Faktor Risiko Terkait Manajemen Kesehatan Unggas Terhadap Infeksi Virus Avian Influenza Di Tempat Penampungan Ayam

FAKTOR RISIKO TERKAIT MANAJEMEN KESEHATAN
UNGGAS TERHADAP INFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA
DI TEMPAT PENAMPUNGAN AYAM

ZUDANANG

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

FAKTOR RISIKO TERKAIT MANAJEMEN KESEHATAN
UNGGAS TERHADAP INFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA
DI TEMPAT PENAMPUNGAN AYAM

ZUDANANG

SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

i

ABSTRACT

ZUDANANG. The Risk Factor of Poultry Health Management to the
Infection of Avian Influenza Virus in Poultry Collecting Facilities. Under
supervision of ETIH SUDARNIKA and CHAERUL BASRI.
The aim of the study was to determine the association between the
implementation of poultry health management with spreading of avian influenza
virus (AIV) in Poultry Collecting Facilities (PCFs) in Jakarta. The study was
performed using secondary data of the AIV surveilance collaboration of Center
for Indonesian Veterinary Analitical Studies (CIVAS) and Indonesian Dutch
Partnership (IDP) at 2007 by maintained the sentinel chickens (7-8 birds) in 39
PCFs for three months. The variables which related to poultry health
management were health certificate, health inspection, health inspector, health

inspection method, and handling of sick and dead birds. It was collected by
interview with supervisor of PCFs. The AIV infection were taken from the
cloacal and tracheal swab of the dead birds with rt-PCR. The results showed that
the variable of handling of sick birds were significantly associated with infection
of AIV (RR=2,00 ; 95% CI = 1,31-3,05). The other variables did not show
significance association. The risk of AIV infection for kept the sick birds alive, or
separated, or treated them in the same cage are twice greater than slaughtered
them. Poultry health management in PCFs need to be improved as an effort to
prevent and control the spreading of AIV in Indonesia.
Keyword :

avian influenza, poultry health management, poultry collecting
facilities (PCFs), relative risk (RR)

ii

RINGKASAN

ZUDANANG. Faktor Risiko Terkait Manajemen Kesehatan Unggas Terhadap
Infeksi Virus Avian Influenza di Tempat Penampungan Ayam. Dibimbing oleh

ETIH SUDARNIKA dan CHAERUL BASRI.
Produk unggas seperti daging dan telur merupakan komoditas utama
konsumsi protein hewani bagi masyarakat Indonesia. Sebagian besar produk
tersebut didapatkan dari pasar, baik pasar tradisional maupun pasar modern.
Pasar tradisional sebagai salah satu penyedia daging ayam berpeluang
menyebabkan hadirnya pasar unggas hidup. Pasar unggas hidup merupakan
tempat berkumpulnya berbagai jenis unggas dari daerah pemasok sebelum dibawa
ke tempat pemotongan unggas atau distribusi lebih lanjut. Pasar unggas hidup
dan tempat penampungan ayam perlu mendapat perhatian serius dari aspek
kesehatan masyarakat karena sangat berpotensi dalam penyebaran virus Avian
influenza (AI).
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penerapan manajemen
kesehatan unggas dan risikonya terhadap penyebaran virus AI di tempat
penampungan ayam (TPnA) di wilayah DKI Jakarta. Penelitian dilakukan
menggunakan data sekunder penelitian surveilans virus AI kerjasama antara
Center for Indonesian Veterinary Analitical Studies (CIVAS) dengan Indonesian
Dutch Partnership Program on Highly Pathogenic Avian Influenza Control (IDP
HPAI). Penelitian dilakukan dengan menempatkan ayam sentinel di kandang
penampungan di TPnA selama 3 bulan. Ayam sentinel adalah ayam sehat yang
rentan terinfeksi virus dan dipelihara bersama populasi ayam yang dicurigai

terinfeksi virus. Penggunaan ayam sentinel di dalam penelitian surveilans antara
lain untuk mengamati dan mengenali penyebaran agen penyakit, menelusuri
perubahan-perubahan insidensi penyakit, menilai efektifitas program
pengendalian penyakit baru, dan membuktikan hipotesis tentang epidemiologi
agen penyakit. Ayam sentinel memiliki karakteristik mudah terpapar agen
penyakit (susceptible to the infection agent) sehingga mudah dilakukan observasi
dan cocok digunakan dalam penelitan/surveilans penyakit.
Ayam sentinel tersebut dipelihara dengan perlakuan sama seperti ayam yang
dijual di TPnA. TPnA yang terlibat di dalam penelitian ini berjumlah 39 buah.
Faktor manajemen kesehatan unggas yang diamati adalah keberadaan surat
keterangan kesehatan hewan (SKKH), pemeriksaan kesehatan ternak, petugas
pemeriksa kesehatan ternak, cara pemeriksaan kesehatan ternak, penanganan
ternak sakit, dan penanganan ternak mati. Data manajemen kesehatan unggas
diperoleh dari hasil wawancara kepada pemilik atau penanggung jawab TPnA
menggunakan kuisioner terstruktur, adapun data infeksi virus AI diperoleh dari
hasil uji rt-PCR sampel usap kloaka dan trakea ayam sentinel yang mati.
Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Balai Kesehatan Hewan dan Ikan
(BKHI) Provinsi DKI Jakarta.

iii


Berdasarkan hasil laporan kegiatan surveilans virus AI di TPnA di wilayah
DKI Jakarta yang dilakukan oleh CIVAS, selama penelitian tercatat sebanyak 243
ekor ayam sentinel dapat diamati, sedangkan 61 ekor lainnya hilang dari
pengamatan (lost to follow up). Adanya ayam sentinel yang hilang dari
pengamatan disebabkan hilang tanpa keterangan dan tidak ada laporan dari
pemilik/penanggung jawab TPnA ke petugas monitoring. Keadaan ini tetap
terjadi meskipun petugas telah menghimbau pemilik/penanggung jawab TPnA
untuk melaporkan setiap menemukan ayam sentinel yang sakit atau mati.
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa faktor manajemen kesehatan
unggas yang berhubungan signifikan dengan infeksi virus AI di TPnA adalah
faktor penanganan ternak sakit. Nilai risiko relatif (RR) faktor tersebut adalah
2,00 (SK 95% ; 1,31-3,05), artinya risiko infeksi virus AI terjadi 2 kali lebih besar
pada tindakan membiarkan ternak sakit tetap hidup, memisahkan, atau
mengobatinya di dalam satu kandang penampungan daripada memotong/
memusnahkannya. Faktor keberadaan SKKH, pemeriksaan kesehatan ternak,
pemeriksa kesehatan ternak, cara pemeriksaan kesehatan ternak, petugas dan
penanganan ternak mati tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan
terjadinya infeksi virus AI. Hal ini menunjukkan perlu dilakukan pembenahan
terhadap implementasi manajemen kesehatan unggas di TPnA dalam upaya

pencegahan dan pengendalian penyebaran virus AI di Indonesia.
Kata kunci : avian influenza, manajemen kesehatan unggas, risiko relatif
(RR), tempat penampungan ayam (TPnA)

vii

DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ....................................................................................................

i

RINGKASAN ................................................................................................

ii

PENGESAHAN .............................................................................................

iv


PRAKATA ....................................................................................................

v

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................

vi

DAFTAR ISI .................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL .........................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

xi


DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang .....................................................................................

