Sifat fisis dan mekanis bambu lapis dari bambu andong, Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro
SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI
BAMBU ANDONG (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)
TENGKU MUHAMMAD FADLI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI
BAMBU ANDONG (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Tengku Muhammad Fadli
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(3)
(4)
RINGKASAN
TENGKU MUHAMMAD FADLI. E02499019. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dari Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro), dibawah bimbingan Ir. Jajang Suryana, MSc.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan terhadap kayu sebagai bahan bangunan juga meningkat. Walaupun luas kawasan hutan berdasarkan TGHK sebesar 124.7 juta hektar yang terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 110.8 juta hektar dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13.9 juta hektar (Dephut, 2004), pada kenyataannya ketersediaan kayu di hutan alam semakin terbatas akibat dari eksploitasi yang berlebihan yang melebihi daya dukungnya dan cenderung menimbulkan kerusakan hutan.
Untuk mengatasi ketidakmampuan hutan dalam memenuhi kebutuhan kayu, perlu dilakukan tindakan-tindakan antisipasi dengan mencari bahan baku selain kayu yang salah satunya berupa bambu.
Bambu juga memiliki banyak kegunaan, mulai dari bahan bangunan sampai ke produk makanan olahan. Bambu disukai sebagai bahan bangunan karena memiliki beberapa keunggulan diantaranya kuat, keras, ringan, mudah didapat, cepat tumbuh, mudah dalam pengerjaan, dan mempunyai sifat mekanis yang lebih baik pada arah sejajar serat. Melihat keunggulan-keunggulan tersebut memungkinkan berkembangnya produk-produk panel bambu sebagai wujud upaya diversifikasi produk panel kayu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi tebal lapisan dan pengaruh perekat terhadap sifat fisis dan mekanis panel bambu lapis dan kemungkinan pemanfaatan bambu andong sebagai bahan baku pembuatan bambu lapis struktural.
Penelitian dimulai dari bulan Pebruari – Juni 2005 di Laboratorium Bio-Komposit dan Laboratorium Kayu Solid, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.
Alat-alat yang digunakan antara lain : gergaji tangan, mesin serut, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape, serta alat pengujian panel bambu berupa alat uji Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Bahan yang digunakan berupa bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro) dengan jarak antar ruas mencapai hingga 50-60 cm dan diameter batang berkisar 10–12cm. Perekat yang digunakan adalah epoxy dan Polyvinyl Acetat (PVAc).
Bambu lapis yang terdiri dari 3 lapisan diperoleh dari bilah bambu bebas buku yang diserut dengan ukuran panjang 40 cm dan lebar 2 cm dengan ketebalan total lapisan berbeda yaitu perlakuan B sebesar 10 mm (dengan ketebalan bilah tiap lapisan sebesar 2.5 mm – 5 mm – 2.5 mm) dan perlakuan A sebesar 11 mm (dengan ketebalan bilah tiap lapisan sebesar 3 mm – 5 mm – 3 mm). Bambu lapis direkat saling tegak lurus arah serat dengan menggunakan perekat epoxy dan PVAc. Kemudian bambu diuji sifat fisis dan mekanisnya menurut standard SNI 01-5008.7-1999.
Analisis sifat fisis dan mekanis bambu dilakukan dengan menggunakan rancangan faktorial acak lengkap untuk melihat sejauh mana perekat dan komposisi tebal bambu mempengaruhi sifat-sifat bambu.
Nilai kadar air bambu lapis berkisar antara 10.18% (pada perlakuan B dengan perekat epoxy) sampai dengan 11.02% (pada perlakuan A dengan perekat PVAc). Nilai total rata-rata kadar air sebesar 10.68%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perekat dan kombinasi lapisan tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar air panel bambu. Semua nilai kadar air bambu memenuhi standard SNI karena tidak melebihi 14%.
Nilai kerapatan bambu lapis berkisar antara 0.67 g/cm3 (pada perlakuan B dengan perekat epoxy) sampai dengan 0.77 g/cm3 (pada perlakuan A dengan perekat epoxy). Nilai kerapatan rata-rata keseluruhan panel bambu sebesar 0.71 g/cm3. Hasil analisis ragam menunjukkan kombinasi lapisan panel bambu berpengaruh sangat nyata terhadap nilai kerapatan panel bambu, sedangkan perekat atau pun interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata.
Nilai pengembangan panjang dimensi bambu lapis berkisar antara 0.25% (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) sampai dengan 1.14% (pada perlakuan A dengan perekat PVAc mau pun perlakuan B dengan perekat PVAc). Sedangkan nilai rata-rata pengembangan panjang keseluruhan panel bambu lapis sebesar 0.67. Nilai pengembangan lebar berkisar antara 0.28% (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) sampai dengan 1.16% (pada perlakuan B perekat
(5)
epoxy). Nilai rata-rata pengembangan lebar total panel bambu lapis sebesar 0.76%. Nilai pengembangan tebal berkisar antara 4.53% (pada perlakuan B dengan perekat epoxy) sampai dengan 11.17% (pada perlakuan B dengan perekat PVAc), sedangkan nilai total keseluruhan pengembangan dimensi tebal panel bambu sebesar 7.16%. Dari analisis ragam, pengembangan panjang dipengaruhi secara nyata oleh perekat mau pun kombinasi lapisan panel bambu pada selang kepercayaan 95%, begitu pula dengan pengembangan tebalnya. Sedangkan hasil analisis ragam nilai pengembangan lebar bambu lapis tidak dipengaruhi oleh perekat dan bentuk lapisan panel, tapi dipengaruhi oleh interaksi antara kedua faktor (perekat dan lapisan).
Nilai penyusutan dimensi panjang berkisar antara 0.14% (pada panel dengan semua perlakuan) hingga 0.57% (pada perlakuan B dengan perekat PVAc) dengan nilai rata-rata total sebesar 0.26%. Nilai penyusutan lebar berkisar antara 0.14% (pada panel dengan semua perlakuan) sampai dengan 0.72% (pada perlakuan A dengan perekat PVAc mau pun perlakuan B dengan perekat PVAc) dengan rata-rata total sebesar 0.40%. Nilai penyusutan tebal berkisar antara 1.28% (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) sampai dengan 4.05% (pada perlakuan A dengan perekat PVAc) dengan nilai rata-rata total sebesar 3.25%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perekat dan kombinasi lapisan maupun interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penyusutan panjang, penyusutan lebar dan penyusutan tebal.
Nilai keteguhan rekat sejajar serat permukaan dari hasil perhitungan berkisar antara 28.30 kg/cm2 (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) hingga 42.16 kg/cm2 (pada perlakuan B dengan perekat epoxy) dengan rata-rata total sebesar 34.81 kg/cm2. Hasil analisis ragam menunjukkan baik perekat dan lapisan maupun interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata. Semua nilai keteguhan rekat panel bambu memenuhi standard SNI.
Nilai keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti berkisar antara 6.64 kg/cm2 (pada perlakuan A dengan perekat PVAc) hingga 32.90 kg/cm2 (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) dengan rata-rata total sebesar 20.70 kg/cm2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perekat memberikan pengaruh yang sangat nyata pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan lapisan dan interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh sama sekali. Semua nilai keteguhan rekat panel bambu memenuhi syarat SNI.
Nilai kekakuan (MOE) bentang sejajar serat permukaan berkisar antara 127.8 x103 kg/cm2 (pada perlakuan B dengan perekat PVAc) hingga 211.7x103 kg/cm2 (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) denga rata-rata total sebesar 163.2x103 kg/cm2. Hasil analisis ragam menunjukkan perekat dan lapisan memberikan pengaruh yang sangat nyata pada selang kepercayaan 95%. Nilai kekakuan (MOE) bentang sejajar serat lapisan inti berkisar antara 19.2x103 kg/cm2 (pada perlakuan B dengan perekat epoxy) hingga 28.4x103 kg/cm2 (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) dengan rata-rata total sebesar 22.3x103 kg/cm2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekakuan bambu, namun lapisan memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95%. Semua nilai MOE bentang sejajar serat permukaan memenuhi syarat SNI, tetapi nilai MOE bentang sejajar serat lapisan inti tidak ada yang memenuhi standard SNI.
Nilai keteguhan patah (MOR) bentang sejajar serat permukaan berkisar antara 555.99 kg/cm (pada perlakuan B dengan perekat PVAc) hingga 1263.72 kg/cm (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) dengan rata-rata total sebesar 893.79 kg/cm. Hasil analisis ragam menunjukkan perekat dan lapisan memberikan pengaruh yang sangat nyata pada selang kepercayaan 95%. Nilai kekuatan patah (MOR) bentang sejajar serat lapisan inti bambu lapis berkisar dari 199.8 kg/cm (pada perlakuan B dengan perekat PVAc) hingga 391.92 kg/cm (pada perlakuan A dengan perekat epoxy) dengan rata-rata total sebesar 331.69 kg/cm. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perekat dan lapisan tidak memberikan pengaruh yang nyata baik pada selang kepercayaan 95% mau pun 99%. Semua nilai keteguhan patah (MOR) baik bentang sejajar serat permukaan maupun bentang sejajar serat lapisan inti yang dihasilkan memenuhi standard SNI.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bambu andong dapat digunakan sebagai bahan baku untuk panel bambu lapis struktural dan panel bambu dengan ketebalan 11 cm menggunakan perekat epoxy memberikan sifat fisis dan mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan panel bambu dengan perlakuan lainnya.
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Selatpanjang Riau pada tanggal 6 Maret 1980, merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan keluarga H. Tengku Usman dan Hj. Tengku Fadillah.
Pendidikan formal dijalani oleh penulis dimulai dari taman kanak-kanak di TK Pertiwi Selatpanjang, kemudian penulis melanjutkan dan menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 007 Selatpanjang Kec. Tebing Tinggi Kab. Bengkalis pada tahun 1993. Pada tahun yang sama, penulis memilih melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di kota Selatpanjang dan menyelesaikannya pada tahun 1996. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di SMU Negeri 1 pada kota yang sama dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Setelah lulus SMU, pada tahun yang sama penulis diterima masuk IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan melanjutkan pendidikannya dengan memilih program studi Pengolahan Hasil Hutan Jurusan Teknologi Hasil Hutan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti kuliah, penulis pernah melakukan kegiatan praktek lapangan pada tahun 2002 berupa Praktek Umum Kehutanan (PUK) di KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur Jawa Tengah serta Praktek Pengolahan Hutan di KPH Ngawi dan KPH Randublatung Jawa Tengah. Di samping itu, pada tahun 2003 penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Gunung Geulis Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada almamaternya, penulis melaksanakan praktek khusus dalam bidang biokomposit dengan judul “Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis Dari Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)” dibawah bimbingan Ir. Jajang Suryana, MSc.
