Model sistem dinamis sediaan beras nasional

(1)

MODEL SISTEM DINAMIS SEDIAAN

BERAS NASIONAL

ABDUL BASITH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya nyatakan bahwa disertasi berjudul Model Sistem Dinamis Sediaan Beras Nasional adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan di dalam Daftar Pustaka di bagian akhhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Abdul Basith NRP : 95584


(3)

iii

ABSTRACT

ABDUL BASITH. Dynamics System Modeling for Rice Stock. Under direction of IRAWADI JAMARAN, ENDANG GUMBIRA SA’ID, MOHAMMAD SYAMSUL MA’ARIF, AMRIL AMAN and SUDARSONO HARDJOSOEKARTO.

Rice production in Indonesia is characterized by large number of people and institutions involved in the business and wide spread of distribution area. There are two kinds of rice sources namely in country farmers production and the imported one. From these two sources rice is distributed throughout the country through many channels of marketing and distribution. The dynamics of rice supply and its distribution is mainly affected by factors of season, harvest field availability and its productivity, rate of harvesting failure, in country prices, import barrier, government involvement, and quality of infrastructure. A system dynamics model of rice stock was constructed using ithinkTM software. The model attempts to figure out the behaviour of rice stock system by simulation technique. The system was represented by ten subsystems which are interacting one to another. These ten subsystems were farmers, rice millings, KUD, collector traders, Bulog, grociers, importers, national stock. The interaction between each subsystem is depicted by a causal diagram, following the systems dynamics approach. The sensitivity of the model can be tested by running the model under certain set of values of key parameters and variables. The simulation resulted in two important findings. First, the model was able to picture the dynamics of rice distribution among ten subsystems assigned. Second, the value of stocks at each subsystem were considerably resembling the actual stocks at each subsystem. These results enabled the model to be used as a predicting tool or simulation tool for rice stock distribution.


(4)

iv

RINGKASAN

ABDUL BASITH. Model Sistem Dinamis Sediaan Beras Nasional. Di bawah bimbingan IRAWADI JAMARAN, ENDANG GUMBIRA SA’ID, MOHAMMAD SYAMSUL MA’ARIF, AMRIL AMAN, dan SUDARSONO HARDJOSOEKARTO.

Produksi beras di Indonesia dicirikan oleh banyaknya pihak yang terlibat dan luasnya wilayah distribusi. Terdapat dua sumber utama pengadaan beras di Indonesia, yaitu produksi dalam negeri dan beras impor. Dua jenis beras tersebut didistribusikan ke seluruh negeri melalui berbagai pemasaran dan alat distribusi. Dinamika pasokan beras dan distribusinya terutama dipengaruhi oleh musim, luas panen, produktifitas lahan, harga di dalam negeri, harga beras di luar negeri, bea masuk, tindakan pemerintah melalui Perum BULOG, dan kualitas infrastruktur.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah model sistem dinamis yang dapat digunakan untuk mempelajari perilaku sediaan beras di Indonesia sepanjang tahun. Metode yang digunakan adalah metoda simulasi dengan memanfaatkan perangkat lunak ithinkTM.

Sistem distribusi beras diuraikan menjadi sepuluh subsistem yang meliputi sub sistem petani, pedagang pengumpul, penggilingan padi, Koperasi Unit Desa (KUD), grosir/swasta, importir, Bulog, stok nasional, pengecer dan subsistem konsumen atau pengguna akhir. Interaksi antar subsistem divisualkan dengan diagram kausal (causal diagram) yang disusun mengikuti pendekatan sistem. Sensitifitas model dapat diperiksa dengan menjalankan model menggunakan satu set nilai awal parameter dan peubah utama, serta memvariasikan nilai salah satu peubah.

Simulasi model distribusi ini menghasilkan dua hal penting, yaitu pertama, model ini berhasil memberikan gambaran dinamika sediaan beras pada sepuluh subsistem yang sudah ditetapkan. Kedua, nilai persediaan beras di masing-masing subsistem tidak berbeda nyata dengan data aktual di lapangan. Hasil ini menunjukkan bahwa model tersebut akan dapat digunakan oleh para pengambil keputusan untuk memprediksi volume beras di masing-masing subsistem untuk memprediksi perilaku sediaan beras apabila salah satu faktor penentunya berubah. Dari uji sensitivitas diketahui bahwa parameter susut paska panen berpengaruh paling signifikan terhadap total volume produksi GKG. Keterbatasn model ini tidak memasukkan faktor harga dalam pensimulasian pergerakan hasil panen petani ke sembilan sub-sistem lainnya.


(5)

v © Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seijin IPB.


(6)

vi

MODEL SISTEM DINAMIS SEDIAAN

BERAS NASIONAL

ABDUL BASITH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(7)

vii

Ujian Tertutup: Penguji luar komisi:

1. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, MSc. 2. Dr. Ir. Sam Herodian, MS.

Ujian Terbuka: Tanggal 31 Januari 2012 Penguji luar komisi:

1. Prof. Dr. Ir. H. Abdul Aziz Darwis, MSc. 2. Dr. Ir. Anton Adibroto, MSIE.


(8)

(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Weleri-Kendal Jawa Tengah, pada tanggal 9 Juli 1957 sebagai anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan ibu Siti Maemunah dan bapak Achmad. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di kota Weleri pada tahun 1973, kemudian menyelesaikan pendidikan lanjutan atas di SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta pada tahun 1976.

Setamat SMA penulis melanjutkan kuliah di IPB, dan pada tahun 1981 penulis memperoleh gelar Sarjana Teknologi Hasil Pertanian dari Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1984 penulis menerima beasiswa TMPD - Dep. P&K dan diterima di Program Studi Teknik dan Manajemen Industri pada Fakultas Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung dan berhasil menyelesaikan program pendidikan pasca sarjana strata kedua pada tahun 1987. Pada tahun 1988 sampai 1992 penulis atas beasiswa PAU Bioteknologi IPB, melanjutkan studi strata tiga di University of Queensland-Australia, namun karena sakit pada tahun terakhir dan kehabisan beasiswa, penulis tidak dapat menyelesaikan program doktornya. Pada tahun 1995 dengan mentransfer beberapa kredit dari UQ dan dengan biaya sendiri penulis mendaftarkan diri pada Program Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1984 sampai pertengahan tahun 2000 penulis bekerja dan tercatat sebagai staf pengajar tetap di Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fateta IPB, dan mengasuh beberapa mata ajaran antara lain Pengantar Sistem Informasi Manajemen, Teknik Optimasi dan Perencanaan Proyek Industri. Pada tahun 2000, dengan dibukanya fakultas baru yaitu Fakultas Ekonomi dan Manajemen, penulis atas kehendak sendiri pindah ke Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, dan disetujui dengan SK Rektor IPB Nomor: 140/K13.12.1/KP/2001. Selama di Jurusan Manajemen penulis mengasuh mata ajaran Dasar-dasar Manajemen, Metode Kuantitatif dan Manajemen Produksi dan Operasi.

Penulis telah menikah dengan Illah Sailah binti Djai pada tanggal 11 April 1982 dan telah dikaruniai dua orang anak, yaitu Muhammad Irham Abdillah (17/1/83) dan Muhammad Ilham Abdillah (11/10/87).


(10)

x

PRAKATA

Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini setelah tertunda dan terselang beberapa kegiatan lain sekian lama. Semangat tinggi dan rasa hampir putus asa datang silih berganti, tetapi pada akhirnya muncul alasan yang lebih kuat yang mendorong penulis terus berjalan.

Penulis yakin keberhasilan ini terwujud karena kombinasi doa dan dukungan all out

dari istri dan anak-anak, sindiran dan cibiran dari beberapa teman dekat, serta dukungan dan cambukan dari ibu Prof. Tun Teja dan Prof. Irawadi Jamaran yang tidak mengenal kata surut bahkan menyediakan tempat bagi penulis di H-14 untuk ”bertapa”. Tanpa bantuan itu, sulit sekali penulis menghindar dari berbagai gangguan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Irawadi Jamaran yang telah bersedia menjadi Ketua Komisi Pembimbing. Kesabaran dan bantuan beliau begitu besar artinya bagi penulis dalam menyelesaikan program S3 ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MADev., Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng, Dr. Ir. Amril Aman, MSc. dan Dr. Ir. Sudarsono Hardjosoekarto, MA yang telah bersedia menjadi anggota komisi pembimbing.

Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada para rekan sekerja di Jurusan Teknologi Industri Pertanian yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi saya terutama kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, selaku kepala laboratorium yang tanpa diminta telah berupaya membebaskan penulis dari berbagai kegiatan pada tahun-tahun terakhir.

Kepada Ir. Wan Karter tak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan beliau membantu penulis dalam pengumpulan data dan pengetikan naskah. Demikian pula kepada Ir. Warcito, Msi. dan saudara Sugeng yang membantu saya membuat softcopy naskah ini dengan scanner dari hardcopy terakhir yang masih ada. Terima kasih juga kepada rekan-rekan sekantor di FEM serta para handai taulan yang diam-diam juga mendoakan saya agar dapat menyelesaikan studi secepat-cepatnya.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi para pembacanya.

Bogor, Januari 2012 Abdul Basith


(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

Ruang Lingkup ... 6

Asumsi ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Sistem Distribusi ... 7

Beras ... 9

Sistem Dinamis ... 29

Simulasi Kuantitatif ... 36

Perangkat Lunak... 50

Dasar Pemikiran ... 52

METODOLOGI PENELITIAN ... 53

Tempat dan Waktu ... 53

Kerangka Konseptual Penelitian ... 53

Metoda Pengembangan Model ... 54

PEMBANGUNAN MODEL ... 56

Deskripsi Model ... 56

Batasan Sistem ... 57

Subsistem Petani ... 59

Subsistem Pengumpul ... 62

Subsistem KUD ... 64

Subsistem Penggilingan ... 65

Subsistem Grosir ... 66

Subsistem Bulog ... 67

Subsistem Importir ... 70

Subsistem Pengecer ... 71

Subsistem Konsumen (Rumah Tangga)... 72

Subsistem Stok Nasional ... 73

SIMULASI MODEL SEDIAAN BERAS NASIONAL... 74

Hasil Pemodelan ... 74

Hasil Simulasi ... 74

Subsistem Petani ... 74

Subsistem Pengumpul ... 80

Subsistem KUD ... 82


(12)

xii Halaman

Subsistem Grosir ... 85

Subsistem Bulog ... 87

Subsistem Importir ... 89

Subsistem Stok Nasional ... 90

Subsistem Pengecer ... 91

Subsistem Konsumen (Rumah Tangga) ... 92

KETERBATASAN SISTEM ... 94

7 VERIFIKASI DAN VALIDASI... 94

Verifikasi ... 94

Validasi ... 95

Subsistem Petani ... 95

Subsistem Penggilingan ... 95

Subsistem Bulog ... 97

Subsistem Importir ... 98

Subsistem Stok Nasional ... 99

Prediksi Sepuluh Tahun ke Depan ... 99

Implikasi Kebijakan... 101

8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

Kesimpulan ... 103

Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105 LAMPIRAN


(13)

xiii DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Daftar Asumsi ... 6

Tebel 2. Produksi dan impor beras Indonesia (1998-2011) ... 9

Tabel 3. Produksi beras beberapa negara dan dunia, 2003 – 2009 ... 11

Tabel 4. Contoh data pertumbuhan penduduk ... 37

Tabel 5 . Taksiran jumlah penduduk setiap tahun dengan hitungan tangan. (dengan dt = 1 tahun) ... 39

Tabel 6. Luas panen padi per bulan, tahun 2011 ... 56

Tabel 7. Luas sawah di Jawa dan Luar Jawa beserta tingkat perubahannya (Ha) 57 Tabel 8. Hasil simulasi produksi padi tahun 2011 ... 72

Tabel 09. Hasil simulasi , taksiran jumlah petani, kebutuhan GKG untuk dikonsumsi dan beras yang dibeli petani pada bulan-bulan tertentu, 2011 ... 76

