Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber pada hak habeas corpus, yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya
hak kemerdekaan.
3
Penerapan konsep ini pertama kali direalisasikan di Inggris melalui Habeas Corpus Act 1679 yang memberikan perlindungan dari
penangkapan sewenang-wenang dan menjamin peradilan yang cepat.
4
Hal serupa tertuang sebagai prinsip yang melandasi pengaturan mengenai praperadilan di
dalam KUHAP. Pada status quo, manifestasi perlindungan terhadap hak tersebut di dalam
KUHAP terbatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan ganti rugi atau rehabilitasi. Dalam Penjelasan KUHAP Pasal 95,
disebutkan bahwa ganti rugi atas “kerugian karena dikenakan tindakan lain” yang dapat diperkarakan dalam praperadilan ialah kerugian yang ditimbulkan oleh
pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Lembaga praperadilan bertujuan untuk melindungi pelanggaran hak yang
terjadi atau akan terjadi kepada tersangka. Karena pada dasarnya, proses penyidikan melalui upaya paksa seperti yang dijabarkan di atas sudah merupakah
bentuk pelanggaran hak yang dijustifikasi oleh aturan hukum. Namun, apabila penyidikan dilakukan secara tidak sah menurut hukum atau bahkan melawan
hukum, maka tersangka harus memiliki mekanisme upaya hukum untuk membela haknya.
II.2 Pandangan Pro Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan
II.2.APerlindungan Hak Atas Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum
Pada hakikatnya, keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang
terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia.
5
Kewenangan praperadilan memutus penetapan tersangka merupakan upaya untuk mengisi
kekosongan hukum perihal mekanisme apabila penetapan tersangka oleh penyidik dilakukan secara tidak sah menurut hukum, misalnya apabila penetapan tersangka
tidak berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam Pasal 184 KUHAP.
6
Kekosongan hukum sejatinya dapat menimbulkan suatu ketidakpastian hukum rechtsonzekerheid.
7
Hal ini tidaklah sesuai dengan konsep Negara hukum yang dianut Indonesia sebagaimana termaktub didalam Pasal 1 ayat 3 Undang-
5
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sebagai Negara hukum dalam tataran ideal yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan
kenegaraan adalah hukum, bukan politik maupun ekonomi.
8
Dimana, salah satu ciri Negara hukum menurut Julius Stahl adalah perlindungan hak asasi manusia.
9
Dalam segi yuridis salah satu perlindungan hak ini diejawantahkan didalam Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 UUD NRI 1945
yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.” Kepastian hukum ini jelas tidak akan tercapai ketika permasalahan yang ada mengenai mekanisme penetapan tersangka yang tidak sah
sesuai hukum masih belum ada penyelesaiannya. Padahal jika dikaitkan dengan teori mengenai tujuan hukum yang dikemukakan Gustav Radbuch, salah satu
tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum, dan jika hukum positif isinya tidak adil dan gagal untuk melindungi kepentingan rakyat, maka undang-
undang seperti ini adalah cacat secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum, sebab hukum itu pada perinsipnya untuk menegakkan keadilan.
10
Adapun isi KUHAP terkait dengan praperadilan jika dikaitkan dengan penetapan tersangka
sifatnya multitafsir terhadap berbagai interpretasi.
11
Ketentuan yang bersifat multitafsir mengakibatkan ketidakpastian hukum melanggar asas lex certa dan lex
stricta, serta bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan yang secara nyata bertentangan dengan
prinsip due process of law sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat 3 serta Pasal 28I ayat 5 UUD 1945.
12
Hak yang selanjutnya perlu dibahas adalah mengenai perlindungan hukum. Prof. Satjipto Rahardjo mendefinisikan perlindungan hukum sebagai kegiatan
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
13
Dari sudut pandang definisi perlindungan hukum ini, maka jelas bahwa jika ada peristiwa penetapan
tersangka yang dilakukan dengan tidak sah secara hukum dan menimbulkan kerugian bagi tersangka terkait, akan menimbulkan keharusan perlindungan
hukum bagi tersangka tersebut. Sarana perlindungan hukum sendiri ada 2 dua
6
jenisnya, yaitu preventif dan represif.
