PRA PERADILAN DALAM MEMUTUSKAN PENETAPAN

(1)

KEWENANGAN LEMBAGA PRA PERADILAN DALAM MEMUTUSKAN PENETAPAN TERSANGKA

A. pendahuluan

Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum (rechstaat) Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia yang lebih diperjelas dan dibedakan dengan hak warga negara. Hak warga negara sangat luas yaitu yang berkaitan dengan hak-hak yang mendasar yang dimiliki setiap individu dalam kaitannya bernegara. Di antaranya yaitu hak setiap warga negara yang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Hal ini tentunya membawa dampak kepada sistem pemidanaan di Indonesia yang secara formil diatur dalam KUHAP .

Sebelum adanya KUHAP yang diatur dalam UU No. 8 tahun 1981, Indonesia dalam sistem hukum acara pidananya mengunakan Het Herziene inlandsch Reglement atau H.I.R (Staatsblad tahun 1941 nomor 44) yang berasal dari peniggalan kolonial Belanda. Beberapa sifat pengaturan dari HIR ini masih belum mengedepankan hak-hak asasi manusia. Contohnya saja dalam proses pemeriksaan, apabila tersangka tidak mau secara sukarela untuk mengakui perbuatannya atau kesalahannya itu, maka petugas pemeriksa memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan sampai diperoleh pengakuan1.

KUHAP ini secara tegas mengatur bagaimana cara penegak hukum dalam menjalankan hukum materiilnya dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang pada dasarnya setiap manusia memiliki kedudukan sama dihadapan hukum. Sehingga tindakan-tindakan seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan, dan penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan semena-mena. Kesemuanya ini untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia agar jangan sampai “diperkosa”2. Maka dari itu, dalam ketentuan KUHAP ada ketentuan yang mengatur praperadilan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi kekuasaan yang begitu besar yang dimiliki oleh negara (penegak hukum) dalam melakukan penegakan hukum materiil dimana acapkali melanggar hak-hak warga sipil dalam proseduralnya.

1

https://hariswandi.wordpress.com/2011/10/20/sejarah-hukum-acara-pidana-indonesia/, diakses pada tanggal 14 Mei 20115

2


(2)

B. Lembaga Pra Peradilan Menurut UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Apabila kita teliti istilah ”praperadilan”, secara harfiah “pra” artinya sebelum, atau

mendahului, berarti ”praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang Pengadilan

(sebelum memeriksa pokok dakwaan oleh Penuntut Umum). Sedangkan menurut Hartono yang disebut lembaga Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja (penegakan hukum formil).

Praperadilan adalah lembaga baru yang lahir bersamaan dengan lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri atau berdiri sendiri terlepas dari Pengadilan Negeri, karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa Praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri (hanya pengadilan negeri)3.

Ada pun ciri dan eksistensinya sebagai berikut : berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri. Dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri, administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri, tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri4.

Pra peradilan ini dipimpin oleh satu orang hakim dan satu orang panitera. Berbeda denga lembaga peradilan umum yang terdiri dari satu orang panitera dan dipimpin tiga orang hakim terdiri dari hakim ketua dan dua hakim anggota.

Tujuan diadakan lembaga Praperadilan dalam dunia penegakan hukum di negara kita adalah untuk memantapkan pengawasan terhadap pemeriksaan pendahuluan perkara pidana, khususnya pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Dengan adanya Praperadilan

3

HMA KUFFAL, 2010, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang:UMM, hlm.251.

4

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, EdisiKedua,Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 1.


(3)

ini diharapkan pemeriksaan perkara pidana akan berjalan dengan sebaik-baiknya (tidak menyimpang dari kaidah hukum formil), sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan semena-mena. Kesemuanya ini untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia agar jangan sampai “diperkosa”5.

Secara limitative, pra peradilan diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP. Selain dari pada itu, ada pasal lain yang masih berhubungan dengan pra peradilan tetapi diatur dalam pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP. Menurut pasal 77 KUHAP lembaga pra peradilan memiliki kewenagan sebagai berikut:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ( Pasal 1 butir 10 KUHAP ).

Apabila kita bandingkan denga negara lain seperti negara Perancis, kewenangan lembaga pra peradilan (judge d’ Instruction) disana sangatlah luas dan berbeda dengan di Indonesia. Disana lembaga pra peradilan dapat memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang lain. Selain itu dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah, dan tempat - tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Namun demikian menurut Lintong Oloan Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction, hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh Polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa6.