Tabel 10. Hasil simulasi subsistem pengumpul tahun 2011 ... 77

Tabel 11. Hasil simulasi pengadaan GKG subsistem KUD ... 79

Tabel 12. Hasil simulasi subsistem penggilingan tahun 2011 ... 81

Tabel 13. Hasil simulasi subsistem grosir tahun 2011 ... 83

Tabel 14. Hasil simulasi subsistem Bulog tahun 2011 ... 84

Tabel 15. Hasil simulasi subsistem importir tahun 2011 ... 86

Tabel 16. Hasil simulasi subsistem stok nasional tahun 2011... 87

Tabel 17. Hasil simulasi subsistem pengecer tahun 2011 ... 89

Tabel 18. Proyeksi permintaan beras pada tahun 2001-2004 ... 90

Tabel 19. Hasil simulasi kebutuhan konsumen beras tahun 2011 ... 91

Tabel 20. Pengaruh perubahan parameter model terhadap total hasil panen 92

Tabel 21. Kapasitas produksi penggilingan beras Indonesia ... 96

Tabel 22. Hasil simulasi stok di Bulog per bulan tahun 2011 ... 97

Tabel 23. Bulan defisit dan bulan surplus beras (Hasil simulasi, 2009) ... 98


(14)

xiv DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1. Saluran pemasaran beras tradisional ... .... 11

Gambar 2. Jalur pemasaran gabah/beras di tujuh Kabupaten... . 12

Gambar 3. Paradigma sistem dinamis : Informasi/Aksi/Konsekuensi... 30

Gambar 4. Proses sistem dinamis ... 32

Gambar 5. Struktur umpan balik negatif dan positif ... 33

Gambar 6. Beberapa bentuk modul umum untuk menyusun diagram pengaruh 35

Gambar 7. Grafik contoh pertumbuhan penduduk ... 37

Gambar 8. Perbandingan data asli dnegan hasil perhitungan tangan ... 40

Gambar 9. Diagram ithink untuk pertumbuhan populasi ... 40

Gambar 10. Contoh grafik pertumbuhan populasi ... 41

Gambar 11. Jalur evolusi perangkat lunak sistem dinamis ... 47

Gambar 12. Kerangka konseptual pemikiran ... 50

Gambar 13. Diagram sebab akibat antar faktor sediaan beras ... 53

Gambar 14. Model agregat sistem distribusi beras ... 55

Gambar 15. Model subsistem petani ... 58

Gambar 16. Model subsistem pedagang pengumpul ... 60

Gambar 17. Model subsistem KUD ... 61

Gambar 18. Model subsistem penggilingan padi ... 63

Gambar 19. Model subsistem grosir ... 64

Gambar 20. Model subsistem Bulog ... 66

Gambar 21. Model subsistem importir ... 67

Gambar 22. Model subsistem pengecer ... 68

Gambar 23. Model subsistem konsumen ... 69

Gambar 24. Model subsistem stok nasional ... 70

Gambar 25. Hasil simulasi produksi GKG, 2011 ... 73

Gambar 26. Pola luas panen petani (tahun 2011) ……….. . 74

Gambar 27. Model perhitungan perluasan sawah petani ... 75

Gambar 28. Model dinamis untuk menghitung kebutuahan beras di tingkat petani 75 Gambar 29. Tingkat kebutuhan petani akan GKG dan ketersediaan GKG hasil panen ... 76

Gambar 30. Perkembangan volume GKG pedagang pengumpul ... 78

Gambar 31. Simulasi perkembangan pengadaan GKG KUD ... 80

Gambar 32. Dinamika stok beras di subsistem penggilingan ... 82

Gambar 33. Perilaku dinamis subsistem grosir/swasta/koperasi ... 83

Gambar 34. Simulasi perkembangan stok beras di subsistem Bulog ... 85

Gambar 35. Perilaku dinamis subsistem importir... 87

Gambar 36. Perilaku subsistem stok nasional ... 88

Gambar 37. Perilaku subsistem konsumen ... 90

Gambar 38. Model dinamis perhitungan produksi subsistem petani ... 94

Gambar 39. Dinamika stok beras nasional dalam 10 tahun ke depan 100

Gambar 40. Produksi beras nasional dan kebutuhan beras bulanan (hasil simulasi 2010-2020) 100


(15)

xv DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Listing model dinamis distribusi dan sediaan beras nasional 114 Lampiran 2. Surat Menteri Perdagangan RI tentang larangan impor beras Tahun

2005 ... 122


(16)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S. (1997). Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sek. BP Bimas Deptan. Jakarta.

Abbot, J.C. (1990). Agricultural marketing enterprises for the developing world. Cambridge University Press. Cambridge

Adiyatna H. (1995). Rancang bangun sistem penunjang keputusan pengembang produk unggulan agroindustri komoditi hortikultura buah-buahan olahan (studi kasus di Jawa Barat). ThesisT. IP-PPS,IPB.

Alexander, M. (2000). Perspektif Manajemen Logistik Suatu Pendekatan Pemasaran Terhadap Struktur Saluran Distribusi BULOG. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXVI/Nopember 2000.

Alexander, M. (2000). Pasokan Beras Menjelang Hari Raya. Warta Intra BULOG, No.04/Th.XXVI/ Desember 2000.

Alexander,M . (2000). Kebijaksanaan Pangan Nasional Pada Era Globalisasi. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXIV/Desember 2000.

Amang, B. dan M.H. Sawit (1999). Kebijakan Beras dan Pangan Nasional, Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. IPB Press. Jakarta.

Amrullah (2000). Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditi Pangan. Warta Intra BULOG, No. 04l/Th.XXVI/Desember 2000.

Amrullah (2000). Indikator Pasar Gabah dan Beras Desember 2 000. Warta Intra BULOG, No. 04l/Th.XXVI/Desember 2000.

Amrullah (2001). Sekilas Gambaran Produksi Beras 2001 dan Impor. Warta Intra BULOG, No. 06/Th.XXVI/Januari 2001.

Amrullah (2001). Prospek Pasar Beras Dunia 2001 dan Pengaruhnya Bagi Indonesia. Warta Intra BULOG, No. 06/Th.XXVI/Januari 2001.

Amrullah (2001). Indikator Pasar Gabah dan Beras Januari 2001. Warta Intra BULOG, No. 06/Th.XXVI/Januari 2001.

Andayani, W. (1998). Sistem distribusi dan penetapan harga kayu bulat jati di Jawa. Disertasi. IPB.

Andrida, R. (2000). Potret Harga Dasar Gabah dari Waktu ke Waktu. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXVI/Nopember 2000.


(17)

Andrida, R. (2000). Indikator Pasar Gabah dan Beras Nopember 2000. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXVI/Nopember 2000.

Anonim (1997). Marketing systems for Agricultural Products, Asian Productivity Organization, Tokyo.

Anonim (2005 ). Demografi Indonesia. Wikipedia. org

Arifin, B. (1997). Distribusi komoditas strategis: Catatan Reflektif. Bisnis& Ekonomi Politik, Vol 1 (2). Hal 1-8

Askin, R.G. and Standridge, C R (1993). Modelling and Analysis of Manufacturing System. John Wiley & Sons Inc. New York

BPS (2003). Statistik Indonesia. Jakarta BPS (2009). Statistik Indonesia. Jakarta

BPS (2009). Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta

Cakravastia, A dan L. Diawati (1999). Development of system dynamic model to diagnose the logistic chain performance of shipbuilding industry in Indonesia. ITB.

Bandung. The proceedings of the 17th International Conference of the System

Dynamics Society and 5 th Australian & New Zealand Systems Conference.

Chong, C.L., J. Lee, L. P Tan (1999) Applying system thinking to a strategic simulation

of service quality. The Proceedings of the 17 th International Conference of the

System Dynamici Society and 5 th Australian & New Zealand Systems Conference.

Coyle, R.G. (1979) Management System Dynamics, John Wiley & Sons, Chichester. Coyle, R.G. (1996). System Dynamics Modelling; A Practical Approach, Chapman &

Hall, London.

Deptan (2001). Analisis Permintaan dan Produksi Beras di Indonesia, 2001-2004.

FAO – Rice Market Monitor, December 2006 FAO – Rice Market Monitor, December 2007

Ford, A. (1999). Modeling the Environment: An Introduction to System Dynamics Models of Environmental Systems. Island Press. Washington DC.


(18)

Gopal, C and Cypress, H (1993) Integrated Distribution Management - Competing on customer service, time, and cost. Irwin PP. New York.

Gottfried, B.S. (1984). Elements of Stochastic Process Simulation. Prentice-Hall, Inc. Englewood Clifffs, New Jersey 07632

Graham, AK dan Sharon A E (1999). System Dynamics and System Thinking: It takes all

kinds. The Proceedings of the 17th International Conference of the System

Dynamics Society and 5 th Australian & New Zealand Systems Conference.

Harahap, S.M. (2000). Perkembangan Pasar Dunia Beras. Warta Intra BULOG, No.06/Th.XXV/ Januari 2000

Harahap, S.M. (2000). Harga Beras Duia Bervariasi Walaupun Permintaan Dunia Masih Terbatas. Warta Intra BULOG, No.06/Th.XXV/ Januari 2000

Hidaka, S. (1999) System dynamics: A new tool for TQM. The Proceedings of the 17 th

International Conference of the System Dynamics Society and 5 th Australian &

New Zealand Systems Conference.

Kamaluddin, L .A. (2000). Eksistensi BULOG di Era Perdagangan Global. Warta lntra BULOG, No. 12/Th.XXV/Juli 2000.

Kennedy, M . (1999) Some issues in Building System dynamic Modelds designed to improve the Information Systems Investment Appraisal Process. The Proceedings

of the l7th Intemational Confeience of the System Dynamics Society and 5 th

Australian & New Zealand Systems Conference.

Lintang, M. (2000). Riset Pemasaran Mensahihkan Beras Kualitas Premium Menjadi Strategi Bisnis Unit BULOG di Dolog dan Sub BULOG. Warta Intra BULOG, No.12/Th.XXV/Juli 2000.

Martinelli, D.P. and Almeida A.P. (1998). Negot iation, Management and System Thinking. Systemic Pract. and Action Res.Vol. 11, No 3, hal 319-335.

Marquez, A.C. (2010) Dynamic Modelling for Supply Chain Management. Springer-Verlag London Limited.

Mulyono (l999). Masalah distribusi dan perdagangan beras. Paper pada diskusi panel YPST. Tidak dipublikasikan

Muniati, S. (2000). Penetapan Tarif Bea Masuk lmpor Beras.Warta Intra BULOG, No.l2/Th.XXV/Juli 2000.


(19)

Nasution,S . (2000). Dapatkah Fungsi BULOG Sebagai LPND dipertahankan. Warta Intra BULOG. No. 06/Th.XXV/ Januari 2000

Rusastra, I.W. dkk (2002). Struktur Pasar dan Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. PPPSEP, Bogor.

Saad, L.P.M. (2000). Telaah Kebijakan Swasembada Beras Sebagai Kebijakan Publik. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXVI/Desember 2000.

Santoso, D.U. (1999). Distribusi dalam persaingan bisnis. Komoditas No. 04, Th.1. Hal.52

Sapuan (2000). Arah Kebijakan Kelembagaan Produksi dan Distribusi Beras Aspek Kelembagaan dan Distribusi. Makalah Seminar-Lokakarya, 14-15 Maret 2000 Bogor kerjasama PSKPG LP- IPB dengan Deptan RI

Sawit, H. (2000). Arah Kebijaksanaan Distribusi/Perdagangan Beras Dalam Mendukung Ketahanan pangan: Perdagangu Dalam Negeri. Makalah Seminar-Lokakarya, 14-15 Maret 2000 Bogor kerjasama PSKPG LP- IPB dengan Deptan RI

SeperichG, .J, M.W. Woolvertond, an J.G. Beierlein( 1994). Introductionto Agribusiness Marketing. Prentice Hall Career& Technology Englewood Cliffs. NJ

Setiadi, B . (1933). Toward a conceptual food as a system and flow model for rice in Indonesia Contributed paper on Workshop on Systems Analysis, BPPT, Jakarta. Simangunsong, E.P. (1997). Distribution Requirement Planning (DRP): Metode

Pengendalian Persediaan pada usaha eceran. Usahawan No. 08, Th xxvi, al. 29-31. Skyttner, L. (1998). The future of systems thinking. System Practice and Action

Research, Vol 11, No 2, hal.193-205

Siregar, M . (2000). Pemasaran yang Efektif Bagi Beras Produksi Dalam Negeri. Warta Intra BULOG, No. 11/Th.XXV/ Juni 2000

Siregar, M . (2000). Pasokan Beras ke ASEAN Meningkat. Warta Intra BULOG, No. 12/Th.XXV/ Juni 2000

Siregar, M . (2000). Harga Dasar Gabah sebagai Harga Transaksi. Warta Intra BULOG, 12/Th.XXV/ Juni 2000

Stoep, J.V.D. dan Bas Kee (1997). Hypermobility as a Challenge for Systems Thinking and Goverment Policy. Syst. Res. Behav. Sci. Vol 14. Hal. 399-408

Suarez, R.T. (1998). An inquiry into the historical meaning of “The Fifth Discipline". Sys. Pract. And Act. Res. Vol. 11, No. 5, hal 483-502


(20)

Subroto, B., Maqdisa dan Imam Budi. (2000). Situasi Pasar Gabah dan Beras di Indonesia pada Kuartal I Tahun 2000. Warta Intra BULOG, No. 11/Th.XXV/Juni 2000

Sudaryanto, T., Benny Rachman dan Sjaeful Bachri (2000). Arah Kebijakan Distribusi/perdagangan Beras Dalam Mendukung Ketahanan Pangan : Aspek Perdagangan Luar Negeri. Makalah Seminar-Lokakarya, 14-15 Maret 2000 Bogor kerjasama PSKPG LP- IPB dengan Deptan RI

Suwarno. (2000). Pengadaan Beras/Gabah Dalam Paradigma Baru BULOG. Warta Intra BULOG, No. 1l/Th.XXV/ Juni 2000.

