The equality pattern The balanced split pattern The unbalanced split pattern Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dan Anak adalah hubungan komunikasi

Komunikasi antar-pribadi mirip dengan komunikasi dua arah atau ke semua arah. Jika dalam pengertian komunikasi dua arah atau komunikasi ke semua arah perhatian lebih ditekankan pada arah komunikasi maka dalam komunikasi antar-pribadi lebih memperhatikan pribadi-pribadi yang berkomunikasi. Masing- masing pihak menyadari dirinya sebagai pribadi yang dapat menerima dan juga dapat menyampaikan pesan sehingga terjadi suatu dialog antar pribadi. DeVito 1997 menjabarkan empat pola komunikasi umum untuk menggambarkan hubungan interpersonal dalam keluarga, yaitu :

1. The equality pattern

Setiap orang berbagi secara sama dalam komunikasi transaksional sehingga peran yang dimainkan oleh setiap orang adalah sama. Masing- masing pihak terbuka pada ide, opini dan kepercayaan dari pihak lain berdasarkan pada self disclosure penyingkapan diri yang seimbang. Pola ini lebih banyak terdapat dalam teori dari pada prakteknya tetapi sangat bagus untuk menguji komunikasi dalam hubungan primer.

2. The balanced split pattern

Kesetaraan hubungan dipertahankan tetapi setiap orang mempunyai otoritas melebihi wilayah yang berbeda. Setiap orang dilihat sebagai ahli dalam bidang-bidang yang berbeda. Dalam keluarga tradisional, seorang ayah dianggap mempunyai keahlian di bidang bisnis dan politik sedangkan ibu mempunyai keahlian dalam perawatan anak dan memasak.

3. The unbalanced split pattern

Salah satu pihak mempunyai keahlian lebih banyak sehingga mendominasi pihak yang lain. Kadang-kadang pihak dominan ini lebih pintar atau lebih berpengetahuan tetapi dalam beberapa kasus pihak ini mungkin secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih tinggi. Pihak yang dominan ini mengontrol pihak lain, menuntut orang lain melakukan apa yang diinginkannya dan jarang menanyakan pendapat pihak lain. Sebaliknya pihak yang dikontrol akan bertanya dan mencari pendapat dari orang lain yang dianggap mempunyai leadership dalam pembuatan keputusan.