1

Tujuan .................................................................................................

2

Manfaat ................................................................................................

2

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Avian Influenza
Agen Penyebab dan Sifat Penyakit Avian Influenza ..............................


4

Jenis Hewan Rentan Penyakit Avian Influenza .....................................

7

Penyebaran Penyakit Avian Influenza di Indonesia ...............................

8

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AI di Indonesia ............

9

Pasar Unggas dan Tempat Penampungan Ayam ....................................

18

Manajemen Kesehatan Unggas di TPnA ...............................................


20

Peran TPnA dalam Penyebaran AI ........................................................

22

METODE PENELITIAN
Kerangka Konsep .................................................................................

25

Desain Penelitian ..................................................................................

25

Sumber Data .........................................................................................

26


Waktu dan Tempat ................................................................................

26

Sampel Penelitian ................................................. .................................

27

Pengujian Sampel .................................................................................

27

viii

Definisi Operasional................................................................................

28

Hipotesis...............................................................................................

29

Analisis Data ........................................................................................

29

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Distribusi Sampel Penelitian ................................................................

30

Analisis Univariat
Status Infeksi Virus AI Pada Sampel Ayam Sentinel.............................

31

Keberadaan SKKH ...............................................................................

32

Pemeriksaan Kesehatan Ternak .............................................................

32

Petugas Pemeriksa Kesehatan Ternak ..................................................

32

Cara Pemeriksaan Kesehatan Ternak ...................................................

32

Penanganan Ternak Sakit .....................................................................

33

Penanganan Ternak Mati atau Bangkai Ayam ......................................

33

Analisis Bivariat
Hubungan Antara Manajemen Kesehatan Unggas Dengan Infeksi
Virus AI ...............................................................................................

33

Hubungan Antara Keberadaan SKKH Dengan Infeksi Virus AI ...........

34

Hubungan Antara Pemeriksaan Kesehatan Ternak Dengan Infeksi
Virus AI ...............................................................................................

35

Hubungan Antara Cara Pemeriksaan Kesehatan Ternak Dengan
Infeksi Virus AI ...................................................................................

35

Hubungan Antara Penanganan Ternak Sakit Dengan Infeksi Virus AI .

35

Hubungan Antara Penanganan Ternak Mati Dengan Infeksi Virus AI ..

36

Pembahasan
Hubungan Antara Faktor Manajemen Kesehatan Unggas Dengan
Infeksi Virus AI
Keberadaan SKKH ..............................................................................

36

Pemeriksaan Kesehatan Ternak ............................................................

38

ix

Petugas Pemeriksa Kesehatan Ternak ..................................................

39

Cara Pemeriksaan Kesehatan Ternak ...................................................

39

Penanganan Ternak Sakit .....................................................................

41

Penanganan Ternak Mati ......................................................................

42

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ..........................................................................................

43

Saran ...................................................................................................

43

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Distribusi sampel ayam sentinel di TPnA ....................................... 27
Tabel 2 Definisi operasional peubah penelitian ........................................... 28
Tabel 4

Distribusi frekuensi manajemen kesehatan ungags di TPnA ........... 31

Tabel 5

Hubungan antara manajemen kesehatan unggas dengan infeksi
Virus AI ......................................................................................... 34

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Virus Avian influenza ....................................................................

4

Gambar 2 Kerangka konsep penelitian ...........................................................

25

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1

Hasil Analisis Frekuensi Faktor Manajemen Kesehatan
Unggas di TPnA .................................................................... 48

Lampiran 2

Hasil Analisis Uji Chi-Square Hubungan Antara Faktor
Manajemen Kesehatan Unggas Dengan Infeksi Virus AI ....

50

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Produk unggas seperti daging dan telur merupakan pangan asal hewan
yang menjadi sumber protein hewani masyarakat Indonesia. Selain harganya
terjangkau, keberadaannya mudah didapatkan sehingga masyarakat cukup
memanfaatkan pasar baik pasar tradisional, pasar swalayan, maupun supermarket.
Keberadaan pasar tradisional berpotensi membuka peluang terjadinya pasar
unggas hidup (PUH) yang dapat berperan dalam penularan dan penyebaran
penyakit, serta berdampak terhadap kesehatan masyarakat dan permasalahan
lingkungan (Mudiarta et al. 2008). Pasar unggas hidup dan tempat penampungan
ayam (TPnA) perlu mendapat perhatian serius dari aspek kesehatan masyarakat.
Pasar unggas hidup merupakan tempat bertemunya unggas dari berbagai
peternakan (farm), sedangkan TPnA adalah bagian dari PUH yang berfungsi
sebagai tempat dikumpulkannya ayam dari berbagai daerah (peternakan) sebelum
dibawa ke PUH, tempat pemotongan unggas (TPU), atau distribusi lebih lanjut
(KOMNAS FBPI 2008).
Di TPnA kontak tidak hanya terjadi pada ayam yang dikumpulkan, tetapi
juga terjadi antara ayam dengan manusia. Ayam yang masuk ke TPnA dapat
membawa agen penyakit sehingga tempat ini sangat potensial dalam penyebaran
penyakit asal unggas khususnya Avian influenza (Jaelani 2008). Penularan virus
Avian influenza (AI) dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Penelitian Indriani et al. (2008) menunjukkan bahwa setengah dari jumlah pasar
unggas hidup yang ada di wilayah DKI Jakarta (46,98 %) telah terkontaminasi
virus AI. Dampak yang ditimbulkan oleh wabah virus AI antara lain lumpuhnya
sektor peternakan unggas dan produk-produknya.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan, maka prosedur biosekuriti
dan manajemen kesehatan unggas di TPnA perlu diterapkan dengan baik untuk
mencegah dan mengendalikan penyebaran virus AI.

