Ekstrak Etanol Daun Salam dan Fraksinya sebagai Inhibitor Alfa- Amilase

ABSTRAK
EMILIA FATMAWATI. Ekstrak Etanol Daun Salam dan Fraksinya sebagai
Inhibitor Alfa-Amilase. Dibimbing oleh ELLY SURADIKUSUMAH dan IRMA
HERAWATI SUPARTO.
Eugenia polyantha yang dikenal dengan nama salam di Indonesia adalah
tanaman obat yang banyak digunakan dalam mengobati berbagai penyakit,
termasuk diabetes. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh fraksi teraktif dalam
menginhibisi alfa-amilase dari ekstrak etanol daun salam serta mengidentifikasi
kandungan fitokimianya. Ekstrak etanol kasar yang difraksionasi menggunakan
ekstraksi cair-cair menghasilkan 3 fraksi, yaitu fraksi n-heksana, fraksi etil asetat,
dan fraksi air. Uji aktivitas inhibisi alfa-amilase menunjukkan bahwa semua fraksi
aktif menghambat alfa-amilase, fraksi air menunjukkan aktivitas tertinggi sebesar
22.52%. Fraksinasi lanjutan fraksi air menggunakan kromatografi kolom silika gel
dengan elusi gradien menghasilkan 4 fraksi. Semua fraksi menunjukkan aktivitas
hambat alfa-amilase, fraksi 2 menunjukkan aktivitas tertinggi, yaitu 57.57%.
Berdasarkan uji fitokimia, komponen kimia yang terkandung dalam fraksi teraktif
adalah golongan alkaloid, flavonoid, dan saponin.

ABSTRACT
EMILIA FATMAWATI. Ethanolic Extract of Eugenia polyantha Leaves and it’s
Fraction as Alpha-Amylase Inhibitor. Supervised by ELLY SURADIKUSUMAH

and IRMA HERAWATI SUPARTO.
Eugenia polyantha known as “salam” in Indonesia is widely used as herbal
medicinal plant to treat various diseases, including diabetes. The objectives of this
research are to obtain the active fraction of ethanolic salam leaves extract against
alpha-amylase activity and to identify phytochemical constituents of the fraction.
Crude ethanolic extract was fractionated by liquid-liquid extraction giving 3
fractions, n-hexane, ethyl acetate, and water fractions. All fractions showed
inhibition activity against alpha-amylase and water fraction showed the highest
activity with the percentage of inhibition 22.52%. Subsequent fractionation of
water fraction using silica gel column chromatography with gradient elution
produced 4 fractions. All fractions showed inhibitory activity against alphaamylase, fraction 2 showed the highest activity with the percentage of inhibition
57.57%. Phytochemical screening showed that alkaloids, flavonoids, and saponins
were the chemical constituents of active fractions.

1

PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) adalah suatu
penyakit metabolik yang dicirikan dengan
tingginya kadar glukosa dalam darah

(hiperglisemia)
disertai
terganggunya
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak
karena tubuh kekurangan insulin atau insulin
tidak bekerja secara efektif. Menurut data
yang dipublikasikan dalam jurnal Diabetes
Care tahun 2004, penderita diabetes di
Indonesia pada tahun 2000 mencapai 8.4 juta
orang dan menempati urutan keempat setelah
India, Cina, dan Amerika Serikat. Penderita
diabetes secara menyeluruh sekitar 6% dari
populasi penduduk dunia, 90% di antaranya
diabetes tipe 2 (Subroto 2006).
Berbagai pendekatan farmakologis telah
dilakukan untuk mengobati diabetes, di
antaranya menstimulasi pelepasan insulin,
menginhibisi
glukoneogenesis,
dan

menurunkan absorpsi glukosa pada usus
halus. Salah satu terapi yang bermanfaat untuk
DM tipe 2 adalah pengendalian kadar gula
darah pascamakan. Penurunan kadar gula
darah pascamakan dapat dilakukan dengan
menunda
absorpsi
glukosa
melalui
penghambatan kerja enzim penghidrolisis
karbohidrat, seperti α-amilase dan αglukosidase pada tahap pencernaan. Dengan
adanya inhibitor enzim ini, waktu cerna
karbohidrat menjadi lebih lama dan absorpsi
glukosa dalam tubuh diperlambat sehingga
kadar gula darah yang tinggi pascamakan
dapat dikendalikan (Geethalaksmi et al.
2010).
Beberapa penelitian melaporkan adanya
korelasi yang positif antara aktivitas inhibisi
α-amilase dan α-glukosidase dalam suatu

ekstrak, artinya bila ekstrak tersebut aktif
menghambat α-amilase maka ekstrak tersebut
aktif dalam menghambat α-glukosidase.
Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al.
(2005) menunjukkan ekstrak kulit batang
pinus 60 g/mL dapat menghambat kerja
enzim α-amilase dan α-glukosidase berturutturut sebesar 97.2% dan 98.5%. Sama halnya
dengan penelitian yang dilakukan Basak dan
Candan (2010) terhadap minyak atsiri
Eucalyptus camaldulensis 0.350
g/mL
menghambat kerja enzim α-amilase dan αglukosidase berturut-turut sebesar 48.22% dan
35.28%.
Penggunaan bahan alam dalam terapi
pengendalian kadar gula darah pascamakan
sudah banyak dilakukan di antaranya
menggunakan daun mengkudu, buah mahkota
dewa, daun sambiloto, dan daun salam.

Masyarakat Indonesia menggunakan daun

salam sebagai pelengkap bumbu masak.
Selain itu, daun salam dikenal memiliki
khasiat untuk menyembuhkan diare, penyakit
lambung, mabuk akibat alkohol, dan diabetes
melitus. Studiawan dan Santosa (2005)
melaporkan, ekstrak etanol daun salam dapat
menurunkan kadar gula darah pada mencit
yang diinduksi aloksan sebesar 12.97%, tetapi
mekanisme menurunkan kadar gula darahnya
belum diketahui.
Pengujian daun salam sebagai antidiabetes
dilakukan
secara
in
vitro
dengan
menggunakan enzim α-amilase, kemudian
dilakukan
fraksionasi
ekstrak

teraktif
menggunakan
kromatografi
kolom.
Selanjutnya, dilakukan identifikasi kandungan
fitokimia fraksi teraktif. Komponen kimia
yang terkandung dalam fraksi teraktif
diharapkan dapat digunakan sebagai obat
antidiabetes. Tujuan penelitian ini adalah
memperoleh fraksi teraktif untuk inhibisi αamilase serta
mengidentifikasi golongan
senyawa yang terkandung dalam fraksi
tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Salam (Eugenia polyantha Wight.)
Salam (Gambar 1) mempunyai nama
botani Eugenia polyatha Wight, tanaman ini
mempunyai nama lain Sczygium polyanthum
(Wight) Klasifikasi salam adalah sebagai

berikut:
kingdom
Plantae,
filum
Magnoliophyta, kelas Magnoliate, ordo
Myrtales, famili Myrtaceae, genus Eugenia,
spesies Eugenia polyantha Wight. Salam
merupakan tumbuhan liar yang dapat tumbuh
di hutan, pegunungan, maupun di pekarangan
rumah. Tumbuhan ini dapat ditemukan di
dataran rendah maupun dataran tinggi
(Tjitrosoepomo 1996).