Syaifulrachim. (2000). Produksi, Perdagangan Biji-bijian Dunia dan Perkembangan Harga Komoditi di Luar Negeri Bulan Nopember 1999. Warta Intra BULOG, No- 06/Th.XXV/Januari 2000

Taff, A.C. (1988). Manajemen transportasi dan distribusi fisis (terjemahan). Penerbit Erlangga. Jakarta.

Tampubolon, S.M.H. (2000). Arah Kebijakan/Program Divertifikasi Pangan dalam Ketergantungan Pada Beras : Aspek Produksi/Suplai. Makalah Seminar-Lokakarya, 14-15 Maret 2000 Bogor kerjasama PSKPG LP- IPB dengan Deptan RI Waries, Abdul (2004). Kondisi dan Permasalahan Pengolahan Padi di Indonesia.

Makalah seminar, “Upaya Peningkatan Nilai Tambah Pengolahan Padi”. Bulog. Jakarta.

Woodford, K.B. (1999). Modelling system dynamics for new pastoral industries. The

proceeding of the 17th Internasional Confence of the system Dynamics Society and


(21)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada tahun 2011, Indonesia dengan sekitar 237,56 juta penduduk

negara dengan jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Hampir separuh dari jumlah penduduk tersebut (sekitar 110 juta jiwa) berada di Pulau Jawa, dan selebihnya tersebar di empat pulau besar (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat) dan di ratusan pulau kecil lainnya.

Kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang tersebar tersebut sangatlah besar dan untuk itu diperlukan sejumlah besar bahan pangan, terutama beras, yang harus tersedia sepanjang tahun, di setiap lokasi dengan mutu yang baik dan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Akan tetapi, karena beras adalah komoditas yang bersifat musiman dan yang volume produksinya berfluktuasi mengikuti musim maka pada musim panen raya, produksinya melimpah, dan sebaliknya pada saat musim tanam, produksi menurun. Dari sinilah muncul persoalan klasik mengenai kecukupan pangan dan distribusi pangan, terutama beras.

Beras merupakan produk pertanian yang sangat penting di Indonesia baik sebagai makanan pokok bagi penduduknya maupun sebagai komoditas perdagangan. Sebagai makanan pokok, beras harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang besar untuk mencukupi kebutuhan harian penduduk di seluruh pelosok negeri. Dilain pihak, sebagai komoditas perdagangan, beras diproduksi oleh berjuta-juta petani dan diperdagangkan oleh banyak pihak, serta melibatkan banyak pelaku, terutama pemerintah. Selain itu, beras sering dikaitkan dengan kondisi sosial politik dan stabilitas nasional (Mulyono, 1999).

Berdasarkan sensus pertanian 2007, beras di Indonesia diproduksi oleh sekitar 25 juta rumah tangga petani, yang sekitar 52,7 persen di antaranya adalah petani kecil dengan lahan (milik sendiri atau sewa) kurang dari 0,5 Ha / keluarga. Sensus tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah petani gurem meningkat dari sekitar 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta jiwa pada tahun 2007. Jumlah petani tersebut mencapai 44 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 46,7 juta jiwa. Lebih dari separuhnya merupakan petani gurem dan buruh tani dengan kepemilikan lahan dibawah 0,5 hektar atau mencapai 38 juta keluarga tani. (BPS, 2009)


(22)

2

Kebutuhan penduduk Indonesia akan beras selalu meningkat, sementara produksi dalam negeri berfluktuasi, sehingga hampir setiap tahun harus didatangkan beras impor untuk menutupi kekurangannya. Kontinyuitas pasokan, ketepatan waktu tanam, efisiensi produksi, dan permodalan dengan demikian sangat mempengaruhi ketersediaan beras di masyarakat (Arifin, 1997).

Sebagai contoh, produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) pada tahun 1996 mencapai 51,10 juta ton, kemudian menurun pada tahun 1997 dan 1998 sampai masing-masing mencapai 49,37 juta ton dan 49,26 juta ton, dan meningkat lagi pada tahun 1999 mencapai 50,86 juta ton. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi penurunan produktivitas lahan, dari nilai pada tahun 1997 sebesar 4,43 ton/ha menjadi 4,19 ton/ha dan 4,25 ton/ha berturut-turut pada tahun 1998 dan 1999. Penurunan tersebut antara lain disebabkan turunnya rendemen GKG ke beras yang cukup besar yaitu dari 63,2 persen pada tahun 1996, menjadi

maksimum 62,0 persen pada tahun 1998.

Sampai penghujung tahun 1998, perdagangan beras di Indonesia diatur oleh pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) yang diberi mandat untuk menjalankan fungsi pengadaan, pemindahan stok, penyimpanan dan penyaluran. Pada saat produksi melimpah, misalnya, Bulog melakukan pembelian (pengadaan dalam negeri) kemudian menjualnya pada masa paceklik, dengan operasi pasar. Bila produksi dalam negeri kurang, maka Bulog melakukan impor.

Saat ini dengan diberlakukannya mekanisme pasar bebas, peran Bulog menjadi sangat terbatas. Antara lain Bulog masih melakukan operasi pasar bila terjadi kelangkaan beras atau lonjakan harga, tetapi tidak lagi memonopoli hak untuk mengimpor. Terlebih lagi dengan tidak tersedianya KLBI (Kredit Lunak Bank Indonesia), Bulog harus menggunakan dana dengan bunga komersial untuk membeli beras dari petani dalam rangka mengamankan harga beras.

Sebagai akibatnya sebagian besar petani Indonesia menderita dua kesulitan sekaligus. Dari segi sarana produksi mereka harus membayar mahal, sedangkan dari segi produksi mereka tidak dapat memperoleh harga jual yang layak. Mereka terpaksa menjual sebagian besar produk mereka pada saat panen dengan harga rendah. Program pemberdayaan petani yang dapat membuat para petani mampu menahan produknya (tidak menjual pada saat panen) supaya mendapatkan harga yang lebih baik di luar musim panen, sangat diperlukan. Petani


(23)

3

seyogyanya mampu mengolah hasil panennya agar umur simpannya bertambah dan peluang mendapatkan nilai tambah meningkat. Artinya kehadiran lembaga seperti BULOG yang dapat berperan dalam pendistribusian beras dari sentra produksi ke sentra konsumen dengan efektif dan efisien masih dibutuhkan.

Kecenderungan pemerintah mengatur perdagangan beras tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya mengkonsumsi beras. Alasan utama mereka adalah untuk menjadi negara yang berswasembada beras dan untuk menjaga kestabilan harga. (Amang dan Sawit, 1999 )

Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Pada saat terjadi penurunan produksi dari tahun 1996 sebesar 3,4 persen (1997), pemerintah meningkatkan impor sampai 480 persen (1998) dan ketika produksi meningkat lagi 3,25 persen pemerintah menurunkan impor dari tahun sebelumnya hanya sebesar 31 persen. Dengan demikian, pola pengaturan perdagangan beras oleh pemerintah belum jelas arahnya, apalagi importir swasta juga sangat berperan (Amang dan Sawit, 1999; Tabor dan Soekirman, 2000).

Pemerintah ingin tetap mengontrol harga beras dalam negeri dengan cara mengimpor dalam jumlah besar, meskipun mengalami kesulitan akibat krisis moneter dan kemudian berlanjut ke krisis pangan karena berlangsung bersamaan dengan kemarau panjang akibat El Nino. Pada tahun 1998, pemerintah mengalami kesulitan impor beras karena keterbatasan

devisa dan diperburuk oleh tidak dipercayanya letter of credit (LC) yang dikeluarkan oleh

Bank di Indonesia di luar negeri sehingga impor pangan sebagian besar berasal dari hutang lunak (soft loan) dan bantuan cuma-cuma negara sahabat. Sisanya berasal dari impor komersial (Amang dan Sawit, 1999).

Tujuan impor beras dalam jumlah besar adalah untuk menumpuk stok kemudian memasok ke pasar pada tingkat harga 50-60 persen lebih rendah dari harga paritas. Namun harga beras dalam negeri tetap tidak mampu dikendalikan, sementara inflasi terus meningkat. Kebijakan konvensional berupa manajemen stok dan penyaluran tidak mampu lagi membendung kenaikan harga beras dalam negeri, karena kenaikan harga beras dalam negeri lebih dominan ditentukan oleh pengaruh merosotnya nilai rupiah yang selama ini tidak pernah dijadikan variabel penentu dalam kebijakan stabilisasi harga (Amang dan Sawit 1999).


(24)

4

Kebijakan di atas dinilai gagal karena biayanya sangat mahal (yang harus ditanggung oleh produsen) dan tidak adil terhadap pihak konsumen yang berpendapatan rendah (kelompok miskin). Subsidi harga umum 1997/98 – 1998/99 diperkirakan mencapai Rp. 14 triliun yaitu dengan menjual beras 60 persen lebih murah dari harga border ( Sawit, 2000).

Produser padi yang umumnya petani dengan lahan sempit dan miskin menanggung beban nasional, sehingga kebijakan tersebut telah memperburuk distribusi pendapatan di perdesaan. Implikasi lain dari kebijakan subsidi harga ini ternyata tidak efektif dalam mencegah terjadinya kerawanan pangan dalam negeri (Sawit, 2000).

Petani sebagai produsen beras seharusnya memiliki kemampuan untuk mengolah hasil pertaniannya sekaligus mendapatkan informasi yang jelas tentang kapan dan apa yang sebaiknya ditanam, dalam jumlah berapa, serta akan dijual kemana hasilnya nanti setelah diolah, tetapi dalam kenyataannya mereka belum memiliki hal-hal tersebut.

Keinginan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan beras sebanyak 52 juta ton GKG per tahun perlu dipertahankan. Namun, apabila jumlah tersebut sudah terpenuhi dengan perbaikan sistem produksi sedangkan beras impor masih dijumpai masyarakat di wilayah lain yang sulit mendapatkan beras, maka berarti ada faktor lain yang mempengaruhi ketahanan pangan.

Beberapa sub sistem yang mempengaruhi ketahanan pangan, adalah (1) sub sistem penunjang (sarana dan pra sarana), (2) sub sistem ketersediaan pangan (produksi), (3) sub sistem konsumsi dan (4) subsistem distribusi (Suryana, 2001). Selain itu, pada kesempatan seminar Ketahanan pangan di Yogyakarta, Menteri Pertanian Bungaran Saragih menegaskan adanya tiga masalah utama ketahanan pangan, yaitu (1) kemiskinan, (2) distribusi dan (3) kurangnya perlindungan pemerintah terhadap kepentingan petani padi (Pidato Mentan, 28/6/ 03).

Distribusi adalah salah satu variabel penentu keberhasilan dalam konsep marketing mix selain produk, harga dan promosi (Santoso, 1999). Distribusi menjadi semakin penting untuk produk yang bersifat musiman, cepat rusak dan yang diproduksi oleh banyak produsen berskala kecil seperti beras.

