Aplikasi Teknologi Peresapan Biopori untuk Meningkatkan Produksi Padi Gogo pada Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Maluku Tenggara Barat

APLIKASI TEKNOLOGI PERESAPAN BIOPORI UNTUK
MENINGKATKAN PRODUKSI PADI GOGO PADA
PERTANIAN LAHAN KERING DI KABUPATEN
MALUKU TENGGARA BARAT

SELVIA ANINYENA FORDATKOSU

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Teknologi
Peresapan Biopori untuk Meningkatkan Produksi Padi Gogo pada Pertanian
Lahan Kering di Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013
Selvia A Fordatkosu
NIM A14080107

ABSTRAK
SELVIA ANINYENA FORDATKOSU. Aplikasi Teknologi Peresapan Biopori
untuk Meningkatkan Produksi Padi Gogo pada Pertanian Lahan Kering di
Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dibimbing oleh KAMIR R BRATA dan
YAYAT HIDAYAT.
Pertanian lahan kering di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) masih
bersifat subsisten dan bergantung pada curah hujan. Akan tetapi, curah hujan
belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan produksi pangan. Tujuan
penelitian ini untuk mengkaji efektivitas sistem peresapan biopori terhadap
peningkatan ketersediaan air tanah, pengendalian aliran permukaan dan erosi,
kehilangan hara, dan peningkatan produksi padi gogo di MTB. Salah satu inovasi

teknik konservasi tanah dan air adalah sistem peresapan biopori yang terdiri dari
saluran peresapan biopori dan lubang resapan biopori.
Uji Beda Nyata Terkecil menunjukkan bahwa sistem peresapan biopori
cenderung meningkatkan kelembaban tanah periode tidak hujan. Semua perlakuan
kecuali T0 sangat nyata mengendalikan aliran permukaan dan erosi, sangat nyata
menyelamatkan sedimen dan menekan kehilangan hara. Sistem peresapan biopori
mampu menurunkan aliran permukaan hingga 99.8 % dan 100 % erosi, perlakuan
T4 paling tinggi menyelamatkan sedimen sebesar 9.32 ton/ha selama satu musim
tanam. Perlakuan T3 dan T4 nyata meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi
gogo di Desa Latdalam Kecamatan Tanimbar Selatan Kabupaten MTB.
Kata kunci: curah hujan, lahan kering, produksi padi, sistem peresapan biopori

ABSTRACT
SELVIA ANINYENA FORDATKOSU. Application of Biopore Infiltration
Technology for increasing upland rice production on dryland agriculture in
Western South-East Moluccas Regency. Supervised by KAMIR R BRATA and
YAYAT HIDAYAT.
Dryland agriculture in Western South-East Moluccas (WSEM) Regency is
still subsistence and depend on rainfall. However, rainfall is not used optimally to
increase food production. The purpose of this research was to analyze

effectiveness of the biopore infiltration system toward the increase of soil
moisture availability, control of ranoff and soil erosion, nutrient loss, and increase
of upland rice production in WSEM. One innovation of the land and water
conservation technique is biopore infiltration system which consist of biopore
infiltration channel and hole.
Least significant difference test showed that biopore infiltration system
tends to increase the availability of soil moisture in dry period. All treatments
except T0 was very significant in controlling runoff and soil erosion, also in
saving sediment an decrease nutrient soil loss. The system was able to decrease
the runoff up to 99.8 % and 100 % of erosion, T4 treatment was the highest in
saving sediment at 9.32 tonnes/ha for one growing season. T3 and T4 treatments
significantly increased the growth and production of upland rice in Latdalam
village of South Tanimbar sub-district, WSEM regency.
Keywords: rainfall, dryland, rice production, biopore infiltration system

APLIKASI TEKNOLOGI PERESAPAN BIOPORI UNTUK
MENINGKATKAN PRODUKSI PADI GOGO PADA
PERTANIAN LAHAN KERING DI KABUPATEN
MALUKU TENGGARA BARAT


SELVIA ANINYENA FORDATKOSU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Aplikasi Teknologi Peresapan Biopori untuk Meningkatkan
Produksi Padi Gogo pada Pertanian Lahan Kering di Kabupaten
Maluku Tenggara Barat
Nama
: Selvia Aninyena Fordatkosu
NIM

: A14080107

Disetujui oleh

Dr Ir Yayat Hidayat, MSi
Pembimbing II

Ir Kamir R Brata, MSc
Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Syaiful Anwar, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan
anugrah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Aplikasi Teknologi Peresapan

Biopori untuk Meningkatkan Produksi Padi Gogo pada Pertanian Lahan Kering di
Kabupaten Maluku Tenggara Barat”, yang dilaksanakan sejak bulan Maret
sampai November 2012 dapat diselesaikan dengan baik.
Keberhasilan karya ilmiah ini bukan semata-mata hasil kerja penulis
sendiri. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir KAMIR R BRATA MSc dan Bapak Dr Ir
YAYAT HIDAYAT MSi selaku dosen pembimbing, Bapak Ir WAHYU
PURMAKUSUMA MSc selaku dosen penguji serta Bapak Ir EDIZON
JAMBORMIAS MSi dan keluarga yang telah banyak memberikan saran,
bimbingan, nasihat, dan perhatian. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
PEMDA Kab. MTB yang telah membiayai penulis selama 4 tahun di IPB.
Semoga semua kebaikan dibalas dengan berkat yang melimpah dari Tuhan Yesus.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir Yan Kotualubun
dari Badan Meteorologi dan Geofisika Saumlaki, Bapak Jems R Watumlawar SP
MSi dan Bapak Max Lawalata SP beserta staf dari Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Staff dosen dan
laboran Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB,
Staff Komdik dan Perpustakaan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
(Mbak Hesti, Mba Iko, dan Bu Tini), Soa Reza, Bapak Theis Fordatkosu dan
keluarga, Ua Loi dan keluarga, Ua Ado dan keluarga, Bapak Abi Fordatkosu dan

keluarga, Bapak Yahya Fordatkosu dan keluarga, Sdr Samuel Masela SPt, Om
Ulis, Oma Maryam, Opa Azer, Novi N, Ona Derek, Nuzken, Melis, Pius, Etus,
Ibu Any F, Mega YP, Mei Nalitasari, Fika, Derbie yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah tercinta
OKTOVIANUS FORDATKOSU, mama tersayang ALEXANDRINA NOKPAY,
ade-ade terkasih Harisko dan Nevia, bongso Jems Unitly, ka Ella, seluruh
keluarga, teman-teman seperjuangan khususnya (Sintia Korowa, Siti Nurjannah,
Sheilla, Nur etika, Efy), MSL 45, Komisi Diaspora PMK IPB, dan keluarga besar
PERMAMA atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013
Selvia Aninyena Fordatkosu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN



Latar Belakang



Tujuan Penelitian



Hipotesis




Manfaat Penelitian



TINJAUAN PUSTAKA



Karakteristik Pertanian Lahan Kering



Aliran Permukaan dan Erosi



Sistem Peresapan Biopori




Padi Gogo



METODE



Waktu dan tempat Penelitian



Bahan dan Alat



Prosedur




Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

10 
11 

Kondisi Tanah Lokasi Penelitian

11 

Curah hujan, Aliran permukaan, dan Erosi

13 

Kelembaban Tanah

17 

Kehilangan Hara melalui Aliran Permukaan dan Erosi

18 

Sedimen Terselamatkan

21

Pertumbuhan Padi Gogo

24 

Produksi Padi Gogo

26 

SIMPULAN DAN SARAN

27 

DAFTAR PUSTAKA

28 

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Jenis dan metode analisis laboratorium
Sifat-sifat morfologi tanah
Sifat kimia tanah dan beberapa sifat fisik tanah sebelum percobaan
Jumlah aliran permukaan dan erosi selama satu musim tanam
Konsentrasi dan kehilangan hara melalui aliran permukaan
Konsentrasi dan kehilangan hara melalui erosi
Jumlah sedimen terselamatkan selama satu musim tanam
Konsentrasi dan hara yang terselamatkan
Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif padi gogo
Bobot gabah kering dan jerami kering padi gogo

10
11
12
16
19
20
21
23
25
26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan
Hubungan antara curah hujan dan erosi
Hubungan antara aliran permukaan dan erosi
Perubahan kelembaban tanah periode tidak hujan
Jumlah kehilangan hara melalui aliran permukaan
Jumlah kehilangan hara melalui erosi
Jumlah hara terselamatkan bersama sedimen
Pertumbuhan tinggi tanaman padi gogo beberapa minggu setelah tanam
Pertumbuhan jumlah anakan padi gogo beberapa minggu setelah tanam

13 
14
15
17 
18 
19
22 
24 
24 

DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi padi varietas Situ Bagendit
2 Analisis sidik ragam aliran permukaan (m3/ha)
3 Analisis sidik ragam erosi (ton/ha)
4 Analisis sidik ragam sedimen terselamatkan (kg/ha)
5 Hasil perhitungan sedimen terselamatkan (ton/ha)
6 Analisis sidik ragam tinggi tanaman padi 11 mst
7 Analisis sidik ragam anakan produktif tanaman padi
8 Analisis sidik ragam bobot gabah kering padi gogo (ton/ha)
9 Hasil perhitungan bobot gabah kering padi gogo (ton/ha)
10 Analisis sidik ragam jerami kering padi gogo (ton/ha)
11 Hasil perhitungan jerami kering padi gogo (ton/ha)
12 Analisis sidik ragam Nitrogen (%) aliran permukaan
13 Analisis sidik ragam C-Organik (%) aliran permukaan
14 Analisis sidik ragam Fosfor (ppm) aliran permukaan
15 Analisis sidik ragam Kalium (me/100g) aliran permukaan
16 Analisis sidik ragam Nitrogen (%) erosi
17 Analisis sidik ragam C-Organik (%) erosi
18 Analisis sidik ragam Fosfor (ppm) erosi
19 Analisis sidik ragam Kalium (me/100g) erosi

31 
32 
32 
32 
32
33 
33  
33
33
34
34
34
34
35
35
35
35
36
36

20 Analisis sidik ragam Nitrogen (%) terselamatkan
21 Analisis sidik ragam C-Organik (%) terselamatkan
22 Analisis sidik ragam Fosfor (ppm) terselamatkan
23 Analisis sidik ragam Kalium (me/100g) terselamatkan
24 Hasil pengukuran tinggi tanaman (cm) padi gogo
25 Data curah hujan 1 Maret 2012 – 12 Juli 2012
26 Foto lapangan

36
36
37
37
37
38
39

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Maluku Tenggara Barat (MTB) merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Maluku yang baru disahkan menjadi daerah otonom sekitar 13 tahun yang lalu.
Sebagian besar wilayahnya berupa lautan dan hanya sekitar 20 % berupa daratan.
Secara geografis, Kabupaten MTB terletak diantara 06o35' sampai 08o2' LS dan
130o40' sampai 132o02' BT. Luas wilayahnya ± 14 584 km2 dengan batas
administratif menurut BAPPEDA MTB (2002) sebagai berikut:
Sebelah Utara
: Laut Banda
Sebelah Timur
: Laut Arafura
Sebelah Selatan
: Laut Timor dan Samudra Pasifik
Sebelah Barat
: Laut Flores
Kabupaten MTB terdiri atas 4 gugusan kepulauan dan setiap gugus terdiri
atas beberapa pulau. Kepulauan Tanimbar merupakan salah satu gugusan
kepulauan terbesar di Kabupaten MTB dengan luas daratan 593 600 ha, terdiri
atas 67 pulau dengan 3 pulau utama yaitu pulau Yamdena, pulau Larat, dan pulau
Selaru. Jumlah penduduk di kabupaten ini sekitar 149 850 jiwa pada tahun 2000.
Jumlah tersebut meningkat menjadi 155 645 jiwa pada tahun 2010 (BPS Maluku
2010). Di samping itu yang menjadi bahan pangan pokok masyarakat MTB adalah
padi, jagung, dan umbi-umbian.
Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan permintaan bahan pangan
juga meningkat, terutama kebutuhan akan beras sedangkan laju pertumbuhan dan
produksi padi berjalan lambat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka
pemanfaatan lahan kering perlu ditingkatkan. Lahan kering merupakan lahan yang
kebutuhan air untuk tanamannya tergantung pada hujan dan tidak pernah
tergenang air secara tetap dalam kurun waktu tertentu (Noeralam 2002). Karena
itu pengembangan usaha pertanian lahan kering sering dihadapkan pada
permasalahan sumberdaya air, khususnya pemanfaatan air hujan termasuk sistem
pertanian di Kabupaten MTB, di mana sistem pertaniannya masih bersifat
subsisten dan bergantung curah hujan. Para petani belum memanfaatkan curah
hujan secara optimal akibatnya pada musim hujan ketersediaan air melimpah
namun pada musim kemarau terjadi krisis air (kekeringan) sehingga
mempengaruhi produksi pangan.
Menurut Laimeheriwa et al. (2002) unsur iklim dan tanah menjadi faktor
penentu utama pengembangan usaha pertanian di Kabupaten MTB. Secara umum
kondisi iklim yang sering dijumpai adalah tipe iklim Aw berdasarkan klasifikasi
Koppen, dengan rata-rata curah hujan tahunan Kepulauan Tanimbar adalah 15002000 mm, suhu rata-rata 27 oC dan kelembaban udara 80.75 %. Laimeheriwa
(2011 dalam Laimeheriwa 2012) menambahkan pola curah hujan di Kabupaten
MTB bersifat “bimodal” atau memiliki dua puncak hujan, yang terjadi sekitar
Desember/Januari dan April/Mei. Kondisi iklim ini dipengaruhi oleh sirkulasi
angin yang bergerak secara horizontal ke arah ekuator (Laimeheriwa et al. 2002),
sehingga terdapat pergantian musim antara musim barat (musim hujan) dengan
musim timur (musim kemarau) yang dikenal dengan musim pancaroba yang
berlangsung pada bulan Maret-April dan Oktober-November (Purwanto et al.