4. The monopoly pattern

Seseorang dilihat sebagai pihak yang otoriter. Orang ini memberikan banyak ceramah dari pada berkomunikasi. Jarang sekali orang ini meminta pertimbangan dari pihak lain karena dia akan menetapkan keputusan akhir. Dia akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh. Pihak yang dikontrol akan meminta ijin dari pihak lain untuk memberikan pendapat dan membuat keputusan. Pola komunikasi ini terjadi dalam hubungan anak dengan orangtua yang sangat berkuasa atau otoriter. Keempat pola komunikasi yang ditawarkan DeVito tersebut tak jauh beda dengan yang dinyatakan Sudjana. The equality pattern identik dengan komunikasi transaksi. The balanced split pattern dan the unbalanced split pattern bisa disejajarkan dengan komunikasi interaksi dengan pola kontrol yang berbeda yaitu complementary. The monopoly pattern menunjukkan komunikasi searah atau linier. Komunikasi Linier Model komunikasi linier dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver. Berdasarkan paradigma lama, komunikasi bersifat satu arah atau linier dengan tekanan pada sumber sebagai pelaku dominan yang mempengaruhi khalayak dengan persuasi Mulyana, 2001. Salah satu ciri komunikasi linier adalah adanya penyandian yang dilakukan pengirim pesan dan interpretasi oleh penerima serta antisipasi kemungkinan adanya gangguan dalam proses komunikasi yang berlangsung. Konsep ini memaknai komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu. Terjadi transfer informasi yaitu pemahaman sempurna tentang apa yang dikatakan oleh partisipan lain. Model komunikasi Shannon dan Weaver ditunjukkan pada Gambar 2. Information Source Transmiter Message Destination Signal Received Message Sign Signal Message Noise Source Gambar 2 Model Komunikasi Shannon dan Weaver Pemancar transmitter mengubah pesan menjadi suatu sinyal yang sesuai dengan saluran yang digunakan. Saluran channel adalah medium yang mengirimkan sinyal tanda dari transmitter ke penerima receiver. Dalam percakapan, sumber informasi ini adalah otak, transmitter – nya adalah mekanisme suara yang menghasilkan sinyal kata-kata terucapkan, yang ditransmisikan lewat udara sebagai saluran. Penerima receiver, yakni mekanisme pendengaran, melakukan operasi yang sebaliknya yang dilakukan transmitter dengan merekonstruksi pesan dari sinyal. Sasaran destination adalah otak orang yang menjadi tujuan pesan itu Severin dan Tankard dalam Mulyana, 2002 Barlund dalam Fisher 1986 melukiskan bentuk komunikasi satu arah sebagai situasi di mana para penerima diharapkan me ndengarkan dan tak menyahut. Komunikasi merupakan transfer informasi yang berarti pemahaman sempurna tentang apa yang dikatakan oleh partisipan lain. Kebersamaan adalah usaha untuk meminimalkan distorsi dan kehilangan informasi. Kritik terhadap model komunikasi linier ini dikemukakan oleh Kincaid 1979 dalam Andulhak dan Anwas 2004 yang menyebut ada tujuh bias yang mungkin terjadi, yaitu: 1 komunikasi linier cenderung bercirikan satu arah secara vertikal, 2 cenderung sangat tergantung pada sumber pesan, 3 fokus obyek komunikasi cenderung sederhana, 4 fokus hanya pada kemasan pesan dan kurang mempedulikan waktu yang tepat, 5 terbatas pada fungsi persuasi, belum menyentuh pada terjalinnya saling pengertian dan konsensus, 6 cenderung terkonsentrasi pada efek psikologis individu, dan 7 cenderung mekanistis. Komunikasi linier sering digunakan oleh orang tua, guru dan pemimpin yang otoriter. Menurut Lewin, Muller dan Baldwin dalam Ahmadi 1999 anak dari orang tua otoriter menunjukkan ciri-ciri pasif sikap menunggu, takut, cemas, mudah putus asa, kurang inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu dan daya tahan berkurang. Dengan kata lain anak yang tidak mandiri adalah produk dari orang tua otoriter. Komunikasi Interaksi Komunikasi yang bercirikan hubungan relasional dan interaktif berasal dari model cybernetics oleh Norbert Wiener yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Wilbur Schramm. Salah satu ciri komunikasi relasional adalah pentingnya peranan pengalaman experience dan faktor hubungan relationship antara pengirim dan penerima dalam proses komunikasi. Bidang pengalaman akan menentukan apakah pesan yang dikirim akan diterima oleh si penerima sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Schramm meyakini bila ada perbedaan yang jauh dalam bidang pengalaman, akan mempengaruhi derajat penerimaan pesan yang dikirimkan. Hal lain yang dikemukakan Schramm adalah pentingnya umpan balik sehingga derajat relationship sebagai ciri komunikasi ini akan tampak Andulhak dan Anwas, 2004. Field of experience Field of experience Source Encoder Decoder Destination Gambar 3 Model Kedua Schramm Model kedua Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kesamaan dalam bidang pengalaman sumber dan sasaranlah yang sebenarnya dikomunikasikan, signal karena bagian sinyal itulah yang dianut sama oleh sumber dan sasaran Mulyana, 2002. Sumber dapat menyandi dan sasaran dapat menyandi balik pesan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya masing- masing. Bila kedua lingkaran memiliki wilayah bersama yang besar, maka komunikasi mudah dilakukan. Semakin besar wilayah tersebut, semakin miriplah bidang pengalaman field of experience yang dimiliki kedua pihak yang berkomunikoderasi. Bila kedua lingkaran itu tidak bertemu – artinya bila tidak ada pengalaman bersama – maka komunikasi tidak berlangsung. Bila wilayah yang berimpit itu kecil – artinya bila pengalaman sumber dan pengalaman sasaran sangat jauh berbeda – maka sangat sulit untuk menyampaikan makna dari seseorang kepada orang lainnya Mulyana, 2002. Message Encoder Decoder interpreter interpreter Decoder Encoder Message Gambar 4 Model Ketiga Schramm Model ketiga Schramm menganggap komunikasi sebagai interaksi dengan kedua pihak yang menyandi, menafsirkan, menyandi-balik, mentransmisikan, dan menerima sinyal. Kita melihat umpan balik dan lingkaran yang berkelanjutan untuk berbagi informasi Severin dan Tankard dalam Mulyana, 2002. Menurut Schramm dalam Mulyana 2002 komunikasi senantiasa membutuhkan setidaknya tiga unsur utama : sumber source, pesan message dan sasaran destination. Cangara 2004 menyatakan bahwa dalam model komunikasi interaksi, komunikator memberi respon timbal balik kepada komunikator lainnya. Proses komunikasi melingkar dengan adanya mekanisme umpan balik yang saling mempengaruhi antara sumber dan penerima. Dalam interaksi, individu selalu melihat dirinya melalui persepsi orang lain. Pengertian bersama dicapai melalui toleransi. Konsep diri tumbuh berdasarkan pandangan orang lain. Model komunikasi interaksi Schramm dalam Mulyana 2002 menyatakan bahwa terjadi interaksi sosial guna mengembangkan potensi diri dan kesamaan makna dicapai melalui pengambilan peran role taking. Diri berkembang melalui interaksi dengan orang lain dimulai dengan lingkungan terdekat seperti keluarga dan terus berlanjut ke lingkungan luas. Interaksi adalah variabel penting yang menentukan perilaku manusia. Stewart dalam Fisher 1986 memakai istilah interaksi untuk menyatakan komunikasi dua arah. Interaksi menonjolkan keagungan dan nilai individu. Perspektif interaksional tentang komunikasi manusia sering dinyatakan sebagai komunikasi dialogis. Proses fundamental dalam dialog adalah konsep role taking yang dalam istilah lain diartikan juga sebagai empati. Pengertian bersama diperoleh dengan proses empati melalui pengambilan peran yang aktif, mencari makna menurut pandangan orang lain dan berbagi makna dengan orang lain. Sumber makna kebersamaan adalah saling pengertian dan empati timbal balik. Kebersamaan tidak harus diartikan bahwa peran atau status para komunikator itu setara. Kedua komunikator dapat secara bersama memiliki definisi yang sama tentang situasi mereka sebagai suatu hubungan peranan yang sangat komplementer di mana orang yang berada dalam peranan yang lebih rendah menerima definisi itu dan berbagi dengan orang lain yang lebih dominan Fisher, 1986. Bila komunikasi mempunyai pengaruh timbal balik maka akan menghasilkan suatu interaksi. Hubungan orang tua dan anak saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak lepas dari adanya interaksi. Hubungan kedua belah pihak dilandasi oleh nilai- nilai yang dimiliki oleh masing- masing individu. Komunikasi Transaksi Model komunikasi transaksi memberi tekanan pada proses dan fungsi untuk berbagi dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Komunikasi sebagai proses di mana semua peserta ikut aktif secara dinamis dalam memenuhi fungsi sosial sebagai anggota masyarakat Cangara, 2004. Sedangkan Sereno dan Bodaken 1975 melihat komunikasi sebagai kesatuan yang terdiri dari sistem internal dan eksternal. Sistem internal adalah seluruh elemen atau stimuli yang ada di dalam diri individu yang dibawa dalam situasi komunikasi, misalnya : memori, harapan, sikap, ketakutan, nilai- nilai, kebencian dan pengalaman. Sistem internal dibedakan menjadi dua hal, yaitu : sikap dan kepribadian. Sistem eksternal berupa petunjuk verbal dan non verbal. Komponen komunikasi transaksi adalah persepsi, sistem, arti dan proses. Persepsi merupakan pemrosesan terhadap stimuli internal dan eksternal. Sistem melihat komunikasi sebagai keseluruhan yang terdiri dari sistem internal dan eksternal. Arti diciptakan berdasarkan persepsi. Arti yang dimiliki komunikator adalah hasil dari campuran stimuli internal dan eksternal. Komunikasi sebagai proses dinamis yang menimbulkan perubahan pada pada para peserta komunikasi. Seluruh komponen tersebut saling berhubungan dan dijalankan bersama dalam setiap situasi komunikasi Sereno dan Bodaken, 1975. Model konvergensi dari Rogers dan Kincaid 1981 memandang komunikasi sebagai proses transaksi di antara partisipan. Setiap partisipan memberikan kontribusi pada transaksi tersebut yang artinya ada proses dialogis yang terjadi sehingga menghasilkan mutual understanding pengertian bersama. Makna konvergen adalah the tendency for two or more individuals to move toward one point, or for one individual to move toward another, and to unite in a common interest or focus. Dengan demikian salah satu ciri model komunikasi konvergen adalah komunikasi yang berlangsung secara multi arah di antara penerima menuju ke suatu fokus atau minat yang dipahami bersama. Dalam pandangan ini komunikasi berlangsung secara dinamis dan berkembang ke arah pemahama n kolektif dan berkesinambungan Andulhak dan Anwas, 2004. Peirce dalam Andulhak dan Anwas 2004 menyatakan ada dua prinsip dasar dalam pengembangan komunikasi konvergen. Pertama, informasi dalam kadar tertentu bisa tidak tepat imprecise dan bercirikan ketidaktentuan uncertain. Kedua, komunikasi merupakan proses yang dinamis dan berlaku sepanjang waktu. Komunikasi konvergen dilakukan secara berkesinambungan melalui suatu jejaring network dan didasarkan pada kaidah kolektivitas untuk memperoleh kesamaan pengertian dalam realitas sosial. Model komunikasi konvergen menyangkut tiga hal pokok, yaitu: 1 realitas psikologis, 2 realitas fisik, dan 3 realitas sosial. Rogers dalam Andulhak dan Anwas, 2004 Realitas Realitas Realitas Psikologis A Fisik Psikologis B Interpretasi __ Pemahaman __ Informasi ___ Pemahaman ___ Interpretasi Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kolektif Pengertian _ Keyakinan Keyakinan__ Pengertian Saling Kesepakatan Saling Pengertian Realitas Sosial A B Gambar 5 Model Komunikasi Konvergen Ciri informasi dan saling pengertian merupakan komponen yang sangat dominan dalam komunikasi konvergen. Pemrosesan informasi dilakukan melalui tahapan pemahaman, interpretasi, pengertian dan kegiatan di antara peserta untuk kemudian dicapai saling kesepahaman. Model ini merupakan suatu proses yang dinamis ketika mempertimbangkan dua hal. Pertama, pentingnya proses informasi. Kedua, perlunya saling pengertian di antara pihak yang melakukan komunikasi. Komunikasi dipandang sebagai suatu proses yang melibatkan partisipan untuk berbagi informasi agar diperoleh saling pengertian mutual understanding. Bila dua pihak telah melakukan suatu interaksi komunikasi dengan berbagi informasi yang diperlukan, kemudian terjadi saling pengertian maka derajat saling pengertian di antara keduanya digambarkan oleh irisan di antara dua kelompok lingkaran. Semakin besar daerah irisan, semakin besar lingkup saling pengertian telah dicapai. Sebaliknya, semakin kecil daerah irisan, semakin sedikit lingkup saling pengertian telah dicapai Andulhak dan Anwas, 2004. Komunikasi keluarga yang memanfaatkan model konvergen ini memecahkan permasalahan secara bersama-sama di antara orang tua dan anak sehingga melahirkan mutual understanding di antara orang tua dan anak, dan permasalahan diharapkan dapat terpecahkan. Komunikasi orang tua dan anak penting tidak hanya dari segi isi tapi juga metode. Apa yang diketahui orang tua mungkin kurang penting dibandingkan bagaimana mereka menyampaikannya. Chafee et al. dalam Sheinkopf, 1973. Setiap keluarga mengembangkan pola komunikasi orang tua dan anak secara konsisten. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Komunikasi Seorang komunikator dalam berkomunikasi membawa pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai dan sikap tertentu yang diperoleh dan dipelajari dari interaksinya dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Pengalaman, kepercayaan, nilai- nilai dan sikap yang dimiliki seseorang menentukan bagaimana cara seseorang berkomunikasi. Perspektif perbedaan individu memandang bahwa sikap dan organisasi personal psikologis dalam arti faktor- faktor yang ada dalam diri individu akan menentukan bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut Effendy,1996. Perspektif ini bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana faktor individu karakteristik orang tua menentukan pola komunikasi yang digunakannya. Di samping faktor individu, faktor lingkungan juga tidak bisa diabaikan. Karena anak berinteraksi dengan lingkungan sosial, yaitu sekolah, teman sebaya dan media massa maka dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua dipengaruhi pula oleh lingkungan sosial tersebut. Hal ini diperkuat oleh pendapat Festinger 1957 dalam Ramdhani 2006 bahwa perilaku manusia tergantung dari pengetahuan, opini, apa yang dipercaya orang mengenai lingkungan dan mengenai diri sendiri. Jadi perilaku orang tua tunggal dalam menggunakan suatu jenis pola komunikasi ditentukan baik oleh faktor individu maupun faktor lingkungan. Faktor Individu Kelas sosial ekonomi ternyata mempengaruhi pola komunikasi antara orang tua dengan anak. Temuan ini berasal dari penelitian sosiologis tentang struktur keluarga dan pola sosialisasi di Taiwan. Kelas pekerja rendah menuntut kepatuhan anak dengan cara otoriter. Sedangkan, kelas pekerja menengah lebih menghargai kebebasan anak, bersedia memahami anak dan berpendapat bahwa anak seharusnya belajar mengendalikan perilakunya Olsen, 1974. Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa pola sosialisasi yang terjadi di dalam keluarga Taiwan dipengaruhi oleh kelas sosial ekonomi. Berdasarkan asumsi bahwa komunikasi merupakan metode yang digunakan dalam proses sosialisasi maka dari penelitian tersebut terlihat adanya praktik penggunaan pola komunikasi tertentu, yaitu pola komunikasi linier digunakan oleh kelas sosial ekonomi bawah sementara kelas ekonomi menengah menerapkan pola komunikasi dua arah atau dialogis, baik interaksi maupun transaksi. Suleeman dalam Ihromi 1990 menegaskan pula bahwa tingkat komunikasi orang tua dan anak lebih rendah pada golongan bawah dari pada golongan menengah. Miller dalam Gunarsa 1990 menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah mempunyai nilai dan norma khusus yang berbeda dengan nilai dan norma pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah dan atas, misalnya keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah umumnya kurang memberi perhatian terhadap perilaku anak. Tidak ada penghargaan dan pujian- pujian untuk perbuatan baik serta kurangnya latihan dan penanaman nilai moral. Menurut Widjaja 1989 dalam Rahmah 2004 pendidikan ibu berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku dalam menghadapi anak-anaknya. Ibu yang berpendidikan tinggi akan bersikap lebih baik. Dengan demikian, ibu yang berpendidikan tinggi tidak menerapkan hukuman fisik kepada anak-anaknya yang merupakan kecenderungan dari orang tua otoriter. Ini berarti ibu berpendidikan tinggi tidak menggunakan pola komunikasi linier tetapi lebih cenderung pada penggunaan pola komunikasi dua arah. Kepadatan dalam keluarga berpengaruh besar terhadap hubungan antar pribadi dan keluarga. Adanya perbedaan secara perorangan baik mengenai umur, pendidikan, tugas, kegiatan dan tanggung jawab akan mempersulit proses penyesuaian. Interaksi yang semakin majemuk akan menimbulkan kesulitan untuk membina komunikasi yang baik dan akan mudah terbentuk salah komunikasi atau miscommunication, karena itu kepadatan mengganggu pola dan corak hubungan dalam keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap bersaing dan tersisih yang pada dasarnya bisa menjadi sumber pencetus ke arah munculnya kondisi tegang yang bisa berakibat lebih buruk lagi pada perilakunya. Gunarsa, 1990 Hasil penelitian Kohn 1963 dalam Chilman 1988 menunjukkan bahwa seseorang yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja secara rutin, berulang dan diawasi secara ketat cenderung menilai konformitas sebagai hasil dari otoritas eksternal. Orientasi nilai tersebut berpengaruh pada pola pengasuhan anak. Mereka beranggapan bahwa anak-anak seharusnya patuh pada orang tua dan orang tua memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada anak. Sedangkan pada kelompok orang yang bekerja rata-rata delapan jam sehari bersikap lebih terbuka dan lebih menghargai kebebasan anak. Lamanya waktu bekerja menyebabkan sempitnya waktu bersama antara orang tua dan anak sehingga hubungan mereka semakin berjarak dan semu. Hal- hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum seperti berbicara dengan orang-orang lainnya. Setiap anggota keluarga sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing- masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga adalah komunikasi yang bersifat informatif dan superfisial hanya sebatas permukaan. Akibatnya, masing- masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain Mutadin, 2002. Keikutsertaan seseorang dalam kelompok mempengaruhi sikap dan perilakunya. Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok baik yang nyata atau yang dibayangkan Kiesler dan Kie sler dalam Rakhmat, 2001. Konformitas ini secara tidak disadari terjadi pada kalangan orang tua yang terlibat dengan berbagai kegiatan sosial. Meskipun demikian, konformitas merupakan hasil interaksi antara faktor- faktor situasional dan faktor- faktor personal. Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas antara lain adalah konteks situasi, karakteristik sumber pengaruh dan ukuran kelompok. Dengan demikian, pengaruh kelompok pada perilaku komunikasi orang tua berbeda-beda bergantung pada kedua faktor tersebut. Faktor Lingkungan Penelitian yang dilakukan Olsen 1974 di Taiwan menunjukkan bagaimana pengaruh keluarga luas terhadap sikap dan perilaku ibu yang berhubungan dengan proses sosialisasi di dalam keluarga. Dari penelitian ini terlihat kecenderungan pola komunikasi yang digunakan oleh ibu dalam nuclear family keluarga inti dan extended family. Ibu dalam keluarga inti lebih menekankan pada autonomy dan self reliance, lebih sering menggunakan metode disiplin dengan pendekatan agar anak merasa bersalah atau malu. Sementara itu, ibu yang tinggal dengan tiga generasi menggunakan lebih banyak hukuman, terutama hukuman fisik serta menekankan ketaatan anak pada orang tua. Demikian juga yang terjadi pada ibu yang diawasi secara ketat oleh ibu mertuanya. Dari sini terlihat bahwa kehadiran atau keterlibatan keluarga luas dalam pengasuhan anak mempengaruhi pola komunikasi ibu menjadi cenderung linier, yaitu menekankan hubungan orang tua dan anak berpola dominan-submisif. Teman sebaya memainkan peranan penting dalam perkembangan psikologis dan sosial anak. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama di mana anak belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Kelompok teman sebaya ini berperan juga dalam pembentukan perilaku anak. Interaksi dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk belajar mengendalikan perilaku sosial, mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usia. Tarmudji 2002 melihat bahwa peer group kelompok teman sebaya berasal dari berbagai lingkungan keluarga sehingga berbeda dalam karakteristik psikologis maupun sosial. Salah satu pengaruh yang mungkin dapat muncul dari interaksi anak dengan teman sebaya adalah terjadinya perilaku agresif. Hal ini terjadi apabila anak tidak terpenuhi kebutuhannya akan rasa aman, rasa sayang dan harga diri. Oleh karena itu, ibu harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut agar tidak terjadi penyimpangan perilaku pada anak. Mulyana 1999 menyatakan bahwa anak-anak mempunyai dorongan kuat untuk berkomunikasi dan secara naluriah mampu memahami interaksi antar pribadi karena menyadari bahwa komunikasi adalah sarana untuk membangun hubungan. Oleh karena itu, ibu bisa mengajari anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya termasuk juga dengan teman sebaya melalui komunikasi yang tepat. Bentuk komunikasi yang bisa mencapai tingkat empati optimal perlu dikembangkan sehingga tidak ada kesulitan bagi kedua pihak untuk mengkomunikasikan topik apapun Rakhmat 2001 menyebutkan dua pengaruh media massa yaitu efek prososial behavioral dan perilaku agresif. Salah satu perilaku prososial ialah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Buku, majalah dan surat kabar mengajarkan kepada pembacanya berbagai keterampilan. Keterampilan berkomunikasi bukan bawaan dari lahir melainkan dipelajari. Agar terampil berkomunikasi dengan anak-anak, ibu harus meningkatkan pengetahuan mereka dengan lebih banyak mengakses media massa Mulyana, 1999. Dengan demikian ibu memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga terjalin hubungan yang hangat dan menyenangkan dengan anak. Kemandirian Anak Kartini dan Dali 1997 dalam Mutadin 2002 mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri. Secara singkat kemandirian mengandung pengertian suatu keadaan di mana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya, dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Berdasarkan pendapat beberapa ahli menurut Masrun et al. dalam Rahmah 2004 kemandirian mencakup pengertian dari berbagai istilah seperti autonomy, independency dan self reliance. Autonomy adalah tendensi untuk mencapai sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap lingkungan dan merencanakan serta mewujudkan harapan- harapannya. Independency merupakan perilaku yang aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain dalam menyelesaikan masalahnya. Self reliance mempunyai ciri-ciri adanya kebutuhan yang menonjol untuk me mperoleh pengakuan orang lain, merasa mampu mengontrol tindakannya sendiri dan penuh inisiatif. Menurut Witkin dalam Anastasia 1986 orang yang mandiri memiliki field dependency rendah tidak tergantung yaitu individu yang mampu secara mandiri membentuk tanggapan-tanggapan, mengorganisir pengalamannya berdasarkan hasil pemikiran yang analitis sehingga dalam kehidupan masyarakat tidak mudah terpengaruh. Hetherington dalam Spencer dan Kass 1976 dalam Rahmah 2004 menyatakan bahwa kemandirian ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kemampuan untuk mengatasi masalah, penuh ketekunan, memperoleh kepuasan dari usahanya serta berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Ciri-ciri sikap mandiri menurut beberapa ahli dalam Djunanah 1999 yaitu: 1 memenuhi diri atau identitas diri, 2 memiliki kemampuan inisiatif, 3 membuat pertimbangan sendiri dalam bertindak, 4 mencukupi kebutuhan sendiri, 5 bertanggungjawab atas tindakannya, 6 mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu, 7 dapat mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih. Sementara itu, Komar 1998 menyimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan seseorang untuk berada dalam suatu situasi yang memiliki ciri-ciri percaya diri, mampu menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain, mampu berpendapat sendiri, mempunyai tujuan hidup yang jelas dan tidak terpengaruh oleh pendapat orang lain. Robert Havighurst 1972 dalam Mutadin 2002 menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu : Emosi , aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua. Ekonomi , aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua. Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Sosial , aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap responden bersuku Jawa, Batak dan Bugis, Masrun 1989 dalam Rahmah, 2004 menyimpulkan bahwa aspek-aspek kemandirian dalam konteks Indonesia adalah: 1 bebas, tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri bukan karena orang lain dan tidak tergantung pada orang lain, 2 progresif dan ulet, adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh ketekunan, merencanakan serta mewujudkan harapan- harapannya, 3 inisiatif, kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara rasional dan kreatif, 4 pengendalian diri, mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan mampu mengendalikan tindakannya, dan 5 kemampuan diri self esteem, self confidence. Kemandirian, seperti halnya kondisi psikolo gis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentu saja tugas- tugas tersebut disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Dengan latihan terus menerus akan tumbuh sikap mandiri dalam diri anak yang pada gilirannya dengan sikap mandiri tersebut seorang anak akan mampu menghadapi permasalahan Mutadin, 2002. Menurut Erikson dalam Lie dan Prasasti 2004, pada usia 6-12 tahun, anak belajar menjalankan kehidupan sehari- hari secara mandiri dan bertanggungjawab. Jika orangtua bisa membimbing dengan baik, anak menjadi rajin dan bersemangat untuk melakukan kegiatan yang produktif bagi kemajuannya sendiri. Kemandirian anak dilihat dari aspek inisiatif ditunjukkan dengan adanya kemampuan anak dalam mengatasi masalah yang dihadapi berkaitan dengan tugas-tugas atau PR Pekerjaan Rumah dari sekolah dan hubungan dengan teman. Selain itu, kemandirian anak dapat dilihat dari kemampuannya mengerjakan sendiri beberapa hal seperti merawat tubuh mandi, menggosok gigi, merapikan dan membersihkan kamar, merapikan dan melipat pakaian, menata buku dan perlengkapan sekolah, menyiapkan sarapannya sendiri, merapikan mainan sesudah bermain, dan melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga yang ringan seperti mencuci piring dan gelasnya sendiri sesudah makan. Kemampuan memutuskan dan memilih ditunjukkan oleh kemampuan anak memilih pakaian yang sesuai untuknya, mengelola uang saku dan merawat binatang peliharaan sebagai ungkapan perasaan kasih sayang, perhatian dan kepedulian Lie dan Prasasti, 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak Perkembangan kemandirian dapat bersumber dari dalam diri anak maupun dari luar. Perkembangan kemandirian yang bersumber dari dalam diri anak meliputi jenis kelamin, usia dan hereditas, sedangkan yang bersumber dari luar adalah pembentukan oleh lingkungan, termasuk pola asuh orang tua dan proses belajar mengajar di sekolah Suyoto, 1982. Menurut beberapa ahli dalam Rahmah 2004, faktor- faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah: intelegensia, pola asuh orang tua, jenis kelamin, usia, status pekerjaan ibu, latar belakang budaya dan daerah asal, urutan kelahiran, dan tingkat pendidikan ibu. Makin tinggi intelegensia seseorang makin tinggi juga kemandiriannya. Pola asuh demokratis paling mungkin menghasilkan anak yang mandiri. Perbedaan perlakuan pada anak laki- laki dan anak perempuan juga mempengaruhi kemandiriannya. Anak laki- laki dituntut oleh lingkungan sosial untuk lebih mandiri. Perilaku ma ndiri juga meningkat sesuai dengan usia, semakin bertambah usia seseorang maka perilaku mandirinya akan makin berkembang dan perilaku tergantung akan berkurang. Anak yang ibunya bekerja mencari nafkah ternyata lebih mandiri dibandingkan anak-anak yang mempunyai ibu yang tidak bekerja Rahmah, 2004. Perkembangan kemandirian juga dipengaruhi latar belakang budaya dan daerah asal. Tingkat kemandirian pada suatu kebudayaan berbeda dengan kebudayaan yang lain. Perbedaan adat istiadat yang dianut oleh masing- masing suku bisa menyebabkan perbedaan perkembangan kualitas kemandirian. Budaya desa dan kota mempengaruhi perkembangan kepribadian. Anak yang berasal dari desa kurang mandiri karena terikat lingkungan keluarga. Urutan kelahiran dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya sikap dan perilaku anak. Anak sulung dituntut lebih mandiri dibandingkan anak-anak yang lahir kemudian. Pendidikan ibu mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam menghadapi anak- anaknya. Ibu yang berpendidikan bersikap lebih baik. Makin tinggi pendidikan ibu akan mendorong kemandirian anak Rahmah, 2004. Hurlock 1991 menyebutkan lima faktor yang mempengaruhi kemandirian, yaitu: 1 keluarga: misalnya perlakuan ibu terhadap anak, 2 sekolah: perlakuan guru dan teman sebaya, 3 media komunikasi massa: misalnya majalah, koran, televisi dan sebagainya, 4 agama: misalnya sikap terhadap agama yang kuat, 5 pekerjaan atau tugas yang menuntut sikap pribadi tertentu. Selanjutnya Hurlock menyebutkan bahwa melalui teman sebaya, anak belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima dan menolak pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga. Anak mempelajari pola perilaku yang diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan oleh teman sebaya. Penelitian Suyoto 1982 tentang pola asuh anak-anak remaja pada berbagai kelas sosial di Yogyakarta menemukan bahwa kemandirian remaja berkorelasi secara signifikan dengan variabel- variabel pendidikan, usia dan tingkat interaksi orang tua. Penelitian lain yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa ketika single mother tinggal dengan orang dewasa lain, terutama ibunya, keduanya bisa menyediakan pengasuhan anak seperti pada keluarga dengan dua orang tua Kellam, Ensminger dan Turner dalam Cherlin, 2002. Sementara beberapa penelitian lain menunjukkan jika ada orang dewasa lain, seperti nenek yang ada di rumah, anak nampaknya akan berperilaku lebih baik dan juga lebih baik di sekolah. Hal ini disebabkab karena tugas mengawasi perilaku anak mungkin lebih sulit dilakukan oleh satu orang tua Cherlin, 2002. Berbeda dengan temuan penelitian tersebut, penelitian Dhamayanti 2006 terhadap kemandirian anak usia 2,5 – 4 tahun di Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor banyaknya keluarga tidak memberikan kontribusi terhadap kemandirian anak. Tipe keluarga yaitu nuclear family dan extended family tidak banyak berperan dalam perkembangan kemandirian anak. Sementara itu, Olsen 1974 berpendapat bahwa figur otoritas dari extended family yang berperan dalam membentuk kemandirian anak dengan cara mempengaruhi pola pengasuhan yang dilakukan oleh ibu. Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak Dalam menanamkan kemandirian kepada anak, Mutadin 2002 menyaran- kan orang tua untuk mempertimbangkan: 1 komunikasi: berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi di sini harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus ma u saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. 2 kesempatan : orangtua sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan sendiri apa yang bisa dilakukannya. 3 tanggungjawab: bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci untuk menuju kemandirian. 4 konsistensi: konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai- nilai sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan bagi anak untuk dapat mengembangkan kemandirian. Kemandian merupakan suatu sikap indivBBB Menurut Kelman dalam Brigham 1991, pengaruh komunikasi kita pada orang lain berupa tiga hal, yaitu internalisasi, identifikasi dan ketundukan. Internalisasi terjadi bila individu menerima pengaruh dan bersedia memenuhi permintaan karena hal tersebut sesuai dengan apa yang dipercayainya dan sistem nilai yang dianutnya. Identifikasi terjadi bila individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau kelompok karena sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bentuk hubungan yang diinginkannya. Ketundukan terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang lain atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Baumrind dan Bach dalam Wijaya 1986 ditemukan bahwa orang tua yang demokratis akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri pada anak, seperti membuat keputusan sendiri yang akan berakibat pada munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggungjawab bagi anak-anak mereka. Orang tua demokratis menunjukkan penggunaan pola komunikasi dialogis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Stewart dan Koch 1983 yang menjelaskan bahwa orang tua demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Mereka selalu mendengarkan keluhan dan pendapat anak-anak, memberikan alasan tindakannya kepada anak, mendorong anak bertindak secara obyektif. Mereka tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. Anak diakui keberadaannya oleh orang tua serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan. KERANGKA PEMIKIRAN Kemandirian menentukan keberhasilan dalam kehidupan seseorang. Kemandirian meliputi aspek emosi, ekonomi, intelektual dan sosial. Kemandirian anak ditandai dengan kemampuan berinisiatif dan dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengatasi masalah yang dihadapi serta berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Kemandirian tidak terbentuk begitu saja tetapi melalui proses yang panjang. Secara umum, proses pembentukan dan pengembangan pribadi mandiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu bersangkutan, yaitu keluarga, sekolah, teman sebaya maupun media massa. Orang tua berperan sangat besar dalam pembentukan kemandirian anak. Pola komunikasi tertentu bisa digunakan oleh orang tua untuk membentuk kemandirian anak. Pola komunikasi orang tua dan anak diartikan sebagai komunikasi antar pribadi antara anak dan orang tua. Komunikasi antar pribadi dinilai cukup efektif untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang karena adanya personal contact dan bersifat dialogis. Faktor individu orang tua dan faktor lingkungan menentukan bagaimana orang tua tunggal memilih suatu jenis pola komunikasi. Pe nelitian ini dimulai dengan melihat karakteristik orang tua tunggal dan faktor lingkungan. Karakteristik orang tua tunggal meliputi usia, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lamanya waktu bekerja, lamanya melakukan kegiatan sosial dan lamanya penggunaan media massa. Faktor lingkungan adalah keluarga luas yaitu paman, bibi, kakek, nenek, dan saudara sepupu; sekolah yang dibedakan menjadi sekolah negeri dan swasta; teman sebaya yang berinteraksi dengan anak baik di sekolah maupun di lingkungan pergaulan yang lain seperti di sekitar rumah dan di tempat anak melakukan kegiatan di luar sekolah; dan media massa yang menjadi tempat anak mendapatkan informasi maupun hiburan. Informasi tentang karakteristik orang tua tunggal berguna untuk melihat latar belakang responden secara demografis dan juga memberikan gambaran tentang aktivitas komunikasi responden yang ditunjukkan dengan partisipasi dalam kegiatan sosial serta terpaan media media exposure. Selanjutnya akan dilihat bagaimana hubungan antara karakteristik orang tua tunggal dan faktor lingkungan dengan pola komunikasi yang digunakan. Untuk mengetahui pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal, maka kategori pola komunikasi dilihat berdasarkan teknik komunikasi, hubungan komunikator dan komunikan, arah komunikasi, pembentukan makna pesan dan faktor pembentuk sikap atau perilaku. Berdasarkan kategori tersebut maka pola komunikasi dapat terjadi linier, interaksi dan transaksi. Kajian selanjutnya adalah mengenai pola komunikasi yang dapat membentuk kemandirian anak. Kemudian akan dilihat hubungan antara karakteristik orang tua tunggal dan faktor lingkungan dengan kemandirian anak. Alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat di bawah ini : Gambar 6. Bagan Alur Kerangka Pemikiran KARAKTERISTIK ORANG TUA TUNGGAL - Usia - Jumlah anak - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan - Lamanya waktu bekerja - Lamanya melakukan kegiatan sosial - Lamanya penggunaan media massa LINGKUNGAN - Keluarga Luas - Sekolah - Teman sebaya - Media massa KEMANDIRIAN - Berinisiatif - Memutuskan sendiri - Mengerjakan sendiri POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TUNGGAL DAN ANAK - Linier - Interaksi - Transaksi METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Yogyakarta pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2006. Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa: 1. Kota Yogyakarta adalah kota pelajar dengan standar kompetensi akademis cukup tinggi bagi siswa sekolah dasar dan menengah sehingga kemandirian anak menjadi syarat penting agar anak berhasil dalam pendidikannya. 2. Angka perceraian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dan tercatat 2313 kasus perceraian pada tahun 2005 Kedaulatan Rakyat, 2006. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah survey dengan pendekatan kualitatif, yaitu survey yang digunakan dalam penelitian deskriptif. Survai bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang orang yang jumlahnya besar dengan cara mewawancarai sejumlah kecil dari populasi Nasution, 2003. Berdasarkan sampel yang didapat diambil beberapa kasus yang ditindaklanjuti dengan wawancara mendalam yang dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan fenomena komunikasi. Peneliti mencoba untuk mencermati secara mendalam fenomena- fenomena komunikasi yang terjadi di dalam keluarga orang tua tunggal dengan memfokuskan pada faktor- faktor yang menyebabkan orang tua tunggal menggunakan sebuah pola komunikasi tertentu untuk membentuk kemandirian anak-anaknya. Di samping itu peneliti juga mencoba mencermati pengaruh lingkungan dan karakteristik individu orang tua tunggal terhadap kemandirian anak. Unit Penelitian Penelitian ini tidak menggambarkan satu unit populasi tetapi membahas unit orang tua tunggal beretnis Jawa yang tinggal di wilayah kota Yogyakarta. Pengambilan sampel dalam penelitian ini lebih difokuskan untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin. Pengambilan sampel berkaitan dengan bagaimana memilih informan yang dapat memberikan informasi yang mantap dan terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada dalam fokus penelitian ini. Cara seperti ini disebut purposive sample, yaitu berdasarkan apa yang diketahui tentang elemen yang ada dalam fokus penelitian. Unit penelitian ini adalah perempuan yang berstatus sebagai orang tua tunggal berdasarkan data perceraian di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta dari tahun 2001 sampai 2005. Untuk penelitian ini, sampel dipilih dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. Perempuan yang berstatus sebagai orang tua tunggal karena alasan perceraian dengan hak asuh anak berusia antara 7 – 12 tahun. b. Perempuan yang berstatus sebagai orang tua tunggal yang bekerja. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara : 1. Studi Dokumen, dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yaitu data-data perceraian selama lima tahun terakhir di Pengadilan Agama Yogyakarta dan data kependudukan dari Biro Pusat Statistik Kota Yogyakarta. 2. Kuesioner, diberikan kepada sampel sebanyak 25 orang tua tunggal dan anak- anaknya berdasarkan data perceraian lima tahun terakhir di Pengadilan Agama Yogyakarta. Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu untuk orang tua dan anak yang dimaksudkan untuk mengetahui pola komunikasi dan kemandirian anak. Kategori pola komunikasi dan kemandirian anak ditentukan dengan skoring jawaban kuesioner. Berdasarkan perbedaan karakteristik orang tua tunggal, pola komunikasi dan kemandirian anak kemudian terpilih 10 orang tua tunggal dan anaknya untuk mewakili kasus penggunaan pola komunikasi dalam membentuk kemandirian anak. Selanjutnya dilakukan observasi dan wawancara mendalam kepada mereka. 3. Observasi, dilakukan dengan cara mengadakan kunjungan ke rumah orang tua tunggal kemudian melakukan percakapan ringan dengan orang tua tunggal dan anak untuk mengetahui bagaimana interaksi dan komunikasi yang terjadi di antara mereka dan keluarga luas. 4. Wawancara mendalam, dilakukan dengan responden orang tua tunggal, anak, dan guru menggunakan tape recorder kemudian dic atat dalam catatan penelitian. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan pola komunikasi, tingkat kemandirian anak serta faktor karakteristik orang tua dan lingkungan yang mempengaruhinya. Instrumentasi Pada metode penelitian atau analisis survey, instrumen penelitian yang digunakan dua jenis, yaitu kuesioner dan wawancara. Untuk pengumpulan data digunakan instrumen utama berupa kuesioner, yaitu daftar pertanyaan yang relevan dengan peubah-peubah dan indikator yang diteliti. Instrumen yang digunakan berupa daftar pertanyaan tertutup dan terbuka, yaitu : 1. Data umum responden yang meliputi: usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, lamanya waktu bekerja. 2. Data perilaku komunikasi yang meliputi: lamanya penggunaan media massa, lamanya melakukan kegiatan sosial. 3. Data pola komunikasi yang meliputi : linier, interaksi, transaksi. 4. Data kemandirian anak yang meliputi: inisiatif, kemampuan memutuskan, kesediaan mengerjakan sendiri. Analisis Data Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yang dimaksudkan untuk menjabarkan beberapa hasil penelitian dari wawancara yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif disebut juga analisis non statistik yang dilakukan dengan cara membaca tabel, grafik atau angka-angka yang tersedia kemudian melakukan uraian dan penafsiran Marsuki, 1983. Menurut Moleong 2004 proses analisis data terdiri atas tiga tahap, yaitu diawali dengan reduksi data, kemudian penyajian data dan terakhir penarikan kesimpulan. Semua langkah tersebut dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Reduksi data, dilakukan dengan proses pemilihan data, penyederhanaan data, pengabstrakan, dan pemindahan data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data ini berlangsung terus menerus selama penelitian sampai laporan akhir lengkap tersusun. 2. Penyajian data, dilakukan dengan menginterpretasikan secara deskriptif kutipan-kutipan hasil wawancara dengan orang tua tunggal, anak dan guru untuk memudahkan melihat pola komunikasi dan faktor individu serta lingkungan yang terkait dengan proses pembentukan kemandirian anak. Data yang diperoleh dari kuesioner disajikan dalam bentuk tabel distribusi, kecenderungan pola komunikasi, kecenderungan kemandirian anak, hubungan karakteristik orang tua tunggal dan pola komunikasi, hubungan faktor lingkungan dan pola komunikasi, hubungan karakteristik orang tua tunggal dan kemandirian anak, hubungan faktor lingkungan dan kemandirian anak. 3. Penarikan kesimpulan dengan cara melakukan verifikasi terhadap penyajian data penelitian guna memperoleh kebenaran data atau informasi yang valid kemudian diinterpretasikan secara deskriptif dan ditarik suatu kesimpulan. Validitas dan Reliabilitas Kesahihan validitas dan keandalan reliabilitas dalam penelitian kualitatif memiliki dasar kepercayaan yang berbeda. Menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong 2004, ada empat keabsahan data yang diperlukan untuk teknik pemeriksaan dalam menjamin keabsahan data hasil penelitian kualitatif, yaitu derajat kepercayaan credibility, keteralihan transferability, kebergantungan dependability, dan kepastian confirmability. Keabsahan data dalam penelitian ini dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Kredibilitas Kredibilitas ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari hasil penelitian, yang dilakukan pada: a. Ketekunan pengamatan, hal ini dilakukan peneliti dengan observasi terhadap interaksi antara orang tua tunggal dan anak dan yang diikuti dengan wawancara mendalam untuk mendapatkan kejelasan informasi tentang pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal, tingkat kemandirian anak, peran sekolah, teman sebaya, keluarga luas dan media massa terhadap pola komunikasi serta kemandirian anak. b.Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi dilakukan dengan cara yaitu triangulasi sumber, metode, dan teori. Patton dalam Moleong 2004 mengartikan triangulasi dengan sumber adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Ada lima teknik yang bisa digunakan yaitu: 1 membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; 2 membandingkan apa ya ng dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; 3 membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; 4 membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain; dan 5 membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Teknik triangulasi yang digunakan di sini adalah membandingkan data yang diperoleh melalui kuesioner dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang tua dengan apa yang dikatakan anak untuk mendapatkan gambaran pola komunikasi dan kemandirian anak. 2. Tranferabilitas Tranferabilitas dalam penelitian ini dengan cara menyajikan hasil penelitian ini secara deskripsi dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai penulisan ilmiah. Dalam penelitian ini tranferabilitas setiap data yang diperoleh langsung ditabulasi dan dianalisis sehingga penulisan penelitian ini rinci dari awal hinga akhir. 3. Dependabilitas Dependabilitas dalam penelitian ini salah satu penilaiannya melakukan pemeriksaan audit dependabilitas itu sendiri. Pengecekan atau penilaian ketepatan peneliti dalam mengkonseptualisasikan apa yang diteliti merupakan cerminan dari kemantapan dan ketepatan menurut standar reliabilitas penelitian. Keseluruhan proses penelitian, baik dalam kegiatan pengumpulan data, interpretasi temuan maupun dalam melaporkan hasil oleh peneliti merupakan konsistensi yang akan semakin memenuhi standar dependabilitas. Dalam penelitian ini pemeriksaan dilakukan oleh auditor independen, yaitu pembimbing penelitian dengan memberikan masukan terhadap seluruh hasil penelitian pada peneliti. 4. Konfirmabilitas Konfirmabilitas pada penelitian ini lebih terfokus pada pemeriksaan kualitas dan kepastian hasil penelitian, apakah benar berasal dari pengumpulan data di lapangan. Pemeriksaan konfirmabilitas ini dilakukan dengan pemeriksaan dependabilitas yang dilakukan peneliti dengan menghubungi informan jika dirasakan ada hal-hal yang kurang lengkap. Definisi Operasional Definisi operasional adalah penjelasan pengertian tentang beberapa peubah yang diukur yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Penelitian ini terdiri dari empat kelompok peubah yang akan diteliti, yaitu: 1 karakteristik orang tua tunggal, 2 lingkungan, 3 pola komunikasi orang tua tunggal dan anak, dan 4 kemandirian anak. 1. Karakteristik Orang Tua Tunggal adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang tua tunggal, meliputi :

