Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional

(1)

YANG BERKELANJUTAN

UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

RITA NURMALINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul :

MODEL NERACA KETERSEDIAAN BERAS YANG BERKELANJUTAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan arahan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2007

Rita Nurmalina NRP P062020011


(3)

Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Dibimbing Oleh

BUNASOR SANIM sebagai Ketua Komisi Pembimbing, HARTRISARI

HARDJOMIDJOJO dan ANANTO KUSUMA SETA sebagai Anggota Komisi

Pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan ketersediaan beras berdasarkan penilaian indeks dan status keberlanjutan dengan metoda Rap-Rice menggunakan Multidimensional Scaling (MDS) dan menilai rancang bangun model neraca ketersediaan beras di masa yang akan datang berdasarkan pendekatan sistem dinamis. Data yang digunakan data primer dan data sekunder.

Hasil teknik ordinasi Rap-Rice metoda MDS menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan sistem ketersediaan beras nasional 64.51 kategori cukup berkelanjutan, sedangkan indeks keberlanjutan ketersediaan beras regional 33.37 - 67.23. Wilayah Jawa dan Sumatera menunjukkan kategori cukup berkelanjutan, sedangkan Kalimantan, Sulawesi dan Wilayah lainnya termasuk kategori kurang berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan wilayah padi/beras selain difokuskan di Jawa juga sebaiknya diarahkan ke Sumatera. Analisis keberlanjutan sistem ketersediaan beras pada 5 dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi) menunjukkan bahwa dimensi ekonomi memiliki nilai terendah secara nasional, ekologi di Jawa dan sosial budaya di Sumatera. Sedangkan di Kalimantan dimensi yang bernilai baik hanya ekologi dan untuk wilayah lain ekologi dan kelembagaan. Berdasarkan analisis leverageRap-Rice didapatkan bahwa dari 60 atribut yang dianalisis terdapat 23 atribut yang sensitif berpengaruh pada keberlanjutan sistem ketersediaan beras. Berdasarkan 3 tahap analisis prospektif terdapat tujuh faktor kunci atau faktor dominan yang berpengaruh dalam sistem ketersediaan beras yaitu produksi, produktivitas, konversi lahan, pencetakan sawah, kesesuaian lahan, konsumsi per kapita dan pertumbuhan penduduk.

Hasil analisis sistem dinamis model aktual menunjukkan ketersediaan beras defisit selama periode simulasi (2005-2015) dengan kecenderungan defisit yang meningkat, hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan beras nasional tidak berkelanjutan. Kebijakan perbaikan faktor kunci dari sisi penyediaan (peningkatan produktivitas, produksi, pencetakan sawah dan penurunan konversi lahan) memberikan hasil kinerja model yang lebih baik terhadap ketersediaan beras yang berkelanjutan di masa yang akan datang dibandingkan kebijakan perbaikan pada sisi kebutuhan (penurunan pertumbuhan jumlah penduduk dan konsumsi per kapita). Hasil kinerja model dengan perbaikan produktivitas dan produksi (intensifikasi plus) berkontribusi cukup besar dalam ketersediaan beras yang berkelanjutan tetapi dengan pertumbuhan yang menurun tajam sedangkan kebijakan pencetakan sawah dan penekanan konversi lahan (ekstensifikasi plus) berkontribusi rendah tetapi seiring berjalannya waktu meningkat dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi intensifikasi berpotensi baik untuk meningkatkan neraca ketersediaan beras tetapi bila diinginkan neraca ketersediaan beras yang tersedia secara berkelanjutan maka strategi intensifikasi perlu dibarengi dengan ekstensifikasi.

Kata Kunci : Neraca ketersediaan beras, indeks dan status keberlanjutan, sistem dinamis.


(4)

National Food Security. Under the direction of BUNASOR SANIM (Chairman),

HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and ANANTO KUSUMA SETA (Members).

Objectives of this research were to analyze sustainability of rice availability at national and regional levels, based on sustainability index with Rap-rice method using Multi Dimensional Scaling (MDS) and to assess the design of rice availability model in the future, based on system dynamic approach. Data used in this research were primary and secondary one.

Result of Rap-Rice ordination technique MDS method showed that the sustainability index of rice availability system at national level was 64.51, was categorized sustainable sufficient. Meanwhile the sustainability index in several regions in Indonesia varied between 33.37 – 67.23. Java and Sumatera regions were categorized as sustainable sufficient one, while Kalimantan, Sulawesi and other regions were classified as sustainable less sufficient. This indicated that development of rice region, besides should be focused in Jawa also could be done in Sumatera. Analysis at 5 dimensions (ecology, economy, socio-cultural, institution and technology) indicated that the lowest economic dimension was found at national level, while for the lowest ecology dimension was shown in Java and socio-cultural was indicated in Sumatera. Other finding showed that, in Kalimantan the only good dimension was ecology, while in the other regions were ecology and institution dimensions. Results of leverage analysis indicated that 23 out of 60 attributes were sensitively influential to the sustainability of rice availability system. Results of prospective analysis showed that there were seven key factors in rice availability system, namely production, productivity, land conversion, land suitability, rice field construction, per capita consumption, and population growth.

Result of the dynamic system analysis showed that deficit rice availability during simulation period (2005 – 2015) with the trend of increasing deficit. This indicated that national rice availability was not sustainable. The policy scenario of the improvement of key factors in term of supply side (yield, production, rice field construction, land conversion, and land suitability) gave better performance for sustainability of rice availability in the future compared with the policy scenario of the improvement in term of demand side (population growth and per capita consumption). Result of the system performance with improvement of yield and production (intensification) contributed significantly to sustainability of rice availability, but with the sharp decline in its growth. Meanwhile, the scenario of constuction of new rice field and reduction of rice field conversion (extensification) contributed very low contribution at the early stage to sustainability of rice availability, but the contribution increased with high growth rate at the latter period. This indicated the strategy of intensification could be the best way to increase rice availability in the short term, but if one would like to have a rice availability at sustainable level, than the strategy of intensification should be accompanied by the strategy of extensification.


(5)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya


(6)

UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

RITA NURMALINA

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

NRP : P 062020011

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (PSL)

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua

Dr.Ir.Hartrisari Hardjomidjojo,DEA. Dr.Ir.Ananto Kusuma Seta,MSc. Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam Dan Lingkungan

Dr.Ir.Surjono Hadi Sutjahjo,MS. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS.

Tanggal ujian : 27 Juni 2007 Tanggal lulus :


(8)

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 Juli 1955 sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak H. Noerwan Tjakradiwirja dan ibu Hj. Anni Singawinata.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Pengadilan I Bogor pada tahun 1967, kemudian melanjutkan sekolah pada SMP Negeri I Bogor dan lulus pada tahun 1970, selanjutnya masuk SMU Negeri II Bogor dan lulus pada tahun 1973. Pada tahun 1974 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pendidikan S1 di IPB berhasil diselesaikan pada tahun 1979.

Pada tahun 1979 - 1983 penulis bekerja di Pusat Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian sebagai peneliti. Pada tahun 1983 – 1986 penulis bekerja sebagai Supervisor pada D.H. Hill Library North Carolina State University Raleigh, Amerika Serikat. Sejak akhir tahun 1986 penulis memulai bekerja di Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB sebagai staf pengajar dan mendapat kesempatan kembali melanjutkan Studi S2 di Program Studi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pasca Sarjana, IPB dan lulus pada tahun 1991. Tahun 1995 penulis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi peneliti dan penyaji terbaik bidang Ilmu Ekonomi dan Sosial Ekonomi Pertanian tingkat Perguruan Tinggi se Indonesia. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan mendapat Beasiswa Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional.

Jenjang jabatan tenaga pengajar di Institut Pertanian Bogor dimulai sebagai Asisten Ahli Madya (IIIA) pada tahun 1989, Asisten Ahli (IIIB) pada tahun 1991, Lektor Muda (IIIC) pada tahun 1993, Lektor Madya (IIID) pada tahun 1996, Lektor (IVA) pada tahun 1999, dan Lektor Kepala (IVB) pada tahun 2006.

Penulis menikah dengan Dr. Ir. Achmad Suryana, M.S. Pada tahun 1980 dan dikaruniai 3 orang anak, Anggita Tresliyana Suryana S.P. lahir tahun 1981, Esty Asriyana Suryana S.P. lahir 1983 dan Muhammad Rizkimuluk Suryana lahir tahun 1993.


(9)

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul “Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional“. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Keberhasilan ini tentu saja tidak mungkin bila dilakukan seorang diri, begitu banyak pihak yang telah membantu. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, khususnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. dan Dr. Ir. Ananto Kusuma Seta, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dorongan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini, mulai dari penyusunan proposal sampai dengan penyelesaian disertasi ini.

2. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian pra kualifikasi (prelim), Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku dosen penguji pada ujian tertutup dan Dr. Ir. Drajat Martianto, M.S. serta Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian terbuka atas masukan dan saran kepada penulis yang sangat berguna bagi perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini.

3. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Dr. Ir. Etty Riani, M.S. selaku sekretaris program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB atas perhatian, bantuan dan motivasi yang diberikan selama menjalani pendidikan di PSL IPB. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana dan Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang S3 di IPB Bogor dengan didanai beasiswa BBPS.

4. Keluarga besar Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian terutama kepada Prof. Dr. Ir. Irsal Las, M.S. selaku Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan, Prof. Dr. Ir. Suyamto selaku Kepala


(10)

sebagai Kepala Pusat Mekanisasi Pertanian, Dr. Ir. Wisnu Broto selaku Kepala Balai Besar Pasca Panen, Badan Litbang Departemen Pertanian atas data, informasi, buku serta bahan bacaan yang telah banyak diberikan kepada penulis, juga atas waktu yang diberikan secara khusus untuk berdiskusi.