2
2004). Akibat distribusi hujan yang tidak merata antar ketiga musim
menyebabkan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman berkurang. Di
samping itu hasil penelitian Laimeheriwa (2012) menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan iklim di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) yang berdampak
terhadap pergeseran musim tanam. Di mana curah hujan musim kemarau akan
semakin berkurang yang berdampak terhadap penurunan ketersediaan air tanah.
Selanjutnya jenis tanah di Kabupaten MTB didominasi oleh batuan kapur
sehingga solum tanah yang terbentuk tipis (Purwanto et al. 2004), akibatnya
mudah tererosi karena memiliki erodibilitas tanah yang agak tinggi berdasarkan
klasifikasi kelas erodibilitas tanah Arsyad (2006).
Akhirnya kelebihan air yang tidak meresap ke dalam tanah pada musim
hujan akan mengalir sebagai aliran permukaan yang menyebabkan erosi serta
kehilangan hara dari permukaan tanah, sebaliknya pada musim kemarau terjadi
kelangkaan air menyebabkan produksi pangan menurun. Brata (1998) menyatakan
bahwa aliran permukaan dapat mengakibatkan tanah yang miskin unsur hara akan
semakin miskin. Hal ini terjadi karena tidak hanya air yang hilang melalui aliran
permukaan tetapi juga termasuk unsur hara, bahan organik, dan bahan tanah.
Untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, maka air hujan yang jatuh harus
diresapkan dan disimpan dalam tanah, yang berfungsi sebagai cadangan air pada
musim kemarau sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Salah satu teknologi konservasi tanah dan air untuk meningkatkan
kemampuan tanah meresapkan air sekaligus mengendalikan aliran permukaan dan
erosi adalah sistem peresapan biopori, dengan membuat saluran peresapan biopori
dan lubang resapan biopori. Penerapan sistem peresapan biopori yang efektif pada
pertanian lahan kering di Kabupaten MTB diharapkan dapat meningkatkan
ketersediaan air tanah di daerah perakaran, mengurangi aliran permukaan dan
erosi, kehilangan unsur hara, dan bahan organik, serta meningkatkan produksi
pangan terutama produksi padi gogo.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengkaji efektivitas sistem peresapan biopori
terhadap peningkatan ketersediaan air tanah, pengendaliaan aliran permukaan dan
erosi, kehilangan hara, dan peningkatan produksi padi gogo pada pertanian lahan
kering di Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Hipotesis
Air dan tanah yang terbuang melalui aliran permukaan dan erosi dapat
dikendalikan dengan sistem peresapan biopori. Semakin efektif pengendalian
aliran permukaan dan erosi menyebabkan semakin meningkatnya produksi padi
gogo pada pertanian lahan kering di Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan antara lain: (1) adanya teknologi sederhana yang
dapat digunakan oleh petani di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) untuk
meningkatkan produksi pangan; (2) meningkatkan wawasan petani mengenai
pemanenan air hujan yang efektif di Kabupaten MTB; (3) memberikan informasi
kepada pemerintah daerah dalam membuat kebijakan pengembangan pertanian
terkait pergeseran musim tanam akibat perubahan iklim yang terjadi di Kabupaten
MTB.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Pertanian Lahan Kering
Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi
atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang tahun
(Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering juga didefinisikan sebagai salah satu
agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian baik tanaman
pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan), tanaman tahunan dan peternakan
(Aburachman et al. 2008), akan tetapi pengelolaan dan penggunaannya harus
tepat sesuai kemampuan lahannya (Noeralam 2002). Menurut Sinukaban (1994)
lahan kering berpotensi untuk swasembada pangan. Hal ini terlihat dari
penyebaran lahan kering yang cukup luas sekitar 75.4 % dari luas total wilayah
Indonesia (Aburachman et al. 1999). Menurut Solahuddin (1996) pertanian yang
dilaksanakan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi dan kebutuhan air sangat
bergantung curah hujan dikenal dengan pertanian lahan kering termasuk sistem
pertanian di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB).
Kendala-kendala yang harus diperhatikan dalam pengembangan pertanian
lahan kering di Kawasan Timur Indonesia adalah (1) kendala ekologis dan biofisik
lahan; (2) cara pengelolaan lahan, masih dilakukan dengan penebangan dan
pembakaran hutan yang mengakibatkan perubahan terhadap ekosistem dan
biofisik lahan; dan (3) sosial ekonomi. Kondisi sosial dan ekonomi petani
tergolong marginal yaitu pendapatan rendah, tingkat pendidikan dan pengetahuan
terbatas, produktivitas rendah dan teknologi yang dikuasai sangat sederhana.
Untuk dapat meningkatkan produktivitas lahan perlu diterapkan kaidahkaidah konservasi tanah dan air. Menurut Sinukaban (1994) sistem pertanian
konservasi (SPK) perlu diterapkan ke dalam sistem pertanian yang ada dengan
tujuan: (1) meningkatkan pendapatan petani; (2) meningkatkan kesejahteraan
petani; (3) sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian lahan kering dapat
berkelanjutan. Tujuan pertanian berkelanjutan menurut Lal (1994) adalah: (1)
mencegah terjadinya degradasi lahan; (2) meningkatkan produksi secara terusmenerus; dan (3) meningkatkan produktivitas lahan dengan memproduksi
komoditi yang berorientasi pasar; serta (4) menjaga kualitas lingkungan.
Pengembangan pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan perbaikan
teknologi produksi melalui: (1) perubahan pola tanam; (2) penggunaan komoditi
yang menguntungkan; dan (3) penggunaan teknologi tepat guna yang sesuai
dengan kondisi fisik, sosial, dan ekonomi daerah (KEPAS 1989 dalam Noeralam
2002). Untuk dapat mendukung produktivitas dan keberhasilan usaha tani lahan
kering di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) maka sumberdaya air perlu
dikelola dengan baik. Karena menurut Laimeheriwa et al. (2002) sistem pertanian
lahan kering di Kepulauan Maluku berkaitan langsung dengan jumlah dan
distribusi hujan serta sifat tanah dalam memegang air.
Aliran Permukaan dan Erosi
Kelebihan air hujan yang mengalir di permukaan tanah dan tidak dapat
meresap ke dalam tanah atau hujan yang jatuh melebihi kapasitas infiltrasi tanah