Penelitian ini dilakukan

untuk mempelajari hubungan antara faktor risiko manajemen kesehatan unggas

2

yang diterapkan di TPnA di wilayah DKI Jakarta dengan terjadinya infeksi virus
AI pada unggas. Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder penelitian
surveilans virus AI kerjasama antara Center for Indonesian Veterinary Analitical
Studies (CIVAS) dengan Indonesian Dutch Partnership Program on Highly
Pathogenic Avian Influenza Control (IDP HPAI) tahun 2007 dengan
menempatkan 7-8 ayam sentinel di 39 TPnA selama 3 bulan. Ayam sentinel
adalah ayam sehat yang rentan terhadap infeksi penyakit dan dipelihara seperti
ayam lain yang dijual di TPnA. Tujuan penggunaan ayam sentinel di dalam
penelitian surveilans antara lain untuk mengamati dan mengenali penyebaran agen
penyakit, menelusuri perubahan-perubahan insidensi penyakit, menilai efektifitas
program pengendalian penyakit baru, dan membuktikan hipotesis tentang
epidemiologi agen penyakit.

Ayam sentinel memiliki karakteristik mudah

terpapar agen penyakit (susceptible to the infection agent) sehingga mudah
dilakukan observasi dan cocok digunakan dalam penelitan/surveilans penyakit
(Salman 2003). Infeksi virus AI yang terjadi di TPnA mengindikasikan bahwa
penerapan manajemen kesehatan unggas belum efektif untuk mencegah dan
mengendalikan infeksi virus tersebut.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko terkait manajemen
kesehatan unggas terhadap infeksi virus Avian influenza (AI) di tempat
penampungan ayam (TPnA) di wilayah DKI Jakarta.

Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menjadi dasar pembenahan implementasi manajemen kesehatan unggas di
TPnA di Wilayah DKI Jakarta bagi Dinas Peternakan, Perikanan, dan
Kelautan Provinsi DKI
pemberantasan penyakit AI.

Jakarta dalam upaya pengendalian dan

3

2. Menjadi dasar bagi para pengusaha TPnA dalam upaya pembenahan
implementasi manajemen kesehatan unggas untuk mencegah dampak
kerugian ekonomi akibat infeksi virus AI.
3. Menjadi dasar pembenahan implementasi manajemen kesehatan unggas di
peternakan dan TPnA bagi Departemen Pertanian RI dalam upaya
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan virus AI di Indonesia.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Avian influenza
Agen Penyebab dan Sifat Penyakit Avian influenza
Penyakit Avian influenza (AI) berasal dari virus influenza tipe A dan
termasuk dalam famili orthomyxoviridae. Virus influenza memiliki beberapa tipe
antara lain tipe A, tipe B, dan tipe C. Partikel virus influenza memiliki amplop
(envelope), bersegmen dan memiliki negative-single strain ribonucleid acid
(RNA). Penentuan identitas serologik virus menggunakan nomor kombinasi strain
RNA yang terdapat pada glikoprotein transmembran yaitu Hemaglutinin yang
dilambangkan dengan huruf H dan Neuramidase yang dilambangkan dengan
huruf N.

Berdasarkan sifat antigenisitas glikoprotein, virus influenza tipe A

memiliki 16 Hemaglutinin dan 9 Neuramidase. Subtipe virus influenza yang
sudah dikenal antara lain H1N1, H1N2, H3N3, H5N1, dan H9N7 (Halvorson 2002).
Struktur morfologi virus Avian influenza dapat dijelaskan pada Gambar 1.

Gambar 1 Virus Avian influenza.
(Sumber : edubj.ssreader.com.cn)

5

Virus AI mudah bermutasi dan dapat mengaglutinasi sel darah merah
ayam, tetapi tidak stabil di lingkungan. Komposisi genetik virus AI sangat labil
sehingga mudah bermutasi, virulensi dan patogenitasnya bervariasi, serta mudah
menular.

Virus AI tidak tahan terhadap panas dan desinfektan. Virus yang

terdapat di dalam daging ayam akan mati pada pemanasan 80o C selama satu
menit atau 70o C selama 30 menit. Virus yang terdapat di dalam telur ayam akan
mati pada pemanasan 64o C selama 45 menit. Pada kotoran ayam virus AI dapat
bertahan selama 35 hari pada suhu 4o C. Virus dapat bertahan hidup selama 4 hari
di air pada suhu 0o C. Virus AI bahkan dapat bertahan hidup di kandang ayam
selama 2 minggu setelah depopulasi ayam (Prima 2007).
Jika virus AI menular ke spesies unggas yang rentan, maka dapat
menimbulkan gejala klinis yang biasanya bersifat ringan.

Subtipe virus ini

disebut sebagai virus yang memiliki patogenisitas rendah (low pathogenic avian
influenza virus, LPAIV). Pada umumnya infeksi LPAIV pada unggas petelur
mengakibatkan terjadinya penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan
sementara, atau menurunkan bobot badan pada unggas pedaging (Kamps et al.
2007). Virus AI yang menginfeksi unggas rentan dan terjadi beberapa siklus
penularan dapat bermutasi dan beradaptasi di spesies lain. Mutasi yang terjadi
juga dapat menjadikannya sangat patogen (high pathogenic avian influenza virus,
HPAIV).

HPAIV mampu menimbulkan penyakit sistemik yang ganas dan

mematikan secara cepat. Unggas yang terinfeksi HPAIV ditandai dengan gejala
klinis yang mendadak, berlangsung singkat, mortalitas yang terjadi mendekati 100
% pada spesies yang rentan. Subtipe virus AI yang diketahui sangat patogen yaitu
H5 dan H7, sedangkan virus yang mewabah dan menyebabkan AI di berbagai
negara di Asia adalah H5N1 (Halvorson 2002). Perkembangan infeksi virus AI
saat ini pada unggas tidak menunjukkan gejala sakit, artinya unggas terlihat sehat
tetapi sebenarnya sakit sehingga banyak terjadi kematian mendadak (Setyawati et
al. 2010)
Infeksi virus AI yang terjadi di peternakan unggas skala besar berdampak
pada penurunan konsumsi air dan pakan yang signifikan, sedangkan pada unggas
petelur akan mengakibatkan penurunan produksi telur.

Cangkang telur yang

6

dihasilkan cenderung lembek dan produksinya berhenti secara cepat sejalan
dengan perkembangan infeksi penyakit AI. Secara individual, gejala klinis yang
dapat diamati pada unggas yang terinfeksi HPAIV sering ditandai dengan apati
dan tidak banyak bergerak (imobilitas). Pembengkakan muncul di daerah kepala
yang tidak ditumbuhi bulu, sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan
kotoran berwarna kehijauan, dan sesekali tampak susah bernapas. Gejala-gejala
sistem syaraf termasuk tremor, tortikolis, dan ataxia terjadi pada spesies yang
tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta (Kamps et al.
2007). Wabah HPAI yang terjadi di Saxonia, Jerman pada tahun 1979 tampak
bahwa angsa yang terlalu sering berenang memutar mengelilingi kolam,
merupakan tanda pertama kecurigaan adanya HPAI yang menginfeksi angsa
tersebut.
Penularan virus AI dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Penyebaran virus AI terjadi melalui kontak langsung antar unggas, kontaminasi
air, dan benda-benda lain yang tercemar virus (Capua et al. 2008).