5. Dr. Achmad Fagi, Dr. Karim Makarim dari Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Dr. Ir. Adi Miharja, Dr. Ai dari Balai Penelitian Tanah, Dr. Ir. Handewi P.Salim, Ir. Mewa Ariani, M.S., Dr. Ir. Erna Lokollo dari Pusat Penelitian dan Kebijakan Sosial Ekonomi, Dr. Suismono, Ir. Agus Sumantri dari Balai Besar Pasca Panen dan Ir. Sudi Mardianto, M.S. dan Ir. Sumedi, M.S. dari Balai Pengembangan dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Litbang Departemen Pertanian atas data, informasi, buku dan bahan bacaan yang diberikan serta kesempatan diskusi yang sangat berguna.

6. Dr. Robert Zeigler dan Dr. Mahabub Hossain selaku Director General dan Head Social Sciences Division (SSD) dari Internasional Rice Research Institute (IRRI) atas informasi dan wawasan yang diberikan terutama mengenai sistem agribisnis padi secara global, khusus kepada Dr. Melissa Fitzgerald selaku Head Grain Quality, Nutrition dan Postharvest Center (GQNPC) IRRI, tour di laboratorium GQNPC IRRI yang moderen sangat mengesankan karena memberikan wawasan yang baru bagi penulis terutama mengenai grain quality beras.

7. Dr. Leocadio S. Sebastian selaku Executive Director, Dr. Rolando T.Cruz selaku Project Leader Favorable Environments dan Dr. Antonio Alfonso selaku Head Plant Breeding and Biotechnology Division serta Evangeline Sibayan selaku Head Rice Engineering and Mechanization Division dari The Philippine Rice Research Institute (PhilRice), Department of Agriculture Philippines yang telah memberikan banyak informasi dan wawasan kepada penulis dalam hal Environment Management System di berbagai subsistem pada sistem agribisnis padi/beras, terutama penerapan ISO 14001 pada pengusahaan benih padi hibrida.

8. Ir. Syafruddin M.S., Rizka Amalia S.P., Rahayu Utami S.TP. dan Bu Endang serta Mas Derajad atas bantuan dalam pengetikan, pengumpulan dan pengolahan data selama ini. Juga kepada temen-teman pada Program Studi


(11)

kepada rekan sejawat di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB atas dukungan dan dorongan untuk menyelesaikan studi. 9. Penghargaan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga saya

sampaikan kepada kedua orang tua yang telah mendidik saya dengan penuh kasih sayang dan tidak hentinya berdoa untuk kebaikan anaknya. Ucapan terima kasih dan doa disampaikan kepada Bapak dan ibu mertua (alm) atas dukungan dan pengertiannya.

10. Ucapan terima kasih yang khusus disampaikan kepada suami tercinta Dr. Ir. Achmad Suryana, M.S., yang telah mendukung penuh tanpa syarat dan juga memberikan semangat kepada istrinya untuk sekolah lagi. Dimulai dari membantu membuat suatu matrik dalam menentukan pemilihan sekolah dan program studi (agar memberikan kebaikan untuk pengembangan karir dan juga keluarga). Sekali lagi terima kasih atas doa, toleransi, kesabaran dan kasih sayangnya, semoga Allah membalas dengan yang lebih baik. Kepada anak-anak dan menantu tercinta, Anggita, Esty, Mulky dan Donny terima kasih atas pengertian, pengorbanan, bantuan dan doanya selama mom sekolah.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada semua orang yang telah membantu. Mudah mudahan disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2007


(12)

vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Kerangka Pemikiran ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

1.7. Hipotesis Penelitian ... 10

1.8. Kebaruan Penelitian ... 10

1.9. Definisi Operasional ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... 12

2.1.1. Sistem ... 12

2.1.2. Pendekatan Sistem ... 13

2.1.3. Model ... 14

2.2. Ketahanan Pangan ... 15

2.3. Pembangunan Berkelanjutan ... 19

2.3.1. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan ... 23

2.3.2. Indikator Operasional Untuk Mengukur Keberlanjutan ... 24

2.4. Penelitian Terdahulu ... 31

III. METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Cakupan Penelitian ... 36

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 36

3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 37

3.4. Metode Analisis ... 38

3.4.1. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras ... 40

3.4.2. Pendekatan Sistem ... 51

3.4.2.1. Analisis Kebutuhan ... 51

3.4.2.2. Formulasi Masalah dalam Sistem ... 52

3.4.2.3. Identifikasi Ketersediaan Beras Nasional ... 53

3.4.2.3.1. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) .... 54

3.4.2.3.2. Diagram Black Box ... 55

3.4.2.4. Formulasi Model ... 55

3.4.2.5. Model Perberasan Nasional ... 61

3.4.2.6. Validasi Model ... 62

3.4.2.7. Analisis Prospektif ... 64


(13)

vii

4.1.1. Perkembangan Produksi Padi di Indonesia ... 69

4.1.2. Perkembangan Luas Lahan Padi di Indonesia ... 71

4.1.3. Perkembangan Produktivitas Padi ... 74

4.1.4. Analisis Usahatani Padi ... 75

4.2. Kebutuhan Beras ... 79

4.3. Perkembangan Harga Beras ... 86

4.4. Kebijakan Perberasan di Indonesia ... 86

4.4.1. Kebijakan Perberasan Era Sebelum Krisis Ekonomi (1959 – 1998) ... 86

4.4.2. Kebijakan Perberasan Era Sesudah Krisis Ekonomi (1998 – Sekarang) ... 89

4.4.2.1. Peningkatan Produktivitas dan Produksi Padi ... 91

4.4.2.2. Diversifikasi Usaha di Pedesaan ... 92

4.4.2.3. Stabilitas Harga Gabah Petani ... 92

4.4.2.4. Kebijakan Impor Beras dan Tarif ... 92

4.4.2.5. Kebijakan Jaminan Sosial Pangan ... 93

4.5. Keragaan Pasar Beras Dunia ... 93

V. INDEKS DAN STATUS KEBERLANJUTAN KETERSEDIAAN BERAS NASIONAL DAN REGIONAL ... 98

5.1. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Multidimensi ... 98

5.2. Keberlanjutan Ketersediaan Beras di Masing-Masing Dimensi ... 100

5.2.1. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekologi ... 101

5.2.2. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi ... 104

5.2.3. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Sosial Budaya ... 108

5.2.4. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Kelembagaan .... 111

5.2.5. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Teknologi ... 113

VI. PERMODELAN NERACA KETERSEDIAAN BERAS YANG BERKELANJUTAN ... 119

6.1. Identifikasi Faktor Kunci Yang Berpengaruh Pada Sistem ... 119

6.2. Permodelan Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan ... 125

6.2.1. Validasi Model ... 132

6.2.2. Skenario Strategi Pengembangan Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan ... 133

6.2.2.1. Skenario I: Intensifikasi Plus (Peningkatan Produktivitas dan Produksi ... 136

6.2.2.2. Skenario II: Ekstensifikasi Plus (Skenario Pencetakan Sawah dan Upaya Menekan Konversi) ... 143

6.2.2.3. Skenario III: Skenario Kebijakan Pengelolaan Penduduk dan Diversifikasi Pangan ... 145

6.2.2.4. Perbandingan Antar Skenario ... 149

6.2.2.5. Skenario IV: Skenario Sisi Penyediaan (Intensifikasi Plus dan Ekstensifikasi Plus) ... 151

6.2.3. Analisis Sensitivitas Model ... 154

6.3. Sintesis Hasil Analisis dan Strategi Kebijakan ... 155

6.3.1. Peningkatan Produktivitas Padi dan Penanganan Kehilangan Hasil... ... 156


(14)

viii

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 162

7.1. Kesimpulan... ... 162

7.2. Saran... ... 164

DAFTAR PUSTAKA... ... ...166


(15)

ix

1. Indikator Ketahanan Pangan ... 18

2. Dimensi Dasar Untuk Menilai Keberlanjutan ... 26

3. Ringkasan Indikator KeberlanjutanYang Secara Teoritis Dikemukakan Para Ahli ... 27

4. Pemilihan Indikator Dengan Mempertimbangkan Spasial, Temporal dan Karakteristik Tiga Dimensi Berkelanjutan di Negara Berkembang ... 31

5. Jenis dan Sumber Data Yang Diperlukan Dalam Penelitian Ketersediaan Beras Nasional ... 37

6. Ringkasan, Tujuan, Output dan Metode Analisis Penelitian ... 40

7. Atribut dan Skor Keberlanjutan Ekologi ... 42

8. Atribut dan Skor Keberlanjutan Ekonomi ... 44

9. Atribut dan Skor Keberlanjutan Sosial Budaya ... 45

10. Atribut dan Skor Keberlanjutan Kelembagaan ... 46

11. Atribut dan Skor Keberlanjutan Teknologi ... 47

12. Kategori Status Keberlanjutan ... 50

13. Analisis Kebutuhan Stakeholder Dalam Sistem Penyediaan dan Konsumsi Beras ... 52

14. Analisis Formulasi Permasalahan Stakeholder Dalam Sistem Penyediaan dan Konsumsi Beras ... 53

15. Pengaruh Langsung Antar Faktor Dalam Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan ... 65

16. Perkembangan Produksi dan Penyediaan Beras di Indonesia, Tahun 1990 – 2005 ... 70

17 Perkembangan Luas Lahan Padi Menurut Sistem Pengairan di Beberapa Wilayah Indonesia, Tahun 1980 – 2003 ... 72

18. Struktur Biaya Usahatani Padi Beririgasi di Pedesaan Patanas Indonesia, 2005 (%, Ha) ... 77

19. Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Beririgasi di Pedesaan Patanas Indonesia, 2005 (%, Ha) ... 78

