Pola Keragaman Genetik Tanaman Kunyit (Curcuma longa Linn.) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Asal Pulau Jawa dengan PCR-RAPD

1

!"#$

2

NUR AENY PRIHATIN. Pola Keragaman Genetik Tanaman Kunyit (
Linn.) dan Temulawak (
Roxb.) Asal Pulau Jawa
dengan PCR(RAPD. Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan WARAS
NURCHOLIS.
Tanaman kunyit (
Linn.) dan temulawak (
Roxb.) merupakan tanaman obat Indonesia yang berkhasiat untuk
meningkatkan kesehatan tubuh. Pola keragaman genetik dan hubungan
kekerabatan kedua tanaman rimpang ini belum banyak diketahui. Penelitian ini
bertujuan menganalisis pola keragaman genetik kedua tanaman dan hubungan
kekerabatannya dengan
DNA (PCR(RAPD). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah enam tanaman kunyit yang berasal dari Bogor, Wonogiri, Karanganyar,
Sukabumi, dan Ngawi; serta lima tanaman temulawak yang berasal dari Bogor,

Wonogiri, Karanganyar, Sragen dan Sukabumi. Tahapan penelitian ini meliputi
isolasi DNA, amplifikasi DNA serta analisis pola keragaman genetik dan
hubungan genetik dengan NTSYS 2.02. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
isolasi DNA kunyit dan temulawak berhasil dilakukan dengan nilai kemurnian
kunyit dan temulawak secara berurutan adalah 1.093(1.417 dan 1.044(1.544.
Jumlah pita yang muncul dari amplifikasi DNA kunyit dan temulawak masing(
masing 131 dan 132 lokus. Jumlah pita hasil amplifikasi yang beragam dan
ukuran yang berbeda pada tiap sampel menunjukkan pola keragaman genetik yang
terdapat pada tanaman kunyit dan temulawak. Koefisien kemiripan genetik
tanaman kunyit dan temulawak secara berurutan 54%(92% dan 55%(83%.
Hubungan kekerabatan terdekat ditunjukkan oleh tanaman kunyit asal Sukabumi
dengan Ngawi dan tanaman temulawak asal Bogor dan Sukabumi.
Kata kunci : Kunyit (
Roxb.), RAPD.

Linn.), temulawak (

3

NUR AENY PRIHATIN. The Pattern of Genetic Diversity of Origin Java Island

Turmeric (
Linn.) and Temulawak (
Roxb.)
with PCR(RAPD. Under direction of LAKSMI AMBARSARI and WARAS
NURCHOLIS.
Turmeric (
Linn.) and Temulawak (
Roxb.) are Indonesian medicinal plants which nutritious for improving health. The
pattern of genetic diversity and genetic relationship of these rhizome plants are
not well known yet. The purpose of this research to analyze the pattern of genetic
diversity and genetic relationship both plants using
DNA (PCR(RAPD). The sample used in this
research include 6 turmeric plants from Bogor, Wonogiri, Karanganyar, Sukabumi
and Ngawi; and 5 temulawak plants from Bogor, Wonogiri, Sragen, Karanganyar
and Sukabumi. Stage of these research include DNA isolation; DNA
amplification; and analysis pattern of genetic diversity and genetic relationship
using NTSYS 2.02. The result of these research showed that isolation DNA was
done successfully. The result of DNA isolation generally has a fairly good purity.
The purity values of turmeric and temulawak in sequence were 1.093(1.417 and
1.044(1.544. The number of bands that arise from DNA amplification of turmeric

and temulawak in sequence were 131 and 132 locus. The number of amplification
bands mixed results and different sizes for each sample show the patterns of
genetic diversity found in turmeric and temulawak plants. The closest genetic
relationship showed by turmeric plants from Sukabumi and Ngawi; and
temulawak plants from Bogor and Sukabumi. Genetic similarity coefficient
ranged from turmeric plants and temulawak plants in sequence are 54%(92% and
55 %(83 %.
Keywords : Turmeric (
Roxb.), RAPD.

Linn.) temulawak (

4

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia

!"#$


5

Judul Skripsi : Pola Keragaman Genetik Tanaman Kunyit (
Linn.) dan Temulawak (
Jawa dengan PCR(RAPD
Nama
: Nur Aeny Prihatin
NIM
: G84080029

Roxb.) Asal Pulau

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Laksmi Ambarsari, MS.
Ketua

Waras Nurcholis, M. Si.

Anggota

Diketahui,

Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc.
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal lulus :

6

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa
yang telah menganugerahkan berkat dan rahmat(Nya sehingga karya ilmiah ini
dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian
Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor. Adapun judul dari karya ilmiah ini adalah Pola
Keragaman Genetik Tanaman Kunyit (
Linn.) dan Temulawak
(
Roxb.) Asal Pulau Jawa dengan PCR(RAPD.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Laksmi Ambarsari
MS. selaku pembimbing utama dan Waras Nurcholis, M.Si. selaku pembimbing
anggota atas bimbingan, arahan dan masukan yang diberikan kepada penulis
selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Popi Asri Kurniatin, S.Si., Apt., M.Si., Pak Nana, Pak Yadi,
Bu Merry, Bu Tini, Bu Tuti, Pa Arya, Bu Retno, Pa Erik dan Mba Eli yang telah
banyak membantu penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Grahan,
Annisa, Riani, Adit, Rian, Faris, Yuanita, An(Nisa, Lusi atas dukungan dan
semangat yang diberikan. Rasa terima kasih yang begitu besar juga penulis
sampaikan kepada orang tua penulis tercinta atas segala dukungan, bantuan dan
doa yang telah diberikan untuk kelancaran kegiatan ini. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. sebagai donatur
beasiswa BISMA, Yayasan Karya Salemba Empat, dan Paguyuban KSE IPB yang
sangat membantu kelancaran masa perkuliahan dan DIKTI yang membantu
penyelesaian tugas akhir penulis.
Bogor, Februari 2013

7

Penulis dilahirkan di kota Bogor, pada tanggal 28 Mei 1990. Penulis

merupakan anak kedua dari pasangan Utay Hidayat dan Uun Karsunah.
Penulis bersekolah dasar di SDN Tanah Sareal 1 selama 6 tahun, terhitung
tahun 1996 hingga 2002. Sekolah menegah pertama penulis adalah SMPN 8
Bogor. Selanjutnya, penulis melanjutkan sekolah menegah atas di SMAN 2 Bogor
dan menempuh jalur USMI IPB pada tahun 2008, tepatnya di Departemen
Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Kegiatan yang penulis lakukan selama perkuliahan di antaranya menjadi
asisten praktikum Kimia Dasar pada tahun 2010, asisten praktikum Biokimia
Umum pada tahun 2012, asisten praktikum Teknologi Asam Nukleat, dan
Metabolisme pada tahun yang sama. Selain itu, penulis juga menjadi pengajar di
salah satu bimbingan belajar khusus untuk mahasiswa, pengajar privat siswi SD
dan SMA. Penulis juga melakukan praktik lapangan yang bertempat di
Laboratorium Mikrobiologi, LIPI, Cibinong pada tahun 2011 dengan judul
Seleksi dan Identifikasi Isolat Bakteri Proteolitik serta Uji Aktivitas Enzim
Protease yang Dihasilkan.
Organisasi yang penulis ikuti adalah himpunan mahasiswa Biokimia,
FMIPA, IPB, yakni CREBs pada tahun 2011 sebagai staf divisi CIC
(
). Selain itu, penulis merupakan anggota
dari paguyuban Karya Salemba Empat IPB pada tahun 2009 hingga 2012.

Kepanitiaan yang penulis ikuti adalah Lomba Karya Ilmiah Populer tingkat SMA
se(Indonesia dalam acara Pesta Sains FMIPA IPB pada tahun 2010; Seminar
Kesehatan Nasional dan
buku “Teknik Penelitian Biokimia” oleh Prof.
Dr. drh. Maria Bintang, MS., dan Biokimia
. Tahun 2011, penulis
mendapatkan dana hibah dari DIKTI untuk karya tulis kategori kewirausahaan
pada ajang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Karya tulis tersebut berjudul
Bakso Talas EROT (Enak Rasanya Ok Tempatnya) sebagai Alternatif Makanan
Bergizi Khas Bogor.

8

%&%'%
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... viii
PENDAHULUAN ..............................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit (

Temulawak (

1

Linn.) ....................................................................
Roxb.)................................................
(PCR) .............................................................
DNA (RAPD) ..........................................

2
3
3
4

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan ............................................................................................
Metode .........................................................................................................

5
5


HASIL DAN PEMBAHASAN
DNA Genom ................................................................................................ 7
Kuantifikasi DNA Genom………………………………………………... 9
Amplikon RAPD ......................................................................................... 9
Matriks Kemiripan Genetik ......................................................................... 11
Filogenetik ................................................................................................... 11
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...................................................................................................... 12
Saran ............................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 13
LAMPIRAN ........................................................................................................ 16

9

%&%'%
1

Matriks kemiripan genetik enam tanaman kunyit lokal ............................. 11


2

Matriks kemiripan genetik lima tanaman temulawak lokal ........................ 11

%&%'%
1

Tanaman kunyit (

Linn.) ....................................................

3

2

Tanaman temulawak (

Roxb.) ................................

3

3

Reaksi PCR(RAPD .....................................................................................

5

4

Elektroforegram pita DNA temulawak C3 (Bogor) dengan modifikasi .....

7

5

Elektroforegram pita DNA .........................................................................

8

6

Elektroforegram amplikon DNA tanaman kunyit ....................................... 10

7

Elektroforegram amplikon DNA tanaman temulawak ................................ 10

8

Pohon filogenetik tanaman kunyit .............................................................. 12

9

Pohon filogenetik tanaman temulawak ....................................................... 12

%&%'%
1

Strategi penelitian ....................................................................................... 17

2

Bagan alir modifikasi metode isolasi DNA ................................................ 18

3

Hasil analisis kuantitatif DNA kunyit dan temulawak ............................... 21

4

Data jumlah amplikon kunyit ..................................................................... 22

5

Data jumlah amplikon temulawak .............................................................. 23

6

Bobot molekul DNA genom tanaman kunyit dan temulawak .................... 24

7

Elektroforegram hasil PCR tanaman temulawak dan kunyit ..................... 25

1

Indonesia merupakan negara mega
biodiversitas. Flora dan fauna yang terdapat di
Indonesia sangat beragam. Iklim Indonesia
yang tropis menunjang pertumbuhan berbagai
organisme, termasuk tanaman obat (Indena
2002). Tanaman obat umumnya diolah secara
tradisional dan dibuat menjadi jamu. Dua jenis
tanaman obat yang termasuk ke dalam resep
jamu tradisional adalah kunyit dan
temulawak. Kunyit dan temulawak merupakan
tanaman yang termasuk ke dalam famili
Zingiberaceae atau jahe(jahean. Khasiat utama
dari kedua tanaman ini adalah meningkatkan
kesehatan tubuh (Pribadi 2009).
Kunyit merupakan tanaman rimpang yang
mudah ditemukan. Hampir di sebagian
wilayah di Indonesia terdapat tanaman kunyit.
Keragaman kunyit di Indonesia sangat tinggi.
Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian
yang dilakukan oleh Jan
(2011) yang
mengemukakan bahwa Indonesia sekurang(
kurangnya memiliki 40 jenis spesies tanaman
kunyit. Berbagai penelitian yang mengkaji
tanaman ini telah banyak dilakukan. Sebagian
besar penelitian yang telah ada bertujuan
menganalisis khasiat dari tanaman ini. Bagian
yang umum digunakan adalah rimpang kunyit.
Penelitian yang mengulas metabolit yang
terkandung
dalam
rimpang
kunyit
menunjukkan bahwa senyawa kurkuminoid
yang terdapat pada kunyit memiliki berbagai
peranan penting dalam bidang pengobatan.
Aggarwal
(2005) menyatakan bahwa
kurkuminoid memiliki kemampuan sebagai
antikanker. Selain itu, kurkuminoid berperan
sebagai antifungal (Indena 2002).
Tidak jauh berbeda dengan kunyit,
temulawak telah banyak dieksplorasi dan
diteliti terkait peranannya sebagai obat
tradisional. Rimpang temulawak mengandung
senyawa kurkuminoid dan xanthorizol. Kedua
senyawa ini berperan sebagai antibakteri,
antioksidan,
antitumor,
antidiabetik,
antiinflamasi, antihepatotoksik, diuretika,
depresan dan hipolipidemik (Raharjo &
Rostiana 2003). Selain itu, temulawak dapat
membantu perbaikan fungsi hati serta
menurunkan kadar SGPT (!
"
#
$
) dan SGOT (!
"
%
$
)
(Hadipoentyanti & Syahid 2001).
Kunyit dan temulawak memiliki lokasi
sentra budi daya yang berada di Pulau Jawa.
Lokasi sentra budi daya kunyit terdapat di
Jawa Tengah (Warintek 2005). Lokasi sentra
budi daya temulawak sulit ditentukan karena

