RUANG LINGKUP KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM MENGADILI SENGKETA EKONOMI SYARIAH

RUANG LINGKUP KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM MENGADILI
SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Diana Rahmi
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, Jl. Jenderal Ahmad Yani Km 4,5 Banjarmasin
e-mail: diana.rahmi@rocketmail.com
Abstract : After the implementation of the Act No. 3 year 2006, the dispute of Islamic Economic is
absolutely included as the domain of the Islamic Court’s competence, and would be entirely resolved
by this court as well. However, some regulations recently lead to reduce this competence belongs to
the Islamic Court by making this court not the only institution to resolve the dispute of Islamic
Economic. In fact, the domain of the Islamic Court that is extended to settle all the Islamic
Economic disputes, is also reduced by a clause that potentially indicate to resolve the
dispute outside from the Islamic Court (as stated in the contract), and also by a conflict settled on
the of Islamic arbitration.
Abstrak : Sejak lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, sengketa ekonomi Syariah masuk dalam
lingkup kewenangan Absolut Peradilan Agama. Namun peraturan perundang-undangan yang lahir
belakangan, telah mereduksi kewenangan dimaksud. Peradilan Agama bukanlah satu-satunya lembaga
yang berwenang menangani sengketa tersebut. Ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam
mengadili sengketa ekonomi Syariah adalah melingkupi semua sengketa ekonomi Syariah bidang
Hukum Perdata dengan subyek hukum Islam dan non Islam, namun tidak melingkupi klausul yang
memperjanjikan penyelesaian sengketa selain Peradilan Agama (sesuai isi akad) dan juga tidak
melingkupi hal-hal terkait putusan arbitrase Syariah.

Kata Kunci: Kewenangan absolut, peradilan agama, sengketa ekonomi syariah
Pendahuluan
Dalam negara hukum Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
kedudukan badan Peradilan Agama adalah
merupakan salah satu pelaku dan penyelenggara
kekuasaan kehakiman. Ia mempunyai kedudukan
yang sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya
dalam menegakan hukum. Sebagaimana badan
peradilan lainnya, kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Agama juga berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan
negara tertinggi. Hal ini tercermin dalam Pasal 3
ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Peradilan Agama, dalam penyelesaian perkaranya
maka pelaksanaannya tak dapat dilepaskan sama
sekali daripada hukum agama yaitu Islam.
Walaupun demikian, Undang-Undang Nomor 3
tahun 2006 Pasal 49 telah memberikan batasan
jenis perkara apa saja yang menjadi kewenangan

absolutnya.
Peradilan Agama sebagai perwujudan
Peradilan Islam di Indonesia secara garis besar
wilayah pengkajiannya tercermin dalam rumusan
pengertiannya, yang secara rinci meliputi:

pertama, kekuasaan negara, yaitu kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan
kekuasaan negara lainnya dan dari pihak luar;
kedua, pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama, meliputi hirarki, susunan, pimpinan,
hakim, panitera, dan unsur lain dalam susunan
organisasi pengadilan; ketiga, prosedur berperkara di pengadilan, yang mencakup jenis
perkara, hukum prosedural, dan produkproduknya; keempat, perkara-perkara di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, perwakafan, zakat, infaq, dan shadaqah serta ekonomi
syariah. Ia mencakup variasi dan sebarannya
dalam berbagai badan peradilan; kelima, orangorang yang beragama Islam sebagai pihak yang
berperkara, atau para pencari keadilan; keenam,
hukum Islam sebagai hukum substansial yang
dijadikan rujukan; ketujuh, penegakan hukum

dan keadilan.
Bila dikaji secara lebih dalam, perwujudan
Peradilan Agama di Indonesia dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang. Pertama, secara
filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan
untuk menegakan hukum dan keadilan. Hukum

yang ditegakan adalah hukum Allah yang telah
disistematisasi oleh manusia. Sedangkan keadilan
yang ditegakan adalah keadilan Allah,
sebagaimana tercermin di dalam Kepala Putusan
Pengadilan “Bismillaahirrahmaanirrahiim” dan Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, secara yuridis hukum Islam (di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah)
berlaku di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Ketiga, secara historis
Peradilan Agama merupakan salah satu mata
rantai peradilan Islam yang berkesinambungan

sejak masa Rasulullah SAW. Keempat, secara
sosiologis Peradilan Agama didukung dan
dikembangkan oleh dan di dalam masyarakat
Islam.1
Daniel S. Lev menggambarkan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan Peradilan
Agama yang kelihatannya ganjil, tidak hanya
mampu bertahan hidup tetapi dalam berbagai hal
mengalami perkembangan yang semakin kuat.
Sedangkan di negara-negara Islam lainnya,
pranata-pranata hukum keagamaan banyak yang
dihapus dan dibatasi.2
Eksistensi Peradilan Agama dalam sistem tata
hukum di Indonesia, menemukan momentunnya
yaitu sejak disahkan dan diundangkannya UU
Nomor 14 Tahun 1970. Kemudian menyusul
UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9
tahun 1975, PP Nomor 28 Tahun 1977, UU
Nomor 7 Tahun 1989, dan Inpres Nomor 1
Tahun 1991 tentang KHI. Peraturan perundangundangan

tersebut
menuntut
berbagai
konsekuensi , antara lain pembentukan PA
diseluruh wilayah kabupaten/kotamadya dan
PTA di seluruh wilayah propinsi ; peningkatan
kualitas PA dan PTA diseluruh wilayah
Indonesia; penambahan jumlah hakim dan
panitera pengganti; pengangkatan jurusita;
peningkatan kualitas hakim dan panitera;
peningkatan kualitas administrasi peradilan; dan
penambahan serta peningkatan sarana dan
prasarana yang mendukungnya.3