14
Pada perlindungan hukum preventif, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Sedangkan, pada perlindungan hukum yang represif tujuannya adalah untuk
menyelesaikan sengketa lewat penanganan perlindungan hukum oleh lembaga peradilan. Perlindungan hukum dalam konteks penetapan tersangka dapat
mengambil sarana represif, yang bentuknya dapat melalui kebolehan untuk menggugatkan perkaranya ke suatu lembaga, dalam hal ini adalah praperadilan.
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum lewat praperadilan ini timbul karena tersangka terkait haruslah memiliki cara untuk melakukan upaya hukum
yang sifatnya koreksional terhadap penetapan status tersangkanya. Kekhawatiran terkait perlindungan hukum terhadap tersangka ini juga
disuarakan oleh Anwar Usman, Hakim Anggota dalam perkara terkait di Makhamah Konstitusi, bahwa setiap tindakan penyidik yang tidak memegang
teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan. Terkait limitasi dalam
Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, Hakim Anwar mengatakan bahwa penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di
dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.
15
II.2.B Progresivitas Hukum
Formulasi kewenangan praperadilan di dalam KUHAP didasarkan pada pertimbangan bahwa upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik secara tidak sah
menurut hukum dapat menimbulkan kerugian atas hak seorang tersangka. Upaya paksa dalam konteks ini termasuk penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan.
16
Dengan kata lain, penetapan tersangka per se tidak dapat dikategorikan sebagai upaya paksa.
Namun, seiring dengan perkembangan kehidupan di masyarakat, penetapan tersangka nampaknya berpotensi besar menimbulkan kerugian bagi tersangka
yang telah ditetapkan statusnya sehingga belum menjadi isu krusial.
17
Hal ini disebabkan oleh semakin berpengaruhnya eksistensi media di masyarakat
televisi, media cetak, media sosial online, dan sebagainya yang cenderung
7
memberikan kesan buruk terhadap penetapan status tersangka seseorang, sehingga mencemari nama baik tersangka terkait. Selain itu, keberadaan pasal terkait
penetapan tersangka dalam beberapa undang-undang yang mengatur mengenai lembaga negara seperti KPK dan Polri, menyebabkan kerugian yang berakibat
hukum pada tersangka.
18
Dalam Pasal 33 ayat 2 UU KPK, disebutkan bahwa “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak
pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.” Hal serupa tertuang dalam Pasal 10 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003, “Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijadikan tersangkaterdakwa dapat diberhentikan sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sejak dilakukan proses penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Pasal-pasal tersebut mengindikasian kemungkinan, jika bukan keharusan, bagi Pimpinan KPK dan Anggota Polri untuk mengundurkan diri secara sementara
dari jabatannya. Pengunduran diri merupakan suatu akibat yang nyata bagi tersangka terkait, yang jelas sifatnya merugikan karena menyebabkan seseorang
kehilangan posisi atau jabatannya. Pertanyaannya sekarang, dapatkah penetapan tersangka menjadi salah satu objek praperadilan, melihat esensinya yang dalam
situasi tertentu dapat menimbulkan kerugian bagi tersangka? Perubahan kondisi di masyarakat seharusnya dapat diakomodasi oleh hukum
terutama apabila terjadi kemungkinan pelanggaran hak dan merugikan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep hukum progresif yang dinyatakan Prof.
Satjipto Rahardjo dalam teori hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum.
19
Berdasarkan pandangan ini maka seharusnya objek praperadilan perlu diperluas dan tidak hanya terpaku pada konsep awal yang
hanya terbatas pada upaya paksa, sehingga penetapan tersangka yang pada hakikatnya bukanlah upaya paksa dapat dijadikan objek praperadilan.
