Pengaruh Waktu Tebang Terhadap Kekuatan Lentur Bambu Andong (Gigantochloa Pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja).

PENGARUH WAKTU TEBANG TERHADAP KEKUATAN
LENTUR BAMBU ANDONG
(Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja)

BAGUS PRIAMBODO DEWANTO

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Pengaruh
Waktu Tebang Terhadap Kekuatan Lentur Bambu Andong (Gigantochloa
pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja) adalah benar-benar hasil karya saya
sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang
dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015
Bagus Priambodo Dewanto
NIM E24100068

ABSTRAK
BAGUS PRIAMBODO DEWANTO. Pengaruh Waktu Tebang Terhadap
Kekuatan Lentur Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel)
Widjaja). Dibimbing oleh ARINANA dan EFFENDI TRI BAHTIAR.
Pemanenan atau penebangan bambu andong secara tradisional dilakukan
pada waktu–waktu tertentu, yaitu umumnya pada awal musim kemarau. Faktor–
faktor lingkungan antara lain suhu, kelembaban, curah hujan, dan intensitas
cahaya berpengaruh penting pada metabolisme bambu sehingga mempengaruhi
kekuatan lentur bambu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
waktu tebang terhadap kekuatan lentur bambu andong serta menentukan faktor
lingkungan yang paling berpengaruh terhadap kekuatan lentur bambu andong.
Pada penelitian ini, pemanenan dilakukan selama satu tahun, yaitu satu batang
bambu ditebang setiap akhir bulan yang dimulai Februari 2013 sampai Januari

2014. Bambu yang diambil setiap bulan dibuat contoh uji sesuai standar ASTM D
143-94 untuk diuji kekuatan lenturnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
MOE dan MOR tertinggi diperoleh pada bambu yang dipanen bulan Maret.
Berkaitan dengan hal tersebut, jika diinginkan kekuatan tertinggi disarankan untuk
memanen bambu andong pada bulan Maret. Kekuatan alami bambu terutama
dipengaruhi intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban, sedangkan curah hujan
tidak berpengaruh nyata.
Kata kunci: bambu andong, kekuatan lentur, waktu tebang

ABSTRACT
BAGUS PRIAMBODO DEWANTO. The Cutting Time of Andong Bamboo
(Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja) Effects on Bending
Strength. Under supervision of ARINANA and EFFENDI TRI BAHTIAR
Andong bamboo was traditionally cut in early dry season. Environment
factors such temperature, humidity, rainfall, and light intensity have important
effect to bamboo metabolism which influence its bending strength. This research
was conducted to determine the effect of cutting time toward bamboo andong’s
bending strength and determine the environmental factors which significantly
effected to its bending strength. In this research, bamboo cutting was done in the
last one year. One culm was cut each month started from February 2013 until

January 2014. The culm was cut become samples were made refer to ASTM D
143-94. This research showed that highest MOE and MOR were obtained from
bamboo which was cut on March. So, it is recommended to cut bamboo on March
in order to get the highest strength. Environment factor such as light intensity,
temperature, and humidity during cutting time significantly affecte to bamboo
natural strength, while rainfall intensity is not significantly affected.
Key words:andong bamboo, cutting time, mechanical properties

PENGARUH WAKTU TEBANG TERHADAP KEKUATAN
LENTUR BAMBU ANDONG
(Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja)

BAGUS PRIAMBODO DEWANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan


DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
karunia dan kesempatan yang telah diberikan-Nya, sehingga skripsi ini berhasil
diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Juni 2014,
dengan judul Pengaruh Waktu Tebang Terhadap Kekuatan Lentur Bambu Andong
(Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja)
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Arinana, S.Hut MSi dan Effendi
Tri Bahtiar, S.Hut MSi selaku pembimbing. Selain itu penghargaan penulis
sampaikan pula kepada pihak Laboratorium Bagian Rekayasa Desain dan
Bangunan Kayu, Laboratorium Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu yang
telah membantu memberikan izin dan waktu selama penelitian dilakukan. Tak
lupa penulis berterimakasih kepada Bapak Manta, Bapak Irfan, Mas Gun, serta
Pak Atin yang telah bersedia meluangkan waktunya selama penelitian
dilaksanakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, bapak, adikadik, seluruh keluarga, dan sahabat-sahabat THH 47, terutama Aji Kusumo

Wibowo, Helga Dara, Rizqi Adha juniardi, Muhammad Setiawan Pangale, Rifky
Faishal dan Hafiz Darmawan, Sintia Pramudita atas segala do’a, semangat dan
kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan demi perbaikan tulisan ini selanjutnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, April 2015
Bagus Priambodo Dewanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

METODE

2


Waktu dan Tempat Penelitian

2

Alat dan Bahan

2

Pengambilan Buluh Bambu

2

Pengukuran Kadar Air Bambu

2

Pengujian Lentur Statis

3


Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Kondisi Umum Arboretum Bambu IPB

5

Kadar Air Bambu

6

Intensitas Cahaya

6


Suhu dan Kelembaban

8

Modulus of Elasticity

8

Modulus of Rupture

11

Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kekuatan Alami Bambu

14

SIMPULAN DAN SARAN

15


Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

16

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5


Data curah hujan dan kadar air bambu andong pada Februari-Januari
Intensitas cahaya pada rumpun bambu andong saat pemanenan
Suhu dan kelembaban pada rumpun bambu andong saat pemanenan
Hasil analisis ancova pengaruh faktor lingkungan terhadap nilai MOE
Hasil analisis ancova pengaruh faktor lingkungan terhadap nilai MOR