umumnya ditanam secara konvensional dan
hampir ditemukan di dataran sedang dan
tinggi yang teduh (sekitar 5 hingga 1000
m/dpl) (BPPT 2010). Perbedaan lokasi ini
akan mempengaruhi jumlah metabolit
sekunder yang terkandung pada tanaman. Hal
ini disebabkan adanya perbedaan iklim seperti
curah hujan; media tanam; dan ketinggian
tempat (Nurcholis 2008). Selain faktor
lingkungan, kadar metabolit dalam suatu
tanaman dipengaruhi oleh pola genetik
tertentu (Hayakawa
2011).
Khasiat dari tanaman kunyit dan
temulawak telah dibuktikan dan diakui.
Namun, pengetahuan yang terkait genetika
dari kedua tanaman ini belum banyak
diketahui. Pengetahuan mengenai genetika
tanaman penting untuk pemuliaan tanaman
dan eksplorasi terhadap tanaman tersebut.
Oleh sebab itu, diperlukan penelitian yang
mengulas tentang genetika dari kedua
tanaman rimpang ini. Langkah awal dari
pembukaan pengetahuan mengenai genetika
tanaman kunyit dan temulawak adalah
mencari pola genetik kedua tanaman tersebut
dan hubungan kekerabatan dari berbagai
tanaman kunyit dan temulawak yang ditanam
pada lokasi yang berbeda.
Penelitian mengenai genetika umumnya
dilakukan dengan penanda molekular.
Penanda molekular merupakan teknik yang
digunakan untuk menganalisis genom suatu
tanaman berbasis reaksi PCR. Penanda
molekular yang umum digunakan di antaranya
(RFLP),
(AFLP),
DNA (RAPD), dan !
! &
(SSR) (Santos 2000). Teknik
RAPD merupakan teknik yang paling mudah
digunakan dibanding teknik lainnya. Teknik
RAPD tidak memerlukan enzim restriksi
untuk memotong fragmen DNA ('
(
) yang akan diamplifikasi seperti
pada teknik RFLP dan AFLP. Teknik RAPD
juga tidak memerlukan senyawa pelabel
untuk hasil amplifikasi. Selain itu, biaya yang
diperlukan tidak terlalu besar, tidak
memerlukan informasi tentang genom yang
akan dianalisis dan dapat menghasilkan
polimorfisme DNA yang banyak karena
primer yang digunakan bersifat acak (NCBI
2011).
Penelitian ini akan menganalisis pola
keragaman genetik enam tanaman kunyit dan
lima tanaman temulawak yang berasal dari
berbagai daerah menggunakan teknik PCR(
RAPD dengan primer OPA, OPB, OPC dan

2

OPD (11(15) serta menganalisis hubungan
kekerabatan antar tanaman kunyit dan antar
tanaman temulawak. Sebelumnya telah
dilakukan amplifikasi tanaman kunyit dan
temulawak dengan primer OPA(OPD 01(05
(Utami 2012), 06(10 (Prahaditya 2013) dan
16(20 (Meryalita 2012). Pemilihan primer
OPA hingga OPD didasarkan pada penelitian
Jan
(2011)
yang
berhasil
mengamplifikasi tanaman kunyit lokal
Pakistan dengan primer tersebut. Tanaman
kunyit yang digunakan berasal dari Bogor,
Wonogiri, Karanganyar, Sukabumi dan
Ngawi. Temulawak yang digunakan berasal
dari Bogor, Wonogiri, Karanganyar, Sragen
dan Sukabumi. seluruh tanaman yang
digunakan ditanam di kebun percobaan Pusat
Studi Biofarnaka. Hipotesis dari penelitian ini
adalah pola keragaman genetik tanaman
kunyit dan temulawak yang berasal dari
berbagai daerah dapat dianalisis dengan
RAPD dan dapat ditemukan hubungan
kekerabatannya.
Pola
genetik
dapat
dimanfaatkan untuk mencari hubungan
genetik melalui konstruksi suatu pohon
filogenetik. Selain itu, pola genetik yang
diperoleh dapat dijadikan sebagai dasar untuk
penelusuran asal suatu tanaman kunyit dan
temulawak dengan marka ini.

( )*
Klasifikasi kunyit secara taksonomi
meliputi divisi, kelas, ordo, famili (keluarga),
genus dan spesies. Kunyit termasuk ke dalam
divisi
Spermatophyta
dan
subdivisi
Angiospermae. Kunyit berada dalam kelas
Monocotyledonaeae.
Kunyit
berordo
Zingiberales. Kunyit berasal dari keluarga
Zingiberaceae. Genus dari tanaman rimpang
ini adalah
. Spesies kunyit terdiri
dari
dan
(Akram
2010).
Tanaman kunyit (Gambar 1) tumbuh
dengan tinggi mencapai 40(100 cm. Tanaman
ini memiliki batang semu, berbatang bulat,
tegak, dan
membentuk rimpang. Batang
kunyit berwarna hijau kekuningan dan
disusun oleh pelepah daun. Daun tanaman ini
tunggal, berbentuk bulat telur memanjang
dengan ukuran 10(40 cm dengan lebar 8(12.5
cm. Tulang daun menyirip dengan warna hijau
pucat.
Bagian ujung dan pangkal daun
meruncing. Tepi daun rata. Bunga kunyit
majemuk, berambut dan bersisik dari pucuk
hingga batang semu. Mahkota bunga kunyit

berukuran 3 cm dan lebar 1.5 cm. Mahkota
bunga berwarna putih atau kekuningan. Kulit
luar rimpang berwarna jingga kecoklatan.
Daging buah berwarna merah jingga
kekuningan (Rahardjo & Rostiana 2005).
Kunyit ditemukan di Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Beberapa spesies tanaman ini
ditemukan di Cina, Australia, dan selatan
Pasifik. Keragaman kunyit yang tinggi
ditemukan pada dua negara, yakni India dan
Thailand. Negara lain seperti Burma,
Bangladesh, Indonesia dan Vietnam sekurang(
kurangnya memiliki 40 spesies tanaman
kunyit (Jan
. 2011). Tanaman kunyit juga
ditemukan di daerah Kasur, Sahiwal dan
Okara, Punjab dan Bannu, daerah Pubbi dan
Haripur di provinsi Khyber Pakhtunkhwa,
Pakistan (Shinwari 2010). Kunyit di Indonesia
dapat ditemukan dengan mudah di Jawa
Timur dan Jawa Barat (Rahardjo & Rostiana
2005).
Kunyit mengandung berbagai senyawa
bioaktif, di antaranya kurkuminoid, berbagai
minyak volatil, flavonoid, karbohidrat, protein
dan resin (Akram
2010). Kurkuminoid
kunyit terdiri atas tiga bentuk isomer, yakni
demetoksi kurkumin, bisdemetoksi kurkumin
dan kurkumin. Minyak volatil kunyit terdiri
atas tueron, atlanton, dan zingiberon (Araujo
& Leon 2001).
Tanaman
kunyit
telah
banyak
dimanfaatkan oleh manusia. Akar kunyit
dapat dijadikan sebagai bubuk yang
digunakan untuk bahan pewarna, termasuk
untuk obat. Kunyit memiliki peranan penting
dalam sektor industri, yakni sebagai pengganti
pewarna sintetik (Rahardjo & Rostiana 2005).
Selain itu, minyak kunyit dapat berperan
sebagai antifungal,
dan
. Senyawa bioaktif yang memiliki
ketiga fungsi tersebut adalah karminatif (Lee
2006). Selain karminatif, minyak kunyit
mengandung beberapa senyawa monoterpen
dan seskuiterpen lain seperti zingiberen,
arturmeron dan turmeron (Rahardjo &
Rostiana 2005).
Kunyit memiliki senyawa kurkumin yang
sangat bermanfaat. Kurkumin memiliki
kemampuan sebagai antikanker kolon (Reddy
& Rao 2002) dan payudara (Ramachandaran
2002). Kurkumin dapat berperan sebagai
agen kemoterapi untuk kanker kolon
(Chauhan
2002),
kanker
payudara
(Somasundaram
2002) dan kanker
prostat (Dorai
2001). Selain sebagai
antikanker, kurkumin juga berperan dalam
menurunkan
kadar
kolesterol
darah,
menghambat oksidasi LDL ( )
),

3

menghambat
agregasi
keping
darah,
menghambat proliferasi sel otot polos,
menghambat infraksi miokardial, menekan
diabetes dan menstimulasi regenerasi otot.
Bahkan, kurkumin dapat bertindak sebagai
inhibitor *
+
$
, (HIV(1) integrase (Aggarwal
.
2005).

1

2

Gambar 1 Tanaman kunyit (
Linn.) meliputi daun (1); dan
batang (2) (foto pribadi)
+'(&%,%Tanaman temulawak tersebar di daerah
Asia Tenggara. Negara tempat ditemukannya
temulawak
meliputi
Cina,
IndoCina,
Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika
Serikat dan sebagian negara Eropa.
Temulawak juga dapat ditemui dengan mudah
di Indonesia (BPPT 2010). Wilayah
pengembangan temulawak di Indonesia
meliputi 13 provinsi, yakni Sumatera Utara,
Riau, Jambi, Daerah Khusus Ibu kota Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
Bali,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan
(Rahardjo 2010).
Klasifikasi
temulawak
(taksonomi)
meliputi divisi, subdivisi, kelas, ordo, famili,
genus dan spesies. Temulawak termasuk ke
dalam divisi Spermatophyta. Berada dalam
subdivisi
Angiospermae.
Temulawak
menempati
kelas
Monocotyledonae.
Temulawak memiliki famili Zingiberaceae
genus C
dan spesies
Roxb (BPPT 2010).
Tanaman temulawak (Gambar 2)
memiliki tinggi mencapai 1 meter. Tanaman
ini berbatang semu dengan warna hijau atau
coklat gelap. Akar rimpangnya terbentuk
sempurna dengan cabang yang kuat dan warna
hijau gelap. Daunnya tumbuh pada bagian
batang sebanyak dua hingga sembilan helai
tiap batang. Daun temulawak berbentuk
bundar memanjang dan berwarna hijau atau
coklat keunguan terang hingga gelap. Panjang

daun temulawak mencapai 31(84 cm dengan
lebar antara 10(18 meter. Tanaman temulawak
memiliki perbungaan lateral. Tangkai bunga
temulawak ramping dan bersisik. Panjang
tangkai bunga mencapai 9(23 cm dengan lebar
4(6 cm. Kelopak bunga sepanjang 8(13 mm,
berwarna putih, berbulu, berbentuk tabung
dengan panjang mencapai 4.5 cm secara
keseluruhan. Warna helaian bunga temulawak
adalah putih dengan bagian ujung berwarna
merah, berbentuk bundar, dan panjang
mencapai 1.25(2 cm dan lebar 1 cm (BPPT
2010).
Kandungan senyawa bioaktif utama
temulawak adalah kurkumin. Namun, berbeda
halnya dengan kunyit. Temulawak hanya
memiliki dua bentuk isomer kurkumin, yakni
demetoksikurkumin dan kurkumin. Selain itu,
temulawak pun mengandung minyak atsiri,
pati dan protein. Minyak atsiri dari temulawak
meliputi felandren, kamfer, borneol, sineal
dan xantorizol (Rahardjo & Rostiana 2003).
Temulawak sering dimanfaatkan sebagai
obat tradisional. Berdasarkan Hadipoentyanti
dan Syahid (2001), masyarakat telah banyak
menggunakan rimpang temulawak sebagai
bahan baku pembuatan obat untuk penyakit
liver. Secara klinis, temulawak membantu
perbaikan fungsi hati, serta menurunkan kadar
SGPT dan SGOT. Selain itu, temulawak dapat
dijadikan sebagai pewarna alami, minuman
yang bermanfaat dalam meningkatkan
imunitas tubuh. Temulawak berperan sebagai
antimikrob (Wibowo
2012), antitumor,
antidiabetik,
antioksidan,
antiinflamasi,
antihepatotoksik, diuretika, depresan, dan
hipolipodemik (Purnomowati 2008).

1

2
3
Gambar 2 Tanaman temulawak (
Roxb.) meliputi
daun (1); bunga (2); dan batang
(3) (foto pribadi)

(PCR)
adalah metode molekuler yang dimanfaatkan
untuk menggandakan DNA secara
#
Penggandaan DNA ini dilakukan dengan

4

menggunakan enzim dan sepasang primer.
Primer yang digunakan bersifat spesifik
terhadap DNA target. Dengan metode PCR,
penggandaan DNA dapat dilakukan dengan
lebih cepat. Hal ini termasuk salah satu
keuntungan yang ditawarkan dari metode
PCR. Konsep metode PCR awalnya diajukan
oleh Khorana pada tahun 1970an. Penerapan
teknik PCR sendiri dilakukan pertama kali
oleh Kary Mullis pada tahun 1983 (Bartlett &
Stirling 2010).
Secara umum, PCR melibatkan beberapa
tahapan reaksi. Tahapan reaksi tersebut
meliputi tahap denaturasi, tahap
dan tahap elongasi. Tahap denaturasi
merupakan tahap pemisahan utas ganda DNA
menjadi utas tunggal pada suhu tinggi. Suhu
yang umum digunakan berkisar antara 940 C
hingga 960 C. Utas tunggal tersebut kemudian
akan menjadi DNA cetakan untuk proses
transkripsi. Tahap
adalah tahap
penempelan primer pada bagian DNA
cetakan. Primer akan menempel secara
spesifik pada fragmen DNA cetakan, yakni
menempel pada fragmen DNA cetakan yang
komplemen dengan urutan basa primer. Tahap
ini umumnya dilakukan pada suhu antara 450
C hingga 600 C. Primer universal yang umum
digunakan adalah 20F dan 1500R. Tahap
elongasi adalah tahap pemanjangan primer
menjadi utas baru DNA dengan bantuan
enzim DNA polimerase (Sambrook & Russel
2001). DNA polimerase umumnya bersifat
tahan panas sehingga dapat digunakan dengan
baik untuk PCR. Umumnya, enzim DNA
polimerase yang tahan panas diisolasi dari
bakteri termofilik atau hipertermofilik. Contoh
dari enzim DNA polimerase yang sering
digunakan adalah Taq polimerase (Carroll &
Casimir 2010). Taq polimerase diisolasi dari
$
&
yang termasuk ke dalam
golongan arkea termofilik (Brown 2007).
Prinsip dasar PCR sama seperti
mekanisme replikasi DNA yang terjadi di
dalam sel. Saat awal proses PCR, utas ganda
DNA diurai menjadi utas tunggal. Kedua utas
tunggal yang terbentuk akan menjadi cetakan
untuk pembentukan DNA baru. Selanjutnya,
primer menempel pada utas tunggal DNA
cetakan dan primer diperpanjang oleh enzim
DNA polimerase sehingga terbentuk dua utas
ganda baru DNA. Umumnya, siklus PCR
terus diulang sebanyak 25 hingga 30 kali.
Seiring dengan penambahan jumlah siklus
PCR, jumlah DNA hasil amplifikasi akan
bertambah secara logaritmik. Selanjutnya,
PCR akan mengalami fase pendinginan DNA
pada suhu 40C dalam waktu yang tidak

