosis and Q-fever seroprevalences of nomadic pastoralists and their livestock in Chad. Journal of Preventive Veterinary Medicine61: 279–293.
(10)
[4] Bahaman, Abdul Rani and Joseph, P. G. and Bejo, Siti Khairani (2007). A review of the Epidemiology and Control of Brucellosis in Malaysia. Jurnal Veterinar Malaysia, 19 (1).pp. 1-6. ISSN 9128-2506 [5] Samkhan, Purnomo, P.D., Susanta, D.H., Ikaratri, R., Niati, S., Parmini, T., Isnaini, M.F., 2011. Hasil Survei Seroepidemiologi Brucellosis pada Sapi Potong di Madura Tahap I. Tahun 2011.http:// bbvetwates.com/upload/perpustakaan/ Edisi_II_Vol_12_Nomor_1.pdf
[6] Talib, C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya. Balai Penelitian Ternak. Wartazoa Vo. 12 No. 2 Tahun 2002.
[7] Anonimus, 2011. Pedoman Pemantauan Brucellosis. Badan Karantina Pertanian.
(1)
tahun 1979 telah telah menurun dan telah berhasil mendeklarasikan eradikasi brucellosis. Namun tahun 1996 kasus penyakit kembali meledak dengan angka kejadian sekitar 13%. Namun pada tahun 2005 dengan program vaksinasi dan eradikasi kasus dapat ditekan menjadi 1,8%.
Brucellosis di Indonesia bersifat endemis dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada sapi perah di Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah. Prevalensi kejadian Brucellosis di Pulau Madura tahun 2011 adalah sebesar 0.04% [5]. Pulau Bali, Pulau Lombok, Kalimantan dan Pulau Sumatra bagian tengah dinyatakan bebas brucellosis. Nusa Tenggara Timur termasuk pulau Timor dan Sumba, penyakit ini masih bersifat endemis. Kejadian penyakit di Pulau Sumbawa masih belum jelas. Hal ini karena wilayahnya berdekatan dengan Pulau Sumba dan lalu lintas ternak dari Sumba ke Sumbawa atau sebaliknya sering terjadi.
Pulau Sumbawa yang dikenal sebagai bumi sejuta sapi, mendapat ancaman yang serius terhadap kasus brucellosis [6]. Hal ini karena sistem pemeliharaan sapi masih bersifat tradisional, dan wilayah Sumbawa berdekatan dengan daerah endemis brucellosis. Lalu lintas sapi dari daerah endemis brucellosis ke daerah sumbawa begitu juga sebaliknya sangat sulit dibendung. Secara geogra s letak Pulau Sumbawa sangat berdekatan dengan daerah endemis brucellosis yaitu Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Alor. Adanya lalu lintas ternak yang tidak terkontrol akan membuka peluang terjadinya perpindahan penyakit dari daerah tertular ke daerah bebas.
Informasi peternak di Kabupaten Sumbawa mengungkapkan bahwa ada beberapa ternak sapi yang mengalami keguguran dan majir. Keguguran biasanya terjadi pada umur kebuntingan di atas 5 bulan. Kadang-kadang juga diikuti gejala klinis berupa keluron yang keluar dari vagina. Penyakit yang ditandai dengan keguguran dan diikuti dengan keluarnya keluron, patut dicurigai sebagai brucellosis. Namun sampai saat ini belum ada data tentang kejadian brucellosis di Nusa Tenggara Barat.
2. METODE DAN METODE
2.1. Bahan
Sampel diperoleh dari sapi yang dipelihara di Kabupaten Bima, Dompu dan Sumbawa Besar. Darah sapi dari ketiga Kabupaten tersebut dikoleksi dan diambil serumnya, lalu diuji dengan RBT dan CFT. Sebanyak 300 ekor sapi bali jantan dan betina yang sudah dewasa kelamin diambil serum dan darah penuh. Sampel ini berasal dari 100 ekor dari Kabupaten Dompu, 100 ekor dari Kabupaten Bima, dan 100 ekor sampel dari Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Darah tersebut diperoleh dengan mengambil darah sapi melalui vena jugularis dan diendapkan selama beberapa menit. Serum yang diperoleh ditampung dan disimpan pada suhu 200C.
