Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi

(1)

SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI

AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT

KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH

Xanthomonas oryzae pv. oryzae PADA PADI

NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

ABSTRAK

NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH. Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi. Dibimbing oleh GIYANTO.

Padi merupakan tanaman yang sangat penting sebagai sumber bahan pangan utama di Indonesia. Salah satu penyakit yang sering menyerang padi adalah penyakit kresek oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi isolat aktinomiset yang berpotensi untuk mengendalikan penyakit kresek pada padi oleh bakteri X. oryzae pv. oryzae. Lima belas isolat aktinomiset telah diisolasi dari tanah perakaran bambu, tanah sawah, dan tanah perakaran sawit di Bogor. Lima isolat, yaitu AB10, AB11, ATS6, ATS8 dan APS7, menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap X. oryzae pv. oryzae. Empat isolat, yaitu AB10, AB11, ATS6, dan APS7 kembali diuji untuk perlakuan perendaman benih padi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan perendaman benih padi dengan aktinomiset tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persen perkecambahan, tinggi tunas, panjang akar, dan bobot kecambah. Namun demikian, perlakuan dengan isolat ATS6 dan APS7 memberikan persen perkecambahan, tinggi tunas, panjang akar, dan bobot kecambah yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan perendaman benih padi dengan aktinomiset dapat mengurangi jumlah inokulum bakteri X. oryzae pv. oryzae terbawa benih. Isolat ATS6 merupakan isolat aktinomiset yang menunjukkan hasil terbaik dalam penekanan bakteri X. oryzae pv. oryzae dan pertumbuhan kecambah padi. Dua isolat yang paling berpotensi dipilih dan diidentifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi dari sekuen parsial gen 16S rRNA, isolat ATS6 dan APS7 termasuk ke dalam genus Streptomyces. Isolat ATS6 memiliki kesamaan terdekat (98%) dengan S. katrae HQ607777.1, dan isolat APS7 memiliki kesamaan terdekat (99%) dengan Streptomyces sp. HE577953.1. Kedua isolat aktinomiset tersebut berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agens hayati untuk pengendalian penyakit kresek.

Kata kunci: Aktinomiset, penyakit kresek, Xanthomonas oryzae pv. oryzae, agens hayati


(3)

SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI

AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT

KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH

Xanthomonas oryzae pv. oryzae PADA PADI

NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Judul skripsi : Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi

Nama mahasiswa : Nur ‘Izza Faiqotul Himmah

NIM : A34070013

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Giyanto, M.Si. NIP 19670709 199303 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. NIP 19640204 199002 1 002


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 7 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Ir. Agus Setyarso dan drh. Luluk Maryam Fatchurrahmah.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Nasional I Pondok Gede, kemudian melanjutkan ke SMP Islam Terpadu IQRO’ Bekasi sampai tahun 2004, dan lulus dari SMA Negeri 1 Madiun pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007 sebagai mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Penulis mengambil minor supporting course.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas dan departemen. Penulis bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM Faperta) sebagai staf Departemen Komunikasi dan Informasi pada periode 2008/2009. Kemudian, penulis menjabat sebagai Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi BEM Faperta periode 2009/2010. Penulis tergabung dalam anggota redaksi Redaksi Majalah METAMORFOSA Departemen Proteksi Tanaman sejak tahun 2008 dan diberi amanah sebagai pimpinan redaksi pada periode 2010/2011. Penulis juga tergabung sebagai anggota Entomology Club Proteksi Tanaman IPB. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) yang didanai pada tahun 2009 dengan judul “Pemanfaatan Bakteri Kitinolitik dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) sebagai Penyakit Penting Pascapanen pada Buah Cabai Merah”. Penulis dipercaya untuk menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Patogen Tumbuhan (2009), Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar (2010 & 2011), Entomologi Umum (2010), dan Biologi Cendawan (2011).


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian tugas akhir dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman pada bulan Februari sampai dengan September 2011.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Giyanto, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak ilmu, bantuan, dan bimbingan selama penelitian dan penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. sebagai dosen penguji tamu yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi.

Rasa terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, yaitu kepada Ida P, Nurul W, Tatit S, Yayu SN, Mbak Ratdiana, Mbak Tita W, Mbak Adelin ET, Ibu Haliatur R, Bapak Rustam, dan Bapak Agus E Prasetyo, atas bantuan dan nasihatnya selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Djoko Prijono, MAgr.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan bimbingan selama masa kuliah.

Rasa terima kasih penulis sampaikan pula kepada kepada seluruh sahabat di Proteksi Tanaman 44, khususnya kepada Alchemi PJK, Etika Ayu K, dan Nur’asiah yang senantiasa memberi semangat dan menjadi teman diskusi bagi penulis, serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Ucapan terima kasih secara khusus ingin penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Agus Setyarso dan Luluk MF) serta adik-adik tercinta (Wildan, Firda, Fadli, dan Rifqi) yang senantiasa memberikan dukungan moral maupun materil, doa, dan kasih sayang yang tiada hentinya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2012


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Penyakit Kresek oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae ... 4

Gejala Penyakit Kresek ... 4

Patogen Penyakit Kresek ... 4

Pengendalian Penyakit Kresek ... 5

Aktinomiset ... 5

BAHAN DAN METODE ... 8

Tempat dan Waktu ... 8

Bahan dan Alat ... 8

Metode Penelitian ... 8

Isolasi Aktinomiset ... 8

Isolasi Bakteri X. oryzae pv. oryzae ... 9

Uji Potensi Antibiosis Aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae ... 9

Metode Plate Diffusion ... 10

Metode Cross-Streak ... 10

Uji Reaksi Hipersensitivitas Isolat Aktinomiset Terpilih .... 10

Pengujian Aktinomiset terhadap Perkecambahan Benih Padi 11 Pengujian Aktinomiset terhadap Penekanan Populasi X. oryzae pv. oryzae pada Benih dan Kecambah Padi ... 11

Identifikasi Isolat Aktinomiset yang Berpotensi sebagai Agens Hayati X. oryzae pv. oryzae ... 12

Ekstraksi DNA Aktinomiset ... 12

Amplifikasi dan Sekuensing Gen 16S rRNA Aktinomiset ... 13

Analisis Statistik ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Isolasi Aktinomiset ... 15

Isolasi Bakteri X. oryzae pv. oryzae ... 17

Uji Potensi Antibiosis Aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae . 18 Metode Plate Diffusion ... 18

Metode Cross-Streak ... 19


(8)

Pengujian Aktinomiset terhadap Perkecambahan Benih Padi ... 21

Pengujian Aktinomiset terhadap Penekanan Populasi X. oryzae pv. oryzae pada Benih dan Kecambah Padi ... 24

Identifikasi Isolat Aktinomiset yang Berpotensi sebagai Agens Hayati X. oryzae pv. oryzae ... 26

Ekstraksi DNA Aktinomiset ... 26

Amplifikasi dan Sekuensing Gen 16S rRNA Aktinomiset .. 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

Kesimpulan ... 30

Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Isolat aktinomiset hasil isolasi dari setiap sampel tanah ... 15 2 Pembentukan zona hambatan oleh aktinomiset terhadap koloni

X. oryzae pv. oryzae pada media NA dengan metode plate diffusion 18 3 Pembentukan zona penghambatan aktinomiset terhadap X. oryzae

pv. oryzae dengan metode cross-streak ... 19 4 Persentase perkecambahan benih padi setelah perlakuan perendaman

benih dengan aktinomiset ... 22 5 Jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae hasil pencawanan dari gerusan

25 butir benih padi ... 25 6 Jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae hasil pencawanan dari gerusan

25 kecambah padi ... 26 7 Hasil pencarian kesamaan gen 16S rRNA antara isolat ATS6 dan


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Koloni isolat aktinomiset hasil isolasi dari tanah dan koleksi

laboratorium pada media WYE/YCED ... 16 2 Koloni bakteri X. oryzae pv. oryzae pada media YDCA ... 17 3 Hasil uji antibiosis aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae dengan

metode cross-streak ... 20 4 Hasil uji reaksi hipersensitif empat isolat aktinomiset terpilih pada

tanaman tembakau ... 21 5 Kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman

benih dengan aktinomiset ... 22 6 Tinggi tunas kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan

perendaman benih ... 23 7 Panjang akar kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan

perendaman benih ... 23 8 Bobot basah per 10 kecambah padi pada umur 7 hari setelah

perlakuan perendaman benih ... 24 9 Visualisasi hasil ekstraksi DNA aktinomiset isolat ATS6 dan APS7 .. 27 10 Visualisasi hasil amplifikasi PCR DNA aktinomiset ATS6 dan APS7

dengan elektroforesis gel agarose ... 27 11 Bentuk hifa berspora aktinomiset diamati pada perbesaran 400x


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Komposisi media yang digunakan dalam penelitian ... 36

2 Hasil uji patogenisitas isolat X. oryzae pv. oryzae ... 36

3 Sekuen parsial gen 16S rRNA isolat ATS6 ... 37

4 Sekuen parsial gen 16S rRNA isolat APS7 ... 37

5 Hasil analisis ragam persentase perkecambahan benih padi setelah perlakuan perendaman benih dengan aktinomiset ... 38

6 Hasil analisis ragam tinggi tunas kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih ... 38

7 Hasil analisis ragam panjang akar kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih ... 38

8 Hasil analisis ragam bobot per 10 kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih ... 38


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor komoditas utama di Indonesia. Negara yang terdiri dari kepulauan dengan lahan yang luas adalah faktor yang mendukung Indonesia untuk menjadi negara yang berbasis pertanian. Pertanian di Indonesia masih menggunakan sistem yang konvensional, karena adanya anggapan bahwa petani adalah orang yang tidak berpendidikan, padahal sektor pertanian yang dominan dalam mendukung kelangsungan perekonomian negara. Dengan demikian perlu adanya petani berdasi yang dapat memajukan pertanian di Indonesia.

Pertanian secara sempit terdiri atas pertanian pada subsektor tanamanan pangan dan hortikultura serta perkebunan. Pertanian pangan dan hortikultura adalah pertanian yang menghasilkan kebutuhan pokok makanan untuk manusia. Sedangkan pertanian perkebunan menghasilkan tanaman tahunan yang dapat menambah devisa negara serta untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada semua subsektor pertanian tersebut banyak kendala yang dihadapi seperti keadaan cuaca atau iklim yang tidak menentu, ketersediaan air, dan yang paling mengganggu adalah Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Organisme pengganggu tanaman ini dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis terhadap petani maupun masyarakat.

Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Tikus sawah merupakan salah satu hama utama padi yang dapat menimbulkan kerusakan di seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Tikus pohon biasanya hidup di perkebunan, pekarangan, dan persawahan sedangkan tikus rumah biasanya hidup di permukiman manusia, rumah, dan gudang. Pada saat ini tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan di permukaan maupun di areal perkebunan. Hal ini disebabkan banyaknya areal perkebunan yang tidak jauh dari tempat permukiman manusia dan tidak tersedianya pakan yang cukup untuk tikus disalah satu habitat tersebut. Tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang disimpan di rumah seperti jagung, gandum,


(13)

gabah, dan beras. Selain itu tikus pohon dan tikus rumah juga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan bangunan karena sifat mengeratnya, kemampuannya menurunkan produksi pertanian dan menyebarkan penyakit pada manusia. Berdasarkan hal tersebut tikus sering dipandang oleh manusia sebagai hewan yang memiliki efek negatif dalam ekosistem (Dickman 1988).

Pengendalian tikus dapat dikelompokkan ke dalam beberapa metode pengendalian antara lain: pengendalian secara kultur teknis, fisik mekanis, biologi, dan kimia. Pengendalian secara fisik mekanis bertujuan untuk mengubah faktor lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus secara langsung dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan racun, baik yang bersifat akut maupun kronis (Priyambodo 2003). Metode pengendalian yang dilakukan harus sesuai dengan konsep IPM (Integrated Pest Management) dengan harapan agar populasi hama dapat terus ditekan di bawah ambang ekonomi, penggunaan redentisida dikurangi sehingga mengurangi bahaya akibat samping, penggunaan non-rodentisida ditingkatkan, keseluruhan program itu harus efektif, efisien, aman, dan tidak mahal (Sigit 2006).

Pengendalian tikus yang sering dilakukan saat ini dan mendapatkan hasil yang efektif adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida sintetik. Rodentisida yang diaplikasikan dengan baik akan didapatkan hasil produksi yang melebihi hasil rata – rata petani. Metode tersebut sekarang banyak digunakan, meskipun menurut konsep PHT seharusnya metode ini digunakan sebagai alternatif terakhir jika semua cara lain yang digunakan belum memberikan hasil yang memadai (Priyambodo 2003). Rodentisida sintetik yang diberikan pada tikus menunjukkan daya bunuh yang efektif serta memberikan hasil kematian tikus yang nyata meskipun penggunaan rodentisida sintetik tidak ramah terhadap lingkungan.

Alternatif dari rodentisida sintesis adalah rodentisida nabati yang termasuk pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman.


(14)

Tikus sebagai hewan omnivora (pemakan segala) biasanya mau mengonsumsi semua makanan yang dapat dimakan oleh manusia, baik yang berasal dari tumbuhan (nabati) maupun yang berasal dari hewan (hewani). Sifat tikus yang mudah curiga terhadap setiap benda yang ditemuinya, termasuk pakannya, disebut dengan neophobia. Adapun sifat tikus yang enggan memakan umpan beracun yang diberikan karena tidak melalui umpan pendahuluan disebut dengan jera umpan (bait shyness) atau jera racun (poison shyness) (Priyambodo 2003).

Indera tikus khususnya penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba sangat berperan dalam sifat jera umpan dan jera racun terhadap beberapa jenis rodentisida (akut dan kronis) serta neophobia atau mudah curiga untuk beberapa jenis umpan dan

perangkap. Neophobia jika diartikan menurut arti katanya adalah ketakutan pada

sesuatu yang baru tetapi jika dilihat dari maknanya adalah menghindari benda yang tidak dikenali, termasuk bau, rasa, suara, dan makanan asing yang ada disekitarnya.

Sifat neophobia berbeda antara setiap spesies tikus, respon tikus bervariasi dan

mempunyai rangsangan yang unik. Pertumbuhan dari perilaku neophobia terhadap tikus merupakan hal yang biasa oleh karena itu seleksi untuk banyak generasi selama perolehan dan pemeliharaan dari habitat biasanya. Kegagalan pada aplikasi rodentisida di lapang berdasarkan pada resistensi perilaku (behavioral resistance) yaitu kondisi keengganan terhadap rodentisida, bukan berdasarkan resistensi fisiologis (physiological resistance). Perilaku demikian dapat membantu tikus untuk menghindari mengonsumsi dosis yang mematikan dari rodentisida. (Priyambodo 2002).

Sampai saat ini semakin banyak pengendalian secara kimia dengan menggunakan rodentisida sintetik yang tidak sesuai aturan pakai, menyebabkan tikus tersebut lebih jera umpan (bait shyness) dan jera racun (poison shyness), karena sifat tikus yang mudah curiga. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang tingkat kejeraan umpan (beras dan gabah) dan kejeraaan racun dari tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap beberapa rodentisida sintetis dan nabati serta mencari faktor penyebab dari tingkat kejeraan umpan dan racun tersebut.


(15)

Tujuan Penelitian  

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menghitung tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida (akut, kronis, dan nabati) yang sering diaplikasikan di lapangan dan permukiman, dan terhadap umpan dasar (gabah dan beras), serta mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan tersebut.

Manfaat Penelitian  

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida dan umpan yang sering diaplikasikan di lapang dan permukiman. Demikian juga untuk mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan rodentisida dan umpan tersebut sehingga dapat memberikan informasi dan tindakan pengendalian alternatif.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Sawah (Rattus argentiventer)  

Taksonomi dan Morfologi

Tikus sawah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. argentiventer (CPC 2002).

Tikus sawah mempunyai ciri morfologi yaitu tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan dorsal coklat kelabu kehitaman, warna badan ventral kelabu pucat atau putih kotor, warna ekor ventral coklat gelap, bobot badan 70-300 g, panjang badan 130-210 mm, panjang ekor 110-160 mm, panjang secara keseluruhan dari kepala sampai ekor 240-370 mm, lebar daun telinga 19-22 mm, panjang telapak kaki belakang 32-39 mm, lebar sepasang gigi seri pengerat pada rahang atas 3 mm, formula puting susu 3 + 3 pasang (Priyambodo 2003).

Biologi dan Ekologi

Tikus sawah bersifat omnivora serta memerlukan pakan yang banyak mengandung zat tepung (karbohidrat) seperti biji padi, kelapa, dan umbi. Jagung dan tebu pada umumnya kurang disukai oleh tikus sawah (Kalshoven 1981).

Tikus sawah menyerang padi pada malam hari. Pada siang hari tikus bersembunyi di dalam lubang pada tanggul irigrasi, jalan sawah, pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera sebagian besar tikus sawah bermigrasi ke daerah perkampungan dekat sawah dan kembali ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran, lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus betina bunting sekitar 21-23 hari dan mampu beranak rata-rata sejumlah 10 ekor. Tikus dapat berkembang biak apabila makanannya banyak mengandung zat tepung. Populasi tikus sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan dan tempat persembunyian yang memadai.


(17)

Tempat persembunyian tikus antara lain tanaman, semak belukar, rumpun bambu, pematang sawah yang ditumbuhi gulma, dan kebun yang kotor (Sudarmaji 2005).

Tanaman padi merupakan pakan utama bagi tikus sawah dan semua stadia pertumbuhan dapat dirusak. Daur perkembangan hidup tikus betina dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah berkaitan erat dengan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Jumlah anakan padi yang dikerat oleh seekor tikus sawah dalam semalam tergantung musim dan fase pertumbuhan tanaman. Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks dan Rowe 1979).

Tikus Rumah (Rattus rattus diardii)  

Taksonomi dan Morfologi

Tikus rumah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. rattus (CPC 2002).

Tikus rumah memiliki ciri morfologi tekstur rambut agak kasar, bentuk badan silindris, bentuk hidung kerucut, telinga berukuran besar tidak berambut pada bagian dalam dan dapat menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan bagian perut dan punggung coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot tubuh 60-300 g, panjang badan 130-210 mm, ukuran ekor terhadap kepala dan badan bervariasi (lebih pendek, sama, atau panjang) (Priyambodo 2003). Pada tikus betina memiliki puting susu 2 pasang di dada dan 3 pasang di perut (10 buah) (Rochman 1992).

Biologi dan Ekologi

Tikus rumah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia sehingga disebut hewan kosmopolit (Priyambodo 2003). Tikus rumah biasanya hidup di lingkungan perumahan, pasar, dan membuat sarang di loteng atau atap. Apabila bahan makanan berkurang, tikus rumah ini akan mencari pakan di sawah sekitar rumah atau gudang dan pekarangan di sekitar kandang ternak (Rochman dan Soekarna 1988).


(18)

Tikus rumah mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat dan melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim, oleh sebab itu tikus disebut sebagai hewan poliestrus. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor habitat, iklim, dan pakan. Selama mempertahankan kelangsungan hidupnya, tikus rumah memanfaatkan pakan yang mengandung karbohidrat (gula pasir), lemak, protein, mineral, dan vitamin (Meehan 1984).

Tikus rumah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kemampuan melahirkan anak sebanyak 5-8 ekor dalam sekali melahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan tergantung ketersediaan makanan. Masa bunting tikus selama 21 hari dan pada saat dilahirkan anak tikus tidak memiliki rambut dan mata tertutup. Pada umur 4-5 minggu tikus mulai mencari makan sendiri, terpisah dari induknya. Pada usia tersebut tikus dapat dengan mudah diperangkap. Tikus rumah mencapai usia dewasa setelah berumur 35-65 hari (Kalshoven 1981). Tikus rumah termasuk hewan arboreal yang dicirikan dengan adanya ekor yang panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif besar dan kasar (Priyambodo 2003).

Tikus termasuk hewan omnivora, menyukai makanan yang berasal dari biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, daging, ikan, dan telur. Dalam sehari tikus biasanya membutuhkan pakan dalam keadaan kering sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, namun apabila pakan dalam keadaan basah kebutuhan pakan dapat mencapai 15% dari bobot tubuhnya. Tikus rumah biasanya akan mengenali dan mengambil pakan yang telah tersedia atau yang ditemukan dalam jumlah sedikit untuk mencicipi atau untuk mengetahui reaksi yang terjadi pada tubuhnya. Apabila tidak terjadi reaksi yang membahayakan, maka tikus akan menghabiskan pakan yang tersedia atau pakan yang ditemukan (Priyambodo 2003).


(19)

Tikus Pohon (Rattus tiomanicus) Taksonomi dan Morfologi

Tikus pohon mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. tiomanicus (CPC 2002).