5

Riduan Syahrani, Beberapa hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 74

6

Lintong Oloan Siahaan, Jalanya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal 92 - 94.


(4)

C. Penetapan Tersangka dalam Proses Peradilan

Menurt pendapat J.C.T. Simorangkir, dkk dalam bukunya Kamus Hukum

mengemukakan bahwa : tersangka adalah seorang yang disangka telah melakukansuatu tindak pidana dan ia masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan, apakah tersangka inimempunyai cukup dasar untuk diperiksa dipersidangan. Sedangkan menurut pasal 1 butir 4 KUHAP yang berbunyi tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup yang dimaksutkan dalam pasal 1 butir 4 KUHAP dijelaskan dalam Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP7. Alat bukti yang dimaksut pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak bersalah. Asas tersebut telah dimuat dalam pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan–ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Asas praduga tak bersalah berarti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bersumber pada asas praduga tak bersalah maka jelas dan sewajarnya bahwa khususnya tersangka dalam proses peradilan pidana wajib mendapatkan hak-haknya. Sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah maka ia mendapatkan hak-hak seperti hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam fase penyidikan8. Hak-hak tersangka atau terdakwa lebih jelasnya telah diatur dalam KUHAP antara lain meliputi :

1. Hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke penuntut umum, segera dimajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat(3)

7Lihat

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5073b4c6c99ba/bukti-permulaan-yang-cukup-sebagai-dasar-penangkapan, diakses tangal 14 Mei 2015.

8

Abdul Hakim G. Nusantara, KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan, (Jakarta: Percetakan Bhinneka Surya Pratama, Cet. III, 1996 ), 215


(5)

2. Hak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan seta yang didakwakan. (Pasal 51)

3. Hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan.(Pasal 52)

4. Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penterjemah bagi terdakwa atau saksi yang bisu atau tuli. (Pasal 177 dan Pasal 178)

5. Hak dapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. (Pasal 54)

6. Hak memilih sendiri penasihat hukumnya. (Pasal 55)

7. Hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi yang tidak mampu, yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.

D. Metode penfsiran dan Konstruksi Hukum Sebagai Bentuk penemuan hukum oleh hakim

Semakin dinamisnya kehidupan masyarakat yang menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal, sehingga hakim dituntut untuk menghidupkannya seiring dengan perubahan dan rasa keadilan masyarkat. Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum sebagi implikasi dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Gambaran secara sempit yang dimaksut penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara. Sedangakan menurut Paul Scholten penemuan hukum dalam artian luas demaknai sebagai sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan peristiwa. Kadang-kadang, dan bahkan sangat sering peraturan harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsevervijning9.

Dasar hakim dalam menemukan hukum telah diatur dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas Coria Novita yang menganggap hakim telah mengetahui hukum juga merupakan asas yang

9


(6)

perlu diperhatikan oleh hakim sebagai dasar penguat bahwa hakim berkewajiban untuk menafsirkan peraturan.

Cara hakim dalam menemukan hukum dapat dilakukan dengan metode penafsiran dan metode konstruksi hukum. Metode penafsiran hukum adalah penafsiran perkataan dalam undang-undang, tetapi tetap berpegangan pada kata-kata/bunyi peraturannya. Sedangkan konstruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegangan pada kata-katanya, tetapi harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem. Adapaun jenis-jenis metode penemuan hukum melalui interpretasi hukum adalah sebagai beriku10.

a. Interpretasi subsumptif yaitu hakim menerapkan teks atau kata-kata suatu ketentuan undang-undang terhadap kasus tanpa menggunakan penalaran sama sekali dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut.

b. Interpretasi Gramatikal yaitu menafsiran kata-kata yang berada dalam undag-undang sesuai dengan kaidah tata bahasa.

c. Interpretasi ekstentif yaitu penafsiran yang lebih luas dari pada penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan khusus menjadi ketentuan umum sesuai dengan kaidah tata bahasanya.

d. Interpretasi sistematis yaitumenafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan.

e. Interpretasi sosiologi atau teologi yaitu menafsirkan makna atau subtansi undang-undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga masyarakat.

f. Interpretasi historis yaitu penafsiran berdasarkan sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.

g. Interpretasi komparatif yaitu membandingkan antara berbagai sistem hukum yang ada di dunia, sehingga hakim dapat menggambil putusan yang sesuai dengan perkara yang ditanganinya.

h. Interpretasi restriktif yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi sesuatu ketentuan uandag-undang terhadap peristiwa konkrit.

i. Interpretasi futuristis yaitu menjelaskan suatu undang-undang yang berlaku sekarang dengan berpedomn dengan kepada uondang-undang ;yang akan diberlakukan.