(7)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan rahmat, serta hidayah-Nya bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Sholawat dan salam atas suri taulan dan Rasulullah SAW dan seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Dengan penuh ketulusan dan keikhlasan penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang kepada semua pihak yang telah membantu penulis hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dan penyusunan skripsi hasil penelitian ini. Pada kesempatan ini, dengan rasa hormat penulis sampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Ibu dan Ayah yang telah mendidik dan membina dengan penuh kasih sayang serta saudara-saudaraku atas kasih sayang yang tiada hentinya sehingga studi dan skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Ir. Jajang Suryana, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan nasehat yang sangat berharga selama penelitian maupun saat penulisan skripsi ini.
3. Bapak Ir. Purwowidodo, MS sebagai dosen penguji yang mewakili Departemen Manajemen Hutan.
4. Bapak Ir. Edhi Sandra, MS sebagai dosen penguji yang mewakili Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
5. Bapak dan Ibu Bukhori, Aa Kiki (terima kasih atas bantuannya), teman-temanku Aam, Uung, Dwi fapet, Afdhal (terima kasih atas peminjaman komputernya), Henti, Susi, Omoi, Opiek (terima kasih atas saran dan dorongannya), Topan dan eks gank- ku Rio, Deka, Risang (terima kasih atas keceriaan dan kenangan selama masa perkuliahan).
6. Untuk teman karibku Fakhrizal Nashr yang tanpa bosan selalu memberikan nasehat-nasehat berharga, saran, dan dorongan moril yang sangat bermanfaat.
7. Seluruh staf Laboratorium Kayu Solid, Laboratorium Biokomposit, dan Laboratorium Keteknikan Kayu dan staf KPAP Departemen Hasil Hutan (Bu Laya, Mas Roni, Pak Ikhsan, Bu Susi).
8. Teman-teman THH’36 atas segala kenangan dan kebersamaan di saat kuliah
Mengingat bahwa tak ada gading yang tak retak maka penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan disana-sini atas penulisan hasil penelitian ini, dan untuk itu diharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan penulisan mau pun untuk perkembangan penelitian selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Januari 2006
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bambu ... 3
B. Bambu Andong ... 7
C. Perekat ... 8
D. Kayu Lapis ... 10
E. Kayu Sungkai (Peronema canescens Jack) ... 11
F. Kayu Jati (Tectona grandis L.f) ... 11
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat ... 12
B. Waktu Penelitian ... 12
C. Metode Penelitian ... 12
1. Persiapan Bahan ... 12
2. Pembentukan Lembaran ... 12
3. Pembuatan Bambu Lapis... 13
D. Pengujian Contoh Uji ... 17
E. Analisis Data ... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisis 1. Kadar Air ... 23
2. Kerapatan ... 24
3. Pengembangan Dimensi ... 25
4. Penyusutan Dimensi ... 27
B. Keteguhan Rekat Bambu Lapis 1. Keteguhan Rekat Sejajar Serat Permukaan ... 29
2. Keteguhan Rekat Sejajar Serat Lapisan Inti ... 30
C. Keteguhan Lentur 1. Keteguhan Lentur Bentang Sejajar Serat Permukaan ... 31
(9)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 37
B. Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
(10)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Sifat fisis dan mekanis beberapa jenis bambu ... 7
2. Ratio antara tebal lapisan inti dengan lapisan muka ... 19
3. Persyaratan keteguhan rekat kayu lapis ... 19
4. Sifat fisis bambu lapis ... 23
5. Nilai keteguhan rekat bambu lapis ... 29
6. Nilai keteguhan lentur statis bambu lapis ... 31
7. Nilai standard SNI keteguhan lentur bentang sejajar serat permukaan ... 33
(11)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pola rekatan lembaran bilah bambu ... 13
2. Susunan ketebalan bambu lapis ... 13
3. Pengambilan contoh uji panel bambu ... 14
4. Contoh uji keteguhan rekat ... 15
5. Contoh uji keteguhan lentur ... 16
6. Posisi contoh uji dan letak beban ... 20
7. Skema pembuatan bambu lapis ... 22
8. Histogram kadar air bambu lapis ... 23
9. Histogram kerapatan bambu lapis ... 24
10. Histogram pengembangan dimensi ... 26
11. Histogram penyusutan dimensi ... 28
12. Histogram keteguhan rekat sejajar serat permukaan ... 29
13. Histogram keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti ... 30
14. Histogram MOE bentang sejajar serat permukaan ... 32
15. Histogram MOR bentang sejajar serat permukaan ... 33
16. Histogram MOE bentang sejajar serat lapisan inti ... 34
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data pengamatan sifat fisis bambu lapis ... 41
2. Data pengamatan sifat mekanis bambu lapis ... 42
3. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan kadar air ... 43
4. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan kerapatan ... 44
5. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengembangan panjang ... 45
6. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengembangan lebar ... 46
7. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengembangan tebal ... 47
8. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan penyusutan panjang ... 48
9. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan penyusutan lebar ... 49
10. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan penyusutan tebal ... 50
11. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan keteguhan rekat sejajar serat permukaan ... 51
12. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti ... 52
13. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan MOE bentang sejajar serat permukaan ... 53
14. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan MOR bentang sejajar serat permukaan ... 54
15. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan MOE bentang sejajar serat lapisan inti ... 55
(13)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan terhadap kayu sebagai bahan bangunan juga meningkat. Walaupun luas kawasan hutan berdasarkan TGHK sebesar 124.7 juta hektar yang terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 110.8 juta hektar dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13.9 juta hektar (Dephut, 2004), pada kenyataannya ketersediaan kayu di hutan alam semakin terbatas akibat dari kegiatan eksploitasi yang berlebihan yang melebihi daya dukungnya dan cenderung menimbulkan kerusakan hutan. Ditambah lagi, dewasa ini luas hutan di Indonesia terus mengalami penyusutan.
Untuk mengatasi ketidakmampuan hutan dalam memenuhi kebutuhan kayu yang terus meningkat, perlu dilakukan tindakan-tindakan antisipasi dengan mencari bahan baku selain kayu yang dapat digunakan sebagai pengganti atau penunjang kayu dari hutan alam. Salah satunya dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu berupa bambu.
Keadaan ini ditunjang oleh kenyataan bahwa Indonesia memang kaya akan jenis bambu yang berpotensi ekonomi baik secara lokal mau pun dalam skala nasional dan bahkan untuk keperluan regional dan internasional. Melihat potensi bambu di Indonesia terdapat lebih dari 143 jenis bambu dan 9 jenis diantaranya merupakan bambu yang hidup endemik di Jawa (Widjaja, 2001).
Bambu banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan potensial dikembangkan untuk menjadi sumber pemasok bahan baku industri. Pemanfaatan bambu diantaranya untuk keperluan alat-alat rumah tangga, sebagai penghara industri sumpit, barang kerajinan, bilik, tanaman hias, dan lain sebagainya. Bambu juga merupakan bahan bangunan siap pakai, tergantung kebutuhan yang diinginkan sedangkan rebungnya untuk jenis tertentu dapat dimanfaatkan sebagai sayuran. Beberapa keunggulan bambu diantaranya kuat, keras, ringan, mudah didapat, cepat tumbuh, mudah dalam pengerjaan, dan mempunyai sifat mekanis yang lebih baik pada arah sejajar serat. Melihat keunggulan-keunggulan tersebut memungkinkan berkembangnya produk-produk panel bambu sebagai wujud upaya diversifikasi produk panel kayu.
Bentuk-bentuk diversifikasi panel dari bambu menghasilkan papan tiruan yang beragam bentuk meliputi papan partikel, papan serat, papan laminasi bambu atau pun bambu lapis (ply bamboo).
Penelitian ini mencoba mengetahui sifat fisis dan mekanis berdasarkan tebal lapisan bambu lapis yang dibuat dengan menggunakan perekat epoxy dan PVAc.
(14)
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Kemungkinan pemanfaatan bambu andong sebagai bahan baku pembuatan bambu lapis struktural.
2. Mengetahui pengaruh komposisi tebal lapisan dan pengaruh perekat terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis.
(15)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bambu
1. Sifat Umum Bambu
Bambu merupakan tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Graminaeae sub-famili
Bambusoideae, dari suku Bambuceae. Dari kurang lebih 1000 spesies bambu dalam 80 genera, sekitar 200 jenis dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja, 1995). Menurut Widjaja (2001), jumlah bambu di Indonesia terdiri atas 143 jenis, dengan 60 jenis diperkirakan tumbuh di Jawa.
Lebih lanjut Widjaja (2001) menyatakan bahwa bambu mudah sekali dibedakan dengan tumbuhan lainnya karena tumbuhnya merumpun, batangnya bulat, berlubang dan beruas-ruas, percabangannya kompleks, setiap daun bertangkai dan bunga-bunganya terdiri dari sekam, sekam kelopak, dan sekam mahkota. Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), diameter batang bambu tergantung dari spesiesnya dan lingkungan tempat tumbuh, dengan nilai bervariasi antara 0.5–20 cm. Besar diameter batang dewasa dapat diketahui dari besar diameter rebung bambu yang masih muda.
Bambu dapat dijumpai di daerah tropis, sub-tropis, dan daerah beriklim sedang pada semua benua kecuali Eropa dan Asia Barat, dari dataran rendah hingga ketinggian 4000 m (Dransfield dan Widjaja, 1995). Tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 m dpl. Pada umumnya ditemukan di tempat-tempat terbuka dan daerah bebas dari genangan air (Krisdianto et al., 2000).
Janssen (1981) dalam Noermalicha (2001) menyatakan bambu mempunyai sifat ramah lingkungan (tidak terlalu banyak menghabiskan energi) sama seperti kayu, energi regangannya seefisien baja dan ketahanannya terhadap lendutan serta lengkungan sebagus kayu terutama saat gempa, mempunyai sifat mekanis lebih baik dibanding dengan bata, beton, kayu, bahkan baja.
Bambu diperoleh dari tegakan alam maupun dari hasil kegiatan budidaya yang dilakukan oleh manusia. Berbagai metode yang digunakan untuk memperbanyak bambu antara lain perbanyakan secara generatif melalui biji dan perbanyakan bambu secara vegetatif dengan menggunakan metode pemotongan rimpang akar, stek batang, stek cabang, stump batang dalam rumpun bambu, dan kultur jaringan. Perbanyakan generatif melalui biji sangat jarang dilakukan karena biji bambu umumnya sangat sulit diperoleh di lapangan (Dransfield dan Widjaja, 1995).
Pemanenan bambu bergantung pada umur, musim, dan bagian yang digunakan (batang atau rebung). Sulthoni (1987) dalam Dransfield dan Widjaja (1995) mengatakan pemanenan bambu untuk produksi batang dilakukan selama musim kemarau atau pada awal musim kemarau untuk mencegah bambu terserang penggerek. Selama musim kemarau, kandungan pati juga sangat rendah. Selanjutnya Tamolang et. al (1980) menyatakan bahwa perendaman bambu pada air laut atau air mengalir selama 2 – 3 bulan dapat mengurangi kadar pati, yang dapat menyebabkan serangan kumbang berkurang.