5
didefinisikan sebagai aliran permukaan (Chan 2002). Aliran permukaan akan
terjadi bila hujan yang jatuh telah mencukupi kebutuhan untuk evaporasi,
intersepsi, infiltrasi, dan mengisi cekungan–cekungan di permukaan tanah
(Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 2008). Menurut Arsyad (2006) bentuk aliran
inilah yang menjadi penyebab erosi. Terdapat beberapa sifat aliran permukaan
yang menentukan kemampuannya dalam menimbulkan erosi yaitu: (1) jumlah; (2)
kecepatan; (3) laju; dan (4) gejolak aliran permukaan.
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami berupa air dan
angin (Arsyad 2006). Secara singkat proses erosi dimulai dari terdispersinya tanah
atau agregat tanah oleh tumbukan butir hujan dan gerusan aliran permukaan
(detachment), selanjutnya material atau partikel tanah yang terpecahkan diangkut
oleh aliran permukaan (transportation) dan diendapkan di tempat lain (deposition).
Jadi menurut Arsyad (2006) erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang
subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman, selain itu berkurangnya kemampuan
tanah dalam menyerap dan menahan air. Suripin (2004) juga menambahkan
proses ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah
untuk produksi pertanian, dan kualitas lingkungan hidup.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan dan kemampuannya
menimbulkan erosi adalah: (1) iklim; (2) tanah; (3) vegetasi; (4) topografi; dan (5)
sistem pengelolaan tanah. Menurut Kartasapoetra et al. (1987) di Indonesia faktor
iklim yang menyebabkan erosi adalah curah hujan dengan rata-rata curah hujan
melebihi 1500 mm/tahun. Sifat-sifat hujan yang menentukan terjadinya aliran
permukaan dan erosi adalah (1) jumlah dan lama hujan; (2) intensitas hujan; dan
(3) distribusi hujan (Sitorus 2004). Hujan dalam waktu yang singkat tidak
menimbulkan aliran permukaan, sedangkan hujan dengan intensitas yang sama
dalam waktu yang lama akan menimbulkan aliran permukaan dan erosi. Selain
curah hujan, setiap perlakuan yang diberikan terhadap tanah dapat mempengaruhi
kepekaan dan ketahanan tanah terhadap erosi. Hal ini berkaitan dengan sifat fisik
dan kimia tanah diantaranya: (1) tekstur; (2) struktur; (3) kandungan bahan
organik; (4) kedalaman; (5) sifat lapisan tanah; (6) dan tingkat kesuburan tanah
(Arsyad 2006) sehingga setiap jenis tanah memiliki kepekaan dan ketahanan yang
berbeda terhadap erosi.
Sistem Peresapan Biopori
Biopori (biopore) adalah ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh
makhluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai
liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk
menyalurkan air ke dan di dalam tanah. Jumlah dan ukuran biopori mengikuti
pertumbuhan akar tanaman dan banyaknya populasi serta aktivitas organisme
tanah (Brata dan Nelistya 2008).
Kelebihan biopori dibandingkan dengan pori makro adalah: (1) biopori lebih
mantap karena dilapisi oleh senyawa organik yang dikeluarkan oleh tubuh cacing
(Lee 1985 dalam Brata dan Nelistya 2008); (2) biopori berbentuk lubang silindris
yang bersinambung dan tidak mudah tertutup oleh adanya proses pengembangan
karena pembasahan pada tanah yang bersifat vertik sekalipun (Dexter 1988 dalam

6
Brata dan Nelistya 2008); dan (3) dapat menyediakan saluran bagi peresapan air
(infiltrasi) yang lancar ke dalam tanah (Smettem 1992 dalam Brata dan Nelistya
2008). Secara teknis konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan
mengendalikan evaporasi, transpirasi, dan aliran permukaan. Karena menurut
Arsyad (2006) struktur tanah yang baik dan lubang-lubang atau celah-celah yang
ditimbulkan oleh aktivitas fauna tanah dapat memperbesar peresapan air ke dalam
tanah.
Sistem peresapan biopori merupakan sistem peresapan yang didasarkan
pada perbaikan kondisi ekosistem tanah untuk meningkatkan fungsi hidrologinya.
Sistem peresapan biopori ini terdiri atas dua komponen utama yaitu saluran
peresapan biopori (SPB) dan lubang resapan biopori (LRB). SPB adalah saluran
yang memanfaatkan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa vertikal sehingga terjadi
proses pembentukan biopori oleh aktivitas fauna tanah pada saluran. Ukuran
dimensi SPB yang digunakan adalah saluran dengan lebar 20 cm dan kedalaman
15 cm. LRB adalah teknologi konservasi tanah dan air berupa lubang berbentuk
silindris dengan diameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah yang
kedalamannya sekitar 100 cm dari permukaan tanah atau tidak melebihi muka air
tanah. Lubang kemudian diisi dengan sisa-sisa tanaman untuk mendorong
terbentuknya biopori (Brata dan Nelistya 2008).
Sisa-sisa tanaman yang diberikan pada saluran yang menutupi bidang
resapan secara vertikal dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, karena pori
tanah terlindungi oleh sisa-sisa tanaman sehingga menghambat penyumbatan pori
tanah yang dikenal sebagai mulsa vertikal (Brata 1998). Manfaat ganda yang
dapat diperoleh dari mulsa vertikal ini adalah: (1) mencegah longsornya dinding
saluran serta melindungi permukaan resapan dari tumbukan air hujan dan
penyumbatan pori oleh sedimen halus; (2) menghindari kemungkinan penularan
hama dan penyakit tanaman yang ada pada sisa tanaman; (3) membantu proses
pelapukan akibat aktivitas mikroorganisme; (4) memperbaiki sifat fisik tanah
sekitar saluran dan meningkatkan daya resap saluran; (5) campuran kompos dan
sedimen yang tertampung dalam saluran dapat dikembalikan ke bidang
pertanaman setelah panen; dan (6) saluran yang telah dikosongkan dapat
digunakan lagi untuk mengomposkan sisa-sisa tanaman pada musim tanam
berikutnya (Brata 2001). Brata (1998) juga menyampaikan bahwa alur yang
diberi mulsa vertikal meningkatkan infiltrasi yang lebih besar dari pada alur tanpa
mulsa. Mulsa vertikal yang terdapat dalam alur akan terdekomposisi menjadi
kompos, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Manfaat yang diperoleh
dari LRB adalah: (1) memperbaiki ekosistem tanah; (2) mencegah banjir; (3)
menambah cadangan air tanah; (4) mengatasi kekeringan; (5) mempermudah
penanganan sampah; (6) mengubah sampah menjadi kompos; serta (7) mengatasi
masalah akibat genangan (Brata dan Nelistya 2008).
Menurut Yanuar (2005) dan Harianja (2011) penggunaan lubang resapan
dan mulsa pada saluran mampu mencegah aliran permukaan dan erosi dengan
efektivitas mencapai 100 % serta mampu menekan kehilangan unsur hara
dibandingkan perlakuan kontrol.
Pada prinsipnya saluran peresapan biopori (SPB) dan lubang resapan
biopori (LRB) ini dirancang untuk meningkatkan laju peresapan air ke dalam
tanah. Semakin banyak air yang meresap ke dalam tanah, akan meningkatkan
kelembaban tanah sehingga kebutuhan air bagi tanaman tersedia. Menurut