20. Perkembangan Konsumsi Beras Per Kapita di Indonesia, 1990 – 2004 ... 79

21. Tingkat Partisipasi Konsumsi Beras (%) Wilayah Kota di Indonesia, Tahun 1990 - 1999 ... 80

22. Tingkat Partisipasi Konsumsi Beras (%) Wilayah Desa di Indonesia, Tahun 1990 - 1999 ... 81


(16)

x

Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1996 dan 1999 ... 83 25. Perkembangan Konsumsi Beras Sebelum, Masa dan Pasca

Krisis Ekonomi di Indonesia, 1993 - 2004 ... 84 26. Perkembangan Harga Beras di Pasar Internasional dan

Pedagang Besar Serta Harga Gabah di Tingkat Produsen

Domestik, 1995 - 2003 ... 86 27. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Beras Dunia,

1990 – 2006 (000 t) ... 94 28. Negara Produsen Utama Beras Dunia, 1990 - 2006 (000 t) ... 95 29. Eksportir dan Importir Utama Beras Dunia, 1990 – 2006

(000 juta t) ... 97 30. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi

Multidimensi di Berbagai Wilayah Indonesia ... 99 31. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi

Ekologi di Berbagai Wilayah Indonesia ... 101 32. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi

Ekonomi di Berbagai Wilayah Indonesia ... 105 33. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi

Sosial Budaya di Berbagai Wilayah Indonesia ... 108 34. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi

Kelembagaan di Berbagai Wilayah Indonesia ... 111 35. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi

Teknologi di Berbagai Wilayah Indonesia ... 114 36. Hasil Analisis Monte Carlo Multidimensi Untuk Nilai Rap-Rice

Nasional dan Regional Dengan Selang Kepercayaan

95 Persen ... 118 37. Rangkuman Hasil Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras

Multidimensi dan Masing-Masing Dimensi Regional dan Nasional . 118 38. Hasil Identifikasi Atribut Yang Sensitif Mempengaruhi Analisis

Keberlanjutan Ketersediaan Beras di Indonesia ... 120 39. Hasil Identifikasi Faktor Kunci Penentu Berdasarkan Hasil Need

Analysis dan Stakeholder di Beberapa Ekosistem Sawah di

Indonesia ... 122 40. Faktor-Faktor Kunci / Penentu Hasil Gabungan Faktor

Existing Condition dan Need Analysis ... 124 41. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Kondisi Aktual,2005 - 2015 .. 132 42. Mutual Incompatible State Dari Faktor-Faktor Dominan Pada

Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan di Indonesia ... 134 43. Hasil Analisis Skenario Strategi Pengembangan Neraca


(17)

xi

46. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 1.3,2005-2015 ... 142 47. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario II, 2005 - 2015 ... 144 48. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 3.1

(Pertumbuhan Penduduk 1.27 Persen Per Tahun),2005 - 2015 ... 146 49. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 3.2, 2005-2015 ... 148 50. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 3.3,2005 - 2015 .... 149 51. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario IV, 2005 - 2015 ... 153 52. Sensitivitas Perubahan Peubah Kunci Penyediaan Beras

Nasional ... 154 53. Rangkuman Hasil Analisis Dari Ketujuh Faktor Kunci/Penentu


(18)

xii

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Ketersediaan Beras Yang

Berkelanjutan ... 7

2. Interaksi Antara Ketahanan Pangan Atau Ketidaktahanan Pangan Pada Tingkat Nasional, Rumah Tangga dan Individu ... 8

3. Dimensi Pembangunan Berkelanjutan ... 20

4. Sistem Pembangunan Berkelanjutan ... 21

5. Indikator Operasional Untuk Mengukur Keberlanjutan Pertanian di Negara-Negara Berkembang ... 30

6. Tahapan Analisis Penelitian ... 39

7. Diagram Layang Keberlanjutan Ketersediaan Beras Nasional... 49

8. Tahapan Indeks dan Status Analisis Keberlanjutan Menggunakan MDS dengan Aplikasi Modifikasi Rapfish ... 50

9. Diagram Alir Sebab Akibat Simulasi Model Dinamis Ketersediaan Beras Sebagai Ketahanan Pangan Berkelanjutan .... 54

10. Diagram Masukan Keluaran Model Neraca Ketersediaan Beras Nasional ... 55

11. Struktur Sub Model Penyediaan Beras Nasional ... 57

12. Struktur Sub Model Kebutuhan Beras Nasional ... 60

13. Model Perberasan Nasional ... 62

14. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor Dalam Sistem ... 66

15. Perkembangan Produksi Padi di Berbagai Wilayah di Indonesia, Tahun 1990 - 2005 ... 71

16. Perkembangan Produktivitas Padi per Hektar di Berbagai Wilayah di Indonesia, Tahun 1970 - 2005 ... 74

17. Penggunaan Produksi Padi GKG di Indonesia, 2005 ... 84

18. Penggunaan Beras Untuk Konsumsi dan Penggunaaan Non Pangan di Indonesia ... 85

19. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Multidimensi Tingkat Nasional dan Regional ... 99

20. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekologi dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekologi ... 102

21. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi ... 105


(19)

xiii

23. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Kelembagaan dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan

Ketersediaan Beras Dimensi Kelembagaan ... 112 24. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Teknologi

dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan

Ketersediaan Beras Dimensi Teknologi ... 114 25. Diagram Layang Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras

di Berbagai Wilayah Indonesia ... 117 26. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor Existing Condition Yang

Berpengaruh Pada Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan

di Indonesia ... 121 27. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor Need Analysis Yang

Berpengaruh Pada Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan

di Indonesia ... 123 28. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor Gabungan Antara Existing

Condition dan Need Analysis Yang Berpengaruh Pada Neraca

Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan di Indonesia ... 125 29. Struktur Model Ketersediaan Beras Nasional ... 126 30. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario Kondisi Aktual,

2005 - 2015 ... 131 31. Model Ketersediaan Beras Menurut Waktu ... 136 32. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 1.1

(Produktivitas Meningkat Dengan Trend 0.36, 0.56 dan 1.67%),

2005 – 2015 ... 138 33. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 1.2, 2005 - 2015 ... 140 34. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 1.3, 2005 - 2015 ... 142 35. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario II, 2005 - 2015 ... 144 36. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 3.1

(Pertumbuhan Penduduk 1.27 Persen Per Tahun), 2005 - 2015 .... 146 37. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 3.2, 2005 - 2015 ... 147 38. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario 3.3, 2005 - 2015 ... 148 39. Grafik Perbandingan Skenario Neraca Ketersediaan Beras,

2005 - 2015 ... 149 40. Grafik Perbandingan Skenario Kebutuhan Beras, 2005 - 2015... 150 41. Grafik Perbandingan Skenario Pada Penyediaan Beras,

2005 - 2015 ... 151 42. Neraca Ketersediaan Beras Nasional Skenario IV, 2005 - 2015 ... 152 43. Grafik Perbandingan Skenario Penyediaan Beras dan


(20)

xiv

Nomor Halaman

1. Persentase Area Tanpa Hutan di Indonesia, 2005 ... 177

2. Kelas Kemampuan Lahan ... 177

3. Penggunaan Pupuk Kimia/Ha di Indonesia, 2004 ... 178

4. Temperatur Rata-Rata Tahunan di Indonesia, 2004 ... 178

5. Curah Hujan Per Tahun di Indonesia, 2004 ... 179

6. Jumlah Bulan Kering di Indonesia, 2004 ... 180

7. Kesesuaian Lahan di Indonesia, 2004 ... 181

8. Ketersediaan Sistem Irigasi di Indonesia, 2004 ... 181

9. Produktivitas Padi di Indonesia, 2004 ... 182

10. Alih Fungsi Lahan Sawah (Juni 1998 – Juni 2003) di Indonesia ... 182

11. Pencetakan Sawah/Pembukaan Lahan (Juni 1998-Juni 2003) di Indonesia ... 183

12. Luas Tanaman Padi Puso (TPP) Menurut Penyebab Banjir (Ha) di Indonesia, 1999 dan 2002 ... 184

13. Luas Tanaman Padi Puso (TPP) Menurut Penyebab Kekeringan (ha) di Indonesia, 1999 - 2002 ... 185

14. Luas Tanaman Padi Puso (TPP) Menurut Penyebab Jasad Pengganggu (ha) di Indonesia, 1999 - 2002 ... 186

15. Efisiensi Ekonomi (R/C) Usahatani Padi di Indonesia, 2005 ... 187

16. Persentase Tingkat Keuntungan Usahatani Padi/Ha di Indonesia, 2004 ... 187

17. PDRB Menurut Provinsi di Indonesia, 2000 - 2003 ... 187

18. Produksi Padi/Ha Menurut Provinsi di Indonesia, 2003 ... 188

19. Nilai Tukar Petani Menurut Provinsi di Indonesia, 2003 ... 189

20. Perubahan Upah Riil Buruh Tani Menurut Provinsi di Indonesia 2001 - 2003 ... 189

21. Rumah Tangga Pertanian Dengan Luas Lahan yang Dikuasai > 0,5 Ha di Indonesia, 2003 ... 190

22. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia, 2000 - 2001 ... 191

23. Harga Eceran Beras di Indonesia, 2000 - 2003 ... 192

24. Persentase Penduduk Miskin di Bawah Garis Kemiskinan (Persen) di Indonesia, 1996 - 2003 ... 193

25. Persentase Pangsa Produksi Padi (Persen) di Indonesia (1970, 1984, 2002) ... 193


(21)