Gambar 1 Tanaman salam (Eugenia
polyantha).

1

PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) adalah suatu

penyakit metabolik yang dicirikan dengan
tingginya kadar glukosa dalam darah
(hiperglisemia)
disertai
terganggunya
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak
karena tubuh kekurangan insulin atau insulin
tidak bekerja secara efektif. Menurut data
yang dipublikasikan dalam jurnal Diabetes
Care tahun 2004, penderita diabetes di
Indonesia pada tahun 2000 mencapai 8.4 juta
orang dan menempati urutan keempat setelah
India, Cina, dan Amerika Serikat. Penderita
diabetes secara menyeluruh sekitar 6% dari
populasi penduduk dunia, 90% di antaranya
diabetes tipe 2 (Subroto 2006).
Berbagai pendekatan farmakologis telah
dilakukan untuk mengobati diabetes, di
antaranya menstimulasi pelepasan insulin,
menginhibisi

glukoneogenesis,
dan
menurunkan absorpsi glukosa pada usus
halus. Salah satu terapi yang bermanfaat untuk
DM tipe 2 adalah pengendalian kadar gula
darah pascamakan. Penurunan kadar gula
darah pascamakan dapat dilakukan dengan
menunda
absorpsi
glukosa
melalui
penghambatan kerja enzim penghidrolisis
karbohidrat, seperti α-amilase dan αglukosidase pada tahap pencernaan. Dengan
adanya inhibitor enzim ini, waktu cerna
karbohidrat menjadi lebih lama dan absorpsi
glukosa dalam tubuh diperlambat sehingga
kadar gula darah yang tinggi pascamakan
dapat dikendalikan (Geethalaksmi et al.
2010).
Beberapa penelitian melaporkan adanya

korelasi yang positif antara aktivitas inhibisi
α-amilase dan α-glukosidase dalam suatu
ekstrak, artinya bila ekstrak tersebut aktif
menghambat α-amilase maka ekstrak tersebut
aktif dalam menghambat α-glukosidase.
Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al.
(2005) menunjukkan ekstrak kulit batang
pinus 60 g/mL dapat menghambat kerja
enzim α-amilase dan α-glukosidase berturutturut sebesar 97.2% dan 98.5%. Sama halnya
dengan penelitian yang dilakukan Basak dan
Candan (2010) terhadap minyak atsiri
Eucalyptus camaldulensis 0.350
g/mL
menghambat kerja enzim α-amilase dan αglukosidase berturut-turut sebesar 48.22% dan
35.28%.
Penggunaan bahan alam dalam terapi
pengendalian kadar gula darah pascamakan
sudah banyak dilakukan di antaranya
menggunakan daun mengkudu, buah mahkota
dewa, daun sambiloto, dan daun salam.


Masyarakat Indonesia menggunakan daun
salam sebagai pelengkap bumbu masak.
Selain itu, daun salam dikenal memiliki
khasiat untuk menyembuhkan diare, penyakit
lambung, mabuk akibat alkohol, dan diabetes
melitus. Studiawan dan Santosa (2005)
melaporkan, ekstrak etanol daun salam dapat
menurunkan kadar gula darah pada mencit
yang diinduksi aloksan sebesar 12.97%, tetapi
mekanisme menurunkan kadar gula darahnya
belum diketahui.
Pengujian daun salam sebagai antidiabetes
dilakukan
secara
in
vitro
dengan
menggunakan enzim α-amilase, kemudian
dilakukan
fraksionasi
ekstrak
teraktif
menggunakan
kromatografi
kolom.
Selanjutnya, dilakukan identifikasi kandungan
fitokimia fraksi teraktif. Komponen kimia
yang terkandung dalam fraksi teraktif
diharapkan dapat digunakan sebagai obat
antidiabetes. Tujuan penelitian ini adalah
memperoleh fraksi teraktif untuk inhibisi αamilase serta
mengidentifikasi golongan
senyawa yang terkandung dalam fraksi
tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Salam (Eugenia polyantha Wight.)
Salam (Gambar 1) mempunyai nama
botani Eugenia polyatha Wight, tanaman ini
mempunyai nama lain Sczygium polyanthum
(Wight) Klasifikasi salam adalah sebagai
berikut:
kingdom
Plantae,
filum
Magnoliophyta, kelas Magnoliate, ordo
Myrtales, famili Myrtaceae, genus Eugenia,
spesies Eugenia polyantha Wight. Salam
merupakan tumbuhan liar yang dapat tumbuh
di hutan, pegunungan, maupun di pekarangan
rumah. Tumbuhan ini dapat ditemukan di
dataran rendah maupun dataran tinggi
(Tjitrosoepomo 1996).

Gambar 1 Tanaman salam (Eugenia
polyantha).

2

Menurut Dalimartha (2000), salam
merupakan pohon bertajuk rimbun dengan
tinggi mencapai 25 m, batang bulat dengan
permukaan licin, dan akar tunggang. Daun
salam berbentuk lonjong dan elips. Selain itu,
daun salam mempunyai sistem pertulangan
yang menyirip, letaknya berhadapan, dan
tunggal. Bunga salam majemuk bersusun,
berwarna putih, dan baunya harum. Buahnya
merupakan buah buni dengan bentuk bulat,
rasanya sepat, berwarna hijau (saat muda),
dan merah gelap (saat masak). Biji salam
berwarna cokelat dan bentuknya bulat.
Daun salam digunakan sebagai pelengkap
bumbu masak, dan memiliki khasiat untuk
menyembuhkan diare, penyakit lambung,
mabuk akibat alkohol, dan diabetes melitus.
Winarto (2004) menyatakan, daun salam
mengandung tanin, flavonoid, dan minyak
atsiri yang terdiri atas eugenol dan sitral.
Beberapa senyawa fenolik telah diketahui dari
daun tanaman ini, yaitu asam vanilat, asam phidroksibenzoat, flavonol dengan gugus
hidroksil (OH) pada C3 terikat sebagai
glikosida dan pada posisi 5, 7, 3’, dan 4 bebas
(Belami et al. 1997). Sementara itu, pada kulit
batang tanaman ini diketahui memiliki
kandungan tanin terkondensasi sebesar 82.7%
dan sisanya steroid atau triterpenoid. Tanin
terkondensasi ini adalah prodelfinidin
(Olivina et al. 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Studiawan
dan Santosa (2005) menunjukkan bahwa
ekstrak etanol daun salam dengan dosis 2.62
mg/20 g BB dapat menurunkan kadar glukosa
darah mencit yang diinduksi aloksan sebesar
12.97%.
Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh tingginya
kadar glukosa (gula sederhana) di dalam darah
karena tubuh tidak dapat melepaskan atau
menggunakan insulin secara cukup. Insulin
adalah hormon yang dilepaskan oleh organ
pankreas, yang terletak di rongga perut dekat
usus, dan merupakan zat utama yang
bertanggung jawab dalam mempertahankan
kadar gula darah normal. Insulin berfungsi
mengubah gula darah menjadi gula otot dan
disimpan ke dalam sel atau jaringan, yang
digunakan untuk menghasilkan energi atau
disimpan sebagai cadangan energi dalam
bentuk gula otot. Menurut Suyono (2002),
berdasarkan pada fungsi organ pankreas
sebagai penghasil insulin dan pengatur kerja
insulin, penyakit DM dapat digolongkan