Tikus pohon termasuk sebagai spesies tikus yang berukuran kecil hingga menengah. Ciri khas yang dapat membedakan tikus pohon dengan spesies tikus yang lainnya yaitu mempunyai ekor yang lebih panjang dari pada kepala dan badan, tubuh bagian dorsal berwarna coklat kekuningan dan bagian ventralnya berwarna putih, putih kekuningan, atau krem (Aplin, Brown, Jacob, Krebs, Singleton 2003). Tikus pohon memiliki memiliki bentuk rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris serta warna ekor bagian atas dan bawah coklat hitam. Tikus pohon memiliki bobot tubuh 55-300 g, panjang kepala dan badan 130-200 mm. Tikus betina memiliki lima pasang puting susu yaitu dua pasang di dada dan tiga pasang di perut (Rochman 1992).

Biologi dan Ekologi

Tikus pohon merupakan jenis tikus yang memiliki kemampuan meloncat, mengerat, memanjat, dan berenang dengan baik (Rochman 1992). Kemampuan tikus pohon dalam memanjat didukung oleh adanya tonjolan pada telapak kaki yang disebut dengan footpad yang relatif besar dan dengan permukaan yang kasar. Footpad ini masih ditambah oleh cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat untuk keseimbangan pada saat memanjat (Priyambodo 2003). Selain itu, tikus pohon mempunyai kemampuan mengerat yang tinggi sebagai aktivitas untuk mengurangi pertumbuhan gigi seri yang tumbuh terus menerus. Hal ini dapat dilihat dari adanya keratin pada kelapa, tebu, dan benda lain yang dikeratnya (Walker 1999).

Penyebaran dari tikus pohon dipengaruhi oleh penyebaran sumberdaya pakan di lingkungannya. Habitat setiap spesies tikus berbeda-beda, tetapi hal tersebut tidak membatasi wilayah penyebaran dari spesies tikus tersebut (Meehan 1984). Tikus


(20)

pohon pada umumnya ditemukan pada berbagai tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, tebu, dan kakao. Pada tanaman kelapa sawit, tikus pohon membuat sarang di antara pelepah daun kelapa sawit atau celah – celah yang ada diantara pohon. Selain itu tikus pohon juga ditemukan pada lahan persawahan, areal pertanian, lapangan terbuka, dan pekarangan rumah (Priyambodo 2003).

Tikus pohon termasuk golongan omnivora (pemakan segala) tetapi cenderung untuk memakan biji-bijian atau serealia. Kebutuhan pakan dalam bentuk kering bagi seekor tikus pohon setiap hari kurang lebih sekitar 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan untuk pakan dalam bentuk pakan basah sekitar 15% dari bobot tubuhnya (Priyambodo 2003).

Kerugian yang Disebabkan oleh Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon Tikus sawah (R. argentiventer) merupakan hama utama padi yang dapat menimbulkan kerusakan besar pada semua stadia pertumbuhan padi dari persemaian hingga panen, bahkan juga di gudang penyimpanan. Kerusakan parah terjadi jika tikus menyerang padi pada stadia generatif, karena tanaman padi tidak mampu lagi membentuk anakan yang baru. Tikus merusak tanaman padi mulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, dan menyisakan satu sampai dua baris padi di pinggir petakan pada keadaan serangan berat. Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks & Rowe 1979).

Asosiasi tikus dengan manusia banyak bersifat parasitisme. Tikus rumah (R. rattus diardii) menyebabkan banyak kerugian yaitu kerusakan pada bangunan rumah, kantor, gudang, dan pabrik. Aktivitas tikus dalam mengeratkan gigi serinya dan menggali tanah atau membuat sarang dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan kantor, pabrik, gudang, atau rumah. Tikus rumah juga dapat menyebabkan berkurangnya simpanan bahan makanan di rumah dan gudang makanan, kontaminasi


(21)

Leptospira sp., amoeba Entamoeba histolytica, Giardia muris dari tikus ke manusia dan hewan peliharaan (zoonosis) (Priyambodo 2003).

Serangan tikus pohon (R. tiomanicus) menyebabkan kerugian yang cukup besar pada bidang pertanian di Indonesia dan di banyak negara. Tikus pohon mampu menyerang tanaman kelapa sawit, baik yang belum maupun yang sudah menghasilkan. Pada tanaman yang baru ditanam dan belum menghasilkan, tikus mengerat serta memakan bagian pangkal pelepah daun, sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat atau bahkan tanaman dapat mati jika keratan tikus mengenai titik tumbuhnya. Pada tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan, tikus pohon dapat memakan buahnya (Sipayung, Sudharto, Lubis 1987). Bila pakan yang ada di sekitar tikus berlimpah, maka tikus akan berkembang biak sangat cepat sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga semakin besar. Perkembangan tikus sangat dipengaruhi oleh keadaan pakan dan lingkungan sekitar (Aplin et al 2003).

Metode Pengendalian Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon

Pengendalian tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon telah banyak dikembangkan, hal ini bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan. Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan cara kultur teknis yaitu dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus, seperti membatasi makanan dan tempat perlindungannya. Modifikasi lingkungan atau sanitasi merupakan pengendalian jangka panjang, sedangkan penggunaan perangkap dan umpan beracun merupakan pengendalian jangka pendek. Pengendalian sanitasi dengan melakukan tindakan mengelola dan memelihara lingkungan sehingga tidak menarik dan tidak sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus (Priyambodo 2003).

Pengendalian fisik-mekanis dengan usaha untuk mengubah lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus dan juga merupakan usaha manusia untuk mematikan atau memindahkan tikus secara langsung dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat (Priyambodo 2003). Penggunaan perangkap merupakan pengendalian fisik-mekanik terhadap tikus yang paling tua digunakan,


(22)

dalam aplikasinya metode ini merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat mengurangi jumlah tenaga kerja (Darmawansyah 2008). Penggunaan perangkap juga merupakan cara yang ramah lingkungan karena dalam aplikasinya tidak menggunakan bahan kimia.

Pengendalian biologis adalah pengendalian menggunakan parasit, patogen dan predator dan secara genetik yang dilakukan dengan pelepasan individu tikus yang membawa gen perusak dan pelepasan individu steril atau mandul pada populasi tikus untuk menurunkan laju reproduksi tikus. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia yang mampu mematikan atau mengganggu aktivitas tikus (Priyambodo 2003).

Dalam upaya menekan kerusakan oleh tikus, pengendalian hama tikus secara kimia merupakan alternatif yang paling umum dilakukan dibandingkan dengan upaya pengendalian lainnya. Metode ini sangat mudah diaplikasikan dan didapatkan hasil yang nyata. Meskipun demikian penggunaan bahan kimia dapat menimbulkan beberapa masalah yaitu dapat meracuni hewan bukan sasaran, berbahaya bagi lingkungan, serta harganya yang mahal menyebabkan cara ini kurang ekonomis. Menurut cara kerjanya, rodentisida dibedakan menjadi racun akut dan racun kronis. Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak system syaraf dan melumpuhkannya. Racun kronis (antikoagulan) bekerja lebih lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003).

Rodentisida

Rodentisida merupakan bahan kimia yang digunakan dalam mengendalikan tikus. Ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat dua macam rodentisida yang umum digunakan yaitu fumigasi dan umpan beracun. Fumigasi bersifat racun nafas dan bahan yang biasanya banyak digunakan yaitu belerang oksida. Umpan beracun bersifat racun perut yang berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi dua golongan yaitu racun akut dan racun kronis atau antikoagulan (Prakash 1988).


(23)

Rodentisida sintetik memberikan dampak negatif seperti keracunan bagi manusia juga mencemari lingkungan tetapi keracunan pada manusia akibat racun tikus tergantung kepada kandungan bahan aktif. Gejala keracunan akibat konsumsi rodentisida ini akan terlihat dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari dari 24 jam (Meehan 1984), sehingga diperlukan penggunaan rodentisida nabati yang lebih ramah lingkungan. Keunggulan rodentisida nabati adalah murah dan mudah dalam proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus (Sudarmo 2005).

Rodentisida Akut

Rodentisida akut merupakan kelompok rodentisida yang dapat menyebabkan kematian tikus dalam 24 jam atau kurang setelah pemberian pada dosis yang mematikan (Buckle dan Smith 1996). Kurun waktu tersebut berhubungan dengan tingkat dosis yang diberikan, akibat dari peracunan dapat terlihat nyata dengan waktu yang sangat cepat ketika diberikan rodentisida dalam jumlah besar. Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak system syaraf dan melumpuhkannya (Priyambodo 2003).

Rodentisida akut merupakan racun yang sangat berbahaya dan tidak memiliki antidot yang spesifik, oleh karena itu jenis rodentisida ini dibatasi keberadaannya di beberapa negara. Biasanya rodentisida ini hanya diizinkan digunakan oleh profesional. Salah satu rodentisida akut yang sering digunakan dan merupakan satu-satunya rodentisida akut yang diizinkan untuk digunakan oleh non profesional adalah rodentisida yang berbahan aktif seng fosfida. Bahan aktif lain dari rodentisida yang tergolong rodentisida akut adalah brometalin, crimidine, dan arsen trioksida. Keseluruhan bahan aktif tersebut bekerja secara cepat dengan cara merusak jaringan syaraf dalam saluran pencernaan dan masuk ke dalam aliran darah (Priyambodo 2003).

Seng Fosfida (Zn3P2). Seng fosfida umum digunakan sebagai rodentisida akut

dan merupakan satu-satunya bahan aktif yang tersedia sangat luas dan diizinkan digunakan oleh non profesional. Jenis ini umumnya tersedia dalam bentuk serbuk


(24)

berwarna hitam atau abu-abu dengan kemurnian 80-95%, mempunyai bau yang menyengat, dan merupakan racun dengan kisaran luas pada hewan pengerat. Seng fosfida diaplikasikan dengan menggunakan umpan dengan kisaran konsentrasi 1-5% walaupun konsentrasi 1% merupakan konsentrasi yang paling banyak digunakan. Formulasi yang tersedia merupakan bentuk siap pakai untuk langsung digunakan (Ready-for-use) khususnya di Amerika Serikat.

Menurut Corrigan (1997) seng fosfida adalah suatu tepung yang berwarna hitam keabu-abuan, dengan bau seperti bawang putih, yang diproduksi dengan cara mengarahkan kombinasi antara seng dengan fosfor. Seng fosfida telah dikenal sejak dulu sebagai racun tikus yang efektif, dapat tercampur dalam karbon disulfida dan

benzene, tetapi tidak dapat larut dalam alkohol dan air. LD50 seng fosfida terhadap

tikus adalah 45.7 mg/kg. Burung juga sangat sensitif terhadap racun ini. Racun akut ini telah digunakan secara luas terhadap tikus. Lama kematian tikus setelah mengkonsumsi rodentisida antara 17 menit sampai dengan beberapa jam.