7
Hardjowigeno (1985) dan Soepardi (1983) ketersediaan air dalam tanah
dipengaruhi oleh kemampuan tanah menahan air, sedangkan kemampuan tanah
tersebut dipengaruhi oleh tekstur tanah, struktur tanah, dan kandungan bahan
organik yang cenderung meningkatkan jumlah air yang ditahan dan jumlah air
yang tersedia bagi pertumbuhan tanaman. Selain kemampuan tanah menahan air,
ketersediaan air dalam tanah bergantung juga dari: (1) banyaknya curah hujan atau
air irigasi; (2) besarnya evapotranspirasi; dan (3) tingginya muka air tanah
(Hardjowigeno 1985). Besarnya ketersediaan air bagi tanaman dan kecepatan
penyerapan air oleh akar ditentukan oleh perbedaan tegangan antara tanaman
dengan tanah (Sosrodarsono dan Takeda 2003).
Padi Gogo
Padi gogo merupakan tanaman padi yang dibudidayakan pada lahan kering,
sumber airnya tergantung pada curah hujan (Purwono dan Purnamawati 2008).
Berbeda dengan padi sawah, pertumbuhan padi gogo langsung dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan, akibatnya terdapat berbagai tekanan seperti kekeringan.
Mengingat jumlah lahan kering yang tersebar di Indonesia cukup luas, maka
pengembangan padi gogo sebagai tanaman pangan utama pada pertanian lahan
kering perlu ditingkatkan. Menurut Prasetyo (2002) keuntungan yang dapat
diperoleh dari pengembangan padi gogo antara lain: (1) secara nasional ikut dalam
mempertahankan swasembada beras dengan kontribusi 5 %; (2) meningkatkan
penghasilan petani; (3) ditanam sebagai tanaman sela di perkebunan sehingga
konservasi tanah terjaga.
Beberapa kriteria suatu lahan potensial dapat ditanami padi gogo adalah: (1)
kedalaman efektif tanah lebih dari 25 cm; (2) tekstur liat, berdebu halus,
berlempung halus sampai kasar; (3) pori air tersedia sedang sampai tinggi; (4)
tanah tidak berbatu-batu; (5) pH 4-8; (6) kejenuhan Al < 40 %, iklim lebih basah
dari D3; (7) kelas drainase agak terhambat sampai agak cepat; dan (8) jumlah
bulan basah kurang dari 4 bulan (Soepraptohardjo dan Suwardjo 1988). Di
samping itu, Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian (1998) menyatakan
pertumbuhan tanaman pangan memerlukan curah hujan diatas 100 mm/bulan
minimal untuk memenuhi keperluan evapotranspirasi. Untuk tanaman padi gogo
dibutuhkan curah hujan lebih dari 200 mm/bulan, minimal 4 bulan secara
berurutan.
Selain memanfaatkan air hujan secara optimal untuk menghindari resiko
kegagalan akibat cekaman kekeringan, maka salah satu upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan produksi tanaman pangan adalah mengintroduksi varietas
unggul (Toha et al. 2009). Menurut Bambang et al.(2009) Varietas Situ Bagendit
merupakan salah satu varietas unggul padi gogo yang tahan terhadap blas dan
hawar daun bakteri strain III dan IV, memiliki potensi produksi 4 ton/ha untuk
pertanian lahan kering dan dipanen setelah tanaman mencapai umur 110-120 hari
(Lampiran 1).

8

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini meliputi dua kegiatan, yaitu percobaan lapangan dan analisis
laboratorium terhadap beberapa sifat kimia tanah. Percobaan lapangan dilakukan
di Desa Latdalam, Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara
Barat (MTB), Provinsi Maluku. Analisis sifat kimia tanah dilakukan di
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB Bogor. Penelitian berlangsung pada
bulan Maret hingga November 2012.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan pertanian, benih
padi gogo (Oryza sativa) varietas Situ Bagendit yang diperoleh dari Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten MTB, serasah jagung
yang berasal dari sisa pertanaman penduduk Desa Latdalam, Urea, TSP, KCl,
Dolomit, furadan, karpet plastik (farlak), alumunium foil, sampel air dan sedimen,
serta bahan kimia untuk analisis laboratorium.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak penampung aliran
permukaan dan erosi, alat untuk membuat petakan erosi, penakar hujan, meteran,
bor biopori, cangkul, timbangan, oven, ember, ajir, gelas ukur, kertas saring, alat
tulis, kamera digital, labu Kjeldhal/digestion, destilator dan labunya, buret, tabung
reaksi, spectrophotometer, dan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer).
Prosedur
Percobaan Lapangan
a. Perlakuan
Percobaan lapangan dilakukan untuk mengukur aliran permukaan dan erosi
pada plot erosi menggunakan metode rancangan acak kelompok (RAK). Petakan
erosi dibuat pada lahan pertanian dengan ukuran 10 m x 2 m dan jarak antar petak
0.5 m. Perlakuan yang diujikan adalah :
1) T0: tanpa perlakuan teknik konservasi tanah dan air.
2) T1: bedengan selebar 180 cm dengan saluran menurut kontur (lebar 20 cm
dan kedalaman 15 cm).
3) T2: perlakuan T1 dengan Saluran Peresapan Biopori (SPB). SPB adalah
saluran yang diisi dengan serasah jagung sebanyak 3 ton/ha sebagai mulsa
vertikal.
4) T3 : perlakuan T1 dengan Lubang Resapan Biopori (LRB). Pada dasar
saluran dibuat 2 LRB dengan diameter lubang 10 cm dan kedalaman 100
cm, jarak antar lubang 100 cm. kemudian lubang diisi dengan serasah
jagung sebanyak 3 ton/ha.

9
5) T4 : kombinasi perlakuan T2 dan perlakuan T3.
Untuk mencegah keluar-masuknya air dari dan ke petakan, maka setiap
petak dibatasi dengan pembatas (karpet plastik/farlak) setinggi 20 cm di atas
permukaan tanah dan 30 cm tertanam dalam tanah (Lampiran 26). Pada ujung
bawah petakan dibuat bak penampung aliran permukaan dan erosi yang ditutup
dengan karpet plastik agar air hujan yang jatuh tidak langsung masuk ke dalam
bak penampung. Sebelum perlakuan diujikan sampel tanah diambil secara
komposit pada kedalaman 0 - 5 cm untuk analisis pendahuluan.
b. Penanaman dan Pemeliharaan
Setiap petakan ditanami padi gogo varietas Situ Bagendit dengan metode
baris ganda dan sistem pengolahan tanah minimum. Jarak tanam dalam baris
ganda 20 cm x 15 cm dan jarak antar baris ganda 33 cm. Benih dimasukkan
bersamaan dengan furadan ke dalam lubang tanam yang telah dibuat dengan tugal
sebanyak 3 biji per lubang. Pupuk dasar diberikan 2 hari sebelum tanam dan 6
Minggu Setelah Tanam (6 MST), dengan cara ditaburkan pada alur yang telah
dibuat di tengah baris ganda sedalam 5 cm, kemudian ditutup dengan tanah. Dosis
pupuk yang diberikan adalah Urea 100 kg/ha, TSP 200 kg/ha, KCl 100kg/ha, dan
Dolomit 1 ton/ha pada pemupukan pertama. Dosis pupuk yang sama tanpa
Dolomit diberikan pada pemupukan kedua. Pemeliharaan meliputi penyulaman
yang dilakukan pada saat tanaman berumur 6 hari setelah tanam, penyiangan dari
gulma dan pengendalian hama dengan pestisida nabati. Tanaman dipanen setelah
mencapai umur 120 hari.
c. Pengamatan
Parameter yang diamati:
1) aliran permukaan diperoleh dengan mengukur volume air yang tertampung
dalam bak penampung,
2) erosi diukur dengan menimbang bobot kering sedimen yang keluar
petakan dan bak penampung,
3) kehilangan unsur hara diperoleh dengan menganalisis konsentrasi hara
pada contoh air dan tanah hasil aliran permukaan dan erosi,
4) sedimen terselamatkan diukur pada akhir musim tanam dengan
menimbang bobot sedimen yang tertampung dalam saluran dan lubang
resapan biopori. Sedimen yang berada dalam saluran diambil dengan
cangkul sampai batas dasar saluran yang ditandai dengan tali rafia.
Sedimen yang berada dalam lubang resapan diambil menggunakan bor
tanah. Contoh sedimen diambil secara komposit pada saluran bagian atas,
tengah, dan bawah untuk analisis konsentrasi N-total, P-tersedia, Corganik, dan K-dd,
5) kadar air tanah dilakukan dengan mengambil contoh tanah pada
kedalaman 5 cm (pagi hari pukul 07.00 WIT dan siang hari pukul 14.00
WIT) yang mewakili bedengan bagian atas, tengah, dan bawah beberapa
hari tidak hujan secara berurutan saat pertumbuhan maksimum.