menjadi dua kelompok, yaitu DM tipe 1 dan
2.
Penyakit DM tipe I bergantung pada
insulin. Kadar glukosa darah meningkat akibat
kurangnya kelenjar pankreas menyekresikan
hormon insulin. Hormon insulin yang
dihasilkan tidak mencukupi untuk mengubah
glukosa darah menjadi glukosa intraseluler.
Hal ini disebabkan sebagian besar sel beta
pankreas
yang
memproduksi
insulin
mengalami kerusakan sehingga kadar insulin
menjadi kurang atau tidak ada. Faktor
lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor
gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa
awal) menyebabkan sistem kekebalan
menghancurkan sel penghasil insulin di
pankreas. Penyakit DM tipe 1 terjadi pada
usia muda, gambaran klinisnya biasanya
timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya
pada masa puber. Diabetes tipe 1 hanya bisa
diobati dengan terapi suntik insulin.
Penyakit DM tipe 2 tidak bergantung pada
insulin, jumlah insulin normal bahkan lebih
banyak dari batas normal, tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan
sel kurang sehingga penyerapan glukosa ke
dalam sel terhambat. Keadaan ini akan
menyebabkan meningkatnya kadar glukosa
darah dan menurunnya kadar glukosa
intraseluler. Penyakit ini disebabkan oleh
obesitas, diet tinggi lemak, rendah serat,
kurang gerak badan, dan faktor herediter.
Peningkatan
gula
darah
pascamakan
(postprandial hyperglycemia) merupakan
awal terganggunya metabolisme yang terjadi
pada DM tipe 2 (Suyono 2002).
Pengobatan DM tipe 2 menggunakan obat
hipoglikemik secara oral bila pengendalian
bobot badan dan berolah raga tidak berhasil.
Jika penggunaan obat hipoglikemik tidak
dapat menurunkan kadar glukosa darah, maka
dilakukan terapi suntik insulin. Kondisi ini
mempercepat
perkembangan
penyakit
diabetes melitus yang disebabkan oleh
toksisitas glukosa dalam otot, juga
menginisiasi perkembangan awal komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular. Salah satu
pendekatan terbaik untuk menurunkan gula
darah
pascamakan
ialah
dengan
memperlambat absorpsi glukosa melalui
penghambatan kerja enzim penghidrolisis
karbohidrat seperti α-amilase. Usaha menjaga
tingkat gula darah menjadi rendah atau normal
dapat
menurunkan
angka
penderita
komplikasi diabetes melitus (Lee et al. 2007).

3

Alfa-amilase
Alfa-am
milase
atauu
α-1,4-gllukan-4glukanohidrrolase
adalah
enzim
yang
menghidroliisis pati mennjadi maltosaa secara
acak (Fesseenden & Fesssenden 1986).. Enzim
ini terdapat dalam air liurr dan cairan paankreas.
mpanan yang terdapat
t
Pati ialah poolisakarida sim
pada tumbuuhan tinggi, seperti
s
pada kentang,
k
padi, dan gandum.
g
Hom
mopolimer inii terdiri
atas amilosaa dan amilopekktin, sekitar 20%
2
pati
adalah amiilosa dan 80% sisanya adalah
amilopektin. Amilosa addalah polimerr linear
dari α-D-gluukosa yang dihubungkan dengan
ikatan α-1,4’. Strukktur amilosaa dan
mbar 2.
amilopektin dapat dilihaat pada Gam
Hidrolisis paarsial amilosaa hanya menghhasilkan
maltosa seebagai satu--satunya disakarida.
Terdapat 2550 satuan gluukosa atau leebih per
molekul
amilosa;
b
banyaknya
satuan
bergantung pada speesies hewann atau
tumbuhan.

ujung untuk kira-kira tiap 25 satuan gllukosa.
t
percabanngannya ialah ikatan
Ikatan pada titik
1,6’-α-glikosiida.
Hidrrolisis
leengkap
amilopektin
menghasilkkan
α-D-gllukosa,
sedangkan hiidrolisis parsiaalnya menghaasilkan
suatu campurran maltosa daan isomaltosa..
Maltosa yang dihasillkan dari hid
drolisis
parsial pati secara enzim
matis memilik
ki dua
omerik
satuan D-gluukopiranosa. Karbon ano
dari satuan kedua gluukopiranosa dalam
maltosa meerupakan baagian dari gugus
hemiasetal. Akibatnya, tterdapat 2 bentuk
b
anomer maltoosa (α- dan β)) yang berada dalam
kesetimbangaan satu sama lain dalam larutan
l
(Gambar 3). Maltosa meengalami mutarotasi
g pereduksii.
dan bersifat gula

Gambar
G
3 Beerbagai bentukk karbon ano
omerik
maaltosa dari kirii ke kanan : maltosa
m
(annomer β),
maltosa (aldehida
ranntai terbuka), m
maltosa (anom
mer α).
Antidiabeetes

(a)

(b)

Gambar 2 Struktur (aa) amilosa dann (b)
amilopekttin (McMurry 2008).
Amilopektin ialah poolisakarida yaang jauh
lebih besar daripada am
milosa, menggandung
m
1000 satuann glukosa atauu lebih per molekul.
Seperti am
milosa, ranttai utama dalam
amilopektin mengandunng 1,4’-α-D-gglukosa.
milosa, amillopektin
Bedanya dengan am
bercabang sehingga terrdapat satu glukosa