1

2

3


Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996), hlm. 23, 24
& 33.
Zaini Ahmad Noeh (Trans). Daniel S. Lev, Peradilan
Agama di Indonesia, ( Jakarta: Intermasa, 1980), hlm.
ix.
Cik Hasan Bisri. Loc. Cit.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 membawa dampak positif dan dapat
mengakhiri perlakuan tidak wajar terhadap
Peradilan Agama sebagai peradilan yang sudah
ada semenjak tahun 1882.4 Menurut Bustanul
Arifin sebagaimana dikutif oleh Cik Hasan Bisri,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah
lompatan raksasa. Dari segi perundang-undangan
dia adalah lompatan 100 tahun dan dari segi
hukum substantif dia adalah lompatan 100
windu. Itulah mungkin yang menyebabkan
RUUPA begitu ramai ditanggapi. Intisari

masyarakat Pancasila adalah keluarga, dan karena
itu adanya Peradilan Agama yang merupakan
peradilan keluarga (family Court) bagi orang-orang
Islam Indonesia amat menguntungkan, karena
keadilan dan kepastian hukum yang diberikan
Peradilan Agama akan mewujudkan kehidupan
keluarga yang tenang dan damai. Putusanputusan Peradilan Agama yang bertali ke langit
dan berakar kebawah (masyarakat) akan
mendatangkan kesejukan bagi masyarakat.5
Akan tetapi walaupun demikian, rentang waktu
lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
sangatlah panjang, yaitu 29 tahun kemudian
setelah adanya pengaturan dalam UU Nomor 14
tahun 1970. Walaupun dalam Pasal 10 UU
Nomor 14 Tahun 1970, Peradilan Agama berada
pada urutan kedua setelah Peradilan Umum,
namun yang lahir lebih dahulu adalah UndangUndang tentang Peradilan Umum dan PTUN
yaitu tahun 1986. Padahal persiapan draf RUU
Peradilan Agama telah dipersiapkan sekitar
sepuluh tahun sebelumnya. Akhirnya Peradilan

Agama jauh tertinggal beberapa tahun. Suatu hal
yang aneh terjadi bagi lembaga hukum Islam,
terabaikan di tengah-tengah umatnya yang
mayoritas.6
Berangkat dari perkembangan terakhir
Peradilan Agama pada masa reformasi ini, seiring
dengan perubahan terhadap penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman dan dalam rangka
memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di
bidang hukum, maka sebagai konsekuensi dari
perubahan peraturan perundang-undangan yang
4
5
6

Ibid. hlm. 137-138
Ibid. hlm. 243.
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di
Indonesia. Dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi

Demokratis-Responsif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2000), hlm. 141.

ada, Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 juga
mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dalam
konteks kekinian sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
dan kehidupan ketatanegaraan menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 oleh Undang-Undang No 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 50 Tahun
2009, pada dasarnya adalah untuk menyesuaikan
terhadap Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
Dengan
dilakukan perubahan berarti pula telah diletakkan

dasar kebijakan secara menyeluruh bahwa segala
urusan mengenai Peradilan Agama, baik
menyangkut teknis yudisial maupun non yustisial
yaitu organisasi, administrasi dan finansial di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Disamping
itu
perubahan Undang-Undang No 7 tahun
1989, akan semakin memantapkan kedudukan
dan eksistensi Peradilan Agama itu sendiri dalam
sistem tata hukum di Indonesia.
Salah satu perubahan yang juga dianggap
signifikan terhadap Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 adalah Pasal 49 menyangkut
kewenangan absolut
Peradilan Agama.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 menjelaskan bahwa
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syari’ah”.
Dalam perubahan tersebut kewenangan
Peradilan Agama diperluas. Perluasan tersebut
antara lain meliputi zakat, infaq, objek sengketa
hak milik yang subjek hukumnya antara orang
yang beragama Islam
dan ekonomi syari’ah.
Yang digarisbawahi dari kewenangan baru Peradilan Agama adalah ekonomi Syariah.
Sebelumnya bidang ekonomi baik Syariah
maupun Konvensional adalah merupakan
kewenangan Peradilan Umum, sehingga dengan
berlakunya perubahan ini sebagian kewenangan

