Manajemen Risiko Rantai Pasok Unggas Terkait Kasus Avian Influenza Di Kabupaten Bandung

MANAJEMEN RISIKO RANTAI PASOK UNGGAS
TERKAIT KASUS AVIAN INFLUENZA DI
KABUPATEN BANDUNG

ZELLA NOFITRI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Manajemen Risiko
Rantai Pasok Unggas Terkait Kasus Avian Influenza di Kabupaten Bandung adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Zella Nofitri
NIM B04100025

ABSTRAK
ZELLA NOFITRI. Manajemen Risiko Rantai Pasok Unggas Terkait Kasus
Avian Influenza di Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT
dan ALIM SETIAWAN SLAMET.
Munculnya berbagai macam penyakit pada peternakan unggas dapat
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Salah satu cara untuk
menanggulangi penyebaran AI adalah dengan mengidentifikasi aliran produk
unggas dari hulu ke hilir. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengkaji
rantai pasok unggas serta menganalisis berbagai gangguan risiko tertinggi yang
timbul terkait kasus AI di Kabupaten Bandung. Metode yang digunakan untuk
menentukan dan menganalisis risiko tertinggi dalam rantai pasok unggas adalah
metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Multi Expert-Multi Criteria
Decision Making (ME-MCDM). Aliran produk mengalir dari peternak-perusahaan
inti-RPHU-pedagang besar-restoran dan supermarket-pedagang kecil-konsumen.
Penyebaran AI dapat terjadi sepanjang aliran produk dari hulu ke hilir. Hasil AHP

terkait kasus AI adalah prioritas faktor rantai pasok adalah make (0.563) dan
prioritas anggota rantai pasok adalah perusahaan inti (0.401), dengan risiko
operasional yang memiliki prioritas terbesar adalah sumber daya manusia (0.411).
Kata kunci: Avian Influenza, manajemen risiko, rantai pasok, unggas

ABSTRACT
ZELLA NOFITRI. Risk Management of Poultry Supply Chain Related to
Avian Influenza Cases in Bandung Area. Supervised by RAHMAT HIDAYAT and
ALIM SETIAWAN SLAMET.
The emergence of various diseases in poultry farms could cause considerable
economic losses. One way to overcome the spread of Avian Influenza (AI) was by
identifying the flow of poultry products from upstream to downstream. The
purposes of this study were to identify and assess the poultry supply chain and to
analyze the various risks that arise related to AI cases in Bandung District.
Research methods was interview by using questionnaires. Risk analysis in the
poultry supply chain determined by Analytic Hierarchy Process (AHP) and Multi
Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) method. Poultry supply chain
in Bandung District consisted of farmers who carrying out farming activities, major
companies as producers and financiers, poultry slaughterhouse, wholesalers, and
retailers. Product stream flew from farmers-major company-poultry

slaughterhouse-wholesalers-retailers. The spread of AI might occur along the
product flow from upstream to downstream. AHP results related to the case of AI
including supply chain priority factor was the make (0.563) and the priority of
supply chain members is a major company (0.401), and the highest priority of
operational risk was human resources (0.411).
Keywords: Avian Influenza, poultry, risk management, supply chain

MANAJEMEN RISIKO RANTAI PASOK UNGGAS
TERKAIT KASUS AVIAN INFLUENZA DI
KABUPATEN BANDUNG

ZELLA NOFITRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan IPB

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga proposal penelitian ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 sampai Oktober 2013 ini
ialah analisis daging, dengan judul Manajemen Risiko Rantai Pasokan Unggas
Terkait Kasus Avian Influenza di Kabupaten Bandung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Rahmat Hidayat, MSi dan
Bapak Alim Setiawan Slamet, STP MSi selaku pembimbing. Terima kasih pula
penulis tujukan untuk Drh Usamah Afiff, MSc selaku pembimbing akademik
sekaligus orang tua bagi penulis selama menuntut ilmu di FKH. Ribuan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Dr Drh Eko S. Pribadi, MSi atas semua ilmu yang
sudah diberikan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan studi di FKH.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Basril Efendi SP), ibu
(Yulidarnis), adik (Shinta Yulya Basril dan Dilva Febyola Basril) serta seluruh
keluarga dan teman-teman di FKH angkatan 47 (terutama partner penulis dalam
berbagi lelah, Tri Handoko Lasrianto) atas dukungan penuh, doa dan kasih
sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

Zella Nofitri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Definisi Risiko dan Jenis Risiko


3

Manajemen Rantai Pasokan

3

Analisis Manajemen Risiko Rantai Pasokan

4

Teknik Penilaian Risiko dan Pengambilan Keputusan

4

Avian Inflenza (AI)

5

METODE


5

Waktu dan Tempat

5

Tahap-tahap Penelitian

6

Metode Pengumpulan Data

6

Metode Pengambilan Sampel

7

Prosedur Analisis Data


7

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Gambaran Umum Rantai Pasokan Unggas di Kabupaten Bandung

7

Manajemen Risiko Rantai Pasok Unggas pada Level Perusahaan Inti

9

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan


19

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

20

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1 Skala penilaian risiko
2 Identifikasi risiko operasional
3 Upaya mitigasi risiko kuadran 1


6
10
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Diagram pemetaan risiko (Djohanputro 2004)
Tahapan penelitian
Ilustrasi rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung
Struktur hierarki penilaian prioritas anggota rantai pasok unggas dalam
manajemen risiko rantai pasokan
Hasil perbandingan bobot faktor rantai pasok
Hasil perbandingan bobot risiko operasional rantai pasok
Hasil perbandingan bobot pelaku rantai pasok
Diagram pemetaan risiko operasional terkait SDM
Diagram pemetaan risiko operasional terkait proses internal
Diagram pemetaan risiko operasional terkait sistem
Diagram pemetaan risiko operasional terkait kejadian di luar
perusahaan