terbatas (Hofreiter
2010). Komponen
PCR meliputi DNA cetakan dengan
konsentrasi antara 1 pg hingga 1 µg, Mg2+
dengan konsentrasi 1.5 mM, dNTP dengan
konsentrasi 200 mM, sepasang primer dengan
konsentrasi masing(masing 1 µM, DNA
polimerase sebanyak 1 hingga 5 subunit dan
larutan buffer dengan pH 8.3 (Grunenwald
2010).
Selain PCR, marka molekul lain yang
dapat digunakan untuk penggandaan DNA
adalah hibridisasi. Teknik ini memerlukan
enzim restriksi dalam pengoperasiannya.
Penggunaan enzim restriksi ini diharapkan
dapat mengungkapkan perbedaan pola antara
fragmen DNA pada ukuran tertentu dari
individu yang berbeda. Hal ini didasarkan
pada adanya perbedaan sekuen DNA yang
dapat disebabkan oleh mutasi titik, insersi atau
delesi, translokasi, inversi dan duplikasi.
Perbedaan sekuen ini, terutama yang terdapat
pada situs restriksi akan menghasilkan
fragmen sekuen yang berbeda dengan ukuran
yang berbeda bila dipotong oleh enzim
restriksi tertentu. Enzim restriksi yang umum
digunakan berasal dari bakteri, seperti - RI,
I, dan lainnya. Contoh dari marka
molekular yang telah banyak dikenal adalah
(RFLP) (Semagn

2006).

'
(RAPD) termasuk ke dalam salah satu jenis
reaksi PCR. Umumnya, pada reaksi PCR
amplifikasi dilakukan pada gen yang telah
diketahui. Namun, pada RAPD fragmen yang
akan diamplifikasi belum diketahui dan
amplifikasi tersebut bersifat acak. Saat
beroperasi, RAPD memerlukan marker.
Marker RAPD berupa fragmen DNA hasil
amplifikasi yang diperoleh secara acak dengan
primer tunggal yang tidak tentu. Ukuran
primer yang digunakan biasanya terdiri atas
10 pasang basa (NCBI 2011).
Gambar 3 menunjukkan ilustrasi reaksi
PCR(RAPD. Terdapat beberapa panah pada
fragmen DNA awal. Tanda panah tersebut
menunjukkan jumlah salinan primer. Arah
sintesis DNA ditunjukkan oleh arah panah.
Lokasi cetakan yang berikatan dengan primer
ditunjukkan oleh nomor yang terdapat dalam
gambar. Primer akan berikatan dengan DNA
cetakan pada titik nomor 1, 2 dan 3 di bagian
atas DNA cetakan. Titik pengikatan primer
pada bagian bawah cetakan terdapat pada
nomor 4, 5 dan 6 . Primer antara titik 2 dan 5

5

serta 3 dan 6 akan menghasilkan produk PCR.
Produk A dihasilkan dari titik antara 2 dan 5.
Produk B dihasilkan dari sekuen antara titik 3
dan 6. Sekuen antara titik 1 dan 4 tidak akan
menghasilkan produk. Hal ini disebabkan
jarak antara kedua titik yang cukup jauh.
Akibatnya, pasangan primer pada kedua titik
tersebut tidak berhadapan sehingga tidak
dapat dihasilkan produk. Penggunaan primer
yang berbeda akan menghasilkan produk PCR
yang berbeda pula (NCBI 2011).
Setelah amplifikasi, pemastian produk
PCR yang mengandung fragmen yang tidak
diketahui
tersebut
dilakukan
dengan
elektroforesis gel agarosa. Munculnya
fragmen DNA hasil amplifikasi yang tidak
diketahui
dalam
proses
elektroforesis
dipengaruhi oleh komplementaritas antara
posisi sekuen primer dengan sekuen DNA
cetakan. Bila sekuen primer berada pada
bagian fragmen yang terlalu jauh (ujung 3’)
maka tidak akan ada fragmen yang
diproduksi. Selain itu, bila terjadi mutasi pada
ruas sebelum titik komplementer pada primer
maka produk PCR juga tidak akan dihasilkan
(NCBI 2011).
Penggunaan RAPD memiliki berbagai
keunggulan. Keunggulan tersebut mencakup
segi ekonomi, yakni harga yang tidak mahal.
Pengetahuan spesifik tentang sekuen DNA
organisme target juga tidak diperlukan dalam
penggunaan RAPD (William
1990).
Teknik RAPD bersifat )
, yaitu dapat
mengamplifikasi DNA dalam jumlah besar,
menghasilkan pita dengan intensitas yang
terang dan tebal, serta menghasilkan banyak
fragmen. Selain itu, RAPD banyak digunakan
untuk spesies bakteri. Teknik ini dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi
polimorfisme DNA dalam sekuen DNA
cetakan (NCBI 2011).

DNA cetakan
Reaksi PCR

Produk A

Produk B

Gambar 3 Reaksi PCR(RAPD (NCBI 2011)

&%* .% %/%
Peralatan yang
digunakan dalam
penelitian ini meliputi peralatan gelas, neraca

analitik, mortar, pipet mikro beserta tip,
mikrosentrifus 200 R,
tabung Eppendorf,
inkubator, lemari asam, autoklaf, pHmeter,
spektrofotometer beserta kuvet, perangkat
mesin elektroforesis BioRad, mesin Geldoc
dan mesin PCR ESCO.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain daun kunyit (
Linn.) asal Bogor, Wonogiri, Karanganyar,
Ngawi, dan Sukabumi; daun temulawak
(
Roxb.) asal Bogor,
Wonogiri,
Karanganyar,
Sragen
dan
Sukabumi
yang
ditanam di Kebun
Percobaan Pusat
Studi Biofarmaka
;
nitrogen cair; larutan buffer ekstraksi
yang mengandung 2% CTAB (
$
.
) (b/v), 1.4 M NaCl,
mM EDTA, 100 mM Tris(HCl pH 8;
polivinil pirolidon (PVP); dan 2% 2(
merkaptoetanol (v/v). Bahan lain yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah
kloroform, isoamilalkohol, larutan etanol
76%, buffer TE (10 mM Tris(HCl pH 8 dan
0.1 mM EDTA pH 8),
akuabides
/
,
)
alkohol
teknis, akuades, gel agarosa, larutan buffer
TBE (Tris(Borat(EDTA), ethidium bromida
0.5 µg/mL, marker DNA ʎ, DreamTaqTM
DNA
, MgCl2, dan primer OPA,
OPB, OPC, OPD 11(15.
+* .+
+* .+
0 &%0
*+1' . 2 -%0
/%1'%,%* !""3
. 2 -%0 #. Daun temulawak C3
(Bogor) ditimbang sebanyak 1 gram dan
dimasukkan ke dalam mortar. Daun
ditambahkan dengan PVP dan nitrogen cair
lalu digerus hingga menjadi tepung. Bufer
ekstraksi hangat ditambahkan sebanyak 9.8
mL dan 2(merkaptoetanol sebanyak 0.2 mL.
Sampel diinkubasi selama 1 jam pada suhu
550 C dan kecepatan 150 rpm. Selanjutnya,
sampel dipindahkan ke dalam 9 tabung
Eppendorf masing(masing 1 mL dan
ditambahkan
kloroform:isoamil alkohol
(24:1) dengan volume yang sama. Sampel
disentrifugasi pada kecepatan 1000 g selama
5 menit. Ekstraksi dengan kloroform:isoamil
alkohol dilakukan sebanyak dua kali. Aliquot
dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf baru
dan ditambahkan dengan isopropanol dingin
sebanyak 2/3 volume. Campuran diinversi
sebanyak 10 kali dan disentrifugasi pada
kecepatan 12000 g selama 20 menit. Setelah
disentrifugasi, pelet dikoleksi dan supernatan
dibuang. Satu tabung disimpan pada suhu (200

6

C dan tabung lainnya digunakan untuk
modifikasi selanjutnya.
. 2 -%0 ! Pelet yang diperoleh pada
modifikasi 1 dicuci dengan etanol 76% dan
disentrifugasi pada kecepatan 14000 g selama
10 menit. Pelet dikoleksi dan disimpan pada
suhu (200 C.
. 2 -%0 $ Pelet yang diperoleh pada
modifikasi 1 dicuci dengan etanol 76% dan
disentrifugasi pada kecepatan 14000 g selama
10 menit. Pelet ditambahkan dengan 50 µL
TE. Campuran diinversi dan ditambahkan
dengan RNase A dengan konsentrasi akhir 10
µg/mL. Campuran diinkubasi pada suhu 370 C
selama 30 menit dan disentrifugasi pada
kecepatan 7500 g selama 5 menit. Pelet
dikoleksi dan disimpan pada suhu (200 C.
. 2 -%0 4 Sebelum ekstraksi dengan
kloroform:isoamil alkohol,
dilakukan
penambahan proteinase K dengan konsentrasi
akhir 10 µg/mL. Selanjutnya diinkubasi pada
suhu 370 C selama 30 menit dan 650 C selama
20 menit. Pelet yang diperoleh pada
modifikasi 1 dicuci dengan larutan pencuci
(ammonium asetat dan etanol 76%) dan
disentrifugasi pada kecepatan 14000 g selama
10 menit. Pelet ditambahkan dengan 50 µL
TE. Campuran diinversi dan ditambahkan
dengan RNase A dengan konsentrasi akhir 10
µg/mL. Campuran diinkubasi pada suhu 370 C
selama 30 menit dan sidentrifugasi pada
kecepatan 7500 g selama 5 menit. Pelet
dikoleksi dan disimpan pada suhu (200 C.
. 2 -%0 5 Seperti modifikasi 4 tetapi
pelet yang diperoleh dari modifikasi 1 dicuci
dengan etanol 76%.
. 2 -%0 6 Seperti modifikasi 5 tetapi
penambahan proteinase K dilakukan setelah
penambahan TE.
. 2 -%0 7 Seperti modifikasi 6 tetapi
pelet yang diperoleh dari modifikasi 1 dicuci
dengan larutan pencuci (ammonium asetat dan
etanol 76%).
. 2 -%0 8 Seperti modifikasi 3 tetapi
pelet yang diperoleh dari modifikasi 1 dicuci
dengan larutan pencuci (ammonium asetat dan
etanol 76%).
. 2 -%0 3 Pelet yang diperoleh pada
modifikasi 1 dicuci dengan larutan pencuci
(ammonium asetat dan etanol 76%) dan
disentrifugasi pada kecepatan 14000 g selama
10 menit. Pelet dikoleksi dan disimpan pada
suhu (200 C.
%& 0 0 (% * *%* 2
#334
Sebanyak
3.5
ditambahkan dengan

0 9*
OL

DNA
)

sampel
hingga

350 OL. Campuran diinversi hingga homogen.
Nilai serapan sampel diukur pada panjang
gelombang 230 nm, 260 nm dan 280 nm.
Selanjutnya, nilai serapan sampel pada
panjang gelombang 260 nm dihitung rasionya
terhadap nilai serapan panjang gelombang 230
nm dan 280 nm. Nilai rasio A260/280 dan
A260/230 yang berkisar antara 1.6(1.8 dan
2.0(2.2 dianggap telah murni.
+%-0
&& %'
#33"
Campuran reaksi PCR untuk amplifikasi
mengandung 1x buffer PCR, 1.5 mM MgCl2,
200 OM masing(masing dNTP, 0.2 OM primer
OP, 1 unit Taq DNA polimerase, dan 50 ng
DNA cetakan.
Amplifikasi
dilakukan
sebanyak 45 siklus. Satu siklus untuk
pradenaturasi pada suhu 920 C selama 2
menit, denaturasi pada suhu 920 C selama 3
menit dan 30 detik, penempelan primer pada
suhu 350 C selama 1 menit dan pemanjangan
primer pada suhu 720 C selama 1 menit.
Sebanyak 44 siklus untuk denaturasi pada
suhu 920 C selama 1 menit, penempelan
primer pada suhu 350 C selama 1 menit,
pemanjangan primer pada suhu 720 C selama
2 menit dan pemanjangan akhir pada suhu 720
C selama 7 menit. Setelah seluruh siklus
tercapai suhu dijaga pada 40 C dengan waktu
yang tidak dibatasi.
: 0(%& 0%0 .%
+ + *(%
*
&+-(&
%' 1 - ; (00+& #383
Visualisasi DNA dilakukan dengan
elektroforesis gel agarosa. Sebanyak 0.51
gram agarosa ditimbang. Agarosa dilarutkan
dalam 30 mL buffer TBE 0.5x. Agarosa
dipanaskan hingga mendidih. Larutan agarosa
dibiarkan hingga hangat lalu ditambahkan
dengan 2 OL ethidium bromida. Larutan
diaduk kemudian dituang pada cetakan gel.
Gel dibiarkan hingga memadat kemudian sisir
pencetak sumur diangkat. Elektroforesis
dilakukan dengan arus 80 V selama 60 menit.
DNA diamati dengan Geldoc. Konsentrasi
DNA ditentukan dengan membandingkan
tingkat perpendaran DNA dengan marker
DNA ʎ.
%& 0 0 %0 & &+-*1 2 1+0 0
(&2 !""!
Fragmen DNA yang terlihat saat
elektroforesis ditentukan bobot molekulnya
dengan bantuan perangkat lunak Photocap.
Selanjutnya, dilakukan skoring dengan
ketentuan skor 1 untuk pita yang muncul dan
skor 0 untuk pita yang tidak muncul. Hasil
skoring digunakan sebagai input untuk
perangkat lunak NTSYS. Keluaran dari

7

TSYS adalah matriks
perangkat lunak NTSYS
koefisien kemiripan genetik sampel dan pohon
filogenetik.