absolut dari Peradilan Umum menjadi
kewenangan absolut Peradilan Agama.
Berbeda dengan penganturan bidang
perkawinan atau lainnya yang lebih rinci
sehingga dapat memudahkan hakim menguji
perkara yang diajukan kepadanya termasuk
dalam batasan kewenangannya atau tidak. Maka
pengaturan bidang ekonomi Syariah, tidaklah
serinci sebagaimana dimaksud diatas. Padahal
ekonomi Syariah termasuk masalah yang
komplek dan tidak mudah serta berkembang
sangat pesat, dapat membuka ruang serta memungkinkan siapa saja bisa terlibat di dalamnya.
Hal ini tentu menimbulkan sedikit
kekhawatiran akan terulangnya trauma yang
pernah dirasakan oleh Peradilan Agama terkait
kewenangan absolutnya. Apalagi jika ditelusuri
beberapa perundang-undangan yang lahir
belakangan, menegaskan bahwa Peradilan
Agama bukanlah satu-satu lembaga yang berwenang menangani persoalan ekonomi Syariah.
Misalnya terkait ketentuan Pasal 55 UndangUndang Perbankan Syariah tentang penyelesaian
sengketa. Hal inilah yang membuat Penulis
tertarik mengkaji lebih jauh terkait jangkauan
kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili
sengketa ekonomi Syariah. Dengan diketahuinya
jangkauan kewenangan dimaksud akan berfungsi
sebagai rel untuk menertibkan jalur batas
kewenangan yurisdiksi mengadili antar peradilan.
Dinamika Historis Perkembangan Regulasi
Dan Lembaga Ekonomi Berbasis Syariah Di
Indonesia
Secara substantif eksistensi ekonomi Syariah
bukanlah hal baru dalam dunia Islam. Ini
dikarenakan keberadaannya sudah ada sejak
agama Islam hadir di bumi ini. Al Quran dan
Hadis dipenuhi dengan hukum-hukum dan
pengarahan kebijakan ekonomi, yang berfungsi
sebagai kerangka atas kebijakan dan langkah yang
ingin direalisasikan. Konsep dasar yang ditawarkan Al Quran dan Hadis akan mengatur gerak
langkah pelaku ekonomi dalam menjalankan
kegiatan ekonominya.
Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di
Indonesia diawali dengan munculnya Perbankan
Syariah dan karenanya tidak perlu menggunakan
istilah ekonomi Islam sebagaimana dipergunakan

banyak Negara, tetapi ekonomi Syariah sebagai
terminologi yang bersifat khas Indonesia.7
Sebelum munculnya gagasan tentang perlunya
didirikan Bank Syariah di Indonesia, para
cendekia muslim baik yang ada di organisasi
keagamaan maupun kalangan perbankan dan
perorangan telah melakukan pengkajian tentang
bunga bank dan riba. KH. Mansur ketua
pengurus Muhammadiyah pada tahun 1937 telah
mempunyai keinginan untuk berdirinya Bank
Syariah. Namun kehendak ini gagal karena
dianggap SARA pada saat itu dan dikhawatirkan
akan mengganggu stabilitas nasional.
Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Muktanar
di Sidoardjo Jawa Timur tahun 1968
memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh
bank-bank Negara kepada nasabah demikian
pula sebaliknya, hukumnya syubhat artinya
belum jelas halal dan haramnya. Karenanya,
sesuai dengan petunjuk hadis kita harus berhatihati menghadapi masalah-masalah yang masih
syubhat itu.8 Guna menjaga prinsip kehati-hatian
bermuamalah dengan bank yang menerapkan
bunga tersebut, KH Azhar Basjir, MA Ketua
Majelis Tarjih Muhammadiyah waktu itu
memberikan rambu-rambu bahwa menentukan
hukumnya bunga bank harus dipertimbangkan
besar kecilnya bunga atau keuntungan siapa yang
memperoleh dan untuk siapa keuntungan itu
dimanfaatkan. 9
Bahsul masa’il Nahdhatul Ulama (NU) telah
menfatwakan bahwa bunga bank itu halal.
Namun kendati demikian, dalam wawancara
dengan wartawan surat kabar harian Media
Indonesia edisi 27 Juli 1990 Ketua Umum
Pengurus Besar NU tetap bercita-cita untuk
berdirinya bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip syariat Islam di Indonesia.10
Sehingga terlepas pendapat yang setuju dan
tidak terhadap bunga bank, yang pasti kenyataan
menunjukkan bahwa umat Islam pada umumnya
7

8

9

10

Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia, (Banjarmasin: Makalah
Orasi Ilmiah
disampaikan pada Pembukaan Kuliah Fakultas
Syariah IAIN Antasari, 30 Agustus 2010), hlm. 3.
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan
LembagaLembaga terkait ( BAMUI dan Takaful) di
Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm.
71.
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat
dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1988), hlm. 13.
Warkum Sumitro, Op.Cit, hlm. 72.

merasa ragu-ragu. Di satu pihak sesuai dengan
tuntutan perkembangan kebutuhan ekonomi
mereka harus berhubungan dengan bank. Dilain
pihak perasaan takut akan melanggar aturan
agama dikarenakan ada unsur ribanya. Hal ini
tentu tidak bisa dibiarkan karena keadaan ini
akan mengganggu peran kaum muslimin untuk
turut serta dalam membangun ekonomi bangsa
dan negaranya yang tercinta ini.
Gagasan berdirinya Bank Syariah di Indonesia
lebih konkret pada saat lokakarya “Bunga Bank
dan Perbankan” pada tanggal 18-20 Agustus
1990. Ide tersebut ditindaklanjuti dalam Munas
IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Hotel
Syahid tanggal 22-25 Agustus 1990.
Kemudian MUI membentuk suatu Tim
Steering Commite yang diketuai oleh DR. Ir. Amin
Aziz. Tim ini bertugas mempersiapkan segala
sesuatu terkait dengan berdirinya Bank Syariah di
Indonesia. Guna membantu kelancaran tugastugas Tim MUI dibentuklah Tim Hukum Ikatan
Cedekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di bawah
ketua Drs. Karnaen Perwaatmadja, MPA. Tim ini
bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu
menyangkut aspek hukum dari Bank Syariah,
karena baik dalam proses berdirinya maupun
pada saat beroperasinya, Bank Syariah selalu
berhubungan dengan aspek hukum.11
Selain mempersiapkan proses berdirinya Bank
Syariah, baik segi administrasi maupun
pendekatan-pendekatan dan konsolidasi dengan
pihak-pihak
terkait,
Tim
MUI
juga
mempersiapkan aspek sumber daya manusianya,
hingga persoalan dananya dengan melobi
pengusaha-pengusaha muslim untuk menjadi
pemegang saham pendiri. Tim MUI dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, terbukti
dalam kurun waktu 1 tahun sejak ide berdirinya
Bank Syariah serta dukungan dari umat Islam
dan berbagai pihak sangat kuat, maka setelah
semua persyaratan terpenuhi tanggal 1
November 1991 dilakukan penandatanganan
akte pendirian Bank Muamalat Indonesia (yang
selanjutnya disingkat BMI). Bertempat di Sahid
Jaya Hotel dengan akte Notaris Yudo Paripurna,
SH. Dengan izin Menteri Kehakiman
No.C.2.2413.HT.01.01. Kemudian dengan izin
prinsip Surat Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 1223/MK.013/1991 tanggal 5
November 1991, Izin usaha Keputusan Menteri
11

Ibid. hlm. 73

Keuangan Republik Indonesia No. 430/KMK
:013/1992, tanggal 24 April 1992 dan pada
tanggal 1 Mei 1992 BMI bisa memulai operasi
untuk melayani kebutuhan masyarakat melalui
jasa-jasanya.12 Jadi, walaupun BMI didirikan
tahun 1991 tetapi baru beroperasi pada tanggal 1
Mei 1992, menjadi Bank Umum pertama yang
beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Syariah.
Kelahiran BMI menjadi tonggak awal tumbuh
dan berkembanganya sistem keuangan dan bisnis
Syariah di Indonesia.
Guna mengakomodir perkembangan yang ada
terutama terkait masalah perbankan, tanggal 25
Maret 1992 ditetapkan Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 (LN 1992 No. 23) tentang
Perbankan yang mencabut dan menggantikan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan, yang dalam pertimbangannya menggariskan bahwa perbankan
yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan
fungsi utamanya sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang
strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ,
pertumbuhan ekonomi, dan stabillitas nasional,
kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Perkembangan perekonomian nasional maupun
internasional yang senantiasa bergerak cepat
disertai dengan tantangan-tantangan yang
semakin luas, harus selalu diikuti secara tanggap
oleh perbankan nasional dalam menjalankan
fungsi
dan tanggung jawabnya kepada
masyarakat. Undang-Undang No. 14 Tahun
1967 tentang pokok-pokok dan beberapa
undang-undang di bidang perbankan lainnya
yang berlaku sampai saat ini, sudah tidak dapat
mengikuti perkembangan perekonomian nasional
maunpun internasional, sehingga kemudian
diterbitkan Undang-Undang tentang Perbankan
yang baru.
Pasal 5 Ayat (1) undang-undang ini menggariskan bahwa menurut jenisnya bank terdiri
dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Berdasarkan undang-undang ini dimulailah
langkah untuk menngakomodasikan dan memberi landasan hukum terhadap bank-bank Syariah
yang sudah terbentuk mulai berjalan.
Undang-Undang No. 7 Tahun1992 tentang
Perbankan, tidak secara eksplisit menyebutkan
12

Ibid, hlm. 74.

adanya apa yang disebut “Bank Syariah”. Hanya
ada dua yang dapat dijadikan dasar, yaitu Pasal 6
huruf (m) yang berkenaan dengan lingkup
perbankan umum dan Pasal 13 huruf (e ) yang
berkenaan dengan salah satu lingkup kegiatan
Bank Perkreditan Rakyat dengan isi yang sama
menyebutkan “Menyediakan pembiayaan bagi
nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
pemerintah.
Dengan demikian istilah yang digunakan
dalam undang-undang ini “Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil”. Pasal 6 huruf (m) dan Pasal
13 huruf (e) belum banyak memberikan
pengaturan lanjutan terkait apa yang dimaksud
dengan istilah prinsip bagi hasil itu sendiri,
landasan hukum operasionalnya, dan kegiatan
usaha apa saja yang dapat dioperasionalkan dan
diimplementasikan oleh bank tersebut. Tetapi
perlu digarisbawahi disini, lahirnya UndangUndang Perbankan ini merupakan langkah maju
dari perjuangan semua pihak. Realitas yang
demikian, memberikan harapan besar yang
menumbuhkan optimisme bagi kita semua guna
terus berupaya mengembangkan ekonomi
Syariah di Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 30 Oktober 1992
ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun
1992 (LN 1992 No. 119) tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 1 Ayat (1)
menentukan bahwa bank berdasarkan prinsip
bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan
usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil. Adapun Penjelasan Pasal yang bersangkutan (TLN No. 3505) menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan prinsip dari bagi hasil dalam
peraturan pemerintah ini adalah “prinsip
muamalat berdasarkan Syariat” dalam melakukan
kegiatan usaha bank. Dari perkataan “prinsip
muamalat berdasarkan Syariat”, ini kemudian
berubah menjadi berdasarkan “prinsip Syariah”
dan secara singkat disebut “Bank Syariah” atau
“Perbankan Syariah”. Jadi secara formal istilah
Bank Syariah atau bank berdasarkan prinsip
Syariah mulai diperkenalkan dalam Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 1992.13
Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No.
72 Tahun 1992 menjelaskan bahwa “Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang
13

Abdurrahman, Op.Cit. hlm. 6.

kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi
hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan
usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil”.
Pengaturan ini dalam aplikasinya menimbulkan
persoalan terkait perkembangan Bank Syariah
kedepannya. Tidak diperkenankannya bank yang
tidak berasaskan prinsip bagi hasil untuk
melakukan usaha yang berasaskan prinsip bagi
hasil atau sebaliknya, jelas berimplikasi terhadap
lambatnya perkembangan Perbankan Syariah di
tanah air. Hal ini disebabkan karena jalur
pertumbuhan Bank Syariah hanya melalui
pembukaan Bank Syariah yang baru.
Berhasilnya pendirian BMI sebagai bank yang
menganut prinsip Syariah telah pula mengilhami
kesadaran masyarakat untuk secara lebih dalam
mengamalkan ekonomi Syariah. Sejalan dengan
itu, berdirilah pula Bank Perkreditan Rakyat
Syariah. Sebagai langkah awal yang lebih konkrit,
lahir BPR Islam rintisan yaitu PT. BPR Dana
Mardhatilla di Kecamatan Margahayu, PT. BPR
Berkah Amal Sejahtera di Kecamatan Padalarang,
kemudian PT. BPR Amanah Rabbaniah di
Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung.
Ketiga BPR ini akhirnya pada tanggal 8 Oktober
1990 telah mendapatkan izin prinsip Menteri
Keuangan RI. Kemudian dilakukan persiapanpersiapan yang lebih intensif, terutama
menyangkut sumber daya manusia sebagai
pengelola bank yang lebih amanah, professional
dan acceptable. Berkat bantuan tehnikal assisten
penuh dari Bank Bukopin Cabang Bandung,
yang memperlancar penyelenggaraan pelatihan
dan bertemunya para pakar perbankan maka
kemudian ketiga BPR Islam ini telah
mendapatkan izin usaha dari Menteri Keuangan
RI. 14
Demikian selanjutnya pendirian BPR Islam
dan Bank Syariah telah menyebar ke berbagai
wilayah di tanah air, sebagai respon dari
keinginan masyarakat Islam yang ada di wilayah
tersebut. Perkembangan ini juga tidak terlepas
dari terjadinya penguatan dari regulasi yang ada.
Misalnya setelah berlakunya Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992, pada Tahun 1998 telah
disahkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Sehingga dalam
tataran ini, pengaturan mengenai Perbankan
Islam yang dulu hanya disebutkan sebagai “bank
14

Warkum Sumitro Op.Cit. hlm. 110.

berdasarkan prinsip bagi hasil”, sekarang dalam
undang-undang tersebut sudah dinyatakan secara
jelas dengan menggunakan istilah
“Bank
Berdasarkan Prinsip Syariah”. Sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UndangUndang No. 10 Tahun 1998, antara lain
menyatakan bahwa Bank Umum adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip
Syariah. Sedangkan Ayat (4) menyatakan bahwa
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang
melaksanakan kegiatan secara konvensional atau
berdasarkan prinsip Syariah. Prinsip Syariah yang
dimaksud dalam undang-undang ini dijelaskan
dalam Pasal 1 angka 13 yaitu adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank
dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan
atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah.
Kebolehan bagi bank-bank konvensional
untuk membuka cabang Syariah atau merubah
diri menjadi Bank Syariah dimaksud, tentu sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
Bank Syariah ataupun BPRS. Ibarat cendawan di
musim hujan tumbuh subur diseluruh tempat di
tanah air. Namun demikian, para praktisi, para
ahli perbankan Syariah serta para akademisi
terkait tetap saja mengharapkan adanya undangundang yang secara khusus mengatur tentang
Bank Syariah.
Harapan tersebut rupanya bak gayung
bersambut, bermula setelah lahirnya UndangUndang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, yang sekarang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, telah
memuat beberapa ketentuan khusus berkaitan
dengan keberadaan dan pengembangan Perbankan Syariah di tanah air. Dalam Pasal 10 Undang
-Undang No 23 Tahun 1999 menyangkut
persoalan pengendalian moneter, Bank Indonesia
telah diberikan amanat untuk melaksanakannya
berdasarkan Prinsip Syariah. Kemudian agar
Bank Syariah dapat beroperasi secara optimal
serta untuk melengkapi aturan hukum beroperasinya Bank Syariah maka lahirlah UndangUndang tentang Perbankan Syariah No 21
Tahun 2008 pada tanggal 16 Juli 2008.
Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah
agar dapat dikategorikan dalam lingkup ekonomi
Syariah, maka ditentukan oleh fatwa MUI.
Sehingga ada dua hal penting yang bisa dibutiri
dari ketentuan ini, yakni terhadap ketentuan

menyangkut Perbankan Syariah maka dalam
aplikasinya fatwa dituangkan dalam peraturan
Bank Indonesia. Ketentuan untuk transaksi
ekonomi Syariah selain Perbankan Syariah, juga
didasarkan pada fatwa MUI namun dalam aturan
lanjutannya diatur oleh peraturan perundangan
atau peraturan lainnya.
MUI sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan dalam bidang keagamaan serta
berhubungan dengan kepentingan umat Islam
Indonesia, membentuk Dewan Syariah Nasional
(DSN). DSN diperuntukkan menangani masalahmasalah yang berhubungan dengan aktivitas
Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Sedangkan
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan
yang ada di LKS dan bertugas mengawasi
pelaksanaan keputusan DSN di LKS.
Pemikiran
untuk
dibentuknya
DSN,
sebenarnya diajukan pertama kali pada lokakarya
Alim Ulama yang diselenggarakan pada tanggal
29-31 Juli 1997 di Jakarta. Alasan pembentukan
DSN pada lokakarya tersebut, selain untuk
membentuk lembaga yang dapat mengintegrasikan dan mengkoordinir setiap DPS yang terdapat
disetiap LKS, juga untuk mengawasi seluruh
kegiatan LKS, agar tidak menyimpang dari
ketentuan Syariah. Selain itu pembentukan DSN
diharapkan juga mampu menjawab berbagai
permasalahan keuangan dan perekonomian
dimana dalam operasionalisasi dan penyelesaiannya memerlukan keterlibatan hukum Syariah.15
Lembaga DSN MUI akhirnya resmi berdiri
tanggal 10 Februari 1999 sesuai dengan Surat
Keputusan
(SK)
MUI
No.
kep754/MUI/II/1999. Otoritas kuat yang dimiliki
oleh lembaga ini adalah penentuan dan
penjagaan menerapan Prinsip Syariah dalam
operasional di LKS seperti perbankan Syariah,
asuransi Syariah, reasuransi Syariah, reksadana
Syariah, obligasi Syariah dan surat berharga
Syariah, pembiayaan Syariah, sekuritas Syariah
dan lain-lain. Hal ini disebabkan LKS ataupun
kegiatan bisnis Syariah lainnya, memiliki
karakteristik khusus yang berbeda dengan
pengelolaan lembaga keuangan atau kegiatan
bisnis konvensional.
Satu hal yang menarik dari menjamurnya
kegiatan-kegiatan usaha dengan prinsip Syariah
ini adalah menyangkut pola penyelesaian
15

Abdul Ghofur Anshori, Aspek Hukum Reksa Dana
Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008),
hlm. 92.

sengketanya terkait
mengenai kewenangan
Pengadilan Agama. Sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama berwenang
memeriksa dan memutus sengketa tentang
ekonomi Syariah.
Jika ditelusuri lebih jauh, kewenangan
mutlak yang selama ini diemban oleh Peradilan
Agama, sebenarnya secara sosiologis telah
dipraktikkan oleh masyarakat. Artinya telah
menjadi hukum yang hidup dan dipraktikkan
masyarakat muslim yang ada di Indonesia.
Berdasarkan fakta demikian, munculnya politik
Hukum Ekonomi Syariah tentu tidaklah terlalu
mengagetkan. Inilah mungkin yang dijadikan
dasar oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan kewenangan ekonomi Syariah dalam
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yang
pertimbangan utamanya adalah “…bahwa
Ekonomi Syariah adalah bidang perdata yang
secara sosiologis merupakan kebutuhan umat
Islam”. Namun luasnya cakupan ekonomi
Syariah tetap saja memerlukan perhatian
tersendiri, jika dibandingkan dengan kewenangan
lainnya dari Peradilan Agama.
Kondisi tersebut di atas tentu melahirkan
beberapa harapan, salah satunya adalah kesiapan
para hakimnya, baik terhadap kajian fikih
Islamnya dan regulasi terkait, serta pemahaman
terhadap produk-produk yang tersedia di
Perbankan Syariah ataupun LKS dan juga
terhadap pola-pola sengketa yang mungkin
terjadi.
Mahkamah Agung RI dalam merealisasikan
kewenangan baru Peradilan Agama tersebut telah
menetapkan beberapa kebijakan16 antara lain :
pertama, memperbaiki sarana dan prasarana
lembaga lembaga Peradilan Agama baik hal yang
menyangkut fisik gedung maupun hal-hal terkait
peralatan. Kedua, meningkatkan kemampuan
teknis sumber daya manusia (SDM) Peradilan
Agama dengan mengadakan kerjasama dengan
beberapa Perguruan Tinggi untuk mendidik para
aparat Peradilan Agama, terutama para hakim
dalam bidang ekonomi Syariah. Ketiga, membentuk hukum formil dan materil agar menjadi
pedoman bagi aparat Peradilan Agama dalam
16

Penjelasan tentang ini ditemui dalam sejarah singkat
penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi, (Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2008), hlm. x-xi.

memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara
ekonomi Syariah. Keempat, membenahi sistem
dan prosedur agar perkara yang menyangkut
ekonomi Syariah dapat dilaksanakan secara
sederhana, mudah dan biaya ringan.
Langkah-langkah konkrit dari bentuk meningkatkan teknis sumber daya manusia,
sebagaimana upaya-upaya Tim E dan Pokja
Agama Mahkamah Agung seperti pertama, mengikuti pelatihan di Sudan, Arab Saudi dan
Negara Timur Tengah lainnya serta pelatihan
sertifikasi hakim Pengadilan Agama. Kedua,
mendorong para hakim Peradilan Agama untuk
mempelajari putusan-putusan tentang sengketa
ekonomi, baik Syariah atau Konvensional, dan
baik putusan Pengadilan Agama ataupun
Pengadilan Negeri. Ketiga, mempelajari cara
penanganan dan pembuatan putusan tentang
sengketa ekonomi Syariah dari hakim lingkungan
Peradilan Umum, yang pernah menangani
sengketa ekonomi Syariah. Keempat, mendorong
hakim dilingkungan Peradilan Agama untuk
mengikuti pendidikan S2 dan S3 bidang
ekonomi. Kelima, melakukan telaahan terhadap
buku-buku dan kitab-kitab yang berkaitan
dengan ekonomi Syariah.
Pihak Bank Indonesia yang semula meragukan kemampuan hakim Pengadilan Agama,
sudah bisa meyakini kemampuan aparat
Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi Syariah. Pihak Bank Indonesia meminta
agar sengketa ekonomi Syariah ditangani oleh
hakim Pengadilan Agama yang sudah
bersertifikat dan disetiap Pengadilan Agama
minimal terdapat satu majelis hakim yang telah
mendapat sertifikat untuk menangani sengketa
ekonomi Syariah.
Menyahuti keinginan tersebut, Peradilan
Agama mentargetkan sekitar kurang lebih 1300
orang hakim Peradilan Agama untuk
mendapatkan sertifikat mengadili sengketa
ekonomi Syariah. Sampai tahun 2012 sudah ada
280 orang hakim yang bersertifikat. Direncanakan pada tahun 2013 akan diusulkan 120 orang
hakim Peradilan Agama untuk mengikuti
pelatihan tersebut. 17
Sedangkan kegiatan yang menyangkut hukum
formil dan materil ekonomi Syariah, ketua
Mahkamah Agung RI telah membentuk Tim
17