4
7
8
12
13
14
14
15
16
17
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Munculnya berbagai macam penyakit pada peternakan unggas dapat
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Wabah penyakit menular yang
sangat ganas seperti wabah Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal sebagai flu
burung merupakan risiko terbesar yang harus dihadapi peternak. Penyakit AI masuk
ke Indonesia sejak tahun 2003 telah menimbulkan efek di berbagai aspek kehidupan
terutama pada bidang ekonomi. Penyakit ini menyebabkan hampir 90% kematian
unggas, penurunan produksi telur dan penurunan persentase penjualan daging dan
telur yang mengakibatkan banyak peternakan perunggasan di Indonesia gulung
tikar. Menurut Dharmayanti et al. (2005), penyakit ini pertama kali muncul di
beberapa peternakan ayam petelur di Kecamatan Legok, Tangerang dan kemudian
meluas ke 11 provinsi, antara lain di Pulau Jawa dan Bali. Karena wabah
berlangsung cukup lama, yaitu dari Agustus 2003 sampai Januari 2004, maka
sempat menimbulkan dampak ekonomi yang luas.
Akoso (2004) melaporkan bahwa penyakit Al yang mewabah pada akhir
tahun 2003 menyebabkan kematian 7.4 juta ekor unggas, yang terdiri dari ayam ras,
ayam buras, burung puyuh, itik, merpati dan unggas lainnya. Kerugian ekonomi
(potensial) yang ditimbulkannya ditaksir mencapai 7.7 triliun rupiah, meliputi
kematian unggas, pengurangan kesempatan kerja, gangguan pada industri
perunggasan dan industri pakan serta terhambatnya ekspor dan produknya ke luar
negeri. Sedangkan menurut Basuno (2008), Komnas FBPI (Komisi Nasional Flu
Burung dan Pandemi Influenza) memperkirakan besarnya kerugian di Indonesia
akibat wabah AI dari 2004-2008 sebesar 4.3 triliun rupiah, di luar kerugian dari
hilangnya kesempatan kerja dan berkurangnya konsumsi protein masyarakat.
AI telah menjadi penyakit endemik pada populasi unggas Indonesia, yang
mencakup lebih dari 40 juta burung pada kawanan komersial dan halaman belakang
rumah warga. Selama lima tahun terakhir, AI telah menyebar ke 31 dari 33 provinsi
dan menyebabkan sekitar 10 juta kematian unggas dalam setahun. Virus HPAI oleh
H5N1 sudah terjadi secara endemis pada perunggasan Indonesia (Songserm et al.
2006). Oleh karena itu, Indonesia melakukan upaya penanganan AI berupa 9
(sembilan) langkah strategis, yang salah satunya adalah peningkatan biosekuriti
(Kementan RI 2009). Biosekuriti menjadi garda terdepan dalam upaya mencegah
dan mengendalikan penyakit di peternakan unggas. Para peternak peternak yang
menjadi hulu dalam sistem rantai pasar didorong untuk membuat rencana
manajemen risiko dan mengimplementasikan di peternakannya dengan sungguh–
sungguh.
Pada kenyataannya, kondisi di lapangan sangat jauh dari ideal. Banyak
permasalahan yang menjadi hambatan sehingga penanggulangan AI sulit mencapai
hasil yang diinginkan. Isolasi peternakan/daerah bebas AI masih sulit dilakukan.
Tingkat keberhasilan vaksinasi AI saat ini sangat bervariasi. Biosekuriti cenderung
diperlonggar karena memerlukan biaya yang tinggi. Kontrol lalu lintas unggas,
produk asal unggas, produk sampingan (khususnya kotoran) sulit dilakukan.
Kesadaran peternak untuk ikut mencegah perluasan kasus AI cenderung menurun.

2
Di dalam praktek produksi unggas dan tataniaga banyak tahapan yang bisa menjadi
faktor risiko penyebaran penyakit sehingga perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut
untuk dapat mengeliminasi risiko atau mengurangi risiko. Salah satu cara untuk
mengeliminasi risiko atau mengurangi risiko penyebaran AI adalah dengan
melakukan identifikasi rantai pasokan unggas serta manajemen dan pengendalian
risiko rantai pasok terkait kasus AI. Faktor yang perlu menjadi perhatian meliputi
proses beternak, sistem, sumber daya manusia (SDM), dan kejadian di luar
perusahaan. Sedangkan pelaku yang perlu diperhatikan adalah perusahaan inti,
peternak, dan ritel yang berperan dalam rantai pasokan unggas.
Menurut laporan Ditjennak (2014), salah satu propinsi tertular AI dengan
populasi unggas air tertinggi di Indonesia adalah propinsi Jawa Barat. Kematian
unggas air per Januari 2014 di Jawa Barat mencapai 40914 ekor dengan Kabupaten
tertular diantaranya adalah Bandung Barat, Ciamis, Banjar, Kota Bandung,
Indramayu dan Sukabumi.
Perumusan Masalah
Masalah-masalah yang dianalisis dan diselesaikan dalam penelitian ini
dirangkum dalam beberapa hal, yaitu:
1. Bagaimana mekanisme rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung?
2. Apa saja risiko-risiko yang teridentifikasi pada kegiatan rantai pasok unggas
terkait kasus AI di Kabupaten Bandung?
3. Pada anggota rantai pasok manakah terletak risiko yang paling tinggi?
4. Bagaimana pengendalian risiko pada rantai pasok unggas terkait AI di
Kabupaten Bandung?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi risiko yang terjadi pada kegiatan rantai pasok unggas.
2. Menganalisis anggota rantai pasok dengan risiko tertinggi
3. Memitigasi risiko tertinggi pada rantai pasok unggas yang timbul terkait
kasus AI di Kabupaten Bandung.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjadi dasar bagi para anggota rantai pasokan unggas dalam upaya
pembenahan manajemen resiko rantai pasok ayam untuk mengurangi dampak
penyakit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi.
2. Sebagai tambahan informasi dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Risiko dan Jenis Risiko
Risiko adalah seluruh hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
perusahaan (Muslich 2007). Menurut Djohanputro (2008), risiko diartikan sebagai
ketidakpastiaan yang telah diketahui tingkat probabilitas kejadiannya atau
ketidakpastiaan yang bisa dikuantitaskan yang dapat menyebabkan kerugian atau
kehilangan.
Menurut Cavinato dalam Hadiguna (2010), pada dasarnya terdapat lima
aliran yang bisa dianalisa dalam manajemen risiko rantai pasokan, yaitu risiko
operasional, risiko finansial atau risiko keuangan, risiko informasi, risiko relasional,
dan risiko inovasional. Manajemen risiko rantai pasokan pada umumnya fokus pada
pada risiko operasional. Misalnya risiko dalam penerimaan pesanan, risiko dalam
pembeliaan barang, risiko dalam persediaan, risiko dalam produksi, risiko dalam
perencanaan, risiko dalam hubungan antara agen serta prinsipal dan beberapa
kejadian lain yang sangat banyak dalam proses bisnis suatu perusahaan.
Djohanputro (2004), risiko operasional adalah potensi penyimpangan dari
hasil yang diharapkan karena tidak berfungsinya suatu sistem, SDM, teknologi, atau
faktor lain. Risiko operasional dapat terjadi pada dua tingkatan yaitu teknis dan
organisasi. Pada tataran teknis, risiko operasional dapat terjadi apabila sistem
informasi, kesalahan mencatat, informasi yang tidak memadai, dan pengukuran
risiko yang tidak akurat dan tidak memadai. Pada tataran organisasi, risiko
operasional dapat muncul karena sistem pemantauan dan pelaporan, sistem dan
prosedur, serta kebijakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Risiko operasional
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu manusia (sumber daya manusia),
teknologi, sistem dan prosedur, kebijakan, dan stuktur organisasi. Risiko
operasional merupakan salah satu risiko rantai pasok.
Manajemen Rantai Pasokan
Ballou (2004) menyatakan rantai pasokan mencakup semua aktivitas
(transportasi, pengendalian persediaan, dan sebagainya) yang membutuhkan waktu
disepanjang jaringan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi serta
informasi yang diteruskan ke pelanggan akhir dan memiliki nilai tambah bagi
pelanggan. Rantai pasok adalah cara untuk menghasilkan nilai sehingga mencapai
keunggulan bersaing, yaitu nilai untuk pelanggan dan pemasok di dalam perusahaan,
serta nilai untuk stakeholder perusahaan. Menurut Heizer dan Render (2004), rantai
pasokan mencakup seluruh interaksi antara pemasok, manufaktur, distributor dan
pelanggan.
Pengelolaan rantai pasokan dikenal dengan istilah manajemen rantai pasok
atau Supply Chain Management. Tang (2006) mendefinisikan manajemen rantai
pasok sebagai manajemen aliran bahan, informasi, dan finansial melalui sebuah
jaringan kerja organisasi (yaitu pemasok, pengolah, penyedia logistik, pedagang
besar atau distributor, dan pengecer) yang bertujuan untuk memproduksi dan
mengirimkan produk atau jasa untuk pelanggan.