(16)
Pada umur 1-2 tahun batang bambu cocok dipanen untuk tujuan produksi pulp dan barang kerajinan tangan. Umur 3 tahun, batang bambu umumnya cocok dipanen sebagai bahan bangunan,
furniture dan industri lainnya.
2. Sifat Anatomis
Batang bambu tersusun atas sel-sel parenkim yang membentuk jaringan dasar dan ikatan vaskular (vascular budle) yang mengandung pembuluh (vessel), pembuluh tapis (sieve tubes) dan serat (fibre). Batang bambu terdiri dari 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel-sel penghubung (pembuluh dan pembuluh tapis). Parenkim dan sel-sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam batang bambu, sedangkan pada bagian luar batang persentase serat lebih tinggi. (Liese, 1980).
Lebih lanjut, Liese (1980) menyatakan bahwa secara anatomis, bambu sulit dilalui cairan karena struktur dinding selnya berlapis-lapis serta hanya terdiri dari serat aksial pada bagian ruas. Bagian terluar batang bambu terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis, dan sedikit ke bagian dalamnya ditutupi oleh lapisan sel sklerenkim.
2.1. Parenkim
Jaringan dasar terdiri dari sel-sel parenkim yang pendek, umumnya memanjang secara vertikal (100x20 µm) berbentuk seperti kubus yang saling menyisip satu dengan lainnya. Sel-sel tipe ini memiliki dinding yang tebal serta mengalami lignifikasi pada tahap awal pertumbuhan rebungnya. Sel-sel yang berukuran lebih pendek dicirikan oleh sitoplasma tebal dan berdinding tipis, serta tidak menunjukkan terjadinya lignifikasi walau batang menjadi dewasa dan aktifitas sitoplasma tetap berlangsung sepanjang waktu. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan lainnya melalui noktah sederhana berukuran kecil yang terdapat pada dinding longitudinal (Liese, 1980).
2.2. Ikatan Vaskular
Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), ikatan vaskular pada batang bambu terdiri dari xylem dengan 1–2 elemen protoxylem berukuran kecil dan 2 pembuluh metaxylem berukuran besar (diameter 40–120 µm), dan floem yang berdinding tipis, pembuluh tapis tidak berlignin yang saling berhubungan untuk menggabungkan sel-sel. Jaringan floem dan pembuluh metaxylem dikelilingi oleh selubung sklerenkim. Pada bagian luar batang, ikatan vaskular berukuran kecil dalam jumlah banyak, sedangkan pada bagian dalam batang berukuran besar dalam jumlah sedikit. Jumlah ikatan vaskular berkurang dari bagian luar ke bagian dalam batang bambu, dan dari bawah ke ujung batang.
Lebih lanjut Tamolang et al. (1980) menjelaskan dengan rinci bahwa ikatan vaskular beragam dalam formulasi (susunan), ukuran, jumlah, dan bentuk. Bentuk formulasi ikatan vaskular antara lain peripheral, transtitional, central, dan inner. Peripheral memiliki ikatan vaskular berukuran kecil dalam jumlah banyak yang tersusun secara tangensial, transtitional
membentuk ikatan yang tidak sempurna, central membentuk ikatan yang sempurna, sedangkan
(17)
2.3. Serat
Serat bambu dicirikan oleh sel-sel sklerenkim yang mengelilingi ikatan vaskular dan dipisahkan oleh parenkim. Panjang serat sangat beragam tergantung jenis bambu. Panjang serat bertambah dari bagian luar batang bambu dan mencapai maksimum pada bagian tengah batang, kemudian makin berkurang hingga ke bagian dalam batang. Serat terpendek ditemukan disekitar buku sedangkan serat terpanjang berada di bagian tengah ruas bambu (Dransfield dan Widjaja, 1995).
Di lain pihak, Liese (1980) menyatakan bahwa serat lebih banyak ditemukan di sepertiga bagian luar, sedangkan parenkim dan sel-sel penghubung (conducting cells) lebih banyak ditemukan di sepertiga bagian dalam. Pada arah vertikal, jumlah serat meningkat dari bagian bawah ke atas, sebaliknya jumlah parenkim menurun.
3. Sifat Fisis 3.1. Berat Jenis
Haygreen dan Bowyer (1989) mendefinisikan berat jenis sebagai perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat pada kadar air tertentu dan volume) dengan kerapatan air pada suhu 4oC.
Menurut Tamolang et al., (1980) BJ bambu cenderung naik ke arah ujung. Selanjutnya Liese (1980) menyatakan BJ bambu bervariasi dari 0.5–0.8, dengan bagian luar dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian dalamnya.
3.2. Kadar Air
Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu. Kadar air dari bambu dewasa segar berkisar antara 50–99% dan pada bambu muda berkisar dari 80–150%, sedangkan kadar air bambu kering berkisar antara 12–8%. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan musim kemarau (Dransfield dan Widjaja, 1995).
Perbedaan kadar air pada musim penghujan dan musim kemarau dapat mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu mengandung hanya kira-kira 50% air (Yap, 1967).
Tamolang et al. (1980) menyatakan bambu muda mengalami penurunan kadar air lebih cepat dari bambu dewasa selama proses pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang.
3.3. Penyusutan
Tidak seperti kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese, 1985
dalam Dransfield dan Widjaja, 1995). Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20% menyebabkan penyusutan sebesar 4–14% pada tebal dinding dan 3–12% pada diameternya. Penyusutan lebih besar terjadi pada arah radial daripada arah tangensialnya (sekitar 7% berbanding
(18)
6%), tetapi perbedaan penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah longitudinal kurang dari 0.5% (Dransfield dan Widjaja, 1995).
4. Sifat Mekanis
Haygreen dan Bowyer (1982) menyatakan kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan suatu bahan disebut sebagai sifat-sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban/gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya.
Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan berat jenis (Dransfield dan Widjaja, 1995). Kekuatan mau pun kekakuan kayu akan naik dengan semakin besarnya berat jenis (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Umur bambu, kondisi bambu, kadar air, bentuk dan ukuran contoh uji, berbuku atau tidaknya, posisi dalam batang, dan lama pembebanan sangat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu (Janssen, 1980 dalam Kurniawan, 2002).
Lebih dalam, Janssen (1981) dalam Noermalicha (2001) menyatakan kekuatan mekanis sangat bergantung pada lapisan sklerenkim; yang dimaksud dengan lapisan sklerenkim adalah jaringan yang berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese (1980) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya (dimana sklerenkim terdapat didalamnya) dan bukan pada parenkim. Hingga saat ini, parenkim masih belum ditemukan kegunaannya.
Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, kehadiran silika meningkatkan kekuatan. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu sebesar sekitar 0.5-4.0 %.
Disamping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteguhan tarik dan keteguhan tekan yang yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Syafi’i (1984).
Beberapa sifat fisis mekanis jenis-jenis bambu pernah diteliti oleh Syafi’i (1984) antara lain tertera seperti pada Tabel 1.
(19)
Tabel 1. Sifat fisis mekanis beberapa jenis bambu di Indonesia Jenis Bambu Sifat yang diuji
Betung Gombong Kuning Tali Sembilang
1. BJ 0.61 0.55 0.52 0.65 0.71
2. Susut volume (%)
Basah – Kering Udara 10.62 12.36 11.29 12.45 11.05
Kering Udara – Kering Tanur 4.99 4.96 4.74 4.60 4.49
Susut tebal (%)
Basah – Kering Udara 6.02 7.94 4.31 5.83 3.04
Kering Udara – Kering Tanur 4.30 5.75 5.47 5.32 7.03
Susut lebar (%)
Basah – Kering 4.81 6.58 3.19 6.30 2.48
Kering Udara – Kering Tanur 4.83 5.96 4.19 3.60 7.57
3. MOR (kg/cm3) 1.638 1.356 1.148 -*) 627
4. MOE (kg/cm3) 131.192 98.294 76.205 -*) 143.207
5. Tekan sejajar serat (kg/cm2) 605 521 455 -*) 627
6. Tekan tegak lurus serat (kg/cm2) 2.127 1.914 1.322 2.004 1.907
Sumber : Syafi’i (1984)
*) tidak dapat dibuat spesimen percobaan karena dinding bambu terlalu tipis
B. Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)
Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), bambu andong atau bambu gombong memiliki sinonim antara lain Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja, Bambusa pseudoarundinaceae Steudel dan Gigantochloa maxima Kurtz, dan memiliki nama daerah berupa Pring Sunda, Awi Andong (Sunda), Buluh Batuang Danto (Padang, Sumatera).
Sastrapradja et al. (1980) mengemukakan bambu andong mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuning-kuningan dengan garis-garis kuning yang sejajar dengan buluhnya dengan rumpun yang tidak terlalu rapat. Daerah asalnya diduga Malaya Utara dan Burma. Perbanyakannya dilakukan dengan akar rimpang atau potongan buluhnya. Bambu andong perkembangbiakannya cukup cepat. Bambu andong terutama terdapat pada daerah-daerah yang beriklim kering dengan ketinggian 0 sampai 700 m dpl. Lebih lanjut Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan bambu andong dapat tumbuh pada tanah lempung berpasir atau tanah berlumpur (alluvial) pada ketinggian hingga 1200 m dpl dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2350–4200 mm dan suhu rata-rata 20–32 oC.
Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan di Indonesia bambu andong yang tumbuh pada lereng bukit (pada ketinggian 500 m dengan curah hujan tahunan sebesar 4200 mm) lebih kuat (memiliki berat jenis yang lebih tinggi, kekuatan tarik dan lentur yang lebih tinggi) dibandingkan batang bambu yang tumbuh pada daerah lembah. Bambu andong berbentuk simpodial, tinggi batang 7-30 m, dengan diameter sekitar 5-13 cm, dengan tebal dinding mencapai 2 cm, panjang ruas lebih dari 40-45 (-60) cm.
(20)
Dimensi serat bambu andong meliputi : panjang 2.75-3.27 mm, diameter 24.55-37.97 µm, jumlah serat meningkat sekitar 10% dari bawah (pangkal) ke atas (ujung) batang bambu. Berat jenis berkisar dari 0.5-0.7 (bagian ruas) dan 0.6-0.8 (bagian buku). Modulus elastisitas sebesar 19440-28594 N/mm2, modulus patah sebesar 171-207 N/mm2, keteguhan tarik 128-192 N/mm2.
C. Perekat
1. Pengertian Perekat
Ruhendi dan Hadi (1997) mendefinisikan perekat sebagai suatu substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis atau tidak sejenis melalui ikatan permukaan.
Selanjutnya, Pizzi (1983) dalam Nurfaridah (2002) membedakan perekat berdasarkan reaksi terhadap panas menjadi perekat thermosetting dan thermoplastic.
- Perekat thermosetting merupakan perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan katalisator (hardener) tertentu dan reaksinya bersifat tidak dapat balik. Perekat jenis ini jika sudah mengeras tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat ini antara lain
phenol formaldehid. urea formaldehid, melamine formaldehid dan isocyanate.
