Teknologi Agroforestry Pada Lahan Kering (Propinsi Nusa Tenggara Barat)

TEKNOLOGI AGROFORESTRY PADA LAHAN KERING (Propinsi Nusa Tenggara Barat)
REVANDY ISKANDAR M DAMANIK
Fakultas Pertanian Program Studi Ilmu Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
I. PENDAHULUAN
Potensi sumberdaya lahan kering di Indonesia sangat besar dan penyebarannya hampir merata di seluruh wilayah Indonesia terutama di luar pulau Jawa. Dari 162 juta hektar luas daratan di luar Pulau Jawa (81 % dari luas daratan Indonesia), 124 juta hektar (76,5 %) merupakan lahan kering dan sisanya 38 juta hektar (23,5 %) lahan basah. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) luas lahan kering mencapai 1,798,008 ha (90,33 % dari luas lahan pertanian) yang tersebar di dua pulau besar yaitu Pulau Sumbawa 1,465,270 ha (81,49) dan Pulau Lombok 332,738 ha (18,51 %) (Satari, sadjad, dan Sastrosoedardjo, 1977 ; NTB Dalam Angka, 1992).
Kondisi lahan kering dicirikan oleh: (1) peka terhadap erosi bila tanahnya tak tertutup vegetasi, (2) tingkat kesuburan tanahnya rendah, (3) air merupakan faktor pembatas (tadah hujan), dan (4) lapisan olah dan lapisan tanah dibawahnya memiliki kelebaban yang sangat rendah. Di samping itu, masyarakat petani di daerah lahan kering umumnya berpendapatan rendah, tingkat pendidikan rendah, adopsi teknologi juga rendah, dan ketersediaan modal kecil. Infra struktur di daerah lahan kering umumnya jelek, sedangkan penduduk terpencar di daerah terpencil sehingga integrasi sosial dan penyuluhan menjadi lebih sulit.
Oleh karena kondisi lingkungan seperti tersebut, maka isu pokok yang harus dikembangkan dalam pengelolaan sumber daya lahan kering adalah peningkatan pendapatan dan taraf hidup petani sekaligus mampu mempertahankan kelanjutan (sustainability) sumberdaya lahan. Hal inimemerlukan pengelolaan yang berhati-hati dengan penerapan teknologi pertanian yang sesuai.
Salah satu teknologi yang dinilai sesuai dengan kondisi lahan kering adalah penerapan agroforestry, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan, secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King and Chandler, 1978 dalam Kartasubrata, 1991b).
Ada dua teknologi agroforestry yang dikembangkan di NTB yaitu pola Alley Cropping (Budidaya Lorong) dan pola Multipurpose Tree Species (MPTS) dalam Program Rutan Kemasyarakatan (RKm). Dalam makalah ini diuraikan secara ringkas pelaksanaan kedua teknologi tersebut pada lahan kering dan hasil-hasil yang telah dicapai selama ini.
©2003 Digitized by USU digital library