10


(7)

Selanjutnya jenis-jenis metode penemuan hukum oleh hakim dengan cara konstruksi hukum adalah sebagai berikut11.

a. Analogi atau argumentum peranalogian yaitu penemuan hukum yang mencari esensi dari peristiwa yang khusus menjadi peristiwa yang umum.

b. Argumen a’contrario yaitu penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang pada

peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a’contrario ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal lain atau kebalikannya.

c. Fiksi hukum yaitu penemuan hukum dengan menggambarkan suatu peristiwa kemudian mengagapnya ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru.

E. Penetapan tersangka sebagai bentuk penafsiran hukum dalam kewenagan lemabaga pra peradilan

Secara eksplisit kewenangan pra peradilan diatur dalam KUHAP pasal 77 KUHAP adalah sebagai berikut : “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan” .

Selanjutnya dalam pasal 1 angka 10 KUHAP juga merumuskan pengertian “Praperadilan” adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka ;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan ;

c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ;

Apabila kita melihat pasal 77 jo pasal 1 angka 10 KUHAP tidak ada satupun kalimat yang menyebutkan kewenagan pra peradilan dalam memeriksa sah atau tidak sahnya penetapan status

11


(8)

penetapan tersangka. Namun apabila kita merujuk pada berbagai putusan lembaga pra peradilan yang memutuskan penetapan tersangka sebagai kewenagannya, merupakan bentuk dari penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Pada asasnya hakim memang tidak boleh menolak suatu perkara dikarenakan peraturanya kurang jelas maupun peraturnaya tidak ada12. Sehingga berdasarkan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dalam rangka penemuan hukum dapat dilakukan dengan cara interpretasi hukum maupun konstruksi hukum. Apabila kita hubungkan dengan penetapan tersangka sebagai bentuk penemuan hukum dari pada kewenagan lembaga pra peradilan denga mengacu pada putusan pra peradilan jakarta selatan P U T U S A N Nomor 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel., maka penemuan hukum oleh hakim ini dilakukan dengan cara interpretasi historis hukum. Pengertian dari pada interpretasi historis hukum adalah metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam kontek sejarah hukum13.

Sejarah praperadilan yang berasal dari Habeas Corpus, yaitu sebuah mekanisme yang ada pada sistem hukum Anglo Saxon untuk menguji keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum dan sebagai bentuk pengawasan dari Pengadilan agar tindakan yang dilakukan dalam tahap penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan secara sewenang-wenang14. Sehingga, ia berpendapat bahwa penetapan tersangka merupakan upaya paksa, kareana menurut pasal 1 ayat 2 penetapan tersangka meruapan proses dari pada peyidikan. Sehingga keabsahan dari upaya paksa dalam tingkat penyidikan dan penuntutan dapat diuji dengan mekanisme pra peradilan.

MK dalam putusannya bernomor 21/PPU-XII/2014 juga memperkuat dengan adanya putusan pengadilan jakarta selatan dengan masuknya pengujian sah atau tidak sahnya penetapan tersangka sbagai kewengan pra peradilan. Bahkan MK memberilakn kewenagan lebih luas untuk menguji pengeledahan dan penyitaan disampin penetapan tersangka.

12 pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, 13

Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, Loc.cit, hal. 173

14

Lihat http://andianaschaerul.blogspot.com/2013/03/praperadilan-lahir-dari-inspirasi.html, diakses pada tanggal 13 Mei 2015.


(9)

F. Penetapan Tersangka Bukanlah Obyek yang Tepat Daripada Kewenagan Lembag Pra Peradilan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Diantaranya prinsip legalitas, prinsip keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, prinsip peradilan terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 - 56). Sehingga lahirlah suatu lembaga pra peradilan yang dalam KUHAP diatu kewenagannya dalam pasal 77 jo pasal 1 angka 10 KUHAP.