Hal ini

berbeda dengan penularan virus influenza pada mamalia (manusia, babi, dan
kuda) terutama terjadi melalui percikan cairan lendir hidung dan mulut.
Penularan virus AI dengan kontak tidak langsung menurut Wuryatmi et al. (2005)
dapat terjadi melalui :
1. Percikan cairan atau lendir yang berasal dari hidung dan mata unggas
terinfeksi.
2. Paparan muntahan.
3. Lubang anus unggas yang sakit.
4. Penularan melalui udara akibat konsentrasi virus yang tinggi di dalam
saluran pernapasan.
5. Melalui sepatu dan pakaian peternak (pekerja di kandang) yang
terkontaminasi.
6. Melalui pakan, air minum, dan peralatan yang terkontaminasi virus AI.
7. Melalui perantara angin yang memiliki peran penting dalam penularan
penyakit di dalam satu kandang, tetapi memiliki peran terbatas dalam
penyebaran antar kandang.

7

8. Unggas air berperan sebagai reservoir virus AI melalui virus yang terdapat
di dalam saluran usus (intestinal) dan dilepaskan melalui kotoran (feces).
Hasil penelitian Okazaki et al. (2000) menunjukkan bahwa titer ekskresi
tertinggi dilaporkan mencapai 108,7 x 50 % dosis telur terinfeksi (egg infected
dose, EID 50) per gram tinja unggas. Virus AI pada unggas memiliki kemampuan
mempertahankan daya penularannya di lingkungan dengan baik, terutama di
permukaan air. Suspensi virus dalam air mampu bertahan selama lebih dari 100
hari pada suhu 17o C. Pada suhu di bawah -50o C virus AI dapat bertahan sampai
dengan waktu yang tidak terbatas. Masuknya virus LPAI subtipe H5 atau H7 ke
tubuh unggas yang rentan merupakan dasar dari rantai infeksi. Risiko penularan
dari burung liar ke unggas peliharaan dapat terjadi apabila unggas tersebut
dibiarkan hidup bebas berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan oleh
burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung
liar pembawa virus (Capua 2003).

Jenis Hewan Rentan Penyakit Avian influenza
Unggas dapat terinfeksi virus AI jika bersentuhan langsung dengan hewan
pembawa virus, atau kotoran hewan lain yang mengandung virus, atau
bersentuhan dengan benda-benda yang terkontaminasi virus seperti kotoran
(feces), rontokan bulu dan lendir.

Virus influenza tipe A dapat menginfeksi

berbagai jenis hewan seperti babi, kuda, kucing, harimau, mamalia laut, unggas
dan manusia (Murtini et al. 2008). Hampir setiap bangsa burung (avian) rentan
terinfeksi virus AI, namun derajat kerentanan antar spesies berbeda-beda. Jenis
burung yang rentan terinfeksi virus AI antara lain ayam, kalkun, ayam mutiara,
angsa, itik, bebek, burung puyuh, merak, burung camar, kuntul, dan lain-lain.
Burung peliharaan yang rentan terinfeksi antara lain beo, merpati, parkit, kakatua,
elang, dan nuri.

Infeksi pada ayam dan kalkun ditandai dengan serangan

mendadak, dan gejala yang hebat, serta kematian populasi mendekati 100 %
dalam jangka waktu 48 jam. Pada tahun 1982 dilaporkan bahwa virus AI dengan
patogenitas rendah didapatkan pada burung nuri (H4N4), pelikan (H4N6), dan itik

8

(H4N2 dan H4N6). Pengujian sampel usap trakea, kloaka, dan serum pada burung
puyuh tahun 1991 ditemukan subtipe virus H3N2, H4N2, H6N6, H5N2, H5N9, H7N1,
H7N3, H9N2, H10N4 dan H10N7 (Akoso 2006). Infeksi virus juga dapat terjadi di
beberapa spesies burung liar, namun kerentanannya sangat bervariasi bergantung
kepada spesies dan umur unggas, serta strain virusnya.
Secara normal unggas air seperti itik, bebek, dan unggas air lain yang
hidup di laut membawa virus AI H5N1.

Walaupun tubuh unggas tersebut

terinfeksi, akan tetapi tidak menunjukkan gejala sakit dan dapat hidup secara
sehat. Hal ini disebabkan karena virus berada dalam keadaan yang evolusioner
statis dan terjadi toleransi yang seimbang dengan unggas tersebut yang secara
klinis ditunjukkan dengan tidak adanya penyakit dan replikasi virus (Kamps et al.
2007). Jenis hewan lain yang juga ditemukan virus AI adalah harimau, kucing,
dan leopard seperti yang terjadi di beberapa negara Eropa dan Asia. Kenyataan
tersebut menimbulkan fenomena baru mengingat ketiga spesies hewan ini
sebelumnya tidak pernah dilaporkan rentan terinfeksi virus AI. Menurut Tarigan
et al. (2008), sejumlah besar kucing liar yang terdapat di wilayah Jawa Barat dan
Jawa Timur memiliki tingkat infeksi virus AI yang sangat tinggi (86,5 %).
Kamps et al. (2007) menyatakan bahwa infeksi virus AI secara alami juga
ditemukan di dalam tubuh harimau dan kucing besar di kebun binatang di
Thailand setelah hewan-hewan tersebut diberi makan daging ayam yang terinfeksi
virus. Hewan-hewan tersebut kemudian sakit dan mengalami kematian dalam
jumlah besar.

Penyebaran Penyakit Avian influenza di Indonesia
Avian influenza mewabah di Indonesia pada tahun 2003 dengan
ditemukannya kematian sejumlah besar unggas di Jawa Tengah dan Banten.
Selain di Indonesia, kematian sejumlah besar unggas juga terjadi Republik Korea,
Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Laos, Cina, dan Malaysia (Siegel 2006).
Penyakit AI menjadi endemik dan terdapat di sebagian besar wilayah provinsi di
Indonesia, penyebarannya meluas di 9 provinsi dan 53 kabupaten/kota pada tahun

9

2003.