Hal serupa dikonfirmasi lewat concurring opinion Patrialis Akbar, Hakim Anggota yang mengadili perkara terkait di Makhamah Konstitusi, yang
menyebutkan bahwa ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka maka mulai saat itu pula, sebagian Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar yang ia miliki pasti
terkurangi, apalagi diikuti dengan pencegahan untuk ke luar negeri, kehilangan
8
hak-hak untuk menjadi pejabat publik, ditundanya hak untuk naik pangkat bagi PNS dan TNIPOLRI, dan mulai saat itu pula lah langkah-langkahnya terbatas,
untuk bertemu tetangga dan keluarga saja pasti sudah tidak lagi nyaman, apalagi ke tempat-tempat publik atau lingkungan sosial dan hal tersebut akan terjadi
dalam waktu yang cukup lama, bahkan anak, istri dan keluarga besarnya juga menanggung beban secara psikologis.
20
II.2.C Ketiadaan Mekanisme Check and Balances Terhadap Tindakan Penetapan Tersangka
Segala tindakan penyidik harus dapat diuji berdasarkan doktrin equality of arms. Doktrin ini muncul akibat keadaan yang tidak seimbang antara
tersangkaterdakwa dengan Negara penyidikpenuntut umum. Oleh sebab itu, doktrin ini mendasari posisi yang harus setara antara tersangka dengan penyidik,
yang hanya dapat didapatkan, antara lain, melalui pengujian keabsahan tindakan penyidik terhadap tersangka.
Hal ini kemudian lebih jauh dikonfirmasi oleh Hakim Anwar Usman dalam putusan Makhamah terkait. Beliau mengakui bahwa KUHAP tidak
memiliki check and balances atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik, karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan
alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian exclusionary atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.
21
Padahal, apabila penetapan tersangka didasari pada alat bukti yang diperoleh secara tidak sah, maka keabsahan tindakan
penetapan tersangka tersebut dapat dipertanyakan. Hakim Anwar mencontohkan putusan New York v. Straus-Kahn,
22
dalam menjelaskan kemungkinan pembatalan kasus di Magistrates Court akibat adanya keraguan terhadap kredibilitas saksi
korban. Ada 3 tiga prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas
keabsahan perolehan alat bukti, yaitu protection by state, disciplining the police dan legitimacy of verdict.
23
Prinsip hak atas protection by state lahir karena terkadang upaya dari penyidik dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan
melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka.
24
Prinsip disciplining the police muncul dalam bentuk pengecualian alat bukti yang diperoleh secara tidak
9
sah, untuk menghalangi penyidik ataupun penuntut umum untuk mengulangi kesalahan mereka.
25
Sedangkan, prinsip legitimacy of verdict berfokus pada legitimasi putusan di mata masyarakat jika putusan dihasilkan lewat
pengikutsertaan alat bukti yang tidak sah.
26
Selain itu, mekanisme pengujian terhadap penetapan tersangka juga dapat meminimalisir kemungkinan dilakukannya praktek malicious prosecution.
Malicious prosecution dalam tradisi hukum common law didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh penyidik. Selain
membahas mengenai proses yang melawan hukum, unsur lainnya dalam malicious prosecution adalah: 1 secara sengaja dan dengan melawan hukum melakukan
tindakan hukum yang dilakukan 2 tanpa tujuan yang pantas dan 3 mengesampingkan kepentingan korban dari malicious prosecution.
27
Konsep tersebut merupakan respon atas adanya kemungkinan penyelewenangan
kewenangan yang dilakukan oleh penyidik selaku penegak hukum. Dalam hal ini, salah satu bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh penyidik adalah berbentuk
penetapan tersangka yang tidak didasari pada alas hak yang sah. Di Indonesia istilah ini lebih dikenal dengan nama “kriminalisasi,” meskipun pada akhirnya
nomenklatur tersebut tidak sesuai dengan kaidah dan asas hukum yang berlaku, sehingga lebih tepat apabila digunakan istilah malicious prosecution. Dikarenakan
penetapan status tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan, maka di dalamnya terdapat kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang
termasuk perampasan hak asasi seseorang.
28
II.3 Pandangan Kontra Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan