Karakteristik Bambu Lapis Menggunakan Anyaman Kajang dari Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae)

KARAKTERISTIK BAMBU LAPIS MENGGUNAKAN
ANYAMAN KAJANG DARI
BAMBU ANDONG (Gigantochloa pseudoarundinaceae)

EGA PUTRA PRAYOGA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Bambu
Lapis Menggunakan Anyaman Kajang dari Bambu Andong (Gigantochloa
pseudoarundinaceae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013
Ega Putra Prayoga
NIM E24090039

ABSTRAK
EGA PUTRA PRAYOGA. Karakteristik Bambu Lapis Menggunakan Anyaman Kajang
dari Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae). Dibimbing oleh MUH.
YUSRAM MASSIJAYA dan SUKMA SURYA KUSUMAH.
Produksi kayu dari hutan semakin menurun. Sementara itu kebutuhan bahan baku
kayu bagi industri pengolahan kayu dari waktu ke waktu menunjukkan kecenderungan
untuk terus meningkat. Sebagai konsekuensi terjadi penurunan pasokan kayu dan
meningkatnya harga bahan baku. Karenanya diperlukan suatu upaya untuk menghasilkan
bahan baku pengganti kayu yang lebih menjamin terpenuhinya bahan baku untuk industri
pengolahan hasil hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis perekat,
komposisi ukuran lebar dan tebal bilah bambu andong terhadap sifat fisis dan mekanis
bambu lapis anyaman. Bahan baku bambu yang digunakan dalam penelitian berbentuk
anyaman kajang dengan tebal bilah bambu 0.5 mm dan 1 mm serta lebar bilah 1cm dan 2

cm. Nilai keteguhan rekat (KR) dan keteguhan lentur (MOE) tidak memenuhi standar
SNI 01-5008.2-2000 dengan nilai masing-masing sebagai berikut kurang dari 7 kg/cm2
dan 80 000 kg/cm2. Sedangkan, nilai kadar air (KA) (320 kg/cm2) bambu lapis memenuhi standar SNI 01-5008.2-2000. Bambu lapis pada
semua dimensi tebal dan lebar dengan menggunakan jenis perekat epoxy lebih baik
dibandingkan jenis perekat PVAc dengan nilai kerusakan kayu berselang antara 20.10%35.58%. Bambu lapis yang perekat epoxy memiliki sifat fisis dan mekanis lebih baik
dibandingkan dengan bambu lapis yang lain.
Kata kunci : bambu andong, bambu lapis, epoxy dan PVAc
ABSTRACT
EGA PUTRA PRAYOGA. Characteristics of Plybamboo Using Anyaman Kajang from
Andong Bamboo (Gigantochloa pseudoarundinaceae). Supervised by MUH YUSRAM
MASSIJAYA and SUKMA SURYA KUSUMAH.
Wood production from forests is decreasing. In other side, the needs on wood as
raw material for wood processing industries indicate an inclination to increase. As a
consequence, wood supply is getting lower and the price of raw material is increasing.
Hence, an effort is needed to produce alternative materials as wood substitution to ensure
the sustainability of wood-based industries. The objective of this research was to analyze
the influence of adhesive types, composition of width and thickness of bamboo’s strip to
the physical and mechanical properties of ply bamboo. Bamboo was used in kajang
bamboo mate type with different thickness of 0.5 mm and 1 mm, and different width of 1
cm and 2 cm. The internal bonding and modulus of elasticity (MOE) were not in

accordance with SNI 01-5008.2-2000 with the values of less than 7 kg/cm2 dan 80 000
kg/cm2, respectively. Modulus of Rupture (MOR) and physical properties including
moisture content and density fulfilled the SNI 01-5008.2-2000 standard which were less
than 320 kg/cm2 for MOR and 14% for moisture content. Plybamboos in all combinations
of width and thickness using epoxy were better than plybamboo which used PVAc as
adhesive. The damage testing of ply bamboo using epoxy was 20.10%-35.58%.
Plybamboo using thickness of 8 mm, width of 2 cm, and glued together with epoxy had
better physical and mechanical properties compared with other plybamboos.
Keywords : andong bamboo, epoxy, plybamboo, PVAc

KARAKTERISTIK BAMBU LAPIS MENGGUNAKAN
ANYAMAN KAJANG DARI
BAMBU ANDONG (Gigantochloa pseudoarundinaceae)

EGA PUTRA PRAYOGA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada

Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Karakteristik Bambu Lapis Menggunakan Anyaman Kajang dari
Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae)
Nama
: Ega Putra Prayoga
NIM
: E24090039

Disetujui oleh,

Prof Dr Ir Muh. Yusram Massijaya, MS
Pembimbing 1


Sukma Surya Kusumah, S.Hut,M.Si.
Pembimbing 2

Diketahui oleh,

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Karaki eristik Bambu Lapis Menggunakan Anyaman Kajang dari
Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae)
Nama
: Ega Putra Prayoga
NIM
: E24090039

Disetujui oleh,

---


Prof Dr Ir Muh. Yusram Massijaya, MS
Pembimbing 1

Sukrna Surya Kusumah, S.Hut,M.Si.
Pembimbing 2

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

.'l JA .

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi berjudul Karakteristik Bambu Lapis
Menggunakan Anyaman kajang dari Bambu Andong (Gigantochloa
pseudoarundinaceae) ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini dibuat dalam rangka
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada program studi S1 di Departemen Hasil

Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan motivasi dan doa yang
menjadi sumber inspirasi penulis.
2. Prof Dr Ir Muh. Yusram Massijaya, MS. selaku pembimbing utama dan
Bapak Sukma Surya Kusumah S.Hut, M.Si sebagai pembimbing kedua
serta Bapak Dr Ir Jajang Suryana, M.Sc yang telah banyak memberi
masukan dan saran bagi penulis.
3. Keluarga besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, khususnya
teman-teman Hasil Hutan angkatan 46 (Aldy, Adi W, Hendry, Robby,
Dafy, Dea, Edo, Lase, Bemby, Ikang, Devi, Evi, Chika, Annyse), kawankawan Camp Rinjani (Hilman, Bagus, Asyief, Dodoy, Panjul) yang sudah
membantu penulis dalam kegalauan dan kawan-kawan bivak rimpala yang
sudah memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan di
masa mendatang. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat sebagai
penunjang penelitian di lapangan dan semua pihak yang bersangkutan serta
masyarakat luas.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Desember 2013
Ega Putra Prayoga

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Sifat Umum Bambu

2

Sifat Fisis Bambu

2

Sifat Mekanis Bambu

3


Bambu Andong

4

Perekat

5

Kayu Lapis

6

METODE

7

Waktu dan Lokasi Penelitian

7


Prosedur Penelitian

8

Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

12
13

Kadar Air

13

Kerapatan

14

Delaminasi

15

Keteguhan Rekat Bambu lapis

16

Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity)

18

Keteguhan Patah (Modulus of Rupture)

19

SIMPULAN DAN SARAN

20

Simpulan

20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

21

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1 Sifat Fisis dan Mekanis Beberapa Jenis Bambu di Indonesia
2 Ratio Antara Tebal Lapisan Inti dengan Lapisan Muka
3 Persyaratan Keteguhan Rekat Kayu Lapis

4
11
11

DAFTAR GAMBAR
1 Pola Anyaman Kajang
2 Pengambilan Contoh Uji Bambu Lapis
3 Contoh Uji Keteguhan Rekat
4 Kadar air Bambu lapis
5 Kerapatan Bambu lapis
6 Delaminasi Bambu lapis
7 Keteguhan Rekat Bambu lapis
8 Kerusakan bambu lapis
9 Keteguhan Lentur Bambu Lapis
10 Keteguhan Patah Bambu Lapis

8
9
9
13
14
15
16
17
18
19

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman bambu termasuk hasil hutan yang berpotensi untuk dikembangkan,
salah satunya sebagai sumber pemasok bahan baku industri untuk berbagai
keperluan. Pemanfaatan bambu antara lain untuk bahan baku kertas, tanaman hias,
dan berbagai macam peralatan rumah tangga. Selain itu, bambu dapat dijadikan
sebagai bahan utama bangunan yang serba guna tergantung kebutuhan pemakaian,
untuk bagian rebung atau tunas bambu muda dengan jenis bambu tertentu dapat
dijadikan sebagai bahan makanan atau sayuran (Suryokusumo 1997). Berdasarkan
peranannya sebagai tumbuhan serbaguna maka bambu dapat digunakan sebagai
substitusi pengganti kayu.
Salah satu jenis bambu yang memiliki potensi yang cukup besar untuk
dijadikan bahan substitusi kayu, yaitu bambu andong (Gigantochloa
pseudoarundinaceae). Bambu Andong adalah jenis bambu yang tumbuh
merumpun, tidak terlalu rapat. Tinggi rata-rata bambu andong dapat mencapai 26
meter, banyak ditanam masyarakat dan kadang tumbuh liar di Jawa mulai dataran
rendah sampai ke ketinggian tempat ±700 mdpl (Heyne 1987). Pangkal batang
berdiameter 4 hingga lebih dari 13 cm dengan dinding tebal 6 hingga 20 mm.
Di daerah pedesaan, bambu banyak dibentuk menjadi anyaman yang
digunakan untuk membuat dinding rumah atau seringkali disebut bilik, sedangkan
di daerah perkotaan, bambu merupakan bahan penting untuk membangun rumah
murah, bangunan sementara dan perancah bangunan bertingkat. Akan tetapi,
anyaman dinding ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya mudah
melengkung bila terdorong beban, mudah sobek oleh benda tajam, angin dapat
keluar masuk dari celah-celah anyaman, sehingga perlu adanya upaya peningkatan
kualitas anyaman bambu agar lebih baik dan lebih kuat. Selama ini, proses
pengembangan bambu lapis dibuat dari bilah-bilah bambu yang disusun
menggunakan alat bantu sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam
penyusunannya. Selain itu produk yang digunakan kurang memiliki corak yang
menarik dan indah. Suryana et al. (2009) dan Kusumah et al. (2012) telah
melakukan penelitian dan berhasil membuat bambu lapis dengan sifat fisis
mekanis yang cukup baik dilihat dari sifat fisis dan mekanis produk yang sudah
dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mencoba menguji produk
bambu lapis menggunakan anyaman bambu dengan jenis perekat, lebar dan tebal
bilah yang berbeda menggunakan tipe corak anyaman kajang karena memiliki
pola atau corak anyaman yang lebih unik dan jenis bambu andong sebagai bahan
baku dengan pengempaan dingin menggunakan perekat Polyvinyl acetate (PVAc)
dan perekat epoxy. Diharapkan, penelitian ini akan menghasilkan produk inovatif
berbahan baku bambu andong dengan perekat Polyvinyl acetate (PVAc) dan
perekat epoxy yang mudah didapat di pasaran sehingga pengembangannya dapat
dilakukan untuk industri kecil (home industry).

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis perekat,
komposisi ukuran lebar dan tebal bilah bambu andong terhadap sifat fisis dan
mekanis bambu lapis anyaman.

TINJAUAN PUSTAKA
Sifat Umum Bambu
Bambu merupakan tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Graminaeae
sub-famili Bambusoideae, dari suku Bambuceae. Kurang lebih 1000 spesies
bambu dalam 80 genera, sekitar 200 jenis dari 20 genera ditemukan di Asia
Tenggara (Dransfield dan Widjaja 1995). Menurut Widjaja (2001), di Indonesia
didapatkan jumlah bambu sekitar 143 jenis, dan diperkirakan ada 60 jenis tumbuh
di Jawa.
Bambu dapat tumbuh di daerah tropis, sub tropis, dan daerah yang
beriklim sedang kecuali Benua Eropa dan Asia Barat. Sifat yang dimiliki bambu,
yaitu kuat, lurus, licin, ringan namun keras, dan teratur sehingga mudah dibelah
dengan ukuran yang berbeda. Variasi panjang dan ketebalannya membuat bambu
dapat digunakan untuk berbagai keperluan (Kurz 1876 dalam Dransfield dan
widjadja 1995).
Janssen (1981) dalam Noermalicha (2001) menyatakan bambu memiliki
sifat yang ramah lingkungan sama seperti kayu. Karena itu bambu memiliki
potensi yang cukup besar untuk dijadikan substitusi kayu dimasa mendatang.
Salah satu keuntungannya, yaitu energi regangannya seefisien baja, mempunyai
sifat mekanis lebih baik dibanding dengan bata, beton, kayu, bahkan baja, dan
ketahanannya terhadap lendutan serta lengkungan sebagus kayu terutama saat
terjadi bencana gempa bumi.
Bambu memiliki kadar air yang bervariasi berdasarkan jenis dan posisi
dalam batang, umur batang, serta musim. Dinding bambu bagian luar memiliki
berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan bagian dalam. Sifat mekanis
bambu dipengaruhi oleh jenis, umur, tempat tumbuh dan posisi dalam batang.
Keteguhan lentur, tekan dan tarik dari dinding bambu bagian luar lebih besar
daripada bagian dalam (Sharma dan Mehra 1970).
Sifat Fisis Bambu
Berat jenis
Menurut Tamolang et al. (1980) berat jenis (BJ) bambu cenderung naik ke
arah ujung. Selanjutnya Liese (1980) menyatakan BJ bambu bervariasi dari 0.5 0.8, dengan bagian luar dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian
dalamnya. Haygreen dan Bowyer (1989) mendefinisikan berat jenis sebagai
perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat pada kadar air tertentu dan
volume) dengan kerapatan air pada suhu 4ºC.