xv

Indonesia, 1990 – 1999 (%) ... 195

28. Tingkat Partisipasi Konsumsi Beras Wilayah Pedesaan di Indonesia, 1990 – 1999 (%) ... 195

29. Persentase Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung Yang Memadai di Indonesia, 2005 ... 196

30. Perkembangan Penduduk Menurut Provinsi di Indonesia, 1990 - 2003 ... 197

31. Jumlah Rumah Tangga Petani Padi dan Palawija di Indonesia, 1993 ... 198

32. Rumah Tangga Pertanian yang Pernah Mengikuti Penyuluhan Pertanian di Indonesia, 2003 ... 199

33. Pertumbuhan Konsumsi per Kapita di Indonesia, 1996 dan 1999 ... 200

34. Perempuan Buta Huruf (Angka Indonesia=14,3) di Indonesia, 2005 ... 201

35. Pendidikan Formal Petani Padi di Indonesia, 1998/1999 ... 202

36. Desa yang Sebagian Besar Penduduknya Bekerja di Sektor Tanaman Pangan di Indonesia, 2005 ... 203

37. Perkembangan KUD di Indonesia, 2005 ... 204

38. Kelembagaan STPP di Indonesia, 2003 ... 205

39. Kelembagaan SPP di Indonesia, 2003 ... 206

40. Kelembagaan BPTP di Indonesia, 2003 ... 207

41. Kelembagaan BPSBTPH di Indonesia, 2003 ... 208

42. Kelembagaan BPTPH di Indonesia, 2003 ... 209

43. Kelembagaan LKM di Indonesia, 2005 ... 210

44. Rumah Tangga Kuasa Usaha Pertanian (KUP) di Indonesia, 2003 ... 211

45. Kelompok Taruna Tani di Indonesia, 2002 ... 212

46. Kelompok Wanita Tani di Indonesia, 2002 ... 213

47. Jumlah Mesin Pengolah Lahan Jenis Traktor Roda Dua dan Roda Empat di Indonesia, 2002 ... 214

48. Jumlah Alat Penanaman di Indonesia, 2000 dan 2002 ... 214

49. Jumlah Alat Pemupukan Urea Tablet (Applicator) di Indonesia, 2002 ... 214

50. Perkembangan Jumlah Pompa Air di Indonesia, 2000 dan 2002 ... 215


(22)

xvi

Emposan Tikus (Fumigator) di Indonesia, 2002 ... 215 53. Jumlah Mesin Perontok Padi Jenis Pedal dan Power

Thresher di Indonesia, 2002 ... 216 54. Jumlah Mesin Pengering Gabah (Dryer) di Indonesia, 2000

dan 2002 ... 216 55. Jumlah Mesin Pembersih Gabah (Cleaner) di Indonesia, 2002 ... 216 56. Jumlah Mesin Penyosoh Beras (Polisher) di Indonesia, 2000

dan 2002 ... 216 57. Jumlah Mesin Penggiling Padi Besar dan Kecil di Indonesia,

2002 ... 217 58. Jumlah Mesin Rice Milling Unit (RMU) di Indonesia, 2000 dan

2002 ... 217 59. Jumlah Mesin Pemecah Gabah (Husker) di Indonesia, 2002 ... 217 60. Neraca Ketersediaan dan Konsumsi Beras di Indonesia, 2003 ... 217 61. Produksi Padi Berdasarkan Pulau di Indonesia, 2004-2005 ... 218 62. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Pulau di Indonesia (1980,

1990 dan 2000) ... 218 63. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pulau di Indonesia (000 jiwa),

1990 - 2003 ... 219 64. Analisis Kebutuhan dan Identifikasi Masalah Padi Lahan

Sawah Pasang Surut di Desa Puntik Dalam dan Desa Karang Tengah, Kec. Mondastana, Kab. Barito Kuala, Kalimantan

Selatan, 2005 ... 220 65. Analisis Kebutuhan dan Identifikasi Masalah Padi Lahan

Sawah Semi Intensif di Kampung Timbulun dan Pasir Nan

Panjang Nagari Surantih, Sumatera Barat, 2005 ... 221 66. Analisis Kebutuhan dan Identifikasi Masalah Padi Lahan

Sawah Semi Intensif di Desa Torue Kec. Sausu Kab. Parigi

Mourong, Sulawesi Tengah, 2005 ... 222 67. Analisis Kebutuhan dan Identifikasi Masalah Padi Lahan

Sawah Irigasi di Desa Siparepare, Kec. Air Putih, Kab Asahan,

Sumatera Utara, 2006 ... 223 68. Analisis Kebutuhan dan Identifikasi Masalah Padi Lahan

Sawah Beririgasi Teknis di Desa Kertosari, Kec. Purwodadi,

Kab. Musi Rawas, Sumatera Selatan, 2005 ... 224 69. Analisis Kebutuhan dan Identifikasi Masalah Padi Lahan

Pasang Surut di Desa Sungai Itik, Kec. Sungai Kakap, Kab.


(23)

xvii

71. Pakar di Berbagai Bidang Yang Menjadi Responden ... 227 72. Lokasi dan Peserta Kegiatan PRA Untuk Analisis Kebutuhan

dan Identifikasi Masalah di Beberapa Wilayah PRIMATANI

Padi di Indonesia, 2005 - 2006 ... 228 73. Gambar Hasil Analisis Monte Carlo Multidimensi Nasional dan

Regional ... 231 74. Gambar Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) ... 232 75. Gambar Dosis Pemupukan Berimbang Dengan Perangkat Uji


(24)

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang esensial bagi manusia yang perlu dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan lainnya dalam mempertahankan hidup dan kehidupan. Ketahanan pangan dalam UUD no 7 Tahun 1996 diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001). Sejarah telah menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional secara keseluruhan. Kelemahan dalam mewujudkan ketahanan pangan akan menggoyahkan sendi-sendi ketahanan Nasional, oleh karena itu pembangunan sistem ketahanan pangan nasional yang mantap menjadi syarat mutlak bagi pembangunan Nasional.

Di Indonesia, masalah pangan dan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari komoditas beras, mengingat beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi konsumsi beras yang tinggi yaitu sebesar 97.07 persen (Susenas, 1999). Beras merupakan pangan pokok yang mempunyai peran dalam memenuhi hingga sekitar 45 persen dari total food intake atau sekitar 80 persen sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi masyarakat, hal tersebut hampir merata di seluruh Indonesia.

Menyadari bahwa mencukupi kebutuhan pangan utama merupakan langkah awal strategis bagi pembangunan bangsa, maka sejak awal kemerdekaan telah dicanangkan berbagai program dan kebijakan mengenai perberasan nasional. Pada awal kemerdekaan, beras serta tanaman pangan umumnya berperan dominan dalam perekonomian, baik dari segi produksi maupun konsumsi atau pengeluaran rumah tangga. Sudah lebih dari tiga dasawarsa beras ditempatkan sebagai komoditas utama dalam perekonomian Indonesia. Kekurangan beras misalnya masih dianggap sebagai ancaman terhadap kestabilan ekonomi dan politik (Baharsyah et al., 1998). Selanjutnya Timmer (1996) menyatakan perekonomian beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1960. Dengan pertimbangan tersebut, kebijakan pembangunan pertanian selalu didominasi oleh kebijakan perberasan (Kasryno dan Pasandaran, 2004).


(25)

Di Indonesia, padi diusahakan oleh sekitar 18 juta petani dan menyumbang 66 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tanaman pangan. Selain itu, usahatani padi memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih 21 juta rumah tangga dengan sumbangan pendapatan sebesar 25-35 persen (Departemen Pertanian, 2005a). Sawit (2000) menyatakan bahwa beras sebaiknya dipandang sebagai barang yang tidak saja berfungsi sebagai barang privat tetapi juga barang publik karena banyak kepentingan publik dihasilkan oleh beras, oleh sebab itu beras tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian ke depan.

Masyarakat yang mempunyai pola konsumsi pangan pokok yang beragam lebih mudah menyesuaikan atau menerima pola makan baru dibandingkan dengan masyarakat yang pangan pokoknya hanya beras. Menurut Wirakartakusumah dan Soeharjo dalam Kasryno dan Pasandaran (2004) kondisi lingkungan terutama sosial budaya mempunyai pengaruh besar terhadap pola makan. Erwidodo et al. (1996) menunjukkan terdapat hubungan substitusi antara beras dan ubikayu. Namun karena beras merupakan sumber karbohidrat utama, maka daya subsitusi beras terhadap ubikayu, jagung dan mi lebih tinggi daripada daya subsitusi jagung, ubikayu, dan mi terhadap beras.

Siahaan (2006) menyatakan secara sosial budaya bagi masyarakat Indonesia “orang belum merasa telah makan” kalau belum menyentuh nasi (beras) begitupula secara politik. Pada jaman orde baru “politik beras” dijadikan kriteria keberhasilan pembangunan. Suatu wilayah atau daerah tertentu dikatakan sudah tersentuh pembangunan apabila masyarakatnya sudah mengkonsumsi beras. Arifin (2001) menegaskan hingga saat ini secara nutrisi, ekonomi, sosial dan budaya beras tetap merupakan pangan terpenting bagi masyarakat Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam mewujudkan ketersediaan beras terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan beras yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan beras meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan beras secara nasional meningkat dalam jumlah, mutu dan keragaman. Sementara itu, kapasitas


(26)

produksi beras nasional pertumbuhannya lambat atau dapat dikatakan stagnan. Apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor beras akan membesar, yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan ketergantungan pada beras impor yang tinggi sehingga menguras devisa negara.

Terpenuhinya kebutuhan beras dihadapkan pula pada penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam, seperti sumberdaya lahan dan air. Dalam periode 1983 sampai 1993, luas lahan pertanian mengalami penurunan dari 16.7 juta hektar menjadi 15.6 juta hektar, atau sekitar 110 ribu hektar per tahun (Departemen Pertanian, 2002b). Penurunan tersebut yang terjadi di Jawa, mempunyai implikasi serius dalam produksi komoditas padi. Konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian ke industri dan perumahan juga akan diikuti oleh penurunan kualitas lahan dan air akibat pola pemanfaatan lahan dan perkembangan sektor non pertanian yang sering kurang memperhatikan aspek lingkungan.

Tekanan kepada sumberdaya alam tanpa diikuti perubahan struktur ekonomi yang memadai, akan menjadi ancaman terhadap neraca ketersediaan beras, baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro, degradasi lahan dan air akan menyebabkan keterbatasan kemampuan pemanfaatan sumberdaya alam secara maksimal. Hal ini akan mengakibatkan produktivitas usahatani padi menurun dan secara makro akan semakin bertambahnya penduduk miskin atau adanya kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah ataupun yang tidak mempunyai akses atas pangan (beras), sehingga mereka mengalami kerawanan pangan .

Pada sisi lain, kemiskinan akan menimbulkan tekanan yang semakin besar terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali. Keadaan lingkaran ini perlu diputus agar neraca ketersediaan beras dapat diwujudkan secara mantap dan berkelanjutan di masa depan, oleh karena itu kebijakan pangan Indonesia masih harus menempatkan kebijakan perberasan (Rice Policy) sebagai salah satu pilar utamanya.

Sejak tahun 1997 politik perberasan Indonesia telah menganut mekanisme pasar. Sebetulnya terlalu riskan untuk menggantungkan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang jumlahnya sekitar 210 juta jiwa sepenuhnya pada mekanisme pasar, yang secara empiris menunjukkan adanya fluktuasi harga akibat dari permintaan dan penawaran. Kebutuhan beras secara nasional sekitar 30 juta ton beras yang hampir mencapai 125 persen dari beras yang


(27)

diperdagangkan di pasar dunia (Sutomo, 2001). Walaupun pemerintah memiliki cadangan dana, belum tentu dapat menjamin terciptanya ketahanan pangan karena ada kemungkinan beras tidak tersedia di pasar, baik dari segi jumlah maupun ketepatan saat diperlukan. Hal ini ditegaskan kembali oleh Nainggolan (2006) yang menyatakan (1) bahwa resiko besar bila urusan pangan (beras) diserahkan pada mekanisme pasar karena gejolak harga internasional akan mudah ditransmisikan ke dalam negeri melalui variabel kurs mengambang yang sampai saat ini fluktuatif yang akan mengakibatkan petani menghadapi resiko ketidakpastian harga, (2) untuk negara besar seperti Indonesia sebaiknya tidak tergantung pada pasar beras Internasional karena pasar beras Internasional sangat tipis, volume beras yang diperdagangkan di pasar beras global hanya 5 persen dari total produksi global. Pemenuhan kebutuhan beras nasional diharapkan dapat dipenuhi dari dalam negeri. Hal ini sejalan dengan GBHN 1999-2004 yang mengisyaratkan bahwa kebutuhan pangan sedapat mungkin harus dipenuhi dari produksi dalam negeri dengan mengandalkan keunggulan sumberdaya, kelembagaan dan budaya di masing-masing daerah.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar dan terus bertambah dengan pertumbuhan sebesar 1.35 persen per tahun mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan pokok yaitu beras merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tekanan penduduk akan menuntut kebutuhan beras dan kebutuhan aktivitas ekonomi yang mampu memberikan kesempatan kerja, serta menuntut kebutuhan akan lahan untuk industri, perumahan, jalan dan kebutuhan fasilitas umum, sehingga tekanan penduduk ini akan meningkatkan kompetisi pemanfaatan sumberdaya terutama lahan dan air.

Keberhasilan Indonesia melaksanakan intensifikasi atau panca usahatani dan Bimas telah berhasil meningkatkan produksi dan berhasil mencapai swasembada pada tahun 1984. Keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras yang pernah dicapai pada tahun 1984 merupakan tantangan bagi pertanian Indonesia yang tergantung pada banyak hal yaitu pada kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam dan kelembagaan yang terkait (termasuk pengaturan jumlah penduduk) serta tergantung pada kemampuan petani dalam menerapkan teknologi produksi dan juga kepada masyarakat dalam pola konsumsi.


(28)

Terpenuhinya kebutuhan beras di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dalam penyediaan dan permintaan beras, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Karena beras merupakan produk yang bersifat strategis, tingkah laku penyediaan, konsumsi beras nasional dan neraca ketersediaan beras nasional sangat perlu diketahui untuk keperluan perencanaan. Informasi ini diharapkan dapat dipakai oleh perencana atau pengambil keputusan dalam melakukan prioritas pelaksanaan peningkatan program ketahanan pangan, khususnya pangan pokok yaitu beras.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membangun model neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji keragaan penyediaan dan kebutuhan beras di Indonesia.

2. Menilai indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras tingkat nasional dan regional.

3. Menganalisis model neraca ketersediaan beras nasional yang berkelanjutan pada masa yang akan datang dengan pendekatan sistem dinamis.

4. Merumuskan strategi dan alternatif kebijakan dalam neraca ketersediaan beras nasional yang berkelanjutan.

1.4. Kerangka Pemikiran

Beras merupakan komoditi yang penting karena merupakan kebutuhan pangan pokok manusia yang hakiki yang setiap saat harus dapat dipenuhi. Kebutuhan pangan pokok perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Sasaran utama pembangunan pertanian adalah memantapkan neraca ketersediaan beras dan pengembangan agribisnis padi agar akses pangan pokok masyarakat terjamin untuk eksistensi hidup sehat dan produktif.

Hasil proyeksi penawaran dan permintaan beras menunjukkan bahwa pada tahun 2010 akan terjadi defisit pasokan beras sebanyak 12 juta ton per tahun (Swastika et al., 2000). Keadaan ini kemungkinan disebabkan oleh adanya


(29)

konversi lahan produktif menjadi daerah permukiman dan industri akibatnya pertumbuhan produksi beras tidak dapat lagi mengejar pertumbuhan kebutuhannya, yang terus meningkat sekaligus akibat perkembangan penduduk dan juga meluasnya kecenderungan untuk menjadikan beras sebagai bahan pangan utama menggantikan bahan lain seperti sagu, ketela dan jagung.

Kegagalan panen yang akhir-akhir ini terjadi di banyak wilayah Indonesia, sebagai akibat dari El-Nino dan La-Nina, semakin memperburuk keadaan. Sejumlah besar beras akhirnya diimpor. Krisis pangan yang terjadi dan diproyeksikan semakin buruk di masa datang harus menyadarkan kepada kita bahwa kebijakan dalam menciptakan sistem ketahanan pangan yang tangguh dan berkesinambungan (sustainable food security) serta penataan kembali terhadap kebijakan yang berlaku sudah sangat diperlukan.

Untuk mencapai neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dapat memberikan pemecahan masalah terhadap kekurangan penyediaan beras. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (Brundtland Report, 1987 dalam Mitchell et al., 2000 dan Gallopin, 2003). Inti dari konsep ini adalah bahwa tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait dalam proses pembangunan, sehingga tidak akan terjadi “trade off” antar tujuan (Munasinghe, 1993a).

Dalam perkembangannya dimensi yang dipakai untuk menilai pembangunan yang berkelanjutan berkembang tidak hanya tiga dimensi (ekonomi, ekologi dan sosial budaya). Etkin (1992) dalam Gallopin (2003) mengukur pembangunan keberlanjutan melalui keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial budaya dan etika, sedangkan Dalal-Clayton and Bass (2002) menilai pembangunan berkelanjutan melalui keberlanjutan ekonomi, ekologi, sosial budaya, kelembagaan, politik dan keamanan. Konsep atau literatur lain menambahkan dimensi teknologi ke dalam kriteria pembangunan berkelanjutan, seperti yang dilakukan di negara Thailand. Pendekatan pembangunan berkelanjutan merefleksikan keragaman yang dihadapi oleh masing-masing negara/daerah atau bahkan sistem/objek yang dikaji. Dalam penelitian ini dipakai lima dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Hal ini dikaitkan dengan objek penelitian beras yang terkait dengan kelima


(30)

Penyediaan ( supply)

Kebutuhan ( demand)

dimensi tersebut. Masing-masing dimensi diwakili oleh peubah-peubah seperti yang terlihat pada Gambar 1. Indikator keberlanjutan ketersediaan beras masing-masing dimensi digunakan konsep dari berbagai sumber yaitu dari Dale dan Beyeler (2001), FAO (2000), Smith dan Mc Donald (1998) serta Chen (2000).

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “situasi di mana setiap orang pada setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat“. Ketahanan pangan berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.Hal penting dari kedua konsep di atas adalah ketersediaan pangan sepanjang waktu, sehingga dalam pembahasan ketahanan pangan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai pola

NERACA KETERSEDIAAN BERAS

YANG BERKELANJUTAN

Ekologi

Ekonomi

Sosbud

Teknologi Kelembagaan

Harga Input/output

Modal

Pendapatan Lahan

Air

Iklim HPT

Pascapanen

Irigasi/Pompa Budidaya

Kelompok Tani/ Lemb. Masyarakat LKM

Lembaga Penyuluhan/ Lembaga

Konsumsi per Kapita Jumlah Penduduk

Pengetahuan/ Pendidikan

Akses Penghubung


(31)

penyediaan (penawaran) dan kebutuhan (permintaan) di suatu daerah serta sistem komunitas yang memanfaatkan sumber pangan tersebut.

Hal mendasar yang perlu dipertimbangkan adalah pendekatan untuk membedakan terwujudnya ketahanan pangan atau ketidaktahanan pangan pada tingkat yang berbeda seperti pada tingkat nasional, rumah tangga dan individu. Pendekatan untuk melihat ketahanan pangan yang dikemukakan oleh FAO dapat dilihat pada Gambar 2.