Diagnosis lebih lanjut penyakit AI pada tahun 2006 menyebar di 26

provinsi dan 172 kabupaten/kota. Sampai dengan bulan Mei 2007 wilayah yang
tertular virus AI pada unggas telah mencapai 31 provinsi.
Menurut Wuryatmi et al. (2005) virus influenza A H5N1 menyerang
ternak ayam Indonesia sejak bulan Oktober 2003. Sampai dengan bulan Februari
2005, infeksi virus AI telah mengakibatkan 14,7 juta ayam mati. Pada bulan
November 2005 terdapat 154 kabupaten/kota di 23 provinsi telah tertular (dan
menjadi daerah endemis) Avian influenza pada unggas, yaitu Banten, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,
Lampung, Kalimanatan Tengah, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimanatan Timur, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat,
Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, dan Nangroe Aceh Darussalam. Kasus positif AI di Tasikmalaya,
Jawa Barat pertama kali di temukan pada bulan Februari 2004 (Sudarnika et al.
2008).
Kerugian di bidang ekonomi akibat dampak yang ditimbulkan oleh wabah
AI di Indonesia menurut Saptana dan Sumaryanto (2009) antara lain (1)
penurunan produksi anak ayam umur satu hari (day old chick, DOC) pada
perusahaan pembibitan unggas (breeding farm) hingga 40 %; (2) penurunan
produksi pakan pada perusahaan pakan ternak hingga 14,58 %; (3) penurunan
jumlah penjualan pakan ternak yang dialami pengusaha poultry shop mencapai 40
%; (4) penutupan usaha peternakan (farm) hingga 30 %; (5) penurunan jumlah
produksi jasa pemotongan ayam hingga 40 %; (6) penurunan volum penjualan
ayam yang dialami pengusaha distributor dan penjual ayam hingga 80 %.

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Avian influenza di Indonesia
Wabah virus AI pada unggas yang sangat patogen dapat mengakibatkan
kerugian besar baik bagi peternakan unggas skala besar maupun peternakan kecil
(peternakan individual atau rumah tangga). Upaya pencegahan dan pengendalian
virus AI yang dilakukan oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia

10

(DEPTAN RI) berfokus pada unggas sebagai hewan rentan tertular dan mampu
menularkan virus sebagai sumber penyebab utama penyakit flu burung pada
manusia (Bagindo 2007). Upaya pencegahan dan pengendalian flu burung dan
kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza, Direktorat Jenderal Peternakan
Republik Indonesia (DITJENAK RI) melaksanakan 9 (sembilan) langkah
penanggulangan sebagai berikut :
1.

Pelaksanaan biosekuriti secara ketat.
Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama
untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua
kemungkinan kontak atau penularan dengan sumber penyakit (Iqbal et al.
2009). Biosekuriti dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran agen
penyakit unggas (mikroorganisme berbahaya) ke berbagai fasilitas di
peternakan (kandang). Tindakan biosekuriti yang dilakukan menurut
DITJENAK (2004) yaitu :
a. Pengawasan lalu lintas dan tindakan karantina (isolasi) tempat-tempat
penampungan unggas dan peternakan (farm) yang tertular dengan cara
sebagai berikut :
1.

Membatasi lalu lintas material kontaminan asal unggas seperti unggas
dan produk-produknya, pakan, kotoran, bulu, dan alas kandang
(litter).

2.

Membatasi lalu lintas orang (pekerja) dan kendaraan yang keluar
masuk lokasi.

3.

Menjamin kesehatan semua orang/pekerja yang berada di lokasi
peternakan (harus dalam kondisi sehat).

4.

Para pekerja peternakan dan semua orang yang masuk lokasi
peternakan/penampungan

unggas

harus

menggunakan

pakaian

pelindung, kacamata, masker, sepatu pelindung dan harus melalui
tindakan disinfeksi dan sanitasi.
5.

Mencegah kontak antara unggas dengan burung liar (unggas air),
rodensia (tikus) dan hewan lain.

11

b. Melakukan tindakan dekontaminasi atau disinfeksi.
Dekontaminasi atau disinfeksi adalah tindakan menyucihamakan secara
tepat dan cermat terhadap pakan, tempat pakan, tempat minum, semua
peralatan, pakaian pekerja kandang, alas kaki, kendaraan dan bahan lain
yang tercemar, bangunan kandang yang bersentuhan dengan unggas,
kandang/tempat penampungan unggas, keranjang penampungan (crate),
permukaan jalan menuju peternakan (kandang) atau tempat penampungan
unggas (Smith 2002). Prosedur dekontaminasi yang perlu dilakukan
menurut DITJENAK (2004) yaitu :
1.

Melakukan disinfeksi terhadap semua bahan, sarana peralatan, dan
bangunan kandang yang bersentuhan dengan unggas tertular termasuk
limbah padat dan cair. Apabila pelaksanaan dekontaminasi/disinfeksi
tidak dapat dilakukan secara efektif, maka bahan dan peralatan tidak
permanen yang terkontaminasi harus dimusnahkan dan dikubur di
lokasi peternakan.

2.

Lokasi jalan menuju ke area peternakan tertular dan area sekitar
kandang unggas, semua kendaraan termasuk kendaraan pengangkut
unggas, telur, pakan unggas, dan kendaraan lainnya yang masuk ke
lokasi

peternakan

(penampungan

unggas)

harus

dilakukan

penyemprotan dengan desinfektan yang tepat.
3.

Desinfektansia yang digunakan adalah desinfektan yang memiliki sifat
tahan terhadap organik, tidak bersifat korosif dan tahan terhadap panas
seperti asam perasetat (paracetic acid), hidroksiperoksida, sediaan
ammonium kuartener, formaldehid 2-5 %, iodoform kompleks,
senyawa fenol, dan natrium hipoklorit.

4.

Pada setiap tahapan dekontaminasi harus dicegah agar tidak terjadi
penyebaran partikel debu dan udara yang kemungkinan bercampur
dengan kotoran unggas tertular yang dapat menyebarkan virus.

2.

Vaksinasi.
Pelaksanaan vaksinasi dilakukan menurut DITJENAK (2004) dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

12

a. Menggunakan vaksin inaktif (killed vaccine) produksi dalam negeri atau
vaksin inkatif asal impor yang memiliki strain virus homolog dengan
subtipe virus isolat lokal (strain H5) dan telah mendapatkan rekomendasi
dari pemerintah.
b. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan di daerah tertular, dilakukan secara masal
terhadap seluruh unggas sehat dengan penyuntikan secara individual dan
apabila diperlukan dapat dilakukan penyuntikan ulang (booster).
Vaksinasi tersebut dilakukan kepada seluruh unggas terancam di daerah
tertular, termasuk ayam ras, ayam buras, bebek, itik, kalkun, angas, burung
dara, burung puyuh, dan unggas lainnya (Marco et al. 2003).
c. Melakukan monitoring pasca vaksinasi untuk mengetahui tingkat
kekebalan unggas dengan metode pemeriksaan serologi HI test
menggunakan antigen yang homolog dengan strain vaksin.
3.