- Perekat thermoplastic adalah perekat yang dapat lunak jika terkena panas dan kembali mengeras jika suhu rendah. Contoh perekat ini antara lain polyvinyl-acetate, cellulose adhesives,arillic resin adhesives.
2. Perekat Epoxy
Perekat epoxy terdiri dari suatu cairan atau padatan dapat lebur yang mengandung gugus epoksida, dan zat curing/pengeras yang mengandung gugus fungsional yang bersama gugus epoksida membentuk rantai polimer.
Zat curing/pengeras juga dikenal sebagai hardener. Resin epoxy, dalam keadaan belum matang mengandung gugus epoksida :
Perekat epoxy dapat dijumpai dalam bentuk sistem satu atau dua komponen. Sistem dua komponen dapat dijumpai dalam bentuk cair, dempul (putties), atau dalam bentuk resin cair dan bubuk hardener. Jika reaksi antara resin dan hardener dapat terjadi pada suhu ruang, kedua komponen dicampur secepatnya sebelum digunakan, seandainya perekat tersedia dalam sistem dua komponen. Produk satu komponen dapat dijumpai dalam bentuk resin cair bebas pelarut, solusi dalam pelarut, resin pasta cair, bubuk dapa larut, stik, pellet, dan pasta, film, dan berbentuk potongan siap pakai.
Sifat perekat bergantung sistem tertentu, misalnya modifikasi atau zat curing yang digunakan, ikatan perekat epoxy menunjukkan sifat yang berbeda. Ikatan epoxy menghasilkan
O
(21)
kekuatan yang sangat bagus dan tahan lama terhadap berbagai macam lingkungan. Ikatan yang terbentuk biasanya tahan beberapa tahun jika berhubungan dengan minyak, lemak, bahan bakar hidrokarbon, alkali, pelarut aromatis, asam, alkohol, air, dan cuaca panas atau dingin. Perekat epoxy menunjukkan resistensi rendah pada keton dan ester. Beberapa formulasi menunjukkan resistensi rendah terhadap lemak, minyak dan imersi dalam air panas. Perekat matang dari poliamida menunjukkan resistensi yang sangat rendah terhadap air panas dan alkali. Sedangkan perekat dengan zat curing dari poliamina dan sistem anhidrid memiliki resistensi yang buruk terhadap cuaca dingin.
Perekat epoxy menunjukkan sifat dan keuntungan sebagai berikut :
a.perekat ini memiliki aktifitas permukaan yang tinggi dan sifat pembasahan (wetting) yang baik untuk bahan seperti logam, lem dan keramik. Perekat dapat dibuat formulasi untuk memberikan campuran berviskositas rendah yang meningkatkan pembasahan (wetting), penyebaran, dan aksi penetrasi.
b.kekuatan kohesif tinggi untuk polimer matang.
c.sistem perekat 100% tipe padat, yang tidak memerlukan air saat kondensasi dan tidak mengandung pelarut apapun.
d.memberikan ikatan yang lebih kuat dengan pewarnaan yang sedikit pada garis rekat dan penyusutan yang rendah selama proses setting.
Perekat epoxy yang belum matang biasanya berbentuk cairan kental berwarna seperti madu, dan kadang-kadang berwarna coklat dengan sedikit kekuning-kuningan, yang dapat mencair saat dipanaskan. Penambahan katalis atau hardener menghasilkan panas saat reaksi, yang baik untuk mempercepat reaksi terutama untuk garis rekat tebal; tapi pada garis rekat yang tipis, panas akan menyebar keluar ke permukaan sirekat (adherent).
Beberapa bahan yang umum digunakan sebagai hardener pada resin epoxy adalah sebagai berikut :
- Amina alifatik. Amina alifatik memberikan perekat dengan kekuatan yang baik terhadap
adherent termasuk logam, kaca, kayu, dan berbagai macam plastik. Amina yang sering digunakan antara lain : TETA, TEPA, DETA, DMP 30. Sistem pematangan dingin, yang dapat dipanaskan untuk mengurangi waktu pemasakan yang dibutuhkan dengan proporsi 10 bagian katalis terhadap 100 bagian resin lazim digunakan.
- Amina aromatis. Digunakan sebagai hardener dalam bentuk padat, tipe hot-setting, memerlukan panas saat pematangan dan tidak dapat matang/mengeras pada suhu ruang. Hardener ini meliputi : MPDA, DDM, MDA. Sistem amina aromatis memiliki pot-life
beberapa jam pada suhu ruangan. - Poliamida.
(22)
3. Perekat PVAc (Polyvinyl Acetate)
Landrock (1985) menyatakan bahwa perekat yang umum digunakan secara luas dalam bentuk pelarut air (water dispersion) adalah polyvinyl acetate. PVAc dikenal secara umum sebagai ‘perekat putih’ untuk keperluan rumah tangga.
Menurut Hadi dan Ruhendi (1997), perekat PVAc diperoleh dari polimerisasi vinyl-asetat dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan, mau pun polimerisasi emulsi. Yang paling banyak digunakan dalam proses industri adalah polimerisasi emulsi. Derajat polimerisasi sangat berpengaruh terhadap sifat perekatnya dimana perekat dengan berat molekul (BM) tinggi akan memberikan kekentalan yang lebih tinggi pula. Untuk perekat kayu, biasanya digunakan PVAc dengan BM 1000-2000.
Pizzi (1983) menerangkan bahwa perekat PVAc tidak memerlukan kempa panas. Dalam penggunaannya secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat yang baik dengan biaya relatif rendah. Keuntungan utama menggunakan perekat PVAc dapat melebihi UF, karena kemampuannya menghasilkan ikatan rekat secara ekstrim dan cepat pada suhu kamar. Keuntungan lainnya adalah tidak memerlukan kempa panas yang memerlukan biaya yang tinggi. Sedangkan menurut Landrock (1985) PVAc memiliki resistensi yang rendah terhadap cuaca dan kelembaban, resistensi terhadap kebanyakan pelarut buruk hingga perekat ini dapat larut dalam minyak, lemak, dan bahan bakar cair. Film perekat yang telah matang dapat melunak jika mencapai suhu 45oC.
D. Kayu Lapis
Kayu lapis adalah produk panel vinir-vinir kayu yang direkat bersama sehingga arah serat sejumlah vinir tegak lurus dan yang lain sejajar sumbu panjang panel. Pada kebanyakan tipe kayu lapis setiap 2 lapis sekali diletakkan vinir yang arahnya sejajar dengan lapis pertama (Haygreen dan Bowyer, 1989). Vinir (Dumanauw, 1990) adalah lembaran kayu tipis dengan ukuran ketebalan seragam berkisar dari 0.24 mm – 6 mm yang diperoleh dari penyayatan (pengupasan) dolok kayu jenis tertentu.
Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan untuk menyesuaikan kayu lapis dengan penggunaannya yang tepat memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang merupakan faktor utama sebagai penentu kualitas kayu lapis, diantaranya :
(a) daya tahan yang diperlukan garis rekat untuk menghindari pengelupasan (b) persyaratan kekuatan, kekakuan, dan daya menahan paku
(c) kualitas visual permukaannya
(d) persyaratan khusus lainnya seperti ketahanan terhadap pembusukan dan api.
Kayu lapis memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan jadi kayu lainnya. Diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Ruhendi dan Widarmana (1983) meliputi : stabilitas dimensinya yang tinggi karena jumlah lapis yang ganjil dipasang sedemikian rupa saling tegak lurus, tampak rupa kayu asli dengan ukuran lebih lebar, mempunyai sifat mekanis yang lebih baik, mudah dikerjakan, dan dapat dibuat dari hampir semua jenis kayu.
(23)
E. Kayu Sungkai (Peronema canescens Jack)
Sungkai atau jati sabrang termasuk suku Verbenaceae. Pohonnya mencapai tinggi sampai 25 m, dengan diameter batang di dekat pangkalnya sampai 60 cm. Batangnya lurus sedikit berlekuk dangkal, dengan kulitnya yang mengelupas kecil-kecil tipis. Tumbuhan ini tersebar secara alami di kawasan Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Diduga tanaman ini diperkenalkan ke daerah Banten dari Sumatera oleh Junghuhn pada tahun 1846. Sungkai tumbuh di hutan primer, di tepi sungai, yang secara bermusim tergenang air tawar, dan juga di hutan sekunder campuran di darat, pada tanah liat atau berpasir. Jenis ini tumbuh sampai ketinggian 900 m dpl, dan di Jawa dijumpai pada ketinggian 200 – 300 m dpl (Sastrapradja dan Kartawinata, 1980).
Ciri umum kayu sungkai yaitu berwarna krem kuning kecoklatan atau coklat muda sampai kemerahan, teras sukar dibedakan dari gubal. Riap tumbuh jelas pada bidang melintang mebentuk lingkaran yang memusat, pada bidang radial berupa garis-garis sejajar, dan pada bidang tangensial tampak seperti parabola (Mandang dan Pandit, 1997).
Masih menurut Mandang dan Pandit (1997), kayu sungkai termasuk ke dalam kelas awet III, kelas kekuatan II – III dengan BJ kayu agak berat, 0.63 (0.52-0.73). Kualitas kayu hampir sebaik jati hanya saja sungkai lebih ringan.
F. Kayu Jati (Tectona grandis L. f.)
Jati termasuk ke dalam suku Verbenaceae dengan nama daerah deleg, dodolan, jate, jati, jatos, kulidawa, kiati. Daerah penyebaran jati di Indonesia meliputi seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Lampung. Diyakini tanaman jati di Indonesia berasal dari negara India (Martawijaya dan Kartasujana, 1977).
Menurut Mandang dan Pandit (1997), kayu jati dicirikan oleh teras yang berwarna kuning emas kecoklatan sampai coklat kemerahan, mudah dibedakan dari gubal yang berwarna putih agak keabu-abuan. Kayu jati memiliki corak dekoratif yang indah berkat jelasnya lingkaran tumbuh, sedikit buram dan berminyak. Kayu bertekstur agak kasar sampai kasar dan tidak rata dengan arah serat lurus bergelombang sampai agak berpadu. Lingkaran tumbuh tampak sangat jelas pada semua bidang observasi.
Lebih lanjut, Martawijaya dan Kartasujana (1977) menyatakan kayu jati termasuk ke dalam kelas awet I-II dan kelas kuat II dengan berat jenis 0.67 (0.62-0.75). Kekerasannya sedang dan mempunyai nilai penyusutan dalam arah radial dan tangensial berturut-turut 2.8 persen dan 5.2 persen (basah sampai kering tanur).
(24)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu andong (Gigantochloa verticillata
(Willd.) Munro) yang diambil dari dusun Gunung desa Cipendeui Ciampea dengan jarak antar ruas mencapai hingga 50-60 cm dengan diameter batang rata-rata 10–12cm. Perekat yang digunakan adalah epoxy dan Polyvinyl Acetat (PVAc).