II. KONDISI AGROEKOSISTEM DAERAH NUSA TENGGARA BARAT Biofisik
Ketinggian wilayah NTB bervariasi dari 0 m sampai dengan 3,726 m dpl untuk Pulau Lombok, sedangkan Pulau Sumbawa dari 0 m sampai dengan 2,755 m dpl. Sebagian besar wilayah Pulau Lombok berada antara ketinggian 0-500 m dpl yaitu sekitar 334,212 ha (73.6 %), sedangkan Pulau Sumbawa sebagian besar wilayahnya terletak pacta ketinggian 0-1000 m dpl yaitu seluas 1,450.50 ha (94,1 %).
Wilayah Pulau Lombok sebagian besar terdiri atas tanah regosol (40,5 %), sedangkan Pulau Sumbawa sebagian besar terdiri atas jenis tanah yang berasal dari bahan induk batuan intrusi dan batuan glinting berapi seperti jenis tanah komplek litosol, mediteran coklat kemerahan, dan mediteran coklat (47,2 %).
Sebagian besar tanah di NTB sangat peka terhadap erosi yaitu seluas 1,144,125 ha (57,3 ha). Di Pulau Lombok sekitar 186,620 ha (41,1 %) tanah termasuk dalam kategori sangat peka terhadap erosi, sedangkan di Pulau Sumbawa seluas 957,505 ha (62,1 %). Sebagian besar tanahnya berada pada kemiringan 1540 % dan > 40 % yaitu masing-masing seluas 703,317 ha (35,2 %) dan 460,426 ha (23,1 %). Sebagian dari tanah-tanah tersebut merupakan tanah kritis (296,753 ha) yang terdiri atas 92,930 berada dalam kawasan hutan dan 203,822 ha di luar kawasan hutan.
Dilihat dari penggunaan tanah paling luas adalah hutan lebat (41,8 %) kemudian disusul oleh hutan belukar (19,0 %), sawah (11,4 %), tegalan (7,0 %), dan semak (6,1 %). Sedangkan sisanya adalah untuk penggunaan yang lain. Berdasarkan fungsi hutannya, paling luas merupakan hutan lindung yaitu 383,250 ha (40,3 %) disusul oleh hutan produksi terbatas 224,625 ha (23,6 %) dan hutan produksi biasa 189,734 ha (20,0 %). Sedangkan sisanya merupakan hutan cagar alam, hutan suaka margasatwa, hutan taman wisata, hutan taman buru, dan hutan payau.
Menurut Schmid dan Ferguson, iklim di NTB didominasi oleh tipe iklim C dan D. Sedangkan di Pulau Sumbawa dipengaruhi oleh tipe iklim D dan E. Curah hujan rata-rata dalam lima tahun (1989 -1993) di Pulau Lombok adalah 123,8 rom dengan rata-rata hari hujan 96,48 hari pertahun. Sedangkan di Pulau Sumbawa dalam kurun waktu yang sarna rata-rata curah hujan 85,54 rom dengan rata-rata hari hujan 78,48 hari pertahun.
Sosial Ekonomi Berdasarkan basil registrasi penduduk tahun 1993, jumlah penduduk NTB mencapai 3,504,006 jiwa (784,940 KK) yang tersebar di Pulau Lombok sebanyak 2,494,588 jiwa (573,437 KK) dan di Pulau Sumbawa 1,009,418 jiwa (211,503 KK). Dengan luas wilayah 4,739 km2, maka kepadatan penduduk di Pulau Lombok adalah 526 jiwa/km2 lebih padat dibandingkan dengan di Pulau Sumbawa yang 65 jiwakm2 dan rata-rata NTB sebesar 173 jiwa/km2.
Sampai tahun 1994 sebagian besar penduduk yang berusia 5 tahun ke atas tidak/belum tamat SD (49,3%) dan tamat SD (28,1%). Sedangkan sisanya (22,6%) adalah SMTP ke atas.
Mata pencaharian utama penduduk NTB adalah di sektor pertanian baik sebagai petani pemilik, penyakap, buruhtani, maupun peladang berpindah.

©2003 Digitized by USU digital library

III. TEKNOLOGI AGROFORESTRY DI NTB
Dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya lahan kering, berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya di NTB. Salah satu terobosan penting yang telah dilakukan adalah penerapan dan pengembangan teknologi agroforestry.
Menurut Nair (1987) dalam Kartasubrata (1991b), yang dimaksud dengan teknologi agroforestry adalah menunjuk kepada adanya perbaikan atau inovasi yang berasal dari hasil penelitian, yang digunakan dengan berhasil baik untuk mengelola sistem-sistem agroforestry yang diselenggarakan.
Beberapa teknologi agroforestry yang cukup terkenal menurut Nair (1987) antara lain: improved fallow, integrated taungya, alley cropping, multipurpose tree on farm lands.
Alley Cropping (Budidaya Lorong) Konsep Alley Cropping
Konsep alley cropping pertama kali dirintis oleh B.T Kang, G.F. Wilson, dan T.L. Lawson, yaitu para ahli dari IITA (International Institute of Tropical Agriculture) atau Lembaga Internasional Pertanian Lahan Kering, melalui penelitian-penelitian yang cermat di pusat IITA di Ibadan Nigeria.
Alley cropping pada dasarnya adalah suatu sistem hutan pertanian dengan penanaman tanaman pangan di ladang, dibentuk oleh pagar tanaman pohon atau semak/rumput pagar (Kang et aI, 1981). Pagar tanamandipotong kembali dan dipangkas pada saat penanaman untuk menghindari naungan dan mengurangi persaingan dengan tanaman pangallo Apabila tidak ada tanaman pangan, pagar tanaman boleh ditanam dengan bebas di kebun untuk melindungi tanah.
Menurut Karama dan Wahid (1990) alley cropping (budidaya lorong) adalah menanam tanaman menurut baris-baris sehingga terbentuk lorong-lorong yang dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman lain yang lebih kecil seperti tanaman semusim palawija dan hortikultura.
Tanaman yang ditanam disesuaikan dengan kondisi agrolimat setempat. Tanaman pokok dalam baris terdiri atas beberapa macam tanaman tahunan membentuk suatu tumpang tangga (multi storeyed cropping).
Tanaman tahunan pembentuk lorongnya, selain berfungsi sebagai tanaman konservasi juga membentuk iklim mikro dan sekaligus diharapkan dapat memperbaiki fungsi hidrologis tanah. Dengan demikian maka keunggulan dan keuntungan penerapan teknik budidaya lorong adalah :
(1) mengurangi resiko kekeringan di musim kemarau, (2) mencegah eosi di musim hujan, (3) mewujudkan konservasi air dan tanah, (4) meningkatkan nilai yambah atau pendapatan petani, dan (5) menyediakan pakan ternak.
Menurut Kang, Wilson, dan Lawson (?), pohon-pohon dan belukar dalam pola alley cropping berperanan dalam : 1. menyediakan pupuk hijau atau daun-daun lapuk untuk menyuburkan tanaman
pangan. Dengan cara ini, bahan makanan tumbuhan/tanaman dikembalikan dari lapisan tanah yang lebih dalam, 2. menggunakan pemangkasan sebagai pupuk dan naungan selama masa pemberoan untuk menekan rumput,
©2003 Digitized by USU digital library