Distribusi memiliki pengertian pemindahan produk agar terjangkau oleh seluruh masyarakat di seluruh wilayah, baik secara fisik maupun secara ekonomi dari waktu ke waktu. Dengan adanya sistem pendistribusian produk diharapkan akan terjamin aksesibilitas antar wilayah, antar golongan pendapatan dan keterjaminan stabilitas harga (Sudaryanto, 2000).


(25)

5

Menyerahkan sepenuhnya sistem distribusi beras kepada mekanisme pasar bebas dapat berakibat pada tertekannya posisi produsen (petani) akibat lemahnya daya tawar mereka. Oleh karena itu intervensi pemerintah (regulasi) sampai batas tertentu masih sangat dibutuhkan agar petani tidak selalu dalam posisi lemah. Ketidak mampuan petani untuk menterjemahkan meningkatnya jumlah produksi menjadi peluang-peluang yang menguntungkan merupakan bukti kegagalan sistem pemasaran tradisional dalam menyesuaikan diri terhadap cepatnya perubahan kondisi ekonomi. Peran pemerintah untuk melindungi para petani terutama dalam keadaan sulit tetap diperlukan denga melakukan intervensi sampai derajat tertentu asalkan tetap berpegang pada aturan main yang berlaku (Arifin, 1997).

Perbaikan sistem pemasaran hasil pertanian harus menjadi prioritas dalam pembangunan sektor pertanian. Tanpa perbaikan sistem pemasaran (termasuk didalamnya sistem distribusi) produksi komersial tidak akan dapat dikembangkan. Kondisi di atas mendorong perlunya dikembangkan sistem distribusi yang dapat menjamin ketersediaan beras di setiap daerah pada setiap saat dan adanya pembagian margin yang adil bagi setiap pelaku pemasaran produk pertanian yaitu dari produsen sampai ke konsumen.

Pengembangan sistem di atas dapat dilakukan secara efisien dengan terlebih dahulu membangun model yang dapat dijalankan mengikuti berbagai skenario mewakili kurun waktu tertentu. Pendekatan tersebut dikenal sebagai pendekatan simulasi yang dapat menghindarkan pembuat model dari konsekuensi aktual apabila pada saat dijalankan model memberikan hasil-hasil yang menyimpang. Sampai saat ini belum tersedia model distribusi beras yang dapat digunakan untuk mernprediksi berbagai ketidak seimbangan pasokan dan permintaan beras di berbagai wilayah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan model dinamis sediaan beras di Indonesia. Model sediaan beras ini dirancang-bangun agar dapat digunakan untuk memprediksi keberadaan beras di setiap subsistem distribusi dan dapat dijadikan sebagai salah satu alat manajemen untuk keperluan pengendalian sistem maupun antisipasi terhadap perubahan kebijakan.


(26)

6 Ruang lingkup

Ruang lingkup penelitian ini ditetapkan sebagai berikut:

1. Distribusi beras dari produsen sampai ke konsumen dengan mengambil sampel di pulau

Jawa.

2. Sediaan beras pada setiap mata rantai saluran distribusi beras.

3. Pengembangan model sistem dinamis sediaan beras menggunakan perangkat lunak ithink.

4. Model sistem dinamis yang dibangun bersifat agregat Indonesia.

Asumsi

Adapun asumsi-asumsi yang dipergunakan di dalam studi ini dicantumkan di dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Daftar asumsi

No Variabel/parameter Nilai Keterangan

1 Luas Lahan panen tahun 2011 12,883 Juta Ha

2 Persen perubahan luas sawah 0,75 % / th

3 Produktivitas rata-rata 4,944 Ton GKG/ha

4 Benih 2,5 %

5 Susut pasca panen 4,5 %

6 Jumlah RT petani 41 juta orang

7 Porsi gabah petani yang dijual ke

pengumpul

60 – 70 %

8 Porsi gabah petani yang dijual ke

Koperasi

10 – 20 %

9 Porsi gabah petani yang dijual ke

penggiling

5 – 10 %

10 Porsi gabah petani yang dijual ke

Bulog


(27)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Distribusi

Distribusi adalah upaya untuk menghantarkan produk (barang dan jasa) ke tempat-tempat yang paling mudah untuk dijangkau konsumen, pada saat yang tepat. Distribusi merupakan kegiatan yang tidak menimbulkan nilai tambah secara langsung kepada barang dan jasa tetapi mutlak diperlukan. Barang dengan kualitas baik yang gagal disampaikan ke tangan konsumen pada saat yang tepat pada akhirnya tidak akan mendatangkan keuntungan.

Sistem distribusi didefinisikan sebagai rangkaian dan keterkaitan secara menyeluruh dari sub-sub sistemnya yang mencakup sub sistem utama yaitu bahan, fasilitas, manusia dan lingkungan. Sub sistem bahan yang harus diperhatikan yaitu unsur mutu, jumlah, waktu, harga dan jenisnya. Sub sistem distribusi perlu didukung oleh fasilitas bangunan, alat angkut, jalan, alat komunikasi dan pasar. Sistem distribusi juga selayaknya ditunjang oleh adanya sumberdaya manusia yang handal, cakap, terampil bersikap baik dan berpengetahuan. Sub sistem lingkungan yang terdiri dari lingkungan mikro dan makro memberikan kontribusi kelancaran sistem distribusi (Anwar, 1998).

Dalam kaitannya dengan beras, distribusi terkait dengan tingkat kualitas beras yang ternyata berbeda-beda untuk pasar lokal, pasar supermarket, dan pasar stok nasional Seringkali beras ditolak di pasar karena derajat sosoh kurang dari 90 persen (Suwamo, 2001). Kualitas tersebut sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku, mesin pengolah, dan manusia sebagai pengelolanya.

Di samping subsistem bahan sebagai penentu sistem distribusi, fasilitas merupakan unsur pendukung yang sangat penting. Jika suatu daerah tidak terhubung jaringan transportasi dengan daerah lainnya atau biaya transportasi sangat tinggi, maka daerah tersebut terpaksa menggantungkan dirinya pada hasil-hasil produksi dari sumber alamnya sendiri.

Beras sebagian besar diangkut dengan kapal laut yang mencakup lebih dari 80 persen total pemindahan beras antar daerah. Di daerah Kalimantan distribusi beras banyak dilakukan melalui sungai. Distribusi melalui darat menggunakan truk biasa dilakukan untuk pemindahan antar sub Dolog atau antar Dolog yang prasarana angkutan daratnya memadai (Amang dan Sawit, 1999).

Transportasi berkaitan erat dengan pergudangan karena keduanya meningkatkan manfaat barang. Transportasi dapat menciptakan manfaat tempat, yaitu dengan memindahkan


(28)

8

barang dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak memilikinya. Di lain pihak, penyimpanan memungkinkan barang disimpan sampai pada saat dibutuhkan yang berarti menciptakan manfaat waktu. Sistem distribusi mencakup transportasi dan penyimpanan. Sistem distribusi yang baik dapat menjamin terjadinya pengiriman barang secara efisien (biaya murah dan tepat waktu), sekaligus menjamin tersedianya persediaan yang mencukupi kebutuhan untuk setiap sentra konsumen (Nasution, 2000).

Distribusi beras di Indonesia diatur oleh pemerintah, karena karakteristik kegiatan produksi dan pemasarannya tidak sama dengan produk dari sektor industri dan jasa. Sejak tahun 1983, program peningkatan produksi padi dalam negeri mengalami keberhasilan, sehinggap roduksi dan persediaan beras mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sudah lama pemerintah memiliki kebijakan untuk melindungi pendapatan riil Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Repulik Indonesia (ABRI), oleh karenanya sebagian upah PNS dan ABRI diberikan dalam bentuk natura (beras), sekaligus kebijakan distribusi ini difungsikan sebagai outlet penyaluran untuk persediaan Bulog dalam rangka mempertahankan harga dasar untuk merangsang pertumbuhan produksi. Bulog pada prinsipnya didirikan untuk menguntungkan produsen dan sekaligus tidak merugikan konsumen (Amang dan Sawit, 1999).

Pada dasarnya ada empat golongan distribusi yang pada waktu itu dilayani oleh Bulog yaitu golongana anggaran (PNS dan ABRI), BUMN, Operasi Pasar Murni (OPM) dan distribusi lain-lain. Distribusi tersebut ada yang memiliki kepastian dalam jumlah seperti distribusi untuk PNS dan ABRI ada juga yang tidak memiliki kepastian seperti untuk OPM yang ditujukan untuk menjaga batas harga beras tertinggi. Distribusi lain-lain yang dimaksud adalah untuk persediaan bencana alam dan sejenisnya.

Namun sejak tahun 2000 pemerintah merubah struktur Bulog dan melalui Keppres No 29/2000 ditegaskan bahwa tugas Bulog adalah melaksanakan tugas umum Pemerintah dan pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan distribusi dan pengendalian harga beras serta usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Bulog dapat memainkan dua peranan yaitu pengamanan harga gabah dan subsidi beras ke kelompok sasaran. Disamping ini, monopoli Bulog atas distribusi beras telah dihentikan sehingga Bulog harus mencari pelanggan baru yang dikenal dengan istilah

effective marketing yaitu membeli beras dengan mutu baik, merawat dengan lebih baik, dan


(29)

9 Beras

Beras adalah produk utama hasil penggilingan gabah kering. Beras merupakan salah satu di antara tiga jenis biji-bijian terpenting di dunia, di samping gandum dan jagung. Di Indonesia sekitar 95 persen penduduk mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, sehingga kebutuhan Indonesia terhadap beras sangat besar. Kebutuhan ini secara nasional hampir dua setengah kali jumlah beras yang beredar di pasar dunia. Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi beras di Indonesia dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2011. (BPS, 2009).

Tabel 2. Produksi dan impor beras Indonesia (1998-2011)

Tahun Luas Panen

(juta Ha)

Produksi GKG (juta ton)

Produksi setara beras (juta ton)

Impor beras (juta ton)

1998 11,73 49,24 31,11 2,90

1999 11,96 50,87 32,15 4,75

2000 11,79 51,90 32,80 1,36

2001 11,49 50,46 31,89 0,64

2002 11,52 51,49 32,54 1,81

2003 11,45 52,14 32,95 1,41

2004 11,92 54,09 34,18

2005 11,89 54.15 34,22

2006 11,78 54,45 34,41 1,56

2007 12,15 57,16 36,13 0,25*

2008 12,34 60,28 37,81 -*

2009 12,88 64,38 41,39 -

2010 13,253 66,469** 41,70 -

2011 13,566 65,385** 41,03 -

Sumber :

1.

2. *)

3. **)

Keterangan: GKG = Gabah Kering Giling. Konversi GKG ke beras = 63,2 (sampai th 2007) Konversi GKG ke beras = 62,74% (sejak 2009)

Beras diperoleh dari tanaman padi (Oryza) yang terbagi menjadi dua jenis spesies

utama yaitu O. sativa dan O. glaberrima. Jenis yang paling banyak ditanam di seluruh dunia

adalah O. sativa, yang berasal dari daerah tropis Asia dan memiliki ribuan sub species. O.


(30)

10

Pihak yang terlibat dalam budidaya dan perdagangan beras membedakan beras berdasarkan kriteria yang berbeda. Kelompok pemulia tanaman (breeder) mengelompokkan beras ke dalam tiga varietas yaitu Indika, Javanika dan Japonika. Jenis Indika tersebar didaerah tropis berkelembaban tinggi, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Jenis Javanika yang berbiji gemuk dan berbatang tinggi tersebar di sebagian Asia dan kepulauan terdekat meliputi Indonesia, Filipina, Jepang, dan Taiwan, sedangkan jenis musim dingin Japonika, semula dikembangkan di lembah sungai Yangse di China kemudian pertama kali diperkenalkan ke Korea, Jepang dan belakangan ke Eropa Selatan, Rusia, Amerika Serikat dan Amerika Selatan (FAO, 2006).

Kelompok pedagang beras (traders), di lain pihak, menggunakan bentuk biji atau kernel untuk membedakan varitas. Bentuk kernel tersebut sangat penting dalam perdagangan internasional karena untuk setiap kegunaan memerlukan bentuk kernel yang spesifik.

a. Long grain rice. Beras ini mempunyai bentuk kernel panjang dan ramping yang

akanmenghasilkan nasi yang kering dan lepas-lepas (pera). Jenis ini disukai di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah.

b. Medium grain rice. Beras ini memiliki bentuk kernel panjang dan gemuk, yang akan

menghasilkan nasi lebih pulen (sticky and softer). Ini merupakan jenis yang disukai di RR Cina, Jepang, Korea,Italia dan Spanyol.

c. Round grain rice. Beras ini berbentuk kernel mendekati bulat. Jenis ini juga disukai di

daerah yang menyakai medium grain rice.