3
Kadar Air
Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat
mekanis bambu. Kadar air dari bambu dewasa berkisar antara 50 - 99 % dan pada
bambu muda berkisar dari 80 – 150 %, sedangkan kadar air bambu kering berkisar
antara 12-8 %. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari
umur 1 - 3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3
tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan
musim kemarau (Dransfield dan Widjaja 1995).
Perbedaan kadar air pada musim penghujan dan musim kemarau dapat
mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu mengandung hanya
kira-kira 50 % air (Yap 1997). Tamolang et al. (1980) menyatakan bambu muda
mengalami penurunan kadar air lebih cepat dari bambu dewasa selama proses
pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang.
Penyusutan
Berbeda dengan kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi
tidak secara seragam. Penyusutan tersebut dipengaruhi oleh tebal dinding dan
diameter batang bambu (Liese 1985). Pengeringan bambu dewasa segar hingga
kadar air 20% menyebabkan penyusutan sebesar 4–14% pada tebal dinding dan 3–
12% pada diameternya. Penyusutan lebih besar terjadi pada arah radial daripada
arah tangensialnya (sekitar 7% berbanding 6%), tetapi perbedaan penyusutan
antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar.
Penyusutan pada arah longitudinal kurang dari 0.5% (Dransfield dan Widjaja
1995).
Sifat Mekanis Bambu
Kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan suatu bahan disebut sebagai
sifat-sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk menahan
beban atau gaya yang didapatkan. Ketahanan terhadap perubahan bentuk
menentukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan
oleh beban yang mengenainya (Haygreen dan Bowyer 1982).
Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan
berhubungan berat dengan berat jenis (Dransfield dan Widjaja 1995). Kekuatan
maupun kekakuan kayu akan naik dengan semakin besarnya berat jenis (Haygreen
dan Bowyer 1989).
Umur bambu, kondisi bambu, kadar air, bentuk dan ukuran contoh uji,
berbuku atau tidaknya, posisi dalam batang, dan lama pembebanan sangat
mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu. Kekuatan mekanis sangat
bergantung pada lapisan sklerenkim, yang dimaksud dengan lapisan sklerenkim
adalah jaringan yang berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang
telah mati Janssen (1981). Hal ini sejalan dengan Liese (1980) yang menyatakan
bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya
(dimana sklerenkim terdapat di dalamnya) dan bukan pada parenkim. Hingga saat
ini, parenkim masih belum ditemukan kegunaannya. Selain itu, kekuatan mekanis
juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika. Dransfield dan
Widjaja (1995) menyatakan kandungan silika batang bambu umumnya lebih
tinggi dari kayu sebesar sekitar 0.5-4.0 %. Jenis bambu yang berbeda akan

4
memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteguhan tarik dan
keteguhan tekan yang berbeda pula Syafi’i (1984). Beberapa sifat fisis mekanis
jenis-jenis bambu tertera seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Sifat fisis dan mekanis beberapa jenis bambu di Indonesia
Sifat yang diuji
1. BJ
2. Susut Volume (%)
Basah-Kering Udara
Kering Udara – Kering Tanur
Susut Tebal (%)
Basah-Kering Udara
Kering Udara – Kering Tanur
Susut Lebar (%)
Basah-Kering Udara
Kering Udara – Kering Tanur
3. MOR (kg/cm3)
4. MOE (kg/cm3)
5. Tekan sejajar serat (kg/cm2)
6.Tekan tegak lurus serat
(kg/cm2)
*
*

Jenis Bambu
Kuning
Tali
0.52
0.65

Betung
0.61

Andong
0.55

Sembilang
0.71

10.62

12.36

11.29

12.45

11.05

6.02
4.30

7.94
5.75

4.31
5.47

5.83
5.32

3.04
7.03

4.81
4.83
1.638
131.192
605
2.127

6.58
5.96
1.356
98.294
521
1.914

3.19
4.19
1.148
76.205
455
1.322

6.30
3.60
-*)
-*)
-*)
2.004

2.48
7.57
627
143.207
327
1.907

Sumber : Syafi’i (1984)
Tidak dapat dibuat spesimen percobaan karena dinding bambu terlalu tipis.

Bambu Andong
Nama lain dari bambu andong yaitu Gigantochloa pseudoarundinaceae.
Nama daerah Indonesia diantaranya adalah bambu gombong, pring surat (Jawa),
awi andong (Sunda), buluh danto (Padang). Asal dan penyebaran secara geografis
tidak diketahui, karena merupakan tumbuhan yang dibudidayakan. Ditanam
meluas di Indonesia (Jawa, Bali, Sumatera, Kepulauan Mentawai) dan telah
diperkenalkan di semenanjung Malaysia dan India. Di Indonesia bambu Andong
digunakan sebagai bahan bangunan, pipa air, furniture, peralatan ruma tangga,
sumpit, tusuk gigi, pembuatan keranjang, serta alat musik (Dransfield dan
Widjaya 1995).
Bambu Andong memiliki ciri khas yang dapat langsung terlihat, yaitu
kuping pelepah buluhnya kecil, mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuningkuningan dengan garis-garis kuning yang sejajar dengan buluhnya. Pola
tumbuhnya memiliki rumpun yang tidak terlalu rapat. Tinggi buluhnya 7 - 30 m,
diameter 5 - 13 cm dengan ketebalan dinding mencapai 1.5 cm.
Bambu andong termasuk kedalam jenis bambu simpodial yang rimbun
dengan pusat rumpunnya lebih tinggi dari permukaan tanah disekitarnya tapi tidak
beraturan. Dimensi serat bambu andong adalah panjang 2.75 – 3.27 mm, diameter
serat 24.55 – 37.97 µm dengan jumlah serat bertambah sekitar 10 % dari pangkal
ke ujung buluh. Berat jenis 0.5 – 0.7 (antar ruas) dan 0.6 – 0.8 (ruas). Kandungan
kimia bambu andong terdiri dari holoselulosa 61 - 71 %, pentosan 16 - 21 %,

5
lignin 20 - 30 %, kadar abu 3 %. Kelarutannya dalam air dingin 4.6 %, air panas
6 %, alkohol – benzen 23 % (Dransfeld dan Widjaja 1995).
Perekat
Pengertian Perekat
Menurut ASTM (American Society for Testing and Materials) perekat
didefinisikan suatu bahan yang mampu mengikat material secara bersama-sama
melalui hubungan permukaan. Sedangkan perekatan yaitu suatu keadaan dua
permukaan yang diikat bersama-sama melalui kekuatan interfasial. Daya tarikmenarik yang dihasilkan dari interaksi atom, ion-ion, dan molekul-molekul yang
ada pada perekat dan sirekat biasa dinamakan daya valensi. Ikatan mekanik
disebut juga sebagai aksi bersikunci, yang berarti permukaan diikat bersama-sama
dengan perekat (Vick 1999).
Pizzi (1983) dalam Nurfaridah (2002) membedakan perekat berdasarkan
reaksi terhadap panas menjadi perekat thermosetting dan thermoplastic.
Perekat thermosetting merupakan perekat yang dapat mengeras bila
terkena panas atau reaksi kimia dengan katalisator (hardener) tertentu
dan reaksinya bersifat tidak dapat balik. Perekat jenis ini jika sudah
mengeras tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat ini antara lain
phenol formaldehyde, urea formaldehyde, melamine formaldehyde dan
isocyanate.
Perekat thermoplastic adalah perekat yang dapat lunak jika terkena
panas dan kembali mengeras jika suhu rendah. Contoh perekat ini
antara lain polyvinyl-acetate, cellulose adhesives, acrillic resin
adhesives.
Perekat PVAc (Polyvinyl acetate)
Landrock (1985) menyatakan bahwa polyvinyl acetate adalah perekat yang
umum digunakan dalam bentuk pelarut air (water dispersion) dan mudah
didapatkan. Perekat PVAc dipasaran dikenal sebagai ‘perekat putih’ yang biasa
digunakan untuk keperluan rumah tangga. Menurut Ruhendi dan Hadi (1997)
dalam Ruhendi dkk. (2007), polyvinyl acetate diperoleh dari polimerisasi vinyl
asetat dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan, maupun polimerisasi
emulsi. Yang paling banyak digunakan dalam proses produksi adalah polimerisasi
emulsi. Derajat polimerisasi sangat berpengaruh terhadap sifat perekatnya dimana
perekat dengan berat molekul (BM) tinggi akan memberikan kekentalan yang
lebih tinggi pula. Digunakan PVAc dengan BM 1 000-2 000 untuk perekatan kayu.
Pizzi (1983) menerangkan bahwa perekat PVAc tidak memerlukan kempa
panas. Dalam penggunaannya secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat
yang baik dengan biaya relatif rendah. Menurut Landrock (1985) PVAc memiliki
resistensi yang rendah terhadap cuaca dan kelembaban, resistensi terhadap
kebanyakan pelarut buruk hingga perekat ini dapat larut dalam minyak, lemak,
dan bahan bakar cair. Film perekat yang telah matang dapat melunak jika
mencapai suhu 45oC.
Kelebihan polyvinyl acetate yaitu mudah penanganannya, storage life-nya
tidak terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda

6
pada kayu, mempunyai gap-filling hampir sama dengan perekat hewani serta
tekanan kempanya rendah. Kekurangan polyvinyl acetate yaitu sangat sensitif
terhadap air, sehingga penggunaanya hanya untuk interior saja, kekuatan rekatnya
menurun cepat dengan adanya panas dan air serta sifat visco-elastisitasnya tidak
baik, sehingga creep besar dan ketahan terhadap fatigue rendah.Penggunaan
khusus polyvinyl acetate dipakai pada pembuatan kayu lapis dan bambu lapisblok,
karena perekat ini mampu meningkatkan kekuatan rekat secara ekstrim dan cepat
(Pizzi 1983).
Perekat Epoxy
Pengertian perekat epoxy adalah produk sintetik termoset dari reaksi resin
polyepoxy dengan hardener atau pengeras. Epoxy dibagi dalam beberapa bentuk
sistem satu atau dua komponen. Sistem satu komponen meliputi resin cair bebas
pelarut, larutan, pasta resin cair, bubuk, pellet dan pasta, sedangkan sistem dua
komponen terdiri atas resin dan hardener yang dicampur saat akan digunakan.
Sistem ini juga mengandung plesmatik, pengencer reaktif, filler, pigmen dan zat
resin lainnya (Hartomo et al. 1992 dalam Kurniawan 2009). Menurut Frick
(1999), perekat epoxy dapat digunakan sebagai perekat khusus untuk
menghubungkan logam dengan logam atau logam dengan kayu.
Dalam pemakaiannya perekat epoxy mempunyai banyak penggunaannya,
karena mempunyai kekuatan rekat yang cukup tinggi, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk merekatkan berbagai macam benda seperti bahan-bahan
logam, kayu, gelas, keramik, beton, plastik thermoset (polyester, phenolic). Cara
pemakaian perekat epoxy relatif mudah yaitu dengan mencampurkan komponen A
dengan komponen B dengan perbandingan 1:1 (untuk sistem 2 komponen)
kemudian diaduk sampai rata, maka perekat ini siap dipakai.
Perekat epoxy tidak berubah kekuatannya meskipun telah bertahun-tahun
dan tahan minyak, gemuk, BBM, alkali, pelarut aromatik, asam, alkohol dan juga
panas atau cuaca dingin. Pemakaian perekat epoxy amat luas terutama pada
bahan-bahan logam, gelas, keramik, kayu, beton dan plastik thermoset.
Hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan perekat ini meliputi :
a. Sebelum direkatkan, permukaan kedua benda yang direkatkan, harus dalam
keadaan bersih dari debu, minyak, dan kotoran lainnya, permukaan yang
kotor dan tidak seragam akan mengganggu daya rekatnya
b. Pot life (umur campuran) lem jenis ini sangat pendek, hanya 1 jam.
Kayu Lapis
Kayu lapis adalah produk panel vinir-vinir kayu yang direkat bersama
sehingga arah serat sejumlah vinir tegak lurus dan yang lain sejajar sumbu
panjang panel. Pada kebanyakan tipe kayu lapis setiap 2 lapis sekali diletakkan
vinir yang arahnya sejajar dengan lapis pertama (Haygreen dan Bowyer 1989).
Vinir adalah lembaran kayu tipis dengan ukuran ketebalan seragam berkisar dari
0.24 mm – 6 mm yang diperoleh dari penyayatan (pengupasan) kayu jenis tertentu
(Dumanauw 1990). Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan untuk
menyesuaikan kayu lapis dengan penggunaannya yang tepat memerlukan
pertimbangan-pertimbangan yang merupakan faktor utama sebagai penentu
kualitas kayu lapis, diantaranya :

7

a.
b.
c.
d.

daya tahan yang diperlukan garis rekat untuk menghindari pengelupasan
persyaratan kekuatan, kekakuan, dan daya menahan paku
kualitas visual permukaannya
persyaratan khusus lainnya seperti ketahanan terhadap pembusukan dan api.
Kayu lapis memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan jadi kayu
lainnya, meliputi : stabilitas dimensinya yang tinggi karena jumlah lapis yang
ganjil dipasang sedemikian rupa saling tegak lurus, tampak rupa kayu asli dengan
ukuran lebih lebar, mempunyai sifat mekanis yang lebih baik, mudah dikerjakan,
dan dapat dibuat dari hampir semua jenis kayu Ruhendi dan Widarmana (1983).

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 – Juni 2013 di
Laboratorium Biokomposit pada Bagian Biokomposit, Laboratorium Rekayasa
dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Pengerjaan kayu pada bagian
Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan
IPB.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bambu andong dalam
bentuk anyaman kajang, perekat PVAc dan perekat epoxy. Bambu andong
diperoleh dari pengrajin anyaman yang berlokasi di Desa Caringin, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat. Perekat yang digunakan merupakan jenis perekat
yang mudah didapatkan dipasaran. Pada proses perekatan dengan menggunakkan
perekat epoxy, takaran perbandingan yang dipakai untuk base resin dan hardener
adalah 1:1.
Alat
Alat yang digunakan untuk persiapan bahan baku diantaranya gergaji tangan,
golok, cutter, amplas, dan mesin serut. Alat pembuatan bambu lapis diantaranya
adalah alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape.
Alat untuk menguji bambu lapis menggunakan Universal Testing Machine (UTM)
Instron.