Bahan aktif seng fosfida menghasilkan gas fosfin (PH3) yang dapat merusak

saluran pencernaan, masuk ke aliran darah dan menghancurkan liver (hati). Rodentisida ini juga membunuh hewan vertebrata lainnya seperti anjing, kucing,

babi, ayam, dan itik dengan LD50 seng fosfida terdapat pada kisaran 20-40 mg/kg

(Buckle 1996). Rodentisida Kronis

Rodentisida kronis merupakan racun yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolime vitamin K serta menganggu proses pembekuan darah (Oudejans 1991). Menurut Sunarjo (1992) rodentisida kronis adalah kelompok rodentisida yang mengandung senyawa yang dapat menghambat pembentukan protrombin (bahan yang di dalam darah bertanggung jawab terhadap pembekuan darah) dan merusak pembuluh kapiler sehingga merusak pembuluh darah internal.

Bahan aktif pada rodentisida kronis berdasarkan saat produksi terbagi menjadi dua yaitu generasi I seperti warfarin, kumatetralil, fumarin, difasinon, pival dan generasi II seperti bromadiolon, difenakum, brodifakum, flokumafen (Priyambodo


(25)

2003). Rodentisida antikoagulan generasi II dibuat karena sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap racun antikoagulan generasi I. Dengan diproduksinya rodentisida antikoagulan generasi II ini diharapkan resistensi tikus dapat dicegah. Rodentisida kronis lebih sering digunakan dibandingkan dengan racun akut dalam pengendalian tikus karena dapat mengurangi sifat curiga dari tikus yang lain. Bahan aktif dari rodentisida kronis bekerja dalam tubuh tikus dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati di tempat setelah mengonsumsi racun (Smith 1996).

Kumatetralil (C19H16O3). Kumatetralil merupakan salah satu dari sekian

banyak rodentisida antikoagulan generasi pertama yang tersebar luas dan ditemukan di Jerman beberapa tahun yang lalu dan racun tersebut tidak tersedia di Amerika Serikat. Rodentisida ini berbentuk bubuk kristal berwarna putih kekuningan, tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam aseton dan ethanol. Rodentisida ini merupakan suatu antikoagulan yang tidak menyebabkan jera umpan. Formulasi yang

digunakan sebesar 0.0375% yang telah dicampur dengan umpan. LD50 akut oral 16

mg/kg, tikus betina lebih peka terhadap racun ini dari pada tikus jantan (Prakash 1988).

Bromadiolon (C10H23BrO4). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang

digunakan untuk mengendalikan hewan pengerat pada bidang pertanian dan bekerja

dengan cara mengganggu peredaran darah normal. Bromadiolon termasuk racun

antikoagulan generasi kedua yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya, juga terhadap tikus yang tahan terhadap racun antikoagulan generasi pertama. Konsentrasi yang banyak digunakan yaitu 0.005% yang hanya memerlukan 24 jam untuk dapat membunuh tikus sawah dan lima hari untuk membunuh tikus rumah (Prakash 1988). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan tikus dan mencit pada bidang pertanian dan perumahan (Meehan 1984). Bentuk fisik racun ini adalah blok berwarna hijau gelap atau biru.

Brodifakum (C31H23BrO). Brodifakum merupakan salah satu rodentisida

antikoagulan generasi II yang potensial, terutama efektif terhadap spesies tikus yang resisten terhadap rodentisida jenis warfarin (Corrigan 1997). Bentuk fisik racun ini


(26)

adalah blok dengan warna hijau dan biru sedangkan bentuk asli racun ini berupa bubuk putih (Oudejans 1991). Cara kerjanya ditunjukkan dengan aktivitas dari senyawanya yang dapat membuat tikus mati hanya satu hari setelah mengkonsumsi umpan, yang merupakan bagian dari pakannya. Brodifakum merupakan produk yang

hampir tidak dapat larut dalam air. LD50 untuk tikus jantan adalah 0.27 mg/kg dan

untuk tikus betina 0.4 mg/kg. Hewan pengerat dapat menyerap dosis yang mematikan dengan hanya 50 mg bahan aktif/ kg umpan sebagai bagian pakanannya. Brodifakum bekerja sebagai antikoagulan yang tidak langsung terhadap tikus, termasuk juga terhadap strain tikus yang resisten terhadap antikoagulan jenis lainnya (Oudejans 1991).

Flokumafen. Flokumafen merupakan senyawa kimia yang sama dengan

brodifakum, tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam aseton. Senyawa ini direkomendasikan penggunaannya dengan konsentrasi 0.005% pada umpan beracun. Bentuk fisik racun ini adalah bentuk padat berwarna biru.

Rodentisida Nabati

Rodentisida nabati termasuk pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Penggunaan rodentisida nabati dapat mengurangi pencemaran lingkungan, selain itu harga relatif lebih murah dibandingkan dengan rodentisida sintetik. Rodentisida nabati dapat dibuat secara sederhana berupa larutan hasil perasan, rendaman, ekstrak, dan rebusan bagian tumbuhan. Keunggulan rodentisida nabati yaitu murah dan mudah dalam proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus. Selain itu terdapat pula kelemahannya yaitu daya kerja relatif lambat, kurang praktis, serta tidak tahan disimpan (Sudarmo 2005).

Kelompok tumbuhan rodentisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hewan rodentia. Tumbuhan-tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis yaitu sebagai penekan kelahiran (efek aborsi atau kontrasepsi) dan penekan populasi (efek mortalitas). Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan


(27)

kelahiran umumnya mengandung steroid, sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid.

Gadung. Dalam bahasa latin gadung disebut Dioscorea hispidae Denust.

Umbi gadung ini memiliki kandungan 0.2 - 0.7% diosgenin dan 0.044% dioscorine. Racun ini dapat menyebabkan kelumpuhan sistem saraf pusat (Flach and Rumawas 1996). Rodentisida dari umbi tanaman merambat ini menjadi salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai racun tikus yang berbahan alamiah yang bersifat mudah terurai di alam sehingga tidak akan mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar.

Mahoni. Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) merupakan tanaman yang

termasuk dalam Famili Meliaceae. Untuk tanaman mahoni yang akan digunakan sebagai tanaman obat, maka tidak boleh diberi pupuk kimia (anorganik) maupun pestisida. Kandungan kimia mahoni ada dua macam, masing-masing saponin dan flavonoida. Saponin banyak dijumpai dalam biji-biji seperti pada kedelai dan kecipir. Dalam jumlah besar, saponin dapat memberi pengaruh negatif terhadap ternak (Tangendjaja et al. 1991).

Jarak. Jarak (Ricinus communis) merupakan tanaman anggota Famili

Euphorbiaceae yang mempunyai sinonim R. inermis, R. speciosus, R. viridis, dan Croton spinosa. Biji jarak memiliki kandungan ricin, suatu protein yang bersifat toksin terhadap manusia, hewan, dan insekta. Semua bagian dari tanaman ini mengandung ricin, namun konsentrasi tertinggi racun tersebut terdapat pada bijinya. Mekanisme zat aktif ini menghalangi proses penyusunan protein esensial tubuh yang dapat menyebabkan keabnormalan fungsi organ, seperti gagal ginjal. Racun lain yang terkandung dalam biji jarak adalah RCA (Ricinus Comunic Agglutinin) yang menyebabkan penggumpalan darah dan sebagai akibatnya hemolisis yang mengakibatkan pecahnya sel-sel darah.

Bintaro. Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) merupakan tanaman yang

termasuk dalam Famili Apocynaceae. Walaupun berbentuk indah namun buah bintaro tidak dapat dikonsumsi karena mengandung zat yang bersifat racun terhadap manusia. Dinamakan Cerbera karena bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun


(28)

yang disebut “cerberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian. Bahkan asap dari pembakaran kayunya dapat menyebabkan keracunan (Wibowo 2009).

Umpan Dasar Beras

Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia. Produksi beras dunia menempati peringkat ke dua setelah gandum (Tasar 2000). Beras merupakan bagian dalam dari gabah yang telah digiling dan ditumbuk. Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak. Selaput tipis yang melingkupi permukaan beras ini menentukan warna beras. Berdasarkan selaput yang melingkupi permukaan beras, beras terbagi menjadi tiga yaitu beras ketan putih, beras merah, dan beras ketan hitam (Soemadi dan Mutholib 1994).

Beras merupakan pangan paling penting di dunia untuk konsumsi manusia. Sebagian terbesar karbohidrat di beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosa, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Antara 85% hingga 90% dari berat kering beras berupa pati. Pati pada endosperm beras berbentuk granula polyhedral berukuran 3 – 5

μm (Haryadi 2006).

Di gudang penyimpanan, beras merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan hama tikus dan hama gudang lainnya. Serangan hama pada perumahan dan gudang penyimpanan dapat menurunkan kualitas dan kuantitas beras karena jumlahnya yang melimpah sehingga sangat memungkinkan jika beras dapat mengundang kedatangan hama (Nurdono 1990). Selain itu, beras juga digunakan dalam campuran pada racun kronis dengan memenuhi kriteria umpan campuran pada racun karena menarik bagi tikus (Davis 1970).


(29)

Gabah

Gabah merupakan bulir atau buah pada tanaman padi yang telah dipisahkan dari jeraminya dan akan menjadi beras setelah dipisahkan dari kulitnya. Semua stadia pertumbuhan padi sangat rentan terhadap serangan tikus. Tikus rumah dan tikus pohon dapat menyerang pertanaman padi di sawah, terutama apabila ketersediaan pakan di habitatnya berkurang. Biasanya pertanaman tersebut dekat dengan perkebunan dan perumahan (Buckle and Smith 1996).

Selain menyerang pertanaman di sawah, tikus juga menyerang gabah pada tempat penyimpanan. Serangan tikus dapat menyebabkan berkurangnya simpanan gabah. Kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari pada yang dikonsumsinya karena cara makan yang sedikit demi sedikit pada bulir gabah. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, tikus lebih banyak memakan bulir padi dan nyisakan bekas bulir yang tidak dapat digunakan lagi (Nurdono 1990).

Tikus menyerang tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Pada stadia persemaian, tikus merusak tanaman padi dengan mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetative, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Pada stadia generatif, tikus dapat menyerang bagian malai atau bulir tanaman padi (Priyambodo 2003).