KETAHANAN PANGAN KETIDAKTAHANAN PANGAN

Penawaran > Permintaan Penawaran < Permintaan

Konsumsi > Kebutuhan Individu Konsumsi < Kebutuhan

Sumber: FAO (1997)

Gambar 2. Interaksi antara Ketahanan Pangan atau Ketidaktahanan Pangan pada Tingkat Nasional, Rumah Tangga dan Individu

Pada Gambar 2 terlihat bahwa pada tingkat rumah tangga, ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana hak atas pangan atau permintaan terhadap pangan lebih besar dari kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud merupakan kebutuhan agregat dari semua individu yang ada pada rumah tangga tersebut. Ketahanan pangan individu merupakan kondisi di mana tingkat konsumsi lebih besar dari kebutuhan yang diperlukan. Pada tingkat nasional, ketahanan pangan dicerminkan dari keseimbangan penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang layak, ketahanan pangan terjadi bila penawaran (penyediaan) lebih besar dibandingkan permintaan (kebutuhan) atau

Hubungan antar Rumah Tangga

Nasional

Pasar Distribusi Pemerintah

Rumah Tangga


(32)

neraca pangan positif (ketersediaan pangan positif) dan sebaliknya ketidaktahanan pangan terjadi bila penawaran lebih kecil dari permintaan atau neraca pangan negatif (ketersediaan pangan negatif). Oleh karena itu sejalan dengan konsep ketahanan pangan nasional yang dikemukakan oleh FAO maka dalam penelitian ini juga untuk melihat neraca ketersediaan beras secara nasional adalah dengan pendekatan neraca beras seperti yang dikemukakan di atas.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat berupa:

1. Alat penunjang keputusan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menetapkan kebijakan dalam neraca ketersediaan beras nasional dan regional yang berkelanjutan.

2. Alat penunjang keputusan kebijakan taktis operasional bagi pelaku usaha yang bergerak dalam perberasan (petani, penggilingan, distributor, importir dan pedagang).

3. Kontribusi pemikiran untuk aplikasi penelitian sistem untuk perumusan strategi dan alternatif kebijakan nasional.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

1. Kajian penelitian menitikberatkan pada neraca ketersediaan hanya pada pangan pokok yaitu beras karena beras merupakan pangan pokok yang dibutuhkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia.

2. Penelitian indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras dianalisis pada tingkat nasional dan regional. Di tingkat regional atau beberapa wilayah kepulauan adalah Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah lainnya (Bali, NTB, NTT, Maluku serta Irian) dan dianalisis dengan cakupan 5 dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi. Karena keterbatasan data dan informasi yang akurat mengenai politik dan keamanan, maka dimensi politik dan keamanan tidak dimasukkan dalam analisis.

3. Dalam model sistem dinamis, cakupan penelitian neraca ketersediaan beras hanya dilakukan pada tingkat nasional dengan waktu analisis 2005 sampai dengan 2015. Penentuan tahun 2015 ini disesuaikan dengan tujuan


(33)

Milenium Development Goal (MDG) yang menginginkan kelaparan dan kemiskinan dikurangi.

1.7. Hipotesis Penelitian:

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Indeks dan status keberlanjutan multidimensi neraca ketersediaan beras berbeda antar wilayah di Indonesia juga berbeda antar regional dan nasional.

2. Peubah yang dominan mempengaruhi subsistem penyediaan beras adalah luas lahan dan produktivitas.

3. Peubah yang dominan atau sensitif mempengaruhi dalam kebutuhan (konsumsi) beras adalah pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi per kapita.

4. Tanpa perubahan kebijakan (business as usual) ketersediaan atau neraca beras akan mengalami defisit di masa datang atau tidak berkelanjutan.

1.8. Kebaruan Penelitian

Permasalahan neraca ketersediaan beras merupakan masalah multidimensi dan holistik. Neraca ketersediaan beras merupakan hasil kinerja dari dua sisi yaitu penyediaan beras dan kebutuhan beras. Banyak penelitian yang telah dilakukan namun umumnya penelitian tersebut lebih menekankan pada salah satu sisi tertentu dari sisi penyediaan atau sisi kebutuhan beras saja.

Penelitian neraca ketersediaan beras ini selain menggunakan kedua sisi, juga menggunakan pendekatan multidimensi untuk melihat keberlanjutan dengan mengevaluasi keberlanjutan neraca ketersediaan beras menurut wilayah atau secara spasial (dengan membandingkan nilai-nilai indeks keberlanjutan neraca ketersediaan beras dari satu wilayah ke wilayah lain). Penelitian indeks dan status keberlanjutan neraca ketersediaan beras di Indonesia ini belum pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Dalam penelitian ini juga dirancang model neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan secara temporal (membandingkan nilai neraca ketersediaan beras nasional antar waktu) dengan mengintegrasikan peubah lingkungan.


(34)

1.9. Definisi Operasional

Definisi operasional diharapkan dapat menjelaskan kaidah-kaidah yang terkandung pada penelitian terutama judul penelitian sehingga memberikan pemahaman yang sama di antara pembaca hasil penelitian.

1. Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. 2. Neraca ketersediaan beras dalam penelitian ini adalah neraca beras.

Neraca ketersediaan beras difokuskan pada kinerja dari penyediaan (supply) dan kebutuhan (demand). Neraca ketersediaan beras yang diinginkan adalah apabila neraca positif atau penyediaan dapat memenuhi kebutuhan.

3. Berkelanjutan dalam penelitian ini mencerminkan neraca ketersediaan beras yang tersedia secara berkelanjutan atau dapat memenuhi kebutuhan untuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang.

4. Ketahanan pangan dalam penelitian ini diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan (terutama pangan pokok) bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.


(35)

2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistem

Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977), sedangkan Marimin (2004) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Selanjutnya Chechland (1981) menyatakan bahwa sistem merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas: komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah merupakan bagian-bagian sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengasumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut.

Menurut Chechland (1981) ada beberapa persyaratan dalam berpikir sistem (System Thinking) diantaranya adalah (1) Holistik,System thinkers harus berpikir holistik tidak reduksionis. Yang dimaksud holistik di sini adalah tidak mereduksionis permasalahan kepada bagian yang lebih kecil (segmentasi) atau tidak hanya berpikir secara parsial dari sudut pandang mono disiplin tapi harus interdisiplin. Menurut Muhammadi et al. (2001) untuk berfikir sistem (System Thinkers) syaratnya adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (Systemic Approach). Kejadian apapun baik fisik maupun non fisik dilihat secara keseluruhan sebagai interaksi antar unsur sistem dalam batas lingkungan tertentu. (2) Sibernetik (Goal Oriented), System thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented). Jadi mulai dengan tujuannya apa, kemudian identifikasi masalah yaitu gap antara tujuan (kondisi informatif) dengan keadaan aktual baru problem solving. (3) Efektif,


(36)

dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen dimana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien. Jadi ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan lebih baik lagi bila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien.

2.1.2. Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Dengan cara ini dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau sistem. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin, 2004).

Saat ini dalam dunia nyata banyak permasalahan yang kompleks dan beragam sehingga penyelesaiannya tidak mungkin dapat berhasil diselesaikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu diperlukan pendekatan sistem (System Approach). Dalam teori sistem dinyatakan bahwa kesisteman adalah suatu meta disiplin, dimana proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh dan Carnavayal dalam Eriyatno, 1999).

Telah disadari bahwa keutamaan pendekatan sistem adalah dapat menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sulit diselesaikan dengan pendekatan lainnya. Seperti dinyatakan oleh Chechland (1981) bahwa System Thinking muncul akibat dari reaksi terhadap ketidakmampuan Natural Science dalam memecahkan permasalahan dunia nyata yang kompleks. Selanjutnya Manetsch dan Park (1977) berpendapat bahwa untuk permasalahan multidisiplin yang komplek pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan baik. Persoalan yang diselesaikan dengan pendekatan sistem umumnya persoalan yang memenuhi karakteristik: (1) Kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, persoalan menyangkut multidisiplin dan multifaktor. (2) Dinamis, dalam arti, faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada


(37)

pendugaan ke masa depan, (3) Stokastik, yaitu diperlukannya fungsi peluang (probabilistik) dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.

Menurut Eriyatno (1999), dalam metodologi sistem ada enam tahap analisis sebelum tahap sintesa atau rekayasa, yaitu: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Tahap ke satu sampai dengan ke enam umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal sebagai analisis sistem.

2.1.3.Model

Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Manetsch dan Park, 1977). Menurut Eriyatno (1999) model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan (Tasrif, 2004b). Model dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ekonik (Muhammadi et al., 2001). Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik, statistik atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model kualitatif tidak digunakan rumus matematik, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Menurut Manetsch dan Park (1977) model diklasifikasikan menjadi dua yaitu model makro dan model mikro, yang ada kaitannya dengan derajad agregasinya.

Membangun model umum (generic model) dimulai dengan menyusun elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis. Kemudian mengidentifikasi gejala sampai menghasilkan sruktur permasalahan untuk analisis kebijakan. Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa untuk menghasilkan model yang bersifat sistemik ada beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu: (1) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata, (2) identifikasi kejadian yang diinginkan, (3) identifikasi kesenjangan antara


(38)

kenyataan dengan keinginan, (4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan dan (5) analisis kebijakan. Dalam simulasi model setiap gejala dalam proses dapat distrukturkan ke dalam kategori atau kombinasi kategori tertentu seperti level, rate, auxilliary, constanta, flow, serta fungsi fungsi tertentu seperti delay, step, pulse, graph, if , table dan timecycle.

Perilaku dinamis dalam model ini dapat dikenali dari hasil simulasi model. Simulasi model itu sendiri terdiri dari beberapa tahap yaitu: penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Validasi hasil simulasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang. Validasi juga memberikan keyakinan sejauh mana model dapat dipertanggung jawabkan dalam analisis kebijakan untuk pemecahan masalah.