8
Prosedur Penelitian
Persiapan Bilah bambu
Batang bambu dipotong-potong dengan ukuran panjang 40 cm. Potongan
dibelah dan dijadikan bilah-bilah tipis dengan ukuran lebar 1 cm dan 2 cm. Tebal
sayatan untuk setiap ukuran lebar bilah berbeda-beda. Pada ukuran bilah dengan
lebar 1 cm untuk bagian face (muka) menggunakan ukuran tebal 0.5 mm, bagian
core (inti) dengan tebal 1 mm dan bagian back (belakang) dengan tebal 0.5 mm
karena bilah bambu dianyam dan menjadikan bilah menumpuk, maka didapatkan
tebal bambu lapisdengan lebar bilah 1 cm yaitu 4 mm atau 0.4 cm. Pada bilah
dengan ukuran lebar 2 cm untuk bagian face menggunakan ukuran tebal 1 mm,
bagian core dengan tebal 2 mm dan bagian back dengan tebal 1 mm karena bilah
bambu dianyam dan menjadikan bilah menumpuk, maka didapatkan tebal bambu
lapisdengan lebar bilah 2 cm yaitu 8 mm atau 0.8 cm. Sayatan bambu yang
digunakan untuk bagian face,yaitu menggunakan bagian kulit dan bagian dalam
bambu sehingga memunculkan pola anyamannya, sedangkan untuk bagian core
dan bagian back menggunakan bilah bambu yang terdapat pada bagian dalam
bambu saja. Sebelum disayat bambu direndam dalam air mengalir selama ± 2
minggu dengan tujuan untuk mengurangi kadar pati dalam bambu agar tidak
mudah diserang oleh serangga perusak. Bilah bambu kemudian di jemur sampai
kadar air mencapai 8-10 %.
Pembuatan Lembar Anyaman Bambu
Sayatan bilah bambu yang sudah kering dengan KA sudah mencapai 8-10%
dianyam dengan pola anyaman kajang dengan ukuran lembaran 40 x 40 cm.
Gambaran corak anyaman bambu ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Pola anyaman kajang
Proses Pembuatan Bambu Lapis
Perekat yang digunakan Polyvinyl acetate (PVAc) dan epoxy dengan berat
labur sebesar 200 g/m². Pada perekat epoxy menggunakkan perbandingan antara
hardener dan base sebesar 1:1. Lembaran anyaman bambu dilabur dengan perekat
menggunakan teknik double spread agar penyebaran perekat diharapkan benarbenar merata pada setiap sisi permukaan yang direkat. Banyaknya perekat yang
dibutuhkan untuk luas 2 permukaan lembaran bambu yang direkat bersama
sebesar 0.4 m x 0.4 m x 200 g/m2, yaitu 32 gram, sehingga untuk setiap jenis
bambu dan setiap jenis perekat masing-masing permukaan dilabur sebanyak 16
gram perekat.

9
Pembentukan Lembaran Panel
Lembaran anyaman bambu yang telah dilabur dengan perekat kemudian
direkat satu dengan lainnya dengan arah saling tegak lurus arah seratnya. Untuk
kasus bambu lapis anyaman ini, pembentukan lembaran dapat langsung direkat
karena arah serat pada tiap lembar anyaman sudah saling tegak lurus.
Pengempaan
Bambu lapis yang telah direkatkan kemudian dikempa dingin pada suhu
kamar. Pengempaan dilakukan selama 24 jam dengan tekanan spesifik sebesar 10
kgf/cm2 untuk mendapatkan hasil bambu lapis yang merekat dengan sempurna.
Pengkondisian
Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dibiarkan di tempat
terbuka selama 2 minggu yang bertujuan untuk menghilangkan tegangan yang
terjadi pada saat pengempaan dan menyesuaikan dengan kadar air setempat.
Pengujian Bambu Lapis
Waktu conditioning dilakukan selama 2 minggu, bambu lapis diuji sifatsifatnya yang disesuaikan dengan penggunaannya yaitu untuk penggunaan
interior. Setiap bambu lapis kemudian dibuat contoh uji, masing-masing untuk
melakukan pengujian kadar air dan kerapatan, delaminasi, keteguhan rekat,
keteguhan lentur statis (Modulus of Rupture (MOR) dan Modulus of Elasticity
(MOE)).

Gambar 2 Pengambilan contoh uji bambu lapis
Keterangan:
A
= Contoh uji kadar air dan kerapatan (100 mm x 100 mm)
B
= Contoh uji keteguhan lentur bambu lapis
(50 mm x (24 T mm + 50 mm)).
C
= Contoh uji keteguhan rekat bambu lapis (100 mm x 25 mm).
D
= Contoh uji dilaminasi (75 mm x 75 mm)

Gambar 3 Contoh uji keteguhan rekat

10
Keterangan:
1, 3
= Lapisan muka belakang bambu lapis
2
= Lapisan inti bambu lapis
A
= Contoh uji keteguhan rekat sejajar serat permukaan
B
= Contoh uji keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti
Pengujian Contoh Uji
Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.2-2000 tentang kayu
lapis struktural, yang merupakan edisi revisi dari standar terdahulu yaitu SNI 015008.2-1999.
Kadar Air
Sampel uji berukuran 100 mm x 100 mm ditimbang terlebih dahulu untuk
mendapatkan berat awal. Kemudian dioven dengan suhu 103 ± 2 °C sampai
beratnya konstan. Sampel uji kemudian didinginkan selama kurang lebih 15 menit
di dalam desikator. Selanjutnya contoh uji ditimbang kembali. Besar nilai kadar
air dihitung dengan rumus:

Keterangan:

KA = Kadar Air
BA = Berat Awal (gram)
BKT = Berat Kering Tanur (gram)
Kadar air bambu lapis tidak boleh lebih besar dari 14 %
Kerapatan
Pengujian kerapatan bambu lapis digunakan sampel uji yang sama dengan
penentuan kadar air, yaitu berukuran 100 mm x 100 mm. Contoh uji ditimbang
beratnya (kondisi kering udara) dan dilakukan pengukuran dimensinya (panjang,
tebal, dan lebar). Besar nilai kerapatan ditentukan dengan rumus:

Keterangan :

Kr
BKU
P
L
T

=
=
=
=
=

Kerapatan (g/cm3)
Berat Kering Udara (g)
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Tebal (cm)

Keteguhan Rekat
Prosedur pengujian keteguhan rekat mengikuti SNI 01-5008.2-2000 dengan
menggunakan alat uji UTM Instron. Berdasarkan jenis perekat yang digunakan,
pengujian keteguhan rekat dilakukan dalam kondisi kering dimana perekat PVAc
termasuk perekat tipe interior II.
Nilai keteguhan rekat diperoleh dengan rumus:

11
KR = Keteguhan Geser Tarik × f
Sedangkan nilai keteguhan geser rekat diperoleh dari rumus:

Keterangan:
KR
= Keteguhan Rekat (kg/cm2)
f
= Koefesien, nilainya tergantung rasio tebal lapisan inti dengan
lapisan muka.
KGT = Keteguhan Geser Tarik (kg/cm3)
P
= Panjang bidang geser (cm)
L
= Lebar bidang geser (cm)
B
= Beban tarik (kg)
Tabel 2 Ratio antara tebal lapisan inti dengan lapisan muka
Rasio antara tebal
Koefisien
No.
Lapisan inti dan lapisan muka
(f)

*)

1.

1.5 -< 2.0

1.1

2.

2.0 -< 2.5

1.2

3.

2.5 -< 3.0

1.3

4.

3.0 -< 3.5

1.4

5.

3.5 -< 4.0

1.5

6.

4.0 -< 4.5

1.7

7.

≥ 4.5

2.0

SNI 01-5008.2-2000

Untuk menentukan potensi kerusakan bambu lapis dihitung dengan rumus:

Keterangan:
KK = kerusakan kayu (%)
LK = luas kerusakan kayu pada bidang geser (cm2)
LB = luas bidang geser (cm2)
Syarat nilai keteguhan rekat kayu lapis tertera pada Tabel 3
Tabel 3 Persyaratan keteguhan rekat kayu lapis
No.
Keteguhan rekat rata-rata (kg/cm2)
Kerusakan kayu rata-rata (%)

*)

1.

>7

2.

3.5 – 7

SNI 01-5008.2-2000

Tidak dipersyaratkan
> 50

12
Keteguhan Lentur Statis
Pengujian pada keteguhan lentur ini dimaksud untuk mendapatkan nilai
keteguhan lentur ((MOE)(Modulus of Elasticity)) dan keteguhan patah
((MOR)(Modulus of Rupture)) bambu lapis. Contoh uji yang berukuran 50 mm x
(50 mm +24t mm) diukur tebal dan lebarnya, kemudian diletakan pada alat uji
dengan beban berada ditengah bentang. Pembebanan dilakukan dengan laju
pembebanan tidak melebihi 150 kg/cm2 per menit (atau 6 mm/mm pada mesin
UTM).
Keteguhan lentur status berupa keteguhan patah (MOR) dan keteguhan
elastisitas (MOE) dapat dihitung dengan persamaan:

keterangan :
MOR = Keteguhan patah
MOE = Keteguhan elastisitas
P
= Beban sampai batas proporsional (kg)
Pm
= Beban maksimal (kg)
Y
= Defleksi yang terjadi (cm)
b
= Lebar contoh uji (cm)
h
= Tabal contoh uji (cm)
l
= Panjang bentang (cm)
Keteguhan lentur statis bambu lapis contoh adalah rata-rata dari seluruh contoh uji.
Uji Delaminasi
Contoh uji berukuran (75 x 75) mm dilakukan perendaman air panas dengan
suhu 70±3ºC selama 2 jam, kemudian contoh uji dikeringkan dalam oven dengan
suhu 60±3ºC selama 3 jam, dilanjutkan pengukuran persentase lepasnya bagian
garis rekat antar lapisan (rasio delaminasi) dengan rumus:

Analisis Data
Pengolahan data pada penelitian ini akan dilakukan dengan SAS 9.1.3 dan
Microsoft excel 2007, yaitu metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
faktor perlakuan, yaitu perlakuan lebar bilah, tebal bambu lapis anyaman dan jenis
perekat. Faktor perlakuan kombinasi lebar bilah mempunyai 2 tingkat perlakuan,
yaitu kombinasi lebar bilah A (1 cm), B (2 cm). Faktor perlakuan tebal bambu
lapis mempunyai 2 taraf perlakuan, yaitu tebal 0.4 cm dan 0.8 cm. Menggunakan
2 jenis perekat ditiap perlakuannya, yaitu perekat PVAc dan perekat epoxy. Tiap
kombinasi perlakuan dengan 5 ulangan menghasilkan 40 bambu lapis anyaman
bambu.
Apabila hasilnya beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut wilayah
berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test). Pengujian ini dilakukan dengan

13
tujuan untuk mengetahui taraf perlakuan mana yang berpengaruh di antara faktor
perlakuan dan kombinasi perlakuan. Hasil penelitian dari seluruh perlakuan akan
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu tahap pengujian sifat fisis yang
menunjukkan banyaknya jumlah air yang terdapat pada dinding bambu lapis
terhadap berat kering tanurnya yang dinyatakan dalam persen. Kadar air dapat
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya terutama kelembaban udara.
Hasil perhitungan, diperoleh nilai kadar air bambu lapis memiliki kisaran
antara 11.23 - 13.80 %, untuk SNI 01-5008.2-2000 mensyaratkan kadar air bambu
lapis untuk penggunaan umum maksimum 14%. Nilai kadar air untuk setiap
perlakuan dapat dilihat pada grafik kadar air bambu lapis yang disajikan pada
Gambar 4.
16.00
13.46
14.00

11.40

11.23

11.66

11.73

AKE l1t8

AKE l2t4

AKE l2t8

12.00

AKE l1t4

12.19

Kadar air (%)

13.80
12.98

10.00
8.00
6.00
4.00
2.00

AKP l2t8

AKP l2t4

AKP l1t8

AKP l1t4

0.00

Gambar 4 Kadar air bambu lapis
Keterangan: A = andong 1; K = anyaman kajang; P = PVAc; E = epoxy; l1 = lebar 1; l2 = lebar 2 ;
t4 = tebal 4 ; t8 = tebal 8

Tinggi rendahnya nilai kadar air yang didapatkan tergantung pada tingkat
pengeringan selama pembuatan bambu lapis dan lingkungan tempat produk
bambu lapis ditempatkan selanjutnya (Haygreen dan Bowyer 1989). Pada Gambar
4 kadar air paling tinggi dimiliki oleh bambu lapis AKPl2t8 dengan nilai 13.80%
dan kadar air terendah dimiliki oleh bambu lapis AKEl1t8 dengan nilai 11.23%.
Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh kadar air awal bilah bambu yang direkat,
jenis perekat yang digunakan dan proses conditioning selama pembuatan bambu

14
lapis. Untuk perekat PVAc memiliki nilai kadar air lebih besar dibandingkan
perekat epoxy, yang disebabkan perekat PVAc lebih mudah menyerap air
dibandingkan dengan perekat epoxy. Penelitian Kristiyanti (2004) menghasilkan
kadar air tertinggi yang mencapai 14.63% dengan menggunakan perekat polyvinyl
acetate. Lebih lanjut Kristiyanti (2004) menyatakan bahwa faktor kekentalan
perekat yang menyulitkan dalam proses pendistribusiannya menyebabkan ada
sebagian permukaan venir yang miskin perekat dan mengakibatkan kekuatan
adhesi yang terbentuk antara perekat dengan permukaan panel melemah dan
menimbulkan rongga-rongga kosong yang memungkinkan air untuk menyerap ke
dalam.
Dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL), hasil
analisa kombinasi jenis perekat, lebar bilah bambu dan tebal bambu lapis
berpengaruh nyata terhadap kadar air bambu lapis. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan AKP l2t8 dengan nilai 13.80% berbeda
nyata terhadap AKP l1t8, AKP l2t4, AKP l1t4 dan AKE l2t8 dengan nilai 13.46%,
12.98%, 12.19%, 11.73%. Namun pada perlakuan AKE l2t4, AKE l1t4 dan AKE
l1t8 dengan nilai 11.66%, 11.40%, 11.23% tidak berbeda nyata.
Kerapatan
Kerapatan merupakan perbandingan berat bambu lapis dan volume bambu
lapis. Kerapatan dapat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis lainnya (Massijaya
et al. 1999).
0.52

0.56

0.52

0.57

0.57

AKE l2t8

0.55

0.60
Kerapatan (g/cm³)

0.65

0.61

AKE l2t4

0.70

0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
AKE l1t8

AKE l1t4

AKP l2t8

AKP l2t4

AKP l1t8

AKP l1t4

0.00

Gambar 5 Kerapatan bambu lapis
Keterangan: A = andong 1; K = anyaman kajang; P = PVAc; E = epoxy; l1 = lebar 1; l2 = lebar 2 ;
t4 = tebal 4 ; t8 = tebal 8

Berdasarkan penelitian, didapatkan nilai kerapatan bambu lapis berkisar
antara 0.52-0.65 g/cm3. Nilai kerapatan tertinggi dimiliki oleh AKPl2t4 dan nilai
kerapatan terendah dimiliki oleh AKPl2t8 dan AKEl1t8. Nilai kerapatan
keseluruhan perlakuan dapat dilihat pada grafik kerapatan bambu lapis yang
disajikan pada Gambar 5.
Melalui Gambar 5 dapat dilihat nilai kerapatan bambu lapis dengan
perlakuan AKPl2t4 memiliki kerapatan tertinggi yaitu 0.65, sedangkan nilai

15
kerapatan terendah dimiliki bambu lapis dengan perlakuan AKPl2t8 dan AKEl1t8
dengan nilai 0.52. Pendugaan yang mengakibatkan tinggi rendahnya kerapatan
bambu lapis terjadi dikarenakan pengaruh pelaburan perekat dan penyebarannya
yang merata yang dapat memberikan pengaruh pada nilai kerapatan.
Dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL), hasil
analisa kombinasi jenis perekat, lebar bilah bambu dan tebal bambu lapis
berpengaruh nyata terhadap kerapatan bambu lapis. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan AKP l2t4 dengan nilai 0.65 berbeda
nyata terhadap AKP l1t4, AKE l2t8, AKE l2t4, AKE l1t4 dan AKP l1t8 dengan
nilai 0.61, 0.57, 0.57 dan 0.55 . Namun pada perlakuan AKE l1t8 dan AKP l2t8
dengan nilai 0.52 dan 0.52 tidak berbeda nyata.
Delaminasi
Pengujian delaminasi dilakukan untuk melihat faktor ketahanan perekat
terhadap tekanan pengembangan dan penyusutan akibat adanya kelembaban dan
panas yang tinggi (Vick 1999). Dari hasil penelitian yang didapatkan nilai
delaminasi antara 8.22 – 100%. Data selengkapnya dapat dilihat pada grafik yang
disajikan pada Gambar 6.
120
100

100

100

100

80
60
40
8.22

10.50

13.17

AKE l2t4

AKE l2t8

19.28

20

AKE l1t8

Delaminasi (%)

100

AKE l1t4

AKP l2t8

AKP l2t4

AKP l1t8

AKP l1t4

0

Gambar 6 Delaminasi bambu lapis
Keterangan: A = andong 1; K = anyaman kajang; P = PVAc; E = epoxy; l1 = lebar 1; l2 = lebar 2 ;
t4 = tebal 4 ; t8 = tebal 8

Dapat dilihat dari Gambar 6 bahwa hasil uji delaminasi untuk jenis perekat
PVAc secara keseluruhan mempunyai nilai 100%, hal ini disebabkan sampel yang
diuji dalam air panas dengan suhu 70±3ºC selama 2 jam mengalami kerusakan
atau lepasnya lapisan face dan core pada bambu lapis, karena perekat PVAc
merupakan perekat tipe interior II yang ketahanan terhadap air atau cuaca yang
lemah. Menurut Landrock (1985) PVAc memiliki resistensi yang rendah terhadap
cuaca dan kelembaban, resistensi terhadap kebanyakan pelarut buruk hingga
perekat ini dapat larut dalam minyak, lemak, dan bahan bakar cair. Sedangkan

16
perekat epoxy untuk perlakuan AKEl1t4, AKEl1t8, AKEl2t4 dan AKEl2t8
memiliki nilai masing-masing 19.28%, 8.22%, 10.50% dan 13.17%. Nilai
terendah dimiliki oleh perlakuan AKEl1t8 dengan nilai 8.22%, hal ini
menunjukkan bahwa perekat epoxy dengan lebar bilah 1 cm dan tebal bambu lapis
8 mm memiliki sifat delaminasi sangat baik dibandingkan semua jenis perlakuan
dengan menggunakan perekat PVAc.
Dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL), hasil
analisa kombinasi jenis perekat, lebar bilah bambu dan tebal bambu lapis
berpengaruh nyata terhadap delaminasi bambu lapis. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan AKP l1t4 tidak berbeda nyata terhadap
AKP l1t8, AKP l2t4 dan AKP l2t8 dengan nilai keseluruhan sebesar 100%.
Namun pada perlakuan AKE l1t4 dengan nilai 19.28% berbeda nyata dengan
AKE l2t8 (13.17%), AKE l2t4 (10.50%) dan AKE l1t8 (8.22%).
Keteguhan Rekat Bambu lapis

4.76

1.10

AKE l2t8

1.10

AKE l2t4

1.03

AKE l1t8

0.63

AKE l1t4

1.05

AKP l2t4

0.37

AKP l2t8

3.96

AKP l1t8

10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00

AKP l1t4

Keteguhan Rekat (kg/cm²)

Keteguhan rekat bambu lapis dibagi dalam 2 (dua) pengambilan contoh
sampel uji yaitu keteguhan rekat sejajar serat permukaan dan keteguhan rekat
sejajar lapisan inti. Dalam kasus ini, dikarenakan pola anyaman yang digunakan
untuk setiap lapisan sama, maka pengambilan sampel uji keteguhan rekat tidak
berpengaruh pada kesejajaran serat.

Gambar 7 Keteguhan rekat bambu lapis
Keterangan: A = andong 1; K = anyaman kajang; P = PVAc; E = epoxy; l1 = lebar 1; l2 = lebar 2 ;
t4 = tebal 4 ; t8 = tebal 8

Nilai keteguhan rekat yang didapatkan pada percobaan ini dengan perekat
PVAc memiliki nilai 0.37 – 1.03 kg/cm2. Pada jenis perekat epoxy nilai yang
didapatkan berkisar antara 1.10 – 4.76 kg/cm2. Untuk keseluruhan nilai uji
keteguhan rekat dapat dilihat pada grafik yang tersaji pada Gambar 7.
Dapat dilihat pada Gambar 7, data yang didapatkan dari semua perlakuan
jenis perekat, lebar bilah dan tebal bambu lapis, yang memiliki nilai tertinggi
adalah perlakuan dengan jenis perekat epoxy dibandingkan dengan perekat PVAc.

17
Diduga karena lebih lebih tingginya kadar air bambu lapis dengan perekat PVAc
yang menyebabkan kekuatan rekatnya lebih rendah daripada perekat epoxy.
Perekat PVAc juga memiliki sifat yang lemah terhadap daya ketahanan air.
Bentuk sampel uji juga mempengaruhi nilai keteguhan rekat yang dihasilkan,
karena bentuk sampel uji yang dibuat berupa anyaman, yang dapat menyebabkan
adanya bilah bambu yang tidak terlabur perekat maka nilai keteguhan rekat pun
menjadi rendah.
Berdasarkan hasil perhitungan data yang didapatkan, nilai keteguhan rekat
tidak sesuai dengan SNI 01-5008.7-2000 yang dipersyaratkan yaitu 7 kg/cm2. Hal
ini dapat disebabkan oleh ikatan rekat yang jelek yang akan menyebabkan
terjadinya renggangan ikatan antar bilah bambu, sehingga antar lapisan face, core
dan back pada bambu lapis terlepas.
Dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL), hasil
analisa kombinasi jenis perekat, lebar bilah bambu dan tebal bambu lapis tidak
berpengaruh nyata terhadap keteguhan rekat bambu lapis pada keseluruhan
perlakuan AKPl1t4, AKPl1t8, AKPl2t4, AKPl2t8, AKEl1t4, AKEl1t8, AKEl2t4
dan AKEl2t8 dengan masing – masing nilai sebesar 0.37, 1.05, 0.63, 1.03, 1.10,
3.96, 1.10, 4.76 kg/cm2. Pendugaan ini dapat dikarenakan perekatan yang kurang
sempurna dan penyerapan perekat terhadap bidang rekat, sehingga ada bidang
rekat yang tidak terlaburi perekat.
Pengaruh suhu dan tekanan kempa juga sangat mempengaruhi nilai
keteguhan rekat bambu lapis. Suhu yang tinggi dapat menggosongkan perekat, hal
ini dapat menghilangkan keteguhan rekatnya dan suhu yang rendah dapat
merapuhkan perekat sehingga keteguhan rekat menurun (Shield 1970). Menurut
Janssen 1981 dalam Nuriyatin 2000 mengemukakan bahwa kekuatan tarik
tergantung pada persentase skelerenkim (serabut) yang dimiliki bambu. Ketebalan
dinding sel bambu andong adalah 24.55-37.97 µm (Dransfield dan Widjaja 1995).
Pada pengujian dugaan penentuan potensi kerusakan bambu lapis
didapatkan hasil pengujian dengan nilai 0.71 – 35 %. Data keseluruhan perlakuan
dapat dilihat pada grafik yang tersaji pada Gambar 8.
40.00

30.00
25.00

21.10

20.10

20.00
15.00

0.71

1.01

1.09

1.29
AKP l2t8

5.00

AKP l2t4

10.00

AKP l1t8

Kerusakan (%)

35.58

34.12

35.00

AKE l2t8

AKE l2t4

AKE l1t8

AKE l1t4

AKP l1t4

0.00

Gambar 8 Kerusakan bambu lapis
Keterangan: A = andong 1; K = anyaman kajang; P = PVAc; E = epoxy; l1 = lebar 1; l2 = lebar 2 ;
t4 = tebal 4 ; t8 = tebal 8

18
Dari data yang terdapat pada Gambar 8, dapat dilihat nilai kerusakan
tertinggi terdapat pada perlakuan AKE l2t8 sebesar 35.58% dan terendah pada
perlakuan AKP l1t4 sebesar 0.71%. Maka dapat disimpulkan bahwa bambu lapis
dengan perlakuan AKE l2t8 lebih baik dibandingkan perlakuan AKP l1t4, karena
semakin tinggi nilai kerusakan maka bambu lapis yang dibuat semakin baik atau
semakin kuat sehingga menimbulkan kerusakkan yang cukup besar.
Dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL), hasil
analisa kombinasi jenis perekat, lebar bilah bambu dan tebal bambu lapis
berpengaruh nyata terhadap kerusakan bambu lapis pada perlakuan AKE l2t8
(35.58%) dan AKE l1t8 (34.12%) tidak berbeda nyata terhadap AKE l2t4
(21.20%) dan AKE l1t4 (20.10%). Perlakuan AKP l2t8, AKP l2t4, AKP l1t8 dn
AKP l1t4 dengan nilai masing-masing 1.29%, 1.09%, 1.01% dan 0.71% tidak
berbeda nyata.

Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity)
Sampel uji untuk pengujian MOE ini tidak menggunakan sampel uji
keteguhan lentur bentang sejajar serat permukaan maupun keteguhan lentur sejajar
serat lapisan inti, karena sampel uji bambu lapis dianyam dengan pola yang sama
tiap lapisannya, maka pengambilan sampel uji tidak berpengaruh pada kesejajaran
serat. Penentuan nilai MOE sangat penting untuk menentukan layak atau tidaknya
suatu bambu lapis dijadikan bahan struktural seperti pelapisan, alas lantai, dinding
sisi dan bagian-bagian industri yang membutuhkan kekuatan dan ketegaran
(Haygreen dan Bowyer 1989).
Hasil pengujian didapatkan nilai MOE berkisar antara 612 kg/cm2 – 5 862
kg/cm2. Nilai hasil secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 9.
8000
7000
5862

6000

4940

4719

5000

4186

4000
3000

2446

2686

1000

612

695

AKP l2t8

2000

AKP l2t4

Keteguhan Lentur (MOE)
(kg/cm²)

9000

AKE l2t8

AKE l2t4

AKE l1t8

AKE l1t4

AKP l1t8

AKP l1t4

0

Gambar 9 Keteguhan lentur bambu lapis
Keterangan: A = andong 1; K = anyaman kajang; P = PVAc; E = epoxy; l1 = lebar 1; l2 = lebar 2 ;
t4 = tebal 4 ; t8 = tebal 8

19
Pada Gambar 9, menunjukan nilai MOE terendah dimiliki oleh bambu lapis
AKPl2t4 dengan nilai 612 kg/cm2, sedangkan nilai MOE tertinggi dimiliki oleh
bambu lapis AKEl1t4 dengan nilai 5 862 kg/cm2. Bambu lapis dengan perekat
epoxy memiliki nilai MOE yang relatif tinggi dibanding bambu lapis dengan
perekat PVAc. Jika dibandingkan dengan standar SNI 01-5008.7-2000, nilai yang
didapat masih belum memenuhi syarat standar yang harus dipenuhi, sehingga
bambu lapis tidak cocok dijadikan substitusi untuk kayu lapis.
Dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL), hasil
analisa kombinasi jenis perekat, lebar bilah bambu dan tebal bambu lapis
berpengaruh nyata terhadap nilai keteguhan lentur bambu lapis. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan AKE l1t4 dengan nilai 5 862 berbeda
nyata terhadap AKE l2t8, AKE l1t8 dan AKE l2t4 dengan nilai 4 940, 4 719 dan
4186 serta perlakuan AKP l1t8 dan AKP l1t4 dengan nilai 2 686 dan 2 446
berbeda nyata dengan perlakuan AKP l2t8 dan AKP l2t4 dengan nilai 695 dan
612.
Keteguhan Patah (Modulus of Rupture)
Kekuatan pematahan dari suatu gelagar yang dinyatakan dalam stress
persatuan luas merupakan pengertian dari keteguhan patah (Modulus of Rupture)
atau MOR. Perhitungan penentuan MOR ini dihitung dengan menentukan stress
serat pada puncak dan dasar serat dari suatu balok atau papan pada muatan
maksimum (Wartono et al. 1997). Pada pengujian yang telah dilakukan
didapatkan hasil MOR dengan nilai 69 kg/cm2 – 701 kg/cm2. Data keseluruhan
dapat dilihat pada grafik yang disajikan pada Gambar 10.

619

625

AKE l2t4

AKE l2t8

701

700
569

600
500
400
300

225
145

100

69

83

AKP l2t8

200

AKP l2t4

Keteguhan patah (MOR)
(kg/cm²)

800

AKE l1t8

AKE l1t4

AKP l1t8

AKP l1t4

0

Gambar 10 Keteguhan patah bambu lapis
Keterangan: A = andong 1; K = anyaman kajang; P = PVAc; E = epoxy; l1 = lebar 1; l2 = lebar 2 ;
t4 = tebal 4 ; t8 = tebal 8

Dari hasil pengujian didapatkan nilai uji MOR tertinggi dengan nilai 701
kg/cm2 dengan perlakuan AKE l1t4 dan MOR terendah dengan nilai 69 kg/cm2

20
untuk perlakuan AKP l2t8. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa untuk semua
perlakuan yang menggunakkan jenis perekat epoxy nilai MOR yang didapatkan
memenuhi syarat SNI 01-5008.2-2000 yaitu lebih dari 320 kg/cm2. Hal ini
menunjukkan bahwa bambu lapis dari anyaman bambu memiliki kemampuan
menahan beban sampai batas proporsi seperti kayu lapis pada umumnya. Nilai
MOR yang dihasilkan dengan perekat PVAc dengan keseluruhan jenis perlakuan
masih dibawah dengan standar yang disyaratkan SNI 01-5008.2-2000.
Dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL), hasil
analisa kombinasi jenis perekat, lebar bilah bambu dan tebal bambu lapis
berpengaruh nyata terhadap nilai keteguhan patah bambu lapis. Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan AKE l1t4, AKE l2t8, AKE l2t4 dan
AKE l1t8