Menurut pendapat I Dewa Gede Palguna secara implisit dari kedua pasal tersebut ada dua kepentingan yang hendak dilindungi secara seimbang oleh lembaga pra peradilan, yaitu kepentingan privat maupun kepentinga publik. Yang dimaksutkan dengan kepentingan privat ini adalah kepentingan tersangka dalam upaya paksa penagkapan atau penahanan yang dilakukan oleh pnyidik. Sedangkan kepentingan publik merupakan kepentingan masyarakat untuk menilai apakah tindakan penghentian penuntutan dan penghentian penyidikan terhadap tersangka telah h sesuai ataukah bahkan malah menyimpang dari ketentuan undang-undang dalam hal ini UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Sehingga menurut pendapat I Dewa Gede Palguna memasukkan penetapan tersangka kedalam ruang lingkup pra peradilan berarti membenarkan ketidak seimbangan perlindungan kepentingan individu dan kepentingan publik. Sebab apabila tersangka mempersoalkan penetapannya sebagai tersangka, pihak keluarga atau tersangka itu sendiri yang dapat diwakili oleh kuasa hukum dapat memohon penghentian penyidikan (dalam hal ini penyidik tidak mengambil insiatif sendiri untuk menghentikan penyidikan itu) dan memohon pra peradilan. Semenara itu, jika masyarakat hendak mempersoalkan tindak penyidik yang menghentikan penyidikan terhadap seorang tersangka, satu-satunya jalan yang tersedia hanyalah pra peradilan15.

Pendapat I Dewa Gede Palguna ini telah dirasakan impliksinya oleh masyarakat indonesai setelah putusan pra peradilan jakarta selatan mengabulkan permohonan budi gunawan yang mempersoalkna penetapanya sebagai tersangka. Sehingga putusan tersebut menjadi sebuah yurisprudensi yang dapat dijadikan dasar hukum oleh para pemohon untuk mengugurkan

15


(10)

setatusnya sebagai tersangka. Beberapa contoh kasus diantaranya adalah kasus Surya Darma Ali Mantan Mentri Agama dalam dugaan korupsi dana haji, kasus Mantan Ketua Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana yang terjerat kasus penerimaan gratifikasi dalam penetapan APBN Perubahan Kementerian ESDM di Komisi VII DPR RI, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan Fuad Amin, tersangka suap pengelolaan Migas.

Selain itu, ada juga Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome, tersangka korupsi dana pendidikan. Bahkan, seorang pedagang sapi di Banyumas juga mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Purwokerto untuk membatalkan penetapan tersangka dirinya oleh Kepolisian Resor Banyumas dan tentunya akan masih banyak lagi16. Namun kebanyakan dari beberapa gugatan tersebut gagal dibuktikan di pra peradilan. Ini menandakan bahwa tidak perlunya lembaga pra peradilan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menguji keabsahanya sebagai tersangka. Karena semata-mata para pemohon hanya mengikuti “nafsu birahi” yang pada akhirnya menambah beban lebih berat lagi para penegak hukum khusunya penyidik. Sehingga tujuan dari pada hukum yang digadang-gadangkan oleh masyarakat sulit untuk dicapai.

16

http://www.tempo.co/read/news/2015/02/27/063645739/KPK-Tetap-Usut-Kasus-Korupsi-Pemohon-Praperadilan, diakses tanggal 5 Mei 2015


(1)

2. Hak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan seta yang didakwakan. (Pasal 51)

3. Hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan.(Pasal 52)

4. Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penterjemah bagi terdakwa atau saksi yang bisu atau tuli. (Pasal 177 dan Pasal 178)

5. Hak dapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. (Pasal 54)

6. Hak memilih sendiri penasihat hukumnya. (Pasal 55)

7. Hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi yang tidak mampu, yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.

D. Metode penfsiran dan Konstruksi Hukum Sebagai Bentuk penemuan hukum oleh hakim

Semakin dinamisnya kehidupan masyarakat yang menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal, sehingga hakim dituntut untuk menghidupkannya seiring dengan perubahan dan rasa keadilan masyarkat. Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum sebagi implikasi dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Gambaran secara sempit yang dimaksut penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara. Sedangakan menurut Paul Scholten penemuan hukum dalam artian luas demaknai sebagai sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan peristiwa. Kadang-kadang, dan bahkan sangat sering peraturan harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsevervijning9.

Dasar hakim dalam menemukan hukum telah diatur dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih

bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Asas Coria Novita yang menganggap hakim telah mengetahui hukum juga merupakan asas yang

9


(2)

perlu diperhatikan oleh hakim sebagai dasar penguat bahwa hakim berkewajiban untuk menafsirkan peraturan.