Sebagai uji pendahuluan terhadap sampel dilakukan dengan uji RBPT (Rose Bengal Plate Test). Sampel yang menunjukkan reaksi positif atau aglutinasi tidak sempurna (dubius)dikon rmasi dengan uji CFT.
2.2. Metode Uji RBT
Sampel serum, reagen dan antigen yang digunakan ditempatkan pada suhu ruangan (22 + 4oC),
selanjutnya sebanyak 25-30 µ l setiap serum dipipet ke dalam plate RBT atau WHO haemagglutination plate. Lalu ditambahkan antigen Brucella dalam volume yang sama. Antigen dan serum dicampur segera dengan menggunakan pengaduk kaca / mikrotip sampai membentuk zona bulat atau oval dengan diameter sekitar 2 cm lalu campuran dibiarkan beragitasi selama kira-kira 4 menit pada temperature ruangan. Setelah 4 menit dilihat adanya aglutinasi dengan hasil : +1, +2, +3 atau negatif.
Pembacaan :
Negatif : Tidak ada aglutinasi/ campuran Antigen dengan serum homogen
Positif 1 : Terjadi aglutinasi ringan yang ditandai butiran halus dengan tepi dikelilingi partikel halus membentuk garis yang terputus-putus.
(2)
Positif 2 : Terjadi aglutinasi sedang yang ditandai dengan butiran seperti pasir dengan tepi pinggiran lebar yang dibentuk partikel aglutinasi.
Positif 3 : Terjadi aglutinasi sempurna yang ditandai dengan butiran sangat jelas dan kasar
Uji CFT
Setiap lubang cawan micro yang mempunyai dasar berbentuk U (U bottom) pada baris A masing-masing diisi serum sebanyak 0,05 ml (termasuk serum kontrol negatif dan positif), kemudian diinaktivasi pada suhu 58°C selama 30 menit di dalam penangas air. Setiap lubang cawan kecuali baris A di isi pengencer Barbital Buffer Saline (BBS) sebanyak 0,025 ml. Serum di encerkan dalam BBS dengan cara memindahkan 0,025 ml serum dari A ke lubang cawan di baris B, begitu seterusnya sampai baris H, sehingga diperoleh enceran serum 1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya. Setiap lubang cawan mikro mulai baris C sampai dengan H masing-masing diisi antigen sebanyak 0,025 ml. Mulai baris B sampai dengan H masing-masing lubang ditambah 0,025 ml komplemen. Semua lubang pada baris B ditambah pengencer 0,025 ml dan digunakan sebagai kontrol terhadap adanya aktivitas antikomplementer. Cawan-cawan ini kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Setelah masa inkubasi berakhir, setiap lubang cawan mulai dari baris B sampai dengan H masing-masing ditambah 0,025 ml eritrosit yang telah disensitifkan dengan hemolisin. Selanjutnya cawan-cawan ini diinkubasikan lagi pada temperatur 37°C selama 30 menit sambil dikocok dengan alat pengocok (shaker). Cawan-cawan mikro diputar pada kecepatan 2.000 rpm selama 5 menit atau didiamkan pada suhu 4°C semalam, lalu hasil reaksinya dibaca dengan kriteria sebagai berikut : Negatif (-) : Terjadi hemolisis sempurna, cairan dalam lubang cawan berwarna merah, tidak ada endapan
eritrosit didasar cawan
.+(+1) : Terjadi hemolisis hampir sempurna, cairan dalam cawan berwama merah, ada sedikit eritrosit didasar cawan
++(+2) : Sebagian besar hemolisis, cairan berwarna merah, endapan eritrosit agak melebar dengan tepi rata.
+++(+3) : Sebagian eritrosit tidak lisis, warna cairan agak merah, endapan eritrosit terlihat jelas. ++++(+4) : Tidak terjadi hemolisis, cairan dalam cawan bening, endapan eritrosit terlihat nyata dengan
batas pinggir rata.
Interpretasi hasil uji pengikatan komplemen : hasil reaksi ditentukan berdasarkan terjadinya 50% hemolisis pada pengenceran serum tertinggi. Serum dengan 'titer CFT 1/4 atau lebih dikategorikan positif
Analisis Data
Data yang diperoleh berupa serum sampel yang positif dan negatif brucellosis pada pengujian dengan CFT, disajikan secara deskriptif dengan menjelaskan terhadap hasil seropositip dan seronegatip dari masing-masing asal sampel.
3. HASIL
Sebanyak 300 sampel serum dan darah penuh dikumpulkan dari masing-masing kabupaten di Pulau Sumbawa. Dalam hal ini setiap kabupaten diambil 100 sampel yang terdiri dari sapi dewasa jantan dan betina. Sapi yang diambil sampelnya diupayakan yang mengalami gangguan kesehatan seperti keguguran/ abortus atau bulunya berdiri. Pengambilan sampel ini melibatkan petugas dari karantina Sumbawa yang dibantu oleh peternak. Sapi yang diambil sampelnya dan tatacara pengambilan sampel dapat terlihat seperti gambar berikut :
Setelah dilakukan uji RBT pada sampel serum yang berasal dari Kabupaten Sumbawa, Bima, dan Dompu didapatkan hasil seperti Gambar 7.
(3)
(4)
Hasil di atas menunjukkan bahwa semua sampel tidak menunjukkan adanya aglutinasi, kecuali kontrol positip ( sampel no. 79). Begitu juga untuk dengan kontrol negatif (no. 78) tidak menunjukkan adanya aglutinasi. Begitu juga dengan sampel lainnya tidak menunjukkan adanya aglutinasi. Keseluruhan sampel yang berjumlah 300 sampel serum tidak ada yang menunjukkan adanya aglutinasi.
4. PEMBAHASAN
Dalam imunologi, aglutinasi mengacu pada penyatuan bersama-sama partikel. Proses ini sangat penting sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh, proses respon yang menggunakan organisme untuk melawan penyakit. Aglutinasi adalah proses pengikatan antigen oleh antibodi. Antigen yang berasal dari bakteri akan dikenali oleh tubuh sebagai benda asing. Sehingga tubuh memicu terbentuknya kekebalan berupa produk antibodi yang spesi k terhadap antigen pemicunya. Antibodi memiliki setidaknya dua lengan untuk mengikat antigen, sehingga mereka mampu mengikat dengan lebih dari satu bakteri. Adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang bersifat spesi k ini membentuk gumpalan-gumpalan yang besar.
(5)
Pada uji RBT yang diuji adalah mendeteksi adanya antibodi terhadap Brucella pada serum. Jika sapi terinfeksi brucella, maka tubuh akan menghasilkan antibodi yang berguna untuk melawan infeksi. Jika serum sampel yang diuji mengandung antibodi, maka penambahan antigen yang sudah diketahui sebagai antigen brucella, akan menimbulkan ikatan antara antigen dengan antibodi. Adanya ikatan ini ditandai dengan terbentuknya presipitasi atau gumpalan pada serum tersebut. Jika tidak ada antibodi terhadap brucella, maka tidak ada ikatan dengan antibodi sehingga sampel yang diuji tetap homogen.