Fathurrohman Ghozalie, Laporan Pelatihan Sertifikasi
Ekonomi Syariah, 2013

Penyusunan Kompilasi Hukum
Ekonomi
Syariah berdasarkan Surat Keputusan Nomor :
KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober
2006. Hasil kerja Tim ini kemudian dilaporkan
kepada Ketua Mahkamah Agung yaitu Bagir
Manan untuk selanjutnya dibuatkan payung
hukum untuk pelaksanaannya. Pada Tanggal 10
September 2008 ditetapkanlah Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
KHES terdiri dari empat buku yaitu Buku I
tentang Subjek Hukum dan Amwal. Buku II
tentang Akad. Buku III tentang Zakat dan
Hibah. Buku IV tentang Akuntansi Syariah.
Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan
Agama
Dalam
Mengadili
Sengketa
Ekonomi Syariah
Melingkupi Semua Sengketa Ekonomi
Syariah Bidang Hukum Perdata
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama Pasal 49 menentukan bahwa
Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan
memutus sengketa tentang ekonomi Syariah.
Penjelasan Pasal 49 menyebutkan rincian bidangbidang yang termasuk dalam lingkup ekonomi
Syariah adalah 11 bidang. Adapun yang dimaksud dengan Ekonomi Syari’ah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi :
bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah,
asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana
syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah,
pembiayaan syari’ah, penggadaian syari’ah, dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis
syari’ah.
Penyebutan 11 bidang tersebut di atas,
tentulah tidak bersifat limitatif
hal ini
dikarenakan sebelumnya didahului oleh kata
‘antara lain’, sehingga tentunya tidak tertutup
kemungkinan diluar 11 bidang dimaksud masih
ada bidang kegiatan ekonomi Syariah lainnya
yang masuk. Demikian misalnya masih terbuka
pada bentuk kegiatan usaha seperti perusahaan
Syariah, kepailitan Syariah, persaingan usaha
Syariah, dan lain sebagainya. Walaupun menurut
Abdurrahman (Hakim pada Mahkamah Agung
Republik Indonesia), hal- hal tersebut dalam
kaitannya dengan kewenangan Peradilan Agama

masih terdapat perbedaan pendapat.18 Perbedaan
pendapat menyangkut bidang yang belum
disebutkan dalam 11 bidang dimaksud tentu
selalu saja menimbulkan pertanyaan apakah
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa
dan mengadilinya atau tidak. Tetapi berangkat
dari Penjelasan Pasal 49 tersebut di atas, yang
tidak memberikan pengecualiaan maka lingkup
kewenangan Peradilan Agama bidang ekonomi
Syariah adalah meliputi seluruh perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip Syariah. Dalam rancangan semula
kewenangan ini hanya terbatas pada persoalan
Perbankan Syariah, tetapi kemudian ditambah
menjadi ekonomi Syariah. Karenanya, dalam
Penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan bahwa
penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di
bidang Perbankan Syariah melainkan juga di
bidang ekonomi Syariah lainnya.
Pengertian tentang Prinsip Syariah mengalami
perubahan dalam Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12
bahwa “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang Syariah”. Disamping itu Perbankan
Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya
disamping berasaskan Prinsip Syariah juga
berasaskan kepada demokrasi ekonomi dan
prinsip kehati-hatian. Hal ini tertera dalam Pasal
2 dan dalam Penjelasannya menyebutkan bahwa
kegiatan usaha yang berasaskan prinsip Syariah,
antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsur :
a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara
tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama
kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan
(fadhl) atau dalam transaksi pinjammeminjam yang memberikan syarat kepada
Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan
dana yang diterima melebihi pokok
pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan
kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan;
c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak
jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
18