10
Pengukurannya dilakukan secara gravimetri dan dinyatakan dalam persen
berat. Tujuannya untuk memonitor perubahan kelembaban tanah pada
setiap perlakuan.
6) pertumbuhan dan produksi tanaman dilakukan dengan mengambil 6
tanaman contoh secara acak (bukan tanaman pinggiran) mewakili
bedengan bagian atas, tengah, dan bawah dengan mengukur tinggi
tanaman dan jumlah anakan padi pada 3 sampai 11 MST (Minggu Setelah
Tanam), jumlah anakan produktif, menimbang bobot gabah kering panen
dan jerami kering. Untuk mendapatkan bobot kering dilakukan
pengeringan sampel dengan penjemuran langsung dibawah sinar matahari
selama 7 s/d 8 hari.
Analisis Sifat Kimia Tanah
Analisis sifat kimia tanah dilakukan pada beberapa sifat kimia tanah yang
hilang melalui aliran permukaan dan erosi serta unsur yang dapat diselamatkan
bersama sedimen. Sifat kimia tanah yang dianalisis meliputi: N-total, C-organik,
P-tersedia, dan K-dd, dengan jenis analisis dan metode yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan metode analisis laboratorium
Jenis analisis

Metode analisis

Pengekstrak

N-Total
C-organik
P-tersedia
K-dd

Micro-Kjeldhal
Walkley-Black
Bray-1
AAS

H2SO4
K2Cr2O7 N
Bray-1
NH4OAc pH7

Analisis Data
Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan dan 3 ulangan. Model matematika yang digunakan, dapat ditulis
sebagai berikut :
Yij = u + αi + βj + εij
Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
u = rataan umum
αi = pengaruh perlakuan ke-i (i = 0,1,2,3,4)
βj = pengaruh ulangan ke- j (j = 1,2,3)
εij = galat acak
Analisis ragam (Anova) dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
terhadap variabel yang diteliti dan analisis beda nyata terkecil (BNT) untuk
mengetahui tingkat perbedaan antar perlakuan. Di samping itu, analisis regresi
dilakukan dengan program Minitab 16 untuk menduga hubungan fungsi antara
curah hujan dan aliran permukaan, curah hujan dan erosi, serta aliran permukaan
dan erosi.

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Tanah Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dulunya berupa hutan hujan tropis, namun sejak 15 tahun
yang lalu sebagian hutan tersebut kemudian diolah dan dialihgunakan oleh
masyarakat setempat menjadi ladang dengan tanaman utama adalah kelapa. Selain
kelapa pola penanamannya juga berupa umbi-umbian, pisang, singkong, jagung,
kacang-kacangan, dan tanaman lainnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karena sistem pertaniannya masih berupa ladang berpindah, akibatnya lahan
yang digunakan untuk penelitian sudah dibiarkan terlantar berupa semak belukar
selama 3 tahun. Sementara itu berdasarkan kondisi di lapang, lokasi penelitian
memiliki bentuk lahan cembung dengan lereng agak datar dan elevasi ± 100 m dpl.
Untuk mengetahui jenis tanah pada lokasi penelitian dilakukan pengamatan
terhadap karakteristik tanah. Karakteristik tanah yang diamati dengan profil tanah
meliputi horison (susunan dan ketebalan), warna, tekstur tanah, struktur tanah, dan
konsistensi tanah (Tabel 2).
Menurut Laumonier et al. (2005) jenis tanah yang terdapat di Kabupaten
Maluku Tenggara Barat (MTB) berkembang dari limestone (bahan induk kapur)
dan local soil groups (kelompok tanah asal). Berdasarkan Peta Geologi semi detil
skala 1:25 000 dalam Laumonier et al. (2005), daerah penelitian tersusun atas
batuan kapur sehingga dapat dikatakan bahwa tanah di lokasi penelitian
seluruhnya berkembang dari bahan induk kapur. Jumlah curah hujan rata-rata
tahunan di lokasi penelitian sebesar 2000 mm/thn dengan suhu udara berkisar
antara 30-32 ˚C.
Lokasi
: Bersorak, Desa Latdalam, Kec. Tan-Sel, Kab. MTB
Bahan induk
: Batu kapur
Fisiografi
: Elevasi sekitar 100 m dpl
Topografi
: Datar dengan lereng ± 2 %
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Kelapa, semak belukar
Kedalaman efektif : 34 cm
Tabel 2 Sifat-sifat morfologi tanah
Simbol

Uraian

Ao

0-4 cm. Hitam (10 YR 2/1); lempung berdebu; struktur granular,
sangat halus, tanpa struktur; sangat gembur (lembab); banyak akar
halus dan sedang; batas baur, rata.
4-29 cm. Hitam (10 YR 2/1); lempung berliat; struktur granular,
halus, lemah; sangat gembur (lembab); banyak akar; batas baur
tidak teratur.
29-54 cm. Coklat abu-abu sangat gelap (10 YR 3/2); lempung liat
berdebu; struktur gumpal membulat, halus, sedang; gembur
(lembab), agak lekat ; batas jelas, berombak.
> 54 cm. Abu-abu putih. Tidak berstruktur dan merupakan bahan
induk tanah.