4
Analisis Manajemen Risiko Rantai Pasokan
Menurut Bredell (2004), manajemen risiko rantai pasok adalah pendekatan
formal dan terstruktur pada seluruh rantai pasok, termasuk mitra rantai pasok dan
aktivitas yang bersesuaian dengan tujuan untuk mengenali, mengeksplorasi,
menganalisis, mengevaluasi, memperlakukan, mengawasi, meninjau kembali dan
mengkomunikasikan risiko rantai pasok yang berhubungan dengan setiap kegiatan
rantai pasok, fungsi atau proses sedemikian sehingga memungkinkan perusahaan
meminimalisasi kerugian dan memaksimalkan peluang atau kesempatan.
Menurut Hallikas et al. (2004), proses manajemen risiko yang umum terjadi
pada suatu perusahaan terdiri dari empat kegiatan utama yaitu identifikasi risiko,
pengkajian risiko, pengambilan keputusan dan implementasi pada kegiatan
manajemen risiko dan pengawasan risiko.
Identifikasi risiko. Dengan mengidentifikasi risiko, pengambil keputusan
risiko menjadi memahami tentang kejadian atau fenomena yang menyebabkan
ketidakpastian. Fokus utama dari identifikasi risiko adalah mengenali
ketidakpastian yang akan terjadi agar dapat mengendalikan skenario ini secara
proaktif.
Pengkajian risiko. Pengkajian risiko dan memprioritaskannya diperlukan
agar dapat memilih tindakan manajemen yang sesuai terhadap faktor-faktor risiko
yang terindikasi berdasarkan situasi dan kondisi perusahaan.
Keputusan dan implementasi tindakan manajemen risiko. Keputusan dan
implementasi tindakan manajemen risiko, sangat diperlukan untuk menggunakan
metode manajemen yang dapat memastikan pencegahan secara parsial atau total
terhadap risiko yang akan terjadi atau pada saat terjadinya kegagalan, dilakukan
dengan mengurangi akibatnya terhadap pengoperasian rantai pasok.
Sebuah manajemen mampu menilai risiko dengan melakukan
pengelompokan risiko. Menurut Djohanputro (2004), pemetaan risiko pada
prinsipnya merupakan pola penyusunan risiko berdasarkan kelompok-kelompok
tertentu sehingga manajemen dapat mengidentifikasi karakter masing-masing
risiko dan menetapkan tindakan yang sesuai terhadap masing-masing risiko. Peta
risiko dapat dilihat pada gambar 1.
Tinggi

Rendah

Risiko II
Risiko berbahaya
yang jarang terjadi

Risiko I
Mengancam
pencapaian tujuan
perusahaan
Risiko IV
Risiko III
Risiko tidak
Risiko yang terjadi
berbahaya
secara rutin
Rendah
Tinggi
Probabilitas

Gambar 1 Diagram pemetaan risiko (Djohanputro 2004)
Teknik Penilaian Risiko dan Pengambilan Keputusan
Menurut Hadiguna (2010), proses pengambilan keputusan yang melibatkan
pendapat atau penilaian pakar berdasarkan kriteria jamak dikenal dengan istilah

5
Multi Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM), yaitu teknik
penggabungan seluruh pendapat pakar atau ahli secara keseluruhan sehingga
penyelesaian yang paling diterima adalah hasil kelompok secara keseluruhan. Salah
satu alat (metode) yang dapat dipakai oleh pengambil keputusan untuk bisa
memahami kondisi suatu sistem dan membantu didalam melakukan prediksi dan
pengambilan keputusan adalah Analytic Hierarchy Process (AHP) (Fewidarto
1996). Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu teknis analisis
keputusan dengan menggunakan perbandingan berpasangan dalam suatu diagram
bertingkat yang umumnya dimulai dari tujuan (sasaran), kemudian kriteria level
pertama, lalu sub kriteria dan seterusnya (Santoso 2005).
Avian Inflenza (AI)
Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal dengan flu burung disebabkan
oleh virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae.
Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift), dan dapat
menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari
Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai
identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya
terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada hewan
H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung
adalah dari subtipe A H5N1 (Kemenkes RI 2005).
Virus AI dapat menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan
kematian tinggi. Penyakit ini menular dengan melalui beberapa cara, yaitu antarternak unggas, ternak-manusia, dan antar-manusia (Yudhastuti dan Sudarmaji
2006). Penyakit Avian Influenza (AI) sangat berbahaya karena menyebabkan
kematian unggas secara mendadak dan menyebar secara cepat. Penyakit ini dapat
menyerang semua jenis ternak unggas termasuk ayam lokal, dan yang lebih
menakutkan lagi bahwa AI dapat menular pada manusia dan menyebabkan
kematian (Zainuddin dan Wibawan 2008).
Selain mengakibatkan kematian, kejadian wabah AI juga memberikan
dampak yang besar di berbagai sektor, diantaranya industri dan peternakan rakyat.
Virus AI menyerang industri unggas di Indonesia tahun 2003 telah memberikan
dampak ekonomi yang sangat luas. Angka kematian unggas mencapai 6-10 juta
ekor dan terjadi penurunan produksi daging dan telur hingga 30-40%. Kematian
unggas dan penurunan produksi telur dan daging mengakibatkan menurunnya
permintaan telur dan daging. Kerugian besar juga terjadi pada pembibit yang dalam
produksi DOC untuk ekspor dan pasar dalam negeri terpaksa menganggur (Basuno
2008).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dimulai pada Bulan Juli 2013 sampai dengan September 2013.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

6

Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian yang dilakukan diantaranya:
1. Mempelajari sistem rantai pasokan unggas.
2. Pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara
menggunakan kuisioner kepada anggota rantai pasokan yakni peternak
rakyat (sektor 3), perusahaan inti, dan pengelola rumah potong hewan
unggas (RPHU).
3. Pengolahan data untuk mengidentifikasi rantai pasokan unggas dan
identifikasi risiko dengan analisis deskriptif.
4. Pengukuran risiko berdasarkan nilai modus frekuensi dan dampak risiko
dari beberapa orang yang dianggap pakar (ahli) dalam menentukan besar
kemungkinan terjadinya suatu risiko dan dampaknya bagi perusahaan inti.
Hasil agregasi penilaian peternak ahli yang berdasarkan nilai modus
kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan pemetaan risiko operasional
dalam peta kuadran risiko (risk mapping biplot) menggunakan SPSS 16.0.
Masing-masing nilai modus dipetakan dalam peta kuadran risiko yang
terdiri dari empat kuadran. Kuadran risiko dapat dilihat pada Gambar 1.