a. Usia adalah jumlah tahun hidup orang tua tunggal pada saat dilakukan

wawancara penelitian.

b. Jumlah Anak adalah keseluruhan anak yang menjadi tanggungan orang tua

tunggal. c. Pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi yang pernah diselesaikan oleh orang tua tunggal. d. Pekerjaan adalah bentuk kegiatan utama mencari nafkah yang dilakukan oleh orang tua tunggal sebagai sumber perolehan pendapatan. e. Pendapatan adalah rata-rata perolehan per bulan yang diterima oleh orang tua tunggal, baik berupa gaji atau sumber pendapatan lain di luar gaji.

f. Jumlah Anak adalah keseluruhan anak yang menjadi tanggungan orang tua

tunggal.

g. Lamanya waktu bekerja adalah rata-rata jumlah jam orang tua tunggal

bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga dan bekerja mencari nafkah .

h. Lamanya melakukan kegiatan sosial adalah jumlah jam orang tua tunggal

mengikuti kegiatan kemasyarakatan di luar pekerjaan pokoknya. i. Lamanya penggunaan media massa adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan orang tua tunggal dalam mencari dan menerima informasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah atau tabloid, TV, radio dan internet. 2. Lingkungan adalah tempat anak berinteraksi dengan lingkungan sosial yang terdiri dari : a. Keluarga luas adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan ayah dan ibu dari anak, yaitu kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu. Penelitian ini melihat interaksi anak dengan keluarga luas yang dikategorikan menjadi 1 rendah, 2 sedang, dan 3 tinggi. b. Sekolah adalah tempat anak menempuh pendidikan formal yang dibedakan menjadi sekolah negeri dan sekolah swasta. c. Teman sebaya peer group adalah teman yang berusia kurang lebih sama dengan anak yaitu teman sekolah, teman sepermainan yang tinggal di sekitar rumah dan teman yang dikenal di tempat anak melakukan kegiatan ekstra baik di dalam maupun di luar sekolah. Penelitian ini melihat interaksi anak dengan teman sebaya yang dikategorikan menjadi 1 rendah, 2 sedang, dan 3 tinggi. d. Media massa adalah sarana untuk memperoleh informasi dan hiburan yang bisa diakses oleh semua orang secara cepat yang berupa media massa cetak dan elektronik yaitu surat kabar, majalah, tabloid, radio dan televisi. Penelitian ini melihat intensitas penggunaan media massa oleh anak yang dikategorikan menjadi 1 rendah, 2 sedang, dan 3 tinggi.

3. Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dan Anak adalah hubungan komunikasi

interpersonal antara orang tua tunggal dan anaknya yang dilihat berdasarkan teknik komunikasi, hubungan komunikator dan komunikan, arah komunikasi, pembentukan makna pesan, faktor pembentuk sikap dan perilaku. Semua item pada variabel ini dituangkan dalam kuesioner dan dilakukan skoring untuk dikategorikan menjadi pola komunikasi a linier, b interaksi, dan c transaksi. Pola komunikasi ditetapkan dengan rata-rata skor sebagai berikut : 0 - 1 = pola komunikasi linier, 1,5 - 2,5 = pola komunikasi interaksi, = 2,5 = pola komunikasi transaksi.

4. Kemandirian anak adalah kemampuan anak yang ditandai dengan ciri-ciri