(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta daerah pengambilan tikus uji di Kabupaten Bogor (Kampung Carangpulan, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga), Kabupaten Subang (Kecamatan Patok Beusi) dan Kabupaten Pati (Desa jambean, Kecamatan Margorejo). Penilian berlangsung dari bulan September hingga Desember 2011.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas tempat air minum, mangkok tempat makan, pinset, bumbung bambu tempat persembunyian tikus, timbangan elektronik (analytical top loading animal balance) (Gambar 1), timbangan manual (triple beam animal balance) (Gambar 2), kandang tunggal (single cage) (Gambar 3) sebagai tempat pengujian.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus sawah (R. argentiventer), tikus rumah (R. rattus diardii) dan tikus pohon (R. tiomanicus), rodentisida [berbahan aktif seng fosfida 1%, kumatetralil 0.005%, bromadiolon 0.005%, brodifakum 0.005%, flokumafen 0.005%, gadung (10%, 20%, 25%, 30%), mahoni (8%, 16%, 24%, 32%), jarak (8%, 16%, 24%, 32%), bintaro (8%, 16%, 24%, 32%)], umpan dasar (beras dan gabah). Serta kuesioner mengenai pemahaman, sikap, dan tindakan petani dari berbagai daerah tempat tikus uji tersebut diambil yang berjumlah sebanyak 67 responden.


(31)

Gambar 1 Timbangan elektronik

Gambar 2 Timbangan manual

Gambar 3 Kurungan tunggal (single case)

Metode Tahap Persiapan

Sebelum dilakukan penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan persiapan pada hewan uji, rodentisida, umpan dasar dan kuesioner. Persiapan hewan uji dengan mendatangkan tikus sawah dari hasil penangkapan di lahan persawahan Kabupaten Subang dan Pati. Tikus rumah dan tikus pohon berasal dari hasil penangkapan (trapping) di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Tikus yang


(32)

digunakan dalam pengujian ini sebanyak 1.228 ekor tikus sawah, 367 ekor tikus rumah, dan 644 ekor tikus pohon.

Data juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Laboratorium Vertebrata Hama sejak Januari 2010 sampai Agustus 2011 yang digunakan untuk membandingkan tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida jika dilihat dari waktu pengambilan tikus uji tersebut.

Untuk dapat digunakan sebagai hewan uji, tikus – tikus tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: tidak bunting, berat badan lebih dari 70 g, dewasa, perbandingan jenis kelamin 1:1, dan dalam keadaan sehat. Sebelum dilakukan pengujian tikus yang diperoleh dari lapang tersebut perlu diadaptasikan terlebih dahulu dengan diberi pakan gabah dan minuman yang berlimpah (ad libium) setiap hari selama tiga sampai tujuh hari.

Setelah diadaptasikan tikus tersebut dipindahkan ke kandang tunggal (single cage) yang sebelumnya ditimbang dahulu bobotnya dengan menggunakan timbangan elektronik atau timbangan manual serta dilihat jenis kelaminnya. Setelah itu segera diberi rodentisida atau umpan yang digunakan untuk pengujian.

Persiapan berikutnya adalah persiapan umpan dan rodentisida. Umpan yang digunakan dalam pengujian ini adalah umpan dasar seperti gabah dan beras. Gabah dan beras tersebut didapatkan dari penggilingan padi yang berada di sekitar kampus IPB, Dramaga, Bogor serta dibeli dari toko. Rodentisida akut yang digunakan adalah rodentisida berbentuk tepung yang aplikasinya dicampur dengan beras dan diberi sedikit minyak nabati agar tepung menempel pada beras yang berbahan aktif seng fosfida 1%. Rodentisida siap pakai (ready to use) yang digunakan adalah rodentisida kronis yang berbahan aktif warfarin 0.005%, kumatetralil 0.005%, bromadiolon 0.005%, brodifakum 0.005%, flokumafen 0.005%. Rodentisida nabati yang digunakan dibuat dengan mengambil ekstrak tumbuhan gadung (10%, 20%, 25%, 30%), mahoni (8%, 16%, 24%, 32%), jarak (8%, 16%, 24%, 32%), bintaro (8%, 16%, 24%, 32%). Untuk gadung, umbinya dibuat dalam bentuk blok sedangkan mahoni, jarak merah, dan bintaro dalam bentuk ekstrak kasar yang campur dengan beras dan sedikit bahan tambahan.


(33)

Persiapan yang terakhir adalah pembuatan kuesioner. Kuesioner tersebut berisikan tentang pemahaman, sikap, dan tindakan petani tentang tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon yang berada di daerah tempat tikus uji tersebut diambil. Kuesioner tersebut berisi 20 pertanyaan dan diberikan kepada 67 responden.

Tahap Pengujian Rodentisida

Pengujian rodentisida dilakukan untuk mengetahui tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida. Pengujian tingkat kejeraan tikus tersebut menggunakan metode tanpa pilihan (no choice test). Asumsi konsumsi untuk setiap jenis rodentisida adalah

jika blok atau capuran umpan dan rodentisida tersebut telah dimakan ≥ 1 g.

Rodentisida akut (Gambar 4) yang berbahan aktif seng fosfida sebanyak 1% dicampur dengan beras dan ditambah minyak nabati agar bubuk seng fosfida tersebut menempel pada beras. Campuran beras dan bubuk seng fosfida tersebut ditaruh pada mangkok sebanyak 10-11 g. Campuran tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan konsumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat kejeraan tikus tersebut.

Rodentisida kronis (Gambar 5) yang berbahan aktif kumatetralil, bromadiolon, brodifakum, dan flokumafen diletakkan pada mangkok sebanyak 4-5 blok (tergantung bobot tubuh tikus). Sebelum diberikan kepada tikus, rodentisida kronis ditimbang dahulu bobot blok tersebut. Blok tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan konsumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat kejeraan tikus tersebut.

Rodentisida nabati (Gambar 6) yang berbahan aktif gadung diberikan dalam bentuk blok. Setiap mangkok diberi 1 blok yang sebelumnya ditimbang terlebih dahulu bobotnya. Untuk bahan aktif mahoni, jarak merah, dan bintaro diberikan dalam ekstrak kasar yang dicampur dengan beras dan bahan tambahan lainnya. Setiap mangkok diberikan 15-16 g. Rodentisida tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan kansumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat kejeraan tikus tersebut.


(34)

Semua rodentisida tersebut diujikan pada tikus sawah, tikus rumah dan tikus pohon. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk menghitung konsumsi terhadap rodentisida dengan cara mengurangi bobot awal dengan bobot akhir termasuk rodentisida yang tercecer pada bagian dasar kandang.

Setelah konsumsi tikus tersebut sudah dihitung makan dapat diketahui tingkat kejeraaan tikus dari rodentisida yang diberikan. Pencatatan dilakukan terhadap jumlah hari penundaan konsumsi. Kemudian dilakukan perhitungan persentasi terhadap tingkat jera tikus terhadap rodentisida dengan skala skoring.

Tahap Pengujian Umpan Dasar

Pengujian tingkat jera umpan pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

dengan umpan dasar (Gambar 7) yaitu beras dan gabah. Pengujian ini dilakukan

untuk mengetahui tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dasar serta sebagai pembanding terhadap rodentisida. Pengujian dilakukan dengan memberikan beras dan gabah sebesar 20-21 g setiap mangkok kepada tikus uji. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dicatat konsumsi tikus terhadap umpan dasar tersebut (asumsi konsumsi

adalah umpan tersebut telah dimakan ≥ 1 g) serta jumlah hari penundaan konsumsi.

Setalah itu dilakukan perhitungan persentase tingkat jera tikus terhadap umpan dengan skala skoring.

Tahap Pemberian Kuesioner

Metode ini dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida dengan melakukan wawancara dan pemberian kuesioner terhadap petani yang sawahnya digunakan untuk mengambil tikus sawah di Kabupaten Subang dan Pati. Demikian juga pemberian kuesioner kepada masyarakat yang rumahnya digunakan untuk mengambil tikus rumah dan petani yang ladangnya digunakan untuk mengambil tikus pohon di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Kuesioner tersebut berisi kurang lebih 20 pertanyaan yang

diberikan kepada 67 responden tentang pemahaman, sikap, dan tindakan terhadap


(35)

rodentisida. Data tersebut dikumpulkan, diolah, dilihat pengaruhnya, serta dihubungkan dan dibandingkan dengan hasil perhitungan tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida. Dari hasil pembandingan tersebut dapat diambil korelasi faktor yang menjadi penyebab tingkat kejeraan tersebut.

Gambar 4 Rodentisida akut

kumatetralil granural kumatetralil blok bromadiolon 2

bromadiolon 3 bromadiolon 4 brodifakum 1


(36)

brodifakum 7 brodifakum 8 brodifakum 10

brodifakum 13 brodifakum 15 brodifakum 16

brodifakum 17 flokumafen

Gambar 5 Rodentisida kronis

gadung mahoni jarak bintaro


(37)

beras gabah Gambar 7 Umpan dasar (beras dan gabah)  

Perhitungan Tingkat Kejeraan Tikus terhadap Umpan dan Rodentisida Perhitungan tingkat kejeraan umpan dan rodentisida didapatkan dengan metode skoring jera konsumsi umpan dan rodentisida.

Tabel 1 Skoring tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida

Skala Skor Konsumsi Tikus Hari ke- Tingkat Kejeraan

0 0 tidak ada

1 1-2 sangat rendah

2 3-4 rendah

3 5-6 sedang

4 7-8 tinggi

5 >8 sangat tinggi

Setelah dikelompokkan tingkat kejeraan konsumsi tikus terhadap umpan dan rodentisida maka dilanjutkan dengan menghitung persentasi tingkat kejeraan dengan menggunakan rumus:

PK =   ∑    


(38)

Keterangan: PK = Persentasi Kejeraan

vi = Skoring/nilai

V = Nilai skor terbesar

ni = Jumlah tikus uji di dalam skor

N = Jumlah tikus uji yang diamati

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengamati tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida kronis (berbahan aktif bromadiolon) dan umpan dasar (beras) adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 hewan uji dan 3 daerah yaitu tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor yang digunakan sebagai perlakuan dan presentase kejeraan tikus dari setiap rodentisida dan umpan sebagai ulangan. Perbandingan nilai tengah dan analisis ragam diproses

dengan one way ANOVA, apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata maka

dilanjutkan dengan Uji Selang Ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada

taraf α = 5% dan taraf α = 1% menggunakan bantuan program SAS for Windows V.