3. menyediakan kondisi yang lebih baik untuk tanah dan mikroorganisme, 4. apabila ditanam di sepanjang batas kebun yang miring, maka akan bermanfaat
sebagai penahan, dalam menghindari erosi, 5. mengadakan pemangkasan untuk makanan ternak, bahan bangunan kayu api,
dan 6. menyediakan nitrogen biologis untuk tanaman pangan.

Pelaksanaan Alley Cropping Pola Alley Cropping dikembangkan untuk pertama kalinya di NTB pada tahun
1983 dalam program usahatani lahan kering oleh beberapa organisasi pembangunan pemerintah (NGO), diantaranya CARE Indonesia bekerjasama dengan pemerintah setempat. Nama resmi yang digunakan oleh CARE Indonesia untuk pola ini adalah Lamtoro Farming Sistem (LFS). Tetapi setelah terjadi serangan kutu loncat (Heteropsylla cubana) terhadap tanaman lamtoro dalam pola tersebut, kemudian namanya diganti menjadi Dryland Farming System (DFS) (Kartasubrata, 1991b).
Teknologi LFS bermula dari pembentukan garis-garis kontur atau lajur dengan penanaman lamtoro gung (Leucaena leucocephala) yang tumbuh cepat pada lahan pertanian miring di Lombok Barat dan Sumbawa Timur. Kombinasi antara garis-garis kontur dengan penanaman berlajur lamtoro gung dianggap dapat mengurangi erosi tanah dan memperbaiki kesuburan tanah. Kemudian pada lorong-lorong di antara larikan/lajur tanaman lamtoro gung ditanam tanaman semusim maupun tanaman keras seperti : padi gogo, jagung, lombok, kopi, dan coklat. Oleh karena itu pola ini disebut teknologi agroforestry tanaman lorong atau budidaya lorong (alley cropping).
Sampai pada tahun III (1986) pelaksanaan proyeK LFS berjalan dengan cepat dan telah mampu menggalang petani peserta sebanyak 1300 orang dengan penanaman lamtoro seluas 470 ha. Bahkan kepada petani peserta yang telah mengalami kemajuan pengetahuan dan keterampilan mengenai teknologi dasar konservasi tanah dan air, mulai diperkenalkan teknik-teknik pertanian baru seperti pemupukan kompos dan penanaman sayur-sayuran.
Pada tahun yang sama (1986), terjadi serangan kutu loncat (Heteropsylla cubana) terhadap tanaman lamtoro yang telah menyebabkan hampir seluruh tanaman lamtoro rusak. Setelah terjadi musibah tersebut pihak CARE memperkenalkan jenis tanaman jalur baru sebagai lamtoro seperti kaliandra (Calliandra caolhyrsus), gamal (Glericidia sp) dan juga beberapa jenis rumput produksi tinggi. Dari sinilah teknologi LFS berubah menjadi teknologi DFS.
Menyusul terjadinya bencana alam kutu loncat yang menyerang tanaman lamtoro gung, proyek Pembangunan Penelitian pertanian Nusa Tenggara (P3NT) juga mulai melakukan penelitian-penelitian untuk mencari jenis-jenis tanaman yang digunakan dalam pola alley cropping yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat. Salah satu alternatif bentuk alley cropping yang dikembangkan oleh P3NT di NTB seperti terlihat pada gambar 1.
©2003 Digitized by USU digital library