Senyawa bahan alam
m dengan ak
ktivitas
d
daalam bentuk tu
urunan
antidiabetes ditemukan
kompleks karrbohidrat, alkkaloid, glikopeeptida,
terpenoid, peptida
p
dann amina, steroid,
s
flavonoid, lippid, kumarin, senyawa sulfu
fur, ion
anorganik
Mekaanisme
dan
lainnnya.
antidiabetes yang meliputti penurunan kadar
a banyak, ddi antaranya adalah
gula darah ada
berkompetisi langsung secara berlaawanan
nsulin,
dengan insulin, menstimuulasi sekresi in
menstimulasii glikogenesiss dan glikolisiis hati,
merintangi kanal
k
kalium sel beta pan
nkreas,
menstimulasii cAMP, dan mengh
hambat
penyerapan glukosa darii usus (Marrles &
Farnwort 19995).
Tanaman antidiabetess lazim digu
unakan
oleh herbalis dalam mengoobati penderitta DM
tipe 2. Dalam beberappa kasus, reespons
penderita teerhadap penggobatan ini harus
dipantau secaara saksama daan keuntungan
n yang
berarti dapaat diperoleh dari terap
pi ini.
Bagaimanapuun, penggunaaan herbal in
ni bagi
penderita DM
M tipe 1 dappat membahaayakan
dan pengenddalian terhadapp gula darah harus
dilakukan untuk menncegah terjadinya
hipoglisemia atau hiperglisemia. Pengobatan
dengan herbaa antidiabetes pada penderita DM
tipe 2 dapat menurunkann kadar gula darah

4

karena bekerja memengaruhi insulin. Salah
satu cara mengendalikan kadar gula darah
pada penderita DM tipe 2 adalah dengan
menghambat aktivitas enzim penghidrolisis
karbohidrat seperti α-amilase dan αglukosidase. Kedua enzim ini bertanggung
jawab terhadap pengubahan karbohidrat
menjadi glukosa. Salah satu obat hipoglisemik
oral yang digunakan sebagai inhibitor enzim
ini adalah akarbosa (Gambar 4).

Gambar 4 Struktur kimia akarbosa.
Akarbosa bekerja dengan memperlambat
pemecahan karbohidrat seperti disakarida,
polisakarida, dan karbohidrat kompleks
lainnya menjadi monosakarida. Karbohidrat
secara normal diubah terlebih dahulu menjadi
monosakarida untuk dapat diserap oleh usus
menjadi glukosa darah. Dengan demikian,
akarbosa dapat mengurangi konsentrasi gula
darah akibat karbohidrat yang dikonsumsi.
Akarbosa (obat sintetik) dapat menghambat
kerja enzim α-amilase yang dihasilkan oleh
pankreas dan α-glukosidase yang terdapat
pada usus halus. Struktur kimia akarbosa
ditunjukkan pada Gambar 4. Penggunaan obat
sintetik ini menimbulkan efek samping,
misalnya kembung, diare, dan kram usus.
Ekstraksi dan Fraksionasi Senyawa
Metabolit Sekunder dari Tanaman
Ekstraksi merupakan suatu proses yang
secara selektif mengambil zat terlarut yang
terkandung dalam suatu campuran dengan
bantuan pelarut. Metode pemisahan pada
ekstraksi pelarut menggunakan prinsip
kelarutan like dissolve like, yaitu pelarut polar
akan melarutkan zat polar dan sebaliknya.
Dalam pemilihan pelarut, hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah selektivitas, sifat
racun, dan kemudahannya untuk diuapkan
(Khopkar 2002).
Salah satu prosedur klasik untuk
memperoleh kandungan senyawa organik dari
jaringan tumbuhan adalah maserasi. Metode
maserasi digunakan untuk mengekstrak
sampel yang relatif tidak tahan panas. Metode
ini dilakukan dengan merendam sampel dalam
suatu pelarut tanpa menggunakan pemanasan.
Kelebihan metode maserasi, yaitu lebih

sederhana, relatif murah, serta dapat
menghindari kerusakan komponen senyawa
yang tidak tahan panas. Kelemahannya di
antaranya dari segi waktunya lama, dan
penggunaan pelarut yang tidak efisien
(Meloan 1999).
Ekstraksi cair-cair merupakan metode
ekstraksi yang didasarkan pada sifat kelarutan
komponen target dan distribusinya dalam dua
pelarut yang tidak saling bercampur. Senyawa
polar akan terbawa dalam pelarut polar,
senyawa semipolar akan terbawa dalam
pelarut yang semipolar, dan senyawa nonpolar
akan terbawa dalam pelarut nonpolar.
Ekstraksi cair-cair bertahap merupakan teknik
ekstraksi cair-cair yang paling sederhana,
cukup
dengan
menambahkan
pelarut
pengekstraksi yang tidak saling bercampur
kemudian dilakukan pengocokan sehingga
terjadi distribusi zat terlarut di antara kedua
pelarut (Khopkar 2002).
Dalam hal ini, pemisahan zat yang polar
dan nonpolar dapat dilakukan dengan
ekstraksi cair-cair (partisi) dalam corong
pisah. Pengocokan bertujuan memperluas area
permukaan kontak di antara kedua pelarut
sehingga pendistribusian zat terlarut di antara
keduanya dapat berlangsung dengan baik.
Syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah
memiliki kepolaran yang sesuai dengan bahan
yang diekstraksi dan harus terpisah setelah
pengocokan (Harvey 2000).
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan
jenis kromatografi partisi menggunakan
sebuah lapis tipis silika atau alumina yang
seragam pada sebuah lempeng gelas atau
logam yang keras. Fase diam untuk
kromatografi lapis tipis sering kali
mengandung substansi yang dapat berpendar
dalam sinar ultraviolet. Fase gerak merupakan
pelarut atau campuran pelarut yang sesuai
(Furniss et al. 1989). Pada KLT, pergerakan
zat relatif terhadap garis depan pelarut dalam
sistem
kromatografi
tertentu
dapat
didefinisikan sebagai nilai Rf, yaitu
perbandingan jarak tempuh zat dengan jarak
tempuh garis depan pelarut.
Fraksionasi adalah suatu proses pemisahan
komponen dalam suatu ekstrak menjadi
kelompok-kelompok senyawa yang memiliki
kemiripan
karakteristik
secara
kimia
(Houghton & Raman 1998). Kromatografi
kolom merupakan teknik analisis, dalam
penentuan jumlah komponen dalam suatu
campuran senyawa, dan juga untuk pemisahan
dan pemurnian komponen senyawa tertentu
dari
campurannya.
Dalam
pemisahan
kromatografi kolom, suatu pelarut pengelusi

5

dialirkan secara kontinu melalui kolom dan
komponen demi komponen dari campuran
yang pada akhirnya keluar dari kolom dapat
dikumpulkan dan difraksionasi (Rouessac &
Rouessac 1994).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan antara lain
peralatan kaca, neraca analitik, oven, cawan
porselin, eksikator, penguap putar, penangas
air, pengaduk magnet, lempeng pemanas,
spektrofotometer
Genesys,
bejana
kromatografi, kolom, dan lampu UV.
Bahan-bahan yang digunakan adalah daun
salam keenam sampai kesepuluh dari pucuk
yang berasal dari Citayam, etanol 96%,
akuades, n-heksana, etil asetat, metanol, nbutanol, aseton, asam asetat glasial, dimetil
sulfoksida (DMSO), FeCl3 1%, anhidrida
asam asetat, kloroform, NH4OH, dietil eter,
pereaksi Lieberman-Burchard, serbuk Mg,
amil alkohol, H2SO4 2 M, pereaksi
Dragendorff, Meyer, dan Wagner, HCl pekat,
silika gel G60 (Merck 230-400 mesh), pelat
silika gel G60 F254 (Merck), alumunium foil,
Na2HPO4.2H2O, NaH2PO4.H2O, NaOH, NaCl,
Na2SO3, pati terlarut, kalium natriumtartarat,
tablet Glucobay (Bayer), enzim α-amilase tipe
VI-B (Sigma Aldrich Inc) dan asam 3,5dinitrosalisilat (Sigma Aldrich Inc) .
Metode
Metode penelitian mengikuti diagram alir
pada Lampiran 1 yang meliputi penyiapan
sampel, penentuan kadar air daun salam dan
serbuk daun salam, ekstraksi serbuk daun
salam, ekstraksi cair-cair, uji aktivitas αamilase, penentuan eluen terbaik dengan
KLT, fraksinasi menggunakan kromatografi
kolom, analisis fitokimia dari ekstrak dan
fraksi teraktif.
Penyiapan Sampel
Daun salam dikumpulkan dari daerah
Kampung Baru, Citayam, Bogor. Daun salam
yang digunakan adalah daun keenam sampai
kesepuluh dari pucuk tanaman. Daun salam
dicuci, dipotong kecil-kecil, dikeringudarakan, kemudian digiling hingga diperoleh
serbuk daun salam. Serbuk tersebut
selanjutnya disimpan dalam wadah kedap
udara.

Penentuan Kadar Air Serbuk Daun Salam
Cawan porselin dicuci bersih dan
dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 °C
selama 30 menit. Selanjutnya cawan
didinginkan dalam eksikator selama 30 menit,
kemudian ditimbang bobot kosongnya.
Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam
cawan dan dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105 °C selama 2x24 jam. Cawan beserta
isinya didinginkan dalam eksikator sekitar 30
menit
kemudian
ditimbang.
Proses
pengeringan dan penimbangan diulang
kembali sampai diperoleh bobot konstan.
Penentuan kadar air dilakukan sebanyak tiga
kali ulangan.
Kadar air (%) = A – B × 100%
A
Keterangan:
A = bobot bahan sebelum dikeringkan (g)
B = bobot bahan setelah dikeringkan (g)
Ekstraksi
Serbuk daun salam sebanyak 100 g
dimaserasi dengan 1 L etanol 96% pada suhu
ruang selama 24 jam. Setelah itu, maserat
dipisahkan kemudian residu dimaserasi
kembali dengan jenis dan jumlah pelarut yang
sama. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan. Semua maserat dikumpulkan
dan dipekatkan dengan penguap putar. Bobot
ekstrak kering yang diperoleh kemudian
ditimbang. Rendemen ekstrak dihitung
dengan membandingkan bobot ekstrak yang
diperoleh terhadap bobot sampel awal, dengan
faktor koreksi berupa kadar air sampel yang
digunakan.
Ekstraksi Cair-Cair Ekstrak Daun Salam
Ekstrak etanol daun salam sebanyak 3 g
ditambahkan dengan 100 mL akuades dan
dimasukkan ke dalam corong pisah. Larutan
kemudian ditambah n-heksana dengan
perbandingan 1:1 v/v dan diekstraksi. Fraksi
n-heksana dipisahkan dan fraksi air
diekstraksi kembali dengan jenis dan jumlah
pelarut yang sama sampai diperoleh fraksi nheksana dari 3 kali pengulangan ekstraksi.
Fraksi air yang masih tersisa kemudian
diekstraksi kembali dengan pelarut etil asetat
dengan perbandingan 1:1 v/v. Fraksi etil asetat
dipisahkan dan ekstraksi diulang kembali
dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama
sampai diperoleh fraksi etil asetat dari 3 kali
pengulangan ekstraksi. Ketiga fraksi yang
dihasilkan, yaitu fraksi n-heksana, etil asetat,

5

dialirkan secara kontinu melalui kolom dan
komponen demi komponen dari campuran
yang pada akhirnya keluar dari kolom dapat
dikumpulkan dan difraksionasi (Rouessac &
Rouessac 1994).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan antara lain
peralatan kaca, neraca analitik, oven, cawan
porselin, eksikator, penguap putar, penangas
air, pengaduk magnet, lempeng pemanas,
spektrofotometer
Genesys,
bejana
kromatografi, kolom, dan lampu UV.
Bahan-bahan yang digunakan adalah daun
salam keenam sampai kesepuluh dari pucuk
yang berasal dari Citayam, etanol 96%,
akuades, n-heksana, etil asetat, metanol, nbutanol, aseton, asam asetat glasial, dimetil
sulfoksida (DMSO), FeCl3 1%, anhidrida
asam asetat, kloroform, NH4OH, dietil eter,
pereaksi Lieberman-Burchard, serbuk Mg,
amil alkohol, H2SO4 2 M, pereaksi
Dragendorff, Meyer, dan Wagner, HCl pekat,
silika gel G60 (Merck 230-400 mesh), pelat
silika gel G60 F254 (Merck), alumunium foil,
Na2HPO4.2H2O, NaH2PO4.H2O, NaOH, NaCl,
Na2SO3, pati terlarut, kalium natriumtartarat,
tablet Glucobay (Bayer), enzim α-amilase tipe
VI-B (Sigma Aldrich Inc) dan asam 3,5dinitrosalisilat (Sigma Aldrich Inc) .
Metode
Metode penelitian mengikuti diagram alir
pada Lampiran 1 yang meliputi penyiapan
sampel, penentuan kadar air daun salam dan
serbuk daun salam, ekstraksi serbuk daun
salam, ekstraksi cair-cair, uji aktivitas αamilase, penentuan eluen terbaik dengan
KLT, fraksinasi menggunakan kromatografi
kolom, analisis fitokimia dari ekstrak dan
fraksi teraktif.
Penyiapan Sampel
Daun salam dikumpulkan dari daerah
Kampung Baru, Citayam, Bogor. Daun salam
yang digunakan adalah daun keenam sampai
kesepuluh dari pucuk tanaman. Daun salam
dicuci, dipotong kecil-kecil, dikeringudarakan, kemudian digiling hingga diperoleh
serbuk daun salam. Serbuk tersebut
selanjutnya disimpan dalam wadah kedap
udara.