Tindakan pemusnahan unggas selektif (depopulasi) di daerah tertular.
Pemusnahan selektif (depopulasi) adalah suatu tindakan untuk mengurangi
populasi unggas yang menjadi sumber penularan penyakit. Depopulasi dapat
dilakukan melalui 3 cara yaitu :
a. Neck dislocation, adalah tindakan memutus syaraf spinal yang mengatur
ritme sistem pernapasan dan jantung.
b. Dekapitasi,

adalah

tindakan

pemenggalan/penyembelihan

dengan

menggunakan pisau/skalpel dengan tujuan mengeluarkan darah secara
cepat.
c. Anastesi, adalah tindakan menyuntikkan obat sedatif dan barbiturat untuk
tujuan menurunkan fungsi syaraf pusat, menghilangkan kesadaran, sakit,
depresi, sampai membuat pernapasan dan jantung berhenti.
Langkah-langkah pemusnahan selektif (depopulasi) unggas yang terserang
virus AI menurut DITJENAK (2004) yaitu :
a. Depopulasi dilakukan terhadap semua peternakan tertular yang ditetapkan
melalui diagnosa klinis dan patologi anatomi oleh dokter hewan.

13

b. Depopulasi dilakukan terhadap semua unggas tertular (sakit) dan unggas
sehat yang sekandang dengan cara membunuh atau menyembelih sesuai
prosedur pemotongan unggas yang berlaku.
Tindakan lain yang dilakukan setelah depopulasi yaitu disposal. Disposal
adalah prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap
unggas mati (bangkai), karkas, telur, kotoran, bulu, alas kandang, pupuk dan
pakan ternak yang tercemar, serat bahan dan peralatan lain terkontaminasi
yang tidak dapat didisinfeksi secara efektif. Prosedur disposal yang perlu
dilakukan berpedoman kepada hal-hal sebagai berikut :
a. Lokasi pelaksanaan pembakaran/penguburan harus di dalam lokasi
peternakan tertular dalam jarak minimal 20 meter dari kandang dan jauh
dari penduduk untuk mencegah polusi maupun penyebaran penyakit.
b. Pembakaran sedapat mungkin dilakukan di dalam lubang yang telah
disiapkan untuk penguburan.

Pembakaran juga dapat dilakukan

menggunakan incinerator untuk mencegah polusi.
c. Lubang tempat penguburan harus memiliki kedalaman minimal 1,3 meter,
ditutup rapat dengan tanah, dan ditaburi kapur atau desinfektansia.
d. Apabila tempat pembakaran/penguburan harus dilakukan di luar areal
peternakan

yang

terinfeksi,

maka

lokasi

pelaksanaan

pembakaran/penguburan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu
dari Dinas Peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan
kesehatan hewan setempat.
4.

Pengendalian lalulintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan.
DITJENAK RI menghimbau bahwa pengaturan secara ketat terhadap
pengeluaran dan pemasukan unggas hidup, telur (tetas dan konsumsi), produk
unggas (karkas/daging unggas dan hasil olahannya), dan limbah peternakan
dilakukan sebagai berikut:
a. Tidak memindahkan anak unggas umur sehari (DOC) dari daerah yang
terkena wabah kecuali anak unggas umur sehari bibit induk (parent stock)

14

b. Parent stock tersebut harus berasal dari peternakan pembibitan yang tidak
terjadi wabah AI.
c. Tidak mengeluarkan unggas dewasa dari peternakan yang terkena wabah.
d. Segera memusnahkan keranjang tempat penampungan unggas (crate) saat
terjadi pemindahan unggas.
5.

Pengisian kandang kembali (restocking).
Pengisian kandang kembali (restocking) adalah melakukan pengisian kembali
ternak (unggas) ke kandang peternakan untuk melanjutkan usaha peternakan
tersebut.

Pengisian kembali unggas ke dalam kandang dapat dilakukan

sekurang-kurangnya satu bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan
semua prosedur tindakan dekontaminasi (disinfeksi dan/atau disposal) telah
dilaksanakan dengan baik (DITJENAK 2004).
6.

Surveilans dan penelusuran.
Surveilans adalah suatu sistem yang terus menerus dilakukan untuk
pengumpulan, analisis, interpretasi tentang frekuensi/distribusi penyakit di
dalam suatu populasi untuk tujuan mengambil langkah-langkah dalam upaya
pengendalian atau investigasi lebih lanjut (KOMNAS FBPI 2008). Sasaran
surveilans dan penelusuran adalah semua spesies unggas yang rentan terhadap
penyakit dan sumber penyebaran penyakit. Tujuan palaksanaan surveilans
antara lain :
a. Menetapkan sumber infeksi di daerah tertular baru.
b. Menetapkan

penyebaran/perluasan

penyakit

untuk

mengetahui

perkembangan pengendalian dan pemberantasan penyakit.
c. Menetapkan wilayah daerah bebas, daerah terancam, dan daerah tertular
penyakit.
d. Mendeteksi tingkat kekebalan kelompok pasca vaksinasi.
Pelaksanaan kegiatan surveilans harus diikuti dengan kegiatan penelusuran
untuk menentukan sumber infeksi dan menahan secara efektif penyebaran
penyakit. Pelaksanaan kegiatan surveilans juga dapat menggunakan ayam
sentinel.

Ayam sentinel adalah ayam sehat yang peka (rentan) terhadap

15

infeksi virus dan dipelihara bersama-sama populasi ayam yang dicurigai
terinfeksi virus (Salman 2003). Infeksi virus yang terjadi pada ayam sentinel
menunjukkan terdapat sumber infeksi (penyebaran penyakit) populasi yang
tersebut.

Penelusuran dilakukan minimum mulai dari periode 14 hari

sebelum timbul gejala klinis sampai tindakan karantina mulai diberlakukan.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan penelusuran meliputi :
a. Asal dan jenis unggas.
b. Produk daging, telur, bulu, tulang, darah dan lain-lain.
c. Bahan perantara :

kendaraan pengangkut unggas, pengangkut telur,

pengangkut pakan, peralatan, dan material terkontaminan (kotoran).
d. Peternak/petugas kandang, pedagang ternak, penual pakan, pengunjung
dan lain-lain.
7.

Pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) di daerah tertular
baru.
Pada daerah bebas/terancam apabila muncul wabah AI dan telah terdiagnosa
secara klinis, patologi anatomis, dan epidemiologis, serta dikonfirmasi secara
laboratoris, maka dilakukan tindakan pemusnahan unggas secara menyeluruh
(stamping out) yaitu memusnahkan seluruh ternak unggas yang sakit maupun
yang sehat pada peternakan tertular termasuk semua unggas yang berada di
dalam radius 1 km peternakan tersebut (DITJENAK 2004).

Tindakan

pemusnahan secara menyeluruh ini dapat dilakukan dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
a. Kejadian penyakit masih dapat dilokalisir dan tidak berpotensi menyebar
secara cepat ke peternakan (daerah) lain.
b. Batasan jumlah ternak unggas yang akan dimusnahkan masih dianggap
ekonomis oleh peternak.
c. Peningkatan biosekuriti dan pembatasan lalu lintas secara ketat harus
diberlakukan di peternakan tertular tersebut.
Apabila pada tahapan tertentu tindakan pemusnahan menyeluruh sudah
terlambat dilakukan dan penyebaran penyakit sudah semakin meluas, maka

16

tindakan menyeluruh dapat diubah menjadi tindakan vaksinasi dan
pemusnahan selektif (depopulasi).
8.

Peningkatan kesadaran masyarakat (public awarness).
Sosialisasi tentang penyakit yang disebabkan oleh virus AI kepada
masyarakat dan peternak sangat penting karena dampak kerugian yang
ditimbulkan secara ekonomi dan kesehatan bagi masyarakat sangat besar.
Sosialisasi dapat dilakukan melalui media elektronik, media massa cetak,
pemasangan spanduk dan sebagainya. Kegiatan tersebut juga dapat dilakukan
melalui program pendidikan kepada masyarakat melalui seminar, pelatihan
dengan bekerjasama industri perunggasan dan asosiasi bidang peternakan
(DITJENAK 2004).

9.

Monitoring, pelaporan, dan evaluasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan
monitoring, pelaporan, dan evaluasi menurut DITJENAK (2004) adalah :
a. Monitoring sangat penting dilakukan untuk mengetahui keberhasilan
kegiatan.

Monitoring dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan

kegiatan, dampak, dan permasalahan yang terjadi pada saat kegiatan
dilaksanakan sehingga dapat dilakukan penyempurnaan pada kegiatan
yang akan datang.
b. Pelaporan

meliputi

laporan

situasi

penyakit

dan

perkembangan

pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan penyakit, termasuk
penggunaan vaksin dan distribusinya.
c. Evaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan
dimaksudkan untuk mengetahui pencapaian target fisik kegiatan, dampak
keberhasilan, dan permasalahan yang timbul selama pelaksanaan
program. Materi evaluasi yang penting diantaranya adalah penyediaan
dan distribusi sarana (vaksin, obat, peralatan, dan lain-lain). Realisasi
pelaksanaan operasional (vaksinasi, pengamatan, diagnose, langkahlangkah yang telah diambil dalam pengendalian dan pemberantasan), serta
situasi penyakit (sakit, mati, stamping out, kejadian terakhir) dan lain-lain.

17

Untuk meningkatkan penanggulangan wabah AI, beberapa hal yang harus
ditindaklanjuti oleh pemerintah povinsi dan kabupaten/kota menurut Prima (2007)
adalah :
1. Melaporkan secara dini setiap adanya kasus AI.
2. Mengimplementasikan

sembilan

tindakan

(strategi)

pencegahan,

pengendalian dan pemberantasan AI secara tegas, antara lain :
a.

Depopulasi (pemusnahan selektif) terhadap semua unggas tertular
(sakit) dan unggas sehat yang berada dalam satu blok (peternakan).

b.

Stamping out (pemusnahan secara menyeluruh) semua unggas di
daerah tertular baru.

c.

Penutupan lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah
peternakan unggas dengan keputusan bupati/walikota.

d.

Vaksinasi massal AI seluruh unggas rakyat (100 %

populasi),

terutama terhadap ayam kampung (buras), burung puyuh dan
unggas lain yang ada di daerah tertular maupun terancam.
e.

Memperketat lalu lintas ternak (terutama unggas dan produknya) di
wilayah bebas AI sesuai dengan peraturan yang berlaku.

f.

Membentuk tim task force penanggulangan AI di tingkat provinsi,
kabupaten/kota dengan melakukan konsultasi secara regular.

3. Meningkatkan pelaksanaan pengamatan dan surveilans.
4. Menangani dengan cepat adanya laporan kasus dugaan flu burung pada
manusia.
5. Menyusun tata ruang komoditas usaha peternakan guna melindungi
industri peternakan dan kesehatan masyarakat.
6. Pengaturan

dan

penataan

PUH

dan

TPnA

untuk

mencegah

kemungkinan penularan yang tidak terkendali di masa yang akan
datang.
7. Melakukan penyuluhan (public awareness) kepada masyarakat.
8. Meningkatkan fungsi pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit hewan zoonosis dengan membentuk Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan.

18

Pasar Unggas dan Tempat Penampungan Ayam
Pasar unggas memegang peranan penting dalam penyediaan produk
unggas seperti daging ayam dan telur bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan
pasar unggas membuka peluang terjadinya pasar unggas hidup (PUH) dan
penyebaran penyakit yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Tempattempat yang perlu diperhatikan dari aspek kesehatan masyarakat adalah PUH dan
tempat penampungan ayam (TPnA). Beberapa penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pasar unggas merupakan tempat yang memiliki risiko tinggi
dalam penyebaran virus AI (Jaelani 2008). PUH merupakan tempat bertemunya
unggas dari berbagai peternakan dan bersinggungan langsung dengan manusia,
sedangkan TPnA adalah bagian dari PUH yang berfungsi sebagai tempat
dikumpulkannya ayam dari berbagai daerah sebelum dibawa ke PUH, tempat
pemotongan unggas (TPU) atau distribusi lebih lanjut (Anonim 2008).
Menurut Senne (2003), pasar ungas hidup merupakan pasar yang sangat
kompleks dalam upaya penyediaan daging unggas segar yang tersebar di seluruh
penjuru kota-kota besar di dunia.

Unggas yang datang ke PUH berasal dari

peternakan-peternakan unggas yang biasanya telah mengalami perjalanan jauh
dengan menggunakan truk pengangkut.

Selama dalam perjalanan biasanya

unggas dimasukkan ke dalam keranjang khusus (crate) berisi 10 – 15 ekor setiap
keranjang. Keranjang yang diisi sejumlah unggas tersebut akan memudahkan
calon pembeli untuk memilih tipe unggas yang diminati, selanjutnya dapat
disembelih (dipotong) untuk diambil karkasnya. Penampungan jumlah unggas
yang tidak terlalu banyak dan sesak di dalam keranjang bermanfaat dalam
menjaga kualitas daging yang dihasilkan.