Pada umumnya data statistik konsumsi dan perdagangan padi dinyatakan dalam bentuk beras. Sebaliknya data produksi pada umumnya dinyatakan dalam bentuk jumlah gabah kering panen (GKP) atau gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan faktor konversi gabah ke beras atau sebaliknya maka dua jenis data tersebut dapat dengan mudah dimanfaatkan.


(31)

11

Beras dan gabah di Indonesia secara tradisional dipasarkan dari petani ke konsumen melalui beberapa saluran seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Saluran tataniaga ini tidak mengalami banyak perubahan sampai saat ini.

Gambar 1. Saluran pemasaran beras tradisional (BULOG, 1993)

Beras dikumpulkan dari sejumlah petani yang masing-masing menjual hasil panennya kepada sejumlah pedagang perantara, penggilingan padi dan koperasi. Petani pada umumnya tidak mempunyai dana dan fasilitas untuk mengolah atau menyimpan hasil panennya sehingga harus cepat-sepat melepas produknya pada saat panen. Akibatnya petani tidak mempunyai daya tawar yang cukup kuat. Apalagi pada umunnya mereka telah terikat kepada pedagang perantara secara finansial, misalnya dengan sistem ijon.


(32)

12

Variasi saluran pemasaran gabah dari petani ke pihak lain sampai menjadi beras di tangan konsumen dapat terjadi di setiap wilayah. Sebagai contoh, Gambar 2 memperlihatkan saluran pemasaran gabah dan beras di beberapa kabupaten.

Keterangan Kabupaten: 1=Indramayu, 2=Majalengka, 3=Klaten, 4=Kediri, 5=Ngawi, 7=Sidrap

Gambar 2. Jalur pemasaran gabah/beras di tujuh Kabupaten, 2002. (Rusastra dkk., 2002)

Pengaruh Liberalisasi Perdagangan

Liberalisasi perdagangan telah mengubah peta produksi pangan dan peta impor pangan. Pasokan pangan termasuk beras bergeser dari negara-negara LDC (less Developing Countries) ke DC (Developed Countries). Laju impor pangan/ beras Negara – Negara LDC semakin meningkat, sedangkan laju ekspor negara-negar DC semakin pesat akibat dari terbukanya pasar yang selama ini ditutup dengan berbagai cara seperti adanya hambatan TB


(33)

13

Liberalisasi perdagangan juga telah menyebabkan surplus di sejumlah negara seperti Uni Eropa, AS, Kanada dan Australia. Pada umumnya surplus tersebut dilempar ke pasar dunia sehingga menyebabkan harga terus merosot. Penurunan harga tersebut tentu telah menguntungkan konsumen secara global tidak terkecuali konsumen di negara-negara miskin yang menikmati penurunan harga ini. Sebaliknya terjadinya penurunan harga bagi petani berskala sempit seperti Jepang, Korsel, Indonesia yang luas usaha taninya tidak lebih dari 1,5 Ha, tidak akan mampu bersaing dengan petani AS/Kanada/Australia yang rata-rata luas usaha taninya 100 - 200 Ha/petani.

Negara-negara terakhir ini di samping telah menggunakan teknologi produksi yang cukup efisien, mereka juga diperkuat oleh infrastruktur pemasaran dan perdagangan yang cukup baik dan efisien, sehingga mereka mampu menghemat biaya pemasaran/ekspor. Kecuali Jepang, Taiwan dan Korsel, pada umumnya negara-negara importir beras didukung oleh infrastruktur pertaniannya yang buruk terutama untuk pengolahan dan distribusi hasil, sehingga telah meningkatkan ongkos transaksi seperti kerugian akibat kerusakan, waktu menunggu dan sebagainya, yang akhimya meningkatkan ongkos pemasaran atau perdagangan sehingga berpengaruh kepada nilai jualnya (Sawit, 2000).

Posisi perdagangan beras dalam kerangka GATT atau WTO sangat unik mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Dalam perdagangan beras dunia Indonesia mengikuti ketentuan GATT dengan melakukan tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani. Kesepakatan GATT atau WTO masih memberi kesempatan Indonesia untuk memberlakukan tarif impor untuk komoditas beras. Bea masuk impor yang diperbolehkan adalah 90 persen untuk volume impor hingga 70 ribu ton dan 160 persen untuk volume impor diatas 70 ribu ton. Dengan demikian, sambil mempelajari perkembangan harga internasional dan dalam upaya meningkatkan daya saing beras di pasar dalam negeri, pemerintah dapat menerapkan strategi pembatasan beras impor melalui pemberlakuan tarif, sehingga harga paritas impor

beras setara dengan harga beras domestik (Sudaryanto, et al.,, 2000).

Dalam satu dekade terakhir, volume beras yang diperdagangkan meningkat sekitar 2 kali lipat dibandingkan pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1984 misalnya, volume beras yang diperdagangkan hanya 11,7 juta ton, kemudian naik menjadi 19,3 juta ton tahun 1994. Volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia pada tahun 1999 menjadi 25,2 juta ton. Pertumbuhan ekspor dan impor diperkirakan menurun dalam periode 1994-2005


(34)

14

dibandingkan dengan periode 1984-1995 yaitu masing-masing tumbuh 1,99 persen/tahun dan 5,25 persen/tahun (Sawit, 2000).

Pasar beras internasional masih belum berubah dari pasar tipis (thin market), yaitu pasar yang perdagangannya didominasi oleh sekitar enam negara eksportir penting dan tetap belum dapat disebut sebagai pasar persaingan bebas. Harga beras pasar dunia di masa mendatang tetap masih tidak stabil, dan pada tahun 2000 harga beras kualitas sedang tetap rendah yaitu sekitar US$ 190/ton.

Dalam kaitan itulah maka untuk negara yang berpenduduk banyak seperti Indonesia, ketahanan pangan nasional dan pengurangan jumlah orang miskin hanya mungkin dapat dicapai serta resikonya lebih kecil apabila Indonesia mampu meningkatkan produktivitas dan efisieni produksi beras, dan tidak terlalu banyak bergantung pada beras impor. Angka impor beras yang aman untuk Indonesia oleh karena itu tidak boleh melebihi 5 persen dari jumlah produksi dalam negeri dan harus ditangani dengan lebih serius di masa mendatang. Misi seperti ini jelas akan sangat berat bila ditimpakan kepada satu sektor atau satu departemen teknis saja seperti Departemen Pertanian. Ini adalah tugas nasional dan harus dipikul oleh banyak pihak dalam kerangka memperkuat ketahanan pangan nasional (Sawit, 2000).

Perkembangan Pasar Beras Dalam Negeri

Sasaran kebijakan pangan merupakan bagian dari sasaran pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Konsisten dengan hal tersebut, maka sasaran kebijakan pangan dapat digolongkan sebagai berikut.

(i). Meningkatkan produksi pangan sampai dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri

(aspek kecukupan)

(ii). Meningkatkan pendapatan petani tanaman pangan (aspek pendapatan),

(iii). Mengendalikan kecukupan pangan sehingga tersedia di seluruh wilayah dalam waktu

dan jumlah yang cukup serta dalam batas harga yang layak bagi masyarakat (aspek stabilitas harga, dan


(35)

15

Usaha yang berkaitan dengan sasaran tersebut dilakukan secara serentak. Yaitu, di bidang peningkatan produksi sebagai komoditas pangan yang bersumber dari nabati maupun hewani, pengendalian konsumsi terutama yang berhubungan dengan kecukupan dan mutu gizi, serta kelancaran distribusi untuk menjamin tersedianya pangan secara merata di berbagai tempat (Amang dan Sawit, 1999).

Gabah produksi dalam negeri yang dibeli oleh pemerintah adalah gabah kering giling yang harus memenuhi persyaratan yang ditentukan seperti dipaparkan dibawah ini.

1. Persyaratan umum

a. Bebas hama dan penyakit yang hidup; yaitu ada tidaknya kehadiran hama (serangga hama,

ulat, dan sebagainya) dan/atau penyakit (cendawan dan sebagainya) yang hidup dan terdapat pada contoh gabah yang diperiksa. Bebas hama/penyakit berarti secara visual tidak ditemui hama/penyakit yang hidup dalam contoh gabah yang diperiksa (contoh primer).

b. Bebas bau busuk, asaln atau bau-bau asing lainnya, yaitu bau yang dapat ditangkap oleh

indra penciuman (hidung) pada contoh gabah yang diperiksa. Bau yang ditolak adalah bau busuk, asam atau bau-bau asing lainnya yang jelas berbeda dengan bau gabah yang sehat.

c. Bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan baik secara visual

maupun secara organoleptik yaitu, sisa-sisa bahan kimia seperti pupuk, insektisida, fungisida dan bahan-bahank imia lainnya yang membahayakan kesehatan/ keselamatmaann usia.

2. Persyaratan Khusus

a. Kadar air

b. Butir hampa./kotoran

c. Butir Kuning/rusak

d. Butir hijau/mengapur

e. Butir Merah

Maksimum 14 persen Maksimum 3 persen Maksimum 3 persen Maksimum 5 persen Maksimum 3 persen

Indonesia termasuk negara berkembang yang sangat berani dalam mengarahkan kebijaksanaan perdagangan sesuai dengan tuntutan mekanisme pasar. Hal ini ditandai dengan dua hal pokok, di bawah ini.


(36)

16

(a) Ikut sertanya Indonesia dalam meratifikasi kesepakatan perdagangan baik dalam konteks global (WTO) maupun regional (APEC, AFTA, dll);

(b) Sejalan dengan butir (a) deregulasi sektor perdagangan domestik telah ditakukan dengan sangat dalam dan meluas. Sejalan dengan arah perdagangan secara umum, perdagangan beras Indonesia juga telah menunjukkan perubahan yang fenomenal. Di masa lalu, sebagai bagian dari kebijaksanaan stabilitas harga dasar dalam negeri, Bulog memegang monopoli dalam impor beras Indonesia. Dengan kewenangan tersebut, BULOG dapat mengatur kapan dan berapa harus mengimpor beras untuk mengamankan cadangan beras dalam negeri. Dengan demikian pengaruh fluktasi harga Internasional terhadap harga beras dan gabah dalam negeri dapat dihindarkan. Hasil analisis menunjukan bahwa koefisien variasi harga beras di pasar dunia lebih tinggi (23 persen ) dari koefisien variasi harga beras dalam negeri (9 persen). Dalam hal ini Bulog berhasil

mengendalikan harga beras dan gabah dalam negeri (Sudaryanto, et al., ,2000).

Impor beras bukan hal yang baru bagi Indonesia akan tetapi volumenya sangat kecil pada tahun 1980-an. Indonesia adalah salah satu Negara yang berhasil dalam memacu produksi padi selama awal revolusi hijau tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an. Namun demikian sejak 1990-an, suplai beras dalam negeri tidak lagi dianggap mampu memenuhi laju permintaan beras dalam negeri karena meningkatnya pendapatan dan jumlah penduduk, yang berakibat impor beras terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode 1985-1990, impor beras per tahun rata-rata mencapai 101 ribu ton, tetapi sejak tahun 1991 impor beras telah mencapai angka yang lebih tinggi. Pada tahun 1992 mencapai 634 ribu ton. Impor beras dihentikan pada tahun 1993, karena diramalkan bahwa produksi dalam negeri akan mencukupi kebutuhannya, tetapi ramalan tersebut ternyata meleset akibat kemarau panjang tahun 1993-1994, sehingga pada tahun 1995 impor melonjak menjadi tiga juta ton (Sawit, 2000)

Sebagai bagian dari paket kebijakan pemerintah dalam perberasan pada Desember 1998 peran monopoli Bulog dalam hal impor beras dihapuskan sehingga importir swasta dapat mengimpor beras sesuai dengan mekanisme pasar. Pada tahun 1999, impor beras oleh pihak swasta telah memegang peran 64 persen dari total impor. Stok beras yang berlebih inilah yang menjadi salah satu sumber dari sulitnya mengangkat harga beras dalam negeri saat


(37)

17

ini, walaupun bea masuk telah ditetapkan sejak Januari 2000. Dampak penetapan tarif impor beras adalah sebagai berikut.

1. Atas dasar kesepakatan IMF, ditetapkan tarif impor beras Rp. 430/kg atau setara dengan

30 persen. Dari perspektif makro, pengenaan tarif impor beras tidak bersifat inflatoir. Setiap kenaikan 1 persen tarif impor beras hanya akan menaikkan harga beras domestik sebesar 0,04 persen, sehingga bea masuk sebesar 30 persen hanya meningkatkan harga beras domestik 1,2 persen dengan sumbangan inflasinya sebesar 0,07 persen. Suatu indikasi bahwa penetapan tarif berdampak sangat kecil terhadap inflasi dan relatif tidak mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Hal senada diungkap oleh Dawe (1999) bahwa bea masuk 25 persen tidak akan berdampak inflasi, sedangkan bea masuk 30 persen hanya menaikan harga beras domestik 5 persen serta dampak inflasi 0,32 persen.

2. Dengan penetapan tarif impor yang realistik dan efektif, maka harga beras domestik

relatif stabil dan petani dapat menikmati harga dasar gabah yang diberlakukan karena mereka masih berstatus net producer dengan mengkonsumsi sekitar 20 - 60 persen dari total produksinya.

3. Manfaat lain yang timbul dengan diberlakukannya kebijaksanaan tarif impor beras adalah

(a) peningkatan pendapatan petani dan produksi beras nasional, (b) tercapainya tingkat harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah, (c) stabilitas harga dalam negeri, dan (d) mengurangi beban anggaran pemerintah untuk pengamanan harga dasar gabah.

4. Elastisitas produksi terhadap harga gabah sebesar 0,04 persen. Hal ini mengindikasikan

bahwa petani merespon untuk meningkatkan produksi melalui perbaikan manajemen usahatani yang disebabkan oleh kenaikan harga gabah (Sudaryanto et al., 2000).

Beras juga harus dipandang sebagai bahan semi publik, karena tidak saja berfungsi sebagai bahan privat, tetapi juga barang publik. Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh komoditas beras dan juga lahan sawah. Beras memberikan sumbangan besar terhadap ketahan pangan, stabilitas ekonomi, dan lapangan kerja. Sementara itu sawah juga memberikan andil yang juga sangat banyak seperti sebagai penyerap air, pencegah erosi, pengatur suhu udara, produsen udara segar, diversitas biota, pemandangan indah, dan penahan arus urbanisasi (Sawit, 2000).

Konsumsi beras dalam negeri terus meningkat terutama didorong oleh pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita kelompok berpendapatan menengah ke


(38)

18

bawah. Pada tahun 2000 diperkirakan konsumsi beras telah mencapai 35 juta ton. Sayangnya, produksi gabah cenderung menurun dan variasi pertumbuhan produksi gabah semakin besar khususnya dalam 1990-an sehingga menyebabkan ketidakstabilan pasokan gabah dalam negeri. Demikian juga rendemen gabah ke beras semakin menurun sehingga berpengaruh negatif pada persediaan beras dalam negeri.

Stagnansi pertumbuhan produksi padi/beras diindentifikasikan oleh Dillon et al.,

(1999) sebagai berikut (a) Stagnasi dan degradasi teknologi, (b) kesuburan tanah yang semakin merosot, (c) kejenuhan intensitas tanam, (d) Rendemen penggilingan yang semakin menurun, (e) Serangan hama dan penyakit, dan (f) Iklim yang tidak normal.

Oleh karena itu masih banyak peluang untuk memacu produksi beras ke tingkat yang lebih tinggi apabila kita semua serius memecahkan konstrain tersebut dan perlu dilaksanakan secara terencana dan serius.

Perkembangan politik dan ekonomi yang semakin membaik belakangan ini, diharapkan memberikan kesempatan dan peluang untuk diversifikasi produksi pangan/padi/beras yang lebih besar, terutama dipacu oleh mekanisme pasar. Faktor yang perlu diperhatikan adalah agar tidak ada lagi intervensi pasar yang distortif dan harus ada pengawasan secara transparan melalui berbagai lembaga pengawasan yang sudah ada termasuk DPR-MPR.

Menurut Tampubolon (2000) dalam kondisi yang lebih terbuka ini, ada beberapa faktor yang patut diperhitungkan yang akan mempengaruhi produksi beras dalam negeri sebagai berikut.

1. Pengaruh sisi permintaan terutama yang berkaitan dengan selera. Dengan membaiknya ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, akan ada perubahanyang sangat berarti dalam konsumsi beras dari segi jumlah dan mutu. Petani akan lebih berorientasi pada peningkatan pendapatan, dari pada peningkatan produksi.

2. Faktor kemampuan alamiah juga patut dipertimbangkan. Tidak banyak lagi lahan tersedia untuk dikembangkan menjadi lahan sawah beririgasi yang produktif. Jika mengandalkan impor juga dimasa depan akan menimbulkan banyak masalah dan mahal.

3. Gerakan produksi beras dan konsumsi beras, serta program diversifikasi pangan dimasa depan akan dipengaruhi pula oleh seberapa jauh kita berhasil dalam mengembangkan sistem perdagangan yang canggih pada komoditas pertanian agar nilai tambah dari perdagangan ini bisa kita raih sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.


(39)

19

Penentuan kebutuhan beras bagi Indonesia pada saat ini dilakukan dengan menggunakan rumus jumlah penduduk dikalikan kebutuhan rata-rata perkapita (113,5 kg perkapita). Untuk itu kebutuhan beras tahun 2011 dihitung sebesar 237 juta x 113,5 kg perkapita = 26,899 juta ton

Menurut BPS produksi GKG Indonesia tahun 2011 adalah 65,385 juta ton yang setara dengan 41,02 juta ton beras (rendemen 62,74 persen). Perkiran produksi tersebut masih dianggap jumlah kotor karena belum dikurangi gabah untuk bibit dan pakan dan persentasi susut pasca panen yang angkanya diperkirakan mencapai 10,5 persen, sehingga diproduksi beras bersih kurang lebih 36,71 juta ton. Angka ini menunjukkan adanya kelebihan produksi beras di dalam negeri. Akan tetapi ternyata, kelebihan produksi ini tidak serta merta dapat menyetop masuknya beras impor baik secara legal maupun ilegal.

Produksi beras dan kualitas beras harus dapat ditingkatkan yaitu dengan cara memperbaiki angka rendemen yang terus merosot menjadi 62 persen pada tahun 1998 (rendemen pada tahun 1950 mencapai 71 persen), karena setiap penurunan satu persen rendemen setara dengan kehilangan sekitar 0,5 juta ton beras.

Walaupun banyak faktor yang mempengaruhi nilai rendemen, akan tetapi perhatian perlu diberikan pada penggilingan padi. Penggilingan padi saat ini didominasi oleh penggiling skala kecil dan umumnya telah tua sehingga berpengaruh buruk terhadap rendemen dan kualitas beras. Oleh karena itu, perlu pula dipertimbangkan pemberian sanksi misalnya pengenaan pajak apabila tidak mampu memenuhi standar minimum rendemen. Produksi beras lokal yang berkualitas baik, seperti Rojolele, Solok, beras Cianjur dan sebagainya yang punya karakteristik tertentu harus pula digalakkan guna memenuhi kebutuhan kelompok berpendapatan menengah ke atas yang terus bertambah jumlahnya, dengan memperbaiki

aspek pemasaran seperti grading, packing, labelisasi yang transparan dan jaminan

kualitas/mutu.

Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam melaksanakan kebijakan pangan yang berkaitan dengan tugas Bulog adalah sebagai berikut (i) subsidi input produksi, (ii) kebijakan harga, dan (iii) pembenahan kelembagaan pangan.

Pemerintah menetapkan sistem harga baik untuk output maupun input pertanian. Khusus untuk input pupuk, bahan kimia serta benih unggul pemerintah menetapkan harga subsidi kepada petani dengan harapan agar petani dapat menerapkan teknologi tersebut ke dalam usaha-taninya. Pemberian subsidi pupuk dimaksudkan untuk meningkatkan


(40)

20

penggunaan pupuk yang merupakan pelengkap input produksi terhadap varietas unggul (HW). Dengan pemberian pupuk lebih banyak sampai batas tertentu, akan meningkatkan produksi beras. Sayangnya kebijakan ini tidak dapat sepenuhnya dinikmati petani, karena banyak pupuk dengan harga subsidi dijual ke pihak non pertanian pangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Lembaga distribusi beras

Lembaga pangan yang berkaitan dengan distribusi dan logistik khususnya beras telah lama dikenal di tanah air. Pada zaman Belanda lembaga tersebut dinamai VMF (Voeedings

Middelen Fonds) dan zaman jepang dikenal dengan nama Sangyobu-Nannyo Kohatsu Kaisha

(SKK). Pemerintah Belanda merasa perlu campur tangan dalam perdagangan beras untuk kepentingan politik serta ekonominya. Campur tangan ini didasari pada pengalaman pahit, karena kerajaan Mataram pernah memonopoli perdagangan beras dan menutup pelabuhan di pantai Utara Jawa sehingga telah melumpuhkan perdagangan VOC dan merugikan pemerintah Belanda. VMF kemudian mengatur impor beras dengan memberikan lisensi dan kuota kepada swasta. Pada masa pemerintahan Jepang, campur tangan pemerintah bergeser. Lembaga tersebut dipakai untuk mendukung logistik bala tentara Jepang dalam perang Pasifik. SSK menjadi satu-satunya lembaga yang diperbolehkan membeli padi. Peran swasta dalam aktivitas perdagangan beras antar pulau dibatasi. Swasta hanya diberi peran oleh pemerintah Jepang terbatas pada kegiatan penggilingan padi milik pemerintah (Sapuan, 2000).

Harga beras pernah meningkat tajam setelah Indonesia merdeka, yaitu pada akhir tahun 1957, sehingga menurunkan pendapatan riil kelompok masyarakat berpendapatan tetap. Kemudian ditempuh kebijakan distribusi fisik beras yang semula hanya untuk kelompok pendapatan tetap (PNS dan TNI), selanjutnya meluas kepada rakyat sehingga telah merepotkan pemerintah yaitu tidak mampu menyediakan beras untuk memenuhi kebutuhan. Selanjutnya pemerintah membentuk YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi) untuk mengumpulkan, mengolah dan mendistribusikan beras ke konsumen. Pada saat inflasi melanda Indonesia begitu dahsyat, maka beras dipakai sebagai alat untuk meredam inflasi, karena beras berperan sebesar 65 persen dalam perhitungan index harga komoditas (IHK) untuk 9 bahan pokok, dan 31 persen dalam IHK umum. Pemerintah perlu campur tangan yaitu dengan menyediakan dana sebesar 40 persen dari total anggaran, pemerintah menumpuk stok


(41)

21

beras baik berasal dari dalam negeri maupun dari impor kemudian dijual pada tingkat harga separohnya (Sapuan, 1991) .

Lembaga yang ditugaskan untuk melaksanakannya adalah Badan Urusan Pangan (BPUP), kemudian diubah menjadi Kolognas. Mubyarto (1975) menyebutkan bahwa kebijakan beras murah pada masa Orde Lama (Orla) telah membunuh insentif petani untuk meningkatkan produktivitas padi/ beras. Pergantian rezim dari Orla beralih ke Orba telah mengubah pula kebijakan pangan khususnya beras.

Pada tahun 1967, lembaga Kolognas diganti menjadi Bulog dengan tugas pokok sebagai lembaga stabilitas harga beras, gabah, gandum serta bahan pokok lainnya. Sejak itulah lembaga ini telah menjadi lembaga stabilitas harga pangan khususnya beras dengan instrumen kebijakan bufferstock. Tujuan kebijakan stabilitasi harga beras untuk melindungi keduanya sekaligus yaitu konsumen dan produsen padi/ beras, disamping tentunya mengendalikan inflasi. Seperti diketahui insentif petani padi telah diabaikan dalam masa Orla (Mubyarto,1975).

Bulog pada prinsipnya didirikan untuk menguntungkan produsen, sekaligus tidak merugikan konsumen, sedangkan secara makro, tujuan pembentukannya adalah untuk menciptakan kesejahteraan petani produsen dan melindungi konsumen secara ekonomi yang sekaligus menciptakan stabilitas yang kondusif untuk peningkatan produksi dan pendapatan petani dari usaha tani padi. Tujuan tersebut dalam prakteknya selalu menimbulkank epentingan yang berlawanan. Produsen di satu sisi mengharapkah harga yang cukup tinggi untuk hasil produksinya sedangkan konsumen disisi lain menginginkan harga yang rendah untuk mempertahankan nilai riil pendapatannya. (Amang dan Sawit, 1999).