Cara hakim dalam menemukan hukum dapat dilakukan dengan metode penafsiran dan metode konstruksi hukum. Metode penafsiran hukum adalah penafsiran perkataan dalam undang-undang, tetapi tetap berpegangan pada kata-kata/bunyi peraturannya. Sedangkan konstruksi hukum adalah penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegangan pada kata-katanya, tetapi harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem. Adapaun jenis-jenis metode penemuan hukum melalui interpretasi hukum adalah sebagai beriku10.

a. Interpretasi subsumptif yaitu hakim menerapkan teks atau kata-kata suatu ketentuan

undang-undang terhadap kasus tanpa menggunakan penalaran sama sekali dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut.

b. Interpretasi Gramatikal yaitu menafsiran kata-kata yang berada dalam undag-undang

sesuai dengan kaidah tata bahasa.

c. Interpretasi ekstentif yaitu penafsiran yang lebih luas dari pada penafsiran gramatikal,

karena memperluas makna dari ketentuan khusus menjadi ketentuan umum sesuai dengan kaidah tata bahasanya.

d. Interpretasi sistematis yaitumenafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan

sistem peraturan perundang-undangan.

e. Interpretasi sosiologi atau teologi yaitu menafsirkan makna atau subtansi undang-undang

untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga masyarakat.

f. Interpretasi historis yaitu penafsiran berdasarkan sejarah undang-undang dan penafsiran

menurut sejarah hukum.

g. Interpretasi komparatif yaitu membandingkan antara berbagai sistem hukum yang ada di

dunia, sehingga hakim dapat menggambil putusan yang sesuai dengan perkara yang ditanganinya.

h. Interpretasi restriktif yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi sesuatu ketentuan

uandag-undang terhadap peristiwa konkrit.

i. Interpretasi futuristis yaitu menjelaskan suatu undang-undang yang berlaku sekarang

dengan berpedomn dengan kepada uondang-undang ;yang akan diberlakukan.

10


(3)

Selanjutnya jenis-jenis metode penemuan hukum oleh hakim dengan cara konstruksi hukum adalah sebagai berikut11.

a. Analogi atau argumentum peranalogian yaitu penemuan hukum yang mencari esensi

dari peristiwa yang khusus menjadi peristiwa yang umum.

b. Argumen a’contrario yaitu penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang pada

peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a’contrario ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal lain atau kebalikannya.

c. Fiksi hukum yaitu penemuan hukum dengan menggambarkan suatu peristiwa kemudian

mengagapnya ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru.

E. Penetapan tersangka sebagai bentuk penafsiran hukum dalam kewenagan lemabaga pra peradilan

Secara eksplisit kewenangan pra peradilan diatur dalam KUHAP pasal 77 KUHAP adalah sebagai berikut : “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan” .

Selanjutnya dalam pasal 1 angka 10 KUHAP juga merumuskan pengertian “Praperadilan” adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka ;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan ;

c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ;

Apabila kita melihat pasal 77 jo pasal 1 angka 10 KUHAP tidak ada satupun kalimat yang menyebutkan kewenagan pra peradilan dalam memeriksa sah atau tidak sahnya penetapan status

11


(4)

penetapan tersangka. Namun apabila kita merujuk pada berbagai putusan lembaga pra peradilan yang memutuskan penetapan tersangka sebagai kewenagannya, merupakan bentuk dari penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Pada asasnya hakim memang tidak boleh menolak suatu perkara dikarenakan peraturanya kurang jelas maupun peraturnaya tidak ada12. Sehingga berdasarkan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dalam rangka penemuan hukum dapat dilakukan dengan cara interpretasi hukum maupun konstruksi hukum. Apabila kita hubungkan dengan penetapan tersangka sebagai bentuk penemuan hukum dari pada kewenagan lembaga pra peradilan denga mengacu pada putusan pra peradilan jakarta selatan P U T U S A N Nomor 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel., maka penemuan hukum oleh hakim ini dilakukan dengan cara interpretasi historis hukum. Pengertian dari pada interpretasi historis hukum adalah metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam kontek sejarah hukum13.

Sejarah praperadilan yang berasal dari Habeas Corpus, yaitu sebuah mekanisme yang ada pada sistem hukum Anglo Saxon untuk menguji keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum dan sebagai bentuk pengawasan dari Pengadilan agar tindakan yang dilakukan dalam tahap penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan secara sewenang-wenang14. Sehingga, ia berpendapat bahwa penetapan tersangka merupakan upaya paksa, kareana menurut pasal 1 ayat 2 penetapan tersangka meruapan proses dari pada peyidikan. Sehingga keabsahan dari upaya paksa dalam tingkat penyidikan dan penuntutan dapat diuji dengan mekanisme pra peradilan.