Dengan tidak adanya aglutinasi pada keseluruhan sampel, berarti tidak ada antibodi pada sampel tersebut. Dengan kata lain, sapi yang dipakai tersebut terbebas dari infeksi brucella. Bebasnya Pulau Sumbawa dari penyakit brucella tidak terjadi begitu saja, melainkan karena kerja keras dari instansi terkait yang didukung oleh petani peternak. Pengendalian serta pemantauan penyakit dilakukan secara teratur dan terus menerus. Dalam 5 tahun terakhir pemerintah telah menerapkan Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit brucellosis di Indonesia dari Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 1998 yaitu dengan caratest and slaughterpada daerah tertular ringan (prevalensi<2%). Kejadian diatas 2% dilakukan vaksinasi selama 5 tahun berturut-turut [7]. Program ini juga diikuti pemantauan secara terus menerus terhadap kondisi ternaknya. Uji RBT secara rutin dilakukan, dan jika ditemukan hasil positif dilakukan pemotongan.
Pemantauan dan pengendalian penyakit juga dilakukan di pulau yang berdekatan dengan Pulau Sumbawa. Program test dan slaughter juga diberlakukan. Pulau Sumba yang pada awal tahun tahun 1990 merupakan daerah Brucellosis, namun kini sudah dinyatakan bebas. Turunnya SK MENTAN NO 52/ Kpts/PD.630/1/2015 yang menetapkan Pulau Sumba sebagai daerah bebas brucellosis merupakan bukti keberhasilan dalam penanganan penyakit brucella. Kedepannya semua wilayah di Nusa Tenggara Timur dicanangkan sebagai daerah bebas brucella.
5. KESIMPULAN
Sampel serum yang berasal dari Kabupaten Sumbawa, Bima dan Dompu tidak mengandung antibodi brucella, sehingga daerah Pulau Sumbawa terbebas dari penyakit Brucellosis
UCAPAN TERIMAKASIH
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : Menteri Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini, Rektor Universitas Udayana dan Ketua LPPM Universitas Udayana yang telah mengusulkan penelitian ini. Ucapan terimakasih juga kami tujukan kepada Dekan FKH Unud yang telah menyetujui penelitian ini. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar beserta staf Mikrobiologi yang telah membantu mengerjakan penelitian ini. Terimakasih juga kami tujukan kepada Kepala Stasiun Karantina Sumbawa beserta staf yang telah membantu dalam pengambilan sampel.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Schelling E, Diguimbaye C, Daoud S, Nicolet J, Boerlin P, Tanner M and Zinsstag J. 2003 Brucellosis and Q-fever seroprevalences of nomadic pastoralists and their livestock in Chad. Journal of Preventive Veterinary Medicine61: 279–293.
[2] Centers for Disease Control and Preventio. 2007 Brucellosis 1600 Clifton Rd, Atlanta, GA 30333, U.S.A
[3] Karimuribo, E.D, Ngowi, H.A., Swai, E.S dan Kambarage, D.M. 2007. Prevalence of brucellosis in crossbred and indigenous cattle in Tanzania. Short communication. Sokoine University of Agriculture (SUA), Department of Veterinary Medicine and Public Health, P.O. Box 3021, Morogoro, Tanzania Livestock Research for Rural Development 19 (10).
(6)
[4] Bahaman, Abdul Rani and Joseph, P. G. and Bejo, Siti Khairani (2007). A review of the Epidemiology and Control of Brucellosis in Malaysia. Jurnal Veterinar Malaysia, 19 (1).pp. 1-6. ISSN 9128-2506 [5] Samkhan, Purnomo, P.D., Susanta, D.H., Ikaratri, R., Niati, S., Parmini, T., Isnaini, M.F., 2011. Hasil Survei Seroepidemiologi Brucellosis pada Sapi Potong di Madura Tahap I. Tahun 2011.http:// bbvetwates.com/upload/perpustakaan/ Edisi_II_Vol_12_Nomor_1.pdf
[6] Talib, C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya. Balai Penelitian Ternak. Wartazoa Vo. 12 No. 2 Tahun 2002.