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah

(R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida dengan perlakuan no-choice diperoleh hasil pada Tabel 2.

Tabel 2 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida

Perlakuan Tingkat kejeraan (%)

Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor

Seng fosfida 1 12.43 NT NT

Seng fosfida 2 14.00 NT NT

Seng fosfida 3 NT 14.05 10.00

Seng fosfida 4 NT 0.00 NT

Rataan 13.22 7.03 10.00

Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Seng fosfida merupakan bahan aktif dari rodentisida akut yang dapat mematikan tikus hanya dalam beberapa jam dan hanya dengan sedikit konsumsi rodentisida tersebut. Pada umumnya seng fosfida diaplikasikan untuk tikus sawah tetapi juga beberapa diaplikasikan untuk tikus rumah. Seng fosfida tersebut memiliki kelemahan, karena dapat mematikan tikus dengan cepat. Pada aplikasi di lapangan jika seekor tikus sudah memakan rodentisida tersebut dengan umpan beras lalu mati tidak jauh dari tempat pemberian, maka tikus lain yang melihat seekor tikus sudah mati setelah memakan rodentisida, tidak mau memakannya lagi (jera racun).

Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida menunjukkan bahwa terhadap seng fosfida 2 (14%) memiliki tingkat kejeraan terhadap rodentisida yang lebih tinggi dari pada seng fosfida 1 (12.43%). Hasil tersebut tidak berbeda jauh karena menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang, dari 20 responden, semua menggunakan seng fosfida untuk mengendalikan tikus sawah. Tikus sawah pada uji tersebut sudah jera terhadap seng fosfida karena bahan aktif tersebut merupakan racun akut dengan bau yang menyengat, membuat tikus enggan untuk memakannya.


(40)

Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida menunjukkan bahwa tingkat kejeraan yang lebih tinggi terhadap seng fosfida 3 (14.05%) dibandingkan dengan seng fosfida 4 (0%). Hal tersebut karena perbedaan waktu dalam pengambilan, serta alat transportasi yang digunakan untuk mengambil tikus sawah uji tersebut. Pengambilan tikus sawah uji untuk perlakuan seng fosfida 3 lebih dahulu serta menggunakan alat transportasi berupa bus dan ditempatkan pada bagasi sehingga panas. Tikus sawah pada seng fosfida 4 diambil dengan yang menggunakan alat transportasi mobil sedan sehingga lebih mendapat udara bebas yang berpengaruh terhadap kondisi psikologis dari tikus sawah tersebut.

Untuk tikus rumah jarang diberi perlakuan seng fosfida karena tikus rumah biasanya akan jera jika melihat tikus lain mati setelah mengonsumsi umpan yang diberi seng fosfida tersebut. Seng fosfida mempunyai kelebihan yaitu matinya tikus tidak jauh dari tempat memakan umpan yang diberi seng fosfida, maka dapat langsung diambil dan dikubur. Sementara itu pada rodentisida kronis tikus dapat mati di sembarang tempat, sehingga dapat menimbulkan bau yang tidak sedap. Persentase kejeraan tikus rumah terhadap seng fosfida sebesar 10% karena tikus rumah tersebut mengalami penundaan konsumsi yang cukup lama.

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Kumatetralil

Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil

dengan metode perlakuan no-choice didapatkan hasil persentase kejeraan yang

terdapat pada Tabel 3. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa tingkat kejeraan tertinggi terhadap kumatetralil 1 (38.33%) dan tingkat kejeraan terendah terhadap kumatetralil 3 (14.44%). Hal tersebut karena tikus sawah uji mengalami penundaan konsumsi terhadap kumatetralil 1. Dari 36 tikus uji, selama 1 hari mengalami penundaan konsumsi 1 tikus, 1 tikus selama 8 hari, 9 tikus selama 9 hari, 1 tikus selama 11 hari. Penyebabnya adalah faktor pemerangkapan tikus, yang mempengaruhi kejeraan tikus ketika diujikan di dalam kandang tikus tunggal, serta perlakuan adaptasi hanya 1-2


(41)

hari sehingga kurang lama yang menyebabkan tikus sawah kurang nyaman dengan kondisi lingkungan sekitar karena minimal waktu untuk adaptasi adalah 3 hari agar tikus mulai terbiasa dengan keadaan di dalam laboratorium pengujian (Permadi 2009).

Tabel 3 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil

Perlakuan Tingkat Kejeraan (%)

Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor

Kumatetralil 1 38.33 9.33 NT

Kumatetralil 2 NT NT 6.38

Kumatetrallil 3 14.44 NT 1.21

Rataan 26.39 9.33 3.80 Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa persentase kejeraan terhadap kumatetralil sebesar 9.33%. Tingkat kejeraan tersebut seharusnya tidak setinggi ini, tetapi hal tersebut dapat terjadi karena perpindahan jarak yang jauh dari Kabupaten Pati sampai ke Bogor menyebabkan kondisi tikus menjadi kurang sehat dan psikologis tikus menjadi terganggu sehingga nafsu makan tikus menurun yang menyebabkan penundaan terhadap konsumsi rodentisida.

Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa kumatetralil 2 (6.38%) mempunyai tingkat kejeraan tikus yang lebih tinggi dari pada kumatetralil 3 (1.21%). Hal tersebut karena tikus pohon mengalami penundaan konsumsi yang cukup lama untuk kumatetralil 2 yaitu ada 2 tikus yang mengalami penundaan konsumsi selama 5 hari, 1 tikus selama 3 hari, 3 tikus selama 2 hari, dan 4 tikus selama 1 hari. sedangkan untuk kumatetralil 3 hanya 2 tikus pohon yang mengalami penundaan konsumsi selama 3 hari.

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida

Bromadiolon

Pengujian tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida bromadiolon yang diujikan kepada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dengan perlakuan


(42)

no-choice (tanpa pilihan) diperoleh hasil persentase kejeraan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap bromadiolon

Perlakuan Tingkat Kejeraan (%)

Tikus sawah Subang Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor

Bromadiolon 1 5.64 NT NT

Bromadiolon 2 14.35 NT NT

Bromadiolon 3 NT 5.33 NT

Bromadiolon 4 NT 1.29 NT

Bromadiolon 5 8.52 NT NT

Bromadiolon 6 18.71 NT NT

Bromadiolon 7 18.33 NT 11.67

Rataan 13.11 3.31 11.67 Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis yang berbahan aktif bromadiolon menunjukkan paling tinggi pada bromadiolon 6 (18.71%) dan paling rendah pada bromadiolon 1 (5.64%). Hal ini karena pada bromadilon 6 dilakukan pengujian terhadap tikus sawah uji terlebih dahulu dibandingkan dengan bromadiolon 1. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang, dalam sejarahnya pengendalian hama tikus sebelum tahun 80-an dilakukan dengan digali dan dipukul (gropyok). Mulai tahun 80-an digunakan emposan dan rodentisida. Awal tahun 2000-an digunakan sistem TBS (Trap Barrier System) serta gropyokan yang setiap minggu berjalan dengan baik, sementara penggunaan rodentisida sudah mulai berkurang. Efek dari penggunaan rodentisida yang secara intensif adalah meningkatkan kejeraan tikus terhadap rodentisida. Sejak awal tahun 2000-an penggunaan rodentisida sudah mulai berkurang tetapi efeknya dapat dirasakan sampai beberapa tahun ke depan, maka tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida tersebut mulai menurun setelah jarang digunakan rodentisida.

Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif bromadiolon menunjukkan bahwa bromadiolon 3 (5.33%) menunjukkan tingkat kejeraan yang lebih tinggi dari pada bromadilon 4 (1.29%). Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor dari 16


(43)

responden ada 7 orang yang menggunakan rodentisida dan 2 diantaranya menggunakan bromadiolon 4, sehingga bromadiolon 4 lebih dikenali oleh tikus rumah, dilihat dari tingginya tingkat konsumsi, sehingga tingkat kejeraannya lebih rendah dibandingkan bromadiolon 3.

Tikus pohon Bogor diprediksi menunjukkan tingkat kejeraan yang paling rendah dibandingkan dengan tikus sawah dan tikus rumah tetapi pada bromadiolon 7 mencapai 11.67%. Hal tersebut karena dari 12 tikus ada 1 tikus yang bertahan sampai hari ke 10 dengan tidak mengonsusmsi rodentisida tersebut dan akhirnya perlakuan dihentikan.

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida

Brodifakum

Hasil yang diperoleh dari pengujian tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida brodifakum menunjukkan persentase kejeraan pada Tabel 5. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa brodifakum 14 (41.25%) memiliki tingkat kejeraan tertinggi dan brodifakum 16 (8.09%) memiliki tingkat kejeraan terendah. Tingkat kejeraan tersebut dikarenakan perbedaan waktu pengambilan tikus sawah tersebut. Dari hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang terhadap 20 petani, 3 diantaranya menggunakan rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum dan juga rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida. Alasan kurang menggunakan rodentisida akut karena rodentisida tersebut akan luntur jika terkena hujan. Rodentisida akut berbentuk tepung, dengan umpan gabah yang dicampur dengan oli atau minyak sayur sebagai perekat. Pada musim hujan digunakan rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum dengan dosis yang tidak sesuai aturan, hanya menurut perkiraan yaitu 1 kg/ha untuk setiap musimnya.


(44)

Tabel 5 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum

Perlakuan Tingkat kejeraan (%)

Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor

Brodifakum 1 NT NT NT 4.00

Brodifakum 2 NT NT NT 10.91

Brodifakum 3 20.87 NT NT NT

Brodifakum 4 10.91 NT 4.76 5.90

Brodifakum 5 13.30 NT 8.00 4.00

Brodifakum 6 NT NT 5.37 NT

Brodifakum 7 NT NT NT 7.22

Brodifakum 8 27.59 NT NT NT

Brodifakum 9 13.60 NT NT NT

Brodifakum 10 NT NT 6.38 NT

Brodifakum 11 33.33 5.93 0.00 3.45

Brodifakum 12 30.77 4.44 6.67 1.94

Brodifakum 13 40.87 4.29 3.33 0.61

Brodifakum 14 41.25 6.67 NT 4.52

Brodifakum 15 NT NT NT 6.00

Brodifakum 16 8.09 NT NT NT

Brodifakum 17 NT NT NT 4.00

Brodifakum 18 20.53 NT NT NT

Brodifakum 19 14.55 NT NT 1.67

Brodifakum 20 20.00 NT NT 4.62

Brodifakum 21 25.00 NT NT 0.00

Brodifakum 22 NT NT NT 1.67

Brodifakum 23 18.58 NT NT 0.00

Rataan 22.62 5.33 4.93 3.78

Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa tingkat kejeraan tertinggi pada brodifakum 14 (6.67%) dan tingkat kejeraan terendah pada brodifakum 13 (4.29%). Hal tersebut disebabkan oleh tikus sawah uji pada brodifakum 14 mengalami penundaan konsumsi lebih lama dibandingkan dengan brodifakum 13. Pada perlakuan brodifakum 14 ada satu tikus yang mengalami penundaan konsumsi sampai 5 hari yang dapat disebabkan oleh kondisi tikus yang kurang fit atau faktor psikologis dari tikus tersebut. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Pati, pengendalian terhadap tikus sawah tidak banyak dilakukan, maka tikus sawah tersebut tidak banyak


(45)

mengalami tekanan pengendalian dari manusia, sehingga belum memiliki tingkat kejeraan yang tinggi.

Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan persentase kejeraan tertinggi terhadap brodifakum 5 (8%) dan terendah terhadap brodifakum 13 (3.33%). Brodifakum 5 lebih sering diaplikasikan sehingga seharusnya tikus lebih mengenali brodifakum 5 dibandingkan brodifakum 13 karena menurut hasil wawancara yang dilakukan melalui kuesioner terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor bahwa dari 16 responden ada 7 orang yang pengendaliannya menggunakan rodentisida dan 4 diantaranya menggunakan brodifakum 5. Dengan sering diaplikasikan, maka tikus rumah sudah mengenali rodentisida tersebut maka seharusnya tikus tidak mengalami penundaan konsumsi tetapi yang terjadi sebaliknya karena tikus rumah pada perlakuan brodifakum 5 mengalami penundaan konsumsi selama 1 hari sebanyak 4 tikus.

Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa brodifakum 2 (10.31%) memiliki tingkat kejeraan tertinggi serta brodifakum 21 dan 23 (0%) yang terendah. Hal tersebut karena pada brodifakum 2 ada 5 tikus yang mengalami penundaan konsumsi selama 2 hari dan 1 tikus mengalami penundaan konsumsi selama 1 hari. Menurut hasil wawancara yang dilakukan melalui kuesioner kepada masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor, bahwa dari 11 responden semua menjawab tidak pernah melakukan aplikasi rodentisida. Menurut pendapat mereka kerugian yang disebabkan oleh tikus pohon tersebut tidak terlalu besar maka tidak perlu dilakukan pengendalian, cukup hanya didiamkan saja. Hal tersebut yang menyebabkan persentase kejeraan brodifakum 21 dan 23 sebesar 0%.

Dilakukan pengujian dengan menggunakan ANOVA terhadap rodentisida brodifakum. Perakuan yang digunakan untuk membandingkan adalah tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Untuk ulangan yang digunakan adalah dari setiap bahan aktif yang diujikan. Didapatkan hasil yang tertera pada Tabel 6.


(46)

Tabel 6 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum

Perlakuan Tingkat Kejeraan

tikus sawah Subang 22.59 aA

tikus sawah Pati 5.33 bB

tikus rumah Bogor 4.92 bB

tikus pohon Bogor 3.78 bB

Pr > F 0.0001

Ket. Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5%

(huruf kecil) dan taraf α = 1% (huruf besar)

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa menurut uji Duncan α = 5% dan α = 1%

menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara tikus sawah Subang dengan tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Sedangkan antara tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata pada Uji Duncan α = 5% dan α = 1%.

Menurut Permadi (2009) pada perbandingan perlakuan brodifakum terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada tikus sawah dengan tikus rumah dan tikus pohon serta tidak berbeda nyata antara tikus rumah dan tikus pohon pada uji Duncan 5% dan 1%.

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Flokumafen

Pengujian tingkat kejeraan terhadap rodentisida flokumafen pada tikus sawah dan tikus pohon dengan pengujian no-choice didapatkan hasil persentase kejeraan yang disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap flokumafen

Perlakuan Tingkat Kejeraan (%)

Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor

Flokumafen 1 7.27 (n=44) 2.79 (n=43)

Rataan 7.27 2.79


(47)

Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif flokumafen menunjukkan besaran 7.27%. Hal tersebut disebabkan perpindahan jarak yang jauh dari daerah Pati sampai ke Bogor sehingga kondisi tikus tersebut kurang sehat serta kondisi psikologis yang terganggu karena perjalanan yang kurang lebih selama 12 jam dan kurang udara. Penyebab tersebut dapat menurunkan nafsu makan tikus sawah uji tersebut.

Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif flokumafen menunjukkan besaran 2.79%. Hal tersebut dikarenakan rodentisida flokumafen mempunyai aroma yang khas bisa menarik tikus pohon tersebut untuk memakannnya sehingga tingkat kejeraannya rendah.

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah

(R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Nabati

Pengujian tingkat kejeraan juga dilakukan terhadap rodentisida nabati yang diujikan kepada tikus sawah dan tikus rumah. Pengujian dilakukan dengan metode no-choice (tanpa pilihan) dan didapatkan hasil pada Tabel 8. Semakin banyaknya penggunaan rodentisida sintetis yang tidak sesuai aturan, dapat menimbulkan resistensi terhadap tikus serta tidak ramah lingkungan. Dengan demikian, perlu adanya perubahan pola pikir dan tindakan dilengkapi dengan penggunaan rodentisida nabati yang lebih ramah lingkungan, mudah untuk didapat serta murah. Meskipun ada kekurangannya, yaitu tidak tahan lama dan sedikit rumit dalam pembuatannya.

Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap mahoni yang tertinggi pada konsentrasi 32% (52%) dan terendah pada konsentrasi 8% (5%). Untuk jarak, persentase kejeraan tikus sawah tertinggi pada konsentrasi 32% (35%) dan terendah pada konsentrasi 8% (5%). Hal tersebut disebabkan semakin tinggi dosis tanaman yang dicampurkan pada umpan, maka semakin membuat tikus menjadi curiga dan meningkatkan nilai kejeraannya. Untuk bintaro, dari semua konsentrasi persentase kejeraan sebesar 0%. Perbedaan antara tingkat kejeraan mahoni dan jarak merah dengan bintaro adalah pada mahoni dan jarak merah yang digunakan adalah ekstrak kasar yang dicampur dengan beras, sehingga tikus dapat melihat campuran tanaman


(48)

tersebut pada umpan beras. Semakin tinggi dosis tanaman, semakin banyak campuran yang terlihat oleh tikus, sehingga membuat tikus semakin curiga. Pada bintaro yang digunakan adalah ekstrak halus sehingga perasannya dicampur dengan beras, maka tikus tidak mengalami kecurigaan dan kejeraan. Selain itu bau yang ditimbulkan oleh mahoni dan jarak merah lebih menyengat dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh bintaro, sehingga tikus tidak tertarik untuk mengonsumsi jarak merah dan mahoni tersebut dan lebih tertarik terhadap bintaro.

Tabel 8 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap rodentisida nabati

Perlakuan Tingkat kejeraan (%)

Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor

Mahoni 8% 5.00 NT

Mahoni 16% 16.67 NT

Mahoni 24 % 6.67 NT

Mahoni 32% 52.00 NT

Rataan mahoni 20.09 NT

Jarak 8% 5.00 NT

Jarak 16% 25.00 NT

Jarak 24% 32.00 12.00

Jarak 32% 35.00 6.67

Rataan jarak merah 24.25 9.34

Bintaro 8% 0.00 NT

Bintaro 16% 0.00 NT

Bintaro 24% 0.00 NT

Bintaro 32% 0.00 NT

Rataan bintaro 0.00 NT

Gadung 10% 26.15 5.71

Gadung 20% 9.09 5.45

Gadung 25% 2.50 0.00

Gadung 30% 5.45 25.00

Rataan gadung 10.80 9.04

Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Tingkat kejeraan tikus sawah terhadap gadung, paling tinggi pada konsentrasi 10% (26.15%) dan terendah pada konsentrasi 25% (2.5%). Hal tersebut dikarenakan pada konsentrasi 10% serta kontrol blok konsentrasi 0% (20%) pada saat pembuatannya karamel yang diberikan kurang sehingga tidak menarik bagi tikus sawah untuk mengonsumsi blok tersebut. Sedangkan untuk konsentrasi 25% adalah


(1)

33 Nakaew N, Pathom-aree W, Lumyong S. 2009. First record of the isolation, identification and activity of a new strain of Spirillospora albida from Thai cave soil. Actinomycetologica 23(1):1-7.

[NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2011. BLAST. National Library of Medicine US. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST/ [5 Oktober 2011].

Nimnoi P, Pongsilp N, Lumyong S. 2010. Endophytic actinomycetes isolated from Aquilaria crassna Pierre ex Lec and screening of plant growth promoters production. World J Microbiol Biotechnol 26:193-203.

Nino-Liu DO, Ronald PC, Bogdanove AJ. 2006. Xanthomonas oryzae pathovar: model pathogens of a model crop. Mol Plant Pathol 7(5):303-324.

Nugraha Y, Lestari AP, Diredja M, Nasution A. 2008. Galur-galur padi hibrida perbaikan IR58025A/B: penampilan dan reaksi terhadap hawar daun bakteri. Di dalam: Makarim et al., editor. Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan; 28-29 Agustus 2007. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm 368-376. Oskay M, Tamer AU, Azeri C. 2004. Antibacterial activity of some

actinomycetes isolated from farming soils of Turkey. Afr J Biotechnol

3(9):441-446.

Oskay M. 2009. Antifungal and antibacterial compounds from Streptomyces

strains. Afr J Biotechnol 8(13):3007-3017.

Pandey A, Shukla A, Majumdar SK. 2005. Utilization of carbon and nitrogen sources by Streptomyces kanamycetius M 27 for the production of an anti bacterial antibiotic. Afr J Biotechnol 4(9):909-910.

Patil HJ, Srivastava AK, Singh DP, Chaudhari BL, Arora DK. 2011. Actinomycetes mediated biochemical responses in tomato (Solanum lycopersicum) enhances bioprotection against Rhizoctonia solani. Crop Prot 30:1269-1273.

[Puslitbang Tanaman Pangan] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2007. Masalah Lapang Hama, Penyakit, Hara pada Tanaman Padi. Bogor: Puslitbang Tanaman Pangan.

Putra MC. 2011. Kompatibilitas Bacillus spp. dan aktinomiset sebagai agens hayati Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan pemicu pertumbuhan padi [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2000. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Minnesota: APS Press.