Penentuan Kadar Air Serbuk Daun Salam
Cawan porselin dicuci bersih dan
dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 °C
selama 30 menit. Selanjutnya cawan
didinginkan dalam eksikator selama 30 menit,
kemudian ditimbang bobot kosongnya.
Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam
cawan dan dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105 °C selama 2x24 jam. Cawan beserta
isinya didinginkan dalam eksikator sekitar 30
menit
kemudian
ditimbang.
Proses
pengeringan dan penimbangan diulang
kembali sampai diperoleh bobot konstan.
Penentuan kadar air dilakukan sebanyak tiga
kali ulangan.
Kadar air (%) = A – B × 100%
A
Keterangan:
A = bobot bahan sebelum dikeringkan (g)
B = bobot bahan setelah dikeringkan (g)
Ekstraksi
Serbuk daun salam sebanyak 100 g
dimaserasi dengan 1 L etanol 96% pada suhu
ruang selama 24 jam. Setelah itu, maserat
dipisahkan kemudian residu dimaserasi
kembali dengan jenis dan jumlah pelarut yang
sama. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan. Semua maserat dikumpulkan
dan dipekatkan dengan penguap putar. Bobot
ekstrak kering yang diperoleh kemudian
ditimbang. Rendemen ekstrak dihitung
dengan membandingkan bobot ekstrak yang
diperoleh terhadap bobot sampel awal, dengan
faktor koreksi berupa kadar air sampel yang
digunakan.
Ekstraksi Cair-Cair Ekstrak Daun Salam
Ekstrak etanol daun salam sebanyak 3 g
ditambahkan dengan 100 mL akuades dan
dimasukkan ke dalam corong pisah. Larutan
kemudian ditambah n-heksana dengan
perbandingan 1:1 v/v dan diekstraksi. Fraksi
n-heksana dipisahkan dan fraksi air
diekstraksi kembali dengan jenis dan jumlah
pelarut yang sama sampai diperoleh fraksi nheksana dari 3 kali pengulangan ekstraksi.
Fraksi air yang masih tersisa kemudian
diekstraksi kembali dengan pelarut etil asetat
dengan perbandingan 1:1 v/v. Fraksi etil asetat
dipisahkan dan ekstraksi diulang kembali
dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama
sampai diperoleh fraksi etil asetat dari 3 kali
pengulangan ekstraksi. Ketiga fraksi yang
dihasilkan, yaitu fraksi n-heksana, etil asetat,

6

dan air kemudian dipekatkan dengan penguap
putar. Rendemen ekstrak dihitung dengan
membandingkan bobot ekstrak yang diperoleh
terhadap bobot sampel awal.
Pembuatan Larutan untuk Uji Inhibisi αAmilase
Larutan enzim α-amilase 5U/mL. Enzim
α-amilase sebanyak 0.0215 g dilarutkan dalam
100 mL bufer fosfat 20 mM (pH 6.9) yang
mengandung NaCl 6.7 mM, diaduk sampai
homogen.
Larutan substrat 0.5%. Pati terlarut
sebanyak 0.5 g dilarutkan dalam 100 mL
akuades, dididihkan dengan lempeng pemanas
sambil terus diaduk menggunakan pengaduk
magnet
hingga
homogen.
Pendidihan
dilakukan selama 15 menit sampai diperoleh
larutan pati yang jernih.
Larutan
Asam
3,5-dinitrosalisilat
(DNS) 1%. Sebanyak 1 g kristal NaOH
dilarutkan dalam 100 mL akuadestilata,
diaduk menggunakan pengaduk magnet,
ditambahkan 18.2 g kalium natrium tartarat,
sambil terus diaduk lalu ditambahkan 1 g
asam 3,5-dinitrosalisilat dan 0.15 g Na2SO3,
pengadukan dilanjutkan sampai homogen.
Uji Inhibisi α-Amilase (Odhav et al. 2010)
Pengujian inhibisi α-amilase dilakukan
terhadap ekstrak etanol, fraksi hasil ekstraksi
cair-cair, dan fraksi hasil kromatografi kolom.
Inhibisi
α-amilase
ditentukan
dengan
menghitung gula pereduksi yang dihasilkan
pada kondisi percobaan. Inhibisi enzim
dihitung sebagai penurunan jumlah maltosa
yang
terbentuk.
Metode asam 3,5dinitrosalisilat (DNS), metode kromogenik
yang dikembangkan oleh Bernfeld pada tahun
1955, digunakan untuk memperkirakan
ekivalen maltosa yang terbentuk. Pengujian
dilakukan dengan menyiapkan larutan ekstrak
etanol, fraksi hasil ekstraksi cair-cair, dan
fraksi hasil kromatografi kolom dengan
konsentrasi
0.1% (b/v dalam DMSO).
Sebanyak 1 mL larutan sampel ditambahkan 1
mL larutan enzim 5U/mL, dihomogenkan,
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 ºC.
Setelah itu, ditambahkan 1 mL larutan substrat
0.5% b/v dalam akuades, dihomogenkan,
diinkubasi kembali selama 10 menit. Larutan
hasil inkubasi, ditambahkan 1 mL larutan
DNS 1% lalu dipanaskan dalam penangas air
mendidih selama 10 menit sampai terbentuk
warna merah kecoklatan. Larutan tersebut
didinginkan sampai suhu ruang lalu
ditambahkan 10 mL akuades. Sistem reaksi

pengujian enzim untuk satu sampel dapat
ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Sistem reaksi pengujian enzim αamilase untuk satu sampel
Larutan

Blanko
(mL)

Kontrol
(mL)

S0
(mL)

Sampel
DMSO
Bufer
Enzim

S1
(m
L)
1
1

1
1
1
1
1
1
Inkubasi 37 ºC (30 menit)
Substrat
1
1
1
1
Inkubasi 37 ºC (10 menit)
DNS
1
1
1
1
Pemanasan dengan penangas air mendidih
(10 menit)
Akuades
10
10
10
10

Serapan larutan diukur menggunakan
spektrofotometer Genesys pada panjang
gelombang 540 nm. Panjang gelombang ini
merupakan panjang gelombang maksimum
asam 3-amino-5-nitrosalisilat. Serapan larutan
yang diukur adalah serapan blanko, serapan
kontrol, serapan sampel dengan enzim dan
sampel tanpa enzim. Larutan kontrol berisi
DMSO, enzim, substrat, dan DNS, sedangkan
larutan blanko sama seperti kontrol hanya
tidak berisi larutan enzim tetapi bufer. Larutan
sampel dengan enzim berisi larutan sampel,
enzim, substrat, dan DNS, sedangkan pada
larutan sampel tanpa enzim, larutan enzim
diganti dengan bufer. Banyaknya maltosa
yang terbentuk sebanding dengan asam 3amino-5-nitrosalisilat yang terukur. Semakin
banyak maltosa yang terbentuk, semakin
tinggi serapan asam 3-amino-5-nitrosalisilat
yang terukur. Persentase inhibisi α-amilase
ditentukan menggunakan persamaan berikut :
% inhibisi =

K

S

K

S

× 100%

Keterangan :
K : Serapan kontrol
B : Serapan blanko
S1 : Serapan sampel dan produk yang
terbentuk
S0 : Serapan sampel
Penentuan Eluen Terbaik
Pelat kromatografi lapis tipis (KLT) yang
digunakan adalah pelat aluminium jenis silika
gel G60 F254 dari Merck dengan ukuran lebar 1
cm dan panjang 10 cm. Sebelum digunakan,
pelat KLT dikeringkan terlebih dahulu di
dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 ºC.