+ '
Tahap awal analisis
isis molekuler
m
dilakukan
dengan isolasi DNA genom.
gen
DNA genom
yang telah diisolasi akan digunakan sebagai
DNA cetakan untuk PCR((RAPD. Isolasi DNA
tanaman kunyit dann tem
temulawak dilakukan
dengan buffer CTAB
B (
$
.
). Metode yang
ang digunakan
d
mengacu
pada Doyle & Doyle
yle (1990).
(1
Metode ini
merupakan metode isolasi
isola yang memiliki
tahapan yang relatif mudah dan cepat, praktis
dan sampel yang dibutuh
ibutuhkan tidak banyak
(Tibbits
2006).
Beberapa modifikasi
kasi metode
m
isolasi DNA
tanaman kunyit dann tem
temulawak dilakukan
sebelum mengisolasii DNA
DN kedua tanaman
tersebut dengan metode
tode terpilih.
t
Modifikasi
ini dilakukan agar dapat diperoleh kualitas
DNA yang baik dengan
engan kontaminan yang
sedikit. Modifikasi ini didasarkan pada
metode isolasi daun " #
sp. yang telah
dioptimasi untuk dianal
dianalisis lebih lanjut
dengan PCR(RAPD (Pharmawati
(Phar
2009). Hal
ini dilakukan karena belum ada metode isolasi
yang efektif untuk memp
memperoleh DNA dari
kedua tanaman rimpang
ang in
ini. Modifikasi yang
dilakukan meliputii pe
penambahan enzim
Proteinase K dan pemilih
emilihan larutan pencuci
DNA. Penambahan enz
enzim Proteinase K
dilakukan pada tahap awal ekstraksi dan akhir
ekstraksi. Larutan DNA
NA dicuci
di
dengan larutan
pencuci (ammonium asetat 10 mM dan etanol
76%) dan etanol 76%.
Hasil elektroforesis
resis menunjukkan dua
pita yang cukup tebal
ebal dengan modifikasi
metode terbaik, yaitu modifikasi
modi
metode 5 dan
6 (Gambar 4). Modif
odifikasi metode 5
menunjukkan pita yang tebal meskipun
memiliki banyak
. !
yang
terbentuk dapat disebabka
ebabkan oleh kerja dari
RNase yang kurang efisien.
efisien Aktivitas RNase
dipengaruhi oleh keberadaan
keber
kloroform.
Tahap yang penting
ing dalam pemisahan
kloroform dari sampel
pel yang mengandung
DNA adalah saat pemind
pemindahan aliquot dari
debris sel daun. Pengam
ngambilan aliquot pada
lapisan atas yang kurang
kuran hati(hati dapat
mengikutsertakan klorofor
oroform yang berada di
lapisan tengah. Klorofo
loroform yang terambil
bersama aliquot akan
kan menghambat kerja
RNase bahkan menghilang
hilangkan RNAse A.

Gambar

4 Elektroforegr
foregram pita DNA
temulawak C3 (Bogor) dengan
modifikasi metode
meto
2 (lajur 1),
metode 3 (lajur
lajur 22), metode 4 (lajur
3), metode 5 (lajur
(la
4), metode 6
(lajur 5), metode
meto
7 (lajur 6),
metode 8 (lajur 7), dan metode 9
(lajur 8)

Berbeda dengan pita
ita pada
pa lajur 4, pita
yang terbentuk pada lajur 5 (modifikasi 6)
kurang tebal. Meskipunn demikian,
dem
yang
terbentuk pun lebih tipis ddibanding dengan
lajur 4 (modifikasi 5).. Secara
Seca umum, tahapan
yang dilakukan pada modifikasi
mod
5 dan 6
adalah sama. Namun,
n, terdapat
ter
perbedaan
dalam penambahan proteina
oteinase K. Penambahan
proteinase K dilakukan
kan pada
p
bagian awal
isolasi (modifikasi 5) dan akhir (modifikasi
6).
!
terbanyak ditun
ditunjukkan oleh pita
pada lajur 8 (metode 9).
). Terdapat
T
dua pita
pada lajur 8, yakni pita bagian
b
atas (DNA)
dan pita bagian bawah
ah (RNA).
(R
Pita bagian
bawah terlihat dengann sangat
san
jelas karena
tidak ada penambahan RNase
RN
pada metode
9. Pita pada lajur 1 pun memiliki
yang cukup tebal dann terdapat
terd
kontaminan
RNA bagian bawah. Hal
H ini disebabkan
pelet dikoleksi setelah
lah ppencucian dengan
etanol 76%.
Penambahan proteinas
teinase K ternyata
memiliki pengaruh yang cukup besar.
Penambahan proteinase
K
dilakukan
sebelum ekstraksi
denga
dengan
kloroform :
isoamil alkohol (modifikas
difikasi 4 dan 5) dan
setelah penambahan bufer TE (modifikasi 6
dan 7). Modifikasi 4 dan 5 menghasilkan pita
yang lebih tebal dibanding
diban
dengan
modifikasi 6 dan 7. Selain itu, modifikasi 3
dan 8 yang tidak ditambahkan
ditam
dengan
proteinase K menunjukkan
kkan pita yang lebih
tipis d ibanding dengan
an metode
m
yang diberi
perlakuan proteinase K.
ian di atas, metode yang
Berdasarkan uraian
paling efektif untuk isolasi daun temulawak
adalah modifikasi metode
tode 5. DNA yang lebih
banyak dihasilkan dengan
deng
penambahan

8

proteinase K sebelum penambahan kloroform
: isoamil alkohol dan mencuci pelet dengan
etanol 76%. Kontaminasi RNA dapat
dihilangkan dengan penambahan RNase A.
Tahapan isolasi DNA meliputi pelisisan
sel, pemisahan DNA dengan makromolekul
lain dan pemekatan DNA. Pelisisan sel
dilakukan dengan dua cara, yakni pelisisan
secara mekanik dan secara kimia. Lisis sel
secara
mekanik
dilakukan
dengan
penggerusan. Tekstur daun yang licin
umumnya akan menyulitkan penggerusan.
Oleh sebab itu, digunakan nitrogen cair untuk
mempermudah penggerusan daun. Nitrogen
cair memiliki suhu yang sangat rendah.
Dengan kondisi seperti ini, daun yang
ditambahkan nitrogen cair akan menjadi beku.
Selain nitrogen cair, ditambahkan PVP saat
penggerusan. Penambahan PVP bertujuan
mencegah kerusakan DNA akibat oksidasi dan
menarik senyawa fenolik pada daun
(Padmalatha & Prasad 2006). Lisis sel secara
kimia dilakukan dengan menggunakan buffer
ekstraksi yang mengandung CTAB. Buffer
CTAB sangat baik digunakan untuk tanaman
yang memiliki kandungan polisakarida yang
tinggi (Pharmawati 2009). Selain itu, buffer
CTAB dapat mendegradasi senyawa metabolit
sekunder seperti tanin dan senyawa fenolik.
Tiga molekul tersebut merupakan kontaminan
yang dapat mempengaruhi kualitas hasil
isolasi. Kandungan kontaminan yang tinggi
dapat menurunkan kualitas DNA sehingga
timbul
saat elektroforesis. Penambahan
buffer CTAB diikuti dengan penambahan
larutan 2(merkaptoetanol. Larutan ini
berperan dalam penghilangan polifenol
(Padmalatha & Prasad 2006).
Tahap selanjutnya adalah pemisahan DNA
dengan molekul lain, seperti protein, lipid dan
sisa polisakarida. Ekstraksi protein dilakukan
dengan penambahan campuran kloroform :
isoamilkohol (24:1). Setelah penambahan
senyawa tersebut akan terbentuk 3 lapisan.
Lapisan bawah merupakan debris sel, lapisan
tengah berupa gumpalan yang mengandung
protein sedangkan lapisan atas berisi DNA,
RNA dan protein berukuran kecil. Sisa protein
yang terdapat pada lapisan atas didegradasi
dengan proteinase K. Enzim proteinase K
aktif pada suhu 370C dan inaktif pada suhu
650C atau lebih (Tibbits
2006).
Tahap akhir isolasi DNA adalah
pemekatan DNA. Endapan DNA dipekatkan
dengan isopropanol. Semakin lama waktu
inkubasi dengan isopropanol, maka jumlah
DNA yang didapat akan semakin besar. Sisa
larutan dihilangkan dengan pencucian