Ukuran
1
2
3
4
5

Tabel 1
Frekuensi
Tidak pernah
terjadi
Jarang terjadi
Cukup sering
terjadi
Sering terjadi
Sangat sering
terjadi

Skala penilaian risiko
Dampak
Tidak berpengaruh terhadap
penurunan mutu produk
Kurang berpengaruh terhadap
penurunan mutu produk
Cukup berpengaruh terhadap
penurunan mutu produk
Berpengaruh terhadap
penurunan mutu produk
Sangat berpengaruh terhadap
penurunan mutu produk

Label
SR (Sangat
Jarang)
R (Jarang)
S (Sedang)
T (Tinggi)
ST (Sangat
Tinggi)

5. Penilaian risiko menggunakan teknik Non-Numeric Multi-Expert Multi
Criteria Decision Making (ME-MCDM) dan metode Analytic Hierarchy
Process (AHP).
Tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar 2.
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data yang diperoleh langsung dengan cara
observasi atau pengamatan, wawancara dengan pengisian kuesioner kepada pelaku
rantai pasok yaitu perusahaan inti, peternak unggas, distributor, dan pemilik Rumah
Potong Hewan Unggas (RPHU).

7
Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel berdasarkan non probability sampling dimana
pengumpulan informasi dan pengetahuan dari beberapa orang yang dianggap pakar
dalam menilai besar peluang (probability) dan dampak yang terjadi dari suatu risiko
dengan menggunakan metode purposive sampling untuk menentukan pakar yang
dilibatkan dalam penelitian. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk
menentukan pakar adalah kesesuaian pendidikan pakar, pengalaman pakar dan
track record kepakarannya.
Prosedur Analisis Data
Tahap penilaian risiko dilakukan dengan menggunakan teknik Non-Numeric
Multi-Expert Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) dengan agregasi
penilaian menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) berbasis pada
SCOR level 1. Pemetaan hasil agregasi risiko menilai risiko dan dampaknya
dipetakan dalam peta kuadran risiko (risk mapping biplot).
Analisis risiko rantai pasokan ayam
broiler
Pengumpulan data
Identifikasi rantai pasokan ayam
broiler dengan wawancara

Analisis risiko

Input data

Penilaian risiko dengan teknik
MCDM dan metode AHP

Analisis deskriptif rantai pasokan
ayam broiler

Pengukuran dan pemetaan risiko

Perumusan mitigasi risiko

Simpulan dan saran
Gambar 2 Tahapan penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Rantai Pasokan Unggas di Kabupaten Bandung
Secara geografis wilayah Kabupaten Bandung terletak di wilayah dataran
tinggi pada koordinat 1070 22'-1080 50' Bujur Timur dan 60 41' - 70 19' Lintang

8
Selatan. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Bandung 176 238.67 Ha, sebagian
besar wilayah Bandung berada diantara bukit-bukit dan gunung-gunung yang
mengelilingi Kabupaten Bandung. Jumlah penduduk Kabupaten Bandung menurut
data BPS pada tahun 2010 adalah sekitar 3 215 548 jiwa (Kemendagri 2011).
Sementara itu menurut data BPS (2013), jumlah populasi unggas di Kabupaten
Bandung tercatat sebanyak 1 863 970 ekor ayam buras, 414 930 ekor ayam petelur,
2 443 390 ekor ayam pedaging, dan 389 739 ekor itik.
Anggota rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung terdiri dari peternak,
pedagang besar, pedagang eceran, supermarket/restoran, rumah potong hewan
unggas (RPHU), dan perusahaan inti. Ilustrasi gambar rantai pasokan unggas di
Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Gambar 3.
Restoran/
supermarket

Konsumen

Peternak mitra

Perusahaan inti

RPHU

Pedagang eceran

Pedagang besar

Ke luar wilayah
Bandung

Keterangan:
Aliran produk
Aliran uang
Aliran informasi

Pengawasan

Gambar 3 Ilustrasi rantai pasokan unggas di Kabupaten Bandung
Perusahaan inti merupakan produsen besar yang melakukan kemitraan
dengan menjalin kerja sama dengan peternak plasma. Perusahaan inti bertindak
sebagai pemodal yang menyiapkan dana awal untuk berbagai fasilitas dalam
peternakan, seperti bibit (DOC), pakan, vitamin, dan obat-obatan. Peternak mitra
yang bekerja sama dengan perusahaan inti tidak dapat mengambil keputusan sendiri
tentang perencanaan usaha serta menentukan fasilitas perkandangan, jenis dan
jumlah ternak yang akan digunakan, saat penebaran DOC, manajemen produksi,
serta tempat dan harga penjualan hasil produksi. Dalam kerja sama kemitraan, pihak
inti menyediakan sarana produksi dengan harga kontrak, sedangkan peternak mitra
hanya merupakan pelaksana yang bertugas menjalankan peternakan dengan
menyediakan tanah, kandang, tenaga kerja, dan menjaga agar ayam tetap sehat dan
dapat dipanen tepat waktu. Distribusi unggas hidup yang siap jual ke RPHU dan
pedagang besar dikoordinir oleh perusahaan inti dan dijual ke pedagang besar yang
akan mendistribusikan produk unggas baik berupa unggas hidup maupun karkas di
Kabupaten Bandung dan juga ke luar wilayah seperti DKI Jakarta dan sekitarnya.
Menurut Ditjennak (2008), sebagian besar peternak memilih bekerja sama dengan
perusahaan ini disebabkan alasan kekurangan modal, dapat mengurangi risiko
kegagalan, memperoleh jaminan penghasilan, jaminan pasar, dan jaminan pasokan