7

Fraksi air daun salam ditotolkan pada pelat
KLT sebanyak 15 kali penotolan. Setelah
kering,
pelat
dielusi
dalam
bejana
kromatografi yang telah dijenuhkan oleh uap
eluen pengembang. Elusi dilakukan dengan
menggunakan eluen tunggal, yaitu kloroform,
etil asetat, n-butanol, etanol, aseton, metanol,
asetat glasial, dan air. Noda yang dihasilkan
dari proses elusi masing-masing eluen diamati
di bawah lampu UV pada panjang gelombang
254 dan 366 nm. Eluen yang menghasilkan
noda terbanyak dan terpisah dipilih sebagai
eluen terbaik.
Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom
Fraksionasi dilakukan dengan kolom
kemas menggunakan silika gel sebanyak 60 g.
Diameter kolom yang digunakan sebesar 2.5
cm dengan tinggi adsorben 30 cm. Sampel
berupa fraksi air daun salam 1.50 g
diaplikasikan ke dalam kolom. Pemisahan
komponen dilakukan dengan elusi landaian
menggunakan eluen metanol:air dengan
perbandingan (100:0) dan (0:100). Eluat
ditampung setiap 5 mL dalam tabung reaksi
yang telah diberi nomor kemudian diuji
dengan KLT menggunakan eluen terbaik.
Noda pemisahan dideteksi di bawah lampu
UV dengan 254 dan 366 nm. Eluat dengan
nilai Rf dan pola KLT yang hampir sama
digabungkan sebagai satu fraksi. Setiap fraksi
dipekatkan kemudian dihitung rendemennya.
Semua fraksi yang diperoleh digunakan untuk
analisis tahap selanjutnya, yaitu uji inhibisi αamilase untuk menentukan fraksi teraktif.
Fraksi teraktif yang diperoleh dianalisis
kandungan fitokimia.
Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan terhadap ekstrak
etanol, fraksi teraktif hasil ekstraksi cair-cair,
dan fraksi teraktif hasil pemisahan dengan
kromatografi kolom.
Uji Flavonoid. Sampel sebanyak 0.1 g
ditambah 10 mL air panas, dididihkan selama
5 menit, kemudian disaring. Filtrat sebanyak
10 ml ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 1 mL
HCl pekat, dan 1 mL amil alkohol. Campuran
dikocok kuat. Uji positif ditandai dengan
timbulnya warna merah, kuning, atau jingga
pada lapisan amil alkohol.
Uji Saponin dan Tanin. Sampel
sebanyak 0.1 g dilarutkan dengan 10 mL
akuadestilata kemudian dididihkan selama 5
menit. Campuran disaring dan filtrat dibagi ke
dalam 2 tabung reaksi. Bagian pertama
digunakan untuk uji saponin; filtrat didiamkan

sampai agak dingin kemudian dikocok kuat
sampai timbul busa. Bila busa stabil dalam 10
menit, maka filtrat positif mengandung
saponin. Bagian kedua digunakan untuk uji
tanin; filtrat ditambahkan FeCl3 1%. Bila
dihasilkan warna hijau, biru, atau hitam, maka
filtrat positif mengandung tanin.
Uji Alkaloid. Sampel sebanyak 0.1 g
dilarutkan dalam 10 mL kloroform dan
ditambah beberapa tetes NH4OH kemudian
disaring ke dalam tabung reaksi tertutup.
Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi
ditambahkan 10 tetes H2SO4 2 M, dikocok
kuat kemudian lapisan asamnya dipindahkan
ke tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini
diteteskan pada pelat tetes dan ditambahkan
pereaksi Meyer, Wagner, dan Dragendorff.
Uji positif apabila terbentuk endapan dengan
warna berturut-turut putih, cokelat, dan merah
jingga.
Uji Triterpenoid dan Steroid sebanyak
0.1 g dilarutkan dalam 25 mL etanol panas,
disaring, dan residu ditambahkan dietil eter.
Filtrat ditambahkan 3 tetes anhidrida asam
asetat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara
berurutan. Larutan dikocok perlahan dan
dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai
dengan munculnya warna merah atau ungu
untuk triterpenoid dan hijau atau biru untuk
steroid.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air Daun Salam
Penetapan kadar air dalam suatu bahan
bertujuan mengetahui banyaknya air yang
terkandung dalam suatu bahan, mengoreksi
rendemen hasil ekstraksi, mengetahui masa
simpan bahan serta ketahanan bahan tersebut
terhadap mikrob. Dalam penelitian ini,
penetapan kadar air dilakukan terhadap daun
salam segar dan serbuk daun salam kering.
Kadar air daun salam segar yang diperoleh
sebesar 60.98% (b/b daun segar) (Lampiran
2). Air yang terkandung dalam daun salam
lebih sedikit dibandingkan dengan air yang
terkandung
dalam
kebanyakan
daun
tumbuhan, yaitu sekitar
90% (Harborne
1987).
Serbuk daun salam diperoleh dengan
mengeringkan daun salam pada suhu kamar,
setelah kering daun lalu dihaluskan. Tujuan
pengeringan adalah mengurangi air yang
terdapat dalam daun sehingga memperpanjang
masa simpan, karena mikrob tidak dapat
menggunakan air yang tersisa untuk tumbuh.
Selain itu, jika kadar air dalam daun masih