menggunakan etanol 76%. Kemudian
dilakukan pemisahan DNA dan RNA dengan
penambahan enzim RNAse. Enzim RNAse
berperan dalam mendegradasi RNA (Tibbits
. 2006).
Keberhasilan metode dalam mengisolasi
DNA tanaman kunyit dan temulawak
ditunjukkan dengan munculnya pita DNA saat
elektroforesis. Analisis kualitatif dilakukan
dengan elektroforesis gel agarosa 0.8 % dalam
buffer TBE 0.5x. Hasil analisis kualitatif
tanaman kunyit dan temulawak ditunjukkan
oleh Gambar 5. Terdapat 12 lajur yang terdiri
atas lima tanaman temulawak, DNA marker
dan enam tanaman kunyit. Tanaman yang
diisolasi merupakan tanaman yang unggul
secara metabolik, yakni memiliki kandungan
kurkumin atau dan xantorizol yang tinggi
(Rahardjo 2010; Syukur
2006).
Sampel yang digunakan tidak berasal dari
daerah asli tanaman tersebut. Daun yang
diisolasi berasal dari Kebun Percobaan
Pusat Studi Biofarmaka. Menurut Campbell
(2002), DNA genom suatu tanaman
berbeda dengan tanaman lain yang hidup pada
daerah yang berbeda. Hal ini merupakan
bentuk adaptasi dari tanaman terhadap
lingkungan. Susunan genom tersebut akan
diwariskan
kepada
keturunannya
dan
bersifat tetap (Campbell
2002).

1500bp
1000bp
750bp
500bp
250bp

Gambar 5 Elektroforegram
pita
DNA
temulawak
Bogor
(1);
temulawak
Wonogiri
(2);
temulawak Karanganyar (3);
temulawak
Sragen
(4);
temulawak
Sukabumi (5);
marker DNA 1 kb (6); kunyit
Bogor (Turina 1) (7); kunyit
Bogor (Turina 2) (8); kunyit
Wonogiri
(9);
kunyit
Karanganyar
(10);
kunyit
Sukabumi (11); dan kunyit Ngawi
(12) dengan modifikasi metode 5

9

Secara umum, pita yang dihasilkan masih
memiliki
pada bagian bawah. Bentuk
pita DNA yang dihasilkan berupa “
”.
Hal ini menunjukkan adanya kontaminan
polisakarida yang terbawa saat isolasi
(Pharmawati 2009). Namun, pita yang
dihasilkan berjumlah 1 buah. Hal ini
menandakan DNA yang dihasilkan cukup
baik. Ukuran DNA temulawak yang diperoleh
berkisar antara 15333 bp ((
) hingga
15500 bp. Ukuran DNA kunyit yang
dihasilkan berkisar antara 15333 bp hingga
16000 bp. Marker DNA yang digunakan
berasal dari $
!
berukuran 1 kb
dengan 14 fragmen DNA. Fragmen DNA
marker berukuran 10000 bp, 8000 bp, 6000
bp, 5000 bp, 4000 bp, 3500 bp, 3000 bp, 2500
bp, 2000 bp, 1500 bp, 1000 bp, 750 bp, 500
bp dan 250 bp.
(% * 2 -%0
+ '
Analisis kuantitatif DNA dilakukan
dengan metode spektrofotometri. Larutan
DNA diukur nilai serapannya pada tiga
panjang gelombang, yakni 230 nm, 260 nm,
dan 280 nm. Penyerapan sinar UV oleh DNA
disebabkan adanya ikatan rangkap pada
basa nitrogen DNA. Panjang gelombang
untuk pengukuran DNA adalah 260 nm.
Panjang gelombang 230 nm digunakan untuk
pengukuran protein,
polisakarida dan
sebagian DNA. Panjang gelombang 280 nm
digunakan untuk pengukuran RNA dan
sebagian DNA (Brescia 2012).
Nilai kemurnian DNA kunyit hasil
isolasi berkisar antara 1.093 hingga 1.417
(Lampiran 3). Rerata nilai kemurnian DNA
kunyit adalah 1.242. Nilai kemurnian DNA
kunyit
tertinggi diperoleh dari tanaman
kunyit asal Sukabumi. Nilai kemurnian
DNA kunyit terendah diperoleh dari tanaman
kunyit asal Bogor, yakni Turina 2.
Konsentrasi DNA kunyit yang diperoleh
berkisar antara 80 ng/μL hingga 1625
ng/μL.
Nilai kemurnian DNA tanaman temulawak
berada pada rentang 1.044 hingga 1.544.
Rerata nilai kemurnian DNA temulawak
adalah 1.326. Nilai kemurnian DNA
temulawak tertinggi diperoleh dari tanaman
temulawak asal Wonogiri. Nilai kemurnian
DNA temulawak terendah diperoleh dari
tanaman temulawak asal Bogor. Konsentrasi
DNA temulawak terkecil diperoleh dari
tanaman kunyit asal Sragen, yaitu 525 ng/μL.
Konsentrasi DNA temulawak terbesar
diperoleh dari tanaman temulawak asal
Wonogiri, yakni 965 ng/μL.

Nilai kemurnian DNA tanaman kunyit dan
temulawak yang telah diisolasi hanya
mencapai 1.544. Nilai kemurnian ini masih
berada di bawah rentang nilai DNA murni,
yakni 1.8 hingga 2.0 (Hoisington
1994).
Hal ini menunjukkan bahwa DNA hasil isolasi
kedua
tanaman
masih
mengandung
kontaminan protein. Kontaminan protein
dapat terbawa saat pengambilan aliquot.
Kemurnian DNA hasil isolasi dari tanaman
kunyit dan temulawak yang tidak begitu tinggi
tidak mempengaruhi analisis molekuler
selanjutnya dengan RAPD. Hal ini disebabkan
RAPD toleran terhadap tingkat kemurnian
DNA (Prana & Hartati 2003). Nilai kemurnian
DNA temulawak lebih tinggi dibanding
dengan DNA kunyit. Hal ini menunjukkan
bahwa kualitas DNA hasil isolasi dipengaruhi
oleh jenis tanaman dan kandungan senyawa
dalam tanaman tersebut. Hal ini berhubungan
dengan komponen dinding sel tiap tanaman
(Pharmawati 2009).
'