9
ternak, memanfaatkan kandang, serta mendapat bimbingan teknis dan advokasi
tentang pengelolaan ayam.
Seluruh anggota dalam kegiatan rantai pasok unggas memiliki kemungkinan
persebaran virus AI sangat besar. Menurut Sudarman et al. (2008) peternak
tradisional, pekerja di tempat pemotongan ayam, pedagang pengumpul dan
penampung kotoran unggas mempunyai risiko tinggi tertular virus AI. Hal ini
dikarenakan peternak, pekerja, petugas pemotongan unggas, tidak memiliki
pengetahuan yang memadai dalam mengenali HPAI, penggunaan disinfektan,
pembuangan unggas mati dan pelaporan dugaan kasus HPAI.
Menurut Sudarman et al. (2010), setiap aktor dalam rantai nilai unggas yang
menangani unggas hidup atau baru mati harus mampu mengenali HPAI jika terjadi
kasus dan tanggap serta mampu mengambil tindakan yang tepat waktu untuk
melaporkan penyakit kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Rendahnya
penerapan praktek biosekuriti oleh peternak, pekerja kandang, petugas pemotongan
unggas, dan pedagang pengumpul kotoran hewan (nyaris tanpa biosekuriti)
merupakan faktor yang mempengaruhi risiko penyebaran AI. Di RPHU sendiri,
tingginya penyebaran AI disinyalir disebabkan oleh volume besar unggas hidup
disembelih, pencampuran burung dari sumber yang berbeda, tapi tetap untuk jangka
waktu pendek; biosekuriti yang beragam; potensi kontaminasi transportasi dan
pembuangan yang buruk; dan pengaruh terbatas dari aktor-aktor lain. Suartha et al.
(2010) melaporkan bahwa pedagang unggas berkontribusi tinggi dalam penyebaran
flu burung karena belum melakukan program biosekuriti secara menyeluruh
ditinjau dari pengumpulan unggas sebelum dijual, pencampuran jenis unggas,
pencucian keranjang unggas dan desinfeksi keranjang unggas.
Aliran produk mengalir dari peternak-perusahaan inti-RPHU-pedagang
besar-restoran/supermarket-pedagang kecil-konsumen. Aliran uang mengalir
sebaliknya, sedangkan aliran informasi mengalir dari hulu ke hilir maupun
sebaliknya. Penyebaran AI dapat terjadi sepanjang aliran produk dari hulu ke hilir,
namun dengan adanya aliran informasi yang berlangsung dari hulu ke hilir dan
sebaliknya, penyebaran AI dapat diminimalisir dikarenakan informasi dapat
disebarkan secara cepat dan memudahkan kontrol antar aliran rantai pasok sehingga
dan tindakan pencegahan dan pengendalian dari masing-masing anggota rantai
pasok terhadap virus dapat segera dilakukan. Jika terdapat kasus AI, maka peternak
akan segera menghubungi perusahaan inti dan dinas peternakan setempat untuk
segera melakukan tindakan pencegahan meluasnya penyebaran virus AI
diantaranya dengan melakukan berbagai upaya untuk terus memantau kasus yang
terjadi di lapangan dengan cara survei secara aktif di seluruh wilayah kerja yang
ada di Kabupaten Bandung.
Manajemen Risiko Rantai Pasok Unggas pada Level Perusahaan Inti
Menurut Djohanputro (2008), risiko diartikan sebagai ketidakpastiaan yang
telah diketahui tingkat probabilitas kejadiannya atau ketidakpastiaan yang bisa
dikuantitaskan yang dapat menyebabkan kerugian atau kehilangan. Risiko juga
dapat diartikan penyebaran dan atau penyimpangan dari target, sasaran, atau
harapan. Risiko operasional merupakan potensi kerugian finansial yang disebabkan
oleh kegagalan proses internal perusahaan, kesalahan sumber daya manusia,

10
kegagalan sistem, kerugian yang disebabkan kejadian dari luar perusahaan, dan
kerugian karena pelanggaran peraturan dan hukum yang berlaku.
Menurut Hallikas et al. (2004), proses manajemen risiko yang umum terjadi
pada suatu perusahaan terdiri dari empat kegiatan utama yaitu identifikasi risiko,
pengkajian risiko, pengambilan keputusan dan implementasi pada kegiatan
manajemen risiko dan pengawasan risiko.
Identifikasi Risiko Operasional
Identifikasi risiko, pada tahap ini, analis berusaha mengidentifikasi apa saja
risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Perusahaan tidak selalu menghadapi seluruh
risiko tersebut. Tetapi, ada risiko yang dominan dan risiko yang minor. Risiko
operasional merupakan potensi kerugian finansial yang disebabkan oleh kegagalan
proses internal perusahaan, kesalahan sumber daya manusia, kegagalan sistem,
kerugian yang disebabkan kejadian dari luar perusahaan, dan kerugian karena
pelanggaran peraturan dan hukum yang berlaku. Ada empat variabel atau faktor
pemicu penyebab risiko operasional pada perusahaan inti, yaitu kegagalan proses
internal, kesalahan sumber daya manusia, kegagalan sistem, dan risiko yang
disebabkan kejadian dari luar perusahaan. Risiko-risiko tersebut adalah risiko rantai
pasok, dimana di dalamnya terdapat aliran produk, finansial, dan aliran informasi.
Tabel 2 Identifikasi risiko operasional
No
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
B
1
2
3
4
5

IDENTIFIKASI RISIKO
Proses Internal
Kelangkaan bahan baku (benih/ DOC, pakan)
Bahan baku terlambat
Mutu bahan baku tidak sesuai standar
Mutu peralatan (alat beternak pertanian) yang tidak sesuai standar
Beternak ayam tidak sesuai dengan Good Farming Practices (GFP)
Tidak menjalankan program biosekuriti
Tidak melakukan vaksinasi terhadap flu burung dan melakukan pemeriksaan
pasca-vaksinasi
Penanganan yang kurang tepat terhadap ayam yang mati selama periode
pemeliharaan
Jumlah produksi ayam dari peternak tidak sesuai target
Inovasi produk yang gagal (mis: kegiatan persilangan)
Waktu panen ayam tidak tepat waktu
Penanganan pasca panen yang tidak sesuai standar
Karakteristik ayam yang mudah rusak
Hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi
Tindakan penggudangan yang tidak tepat
Waktu pengiriman dari peternak ke perusahaan tidak tepat waktu
Waktu pengiriman dari perusahaan ke ritel tidak tepat waktu
Jumlah ayam yang didistribusikan ke ritel tidak sesuai
Sumber Daya Manusia
Peternak kurang memahami cara periode budidaya ternak yang baik
Peternak tidak menerapkan beternak yang sesuai GFP
Peternak kurang terampil dalam memelihara hewan ayam
Kesalahan Peternak atau Pekerja (human error) (kesalahan dalam memilih DOC,
pakan, obat-obatan, penggunaan alat)
Peternak atau Pekerja kurang memahami penanganan pasca panen yang baik

11
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
C
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
D
1
2
3
4
5
6
7