***** x ***** x ***** x ***** x

3m 0

#0

#

!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!

vvvv


vvvv

vvvv

Tanaman semusim

20 m vvvv

vvvv

vvvv

vvvv

vvvv

vvvv

vvvv


vvvv

vvvv

vvvv

Tanaman semusim

vvvv

vvvv

***** x ***** x ***** x ***** x

3m 0

#0

#


!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!

***** x 0#
vvvv vvvv vvvv ***** x 0#

Keterangan: ** = vetiver; # = pisang; vv = tanaman semusim 0 = mangga; 0 = nangka; x = melinjo; !! = turi
Gambar 1. Pola Tata ruang tanaman budidaya lorong
Jenis tanaman yang diusahakan adalah sebagai berikut: 1. Tanaman pohon bertajuk besar seperti: mangga, nangka,kelapa, jambu mete,
melinjo, dan kemiri, 2. Tanaman pohon bertajuk sedang seperti: pisang san sri kaya, 3. Tanaman pakan meliputi : turi, gamal, vertiver, dan lamtoro, 4. Tanaman semusim meliputi: kacang tanah, kacang hijau, jagung, tembakau,
kedelai, bawang merah, dan ubi kayu.
Pemilihan varietas dari masing-masing jenis tanaman dengan memperhatikan: teknis (agroekosistem, hama, penyakit); ekonomi (harga dan pemasaran); dan sosial budaya masyarakat setempat.
Hasil yang dicapai dalam Pelaksanaan Alley Cropping Berdasarkan laporan tim evaluasi (Kartasubrata dkk., 1988) terhadap
pelaksanaan proyek LFS/DFS di NTB dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Teknologi DFS telah terbukti mampu menahan laju erosi tanah ke tingkat yang
minimum, sehingga dapat memperbaiki kesuburan tanah, 2. Mampu merangsang petani mengerjakan lahan dengan lebih baik dengan
penerapan pemupukan, sehingga dapat meningkatkan hasil dan produktivitas lahan, 3. Mengurangi jumlah peladang berpindah, 4. Mengurangi terjadinya penggembalaan ternak secara liar dengan jalan menyediakan pakan, 5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berusahatani petani melalui strategi penyuluhan yang tepat.

©2003 Digitized by USU digital library

Sementara itu telah dilakukan juga penelitian oleh staf peneliti pada proyek P3NT terhadap penerapan pola alley cropping di NTB pada lahan kering yang menggunakan pengairan dari sumur pompa P2AT. Jenis tanaman yang digunakan meliputi: tanaman tahunan (mangga, nangka, melinjo, pisang); dan tanaman pakan (turi, gamal, dan vetiver). Untuk tanaman semusim diteliti dua pola tanam yaitu: pola A (kacang tanah//jagung - tembakau – bawang merah) dan pola B (kacang hijau//jagung - bawang merah - kacang tanah + jagung. Analisis usaha tani menunjukkan bahwa pola A memberikan pendapatan bersih Rp 1,868,133,- lebih besar daripada pola B sebesar Rp 1,489,764,-. Sedangkan penampilan tanaman tahunan sangat baik kecuali tanaman melinjo yang menunjukkan pertumbuhan yang kurang sesuai di lahan alley cropping (Cholid dkk., 1993).
Multipurpose Tree Species (MPTS) dalam Program Rutan Kemasyarakatan (HKm)