2. Alat
Alat yang digunakan terdiri atas alat penyiapan bahan meliputi : gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut; alat pembuatan panel bambu meliputi : alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape; serta alat pengujian panel bambu berupa alat uji
Universal Testing Machine (UTM) merk Instron.
B. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bio-komposit, Laboratotium Keteknikan Kayu, Laboratorium Kayu Solid, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB dalam waktu 5 bulan, dimulai dari bulan Pebruari – Juni 2005.
C. Metode Penelitian 1. Persiapan Bahan
Batang bambu terlebih dahulu dipotong-potong sepanjang 40 cm tanpa menyertakan buku bambu, kemudian selanjutnya dibuat menjadi bilah dengan cara dibelah. Bilah bambu kemudian diserut menggunakan alat serut dengan lebar 2 cm dan ketebalan yang berbeda-beda, yaitu sebesar 2.5 mm, 3 mm, dan 5 mm. Ketebalan bilah bambu sebesar 5 mm digunakan sebagai lapisan inti (core) panel bambu, sedangkan ketebalan 2.5 mm dan 3 mm digunakan sebagai lapisan muka dan belakang (face-back) panel bambu. Bilah bambu hasil serutan yang didapat kemudian direndam selama ± 1 minggu dengan tujuan untuk mengurangi kadar pati dalam bambu agar tidak mudah diserang oleh serangga perusak. Bambu kemudian dioven pada suhu 600C–800C hingga mencapai kadar air 10–12%.
2. Pembentukan Lembaran
Bilah bambu serutan yang telah dikeringkan disusun sedemikian rupa menurut ketebalannya masing-masing sehingga mencapai ukuran 40x40 cm. Susunan bilah bambu tersebut kemudian disatukan dengan cara merekat kedua ujungnya menggunakan lakban sehingga terbentuk suatu lembaran bilah bambu.
(25)
Gambar 1. Pola rekatan lembaran bilah bambu
3. Pembuatan Bambu Lapis 3.1. Persiapan Perekat
Perekat yang digunakan adalah epoxy dan PVAc dengan berat labur sama sebesar 200 g/m2.
3.2. Pelaburan Perekat
Lembaran bilah bambu dilabur dengan perekat menggunakan teknik double spread agar penyebaran perekat diharapkan benar-benar merata pada setiap sisi permukaan yang direkat. Banyaknya perekat yang dibutuhkan untuk luas 2 permukaan lembaran bambu yang direkat bersama sebesar 0.4mx0.4mx200g/m2, yaitu 32 gram, sehingga masing-masing permukaan dilabur sebanyak 16 gram perekat. Sedangkan untuk lapisan terluar (lapisan permukaan), teknik perekatan yang digunakan adalah single spread dengan jumlah perekat yang dibutuhkan setengah dari luas 2 permukaan lembaran bambu yang direkat bersama (sebanyak 16 gram). Hal ini bertujuan untuk mengurangi perembesan perekat yang berlebihan pada bagian permukaan panel bambu.
3.3. Pembentukan Lembaran
Lembaran bilah bambu yang telah dilabur dengan perekat kemudian direkat satu dengan lainnya dengan arah saling tegak lurus arah seratnya. Lapisan permukaan (lapisan luar) panel bambu ditutup menggunakan vinir dari kayu jati dan kayu sungkai guna memperindah penampilan panel bambu yang dihasilkan. Pembentukan lembaran ini dibedakan berdasarkan tebal bilah bambu penyusunnya dan tebal total panel bambu membentuk kombinasi lapisan A dan kombinasi lapisan B
Kombinasi lapisan A
Kombinasi lapisan B
Gambar 2. Susunan Ketebalan Bambu Lapis
lakban
lakban
3 mm 5 mm 3 mm
2.5 mm 5 mm 2.5 mm
(26)
3.4. Pengempaan
Panel bambu yang telah disatukan dan direkat kemudian dikempa dingin (suhu 25oC) untuk tiap tipe perekat dengan tekanan 35 kg/cm2 dan waktu kempa selama 24 jam.
3.5. Pengkondisian
Setelah proses pengempaan dilakukan, panel dibiarkan di tempat terbuka selama 2 minggu untuk menghilangkan tegangan yang terjadi pada saat pengempaan dan menyesuaikan dengan kadar air setempat.
3.6. Pembuatan Contoh Uji
Setelah melewati masa conditining, panel bambu diuji sifat-sifatnya. Setiap panel kemudian dibuat contoh uji, masing-masing untuk melakukan pengujian kadar air dan kerapatan, kembang susut, keteguhan rekat (sejajar serat permukaan dan sejajar serat lapisan inti), serta keteguhan lentur (bentang sejajar serat permukaan dan bentang sejajar serat lapisan inti).
Gambar 3. Pengambilan contoh uji panel bambu Keterangan :
A = Contoh uji kadar air dan kerapatan (100 mm x 100 mm).
B1 = Contoh uji keteguhan lentur bentang sejajar serat permukaan (50 mm x (24T mm + 50 mm))
B2 = Contoh uji keteguhan lentur bentang sejajar serat lapisan inti (50 mm x (24T mm + 50 mm))
C1 = Contoh uji keteguhan rekat sejajar serat permukaan (100 mm x 25 mm) C2 = Contoh uji keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti (100 mm x 25 mm) D = Contoh uji stabilitas dimensi (35 mm x 35 mm)
A
B1
B2 C 2
C1
(27)
Keterangan :
1, 3 = Lapisan muka belakang bambu lapis 2 = Lapisan inti bambu lapis
A = Contoh uji keteguhan rekat sejajar serat permukaan B = Contoh uji keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti
Gambar 4. Contoh uji keteguhan rekat
1 2 3
A
100 mm
34,5 mm 25 mm 34,5 mm
25 mm
B
100 mm
34,5 mm 25 mm 34,5 mm
25 mm
1 2 3
(28)
dengan t = tebal panel bambu lapis
Gambar 5. Contoh uji keteguhan lentur Bentang Sejajar Serat Lapisan Inti
t
24t + 50 mm 50
mm
24t + 50 mm
t 50
mm
(29)
D. Pengujian Contoh Uji
Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.7-1999 tentang kayu lapis struktural, yang merupakan edisi revisi dari seri standar terdahulu yaitu SNI 01-2023-1990.
1. Kadar Air
Contoh uji berukuran 100 mm x 100 mm ditimbang untuk mengetahui berat awal. Kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 103±2oC sampai beratnya konstan. Contoh uji kemudian didinginkan selama kurang lebih 15 menit di dalam desikator. Selanjutnya contoh uji ditimbang kembali. Besar nilai kadar air dihitung dengan persamaan :
(%)
=
x
x
100
%
BKT
BKT
BA
KA
dengan : KA = Kadar Air BA = Berat Awal (gram)
BKT = Berat Kering Tanur (gram)
Kadar air panel bambu tidak boleh lebih besar dari 14 %.
2. Kerapatan
Kerapatan panel bambu lapis ditentukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan kadar air berukuran 100 mm x 100 mm. Contoh uji ditimbang beratnya (kondisi kering udara) dan dilakukan pengukuran dimesinya (panjang, tebal, dan lebar). Besar nilai kerapatan ditentukan dengan perhitungan :
T
x
L
x
P
BKU
Kr
=
dengan : Kr = Kerapatan (g/cm3) BKU= Berat kering udara (g)
P = Panjang (cm) L = Lebar (cm) T = Tebal (cm)
3. Kembang Susut
Contoh uji berukuran 50x25 mm diukur dimensinya (panjang, tebal, dan lebar) dalam kondisi kering udara, selanjutnya direndam dalam air (suhu 25oC) selama 24 jam, kemudian diukur kembali dimensinya.
(30)
Besar nilai pengembangan diperoleh dari perhitungan :
%
100
-=
x
Dku
Dku
Db
Pg
dengan : Pg = Pengembangan (%)
Dku = Dimensi keadaan kering udara (cm) Db = Dimensi keadaan basah (cm)
Contoh uji yang telah direndam kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60±3oC selama 24 jam, kemudian diukur kembali dimensinya. Penentuan nilai penyusutan dilakukan dengan menggunakan persamaan:
%
100
-=
x
Dku
Do
Dku
St
dengan : St = Penyusutan (%)
Dku = Dimensi keadaan kering udara (cm) Do = Dimensi keadaan kering oven (cm)
4. Keteguhan Rekat
Prosedur pengujian keteguhan rekat mengikuti SNI 01-5008.7-1999 dan dilakukan dengan menggunakan alat uji UTM merk Instron. Berdasarkan jenis perekat yang digunakan, pengujian keteguhan rekat dilakukan dalam kondisi kering dimana perekat PVAc termasuk perekat tipe interior II, sedangkan pengujian perekat epoxy tidak dipersyaratkan dalam kondisi tertentu sehingga pengujian dilakukan dalam kondisi kering tanpa perlakuan pendahuluan.
Nilai keteguhan rekat diperoleh dengan perhitungan :
KR = Keteguhan Geser Tarik x f
Sedangkan nilai keteguhan geser rekat diperoleh dari persamaan :
L
x
P
B
(31)
Keterangan :
KR = Keteguhan Rekat (kg/cm2)
f = Koefisien, nilainya tergantung rasio tebal lapisan inti dengan lapisan muka KGT = Kegetuhan Geser Tarik (kg/cm2)
P = Panjang bidang geser (cm) L = Lebar bidang geser (cm) B = Beban tarik (kg)
Tabel 2. Ratio antara tebal lapisan inti dengan lapisan muka No. Rasio antara tebal
lapisan inti dan lapisan muka
Koefisien (f) 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
1.5 - < 2.0 2.0 - < 2.5 2.5 - < 3.0 3.0 - < 3.5 3.5 - < 4.0 4.0 - < 4.5
≥4.5
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.7 2.0
Sedangkan untuk menentukan potensi kerusakan panel bambu dihitung dengan persamaan :
x100 % LB
LK
KK =
Keterangan :
KK = kerusakan kayu (%)
LK = luas kerusakan kayu pada bidang geser (cm2) LB = luas bidang geser (cm2)
Persyaratan nilai keteguhan rekat kayu lapis tertera pada tabel 2.
Tabel 3. Persyaratan keteguhan rekat kayu lapis
No. Keteguhan rekat rata-rata (kg/cm2) Kerusakan kayu rata-rata (%)
1. > 7 Tidak dipersyaratkan
(32)
5. Keteguhan Lentur Statis
Pengujian pada keteguhan lentur ini dimaksud untuk mendapatkan nilai kekakuan (MOE) dan ketahanan (MOR) panel bambu lapis. Noermalicha (2001) menyatakan tingginya nilai MOE menandakan bahwa bahan tersebut bersifat kaku, dalam pengertian sulit dilenturkan. Sebaliknya, MOR adalah nilai yang bila suatu batang diberi beban lentur maksimal dan akibat dari gaya tersebut batang mengalami patah.