Peternak lalai dalam memelihara ayam (kelalaian dalam pemberian obat-obatan)
Kinerja/produktivitas karyawan rendah
Kelalaian dalam penanganan pasca penen
Peternak kurang terampil dalam mendistribusikan ayam dari kandang ke
perusahaan
Pegawai kurang terampil dalam mendistribusikan ayam dari perusahaan ke ritel
Kesalahan dalam menasfir waktu panen ayam
Peternak dan pegawai tidak peduli dengan kualitas ayam dengan baik
Kesalahan dalam memilih alat distribusi ayam (kandang-perusahaan-ritel)
Peternak terlambat atau tidak tepat waktu dalam mendistribusikan ayam dari
kandang ke perusahaan
Pegawai terlambat atau tidak tepat waktu dalam mendistribusikan ayam dari
perusahaan ke ritel
Karyawan tidak memahami mengenai penyakit flu burung
Sistem
Tidak ada sistem biosekuriti untuk pencegahan flu burung
Sistem penentuan harga ayam antara pemasok-perusahaan-ritel yang tidak jelas
Sistem pemesanan dan pembayaran yang kurang jelas
Lokasi periode budidaya ternak kurang ideal
Informasi beternak ayam yang baik masih terbatas
Penerapan teknologi tidak sesuai standar (kecanggihan alat dan mesin proses
beternak belum tersedia)
Distorsi informasi (tidak ada jaringan komunikasi, saluran telepon yang tidak
berfungsi)
Sistem informasi yang kurang jelas
Sistem pemantauan proses pelaksanaan di kandang ayam-perusahaan-ritel yang
kurang berjalan dengan baik
Sistem pelaporan pelaksanaan suatu program yang tidak berlangsung dengan baik
Sistem perencanaan produksi yang tidak berjalan dengan baik
SOP penerapan program perusahaan yang kurang jelas dan tegas
Sistem transportasi belum memadai (mis: alat transportasi dan mekanisme
transportasi)
Kejadian Di Luar Perusahaan
Musim kemarau dan musim hujan yang tidak menentu (efek pemanasan global)
Iklim yang tidak menentu (efek pemanasan global)
Fluktuasi curah hujan yang tinggi (efek pemanasan global)
Bencana alam (banjir, gempa bumi)
Krisis global yang menyebabkan permintaan dan harga ayam tidak stabil
Peningkatan kejadian flu burung di wilayah peternakan
Jarak distribusi yang terlalu jauh

Penilaian Prioritas Anggota Rantai Pasok
Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu teknis analisis
keputusan dengan menggunakan perbandingan berpasangan dalam suatu diagram
bertingkat yang umumnya dimulai dari tujuan (sasaran), kemudian kriteria level
pertama, lalu sub kriteria dan seterusnya (Santoso 2005). Kerangka umum AHP
yang terdiri dari tiga level. Struktur paling atas menunjukkan tujuan utama atau
ultimate goal, yaitu menentukan prioritas dari anggota rantai pasok unggas. Level
pertama pada struktur hierarki menunjukkan proses kunci dari bisnis rantai pasokan,
yang terdiri dari Plan (perencanaan), Source (pengadaan), Make (beternak),
Process (pengolahan), dan Deliver (pengiriman).

12

Menentukan prioritas dari anggota rantai pasok unggas
dalam manajemen risiko rantai pasokan terhadap AI

Plan
(0.143)

Source
(0.178)

Proses internal
(0.291)

Peternak
(0.352)

Make
(0.563)

SDM
(0.411)

Process
(0.062)

Sistem
(0.228)

Perusahaan inti
(0.401)

Deliver
(0.054)

Kejadian di luar
perusahaan (0.069)

Ritel
(0.248)

Gambar 4 Struktur hierarki penilaian prioritas anggota rantai pasok unggas dalam
manajemen risiko rantai pasokan
Plan (perencanaan) merupakan proses merencanakan rantai pasokan mulai
dari pengadaan sumber daya rantai pasokan, merencanakan produksi,
merencanakan penjualan dengan memperkirakan permintaan, merencanakan
distribusi, merencanakan pengiriman, merencanakan persediaan (inventory),
hingga merencanakan saluran penjualan khususnya terhadap masalah AI.
Source (pengadaan) berkaitan pengadaan bahan baku dan pelaksanaan
outsource. Proses ini meliputi komunikasi, negosiasi, penerimaan barang, inspeksi
dan verifikasi, hingga pembayaran barang kepada pemasok.
Make (beternak) merupakan proses produksi ayam yang membutuhkan
ketersediaan sarana produksi baik kandang, benih, pakan, irigasi, dan lain-lain
khususnya terhadap masalah AI.
Process (pengolahan) merupakan lanjutan dari kegiatan kegiatan beternak
karena produk yang dihasilkan dari beternak akan diproses dan diolah dalam
kegiatan beternak khususnya terhadap masalah AI. Kegiatan ini meliputi kegiatan
sortasi, pengemasan, pelabelan, dan persiapan pengiriman.
Deliver (pengiriman) adalah proses bisnis yang melibatkan pergerakan fisik
dari ayam yang berada dalam satu jalur rantai pasok khususnya terhadap masalah
Flu burung. Manajemen pengiriman barang didahului dengan komunikasi
pendahuluan terutama informasi harga, jumlah, kualitas, dan frekuensi yang harus
dikirim. Proses tawar menawar dan negosiasi sering dilakukan dalam proses ini.
Level ke dua pada struktur hierarki menunjukkan risiko operasional rantai
pasokan yang dibedakan menjadi tiga bagian yaitu risiko yang disebabkan proses
internal, sumber daya manusia (SDM), sistem, dan kejadian di luar perusahaan.
Level ke tiga pada struktur hierarki menunjukkan alternatif prioritas dari anggota
rantai pasokan unggas, yaitu peternak, perusahaan inti, dan ritel. Hasil dari analisis

13
ini (ditunjukkan oleh Gambar 4) akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan
prioritas anggota rantai pasok unggas dan risiko rantai pasok unggas yang akan
ditelaah secara mendalam sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan mitigasi risiko.
Berdasarkan hasil kuesioner pakar dengan menggunakan AHP diperoleh
perbandingan berpasangan antara tujuan utama sebagai kontrol dan kriteria (proses
bisnis), akan dilihat yang memiliki pengaruh yang paling besar. Berdasarkan hasil
pengolahan prioritas faktor dalam proses rantai pasok, Make (beternak) mempunyai
nilai prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0.563 sehingga dapat disimpulkan bahwa
proses beternak memiliki pengaruh paling besar diantara keempat proses yang lain.
Hasil ini sangat relevan dengan kondisi di lapangan bahwa penanggulangan kasus
AI pertama kali dilakukan pada saat proses beternak di peternakan. Beternak adalah
faktor penentu terhadap kelangsungan rantai pasok. Pada proses produksi ayam,
ketersediaan sarana produksi baik kandang, benih, pakan, irigasi, dan segala
kegiatan dipersiapkan dengan baik, termasuk penanganan terhadap masalah AI.
Jika terdapat kasus AI, maka peternak akan segera menghubungi perusahaan inti
dan dinas peternakan setempat untuk segera melakukan tindakan pencegahan
meluasnya penyebaran virus AI. Pemerintah Kabupaten Bandung sendiri sejak
tahun 2003 saat pertama kali diketahui adanya wabah AI di Kabupaten Bandung
maka Dinas Pertanian semakin waspada terhadap kejadian tersebut dan melakukan
berbagai upaya untuk terus memantau kasus yang terjadi di lapangan. Salah satu
cara yang ditempuh adalah dengan melakukan survai secara aktif di seluruh wilayah
kerja yang ada di Kabupaten Bandung.
Faktor
Deliver (Pengiriman)

0,054

Process (Pengolahan)

0,062

Make (beternak)

0,563

Source (Pengadaan)

0,178

Plan (Perencanaan)
0,000

0,143
0,100

0,200

0,300

0,400

0,500

0,600

Gambar 5 Hasil perbandingan bobot faktor rantai pasok
Berdasarkan hasil pembobotan terhadap prioritas risiko operasional, risiko
yang terkait kegagalan akibat SDM mempunyai nilai prioritas paling tinggi yaitu,
sebesar 0.411 sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa risiko yang diakibatkan
oleh sumberdaya manusia memiliki pengaruh paling besar atau penting diantara
ketiga risiko lain. Kejadian kasus AI di wilayah peternakan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan SDM peternak dalam proses budidaya ternak yang baik dan sesuai
dengan Good Farming Practices (GFP). AI terutama yang bersifat ganas atau yang
lebh dikenal dengan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), dapat menyebar
cepat antara kandang, menyerang berbagai organ tubuh unggas, dan kematian

14
mencapai 100% dalam waktu 48 jam. Apabila peternak tidak memiliki pengetahuan
mengenai cara ternak yang baik dan sesuai dengan GFP serta kemampuan
mengenali gejala klinis infeksi AI, maka risiko terhadap penularan AI dapat terjadi
secara cepat dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Menurut OIE dan FAO
(2009), GFP merupakan panduan kepada seluruh stakeholders, termasuk peternak
dan pemerintah untuk sepenuhnya memikul tanggung jawab mereka pada tahap
produksi ternak untuk menghasilkan makanan yang aman. Praktek pertanian yang
baik juga harus menangani masalah lingkungan sosial ekonomi, kesehatan hewan
dan dengan cara yang koheren.

Risiko Operasional
Kejadian di Luar Perusahaan

0,069

Sistem

0,228

SDM

0,411

Proses Internal
0,000

0,291
0,100

0,200

0,300

0,400

0,500

Gambar 6 Hasil perbandingan bobot risiko operasional rantai pasok
Berdasarkan hasil pengolahan prioritas pelaku, perusahaan inti mempunyai
nilai prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0.401 sehingga perusahaan inti memiliki
pengaruh paling besar atau penting diantara ketiga anggota rantai pasok unggas.
Perusahaan inti merupakan pemodal yang menyiapkan dana awal untuk berbagai
fasilitas dalam peternakan, seperti bibit (DOC), pakan, vitamin, dan obat-obatan
sehingga jika terjadi kasus AI, perusahaan inti mempunyai kecenderungan
menanggung risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan aktor yang lain di dalam
rantai pasok unggas di Kabupaten Bandung.
Pelaku
Ritel

0,248

Perusahaan inti

0,401

Peternak
0,000

0,352
0,100

0,200

0,300

0,400

0,500

Gambar 7 Hasil perbandingan bobot pelaku rantai pasok

15
Pemetaan Risiko Operasional pada Level Perusahaan Inti
Merujuk pada hasil analasis risiko menggunakan AHP dengan hasil prioritas
anggota rantai pasok adalah perusahaan inti, maka dilakukan pengukuran dan
pemetaan risiko operasional pada perusahaan inti yang meliputi SDM, proses
internal, sistem, dan kejadian di luar perusahaan.
Pengukuran risiko mengacu pada dua faktor yaitu faktor kuantitas risiko dan
faktor kualitas risiko. Kuantitas risiko terkait dengan berapa banyak nilai, atau
eksposur yang rentan terhadap risiko. Kualitas risiko terkait dengan kemungkinan
suatu risiko muncul. Semakin tinggi kemungkinan risiko terjadi, semakin tinggi
pula risikonya. Pengukuran risiko dilakukan dengan menentukan dampak dan
frekuensi dari masing-masing peubah. Pengukuran risiko berdasarkan nilai modus
frekuensi dan dampak risiko dari responden. Masing-masing nilai modus peubah
risiko dipetakan pada peta risiko yang terdiri dari empat kuadran.
Kuadran risiko I merupakan kuadran risiko dengan frekuensi tinggi dan
dampak tinggi. Risiko ini mempunyai potensi mengancam pencapaian tujuan
perusahaan. Kuadran risiko II merupakan kuadran risiko dengan frekuensi rendah
dan dampak tinggi. Kuadran risiko III merupakan kuadran risiko dengan frekuensi
tinggi dan dampak rendah. Frekuensi risiko tersebut cenderung sering, tetapi
dampaknya tidak terlalu besar. Meskipun demikian, pemicu-pemicu risiko tersebut
harus dikelola, agar tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Kuadran IV
merupakan kuadran risiko frekuensi rendah dan dampak rendah. Keterangan
pemetaan risiko operasional dapat dilihat pada tabel identifikasi risiko (Tabel 2).

Gambar 8 Diagram pemetaan risiko operasional terkait SDM
Risiko sumber daya manusia ditunjukkan oleh Gambar 8. Risiko yang berada
di kuadran 1 diantaranya adalah kesalahan dalam memilih alat distribusi ayam
(kandang-perusahaan-ritel) dan peternak tidak menerapkan beternak yang sesuai
dengan GFP. Contoh kesalahan dalam memilih alat distribusi ayam dari kandang
ke perusahaan dan ritel adalah mengangkut ayam dengan menggunakan mobil bak
terbuka. Penggunaan mobil dengan bak terbuka akan meningkatkan risiko
penyebaran agen penyakit seperti AI ke lingkungan atau sebaliknya.