Konsep RKm dan MPTS Hutan Kemasyarakatan (Community forestry) adalah suatu sistem
pengelolaan hutan yang ditujukan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tanpa mengurangi fungsi pokok hutannya akibat adanya pemanfaatan timbal balik antara hutan dan masyarakat tersebut (perum Perhutani, 1996).
Multipurpose Tree Species (MPTS) adalah sistem pengelolaan lahan dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan ataupun pakan ternak (Kartasubrata, 1991a) .
Jadi dalam Program HKm, MPTS merupakan salah satu teknologi agroforestry yang diterapkan. Tanaman-tanaman yang digunakan dalam MPTS adalah jenis tanaman buah-buahan yang mempunyai fungsi ganda dan mempunyai persyaratan tertentu antara lain: cocok dengan tempat tumbuh dan mempunyai nilai ekonomi/pasar yang tinggi, serta dapat dipungut hasil/buahnya tanpa menebang pohonnya.
Pelaksanaan MPTS dalam Program HKm Penerapan teknologi agroforestry MPTS di NTB telah dimulai sejak
pengembangan program HKm tahun 1994/1995. Dalam program HKm di samping dikembangkan tanaman jenis kayu-kayuan sebagai tanaman pokok ditanam juga jenis-jenis tanaman MPTS. Jenis tanaman kayu-kayuan yang ditanam adalah jati, mahoni, johar, dan lain-lain. Sedangkan jenis tanaman MPTS meliputi: jambu mete, srikaya, dan nangka. Komposisi antara tanaman kayu-kayuan dengan tanaman MPTS adalah 70:30. Jarak tanam dari tanaman tersebut 4 x 2 meter, sehingga dalam satu hektar terdapat 1250 pohon tanaman dengan rincian sebanyak 875 pohon jati dan 375 pohon tanaman jambu mete atau srikaya. Pada lahan sela di antara tanaman kayu-kayuan dan MPTS ditanam juga jenis tanaman pangan antara lain: padi, kedelai, jagung, dan kacang tanah. Pemanfaatan lahan sela umumnya dilakukan sampai tanaman pokok dan MPTS berumur dua sampai tiga tahun.
©2003 Digitized by USU digital library

M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T
M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T
M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T
M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T
M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T 2 m vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T
M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T
Keterangan : M = Tanaman MPTS (jambu mete/sri kaya) T = Tanaman Jati V = Tanaman Pangan (padi, jagung, kedelai, dan kacang tanah)
Gambar 2. Pola tata ruang tanaman hutan kemasyarakatan
Pola pemanfaatan tata ruang pacta Program HKm di Kabupaten Sumbawa dilukiskan pacta gambar 2.
Hasil yang Dicapai dalam Program HKm Tahun pertama (1994/1995) pelaksanaan Program HKm di NTB dilakukan
pada tiga lokasi di Kabupaten Sumbawa yaitu Kanar, Semawung, dan Ngali. Luas HKm mencapai 700 ha yang melibatkan 338 petani peserta (pesanggem) dengan rata-rata luas lahan garapan 2,07 ha/KK. Pada tahun 1995/1996 telah dikembangkan ke beberapa lokasi termasuk di Kabupaten Bima dan Dompu.
Berdasarkan hasil evaluasi keberhasilan tumbuh dari tanaman jati dan MPTS (pada umur satu tahun) yang dilakukan oleh Syaihuddin (1996) di tiga lokasi HKm di Kabupaten Sumbawa, menunjukkan bahwa tanaman jati mencapai 92 %; jambu mete 93 %; dan srikaya 90 %. Keberhasilan tumbuh dari tanaman jati dan MPTS yang tergolong baik tersebut, memberikan gambaran bahwa teknologi agroforestry MPTS khususnya dan program HKm pada umumnya, telah berhasil mencapai tujuan yaitu melestarikan sumberdaya tanah dan air.

Dari segi sosial dan ekonomi meskipun sampai saat ini tanaman-tanaman MPTS belum berproduksi, tetapi secara tidak langsung telah mampu memberi peluang kerja bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mendapatkan upah baik pada saat penanaman maupun pemeliharaan.
Untuk memperoleh gambaran besarnya kontribusi dari kegiatan HKm terhadap pendapatan pesanggem dapat dilihat pada Tabel 1.
©2003 Digitized by USU digital library

Tabel 1. Pendapatan pesanggem dari berbagai sumber

No. Sumber pendapatan

Per luas Per ha (Rp) % dari total

lahan

pendapatan

garapan

(2.21 ha)

(Rp)


1. Program HKm

1,231,557

557,266

71

a. kegiatan

penanaman/pemeliharaan

368,248

166,628

21

b. Usahatani tumpangsari


50

2. Di luar program HKm

863,309

390,637

29

Total

1,732,084

783,749

100

Sumber : Syamsuddin, Amry Rakhman, dan Chandra Ayu (1996)


Di samping mampu memberikan kontribusi pada pendapatan pesanggem, penerapan teknologi agroforestry MPTS khususnya dan Program HKm umumnya, juga telah menekan/merubah budaya pesanggem dari perladangan berpindah menjadi sistem pertanian menetap dan intensif.