MK dalam putusannya bernomor 21/PPU-XII/2014 juga memperkuat dengan adanya putusan pengadilan jakarta selatan dengan masuknya pengujian sah atau tidak sahnya penetapan tersangka sbagai kewengan pra peradilan. Bahkan MK memberilakn kewenagan lebih luas untuk menguji pengeledahan dan penyitaan disampin penetapan tersangka.

12 pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, 13

Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, Loc.cit, hal. 173 14

Lihat http://andianaschaerul.blogspot.com/2013/03/praperadilan-lahir-dari-inspirasi.html, diakses pada tanggal 13 Mei 2015.


(5)

F. Penetapan Tersangka Bukanlah Obyek yang Tepat Daripada Kewenagan Lembag Pra Peradilan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Diantaranya prinsip legalitas, prinsip keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, prinsip peradilan terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 - 56). Sehingga lahirlah suatu lembaga pra peradilan yang dalam KUHAP diatu kewenagannya dalam pasal 77 jo pasal 1 angka 10 KUHAP.

Menurut pendapat I Dewa Gede Palguna secara implisit dari kedua pasal tersebut ada dua kepentingan yang hendak dilindungi secara seimbang oleh lembaga pra peradilan, yaitu kepentingan privat maupun kepentinga publik. Yang dimaksutkan dengan kepentingan privat ini adalah kepentingan tersangka dalam upaya paksa penagkapan atau penahanan yang dilakukan oleh pnyidik. Sedangkan kepentingan publik merupakan kepentingan masyarakat untuk menilai apakah tindakan penghentian penuntutan dan penghentian penyidikan terhadap tersangka telah h sesuai ataukah bahkan malah menyimpang dari ketentuan undang-undang dalam hal ini UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Sehingga menurut pendapat I Dewa Gede Palguna memasukkan penetapan tersangka kedalam ruang lingkup pra peradilan berarti membenarkan ketidak seimbangan perlindungan kepentingan individu dan kepentingan publik. Sebab apabila tersangka mempersoalkan penetapannya sebagai tersangka, pihak keluarga atau tersangka itu sendiri yang dapat diwakili oleh kuasa hukum dapat memohon penghentian penyidikan (dalam hal ini penyidik tidak mengambil insiatif sendiri untuk menghentikan penyidikan itu) dan memohon pra peradilan. Semenara itu, jika masyarakat hendak mempersoalkan tindak penyidik yang menghentikan penyidikan terhadap seorang tersangka, satu-satunya jalan yang tersedia hanyalah pra peradilan15.

Pendapat I Dewa Gede Palguna ini telah dirasakan impliksinya oleh masyarakat indonesai setelah putusan pra peradilan jakarta selatan mengabulkan permohonan budi gunawan yang mempersoalkna penetapanya sebagai tersangka. Sehingga putusan tersebut menjadi sebuah yurisprudensi yang dapat dijadikan dasar hukum oleh para pemohon untuk mengugurkan

15


(6)

setatusnya sebagai tersangka. Beberapa contoh kasus diantaranya adalah kasus Surya Darma Ali Mantan Mentri Agama dalam dugaan korupsi dana haji, kasus Mantan Ketua Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana yang terjerat kasus penerimaan gratifikasi dalam penetapan APBN Perubahan Kementerian ESDM di Komisi VII DPR RI, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan Fuad Amin, tersangka suap pengelolaan Migas.

Selain itu, ada juga Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome, tersangka korupsi dana pendidikan. Bahkan, seorang pedagang sapi di Banyumas juga mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Purwokerto untuk membatalkan penetapan tersangka dirinya oleh Kepolisian Resor Banyumas dan tentunya akan masih banyak lagi16. Namun kebanyakan dari beberapa gugatan tersebut gagal dibuktikan di pra peradilan. Ini menandakan bahwa tidak perlunya lembaga pra peradilan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menguji keabsahanya sebagai tersangka. Karena semata-mata para pemohon hanya mengikuti “nafsu birahi” yang pada akhirnya menambah beban lebih berat lagi para penegak hukum khusunya penyidik. Sehingga tujuan dari pada hukum yang digadang-gadangkan oleh masyarakat sulit untuk dicapai.

16

http://www.tempo.co/read/news/2015/02/27/063645739/KPK-Tetap-Usut-Kasus-Korupsi-Pemohon-Praperadilan, diakses tanggal 5 Mei 2015