16

Gambar 9 Diagram pemetaan risiko operasional terkait proses internal
Risiko proses internal yang sering terjadi dan memiliki dampak tinggi
ditunjukkan oleh kuadran 1 Gambar 9, yaitu hasil panen yang memiliki bentuk dan
ukuran yang bervariasi, kelangkaan bahan baku (DOC, pakan), waktu panen ayam
yang tidak tepat waktu, dan waktu pengiriman dari peternak ke perusahaan yang
tidak tepat waktu. Ketiga risiko di atas dapat berhubungan dikarenakan apabila
terjadi kelangkaan bahan baku (DOC, pakan), maka perusahaan akan membeli
DOC dan pakan dari beberapa perusahaan lain penyedia dengan kualitas yang
berbeda. Perbedaan kualitas ini akan menyebabkan ukuran produk yang bervariasi
sehingga waktu panen ayam tidak tepat waktu. Ayam broiler akan dipanen ketika
sudah mencapai umur empat minggu dan bobot 1.8 kg. Apabila dalam empat
minggu bobot ayam belum mencapai 1.8 kg, maka diperlukan waktu yang lebih
lama untuk memanen ayam sehingga waktu pengiriman dari peternak ke
perusahaan yang tidak tepat waktu. Apabila waktu panen ayam tidak tepat waktu,
peternak akan mengurangi waktu pembersihan kandang yang seharusnya dua
minggu sehingga kandang tidak sepenuhnya bersih sebelum dimasukkan DOC baru
sehingga meningkatkan risiko penyebaran penyakit seperti AI.
Pembersihan dan disinfeksi memainkan peranan yang sangat vital dalam
mengeliminasi patogen dari lingkungan dan mengontrol penyebaran penyakit.
Melakukan tindakan disinfeksi terhadap kandang penampungan, peralatan kandang,
dan lingkungan sekitar kandang selama periode kosong kandang diperlukan untuk
menginaktivasi virus AI. Untuk mempermudah tindakan disinfeksi terhadap
kandang penampungan, peralatan kandang dan area sekitar kandang secara optimal
diperlukan kios yang permanen (Arzey 2007). Menurut Kemenkes RI (2005),
sangatlah penting melakukan pembersihan dan disinfeksi bahan-bahan yang
terkontaminasi dengan detergen dan disinfektan yang direkomendasikan. Virus flu
burung dapat mati dengan detergent, desinfektan misalnya formalin, serta cairan
yang mengandung iodine. Menurut Sudarman et al. (2010), desinfeksi merupaka
praktek kunci untuk meningkatkan biosekuriti dan mengurangi penyebaran AI.
Tidak ada risiko yang mengancam perusahaan pada Gambar 10, namun
kejadian yang jarang terjadi tetapi berdampak besar terdapat pada kuadran II, yaitu
Sistem penentuan harga ayam antara pemasok-perusahaan-ritel yang tidak jelas,

17
informasi beternak ayam yang baik masih terbatas, sistem perencanaan produksi
yang tidak berjalan dengan baik, SOP penerapan program perusahaan yang kurang
jelas dan tegas, dan sistem transportasi belum memadai (misal alat transportasi dan
mekanisme transportasi).

Gambar 10 Diagram pemetaan risiko operasional terkait sistem
Gambar 11 menunjukkan risiko yang disebabkan oleh kejadian di luar
perusahaan. Risiko yang terdapat pada kuadran I adalah risiko akibat fluktuasi
curah hujan yang tinggi sebagai akibat dari pemanasan global. Pengaruh perubahan
pola hujan dan iklim ekstrim terhadap ternak belum banyak dipelajari. Pengaruh
langsung dampak perubahan iklim terhadap ternak adalah pertumbuhan yang tidak
optimal dan stres. Dampak perubahan pola curah hujan dan iklim ekstrim terhadap
ternak terjadi akibat dinamika dan pola distribusi penyakit hewan (OPH).
Perubahan pola curah hujan, kelembaban, dan gas di atmosfer mempengaruhi
pertumbuhan tanaman, jamur, serangga, dan interaksinya dengan host. Penyakit
hewan cenderung meningkat pada musim hujan dan/atau iklim basah. Peluang
kontaminasi berbagai penyakit bawaan ternak dari tanaman pakan lebih besar pada
musim hujan, seperti jamur aflatoksin pada kacang tanah, gandum, jagung, dan
beras. Oleh sebab itu, perubahan iklim juga akan mempengaruhi produktivitas
ternak akibat penyakit menular (Kementan 2011).
Menurut Medion (2010), curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan tingkat
stres ayam meningkat, dikarenakan suhu kandang cukup ekstrim. Dalam kondisi
yang stres, kekebalan ayam akan menurun sehingga bibit penyakit akan mudah
masuk. Selain itu, tingkat stres yang tinggi juga menyebabkan program vaksinasi
tidak berjalan optimal karena kemampuan hewan menghasilkan antibodi menurun.
Sedangkan menurut Bahri dan Safriati (2011), pemanasan global dan perubahan
iklim dapat berpengaruh langsung kepada spesies hewan sebagai hospes utama,
antara lain timbulnya stres sehingga hewan menjadi peka terhadap infeksi suatu
agen patogen, sehingga akan muncul gejala penyakit. Pengaruh langsung juga dapat
terjadi pada hospes utama berupa burung yang biasa bermigrasi karena mengikuti
musim. Unggas yang bermigrasi dan membawa agen patogen seperti virus H5N1
dalam tubuhnya sebagai reservoar, dapat menularkan penyakit AI di lokasi yang
baru.

18

Gambar 11 Diagram pemetaan risiko operasional terkait kejadian
di luar perusahaan
Pengendalian Risiko Tertinggi Rantai Pasok
Pengendalian risiko berupa mitigasi risiko dan rencana kontingensi
melibatkan pengembangan tindakan risiko respon berencana untuk mengendalikan
risiko (Schoenherr 2001). Penentuan tindakan yang tepat untuk dilakukan dalam
manajemen risiko rantai pasok mengacu pada hasil identifikasi dan evaluasi risiko
rantai pasok yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa tindakan pengendalian
risiko yang dijelaskan dalam bagian ini merupakan proses mitigasi yang dapat
dilakukan berdasarkan risiko yang memiliki frekuensi dan dampak yang besar
(berada pada kuadran 1) serta memiliki prioritas risiko terbesar yaitu risiko
operasional pada perusahaan inti.
Tabel 3 Upaya mitigasi risiko kuadran 1
Faktor
Proses
Internal

Risiko
Kelangkaan bahan
(benih/ DOC, pakan)

baku

Jumlah produksi ayam dari
peternak tidak sesuai target

SDM

Waktu panen ayam tidak
tepat waktu
Waktu pengiriman
dari
peternak ke perusahaan tidak
tepat waktu
Peternak tidak menerapkan
beternak yang sesuai dengan

Mitigasi
Mengadakan
perjanjian
dengan
perusahaan penyedia DOC untuk
mengatur target penyediaan DOC setiap
masa produksi
Memperbaiki
kualitas
kandang;
memberikan pakan, obat-obatan, vaksin,
dan vitamin yang berkualiats untuk
mengurangi penyakit sehingga produksi
ayam stabil
Menyusun target umur ayam yang akan
dipanen, bukan hanya target berat badan
sehingga waktu panen ayam setiap siklus
produksi sama dan tepat waktu dalam
pengiriman ke perusahaan
Memberikan
penyuluhan
kepada
peternak
untuk
meningkatkan
keterampilan,
pengetahuan
dalam

19
Good Farming
(GFP)

Practices mengenali hewan yang terserang virus
AI, dan informas