IV. PENUTUP
Upaya untuk memanfaatkan potensi sumberdaya lahan kering di NTB melalui penerapan teknologi agroforestry terus dikembangkan. Dua pola teknologi agroforestry yang menonjol di daerah ini adalah pola alley cropping (budidaya lorong) dan pola multipurpose tree species (MPTS). Tujuan dari kedua pola ini pacta prinsipnya sama, yaitu dalam upaya perlindungan dan rehabilitasi lingkungan yang rusak, sehingga dapat meningkatkandan mempertahankan produktivitas lahan, yang pada gilirannya dapat memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Perbedaan antara kedua pola agroforestry ini adalah pacta sisi pelaksananya. Pola alley cropping ditangani kegiatannya oleh Departemen pertanian yaitu melalui proyek P3NT dan LSm yaitu CARE Indonesia. Sedangkan pola MPTS dalam HKm merupakan tanggungjawab Departemen Kehutanan yaitu melalui Perum perhutani Unit I Jawa Tengah.
Berbagai evaluasi dan penelitian yang telah dilakukan terhadap kedua pola ini mengungkapkan, bahwa pertumbuhan tanaman baik tanaman kehutanan, tanaman perkebunan (MPTS), maupun tanaman pangan memperlihatkan perumbuhan yang baik. Di samping itu, penerapan kedua teknology agroforestry ini juga telah memberikan dampak positif terhadap sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat khususnya petani/pesanggem. Oleh. sebab itu kedua pola ini perlu dikembangkan ke daerah-daerah lain di Nusa Tenggara Barat.

©2003 Digitized by USU digital library

DAFTAR PUSTAKA
Bappeda dan BPN NTB. 1994/1995. Data pokok Pembangunan Propinsi NTB. Mataram.
Biro Pusat Statistik dan Bappeda NTB. 1992. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Mataram.
Cholid, M., Bagus Rari Adi, Amrullah Dahlan, dan Sridodo. 1993. Sistem usaha tani tanaman lorong sebagai usaha untuk meningkatkan pendapatan petani di lahan kering. Publikasi Wilayah Kering no.4 tahun 1993. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, proyek P3NT.
Kang, B.T., G.F. Wilson, dan T.L. Lawson. ? Alley cropping a stable alternative to shifting cultivation. IITA. Ibadah-Nigeria.
Karama A.S. dan Wahid. 1990. Penelitian pengembangan sistem usaha tani di Nusa Tenggara. proyek P3NT. Badan Litbang Pertanian.
Kartasubrata, J., Abdullah MT, dan Achmad Rifai. 1988. Report on evaluation of CARE dry land farming system project in the Province of Nusa Tenggara Barat Indonesia. Bogor.
Kartasubrata, J. 1991a. Kehutanan masyarakat dalam menunjang penyediaan dan penganekaragaman pangan. Makalah. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan.
_____________.1991b. Agroforestry. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian Institut pertanian Bogor.
Perum perhutani. 1996. Pembangunan Rutan Kemasyarakatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Satuan Rutan Kemasyarakatan Perum perhutani Sumbawa. Sumbawa.
Satari, A.M, Sadjad, dan Sastrosoedardjo. 1977. Pendayagunaan tanah kering untuk budidaya tanaman pangan menjawab tantangan tahun 2000. Kertas kerja pada Simposium I Pendayagunaan Tanah Kering. Kongres Agronomi. Jakarta.

Syaihuddin. 1996. Evaluasi aspek sosial ekonomi petani program pengembangan Rutan Kemasyarakatan di kabupaten Sumbawa. Skripsi. Fakultas pertanian Universitas Mataram. Mataram NTB.
Syamsuddin, Amry Rakhman, dan Candra Ayu. 1996. Evaluasi tingkat sosialekonomis dan adaptasi sosio-budaya petani (pesanggem) pada lokasi program Rutan Kemasyarakatan di Kabupaten Sumbawa. Pusat Penelitian Lingkungan Ridup, Universitas Mataram. Mataram NTB.
©2003 Digitized by USU digital library