Contoh uji yang berukuran 50 mm x (50 mm +24t mm) diukur tebal dan lebarnya, kemudian diletakkan pada alat uji dengan beban berada ditengah bentang. Pembebanan dilakukan dengan laju pembebanan tidak melebihi 150 kg/cm2 per menit (atau 6 mm/mm pada mesin UTM merk Instron).
Gambar 6. Posisi contoh uji dan letak beban
Keteguhan lentur statis berupa modulus patah (MOR) dan modulus elastisitas (MOE) dapat dihitung dengan persamaan :
2 2 2 3 = ) / ( bh Pml cm kg
MOR 3
3 2 4 ) / ( Ybh Pl cm kg MOE = dengan :
MOR =Modulus patah
MOE =Modulus elestisitas (kekakuan) P =Beban sampai batas proporsional (kg) Pm =Beban maksimal (kg)
Y =Defleksi yang terjadi (cm) b =Lebar contoh uji (cm) h =Tebal contoh uji (cm) l =Panjang bentang (cm)
Keteguhan lentur statis panel bambu lapis contoh adalah rata-rata dari seluruh contoh uji. l Beban h l/2 l/2 b 25 mm 25 mm
(33)
E. Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Faktorial Acak Lengkap dengan 2 faktor dan ulangan sebanyak 3 kali. Perlakuan dibedakan berdasarkan jenis perekat (epoxy dan PVAc) yang merupakan faktor-α, dan berdasarkan kombinasi tebal bilah panel bambu (kombinasi A dan kombinasi B) yang merupakan faktor-β.
Model umum rancangannya untuk semua pengujian adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Dengan : i = 1, 2 (jenis perekat) j = 1, 2 (jenis kombinasi lapisan) k = 1, 2, 3 (banyaknya ulangan)
Keterangan :
Yijk = Nilai respon pengamatan pada ulangan ke-k yang disebabkan oleh taraf ke-i faktor α, taraf ke-j faktor β
µ = Nilai rata-rata
αi = Pengaruh jenis perekat (epoxy dan PVAc)
βj = Pengaruh kombinasi lapisan bambu (kombinasi A dan kombinasi B) (αβ)ij= Pengaruh interaksi antara jenis perekat ke-i dan jenis kombinasi taraf
ke-j
εijk = Kesalahan percobaan dari jenis perekat ke-i, jenis kombinasi ke-j, dan ulangan pada taraf ke-k
Untuk mengetahui bambu lapis yang memperoleh pengaruh dari perlakuan dibuat analisis keragaman (Anova) dengan kriteria sebagai berikut :
1. Jika F hitung < F tabel, maka Ho diterima atau perlakuan tidak memberikan pengaruh pada selang kepercayaan
2. Jika F hitung > F tabel, maka Ho ditolak atau perlakuan memberikan pengaruh pada suatu selang kepercayaan.
Untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh pada maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan
(34)
Gambar 7. Skema pembuatan bambu lapis
Bahan Baku
Pembuatan Bilah Bambu
Pengeringan
Pembuatan Lapisan
Pelaburan Perekat
Pengempaan Pembuatan Lapik
Pengujian Pengkondisian
(35)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Fisis
Sifat fisis bambu lapis meliputi kadar air, kerapatan, pengembangan dan penyusutan dimensi panel bambu. Rangkuman sifat fisis bambu lapis yang dihasilkan tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat fisis bambu lapis
Sifat Fisis Perlakuan
KA (%)
Kr (g/cm3)
Pengembangan (%) Penyusutan (%)
P L T P L T
K1 Epoxy 10.68 0.76 0.32 0.38 5.03 0.19 0.43 2.68 K2 Epoxy 10.22 0.68 0.66 0.92 5.79 0.22 0.22 3.08 K1 PVAc 10.98 0.73 0.70 0.92 7.40 0.19 0.48 3.62 K2 PVAc 10.83 0.69 0.99 0.82 10.43 0.43 0.48 3.64 Keterangan: KA = kadar air P = panjang L = lebar T = tebal
1. Kadar Air
Kadar air menunjukkan banyaknya jumlah air yang terikat pada dinding sel panel bambu terhadap berat kering tanurnya yang dinyatakan dalam persen. Kadar air yang dimaksud dalam perhitungan ini adalah kadar air dalam kondisi kering udara.
Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai kadar air bambu lapis berkisar antara 10.18% (pada kombinasi B dengan perekat epoxy) sampai dengan 11.02% (pada kombinasi A dengan perekat PVAc). Nilai total rata-rata kadar air sebesar 10.68%. Nilai rata-rata kadar air untuk setiap perlakuan dapat diamati pada histogram kadar air panel bambu yang disajikan pada Gambar 8. Sedangkan nilai masing-masing kadar air disajikan pada Lampiran 1.
Gambar 8. Histogram Kadar Air Bambu Lapis 10.68
10.22
10.98
10.83
9 10 11 12
Nilai KA (%)
K1EP K2EP K1PV K2PV
Perlakuan Histogram Kadar Air
Keterangan :
K1EP = kombinasi A perekat epoxy K1PV = kombinasi A perekat PVAc K2EP = kombinasi B perekat epoxy K2PV = kombinasi B perekat PVAc
(36)
Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan banyaknya air yang tetap tinggal di dalam dinding sel (besar nilai kadar air) suatu produk akhir tergantung pada tingkat pengeringan selama pembuatan dan lingkungan tempat produk tersebut ditempatkan di kemudian hari.
Hasil analisis ragam (Lampiran 3) kadar air dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan berupa perekat dan kombinasi lapisan tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar air panel bambu. Karena perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata, maka tidak dilakukan uji lanjut pembeda masing-masing faktor.
Kadar air panel bambu hasil penelitian ini dipengaruhi oleh kadar air bilah bambu yang direkat, jenis perekat yang digunakan dan air yang dihasilkan dari proses perekatan jenis perekat tertentu, disamping juga proses pengeringan selama pembuatan panel bambu. Namun demikian, jika dibandingkan antar perekat yang digunakan, pada Gambar 8 terlihat bahwa kadar air panel bambu dengan perekat PVAc sedikit lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai kadar air perekat epoxy. Ini disebabkan karena perekat PVAc memang lebih mudah menyerap air dibandingkan dengan perekat epoxy. Secara keseluruhan, nilai kadar air diatas memenuhi standar SNI karena tidak lebih besar dari 14%.
2. Kerapatan
Kerapatan merupakan perbandingan berat panel bambu terhadap volume panel bambu. Kerapatan erat hubungannya dengan berat jenis. Kerapatan yang tinggi biasanya memberikan sifat kekuatan mekanis yang tinggi pula. Kerapatan yang dimaksud dalam perhitungan adalah kerapatan pada kondisi kering udara.
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai kerapatan panel bambu lapis berkisar antara 0.67 g/cm3 (pada kombinasi B dengan perekat epoxy) sampai dengan 0.77 g/cm3 (pada kombinasi A dengan perekat epoxy). Nilai kerapatan total sebesar 0.71 g/cm3. Nilai rata-rata kerapatan bambu lapis disajikan pada Gambar 9, sedangkan data selengkapnya tersaji pada Lampiran 1.
Gambar 9. Histogram Kerapatan Bambu Lapis 0.76
0.68
0.73
0.69
0.5 0.6 0.7 0.8
Nilai K
er
ap
atan
(g/
cm
3)
K1EP K2EP K1PV K2PV
Perlakuan Histogram Kerapatan
Keterangan :
K1EP = kombinasi A perekat epoxy K1PV = kombinasi A perekat PVAc K2EP = kombinasi B perekat epoxy K2PV = kombinasi B perekat PVAc
(37)
Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4), diketahui bahwa kombinasi lapisan bambu lapis berpengaruh sangat nyata terhadap nilai kerapatan panel bambu, sedangkan perekat atau pun interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kombinasi lapisan A sangat berbeda dengan kombinasi lapisan B. Kerapatan bambu pada kombinasi lapisan A memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi lapisan B. Hal ini disebabkan karena kombinasi lapisan A yang lebih tebal memiliki komponen sel-sel penyusun yang lebih banyak per satuan luasnya, sehingga mempengaruhi berat total dari bambu lapis. Walau demikian, nilai kerapatan bambu lapis sangat dipengaruhi oleh kerapatan bambu solid itu sendiri.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerapatan bambu solid sama halnya dengan faktor yang dapat mempengaruhi kerapatan pada kayu solid. Haygreen dan Bowyer (1989) mengemukakan sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kerapatan suatu spesies kayu antara lain kondisi tempat tumbuh kayu, lokasi dalam pohon, letak dalam kisaran spesies, dan sumber-sumber genetik.
3. Pengembangan Dimensi
Sebagai tumbuhan berkayu, bambu juga memiliki sifat higroskopis sama seperti kayu. Sifat higroskopis adalah sifat kayu yang menyerap atau melepaskan uap air sesuai dengan kadar air di lingkungan penggunaannya. Karena sifat ini, kayu mau pun bambu mudah mengalami perubahan dimensi, terutama jika terjadinya perubahan kadar air dibawah titik jenus serat yang melewati kadar air pada titik jenuh serat. Perubahan dimensi bisa terjadi dalam bentuk pengembangan atau penyusutan dimensi panel.
Pengembangan dimensi panel bambu lapis terdiri atas pengembangan panjang, pengembangan lebar, dan pengembangan tebal. Masing-masing nilai pengembangan diperoleh dengan cara membandingkan dimensi kering udara panel terhadap dimensi basah panel bambu.
Dari hasil perhitungan, nilai pengembangan panjang dimensi bambu lapis sangat beragam, berkisar antara 0.25% (pada kombinasi A dengan perekat epoxy) sampai dengan 1.14% (pada kombinasi A dengan perekat PVAc mau pun kombinasi B dengan perekat PVAc). Sedangkan nilai rata-rata pengembangan panjang keseluruhan panel bambu lapis sebesar 0.67%.
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai pengembangan lebar dimensi bambu lapis berkisar antara 0.28% (pada kombinasi A dengan perekat epoxy) sampai dengan 1.16% (pada kombinasi B dengan perekat epoxy). Nilai rata-rata pengembangan lebar total panel bambu lapis sebesar 0.76%.
Nilai pengembangan tebal hasil perhitungan menunjukkan besaran nilai yang berkisar antara 4.53% (pada kombinasi B dengan perekat epoxy) sampai dengan 11.17% (pada kombinasi B dengan perekat PVAc), sedangkan nilai total keseluruhan pengembangan dimensi tebal panel bambu sebesar 7.16%.
Nilai pengembangan dimensi panel bambu lapis dapat diamati pada histogram nilai pengembangan dimensi yang tersaji pada Gambar 10. Nilai yang disajikan merupakan nilai rata -
(38)
rata tiap perlakuan masing-masing panel. Data pengamatan selengkapnya tersaji pada Lampian 1.