Keberhasilan program produksi padi dalam negeri pada tahun 1983 menyebabkan pasokan beras melonjak tajam sehingga surplus tersebut perlu diserap agar harga padi/beras tidak jatuh. Bulog dalam hal ini terpaksa membeli beras dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya, sehingga terjadi penumpukan stok beras yang berlebih. Hal ini berdampak langsung pada peningkatan biaya penyimpanan yang mencakup biaya penurunan mutu, susut, biaya bunga bank, biaya perawatan, dan lain-lain. Pada saat itulah dirancang suatu outlet tambahan yaitu penyaluran untuk PNS dan TNI/Polisi, di samping tetap mempertahankan outlet yang telah ada seperti OPM. Era keterlibatan dari penyaluran beras untuk kelompok anggaranpun dimulai. Para pegawai sipil dan militer dijadikan sebagai salah satu saluran penting pemasaran beras pemerintah dalam rangka mengemban stabilitas harga beras. Disamping itu, lembaga ini juga berperan untuk mendistribusikan beras dalam arti memindahkan beras yang


(42)

22

dikumpulkan di daerah surplus beras, kemudian disalurkan ke daerah-daerah defisit sehingga harga beras antar daerah dan antar musim tidak bergejolak yang terlalu tinggi, dan tetap berada di dalam batas-batas harga terendah dan tertinggi.

Pada waktu itu, antara 5-10 persen total beras dalam negeri diserap oleh Bulog. Lembaga ini berkembang menjadi satu-satunya perusahaan yang mampu membeli beras dalam jumlah besar dengan kapasitas dan distribusi gudang yang cukup memadai serta tersebar di berbagai wilayah di tanah air. Tidak ada lembaga pemasaran swasta dan koperasi yang mampu menyaingi infrastruktur ini, maupun volume beras yang dikuasai Bulog.

Volume beras yang dikuasai oleh masing-masing pedagang swasta dan koperasi sangat kecil dibandingkan dengan yang dikuasai Bulog, sehingga dengan kekuatan ini Bulog telah menjadi penentu harga beras di pasar dalam negeri. Dalam melaksanakan kegiatan stabilitas harga tersebut, KUD juga didorong untuk ikut serta di dalamnya. Bulog ditugaskan membeli beras tidak langsung kepada petani/ swasta, tetapi melalui KUD sehingga dengan kebijakan ini dapat mendorong keterlibatan koperasi dalam perdagangan beras. Pada periode 1996 - 1998, 76 persen sampai 89 persen pembelian Bulog berasal dari KUD. Harga pembelian beras oleh Bulog dari lembaga KUD sedikit lebih tinggi dari pembelian dari swasta, tujuannya adalah untuk mendorong berkembangnya kekuatan ekonomi lembaga koperasi. Pembelian langsung (Satgas Bulog) paling banyak 5 persen, sisanya dari non-KUD atau swasta ( Amang dan Sawit, 1999).

Dalam paradigma baru, campur tangan pemerintah dalam memberikan jaminan pasar bagi hasil pengadaan beras dalam negeri cenderung semakin dikurangi. Hal ini ditandai dengan keluarnya Keppres 17/ 2000 tanggal 21 Februari 2000 tentang pelaksanan APBN, pasal 28 ayat I yang menyebutkan bahwa kepada pegawai negeri sipil/ TNl dan Polri/ penerima pensiun beserta keluarganya diberikan tunjangan beras dalam bentuk uang (innatura). Keputusan pemerintah tersebut memberikan implikasi yang cukup luas baik bagi golongan anggaran, perdagangan beras, maupun. bagi organisasi Bulog. Selaku konsumen beras, keadaan ini memberikan kebebasan bagi golongan anggaran untuk menentukan preferensi beras yang ingin dikonsumsinya. Akibatnya, melalui partisipasi langsungnya bergerak menuju pasar beras, terbukalah kesempatan bagi dunia perdagangan beras untuk mengatur kuantitas dan kualitas persediaan beras sesuai mekanisme pasar yang sangat dipengaruhi oleh aspek permintaan dan penawaran.

Pada tahun 1999, pemerintah menyediakan dana sekitar Rp. 800 Milyar untuk pengadaan pangan yang disalurkan langsung kepada KUD. Akan tetapi dana ini yang


(43)

23

bersumber dari KLBI telah dihentikan sejak akhir tahun 1999. KUD semakin terbatas dalam melaksanakan pembelian beras dalam negeri, sehingga penyerapan produksi beras tertumpu pada swasta dan tentunya pada lembaga Bulog. Kedua lembaga ini juga terkendala dengan modal/ dana serta semakin kecilnya margin perdagangan sebagai akibat suplai beras impor yang berlebih masuk ke pasar dalam negeri (Sapuan, 2000).

Perubahan keadaan sosial, politik maupun ekonomi yang begitu cepat akhir-akhir ini, telah membawa pengaruh besar kepada lembaga Bulog. Lembaga ini harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, melakukan penyesuaian terhadap perkembangan demokrasi, penerapan hukum, transparansi, pengurangan KKN dan lain-lain tidak saja di lingkup Bulog tetapi juga berlaku untuk semua lembaga publik lainnya. Dalam tatanan dan perubahan inilah, maka Bulog juga harus menyesuaikan diri dengan hal-hal yang penting dibawah ini.

1. Komitmen pemerintah terhadap IMF yaitu mensyaratkan agar Bulog beroperasi hanya

pada komoditas beras, dan lembaga ini tidak mendapat perlakuan khusus seperti biasanya, sehingga kegiatan Bulog harus mampu bersaing dengan swasta. Penerapan tarif impor beras bulan Januari 2000 misalnya, Bulog mendapat perlakuan yang sama dengan swasta bila mengimpor beras, yaitu harus membayar bea masuk sesuai dengan ketentuan.

2. Desentralisasi pembangunan daerah dan pembagian dana pembangunan yang tertuang

dalam UU no.22 dan no. 25, tahun 1999, telah membawa pengaruh semakin kuatnya peran pemerintah daerah dalam mengambil keputusan termasuk keputusan yang terkait dengan Bulog. Perubahan penyaluran beras untuk PNS daerah misalnya, akan membawa konsekuensi terhadap pembelian gabah dalam rangka penangkalan turunnya harga pada musim panen raya.

3. BI tidak lagi menyediakan KLBI untuk mendukung program pengadaan dan penyaluran

beras sesuai dengan tugas Bulog. Dalam melakukan kegiatannya Bulog harus bergantung kepada kredit komersial, sehingga biaya yang harus ditanggung Bulog dan pendapatan dari pinjaman tersebut harus menjadi sandaran keputusan setiap aktivitas Bulog.

4. Pemerintah diperkirakan akan membuat program Jaringan Pengamanan Sosial (JPS)

pangan yang permanen.

Menurut Alexander (2000) dalam membuat suatu pendekatan pemasaran terhadap saluran distribusi, banyak usaha pemasaran yang mengakui bahwa membuat pendekatan saluran distribusi ini lebih superior daripada pendekatan suatu perusahaan tunggal saja,


(44)

24

sehingga pendekatan pemasaran ini meniadakan batas-batas penyelenggaraan hanya dengan sistem vertikal. Terdapat empat pendekatan yang umum dipakai oleh penulis pemasaran untuk mengkaji dan menguraikan perihal saluran distribusi.

1. Deskriptif Intstitusional : pendekatan ini untuk menganalisa saluran distribusi yang

berfokus kepada identifikasi, deskripsi dan klasifikasi lembaga-lembaga perantara.

2. Mata rantai : pendekatan ini menggambarkan suatu struktur distribusi yang paling lazim

terdapat dalam saluran barang konsumen, yaitu saluran grosir-pengecer-konsumen. Kebanyakan barang konsumen diproduksi secara massal itu mencapa ipasar melalui grosir dan pengecer.

3. Pengelompokan komoditi: Pendekatan ini menggabungkan pendekatan institusional dan

mata rantai dalam suatu komoditi.

4. Fungsional : pendekatan fungsional adalah pendekatan untuk memberikan penjelasan

yang logis mengenai proses pemasaran keseluruhan. Di dalam pemasaran suatu fungsi adalah suatu aktivitas ekonomi terpenting yang harus dilaksanakan sampai tingkat tertentu dalam memasarkan semua produk.

Sistem distribusi/ pemasaran beras merupakan bagian yang penting dari mata rantai sejak produksi sampai ke tangan konsumen. Sistem distribusi/ pemasaran juga akan berpengaruh terhadap efisiensi pasar suatu barang atau pangan beras. Pemasaran yang menimbulkan biaya tinggi akan berdampak bukan saja mengurangi surplus produsen, tetapi juga akan membebani konsumen. Dalam distribusi/ pemasaran pangan, terdapat banyak variasi dalam jumlah rantai agen-agen pemasaran, dari yang cukup sederhana yaitu mata rantai yang pendek sampai ke pemasaran yang melibatkan mata rantai yang panjang (Kamaluddin, 2000).

Struktur pasar beras domestik saat ini sudah mengalami perubahan dengan dibukanya kesempatan impor beras secara bebas oleh swasta. Pada pasar beras yang terbuka, maka suplai beras dalam negeri dapat berasal dari produksi dalam negeri atau impor, sehingga secara keseluruhan suplai beras di pasar domestik tidak lagi sepenuhnya mencerminkan suplai hasil panen petani akan tetapi dihitung dari kontribusi impor. Konsekuensi logis pada harga beras di pasaran memiliki sifat tidak simetris dengan perkembangan harga gabah (Kamaluddin, 2000).

Pola pemasaran komoditi pertanian pada umumnya akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang terjadi pada struktur produksi dan konsumsi. Tidak saja itu tetapi


(45)

25

situasi perekonomian dengan mengikuti mekanisme pasar bebas juga akan kait mengkait dengan pasar komoditi pertanian, karena pemasaran pangan merupakan salah satu dari subsistem dalam ekonomi makro secara keseluruhan. Untuk itu signifikasi pasar yang efisien dari komoditas pangan khususnya beras akan memberikan kontribusi peningkatan nilai tambah dan surplus produsen maupun konsumen (Kamaluddin, 2000).

Bulog dengan kekuatan logistik baik SDM dan infrastrukturnya kini telah lebih tegas arahnya, yaitu sebagai salah satu lembaga yang memperkuat ketahanan pangan nasional dan rumah tangga, khususnya melalui komoditas beras. Tugas tersebut disusun sejalan dengan amanat UU No.7 tahun 1996 tentang pangan. Adalah tidak mungkin, ketahanan pangan nasional dan rumah tangga dapat diwujudkan tanpa memberikan perhatian terhadap perdagangan dan distribusi, dan masalah ini tentu sebagian sangat terkait dengan fungsi logistik yang dikuasai pemerintah (Sapuan, 2000).

Campur tangan pemerintah khususnya dalam bidang distribusi dan perdagangan produk pertanian terjadi karena karakteristik kegiatan produksi dan pemasaran komoditas pertanian yang tidak sama dengan produk-produk dari sektor industri dan jasa. Tingkat campur tangan tersebut tentunya berbeda antara satu komoditas dengan komoditas pertanian lainnya (Sapuan, 2000).

Justifikasi campur tangan dalam komoditas beras/padi tidak saja dilakukan pemerintah Indonesia tetapi juga negara-negara lain di Asia, karena beras dianggap sebagai komoditas kuasi publik, punya nilai strategis secara nasional, sehingga campur tangan tersebut tidak mungkin dapat dihindari (Tsujii, 1998; Ditlon et aI., 1999; dan Sawit, 2000). Sejumlah ekonom pembangunan sepakat perlunya intervensi pemerintah dalam pasar, karena ketidak-mampuan pasar konvensional berfungsi secara sempurna. Smith dan Thomson (1991) menyebutkannya dengan alasan sebagai berikut.

1. Asimetri dalam informasi dan hal ini menjadi ciri yang menonjol atas pasar

barang-barang hasil pertanian, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Artinya tingkat harga yang terjadi di pasar tidak menggambarkan efisiensi serta tidak selalu ditangkap dengan baik oleh para produsen.