2.2. Ketahanan Pangan

Konsep ketahanan pangan yang dikemukakan para ilmuwan atau lembaga internasional bervariasi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “situasi dimana setiap orang pada setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat“. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Riely et al. (1995) dalam Dharmawan dan Kinseng (2006) dimana ketahanan pangan dirumuskan sebagai “access for all people at all times to enough food for an active and healty life”. Hal penting dari kedua konsep di atas adalah ketersediaan pangan sepanjang waktu, sehingga dalam pembahasan ketahanan pangan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai pola produksi dan distribusi di suatu daerah serta sistem komunitas yang memanfaatkan sumber pangan tersebut.

Ketahanan pangan berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan diartikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,


(39)

aman, merata dan terjangkau”. Pengertian mengenai ketahanan pangan di atas secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001): (a) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (b) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama, (c) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, (d) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Agak berbeda dengan pandangan di atas, Maxwell dan Frankenberger (1992) memberikan batasan ketahanan pangan dengan menggunakan tolok ukur dimensi spasial dan temporal sebagai faktor pembeda, yang dideskripsikan melalui dua situasi kerawanan pangan yaitu (1) kerawanan pangan kronis (Chronic food in security: the inability of the people to meet food needs on going basis) dan (2) kerawanan pangan sementara atau transien (Transitory food insecurity: When the inability to meet food needs is temporary). Kerawanan pangan terjadi apabila rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya.

Kerawanan pangan kronis (terus menerus) biasanya sering terjadi pada kawasan yang kurang menguntungkan secara ekologis, kawasan terpencil atau terisolasi, kawasan yang ekologisnya rusak dan terancam, sehingga bencana kelaparan berlangsung secara berulang, biasanya kerawanan pangan seperti ini terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, keterisolasian, ketidak berdayaan dalam mengontrol sumberdaya dan mengakses sumber pangan. Kerawanan pangan yang terjadi terus menerus seperti ini akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan. Sedangkan kerawanan pangan sementara (transien) terbagi pada dua tipe yaitu (a) kerawanan pangan yang bersifat sementara, yang akan segera menghilang setelah faktor-faktor pengaruhnya dapat diatasi dan (b) kerawanan pangan yang bersifat siklikal, yang bergerak menguat dan melemah sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan faktor-faktor eksternal yang ada.


(40)

Konsep ketahanan pangan (food security) berkaitan dengan beberapa konsep turunannya yaitu kemandirian pangan (food resilience) dan kedaulatan pangan (food sovereignty). Dimana pengertian ke tiganya sering dipertukarkan dalam penggunaannya (Dharmawan dan Kinseng, 2006). Kemandirian pangan menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasional) untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar proporsi pangan dan bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan tersebut, maka semakin berkurang kemandiriannya dalam penyediaan pangan dan sebaliknya. Kemandirian pangan yang rendah juga ditunjukan oleh lemahnya kapasitas kawasan (nasional) untuk menyediakan pangan melalui usaha-usaha mandiri tanpa bantuan pihak lain. Sedangkan kedaulatan pangan seperti pada kemandirian pangan tetapi dengan mengaitkan pada penguasaan atas sumber pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi penguasaan sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu dan keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, semakin tinggi derajat kedaulatan pangannya. Sebuah sistem pangan dari suatu kawasan yang berdaulat berarti sistem tersebut telah melalui tahapan kemandirian pangan.

Saad (1999) menyatakan indikator ketahanan pangan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) akses pangan (food access) dan pemanfaatan pangan (food utilization) yang saling berkaitan membentuk suatu sistem (Tabel 1). Ketersediaan pangan tergantung pada sumberdaya (alam, manusia, fisik) dan produksi (usahatani dan non usahatani). Aksesibilitas pangan tergantung pada pendapatan (usahatani dan non usahatani), produksi dan konsumsi. Sedangkan pemanfaatan pangan sangat tergantung pada nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh anak maupun dewasa. Ketahanan pangan di suatu daerah atau wilayah dapat dilihat dari berbagai indikator, indikator ketahanan pangan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.


(41)

Tabel 1. Indikator Ketahanan Pangan

Indikator Kategori

Sumber : Saad (1999) adaptasi dari Webb, Richardson, Brown (1993) IFRRI and Chung, Haddad, Ramakrisma and Relly (1997).

Peningkatan ketahanan pangan seperti yang tertulis di dalam GBHN 1999-2004 sebaiknya dilaksanakan dengan berbasis sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan para pelaku usaha skala kecil, dengan pengaturan yang didasari Undang-Undang. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebutuhan pangan sejauh mungkin harus dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, dengan mengandalkan keunggulan sumberdaya, kelembagaan, budaya, termasuk kebiasaan makan, yang beragam di masing-masing daerah.

Selanjutnya ditambahkan pentingnya aspek pengembangan usaha bisnis pangan dan pengembangan kelembagaan pangan yang dapat menjamin keanekaragaman produksi, penyediaan dan konsumsi pangan serta menjamin penyediaan gizi bagi masyarakat.

Sumberdaya - Alam :

Curah hujan Kualitas tanah Ketersediaan air Sumberdaya hutan Aksesibilitas Ikan

- Fisik :

Infra struktur Kepemilikan hewan Kepemilikan alat pertanian Kepemilikan lahan Aset fisik lainnya

- Manusia : Pendidikan Tingkat buta huruf Rasio

ketergantungan Anggota RT Umur anggota RT Gender of house hold

Produksi

Total areal tanam Areal irigasi Areal yang belum ditanami Aksesibilitas pada penggunaan input Produktivitas tanaman semusim Crop diversity Produksi Jumlah

pendapatan di luar usahatani

Cottage industry production Gender division of labour

Pendapatan

Total pendapatan Pendapatan dari usahatani (tanaman dan ternak) Upah tenaga kerja Pendapatan Megrasi Pasar

Konsumsi

Pengeluaran total Harga pangan Harga non pangan Frekuensi makan Dietary intake Nutrisi Tingkat Mortalitas Tingkat Morbedetas Tingkat kesuburan Akses fasilitas kesehatan Akses pada sanitasi Akses pada sanitasi yang memadai

Ketersediaan Pangan Aksesbilitas Pangan Pemanfataan Pangan

Sumberdaya : • Alam

• Fisik

• Manusia

Produksi : • Usahatani

•Non Usahatani

Pendapatan : • Usahatani

• Non Usahatani

Konsumsi : • Pangan

•Non Pangan

Nutrisi : • Anak-anak


(42)

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan mengandung makna makro maupun mikro. Makna makro terkait dengan penyediaan pangan di seluruh wilayah setiap saat, sedangkan makna mikro terkait dengan kemampuan rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan dan gizi sesuai kebutuhan dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Sehingga ketahanan pangan sangat terkait pada individu, keluarga, masyarakat, wilayah hingga tingkat nasional.

Komitmen nasional maupun dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan didasarkan atas peran strategis perwujudan ketahanan pangan dalam: (1) memenuhi salah satu hak azasi manusia; (2) membangun kualitas sumber daya manusia dan (3) membangun salah satu pilar bagi ketahanan nasional.

Ketahanan pangan juga merupakan salah satu pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya karena tidak satupun negara dapat membangun perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan masalah pangannya. Ketidaktahanan atau kerawanan pangan sangat berpotensi memicu kerawanan sosial, politik maupun keamanan. Kondisi demikian tidak menunjang pelaksanaan program pembangunan secara keseluruhan, yang berarti ketahanan nasional tidak mungkin terwujud

2.3. Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an d1970-an populer sejak pertengah1970-an dekade 1980-1970-an. Secara teoritis konsep ini muncul sebagai kritik terhadap paradigma ekonomi maupun non ekonomi yang hanya memiliki satu tolok ukur, yaitu pertumbuhan yang biasanya menggunakan “Gross National Product“ (GNP) sebagai parameter. Akibatnya, para perencana dan pelaku pembangunan cenderung mengabaikan tujuan sebenarnya dari upaya pembangunan, yaitu pemberdayaan dan peningkatkan kualitas kehidupan masyarakat luas, terutama masyarakat terpinggirkan. Orientasi pembangunan menjadi bias dengan hanya mengejar laju pertumbuhan GNP yang tinggi, dengan mengabaikan aspek distribusi dari hasil pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat. Orientasi pertumbuhan ekonomi dalam prakteknya telah mengakibatkan akumulasi hasil pembangunan hanya pada sekelompok kecil orang, dan memarginalkan masyarakat secara luas.


(43)

Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui Bruntland Commission Report yang berjudul “Our Common Future“ yang disiapkan oleh World Comission on Environment and Development (WCED, 1987 dalam Mitchell et al., 2000). Konsep pembangunan berkelanjutan dijelaskan:

Sustainable Development is defined as development that meet the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own needs”.

Dalam perkembangannya, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai upaya peningkatan untuk kehidupan manusia namun masih dalam kemampuan daya dukung ekosistem. Munasinghe (1993a) secara diagramatis menggambarkan pembangunan berkelanjutan sebagai interaksi antara tiga dimensi, yaitu ekologi, sosial dan ekonomi, seperti terlihat dalam Gambar 3. Pembangunan berkelanjutan mengarus tengahkan ketiga alur keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi secara serentak dalam alur lingkar pembangunan sehingga terjadilah hubungan interaksi antara pembangunan ekonomi, sosial dan ekologi (lingkungan). Keberlanjutan ekonomi di sini berkaitan dengan efisiensi, pertumbuhan dan keuntungan. Keberlanjutan sosial terkait dengan keadilan, pemerataan, stabilitas sosial, partisipasi serta preservasi budaya, sedangkan keberlanjutan ekologi berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya agar lestari (konservasi alam), daya lentur ekosistem, keanekaragaman hayati dan kesehatan lingkungan.