6
7
8
14
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Rumpun pengambilan buluh bambu andong
Posisi contoh uji dan letak beban
Nilai MOE bagian bambu andong (pangkal, tengah, ujung)
Nilai MOE bambu andong
Nilai MOE bambu andong berdasarkan posisi pengujian (matriks, kulit,
tepi)
6 Nilai MOR bagian bambu andong (pangkal, tengah, ujung)
7 Nilai MOR bambu andong
8 Nilai MOR bambu andong berdasarkan posisi pengujian (matriks, kulit,
tepi)

3
4
9
10
11
12
13
13

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bambu merupakan tanaman cepat tumbuh, berdaur pendek, dan harganya
relatif lebih murah dibandingkan kayu. Menurut Widjaja et al. (2004), Indonesia
memiliki 154 jenis, yaitu 10% dari 1250-1500 jenis keanekaragaman bambu dunia.
Dari 154 jenis tersebut, 131 jenis merupakan tumbuhan asli Indonesia. Salah satu
di antara jenis asli tersebut yang umum ditanam penduduk di pedesaan atau
tumbuh di hutan sekunder yaitu bambu andong (Gigantochloa
pseudoarundinaceae). Bambu andong termasuk salah satu dari 12 jenis bambu
yang dalam Konferensi Nasional tentang Strategi Penelitian Bambu di Indonesia
tahun 1994 diusulkan untuk dapat dikembangkan menjadi produk komoditi ekspor
(Widjaja et al. 1994). Ukuran diameter batang bambu andong termasuk besar
dengan tebal dinding mencapai 20 mm, sehingga untuk bahan baku mebel dan
konstruksi dapat dipakai dalam bentuk bulat (bambu utuh) maupun dijadikan
papan/balok lamina. Selain itu bambu andong banyak digunakan sebagai bahan
bangunan rumah, bahan makanan, bahan selulosa untuk bubur kertas, dan banyak
perabot serta perkakas untuk rumah tangga seperti kursi, meja, rak, amben,
anyaman tikar, keranjang, pengki, sendok, dan sumpit (Frick 2004).
Bambu andong yang dimanfaatkan umumnya yang sudah masuk masa
tebang, yaitu sekitar umur empat tahun. Penebangan bambu andong secara
tradisional dilakukan pada awal musim kemarau. Bambu yang ditebang pada
musim hujan lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk dibandingkan yang
ditebang pada musim kemarau, hal tersebut dikarenakan oleh kandungan pati yang
terdapat pada bambu, semakin tinggi kandungan patinya akan lebih rentan
terhadap serangan kumbang bubuk yang mempengaruhi kekuatan alami bambu
(Elsppat 1999). Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
waktu tebang yang tepat bambu andong terkait dengan sifat mekanisnya.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu tebang terhadap
kekuatan lentur bambu andong serta mengidentifikasi faktor lingkungan saat
penebangan yang berpengaruh terhadap kekuatan lentur bambu andong.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi bagi masyarakat agar
dapat memanen bambu pada waktu yang tepat. Bambu sebaiknya tidak ditebang
sepanjang tahun tetapi pada waktu tertentu untuk mendapat buluh bambu paling
kuat.

2

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Februari 2013 sampai April 2014 bertempat di
Arboretum Bambu, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Laboratorium di Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Laboraturium di
Bagian Rekayasa Desain dan Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan (DHH),
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Pemanenan bambu dilakukan
pada bulan Februari 2013 sampai Januari 2014, sedangkan analisis pengujian di
laboratorium dilakukan pada bulan Januari sampai April 2014.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengukur suhu dan
kelembaban (multifunctional environtment meter) merek Krisbow KW 0600291 4
in 1, alat pengukur intensitas cahaya matahari (light meter) merek Krisbow KW
0600288, timbangan elektrik, oven, dan Universal Testing Machine (UTM) merk
instron, sedangkan bahan yang digunakan adalah bambu andong.
Prosedur Penelitian
Pengambilan Buluh Bambu
Pengambilan buluh bambu dilakukan sebanyak 12 kali yang diambil setiap
satu bulan sekali di akhir bulan. Umur bambu yang dipanen berumur ±5 tahun.
Pemanenan buluh bambu dilakukan pada bagian dalam rumpun. Pemanenan
berikutnya (dari bulan satu kebulan selanjutnya) diambil buluh bambu bagian
dalam rumpun tetapi makin kearah luar, sehingga diasumsikan umur buluh bambu
yang digunakan adalah sama. Dimana buluh bambu yang dipanen memiliki
diameter ±6.74 cm. Pada waktu pemanenan dilakukan pengukuran faktor
lingkungan, yaitu suhu, intensitas cahaya serta kelembaban. Kondisi rumpun
bambu di lokasi pengambilan contoh uji dapat dilihat pada Gambar 1. Pengukuran
faktor lingkungan tersebut dilakukan pada pukul 12.00 WIB dan 18.00 WIB.
Pengukuran Kadar Air Segar Bambu
Setiap satu buluh bambu yang telah ditebang dilakukan pengukuran kadar
air segar dengan cara memotong bagian pangkal buluh bambu dengan ukuran 6
cm x 8 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu. Kemudian, contoh uji
disimpan ke dalam plastik tertutup untuk menghindari pengaruh lingkungan
terhadap kadar air segar bambu. Contoh uji ditimbang untuk mengetahui berat
awalnya (BA), lalu di oven pada suhu 103±2 ºC selama 24 jam. Setelah
dikeluarkan dari oven, contoh uji disimpan di desikator, kemudian ditimbang
untuk mengetahui berat kering ovennya (BKO). Besarnya kadar air dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

3

Keterangan:
BA
= Berat bambu awal (g)
BKO = Berat bambu kering oven (g)

Gambar 1 Rumpun pengambilan buluh bambu andong
Pengujian Lentur Statis
Contoh uji yang digunakan untuk pengujian lentur statis diambil dari buluh
bambu yang terdiri dari bagian pangkal, tengah, dan ujung bambu. Contoh uji
yang digunakan adalah bilah yang mengandung kulit dan matriks. Dimensi aktual
harus diukur pada setiap contoh uji sebelum pengujian dilakukan. Namun, hal
tersebut terlewatkan dalam penelitian ini sehingga dimensi di dekati dengan cara
sebagai berikut:
1. Penebangan ulang sebanyak 1 buluh bambu andong pada rumpun bambu
yang dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 2015.
2. Dimensi diukur berupa tebal dinding buluh disetiap ruas (pangkal, tengah,
ujung)
3. Tebal contoh uji diasumsikan sama dengan tebal dinding bambu di masingmasing posisi yang bersangkutan, yaitu bagian pangkal tebal bambu senilai
0.98 cm, bagian tengah dengan nilai 0.43 cm, dan bagian ujung 0.38 cm.
Ukuran tersebut dibuat berdasarkan American Society for Testing and

4
Materials (ASTM) D143-94 yang dimodifikasi, sedangkan lebar dan
panjang contoh uji adalah nilai nominalnya, yaitu masing-masing 2 cm
(lebar) dan 40 cm (panjang)
4. Bentang pengujian adalah 30 cm.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine
(UTM) merk Instron dengan metode pembebanan satu titik (one point loading)
seperti Gambar 2. Posisi pengujian lentur yang dilakukan ada tiga macam, yaitu:
1. Pengujian arah matrik dimana peletakan contoh uji saat pengujian, posisi
matrik ada di bagian atas.
2. Pengujian arah kulit dimana peletakan contoh uji saat pengujian, posisi kulit
ada di bagian atas.
3. Pengujian arah tepi dimana peletakan contoh uji saat pengujian, posisi tebal
contoh uji berada di bagian atas.

Gambar 2 Posisi contoh uji dan letak beban, (a) arah matrik, (b) arah kulit,
(c) arah tep (c) arah tepi
Pengujian lentur statis terdiri atas modulus patah (MOR) dan modulus
elastisitas (MOE) yang dihitung dengan persamaan:

Keterangan :
MOR
MOE
P/Y
Pmax
b
h
l

= Modulus patah
= Modulus elastisitas (kekakuan)
= Rasio beban dan defleksi pada batas proporsi (kg/cm)
= Beban maksimal (kg)
= Lebar contoh uji (cm)
= Tebal contoh uji (cm)
= Panjang bentang (cm)

5
Analisis Data
Analisis data penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak tersarang
sebagai faktor utama adalah bulan panen dan konfigurasi pengujian, sedangkan
posisi (pangkal, tengah, ujung) tersarang pada bulan tebang. Selanjutnya untuk
mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap kekuatan lentur bambu
dilakukan analisis ancova dengan faktor utama adalah posisi (pangkal, tengah,
ujung) dan konfigurasi pengujian, sedangkan faktor lingkungan (suhu,
kelembaban, intensitas cahaya, curah hujan) bertindak sebagai covarian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Arboretum Bambu IPB
Dinata (2009) menuliskan bahwa Arboretum Bambu IPB secara
administratif termasuk ke dalam wilayah IPB, Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Batas tapak Arboretum Bambu IPB adalah sebagai berikut: (1)
Utara: Jalan Agatis IPB (Kebun Karet), (2) Selatan: Jalan Raya Ciampea, (3)
Timur: Jalan Agatis IPB (Pintu 2 IPB), (4) Barat: Sungai Cihideung (Kampung
Leuwikopo). Arboretum Bambu IPB dengan luas 7 ha merupakan kebun koleksi
plasma nutfah untuk vegetasi bambu. Lokasi Arboretum Bambu IPB pada
awalnya merupakan kebun karet, mulai dijadikan dan diresmikan sebagai
Arboretum Bambu pada tanggal 26 Agustus 1998.
Vegetasi bambu di Arboretum Bambu IPB ditanam dari bibit pemberian
Dr. Elizabeth A. Widjaja, LIPI Kabupaten Bogor. Bambu di Arboretum Bambu
IPB saat awal penanaman berjumlah 60 rumpun dengan 39 spesies berbeda.
Jumlah bambu di Arboretum Bambu IPB saat ini adalah 373 rumpun dengan 39
spesies berbeda. Beberapa vegetasi bambu di Arboretum Bambu IPB masih belum
diketahui secara pasti namaspesiesnya dan saat ini hanyanama genusnya saja.
Satwa yang sering dijumpai di Arboretum Bambu IPB adalah burung, kera,
kupu-kupu, dan tupai. Arboretum Bambu IPB memiliki sungai kecil di sebelah
Utarayang airnya mengalir dari arah Timur ke arah Barat. Badan sungai kecil
tersebut memiliki panjang 347.6 m, lebar 1.57 m, dan kedalaman 1 m. Inlet sungai
kecil tersebut berasal dari wilayah resapan air yang membentuk danau di sebelah
Timur Arboretum Bambu IPB. Sementara itu, outlet dari sungai kecil tersebut
adalah ke Sungai Cihideung yang terdapat di sebelah barat.
Curah hujan rata-rata tahunan di Arboretum Bambu IPB adalah 3450
mm/thn dengan suhu rata-rata tahunan 26 °C. Variasi bentukan lahan (landform)
di Arboretum Bambu IPB membentuk karakter Arboretum Bambu IPB sebagai
tapak yang miring dan bergelombang. Kondisi tersebut, menjadikan beberapa
jenis satwa menetap dan berkembang di Arboretum Bambu IPB.
Jenis tanah di Arboretum Bambu IPB adalah tanah latosol coklat kemerahan
yang terbentuk dari bahan tuf vulkan intermedier. Kadar pH tanahnya masam,
yakni pada kisaran 5.6 dengan kandungan bahan organik yang cukup. Tanah
tersebut, memiliki kedalaman solum lebih dari 90 cm.

6

Kadar Air Bambu
Bambu yang baru ditebang kadar airnya sangat tinggi dan bervariasi
menurut jenis, umur, musim pada waktu penebangan dan posisi batang (Liese
1985). Untuk mencapai kadar air keseimbangan dengan lingkungannya, bambu
akan mengeluarkan air baik secara alami maupun melalui proses pengeringan.
Selama proses pengeringan terjadi perubahan fisik bambu, antara lain terjadi
penyusutan dan kerapatannya meningkat. Pengetahuan tentang kerapatan bambu
berguna untuk menetapkan tujuan penggunannya, sedangkan penyusutan dimensi
untuk bisa mendisain komponen bangunan atau mebel dari bambu sedemikian
rupa tidak mengalami perubahan bentuk yang berlebihan karena perubahan suhu
atau kelembaban. Berdasarkan pengukuran kadar air yang dilaksanakan, terlihat
bahwa kadar air bambu andong yang baru ditebang di tiap bulan selama satu tahun
sangat tinggi, berkisar antara 80.72% sampai dengan 141.77%.
Tabel 1 Data curah hujan dan kadar air bambu andong pada Februari 2013-Januari
2014 2014
No

Bulan

Tahun

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12

Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari

2013
2013
2013
2013

2013
2013
2013

2013
2013
2013
2013
2014

Curah Hujan*
(mm)

2.54
19.44
16.60
11.99
3.81
10.44
1.17
3.80
12.00
3.40
11.89
10.94

Kadar Air
(%)

82.22
106.28

141.76
114.92
95.16
80.72
96.60

126.71
103.54
127.07
117.50
83.52

*sumber www.worldweatheronline.com
Berdasarkan data dari Tabel 1 terlihat bahwa kadar air segar bambu
andong fluktuatif sepanjang tahun dengan pola perubahan yang periodik setiap
triwulan. Pada bulan Maret, April, Mei, serta September - Desember kadar air
segar bambu cenderung tinggi. Sedangkan pada bulan Juni – Agustus dan Januari
serta Februari kadar air segar bambu cenderung rendah. Kecenderungan yang
serupa juga terjadi pada data curah hujan, dengan pola perubahan yang periodik
setiap triwulan kecuali pada bulan Juli, September, November, dan Januari.
Intensitas Cahaya
Cahaya digunakan oleh tanaman untuk poses fotosintesis. Semakin baik
proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon dan Adman
2007). Selain itu besarnya intensitas cahaya yang diteruskan ke permukaan lahan
akan cenderung menurun seiring bertambahnya umur suatu tanaman. Hasil

7
pengukuran intensitas cahaya dengan waktu pengukuran pukul 12.00 WIB dan
18.00 WIB di setiap waktu pemanenan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Intensitas cahaya pada rumpun bambu andong saat pemanenan
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12

Bulan
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari

Tahun

2013
2013
2013
2013

2013
2013
2013

2013
2013
2013
2013
2014

Intensitas Cahaya (Lux)
Pukul 12.00 WIB Pukul 18.00 WIB

52.40
104.00
455.00
385.00
2000.00
475.00
463.00
985.00
650.00
242.00
346.00
1500.00

47.80
15.30
30.20
53.40
433.00
43.60
34.60
451.00
531.00
21.60
387.00
19.20

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa intensitas cahaya pukul 12.00 WIB
paling tinggi terjadi pada bulan Juni, sedangkan pada pukul 18.00 WIB intensitas
cahaya paling tinggi ada di bulan Oktober. Intensitas cahaya matahari bervariasi
menurut tempat dan waktu khususnya disebabkan oleh perbedaan letak lintang
serta keadaan atmosfer terutama awan. Menurut Handoko (1995) pada skala
mikro, arah lereng sangat menentukan jumlah radiasi yang diterima. Perbedaan
radiasi terjadi dalam sehari (dari pagi sampai sore hari) maupun secara musiman
(dari hari ke hari). Intensitas cahaya yang sangat tinggi lebih baik bagi
pertumbuhan perakaran daripada pertumbuhan pucuk. Intensitas yang seperti ini
menyebabkan transpirasi yang berlebihan pada tumbuhan, yang mengakibatkan
batang-batang menjadi pendek, daun-daun yang tebal menjadi kecil, bertambah
banyaknya jaringan-jaringan pengangkut air, dan menurunnya pertumbuhan.
Perkembangan dan pertumbuhan daun-daun terhalang jika intensitas cahaya
sangat rendah (Soekotjo 1976).
Selain faktor di atas, faktor lain yang mempengaruhi besarnya intensitas
cahaya adalah penutupan tajuk tanaman. Intensitas cahaya yang rendah karena
naungan yang terlalu rapat bagi jenis yang memerlukan cahaya (intoleran) akan
menyebabkan etiolasi. Sementara intensitas cahaya yang berlebihan akan
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan bahkan kematian bagi tanaman yang
toleran (Herdiana et al. 2008). Besar kecil atau tinggi rendahnya energi sinar
matahari yang diterima pada suatu tempat bergantung pada lamanya sinar
matahari yang bersinar langsung lahan tempat tersebut seperti berupa hutan, tanah
kosong, tertutup rapat maupun yang lainnya.
Suhu dan Kelembaban
Menurut Widiningsih (1985) dalam Noorhadi (2003), kelembaban dan
suhu udara merupakan komponen iklim mikro yang sangat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan masing-masing berkaitan mewujudkan keadaan

8
lingkungan optimal bagi tanaman. Pertumbuhan suatu tanaman meningkat jika
suhu meningkat dan kelembaban menurun, demikian pula sebaliknya. Suhu yang
baik bagi pertumbuhan suatu tanaman adalah berkisar antara 22 °C sampai 37 °C
(Pratiwi 2010).
Pengukuran suhu dan kelembaban pada rumpun bambu andong sebagai
tempat pengambilan contoh uji dilakukan pada pukul 12.00 WIB dilakukan
sekalisetiap bulan selama satu tahun yang dilaksanakan pada akhir bulan (di atas
tanggal 25). Data suhu dan kelembaban tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Suhu dan kelembaban pada rumpun bambu andong saat pemanenan
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12

Waktu
Penebangan
26 Februari
26 Maret
30 April
30 Mei
30 Juni
31 Juli
29 Agustus
30 September
30 Oktober
27 November
27 Desember
28 Januari
Rata-rata

Tahun

2013
2013
2013
2013

2013
2013
2013

2013
2013
2013
2013
2014

Suhu (°C)

29.7
30.5
27.4
27.8
28.6
28.4
28.2
29.4
28.1
27.2
28.1
29.4
28.6

Kelembaban (%)

62.5
49.1

65.4
68.4
58.3
61.7
63.8

53.6
56.7
76.4
72.7
62.8
62.6

Rumpun bambu andong yang dijadikan sebagai tempat pengambilan contoh
uji memiliki rata-rata suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah yaitu sebesar
28.6°C dan 62.6%. Faktor yang mempengaruhi suhu dan kelembaban yaitu tinggi
tempat dan penutupan tajuk. Berdasarkan Pratiwi (2010) dimana suhu yang baik
bagi pertumbuhan suatu tanaman berkisar antara 22°C sampai 37°C, maka
rumpun bambu andong memiliki suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman.
Kelembaban udara merupakan banyaknya kadar uap air yang ada di udara.
Kadar air dalam udara dapat mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan
tumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelembaban udara diantaranya
adanya tegakan pohon, terutama tegakan pohon yang rapat (Laboratorium
Pengaruh Hutan dalam Pratiwi 2010).
Modulus of Elasticity (MOE)
Modulus of Elasticity (MOE) dinyatakan sebagai suatu besaran yang
menunjukkan sifat kekakuan bahan atau material. Sifat kekakuan tersebut
merupakan ukuran kemampuan suatu benda untuk menahan perubahan bentuk
atau lenturan yang terjadi akibat pembebanan dan hanya berlaku sampai batas
proporsi (Bowyer et al. 2003). Nilai MOE bambu andong yang dipanen setiap
bulannya berdasarkan pengujian berkisar antara 42 811 – 168 941 kg/cm2. Hasil
pengujian MOE selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3, 4, dan 5

9

Gambar 3 Nilai MOE bagian bambu andong (pangkal, tengah, ujung)
Gambar 3 menunjukkan MOE bagian bambu andong, dimana bagian
pangkal, tengah, dan ujung bambu andong memiliki MOE yang berbeda-beda
pada tiap posisi bambu. Secara umum bagian pangkal memiliki nilai MOE yang
lebih rendah dibanding bagian tengah dan ujung.Bagian pangkal memiliki nilai
MOE yang rendah dibandingkan bagian tengah dan ujung, hal ini disebabkan nilai
kerapatan bambu yang meningkat dari bawah ke atas, sehingga persentase serabut
bertambah besar pula kebagian atas dan volume total zat dinding sel akan
meningkat dari bawah ke atas (Epsiloy 1987). Lebih lanjut Epsiloy (1987), juga
melaporkan bahwa kekuatan alami bambu dipengaruhi oleh kandungan silika
yang cenderung meningkat dari permukaan bawah bambu sampai permukaan atas
bambu. Dimana bagian pangkal bambu merupakan bambu pada ketinggian 0-3 m,
tengah merupakan bagian bambu pada ketinggian 4-6 m, dan ujung merupakan
bagian bambu pada ketinggian 7-9 m atau lebih, tergantung pada tinggi bambu
tersebut.

10

Gambar 4 Nilai MOE bambu andong
Rata-rata nilai MOE hasil pengujian bambu andong tiap bulan panen
berkisar antara 42 811 – 168 941 kg/cm2, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar
4. Secara umum terlihat bahwa nilai MOE tinggi terjadi pada pemanenan bulan
Maret dan Juni, yaitu sebesar 168 941 kg/cm2 dan 151 590 kg/cm2. Sementara itu
nilai MOE rendah terjadi pada pemanenan bulan Oktober 2013 dan November
2013. Terlihat pada Gambar 4 bahwa nilai tertinggi MOE bambu andong terdapat
pada bulan Maret, yaitu 168 941 kg/cm2. Hal ini diduga karena bambu nyang
ditebang bulan Maret mendapatkan intensitas cahaya dan suhu yang baik sehingga
memiliki nilai MOE yang tertinggi.

11

Gambar 5 Nilai MOE bambu andong berdasarkan posisi pengujian (matrik,
Kulit, Tepi kulit, tepi)
Hasil pengujian MOE berdasarkan posisi pengujian secara umum posisi
kulit memberikan nilai MOE yang lebih tinggi dibanding posisi matrik dan posisi
tepi. Nilai MOE pada posisi kulit sebesar 124 508 kg/cm2, pada posisi matrik 108
157 kg/cm2 dan pada posisi tepi sebesar 76 636 kg/cm2, selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 5.Kulit buluh bambu memiliki MOE paling tinggi
dibandingkan matrik dan tepi bambu dimana bagian tepi memiliki nilai MOE
terkecil. Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa bagian kulit (dekat kulit)
memiliki ikatan pembuluh yang sangat rapat, selanjutnya ke arah dalam semakin
jarang (Andre 1998; Mustafa et al. 2011). Lebih lanjut kondisi ini mengakibatkan
kekuatan dan kekakuan bambu yang cenderung semakin rendah dari tepi ke dalam
(Ray et al. 2005). Selain itu faktor yang mengakibatkan bagian tepi memiliki nilai
MOE terkecil adalah ketika pengujian terjadi tekuk sehingga nilai MOE nya kecil.
Modulus of Rupture (MOR)
Modulus of Rupture (MOR) atau keteguhan patah ditentukan dari beban
maksimum yang dapat diangkat atau disangga oleh suatu bahan per satuan luas
sampai material tersebut patah. MOR bambu andong yang dipanen setiap
bulannya berdasarkan pengujian berkisar antara 144-849 kg/cm2 . Hasil pengujian
selengkapnya MOR dapat dilihat pada Gambar 6, 7, dan 8.

12

Gambar 6 Nilai MOR bagian bambu andong (pangkal, tengah, ujung)
Gambar 6 menunjukkan kekuatan mekanis bagian bambu andong, dimana
bagian pangkal, tengah dan ujung bambu andong memiliki kekuatan yang
berbeda-beda pada tiap posisi bambu. Secara umum bagian pangkal memiliki nilai
MOR yang lebih rendah dibanding MOR bagian tengah dan ujung. Epsiloy (1987)
menjelaskan bagian pangkal memiliki nilai MOR yang rendah dibandingkan
bagian tengah dan ujung, disebabkan oleh kerapatan bambu yang meningkat dari
bawah ke atas, sehingga jumlah serabut bertambah besar kebagian atas dan
volume total zat dinding sel akan meningkat dari bawah ke atas serta kandungan
silika pada bambu yang jumlahnya meningkat dari bagian bawah hingga atas
bambu.

13

Gambar 7 Nilai MOR bambu andong
Nilai MOR hasil pengujian bambu andong berkisar antara 144.31 – 849.88
kg/cm2 dan dapat dilihat pada Gambar 7. Dimana nilai MOR tertinggi terjadi pada
pemanenan bulan Maret, yaitu sebesar 849.88 kg/cm2. Sementara itu nilai MOR
rendah terjadi pada pemanenan bulan Oktober dan November. Sama halnya
dengan nilai MOE, nilai tertinggi MOR bambu andong terjadi pada bulan Maret
yang diduga memiliki faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan intensitas
cahaya yang baik.

Gambar 8 Nilai MOR bambu andong berdasarkan posisi pengujian (matrik,
Kulit
kulit, tepi)

14
Hasil pengujian MOR berdasarkan posisi pengujian secara umum posisi
kulit memberikan nilai MOR yang lebih tinggi dibanding posisi matrik dan posisi
tepi. Nilai MOR pada posisi kulit sebesar 685.02 kg/cm2, pada posisi matrik
447.17 kg/cm2 dan pada posisi tepi sebesar 331.59 kg/cm2, selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 8. Kulit buluh bambu memiliki MOR paling tinggi
dibandingkan matrik dan tepi bambu dimana bagian tepi memiliki nilai MOR
terkecil, hal tersebut menurut Andre (1998) disebabkan oleh bagian kulit bambu
(dekat kulit) memiliki ikatan pembuluh yang sangat rapat dan ke arah dalam
bambu semakin jarang sehingga MOR bagian matrik dan tepi lebih kecil
dibandingkan kulit.
Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Kekuatan Lentur Bambu
Andong
Faktor lingkungan merupakan parameter yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh waktu tebang terhadap kekuatan lentur bambu andong. Pada
penelitian ini faktor lingkungan berupa curah hujan, intensitas cahaya,
kelembaban, dan suhu. Berdasarkan analisis Ancova, intensitas cahaya (12.00
WIB), suhu, dan kelembaban berpengaruh nyata terhadap nilai MOE bambu
andong, untuk curah hujan dan intensitas cahaya (18.00 WIB) tidak berpengaruh
nyata. Pada nilai MOR bambu andong, parameter curah hujan, intensitas cahaya
(12.00 WIB), suhu, dan kelembaban berpengaruh nyata terhadap MOR, hanya
intensitas cahaya (18.00 WIB) yang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai MOR
bambu andong. Pengolahan analisis faktor lingkungan terhadap nilai MOE dan
MOR disajikan pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 5 Hasil analisis ancova pengaruh faktor lingkungan terhadap nilai MOE
SS
Degr. of
MS
F
Freedom
Intercept
1.555106E+11
1 1.555106E+11 35.38855
Curah hujan
8.067918E+09
1 8.067918E+09 1.83596
Intensitas cahaya
3.685790E+10
1 3.685790E+10 8.38752
(12.00)
Intensitas Cahaya
6.732724E+09
1 6.732724E+09 1.53212
(18.00)
Suhu
2.296757E+11
1 2.296757E+11 52.26582
RH
2.659736E+10
1 2.659736E+10 6.05259
Posisi bambu
8.109821E+11
2 4.054911E+11 92.27501
Konfigurasi Uji
1.044151E+11
2 5.220753E+10 11.88053
Posisi
4 4.006413E+10 9.11714
bambu*Konfigurasi 1.602565E+11
Uji
Error
1.283158E+12
292 4.394376E+09

P
0.000000
0.176472
0.004064
0.216788
0.000000
0.014465
0.000000
0.000011
0.000001

15
Tabel 6 Hasil analisis ancova pengaruh faktor lingkungan terhadap nilai MOR
SS
Degr. Of
MS
F
Freedom
Intercept
Curah hujan
Intensitas cahaya (12.00)
Intensitas Cahaya (18.00)
Suhu
RH
Posisi bambu
Konfigurasi Uji
Posisi bambu*Konfigurasi
Uji
Error

7097745
809633
769154
223
9145748
2553503
13595255
6027910

1
1
1
1
1
1
2
2

3329315

4

832329

17791001

292

60928

P

7097745 116.4938 0.000000
809633 13.2883 0.000316
769154 12.6240 0.000444
223
0.0037 0.951836
9145748 150.1073 0.000000
2553503 41.9101 0.000000
6797627 111.5680 0.000000
3013955 49.4674 0.000000
13.6608 0.000000

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kekuatan lentur bambu andong di Dramaga, Bogor pada kurun waktu
Februari 2013 – Januari 2014, berdasarkan nilai MOE dan MOR didapatkan
bahwa nilai tertinggi terjadi pada bulan Maret. Faktor lingkungan yang memberi
pengaruh terhadap sifat mekanis (MOE dan MOR) bambu andong adalah
intensitas cahaya (12.00 WIB), suhu, dan kelembaban.
Saran
Perlu dilakukan penelitian pada rumpun bambu yang tumbuh di
lingkungan berbeda dengan kondisi Bogor dan lebih fokus pada kadar pati bambu
andong. Serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dari bambu andong sebagai
fungsi komponen struktural pemakaian seperti kuda–kuda, dinding, rangka mebel,
dan lainnya yang berguna dalam kehidupan sehari–hari.

16

DAFTAR PUSTAKA
[ASTM]American Society for Testing and Materials. 2008. Standard Test Method
of Evaluating Wood Preservatives by Field Test with Stakes. American
Society for Testing and Material. United States: ASTM D 1758-08.
Allsopp D, Kenneth JS, Christine C, Gaylarde. 2003. Introduction to
Biodeterioration (Second edition). Inggris (GB): Cambridge University
Press.
Andre JP. 1998. A Study of te Vascular Organization of Bamboos (Poaceae
bambusae) Using Microcasting Methode. IAWA J. 19(3): 265-278
Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science.
4th ed. Iowa (50014): Iowa State Pr, A Blackwell Publishing Company.
Dewi R. 2010. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis dari bambu tali
(Gigantochloaapus (J.A & J. H. Schultes) Kurz) dengan sambungan jahit
dan lakban kertas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dinata MY. 2009. Perancangan lanskap arboretum bambu sebagai obyek
agroedutourism di kampus institut pertanian bogor [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Dransfield, Widjaja EA 1995. Plant Resources of South-East Asia. Volume 7,
Bamboos. Bogor: Porsea.
Elsppat. 1999. Pengawetan Kayu. Jakarta: Puspa Swara.
Espiloy ZB. 1987. Physico-Mechanical Properties and Anatomical Relationship of
Some Philippine Bamboos. In Rao AN.; Dhanarajan G; Sastry CB.
ed., Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International
Bamboo Workshop, Hangzhou, China, 6-14 October 1985. Chinese
Academy of Forestry, Beijing, China; International Development Research
Centre, Ottawa, Canada. pp. 257-264.
Fadli MT. 2006. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis dari bambu andong
(Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Fangchun Z. 2000. Selected Works of bamboo research. The Bamboo research
editorial committee. Nanjing forestry university. Nanjing china. Chapter
XII-XIV: 95-125
Frick H. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu. Seri 7. Kanisius, Yogyakarta.
Handoko .1995. Klimatologi Dasar. Bogor: Pustaka Jaya
Haygreen JG, Bowyer JL. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar
(terjemahan oleh SA Hadikusumo). Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Herdiana N, Siahaan H, Rahman TS. 2008. Pengaruh Arang Kompos dan
Intensitas Cahaya terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang. J penelitian
Hutan tanaman 5(3):1-7
Kramer PJ, Kozlowski TT. 1960. Physiology of Trees. Mc Graw-Hill Book Co.
New York
Kurniawan H. 2002. Sifat mekanis laminasi lengkung bambu betung
(Dendrocalamus asper (schultes f) Backer ex Heyne) menggunakan
perekat PVac. Skripsi jurusan teknologi Hasil Hutan. Fahutan IPB. Bogor

17
Liese W. 1985. Anatomy of Bamboo. Proceeding Workshop BambooResearch in
Asia; 1980 May 28-30; Singapore. Ottawa (CA): International
DevelopmentResearch Center.
Mustafa MT, Wahab R, Sudin M, Sulaiman O, Kamal NAM, Khalid I. 2011.
Anatomical and Microstructures Features of Tropical Bamboo
Gigantochloa brang, G. Scotechinii and G. Wrayi, International J For,
Soil Eros. 1(1): 25-35.
Noorhadi S. 2003. Kajian pemberian air dan mulsa terhadap iklim mikro pada
tanaman cabai di tanah entisol. J ilmu tanah dan lingkungan Vol 4 (1):4149
Omom RM, Adman B. 2007. Pengaruh jarak tanam dan teknik pemeliharaan
terhadap pertumbuhan kenuar (Shorea johorensis Foxw) di hutan semak
belukar wanariset Samboja, Kalimantan Timur. J Penelitian Dipterokarpa
Vol. I(1): 47-54
Pratiwi E. 2010. Pengaruh pupuk organik dan intensitas naungan terhadap
pertumbuhan porang (Amorphopalus oncophyllus) [skripsi]. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
Ray AK, Mondal S, Das SK, Ramanchandrararo P. 2005. Bamboo – Afunctionally
Graded Composite-Correlation between Microstructure and Mechanical
Strength. J. Mater Sci. 40 (19): 5249-5253.
Soekotjo W. 1976. Silvika. Proyek Peningkatan/ Pengembangan Perguruan Tinggi.
Bogor: Fakultas Kehutanan IPB
Widjaja EA. 2001. Identikit Jenis-jenis bambu di Jawa. Puslitbang Biologi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor
Widjaja EA, Utami NW, Saefudin. 2004. Buku Panduan Membudidayakan
Bambu. Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia), Bogor.
Widjaja EA, Rifai MA, Subiyanto B, Nandika D. 1994. Strategi Penelitian Bambu
Indonesia. Makalah yang disampaikan pada Sarasehan Penelitian Bambu
Indonesia yang diselenggarakan oleh Puslitbang Fisika Terapan,
Puslitbang Biologi LIPI, Yayasan Bambu Lingkungan Lestari dan Centre
for International Forestry Research di Puspitek Serpong tanggal 21-22 Juni,
1994. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Bogor. hlm 10-15.

18

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nganjuk, pada tanggal 14 Desember 1991. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Sartana SE dan Ibu
Ninung Ekawati Dyah Ratna SE. Penulis menempuh pendidikan dari Sekolah
Dasar Angkasa IV Halim Perdana Kusuma pada tahun 1998-2004, Sekolah
Menengah Pertama Negeri 81 Jakarta Timur pada tahun 2004-2007, Sekolah
Menengah Atas Negeri 67 Jakarta Timur pada tahun 2007-2010. Penulis
melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor dengan Mayor Hasil Hutan melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa penulis telah mengikuti beberapa kegiatan
praktek lapang diantaranya Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada
tahun 2012 di Gunung Sawal dan Pangandaran. Pada tahun 2013 penulis
mengikuti kegiatan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) dengan lokasi di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun
Salak, dan PGT Sindangwangi. Kemudian pada tahun 2014, penulis mengikuti
kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di CV Omocha Toys, Bogor.
Selain aktif mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam kegiatan
kampus. Penulis merupakan Pengurus Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan
(HIMASILTAN) Divisi Kewirausahaan pada tahun 2011-2012, Ketua KOMPAK
DHH 2012, Pengurus Himasiltan Divisi Internal 2012-2013, penulis juga
menjabat Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Futsal IPB 2012-2013. Penulis
berhasil mendapatkan prestasi non akademik selama perkuliahan, yaitu Juara 2
Futsal Asrama C2 Cup 2011, Top Score Asrama C2 Cup 2011, Juara 1 Futsal TPB
Cup 2011, Top Score TPB Cup 2011, Pemain Terbaik TPB Cup 2011, Juara 3
Futsal OMI 2011, Juara 1 Futsal IPB Futsal League 2012, Juara 1 Futsal
Parahyangan Cup 2012, Juara 2 Futsal Forester Cup 2013, Juara 1 Sepakbola
Forester Cup 2013, Juara 2 Liga Futsal Mahasiswa Divisi Satu 2013.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis
melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh Waktu
Tebang Terhadap Kekuatan Lentur Bambu Andong (Gigantochloa
pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja) dibawah bimbingan Arinana, S.Hut, MSi
dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, MSi.