Ap

A1

C

12
Berdasarkan hasil pengamatan profil tanah tersebut, dapat dikatakan bahwa
jenis tanah pada lokasi penelitian adalah Renzina (berdasarkan Sistem Klasifikasi
PPT 1983) atau Rendoll berdasarkan Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 1994),
yang tergolong ke dalam order Mollisol. Hal ini juga disampaikan oleh Jewel et
al. (2006) bahwa jenis tanah yang dominan di Desa Latdalam adalah Rendoll.
Renzina merupakan tanah dengan epipedon mollik (warna gelap, kandungan
bahan organik > 1 %, kejenuhan basa (KB) > 50 % dan berada di atas batuan
kapur (Hardjowigeno 1985; Hardjowigeno 2003). Mollisol merupakan tanah yang
subur dengan hanya sedikit pencucian sehingga memiliki kejenuhan basa tinggi
(Rachim dan Suwardi 1999). Warna tanah yang hitam disebabkan oleh tingginya
kandungan Ca dalam tanah dan kandungan lignin yang tinggi, lignin tersebut
berasal dari akar rumput yang merupakan sumber bahan organik pada tanah
Mollisol (Fanning dan Faning 1985 dalam Prasetyo et al. 1999).
Ada pun hasil analisis laboratorium terhadap sifat kimia tanah dan beberapa
sifat fisik tanah sebelum percobaan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Sifat kimia tanah dan beberapa sifat fisik tanah sebelum percobaan
Jenis analisis
pH H2O (1:1)
pH KCl
C-organik (%)
N-total (%)
P Bray-1 (ppm)
P HCl 25% (ppm)
KTK (me/100g)
Ca (me/100 g)
Mg (me/100g)
K (me/100g)
Na (me/100g)
Al (me/100g)
H (me/100g)
KB (%)
Fe (ppm)
Cu (ppm)
Zn (ppm)
Mn (ppm)
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)

Hasil analisis
5.50
4.80
3.27
0.30
19.47
82.5
33.97
14.52
6.53
0.58
0.78
0.20
65.97
0.29
0.03
0.77
5.49
13.03
15.86
71.11

Kriteria PPT (1983)
Masam
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang

Tinggi

Ket: (-) tidak terukur
Berdasarkan Tabel 3, tanah di lokasi penelitian termasuk tanah yang subur
karena memiliki sifat kimia tanah yang baik diantaranya: (1) kandungan Corganik yang tinggi yaitu sebesar 3.27 %; (2) nilai kejenuhan basa (KB) tinggi
yaitu sebesar 65.97 %; (3) nilai kapasitas tukar kation (KTK) tinggi yaitu sebesar
33.97 %; (4) kadar N-total dan K-dd tergolong sedang yaitu sebesar 0.30 % dan
0.58 me/100g; (5) P-tersedia juga termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar
19.47 ppm; dan (6) Al tidak terukur. Akan tetapi, yang sering menjadi kendala

13
utama pada tanah ini adalah faktor iklim terutama kurangnya ketersediaan air.
Walau demikian jenis tanah ini sangat berarti untuk pengembangan pertanian di
daerah ini. Jika tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan penurunan
produksi dan menimbulkan kerusakan lahan.
Curah hujan, Aliran permukaan, dan Erosi
Laimeheriwa et al. (2002) menyatakan iklim di Kabupaten Maluku
Tenggara Barat (MTB) termasuk Zona C3 yaitu bulan basah 5-6 bulan dan bulan
kering 4-5 bulan dengan curah hujan yang berkisar antara 1000-2000 mm/thn
berdasarkan klasifikasi Oldeman (1975). Secara administrasi Desa Latdalam
termasuk dalam wilayah Kecamatan Tanimbar Selatan Kabupaten MTB sehingga
iklimnya termasuk dalam Zona C3 dengan bulan basah 6 bulan dan bulan kering 5
bulan. Pola curah hujannya termasuk pola hujan bimodal atau memiliki dua
puncak hujan yang terjadi pada bulan Desember dan bulan Mei.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan jumlah curah hujan pada bulan
Mei tergolong tinggi sebesar 351.1 mm (Lampiran 25). Jumlah dan lamanya curah
hujan inilah yang menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi (Gambar 1,
Gambar 2, dan Gambar 3).

2

Aliran Permukaan ( m3/ ha)

40

Perlakuan
T0
T1
T2

yT0 = -2.195+0.4882x R = 92.5%
2
yT1 = -1.108+0.2472x., R = 87%
yT2 = -0.05756+0.007310x., R 2 = 69%
yT3 = -0.02993+0.003536x., R 2 = 48.3%
2
yT4 = -0.01622+0.001829x., R = 37.6%

T3
T4

30

20

10

0

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Curah Hujan ( mm)

Gambar 1 Hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan
Gambar 1 memperlihatkan aliran permukaan yang terjadi pada perlakuan T0
dan T1, di mana peningkatan curah hujan turut meningkatkan aliran permukaan
yang cenderung linear. Peningkatan tersebut ditunjukkan oleh gradien terbesar
yang terjadi pada perlakuan T0 diikuti perlakuan T1. Besarnya keragaman aliran
permukaan yang disebabkan oleh curah hujan adalah 92.5 % untuk perlakuan T0
dan 87 % untuk perlakuan T1. Akan tetapi, pada perlakuan T2, T3, dan T4 nilai
R2 (koefisien determinasi) menurun sehingga curah hujan cenderung tidak
memiliki hubungan dengan aliran permukaan karena gradien garis regresinya
yang sangat kecil. Persamaan regresi pada ketiga perlakuan ini mampu

14
menjelaskan keragaman aliran permukaan masing-masing sebesar 69 %, 48.3 %,
dan 37.6 %. Ketiga perlakuan ini relatif sama, namun perlakuan T2 cenderung
lebih efisien karena memiliki R2 yang lebih besar dari perlakuan T3 dan T4.
Aliran permukaan yang tinggi pada perlakuan T0 disebabkan tidak
diterapkannya teknik konservasi tanah dan air, sehingga semakin besar curah
hujan akan meningkatkan aliran permukaan. Pada perlakuan T1 aliran permukaan
yang terjadi lebih rendah dengan meningkatnya curah hujan, karena adanya
saluran yang berfungsi sebagai penampung sehingga memperlambat laju aliran
permukaan. Perlakuan T2, T3, dan T4 selain saluran penambahan serasah jagung
mampu meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, karena pori tanah terlindungi oleh
serasah sehingga menghambat penyumbatan pori tanah, akibatnya air akan
meresap lebih banyak ke dalam tanah.
Gambar 1 juga menunjukkan bahwa aliran permukaan lebih banyak terjadi
saat curah hujan berkisar antara 20-40 mm, bila dibandingkan dengan aliran
permukaan yang terjadi saat curah hujan sebesar 80 mm. Terlihat dari banyaknya
nilai amatan yang berada disekitar garis regresi. Hal ini diduga karena curah hujan
sebesar 20–40 mm berlangsung dalam waktu yang singkat namun intensitas
hujannya tinggi, selain itu kondisi tanah yang sudah mulai jenuh air akibat
berkurangnya kapasitas infiltrasi karena hujan yang berlangsung hampir setiap
hari. Seperti halnya curah hujan sebesar 80 mm aliran permukaan yang terjadi
lebih sedikit dikarenakan hujan berlangsung dalam waktu yang lama namun
intensitas hujannya lebih rendah, kondisi tanahnya sudah jenuh air karena
kapasitas infiltrasinya berkurang, namun faktor tanaman ikut mempengaruhi
besarnya aliran permukaan. Saat curah hujan 80 mm, tanaman padi dengan jarak
tanam 20 cm x 15 cm dengan metode baris ganda mencapai pertumbuhan
maksimum sehingga memperlambat aliran permukaan.