Gambar 3. Dimensi Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan Berkelanjutan

Sosial Ekonomi


(44)

Menurut Undang Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 tahun 1997 pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan kesejahteraan dan mutu hidup masa kini dan generasi masa depan. Inti dari konsep ini adalah bahwa tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait dalam proses pembangunan. Bila tidak akan terjadi “trade off” antar tujuan. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan sangat bervariasi, merefleksikan keragaman yang dihadapi oleh masing-masing negara/daerah bahkan dunia seperti yang disampaikan oleh Dalay-Clayton and Bass (2002) dalam Gambar 4 bahwa pembangunan berkelanjutan akan berbeda antara lokal, nasional dan global tergantung kepada masing-masing tujuan yang diinginkan dan keadaan implementasi di lapangan.

Gambar 4: Sistem Pembangunan Berkelanjutan (WSSD,2002) Sumber: Dalal-Clayton and Bass, 2002

Djajadiningrat, menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pencapaian keberlanjutan dari berbagai aspek yaitu keberlanjutan dimensi ekologis, ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan serta keamanan. Indikator dari masing masing aspek adalah sebagai berikut :

1. Keberlanjutan Ekologis: (a) memelihara integritas tatanan lingkungan (ekosistem) agar sistem penunjang kehidupan tetap terjamin. Sistem

Cultural Values Politics

Local National

Global

F : Keterkaitan penuh P : Keterkaitan parsial

Social objective

Economic objective

Environmental objective

P

P P

F

Peace and Security

I nstitutonal/ Administrative Arrangements


(45)

dimana produktivitas, adaptabilitas dan pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan tergantung pada keberlanjutannya, (b) Memelihara keanekaragaman hayati.

2. Keberlanjutan Ekonomi: Tiga elemen utama dalam keberlanjutan ekonomi yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan yang berkesinambungan dan peningkatan pemerataan serta distribusi kemakmuran.

3. Keberlanjutan Sosial: Ada 4 sasaran yaitu (a) Stabilitas Penduduk, (b)

Memenuhi kebutuhan dasar manusia, (c) Mempertahankan keaneka ragaman budaya (dengan menghargai sistem sosial budaya seluruh

bangsa), (d) Mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam mengambil keputusan.

4. Keberlanjutan Politik: (a) Respek pada “human right”, kebebasan individu dan sosial untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, sosial dan politik, (b) Demokrasi: memastikan adanya proses demokrasi yg transparan dan bertanggung jawab.

5. Keberlanjutan Pertahanan dan Keamanan: Keberlanjutan kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dari dalam atau luar yang dapat membahayakan integritas, identitas dan kelangsungan negara dan bangsa

Pembangunan berkelanjutan setidaknya membahas empat hal utama yaitu: (1) Upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan dan daya dukung ekosistem, (2) Upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan, (3) Upaya meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa yang akan datang dan (4) Upaya mempertemukan kebutuhan manusia secara antar generasi.

Pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya dapat diwujudkan melalui keterkaitan yang tepat antara sumberdaya alam, kondisi ekonomi, sosial dan budaya. Pemanfaatan sumberdaya alam dan kemampuan biosfer untuk mendukung kegiatan manusia sangat ditentukan oleh tingkat teknologi yang dikuasai dan yang diimplementasikan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan bukanlah situasi harmoni yang sifatnya tetap dan statis, melainkan merupakan suatu proses perubahan yang eksploitasi sumberdaya alamnya, arah investasinya, orientasi perkembangan teknologinya dan pengembangan


(1)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya


(2)

MODEL NERACA KETERSEDIAAN BERAS YANG BERKELANJUTAN

UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

RITA NURMALINA

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul : Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Nama : Rita Nurmalina

NRP : P 062020011

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (PSL)

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua

Dr.Ir.Hartrisari Hardjomidjojo,DEA. Dr.Ir.Ananto Kusuma Seta,MSc. Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam Dan Lingkungan

Dr.Ir.Surjono Hadi Sutjahjo,MS. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS.

Tanggal ujian : 27 Juni 2007 Tanggal lulus :


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 Juli 1955 sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak H. Noerwan Tjakradiwirja dan ibu Hj. Anni Singawinata.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Pengadilan I Bogor pada tahun 1967, kemudian melanjutkan sekolah pada SMP Negeri I Bogor dan lulus pada tahun 1970, selanjutnya masuk SMU Negeri II Bogor dan lulus pada tahun 1973. Pada tahun 1974 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pendidikan S1 di IPB berhasil diselesaikan pada tahun 1979.

Pada tahun 1979 - 1983 penulis bekerja di Pusat Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian sebagai peneliti. Pada tahun 1983 – 1986 penulis bekerja sebagai Supervisor pada D.H. Hill Library North Carolina State University Raleigh, Amerika Serikat. Sejak akhir tahun 1986 penulis memulai bekerja di Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB sebagai staf pengajar dan mendapat kesempatan kembali melanjutkan Studi S2 di Program Studi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pasca Sarjana, IPB dan lulus pada tahun 1991. Tahun 1995 penulis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi peneliti dan penyaji terbaik bidang Ilmu Ekonomi dan Sosial Ekonomi Pertanian tingkat Perguruan Tinggi se Indonesia. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan mendapat Beasiswa Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional.

Jenjang jabatan tenaga pengajar di Institut Pertanian Bogor dimulai sebagai Asisten Ahli Madya (IIIA) pada tahun 1989, Asisten Ahli (IIIB) pada tahun 1991, Lektor Muda (IIIC) pada tahun 1993, Lektor Madya (IIID) pada tahun 1996, Lektor (IVA) pada tahun 1999, dan Lektor Kepala (IVB) pada tahun 2006.

Penulis menikah dengan Dr. Ir. Achmad Suryana, M.S. Pada tahun 1980 dan dikaruniai 3 orang anak, Anggita Tresliyana Suryana S.P. lahir tahun 1981, Esty Asriyana Suryana S.P. lahir 1983 dan Muhammad Rizkimuluk Suryana lahir tahun 1993.


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul “Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional“. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Keberhasilan ini tentu saja tidak mungkin bila dilakukan seorang diri, begitu banyak pihak yang telah membantu. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, khususnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. dan Dr. Ir. Ananto Kusuma Seta, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dorongan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini, mulai dari penyusunan proposal sampai dengan penyelesaian disertasi ini.

2. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian pra kualifikasi (prelim), Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku dosen penguji pada ujian tertutup dan Dr. Ir. Drajat Martianto, M.S. serta Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian terbuka atas masukan dan saran kepada penulis yang sangat berguna bagi perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini.

3. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Dr. Ir. Etty Riani, M.S. selaku sekretaris program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB atas perhatian, bantuan dan motivasi yang diberikan selama menjalani pendidikan di PSL IPB. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana dan Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang S3 di IPB Bogor dengan didanai beasiswa BBPS.

4. Keluarga besar Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian terutama kepada Prof. Dr. Ir. Irsal Las, M.S. selaku Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan, Prof. Dr. Ir. Suyamto selaku Kepala


(6)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Dr. Ir. Hasil Sembiring selaku Kepala Balai Penelitian Padi, Dr. Ir. Trip Alihamsyah sebagai Kepala Pusat Mekanisasi Pertanian, Dr. Ir. Wisnu Broto selaku Kepala Balai Besar Pasca Panen, Badan Litbang Departemen Pertanian atas data, informasi, buku serta bahan bacaan yang telah banyak diberikan kepada penulis, juga atas waktu yang diberikan secara khusus untuk berdiskusi.

5. Dr. Achmad Fagi, Dr. Karim Makarim dari Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Dr. Ir. Adi Miharja, Dr. Ai dari Balai Penelitian Tanah, Dr. Ir. Handewi P.Salim, Ir. Mewa Ariani, M.S., Dr. Ir. Erna Lokollo dari Pusat Penelitian dan Kebijakan Sosial Ekonomi, Dr. Suismono, Ir. Agus Sumantri dari Balai Besar Pasca Panen dan Ir. Sudi Mardianto, M.S. dan Ir. Sumedi, M.S. dari Balai Pengembangan dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Litbang Departemen Pertanian atas data, informasi, buku dan bahan bacaan yang diberikan serta kesempatan diskusi yang sangat berguna.

6. Dr. Robert Zeigler dan Dr. Mahabub Hossain selaku Director General dan Head Social Sciences Division (SSD) dari Internasional Rice Research Institute (IRRI) atas informasi dan wawasan yang diberikan terutama mengenai sistem agribisnis padi secara global, khusus kepada Dr. Melissa Fitzgerald selaku Head Grain Quality, Nutrition dan Postharvest Center (GQNPC) IRRI, tour di laboratorium GQNPC IRRI yang moderen sangat mengesankan karena memberikan wawasan yang baru bagi penulis terutama mengenai grain quality beras.

7. Dr. Leocadio S. Sebastian selaku Executive Director, Dr. Rolando T.Cruz selaku Project Leader Favorable Environments dan Dr. Antonio Alfonso selaku Head Plant Breeding and Biotechnology Division serta Evangeline Sibayan selaku Head Rice Engineering and Mechanization Division dari The Philippine Rice Research Institute (PhilRice), Department of Agriculture Philippines yang telah memberikan banyak informasi dan wawasan kepada penulis dalam hal Environment Management System di berbagai subsistem pada sistem agribisnis padi/beras, terutama penerapan ISO 14001 pada pengusahaan benih padi hibrida.

8. Ir. Syafruddin M.S., Rizka Amalia S.P., Rahayu Utami S.TP. dan Bu Endang serta Mas Derajad atas bantuan dalam pengetikan, pengumpulan dan pengolahan data selama ini. Juga kepada temen-teman pada Program Studi