Gambar 10. Histogram Pengembangan Dimensi
Dari hasil analisis ragam (Lampiran 5), diketahui pengembangan panjang dipengaruhi secara nyata oleh perekat mau pun bentuk kombinasi lapisan bambu lapis pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perekat PVAc memberikan nilai pengembangan lebih besar dari perekat epoxy. Uji lanjut tersebut juga menunjukkan bahwa kombinasi lapisan A memberikan nilai pengembangan panjang yang lebih besar dari kombinasi lapisan B. Ditinjau dari perekat, PVAc memberikan nilai pengembangan panjang yang lebih besar dari epoxy, hal ini dikarenakan kualitas hasil rekatan perekat PVAc lebih rendah dari perekat epoxy, sehingga diduga tidak cukup kuat untuk menahan perubahan dimensi yang terjadi. Disamping itu, karena perekat PVAc mudah menyerap air dan uap air (sehingga resistensi perekat terhadap air rendah) menyebabkan ikatan rekat mudah lepas yang mengakibatkan kestabilan dimensi bambu yang direkat dengan perekat PVAc lebih rendah dari perekat epoxy. Ditinjau dari bentuk kombinasi lapisan, kombinasi dengan ketebalan 1.0 cm (kombinasi B) memberikan nilai pengembangan panjang yang lebih besar dibandingkan dengan ketebalan 1.1 cm (kombinasi A). Hal ini disebabkan karena saat pengempaan perekat, kombinasi B dengan ketebalan bilah bambu penyusun yang lebih tipis lebih banyak menerima tekanan dibandingkan dengan kombinasi A sehingga lebih termampatkan. Akibatnya, kemungkinan banyak perekat yang merembes ke dalam bambu sehingga ikatan rekat pada permukaan rekat yang terjadi menjadi kurang baik.
Hasil analisis ragam (Lampiran 6), nilai pengembangan lebar bambu lapis tidak dipengaruhi oleh perekat dan bentuk kombinasi lapisan panel, tapi dipengaruhi oleh interaksi antara kedua faktor (perekat dan kombinasi). Hal ini ternyata memberikan hasil yang berbeda dengan pengembangan panjang panel bambu lapis. Namun demikian, adanya interaksi antara
0. 32 0. 38 5.03 0. 66 0. 92 5.79 0. 7 0. 92 7.4 0. 99 0. 82 10.43 0 2 4 6 8 10 12 N
ilai P
eng emb ang an (% )
K1EP K2EP K1PV K2PV
Perlakuan
Histogram Pengembangan Dimensi
Panjang Lebar Tebal
Keterangan :
K1EP = kombinasi A perekat epoxy K1PV = kombinasi A perekat PVAc K2EP = kombinasi B perekat epoxy K2PV = kombinasi B perekat PVAc
(39)
kedua faktor terhadap besar nilai pengembangan lebar setidaknya menggambarkan alasan diatas bahwa perekat dan kombinasi lapisan juga memiliki andil dalam pengembangan dimensi lebar panel bambu.
Hasil analisis ragam untuk pengembangan tebal (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perekat dan kombinasi lapisan panel bambu berpengaruh nyata, sedangkan interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata. Dari uji lanjut Duncan diketahui bahwa bambu dengan perekat PVAc memiliki pengembangan tebal yang lebih besar dibandingkan dengan epoxy. Dari uji lanjut yang sama, terlihat bahwa kombinasi B memberikan nilai pengembangan tebal yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi A. Hal ini disebabkan karena kombinasi B yang lebih tipis menerima lebih banyak tekanan saat pengempaan dibandingkan dengan kombinasi A hingga lebih termampatkan yang mengakibatkan banyaknya perekat yang merembes ke dalam bilah bambu. Selain itu, besarnya nilai pengembangan radial terjadi sebagai akibat adanya tegangan sisa dari proses pengempaan. Saat proses pengempaan, bambu mengalami pemampatan pada arah radial (tebal). Setelah dilakukan perendaman tegangan sisa tersebut akan hilang terdesak oleh air yang diserap oleh tiap bilah bambu penyusun panel. Adanya perendaman menyebabkan bambu yang termampatkan mengembang secara spontan yang menyebabkan nilai pengembangan radial jauh lebih besar dibandingkan dengan pengembangan pada arah lainnya. Dapat dikatakan, tingkat pengempaan elemen-elemen panel bambu dalam proses pembuatan dan pengolahan bambu lapis juga menentukan pengembangan dimensi yang terjadi pada bambu lapis.
Jika ditinjau dari pengembangan masing-masing dimensi, pada Gambar 10 terlihat bahwa pengembangan panjang dan lebar tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan pengembangan tebal. Pada kayu lapis, adanya perekatan vinir saling tegak lurus arah serat menyebabkan dimensi panjang dan lebar saling menahan sehingga jika ada perubahan dimensi, perubahan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Berbeda halnya dengan pengembangan tebal. Pada perhitungan di atas, pengembangan terbesar terjadi pada atah radial (tebal). Hal ini disebabkan karena bambu tidak memiliki sel-sel arah radial (ruas bambu tidak memiliki jari-jari kecuali pada buku bambu) sehingga pengembangan yang terjadi tidak dapat ditahan oleh sel-sel penyusun bambu.
4. Penyusutan Dimensi
Penyusutan dimensi yang terjadi pada bambu berbeda dengan penyusutan yang terjadi pada kayu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Liese (1980) dalam Dransfield dan Widjaja (1995), penyusutan dimensi pada bambu berlangsung di atas titik jenuh serat. Ini ditandai dengan segera menyusutnya bambu setelah dilakukan penebangan (dipanen).
Sama halnya dengan pengembangan dimensi, penyusutan dimensi panel bambu lapis juga terdiri dari penyusutan panjang, penyusutan lebar, dan penyusutan tebal. Nilai penyusutan diperoleh dengan membandingkan nilai dimensi kering udara terhadap dimensi kering oven panel bambu.
Hasil perhitungan menunjukkan penyusutan dimensi panjang berkisar antara 0.14% (pada panel dengan semua perlakuan) sampai dengan 0.57% (pada kombinasi B dengan perekat PVAc)
(40)
dengan nilai rata-rata total panel bambu sebesar 0.26%. Nilai penyusutan lebar berkisar antara 0.14% (pada panel dengan semua perlakuan) sampai dengan 0.72% (pada kombinasi A dengan perekat PVAc mau pun kombinasi B dengan perekat PVAc). Sedangkan nilai rata-rata total seluruh bambu untuk penyusutan lebar sebesar 0.40%. Nilai penyusutan tebal berkisar antara 1.28% (pada kombinasi A dengan perekat epoxy) sampai dengan 4.05% (pada kombinasi A dengan perekat PVAc) dengan nilai rata-rata total sebesar 3.25%.
Nilai penyusutan dimensi panel bambu dapat diamati pada histogram penyusutan dimensi tersaji pada Gambar 11. Sedangkan data selengkapnya dapat diamati pada Lampiran 1.
Gambar 11. Histogram Penyusutan Dimensi
Hasil analisis ragam penyusutan panjang (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perekat dan kombinasi lapisan tidak meberikan pengaruh yang nyata, begitu halnya dengan interaksi antar keduanya. Karena tidak berpengaruh nyata, maka tidak dilakukan uji lanjut pembeda masing-masing faktor.
Hasil analisis ragam penyusutan lebar (Lampiran 9) juga menunjukkan hal yang sama. Perekat mau pun kombinasi lapisan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Oleh karena perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata, maka tidak dilakukan uji lanjut pembeda masing-masing faktor.
Hasil analisis ragam penyusutan tebal (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perekat dan kombinasi lapisan juga tidak memberikan pengaruh yang nyata sehingga tidak dilakukan uji lanjut pembeda masing-masing faktor.
Hal ini disebabkan karena penyusutan dimensi bambu lapis lebih dipengaruhi oleh struktur anatomis dari bambu itu sendiri. Penyusutan terbesar yang terjadi pada arah radial (tebal) panel bambu lapis disebabkan karena secara anatomis bambu tidak memiliki sel-sel penyusun arah radial (jari-jari bambu hanya terdapat di daerah buku). Hal ini menyebabkan bambu mudah mengalami
0 1 2 3 4 Nilai P en yu suta n Pe nyus uta n (%)
K1EP K2EP K1PV K2PV
Perlakuan
Histogram Penyusutan Dimensi
Panjang Lebar Tebal
0.
19
0.22 0.19 0.
43 0. 43 0.22 0. 48 0. 48 2.68 3.08 3.62 3.64 Keterangan :
K1EP = kombinasi A perekat epoxy K1PV = kombinasi A perekat PVAc K2EP = kombinasi B perekat epoxy K2PV = kombinasi B perekat PVAc
(41)
perubahan dimensi pada arah radial. Pada Gambar 11 menunjukkan penyusutan yang terjadi pada arah radial jauh lebih besar dibandingkan dengan penyusutan arah lainnya. Hal ini berbeda pada kayu, perubahan dimensi terbesar terjadi pada arah tangensial, disusul arah radial, dan terkecil pada arah longitudinal.
Jika dibandingkan besar nilai pengembangan dan penyusutan dimensi, terlihat bahwa besar nilai penyusutan tidak sama persis dengan besar nilai pengembangan dimensi. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat bambu dimana bambu menyusut segera setelah dipanen (di atas titik jenuh serat), sedangkan pengembangan terjadi jika kadar air dibawah titik jenuh serat melewati batas titik jenuh serat.
B. Keteguhan Rekat Bambu Lapis
Keteguhan rekat bambu lapis dibedakan menjadi keteguhan rekat sejajar serat permukaan dan keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti. Rangkuman nilai keteguhan rekat bambu lapis tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai keteguhan rekat bambu lapis
Perlakuan Keteguhan Rekat (kg/cm 2
) // Serat Permukaan // Serat Lapisan Inti
K1 Epoxy 34.89 31.77
K2 Epoxy 35.79 24.62
K1 PVAc 38.24 14.18
K2 PVAc 30.30 12.21
1. Keteguhan Rekat Sejajar Serat Permukaan
Nilai keteguhan rekat sejajar serat permukaan dari hasil perhitungan berkisar antara 28.30 kg/cm2 (pada kombinasi A dengan perekat epoxy) sampai dengan 42.16 kg/cm2 (pada kombinasi B dengan perekat epoxy). Total nilai keteguhan rekat sebesar 34.81 kg/cm2. Nilai rata-rata tiap perlakuan dapat diamati pada histogram nilai keteguhan rekat yang tersaji pada Gambar 12.
Gambar 12. Histogram Keteguhan Rekat Sejajar Serat Permukaan
34.89 35.79 38.24
30.30 0 10 20 30 40 Nil ai Ket eguhan Rekat
Rekat (kg/c
m
2)
K1EP K2EP K1PV K2PV
Perlakuan
Histogram Keteguhan Rekat Sejajar Serat Permukaan
Keterangan :
K1EP = kombinasi A perekat epoxy K1PV = kombinasi A perekat PVAc K2EP = kombinasi B perekat epoxy K2PV = kombinasi B perekat PVAc
(42)
Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan baik perekat mau pun kombinasi lapisan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Demikian halnya dengan interaksi antara kedua faktor. Oleh karena perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata, maka tidak dilakukan uji lanjut pembeda masing-masing faktor. Gambar 12 memperlihatkan kombinasi A dengan perekat PVAc memiliki keteguhan rekat tertinggi disusul kombinasi B dengan perekat epoxy. Pembuatan sampel uji ikut memberikan pengaruh terhadap nilai keteguhan rekat. Pembuatan sampel uji yang kurang sempurna (terutama saat pembuatan takik bidang geser) dapat membuat nilai keteguhan rekat yang terukur tidak murni berasal dari film perekat yang terbentuk, melainkan juga disebabkan oleh serat bambu yang ikut menahan gaya geser yang terjadi saat pengukuran.