2.5
yT0 = -0 .1 2 8 7 + 0 .0 2 8 2 6 x,

2

R

Perlak uan
T0
T1
T2
T3
T4

= 9 3 ,2 %
2

yT1 = -0 .0 3 9 7 8 + 0 .0 1 0 5 1 x, R = 8 6 %

2.0
y = -0 .0 0 0 7 8 2 + 0 .0 0 0 0 9 5 x, R2 = 4 4 ,3 %

Erosi ( t on/ ha)

T2

1.5

1.0

0.5

0.0

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Curah Hujan mm)

Gambar 2 Hubungan antara curah hujan dan erosi
Gambar 2 memperlihatkan hubungan fungsi yang cenderung linear antara
curah hujan dan erosi. Peningkatan curah hujan turut meningkatkan erosi pada
perlakuan T0 dan T1. Peningkatan tersebut ditunjukkan oleh gradien terbesar pada

15
perlakuan T0 sebesar 93.2 % dan perlakuan T1 sebesar 86 %. Pada perlakuan T2,
T3, dan T4 nilai R2 menurun sehingga peningkatan curah hujan cenderung tidak
memiliki hubungan dengan erosi. Besarnya keragaman erosi yang dapat
dijelaskan oleh curah hujan pada ketiga perlakuan ini ditunjukkan oleh gradien
garis yang relatif lebih kecil sebesar 44 %.
Erosi tertinggi terjadi pada perlakuan T0, disebabkan tidak diterapkannya
teknik konservasi tanah dan air. Semakin tinggi curah hujan menyebabkan tanah
yang terbawa aliran permukaan semakin besar, namun jumlahnya dapat ditekan
dengan adanya saluran yang berfungsi sebagai penampung (Perlakuan T1, T2, T3,
dan T4). Perlakuan T1 menggunakan saluran sehingga erosi yang terjadi lebih
rendah dari perlakuan T0 karena partikel tanah yang terangkut bersama aliran
permukaan mengendap di saluran. Selanjutnya penambahan serasah jagung pada
perlakuan T2, T3, dan T4 mampu meningkatkan kemampuan saluran menyerap
air ke dalam tanah dengan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah yang langsung
mempengaruhi besarnya aliran permukaan dan erosi.

2.5
R = 97.7%

yT1 = 0.081 + 0.042X;

R 2 = 97.3%

T0

Erosi ( t on/ ha)

2.0

Perlak uan
T0
T1
T2
T3
T4

2

y = 0.0021 + 0.057X;

1.5

1.0

0.5

0.0
0

10

20

30

40

Aliran Permukaan ( m3/ ha)

Gambar 3 Hubungan antara aliran permukaan dan erosi
Gambar 3 menunjukkan hubungan fungsi yang linear antara aliran
permukaan dan erosi. Besarnya keragaman erosi yang disebabkan oleh aliran
permukaan adalah 97.7 % untuk perlakuan T0 dan 97.3 % untuk perlakuan T1.
Hal ini menunjukkan bahwa erosi ditentukan oleh aliran permukaan dan curah
hujan, akan tetapi aliran permukaan merupakan faktor utama yang sangat
mempengaruhi besarnya erosi.
Erosi paling tinggi terjadi pada perlakuan T0 dikarenakan tidak
diterapkannya teknik konservasi tanah dan air, akibatnya saat terjadi hujan, aliran
permukaan semakin besar sehingga meningkatkan erosi karena semakin banyak
partikel tanah yang terangkut. Selanjutnya diikuti oleh perlakuan T1 dengan erosi
yang lebih rendah. Hal ini diduga karena adanya saluran pada perlakuan T1 yang
berfungsi sebagai penampung, akibatnya aliran permukaan berkurang dan erosi
lebih rendah. Seperti halnya perlakuan T1, penambahan serasah jagung pada
perlakuan T2, dan lubang resapan biopori pada perlakuan T3, serta kombinasinya

16
pada perlakuan T4 mampu menurunkan erosi. Hal ini diduga karena aliran
permukaan yang terjadi sangat rendah. Selain dipengaruhi oleh faktor tanaman,
topografi yang datar, dan jenis tanahnya juga dipengaruhi oleh sistem peresapan
biopori karena meningkatnya kapasitas infiltrasi tanah sehingga aliran permukaan
dan erosi semakin kecil. Ketiga bentuk perlakuan ini (T2, T3, dan T4) mampu
memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas menahan air dan kapasitas
infiltrasi tanah karena meningkatnya jumlah pori dalam tanah terutama pada
kedalaman > 20 cm atau sebelum bahan induk akibat meningkatnya aktivitas
organisme tanah.
Besarnya aliran permukaan dan erosi yang terjadi selama satu musim tanam
padi gogo di Kabupaten Maluku Tenggara Barat disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah aliran permukaan dan erosi selama musim tanam padi
Perlakuan
T0
T1
T2
T3
T4
BNT α 5%
BNT α 1%

Aliran
Permukaan
(m3/ha)
279.84 C*
141.66 B
2.53 A
1.09 A
0.56 A
46.01
6.94

Efektivitas
terhadap T0 (%)

Erosi (ton/ha)

Efektivitas
terhadap T0 (%)

0
49.38
99.09
99.6
99.8

15.90 C*
6.33 B
0.03 A
0.00 A
0.00 A

0
60.19
99.8
100
100

5.11
7.44

*) Angka yang diikuti huruf besar yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan sangat nyata
(BNT 1 %)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan T1, T2, T3, dan
T4 sangat nyata menurunkan aliran permukaan dan erosi, jika dibandingkan
dengan perlakuan T0 (kontrol). Perlakuan T0 menghasilkan aliran permukaan dan
erosi paling tinggi yaitu sebesar 279.84 m3/ha dan 15.90 ton/ha selama satu
musim tanam, sedangkan perlakuan T1 menghasilkan aliran permukaan sebesar
141.66 m3/ha dan 6.33 ton/ha (Tabel 4). Dengan kata lain perlakuan T1 mampu
menurunkan 49.38 % aliran permukaan dan 60.19 % erosi. Selanjutnya jumlah
aliran permukaan dan erosi paling rendah terdapat pada perlakuan T4 yaitu
sebesar 0.56 m3/ha dan 0.00 ton/ha erosi. Karena itu, perlakuan T4 merupakan
perlakuan yang sangat efektif menurunkan aliran permukaan hingga 99.8 % dan
100 % erosi. Tingginya jumlah aliran permukaan dan erosi pada perlakuan T0
disebabkan karena tidak diterapkannya teknik konservasi tanah dan air sehingga
aliran air yang terjadi akan keluar dari petakan. Hal ini berbeda dengan perlakuan
T1, T2, T3, dan T4 yaitu terdapat saluran pada keempat perlakuan yang berfungsi
sebagai penampung sehingga memperlambat laju aliran permukaan dan
membantu meresapkan air ke dalam tanah. Selain itu, penambahan serasah jagung
pada perlakuan T2, T3, dan T4 sangat bermanfaat untuk melindungi permukaan
saluran terhadap penyumbatan pori akibat pukulan butir hujan dan longsornya
dinding saluran, serta meresapkan air ke dalam tanah. Hal ini terjadi akibat adanya
aktivitas organisme tanah yang mempercepat proses dekomposis