Selama di TPnA unggas-unggas

ditempatkan di dalam kandang yang saling berdekatan, bahkan sering ditempatkan
bersama spesies unggas lain (Suartha et al. 2010).
Kandang penampungan di TPnA terdiri atas kandang postal yang beratap
genting dan lantai yang terbuat dari semen (beton). Tiang penyangga kandang
terbuat dari beton atau tiang kayu. Dinding kandang umumnya terbuat dari beton
atau kayu pada sisi belakang kandang. Sedangkan sisi yang lain tidak berdinding

19

dan umumnya hanya di batasi dengan kawat anyaman atau bilah bambu yang
disusun sedemikian rupa agar dapat mencegah ternak tidak keluar kandang. Luas
kandang umumnya 500 m2 dan terbagi menjadi beberapa kandang kecil (kamar)
yang dipisahkan dengan kawat yang dianyam, susunan bilah bambu, atau
tumpukan keranjang (crate) yang disusun sedemikian rupa dapat membuat batas
antara kamar satu dengan kamar yang lain. Tujuan pembuatan kandang-kandang
kecil ini adalah untuk mengurangi kepadatan ternak yang dipelihara di dalam
kandang.

Selain itu, kandang-kandang kecil dapat digunakan sebagai tempat

isolasi ternak ayam yang ditemukan sakit untuk diobati, dijual lebih awal, atau
dipotong (dimusnahkan).

Di area sekitar kandang penampungan biasanya

terdapat parit (selokan) yang umumnya digunakan sebagai tempat pembuangan
limbah TPnA pada saat dilakukan kegiatan perawatan kebersihan kandang.
Kandang TPnA dibersihkan berkala setelah ayam habis terjual dan akan
digantikan dengan ayam yang baru. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara
menyapu lantai, dinding, dan atap kandang dari berbagai kotoran yang menempel.
Apabila kandang ditemukan sangat kotor maka dibersihkan dengan cara mencuci
dan mendisinfeksi.
Lemahnya penerapan biosekuriti dan higiene sanitasi di PUH dan TPnA
menyebabkan tempat tersebut berisiko sebagai sumber penularan virus AI ke
unggas, manusia, dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan WHO bahwa
PUH dan TPnA merupakan salah satu tempat kritis dalam penularan virus AI dan
perlu mendapat perhatian serius, mengingat wabah yang terjadi pada peternakan
unggas menyebabkan pasar unggas sebagai salah satu tempat penting dalam
penularan penyakit AI ke manusia (Senne 2003; Suartha et al. 2010). Penelitian
yang dilakukan di 7 kota wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten menunjukkan
bahwa 46,89 % PUH telah terkontaminasi virus AI.

Apabila PUH telah

terkontaminasi virus AI, maka virus akan dapat dideteksi pada tempat yang
memiliki titik kritis tinggi penularan virus AI (>50 %) seperti tempat penjajaan
(display) produk unggas, tempat pemotongan unggas (TPU), dan TPnA (Indriani
et al. 2008).

20

Manajemen Kesehatan Unggas di TPnA
Desain dan tata letak TPnA sedemikian rupa memenuhi persyaratan untuk
melindungi ayam dari sinar matahari langsung dan hujan selama berada di dalam
kandang penampungan (KOMNAS FBPI 2008). Beberapa prosedur operasional
yang harus dilakukan antara lain biosekuriti, higiene, sanitasi, dan tatalaksana
penampungan. Setiap kendaraan pengangkut yang masuk dan keluar TPnA wajib
didisinfeksi. Upaya penerapan manajemen kesehatan unggas antara lain setiap
unggas yang datang harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan
(SKKH) yang dibuat oleh dokter hewan berwenang di daerah asal unggas dan
telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan oleh petugas dibawah pengawasan
dokter hewan berwenang.

Selain itu, memisahkan ayam sakit (isolasi) dan

membuang ayam mati dari kandang penampungan sangat bermanfaat dalam
mencegah penularan penyakit AI (Suartha et al. 2010). Membuang ayam mati
(bangkai) dilakukan dengan cara membakar atau mengubur pada tempat yang
aman. Menurut Wolfgang (2001) isolasi terhadap unggas sakit akan menjaga
agen penyakit tidak menular ke unggas yang rentan dan mendukung proses
penyembuhan unggas sakit sekaligus meminimalkan dampak kerugian ekonomi.
Penerapan higiene dan sanitasi dapat dilakukan dengan cara membersihkan dan
mendisinfeksi tempat penampungan, mencuci dan mendisinfeksi peralatan pakan
dan minum, serta peralatan perlindungan diri setiap hari.
Keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit dipengaruhi oleh
keberhasilan dalam upaya memutus rantai penularan penyakit tersebut. Upaya
yang dapat dilakukan untuk memutus rantai penyebaran penyakit yang disebabkan
oleh ternak yang sakit antara lain memotong (memusnahkan) ternak tersebut.
Tindakan

memotong ternak dilakukan dengan

memperhatikan prosedur

pemotongan sebagai berikut (Abubakar 2003) :
1.

Ayam yang akan disembelih dalam keadaan baik dan tidak dalam
keadaan lelah.

2.

Ayam yang akan disembelih terlebih dahulu telah diistirahatkan
selama 12-24 jam.

21

3.

Ayam disembelih pada leher dengan memotong arteri karotis dan vena
jugularis agar darah keluar sempurna.

4.

Pencabutan bulu dilakukan setelah ayam tersebut benar-benar mati.

5.

Limbah sisa pemotongan (darah, bulu, kuku, dan kotoran) di buang
pada tempat yang aman dengan cara dikubur.

Menurut Grimes (2001), unggas yang sakit dapat menghasilkan lendir baik
dari mulut maupun dari anus.

Lendir yang dihasilkan dapat mengandung

mikroorganisme patogen (agen penyakit) yang dapat menyebar ke lingkungan
karena aktivitas unggas tersebut. Faktor pemicu penyebaran mikroorganisme ke
lingkungan seperti temperatur udara, kelembaban lingkungan, dan jumlah
cahaya/sinar matahari.

Lendir yang berbentuk aerosol dapat mencemari

lingkungan, debu peternakan, kotoran unggas, peralatan kandang, makanan, air,
dan bangkai ternak karena aktivitas hewan vektor lainnya seperti serangga.
Memperhatikan perkembangan rantai penyebaran virus AI ke manusia yang
berasal dari unggas maka tindakan memutus rantai penularan dari unggas ke
manusia merup