Semangun H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Shirling EB, Gottlieb D. 1966. Methods for characterization of Streptomyces

species. Int J Syst Bacteriol 16(3):313-340.

Singh D, Mathur SB. 2004. Histopathology of Seed Borne Infection. Florida: CRC Press.


(2)

34 Song J, Lee SC, Kang JW, Baek HJ, Suh JW. 2004. Phylogenetic analysis of

Streptomyces spp. from potato scab lesions in Korea on the basis of 16S rRNA gene and 16S-23S rDNA internally transcribed spacer sequences. Int J Syst Evol Micobiol 54:203-209.

Suparyono, Sudir, Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas oryzae

pv. oryzae isolates from the rice ecosystem in Java. Indon J Agric Sci

5(2):63-69.

Suryadi Y, Kadir TS, Machmud M. 2006. Deteksi Xanthomonas oryzae pv.

oryzae, penyebab hawar daun bakteri pada tanaman padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(2):108-115.

Swings J, Mooter MVD, Vauterin L, Hoste B, Gillis M, Mew TW, Kersters K. 1990. Reclasification of the causal agents of bacterial bligt (Xanthomonas campestris pv. oryzae) and bacterial leaf streak (Xanthomonas campestris

pv. oryzicola) of rice as pathovars of Xanthomonas oryzae (ex Ishiyama 1992) sp. nov., nom rev. Int J Syst Bacteriol 40(3):309-311.

Walsh C. 2003. Antibiotics: Actions, Origins, Resistance. Washington, DC: ASM Press.

Wilkins K, Schöller C. 2009. Volatile organic metabolites from selected

Streptomyces strains. Actinomycetologica 23(2):27-33.

Zhang Z, Schwartz S, Wagner L, Miller W. 2000. A greedy algorithm for aligning DNA sequences. J Comput Biol 7(1-2):203-14.


(3)

(4)

36 Lampiran 1 Komposisi media yang digunakan dalam penelitian

Nama media Bahan Jumlah bahan (g/l)

Yeast dextrose carbonate agar (YDCA)

Yeast extract 10

Dextrose 20

CaCO3 20

Agar-agar 15

Casamino acid yeast extract glucose agar (YCED)

Yeast extract 0,3

Casein enzymatic hidrolysate

0,3

D-Glucose (C6H12O6) 0,3

K2HPO4 2

Agar-agar 18

Water yeast extract agar

(WYE)

Yeast Extract 0,25

K2HPO4 0,5

Agar-agar 18

Nutrient agar (NA) Beef extract 3

Peptone 5

Agar-agar 15

Luria Bertani broth (LB) Tryptone 10

NaCl 5

Yeast extract 5

Lampiran 2 Hasil uji patogenisitas isolat X. oryzae pv. oryzae. a) Hasil uji reaksi hipersensitivitas pada tembakau, b) Hasil inokulasi pada daun padi sehat

b

a


(5)

37 Lampiran 3 Sekuen parsial gen 16S rRNA isolat ATS6

1 ATGCAGTCGA ACGATGAACC TCCTTCGGGA GGGGATTAGT GGCGAACGGG TGAGTAACAC 60 61 GTGGGCAATC TGCCCTTCAC TCTGGGACAA GCCCTGGAAA CGGGGTCTAA TACCGGATAC 120 121 GACTGCGGGA GGCATCTCCT GTGGTGGAAA GCTCCGGCGG TGAAGGATGA GCCCGCGGCC 180 181 TATCAGCTTG TTGGTGGGGT AATGGCCCAC CAAGGCGACG ACGGGTAGCC GGCCTGAGAG 240 241 GGCGACCGGC CACACTGGGA CTGAGACACG GCCCAGACTC CTACGGGAGG CAGCAGTGGG 300 301 GAATATTGCA CAATGGGCGA AAGCCTGATG CAGCGACGCC GCGTGAGGGA TGACGGCCTT 360 361 CGGGTTGTAA ACCTCTTTCA GCAGGGAAGA AGCGAAAGTG ACGGTACCTG CAGAAGAAGC 420 421 GCCGGCTAAC TACGTGCCAG CAGCCGCGGT AATACGTAGG GCGCAAGCGT TGTCCGGAAT 480 481 TATTGGGCGT AAAGAGCTCG TAGGCGGCTT GTCACGTCGG ATGTGAAAGC CCGAGGCTTA 540 541 ACCTCGGGTC TGCATTCGAT ACGGGCTAGC TAGAGTGTGG TAGGGGAGAT CGGAATTCCT 600 601 GGTGTAGCGG TGAAATGCGC AGATATCAGG AGGAACACCG GTGGCGAAGG CGGATCTCTG 660 661 GGCCATTACT GACGCTGAGG AGCGAAAGCG TGGGGAGCGA ACAGGATTAG ATACCCTGGT 720 721 AGTCCACGCC GTAAACGTTG GGAACTAGGT GTTGGCGACA TTCCACGTCG TCGGTGCCGC 780 781 AGCTAACGCA TTAAGTTCCC CGCCTGGGGA GTACGGCCGC AAGGCTAAAA CTCAAAGGAA 840 841 TTGACGGGGG CCCGCACAAG CGGCGGAGCA TGTGGCTTAA TTCGACGCAA CGCGAAGAAC 900 901 CTTACCAAGG CTTGACATAT ACCGGAAACA CTCAGAGATG GGTGCCCCCT TGTGGTCGGT 960 961 ATACAGGTGG TGCATGGCTG TCGTCAGCTC GTGTCGTGAG ATGTTGGGTT AAGTCCCGCA 1020 1021 ACGAGCGCAA CCCTTGTCCT GTGTTGCCAG CATGCCCTTC GGGGTGATGG GGACTCACAG 1080 1081 GAGACCGCCG GGTCAACTCG GAAGAAGGTG GGGACGACGT CAAGTCATCA TGCCCCTTAT 1140 1141 GTCTTGGGCT GCACACGTGC TACAATGGCC GGTACAATGA GCTGCGATAC GGAGGTGGAC 1200 1201 CGAATCTCAA AAACCCGGTT CCAGTTCGGA TTGGGTCTGC ACTCGAACCC T 1251

Lampiran 4 Sekuen parsial gen 16S rRNA isolat APS7

1 GGGGCGTGCT TAACATGCAG TCGAACGATG AAGCCCTTCG GGGTGGATTA GTGGCGAACG 60 61 GGTGAGTAAC ACGTGGGCAA TCTGCCCTGC ACTCTGGGAC AAGCCCTGGA AACGGGGTCT 120 121 AATACCGGAT AACACCCTCG CAGGCATCTG CGAGGGTTAA AAGCTCCGGC GGTGCAGGAT 180 181 GAGCCCGCGG CCTATCAGCT TGTTGGTGAG GTAACGGCTC ACCAAGGCGA CGACGGGTAG 240 241 CCGGCCTGAG AGGGCGACCG GCCACACTGG GACTGAGACA CGGCCCAGAC TCCTACGGGA 300 301 GGCAGCAGTG GGGAATATTG CACAATGGGC GAAAGCCTGA TGCAGCGACG CCGCGTGAGG 360 361 GATGACGGCC TTCGGGTTGT AAACCTCTTT CAGCAGGGAA GAAGCGAGAG TGACGGTACC 420 421 TGCAGAAGAA GCGCCGGCTA ACTACGTGCC AGCAGCCGCG GTAATACGTA GGGCGCAAGC 480 481 GTTGTCCGGA ATTATTGGGC GTAAAGAGCT CGTAGGCGGC TTGTCACGTC GATTGTGAAA 540 541 GCCCGAGGCT TAACCTCGGG TCTGCAGTCG ATACGGGCTA GCTAGAGTGT GGTAGGGGAG 600 601 ATCGGAATTC CTGGTGTAGC GGTGAAATGC GCAGATATCA GGAGGAACAC CGGTGGCGAA 660 661 GGCGGATCTC TGGGCCATTA CTGACGCTGA GGAGCGAAAG CGTGGGGAGC GAACAGGATT 720 721 AGATACCCTG GTAGTCCACG CCGTAAACGG TGGGAACTAG GTGTTGGCGA CATTCCACGT 780 781 CGTCGGTGCC GCAGCTAACG CATTAAGTTC CCCGCCTGGG GAGTACGGCC GCAAGGCTAA 840 841 AACTCAAAGG AATTGACGGG GGCCCGCACA AGCGGCGGAG CATGTGGCTT AATTCGACGC 900 901 AACGCGAAGA ACCTTACCAA GGCTTGACAT ACACCGGAAA GCATTAGAGA TAGTGCCCCC 960 961 CTTGTGGTCG GTGTACAGGT GGTGCATGGC TGTCGTCAGC TCGTGTCGTG AGATGTTGGG 1020 1021 TTAAGTCCCG CAACGAGCGC AACCCTTGTT CTGTGTTGCC AGCATGCCCT TCGGGGTGAT 1080 1081 GGGGACTCAC AGGAGACCGC CGGGGTCAAC TCGAAGAAGG TGGGGACGAC GTCAAGTCAT 1140 1141 CATGCCCCTT ATGTCTTGGG CTGCACACGT GCTACAATGG CCGGTACAAT GAGCTGCGAT 1200 1201 ACCGTGAGGT GGACCGAATC TCAAAAAGCC GGTTCCATTC GGATTGGTTT GAAAT 1255


(6)

38 Lampiran 5 Hasil analisis ragam persentase perkecambahan benih padi setelah

perlakuan perendaman benih dengan aktinomiset Sumber keragaman Derajat bebas (Db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Pr>F

Perlakuan 4 33,3963733 8,3490933 0,94 0,4786

Galat 10 88,6126000 8,8612600

Total terkoreksi

14 122,0089733

Lampiran 6 Hasil analisis ragam tinggi tunas kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih

Sumber keragaman Derajat bebas (Db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Pr>F

Perlakuan 4 0,94497333 0,23624333 0,63 0,6515

Galat 10 3,74346667 0,37434667

Total terkoreksi

14 4,68844000

Lampiran 7 Hasil analisis ragam panjang akar kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih

Sumber keragaman Derajat bebas (Db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Pr>F

Perlakuan 4 4,81449333 1,20362333 1,77 0,2105

Galat 10 6,78246667 0,67824667

Total terkoreksi

14 11,59696000

Lampiran 8 Hasil analisis ragam bobot per 10 kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih

Sumber keragaman Derajat bebas (Db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Pr>F

Perlakuan 4 0.01054360 0.00263590 0.35 0.8363

Galat 5 0.03796400 0.00759280

Total terkoreksi