2. Komoditas pertanian bergantung pada lahan dalam hamparan yang luas serta

pemilikannya tersebar, bergantung pada iklim, musim dan kesuburan tanahnya, sehingga

tidak mungkin faktor produksi penting seperti lahan ini menjadi mobile untuk


(1)

fraksi_importir_ke_pengecer = random(0.2,0.3,1793)

importir_ke_bulog = beras_impor_masuk*fraksi_importir_ke_bulog importir_ke_grosir = beras_impor_masuk*fraksi_importir_ke_grosir

importir_ke_pengecerr = beras_impor_masuk*fraksi_importir_ke_pengecer impor_murni = 0

konsumen_umum_beli_beras = beras_keluar_dari_pengecer

stok_beras_importir_per_bulan = beras_impor_masuk-beras_impor_disalurkan

KONSUMEN

akumulasi_beras_dikonsumsi(t) = akumulasi_beras_dikonsumsi(t - dt) + (belanja_konsumen_bulanan) * dt

INIT akumulasi_beras_dikonsumsi = 0 belanja_konsumen_bulanan = dari_pengecer

populasi_indonesia(t) = populasi_indonesia(t - dt) + (delta_populasi_bulanan) * dt INIT populasi_indonesia = 220000000

delta_populasi_bulanan = laju_pertumbuhan*populasi_indonesia dari_pengecer = beras_keluar_dari_pengecer

jumlah_penduduk = populasi_indonesia

kebutuhan_beras_pct_per_bln = kebutuhan_beras_pct_per_thn/12/1000 kebutuhan_beras_pct_per_thn = 113.5

kebutuhan_beras_penduduk_per_bln = jumlah_penduduk*kebutuhan_beras_pct_per_bln laju_pertumbuhan = cgrowth(0.1125)

PENGECER

akumulasi_stok_penngecer(t) = akumulasi_stok_penngecer(t - dt) + (aliran_beras_masuk_stok_pengecer) * dt

INIT akumulasi_stok_penngecer = 0

aliran_beras_masuk_stok_pengecer = stok_pengecer_per_bln


(2)

beras_masuk_pengecer =

beras_grosir_ke_pengecer+beras_KUD_ke_pengecer+beras_penggilingan_ke_pengecer+beras_peng umpul_ke_pengecer+bulog_ke_pengecer+importir_ke_pengecer

bukan_petani = jumlah_penduduk-jumlah_klg_petani importir_ke_pengecer = 0

kg_beras_per_kepala_per_bln = 113.5/12

pembelian_non_petani = (kg_beras_per_kepala_per_bln*bukan_petani)/1000 stok_pengecer_per_bln = beras_masuk_pengecer-beras_keluar_dari_pengecer

PENGUMPUL

akumulasi_beras_di_pengumpul(t) = akumulasi_beras_di_pengumpul(t - dt) + (inflow_beras) * dt INIT akumulasi_beras_di_pengumpul = 0

inflow_beras = stok_beras_pengumpul_per_bln

beras_di_pengumpul = faktor_konversi_gabah_beras*gabah_digiling_di_pengumpul beras_pengumpul_ke_grosir = fraksi_beras_pul_ke_grosir*beras_di_pengumpul

beras_pengumpul_ke_pengecer = beras_di_pengumpul * fraksi_beras_pul_ke_pengecer delta_gkg_pengumpul_per_bln = jml_pembelian_gkg_pengumpul-gabah_pengumpul_ke_kud-gabah_digiling_di_pengumpul

fraksi_beras_pul_ke_grosir = normal(0.3,0.05,0.3)

fraksi_beras_pul_ke_pengecer = 1-fraksi_beras_pul_ke_grosir fraksi_gabah_pul_ke_kud = normal(0.4,0.05,0.111)

fraksi_giling_di_pul = normal(0.3,0.01,0.3)

gabah_digiling_di_pengumpul = fraksi_giling_di_pul*jml_pembelian_gkg_pengumpul gabah_pengumpul_ke_kud = jml_pembelian_gkg_pengumpul*fraksi_gabah_pul_ke_kud jml_pembelian_gkg_pengumpul = gabah_ptn_ke_pengumpul

stok_beras_pengumpul_per_bln = beras_di_pengumpul-beras_pengumpul_ke_grosir-beras_pengumpul_ke_pengecer

NASIONAL

akumulasi_stok_beras_nasional =

akumulasi_beras_di_bulog+akumulasi_beras_di_penggilingan+akumulasi_beras_di_pengumpul+Aku mulasi_beras_grosir+akumulasi_beras_KUD+akumulasi_stok_importir+akumulasi_stok_penngecer+ akumulasi_stok_setara_beras_di_petani


(3)

Stok_beras_nasional_per_bln =

pertambahan_stok_beras_bulog_per_bln+stok_beras_di_penggilingan_per_bln+stok_beras_grosir_ bulanan+stok_beras_kud_per_bln+stok_beras_pengumpul_per_bln+stok_bulanan_importir+stok_p engecer_per_bln+stok_setara_beras_petani_per_bln

stok_bulanan_importir = 0

GROSIR

Akumulasi_beras_grosir(t) = Akumulasi_beras_grosir(t - dt) + (inflow_grosir) * dt INIT Akumulasi_beras_grosir = 0

inflow_grosir = stok_beras_grosir_bulanan

beras_grosir_ke_konsumen = beras_masuk_ke_grosir*fraksi_grosir_ke_konsumen beras_grosir_ke_pengecer = fraksi_grosir_ke_pengecer*beras_masuk_ke_grosir beras_keluar_grosir = beras_grosir_ke_konsumen+beras_grosir_ke_pengecer beras_masuk_ke_grosir =

beras_KUD_ke_grosir+beras_penggilingan_ke_grosir+beras_pengumpul_ke_grosir+bulog_ke_grosir fraksi_grosir_ke_konsumen = random(0.3,0.4,919171719)

fraksi_grosir_ke_pengecer = random(0.5,0.6,7893193)

stok_beras_grosir_bulanan = beras_masuk_ke_grosir-beras_keluar_grosir

KUD

akumulasi_beras_KUD(t) = akumulasi_beras_KUD(t - dt) + (inflow_kud) * dt INIT akumulasi_beras_KUD = 0

inflow_kud = stok_beras_kud_per_bln

beras_KUD_ke_bulog = gbh_kud_jadi_beras*persen_beras_KUD_ke_bulog beras_KUD_ke_grosir = gbh_kud_jadi_beras*persen_beras_KUD_ke_grosir beras_KUD_ke_pengecer = gbh_kud_jadi_beras*persen_beras_KUD_ke_pengecer gabah_kud_giling_sendiri = gabah_masuk_kud*porsi__gbh_kud_digiling_sendiri gabah_masuk_kud = gabah_pengumpul_ke_kud+gabah_ptn_ke_KUD

gbh_kud_jadi_beras = gabah_kud_giling_sendiri*konversi_gkg_beras

gbh_kud_ke_penggiling_luar = porsi_gbh_kud_giling_luar*gabah_masuk_kud konversi_gkg_beras = 0.632


(4)

persen_beras_KUD_ke_bulog = normal(0.6,0.01,0.6) persen_beras_KUD_ke_grosir = normal(0.2,0.1,0.2) persen_beras_KUD_ke_pengecer = normal(0.1,0.05,0.1) porsi_gbh_kud_giling_luar = normal(0.6,0.1,0.6)

porsi__gbh_kud_digiling_sendiri = 1-porsi_gbh_kud_giling_luar

stok_beras_kud_per_bln = ifberas_KUD_ke_grosir-beras_KUD_ke_bulog)<0 then 0 else

(gbh_kud_jadi_beras-beras_KUD_ke_pengecer-beras_KUD_ke_grosir-beras_KUD_ke_bulog)

PENGGILINGAN

akumulasi_beras_di_penggilingan(t) = akumulasi_beras_di_penggilingan(t - dt) + (inflowgiling) * dt INIT akumulasi_beras_di_penggilingan = 0

inflowgiling = stok_beras_di_penggilingan_per_bln

beras_hsl_penggilingan = rendemen_giling*gabah_masuk_penggilingan beras_penggilingan_ke_bulog = beras_hsl_penggilingan*fraksi_ling_log beras_penggilingan_ke_grosir = beras_hsl_penggilingan*fraksi_ling_sir beras_penggilingan_ke_pengecer = beras_hsl_penggilingan*fraksi_ling_cer fraksi_ling_cer = normal(0.3,0.05,0.4)

fraksi_ling_log = normal(0.2,0.05,0.1) fraksi_ling_sir = normal(0.3,0.01,0.3)

gabah_masuk_penggilingan = gbh_kud_ke_penggiling_luar+gabah_ptn_ke_penggiling rendemen_giling = 0.632

stok_beras_di_penggilingan_per_bln = if (beras_hsl_penggilingan - total_beras_keluar_penggilingan) < 0 then 0 else (beras_hsl_penggilingan - total_beras_keluar_penggilingan)

total_beras_keluar_penggilingan =

beras_penggilingan_ke_bulog+beras_penggilingan_ke_grosir+beras_penggilingan_ke_pengecer

PETANI

akumulasi_stok_gkg_di_petani(t) = akumulasi_stok_gkg_di_petani(t - dt) + (inflow_gkg) * dt INIT akumulasi_stok_gkg_di_petani = 0


(5)

akumulasi_stok_setara_beras_di_petani(t) = akumulasi_stok_setara_beras_di_petani(t - dt) + (inflow_gkg_setara_beras) * dt

INIT akumulasi_stok_setara_beras_di_petani = 0

inflow_gkg_setara_beras = stok_setara_beras_petani_per_bln benih_dan_pakan = fraksi_unt_benih*prod_gkg_ptn_per_bln beras_dibeli_petani_dr_pengecer = minus_gkg*0.632

faktor_konversi_gabah_beras = 0.632 fraksi_loss = 4.5/100

fraksi_ptn_ke_KUD = random(0.10,0.15,79399773)

fraksi_ptn_ke_penggiling = random(0.05,0.10,119977339911) fraksi_ptn_ke_pengumpul = random(0.6,0.70,7939977) fraksi_unt_benih = 2.5/100

gabah_keluar_dr_petani =

gabah_ptn_ke_KUD+gabah_ptn_ke_penggiling+gabah_ptn_ke_pengumpul+total_loss gabah_ptn_ke_KUD = prod_gkg_ptn_per_bln*fraksi_ptn_ke_KUD

gabah_ptn_ke_penggiling = prod_gkg_ptn_per_bln*fraksi_ptn_ke_penggiling gabah_ptn_ke_pengumpul = prod_gkg_ptn_per_bln*fraksi_ptn_ke_pengumpul gkg_tersedia_after_loss = prod_gkg_ptn_per_bln - total_loss

jumlah_klg_petani = 50000000

kebutuhan_gkg_ptn_per_bln = jumlah_klg_petani*konsumsi_beras_per_kapita_per_bln konsumsi_beras_per_kapita_per_bln = (113.5/12)/1000

loss_pasca_panen = fraksi_loss*prod_gkg_ptn_per_bln

minus_gkg = if(sisa_gkg_unt_konsumsi_petani-kebutuhan_gkg_ptn_per_bln)<0 then (kebutuhan_gkg_ptn_per_bln-sisa_gkg_unt_konsumsi_petani) else 0

prod_gkg_ptn_per_bln = 1000000*luas_panen_per_bulan*prod_per_ha

prod_netto_beras_nasional_per_bln = gkg_tersedia_after_loss*faktor_konversi_gabah_beras prod_per_ha = 4.417

prod_ptn_setara_beras_per_bln = faktor_konversi_gabah_beras*prod_gkg_ptn_per_bln sisa_gkg_unt_konsumsi_petani = stok_gkg_ptn_per_bln

stok_gkg_ptn_per_bln = prod_gkg_ptn_per_bln - gabah_keluar_dr_petani


(6)

surplus_gkg = if(sisa_gkg_unt_konsumsi_petani-kebutuhan_gkg_ptn_per_bln)>0 then (sisa_gkg_unt_konsumsi_petani-kebutuhan_gkg_ptn_per_bln) else 0

total_loss = loss_pasca_panen+benih_dan_pakan luas_panen_per_bulan = GRAPH(TIME)

(1.00, 0.412), (2.00, 0.79), (3.00, 1.87), (4.00, 2.36), (5.00, 1.10), (6.00, 0.679), (7.00, 0.838), (8.00, 1.15), (9.00, 0.987), (10.0, 0.653), (11.0, 0.418), (12.0, 0.344)