7

Fraksi air daun salam ditotolkan pada pelat
KLT sebanyak 15 kali penotolan. Setelah
kering,
pelat
dielusi
dalam
bejana
kromatografi yang telah dijenuhkan oleh uap
eluen pengembang. Elusi dilakukan dengan
menggunakan eluen tunggal, yaitu kloroform,
etil asetat, n-butanol, etanol, aseton, metanol,
asetat glasial, dan air. Noda yang dihasilkan
dari proses elusi masing-masing eluen diamati
di bawah lampu UV pada panjang gelombang
254 dan 366 nm. Eluen yang menghasilkan
noda terbanyak dan terpisah dipilih sebagai
eluen terbaik.
Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom
Fraksionasi dilakukan dengan kolom
kemas menggunakan silika gel sebanyak 60 g.
Diameter kolom yang digunakan sebesar 2.5
cm dengan tinggi adsorben 30 cm. Sampel
berupa fraksi air daun salam 1.50 g
diaplikasikan ke dalam kolom. Pemisahan
komponen dilakukan dengan elusi landaian
menggunakan eluen metanol:air dengan
perbandingan (100:0) dan (0:100). Eluat
ditampung setiap 5 mL dalam tabung reaksi
yang telah diberi nomor kemudian diuji
dengan KLT menggunakan eluen terbaik.
Noda pemisahan dideteksi di bawah lampu
UV dengan 254 dan 366 nm. Eluat dengan
nilai Rf dan pola KLT yang hampir sama
digabungkan sebagai satu fraksi. Setiap fraksi
dipekatkan kemudian dihitung rendemennya.
Semua fraksi yang diperoleh digunakan untuk
analisis tahap selanjutnya, yaitu uji inhibisi αamilase untuk menentukan fraksi teraktif.
Fraksi teraktif yang diperoleh dianalisis
kandungan fitokimia.
Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan terhadap ekstrak
etanol, fraksi teraktif hasil ekstraksi cair-cair,
dan fraksi teraktif hasil pemisahan dengan
kromatografi kolom.
Uji Flavonoid. Sampel sebanyak 0.1 g
ditambah 10 mL air panas, dididihkan selama
5 menit, kemudian disaring. Filtrat sebanyak
10 ml ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 1 mL
HCl pekat, dan 1 mL amil alkohol. Campuran
dikocok kuat. Uji positif ditandai dengan
timbulnya warna merah, kuning, atau jingga
pada lapisan amil alkohol.
Uji Saponin dan Tanin. Sampel
sebanyak 0.1 g dilarutkan dengan 10 mL
akuadestilata kemudian dididihkan selama 5
menit. Campuran disaring dan filtrat dibagi ke
dalam 2 tabung reaksi. Bagian pertama
digunakan untuk uji saponin; filtrat didiamkan

sampai agak dingin kemudian dikocok kuat
sampai timbul busa. Bila busa stabil dalam 10
menit, maka filtrat positif mengandung
saponin. Bagian kedua digunakan untuk uji
tanin; filtrat ditambahkan FeCl3 1%. Bila
dihasilkan warna hijau, biru, atau hitam, maka
filtrat positif mengandung tanin.
Uji Alkaloid. Sampel sebanyak 0.1 g
dilarutkan dalam 10 mL kloroform dan
ditambah beberapa tetes NH4OH kemudian
disaring ke dalam tabung reaksi tertutup.
Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi
ditambahkan 10 tetes H2SO4 2 M, dikocok
kuat kemudian lapisan asamnya dipindahkan
ke tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini
diteteskan pada pelat tetes dan ditambahkan
pereaksi Meyer, Wagner, dan Dragendorff.
Uji positif apabila terbentuk endapan dengan
warna berturut-turut putih, cokelat, dan merah
jingga.
Uji Triterpenoid dan Steroid sebanyak
0.1 g dilarutkan dalam 25 mL etanol panas,
disaring, dan residu ditambahkan dietil eter.
Filtrat ditambahkan 3 tetes anhidrida asam
asetat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara
berurutan. Larutan dikocok perlahan dan
dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai
dengan munculnya warna merah atau ungu
untuk triterpenoid dan hijau atau biru untuk
steroid.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air Daun Salam
Penetapan kadar air dalam suatu bahan
bertujuan mengetahui banyaknya air yang
terkandung dalam suatu bahan, mengoreksi
rendemen hasil ekstraksi, mengetahui masa
simpan bahan serta ketahanan bahan tersebut
terhadap mikrob. Dalam penelitian ini,
penetapan kadar air dilakukan terhadap daun
salam segar dan serbuk daun salam kering.
Kadar air daun salam segar yang diperoleh
sebesar 60.98% (b/b daun segar) (Lampiran
2). Air yang terkandung dalam daun salam
lebih sedikit dibandingkan dengan air yang
terkandung
dalam
kebanyakan
daun
tumbuhan, yaitu sekitar
90% (Harborne
1987).
Serbuk daun salam diperoleh dengan
mengeringkan daun salam pada suhu kamar,
setelah kering daun lalu dihaluskan. Tujuan
pengeringan adalah mengurangi air yang
terdapat dalam daun sehingga memperpanjang
masa simpan, karena mikrob tidak dapat
menggunakan air yang tersisa untuk tumbuh.
Selain itu, jika kadar air dalam daun masih

8

tinggi, enzim masih aktif, sedangkan substrat
tidak ada, maka enzim tersebut akan bereaksi
dengan kandungan kimia yang telah terbentuk
dan mengubahnya menjadi produk lain yang
mungkin tidak memiliki aktivitas farmakologi
sama seperti senyawa aslinya (Katno 2008).
Kadar air serbuk daun salam yang
diperoleh sebesar 7.29% (b/b serbuk kering)
(Lampiran 3), lebih kecil dibandingkan
dengan kadar air yang dilaporkan Adyana et
al. (2005), yakni sebesar 8.80%. Jumlah air
yang terkandung dalam suatu bahan berbedabeda, bergantung pada perlakuan yang dialami
bahan serta kelembapan tempat disimpannya
bahan tersebut (Harjadi 1986). Suatu sampel
dikatakan baik dan dapat disimpan dalam
jangka waktu lama bila memiliki kadar air

Dokumen yang terkait

Uji Klinis Pendahuluan Pengaruh Pemberian Kapsul Kombinasi Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata (Burm.f.) Nees) dan Daun Salam (Syzygium Polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Fungsi Ginjal Pada Pasien Dislipidemia

2 55 110

Uji Efek Antibakteri Ekstrak Daun Kamboja (Plumiera rubra) pada Konsentasi yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Aeromonas hydrophila Secara In Vitro

16 189 44

Formulasi Sediaan Bubuk Kompak Menggunakan Ekstrak Angkak Sebagai Pewarna

47 205 71

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) terhadap Perubahan Jumlah Trombosit pada Mencit yang Diberi Metotreksat

18 142 94

Efektivitas Ekstrak Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) Sebagai Antibakteri untuk Mencegah Serangan Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Gurami (Osphronemus gouramy)

8 111 70

Uji Efek Ekstrak Air dari Daun Avokad (Persea gratissima) terhadap Streptococcus Mutans dari Saliva dengan Kromatografi Lapisan Tipis (TLC) dan Konsentrasi Hambat Minimum (MIC)

1 51 6

Efikasi Ekstrak Daun Srikaya (Annona Squamosa) terhadap Larva Aedes Aegypti

3 59 76

Uji Klinis Pendahuluan Pengaruh Pemberian Kapsul Kombinasi Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) dan Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Profil Lipid Pada Pasien Dislipidemia

2 70 116

Identifikasi Kemampuan Ekstrak Kumis Kucing dari Berbagai Daerah di Pulau Jawa sebagai Inhibitor Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase

3 8 63

Aktivitas ekstrak etanol daun singawalang (Petiveria alliacea L.) dan fraksinya sebagai antidiabetes

0 1 7