Nilai keteguhan rekat yang dihasilkan semuanya memenuhi standard SNI. Dalam standard SNI tercantum bahwa keteguhan rekat sebesar lebih dari 7 kg/cm2 dengan kerusakan kayu tidak dipersyaratkan, sedangakn untuk keteguhan rekat kurang dari 7 kg/cm2 kerusakan kayu dipersyaratkan sebesar lebih dari 50% luas bidang geser.
2. Keteguhan Rekat Sejajar Serat Lapisan Inti
Nilai keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti berkisar antara 6.64 kg/cm2 (pada kombinasi A dengan perekat PVAc) sampai dengan 32.90 kg/cm2 (pada kombinasi A dengan perekat epoxy). Nilai rata-rata total sebesar 20.70 kg/cm2. Nilai rata-rata untuk setiap perlakuan dapat diamati pada histogram keteguhan rekat sejajar serat permukaan inti yang ditampilkan secara diagramatis pada Gambar 13. data hasil pengamatan dan perhitungan selengkapnya dapat diamati pada Lampiran 2.
Gambar 13. Histogram Keteguhan Rekat Sejajar Serat Lapisan Inti 31.77 24.62 14.18 12.21 0 10 20 30 40 N ila i Ke te g uhan Re ka t
Rekat (kg/c
m
2)
K1EP K2EP K1PV K2PV
Perlakuan
Histogram Keteguhan Rekat Sejajar Serat Lapisan Inti
Keterangan :
K1EP = kombinasi A perekat epoxy K1PV = kombinasi A perekat PVAc K2EP = kombinasi B perekat epoxy K2PV = kombinasi B perekat PVAc
(43)
Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perekat memberikan pengaruh yang sangat nyata pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan kombinasi lapisan mau pun interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh sama sekali.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perekat epoxy sangat berbeda dengan perekat PVAc. Hal ini disebabkan perekat epoxy memberikan nilai kekuatan rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perekat PVAc seperti terlihat pada Gambar 13 diatas. Diduga karena lebih tingginya kadar air bambu lapis dengan perekat PVAc menyebabkan kekuatan rekatnya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perekat epoxy. Hal ini karena perekat PVAc memiliki sifat daya tahan air yang lemah. Disamping itu, bentuk contoh uji ikut memengaruhi keteguhan rekat yang dihasilkan. Berbeda dengan keteguhan rekat sejajar serat, pada bilah penyusun bambu lapis keteguhan rekat sejajar serat lapisan inti mudah lepas. Karena pada dasarnya, bambu lapis yang dihasilkan tersusun atas bilah-bilah bambu yang pada saat proses perekatan tidak dilakukan perekatan sisi yang mengakibatkan lapisan terluar bambu lebih mudah lepas.
Jika dibandingkan antara keteguhan rekat sejajar serat permukaan dan sejajar serat lapisan inti, maka keteguhan rekat sejajar serat permukaan memberikan hasil yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh bentuk contoh uji keteguhan rekat bambu lapis dimana pada keteguhan rekat sejajar serat permukaan, pergeseran beban yang terjadi searah dengan arah serat sumbu memanjang bambu lapis di lapisan terluar sehingga hasil rekatan yang terbentuk tidak mudah putus.
C. Keteguhan Lentur Statis
MOE menunjukkan rasio antara tegangan lentur pada material terhadap deformasi yang ditimbulkan oleh tegangan tersebut. Sedangkan MOR menunjukkan tegangan yang dibutuhkan untuk menyebabkan patahnya material yang diuji saat pembebanan (Janssen, 1990). Rangkuman nilai keteguhan lentur bambu lapis tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai keteguhan lentur statis bambu lapis
Perlakuan
Keteguhan Lentur Bentang Sejajar Serat Permukaan (kg/cm2)
Keteguhan Lentur Bentang Sejajar Serat Lapisan Inti (kg/cm2)
MOE MOR MOE MOR
K1 Epoxy 210064.89 1236.39 25394.52 355.99 K2 Epoxy 157152.58 922.06 20747.91 336.29 K1 PVAc 157215.38 803.39 22196.73 347.11 K2 PVAc 128438.31 613.31 20680.30 287.37 1. Keteguhan Lentur Bentang Sejajar Serat Permukaan
Hasil perhitungan nilai kekakuan (MOE) bentang sejajar serat permukaan berkisar antara 127.8 x103 kg/cm2 (pada kombinasi B dengan perekat PVAc) sampai dengan 211.7x103 kg/cm2 (pada kombinasi A dengan perekat epoxy). Nilai rata-rata total seluruh perlakuan sebesar 163.2x103 kg/cm2. Nilai rata-rata masing-masing perlakuan ditampilkan secara diagramatis pada
(1)
Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Duncan Keteguhan Rekat Sejajar Serat Permukaan
Dependent Variable: Keteguhan Rekat Sejajar Serat
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 120.25469167 40.08489722 2.17 0.1695 Error 8 147.77580000 18.47197500
Total 11 268.03049167
R-Square C.V. Root MSE KR SS Mean 0.448660 12.21371 4.29790356 35.18916667 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PP 1 10.13840833 10.13840833 0.55 0.4800 LP 1 16.87440833 16.87440833 0.91 0.3672 PP*LP 1 93.24187500 93.24187500 5.05 0.0548
General Linear Models Procedure
Duncan's Multiple Range Test for variable: Keteguhan Rekat Sejajar Serat NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 8 MSE= 18.47198
Number of Means 2 Critical Range 5.722
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PP A 36.108 6 epoxy A
A 34.270 6 PVAc Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N LP A 36.375 6 a A
(2)
Lapisan Inti
Dependent Variable: Keteguhan Rekat Tegak Lurus Serat
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 660.70382500 220.23460833 9.59 0.0050** Error 8 183.68240000 22.96030000
Total 11 844.38622500
R-Square C.V. Root MSE KR TS Mean 0.782466 23.58986 4.79169072 20.31250000 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PP 1 607.62100833 607.62100833 26.46 0.0009** LP 1 43.05440833 43.05440833 1.88 0.2081 PP*LP 1 10.02840833 10.02840833 0.44 0.5273 *) Nyata pada selang kepercayaan 95% **) Sangat nyata pada selang kepercayaan 95%
General Linear Models Procedure
Duncan's Multiple Range Test for variable: Keteguhan Rekat Tegak Lurus Serat NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 8 MSE= 22.9603
Number of Means 2 Critical Range 6.380
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PP A 27.428 6 epoxy B 13.197 6 PVAc
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N LP A 22.207 6 a A
(3)
Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Duncan MOE Bentang Sejajar Serat Permukaan
Dependent Variable: MOE Sejajar Serat
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 10431237629.38120 3477079209.79376 21.07 0.0004** Error 8 1320192746.50786 165024093.31348
Total 11 11751430375.88910
R-Square C.V. Root MSE MOE // Serat Mean 0.887657 7.870570 12846.17037539 163217.79083333 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PP 1 4989488063.73518 4989488063.73518 30.23 0.0006** LP 1 5004867328.92909 5004867328.92909 30.33 0.0006** PP*LP 1 436882236.717014 436882236.717014 2.65 0.1424 *) Nyata pada selang kepercayaan 95% **) Sangat nyata pada selang kepercayaan 95%
General Linear Models Procedure
Duncan's Multiple Range Test for variable: MOE Sejajar Serat NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 8 MSE= 1.6502E8
Number of Means 2 Critical Range 17103
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PP A 183609 6 epoxy B 142827 6 PVAc
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N LP A 183640 6 a B 142795 6 b
(4)
Permukaan
Dependent Variable: MOR Sejajar Serat
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 615039.25489167 205013.08496389 16.99 0.0008** Error 8 96541.16640001 12067.64580000
Total 11 711580.42129167
R-Square C.V. Root MSE MOR // Serat Mean 0.864329 12.29066 109.85283701 893.79083333 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PP 1 412637.37940833 412637.37940833 34.19 0.0004** LP 1 190822.08607500 190822.08607500 15.81 0.0041** PP*LP 1 11579.78940833 11579.78940833 0.96 0.3560 *) Nyata pada selang kepercayaan 95% **) Sangat nyata pada selang kepercayaan 95%
General Linear Models Procedure
Duncan's Multiple Range Test for variable: MOR Sejajar Serat NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 8 MSE= 12067.65
Number of Means 2 Critical Range 146.3
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PP A 1079.23 6 epoxy B 708.36 6 PVAc
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N LP A 1019.89 6 a B 767.69 6 b
(5)
Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Duncan MOE Bentang Sejajar Serat Lapisan Inti
Dependent Variable: MOE Tgak Lurus Serat
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 43832930.85311580 14610976.95103 4.74 0.0348* Error 8 24639389.20926400 3079923.651158
Total 11 68472320.06237980
R-Square C.V. Root MSE MOE ⊥ Serat Mean 0.640155 7.885787 1754.97112545 22254.86303333 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PP 1 7997092.93025812 7997092.9302581 2.60 0.1458 LP 1 28487317.48553990 28487317.485539 9.25 0.0160* PP*LP 1 7348520.43731810 7348520.4373181 2.39 0.1610 *) Nyata pada selang kepercayaan 95% **) Sangat nyata pada selang kepercayaan 95%
General Linear Models Procedure
Duncan's Multiple Range Test for variable: MOE Tegak Lurus Serat NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 8 MSE= 3079924
Number of Means 2 Critical Range 2337
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PP A 23071 6 epoxy A
A 21439 6 PVAc Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N LP A 23796 6 a B 20714 6 b
(6)
Lapisan Inti
Dependent Variable: MOR Tegak Lurus Serat
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 8442.83930000 2814.27976667 1.44 0.3016 Error 8 15636.85566667 1954.60695833
Total 11 24079.69496667
R-Square C.V. Root MSE MOR ⊥ Serat Mean 0.350621 13.32893 44.21093709 331.69166667 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PP 1 2506.20803333 2506.20803333 1.28 0.2903 LP 1 4733.82963333 4733.82963333 2.42 0.1583 PP*LP 1 1202.80163333 1202.80163333 0.62 0.4554
General Linear Models Procedure
Duncan's Multiple Range Test for variable: MOR Tegak Lurus Serat NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 8 MSE= 1954.607
Number of Means 2 Critical Range 58.86
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PP A 346.14 6 epoxy A
A 317.24 6 PVAc Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N LP A 351.55 6 a A