Abdurrahman, Op.Cit.hlm. 8

keberadaanya, atau tidak dapat diserahkan
pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur
lain dalam syariah;
d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya
dilarang dalam syariah; atau
e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan
ketidakadilan bagi pihak lainnya. Yang
dimaksud
‘demokrasi ekonomi’ adalah
kegiatan ekonomi syariah yang mengandung
nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan,
dan kemanfaatan. Yang dimaksud dengan
‘prinsip kehati-hatian’ adalah pedoman
pengelolaan Bank yang wajib dianut guna
mewujudkan perbankan yang sehat, kuat,
dan efisien sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut Pasal 26 menegaskan bahwa :
(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21
dan/atau produk dan jasa syariah, wajib
tunduk kepada Prinsip Syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama
Indonesia.
(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dituangkan
dalam
Peraturan
Bank
Indonesia.
(4) Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Bank Indonesia membentuk komite
Perbankan Syariah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembentukan, keanggotaan, dan tugas
Komite Perbankan Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia.
Penegasan Prinsip Syariah sebagaimana di
atas, tentu tidak hanya dapat diberlakukan pada
kegiatan usaha terkait Perbankan Syariah, tetapi
juga dapat diimplementasikan pada berbagai
transaksi ekonomi Syariah di luar Perbankan
Syariah, asalkan transaksi ekonomi tersebut
masuk dalam lingkup ekonomi Syariah.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka
semua perkara atau sengketa ekonomi Syariah di
bidang perdata merupakan kewenangan mutlak
lingkungan Peradilan Agama untuk menerima,
memeriksa, memutus dan menyelesaikannya,
kecuali kalau secara tegas ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan.

Melingkupi Sengketa Ekonomi Syariah
yang Tidak Hanya Terjadi antara OrangOrang yang Beragama Islam Melainkan
juga dengan Non Islam
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006
menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan
ekonomi syari’ah”. Kemudian dalam Penjelasan
Pasal 49 diuraikan lebih lanjut bahwa yang
dimaksud “antara orang yang beragama Islam”
adalah termasuk orang atau badan hukum yang
dengan sendirinya menundukan diri dengan
sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Berangkat dari ketentuan ini subyek hukum19
yang dapat berperkara di lingkungan Peradilan
Agama adalah : Pertama, orang yang beragama
Islam. Kedua, orang yang beragama non Islam
namun dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada Hukum Islam. Ketiga,
Badan Hukum yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Hukum Islam.
Dengan demikian subyek hukum yang non
Islam dimungkinkan sebagai pihak dalam
perkara ekonomi Syariah di Peradilan Agama
termasuk Badan Hukum. Asas penting yang
baru diberlakukan dalam ketentuan ini adalah
asas penundukan diri. Penundukkan diri pada
Hukum Islam bisa dilakukan baik karena
keinginan yang bersangkutan menghendaki atau
karena hukum itu sendiri menghendaki
demikian. Jika dikaji isi Penjelasan Pasal tersebut
di atas, terdapat kata “sukarela” sedangkan kata
sebelumnya “dengan sendirinya” sehingga yang
dimaksud dengan penundukan diri dalam
Penjelasan Pasal tersebut bukan penundukan diri
secara sukarela tetapi memang hukum sendiri
19

Subyek hukum yang dimaksud disini adalah segala
sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak
dan kewajiban termasuk Badan Hukum. Yang
dimaksud dengan manusia secara yuridis adalah
orang (persoon) yang dalam hukum mempunyai hak
subyektif dan kewenangan hukum. Sedangkan Badan
Hukum adalah badan yang dapat mempunyai harta
kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang
pribadi…lebih lanjut lihat dalam Hairuman Pasaribu
dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian dalam
Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.

menghendaki demikian. Sehingga sengketa
ekonomi Syariah yang melibatkan subyek hukum
non Islam maka yang bersangkutan harus
tunduk kepada Hukum Islam karena undangundang menghendaki dengan sendirinya
menundukkan diri kepada Hukum Islam
Ketentuan ini telah merubah paradigma lama
bahwa subyek hukumnya hanya terbatas bagi
orang-orang yang Islam saja. Hal ini terutama
sebagai respon atas perkembangan hukum dan
kebutuhan hukum masyarakat serta mengakomodir fakta bahwa banyak pelaku ekonomi
Syariah bukan hanya orang Islam tapi juga non
Islam.
Terkait uraian di atas, Undang-Undang No.
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama pada Pasal 1 Angka 1
menegaskan bahwa “ Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam”. Jika dipahami ketentuan Pasal dalam
Undang-Undang ini tanpa mengkaji perubahan
Undang-Undang sebelumnya maka hanya orangorang yang beragama Islam saja yang bisa
berperkara di Pengadilan Agama. Namun jika
ditelusuri lebih jauh tidak ada ketentuan dalam
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 yang
menggantikan atau merubah Pasal 49 UndangUndang No. 3 Tahun 2006 serta Penjelasannya.
Bercermin pada Pasal 106 A yang
menggariskan bahwa pada saat Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 mulai berlaku, maka UndangUndang No. 7 Tahun 1989 masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.
Dengan demikian aturan ini juga bisa diterapkan
terhadap Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
bahwa Pasal 49 dan Penjelasannya yang terdapat
pada Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006, masih
tetap berlaku karena belum diganti atau diubah
oleh Undang-Undang No. 50 Tahun 2009.
Tidak
Melingkupi
Klausul
yang
Memperjanjikan Penyelesaian Sengketa
Selain Peradilan Agama (Sesuai Isi Akad)
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah Pasal 55 menjelaskan bahwa:
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
sengketa sesuai dengan isi akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak boleh bertentangan
dengan Prinsip Syariah.
Ketentuan tersebut di atas memberikan
penegasan
bahwa penyelesaian sengketa
Perbankan Syariah adalah kewenangan absolut
pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama.
Namun jika para pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa selain ke Pengadilan
Agama maksudnya dengan cara non litigasi,
maka penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad. Dengan demikian gugur
kewenangan
Pengadilan
Agama
untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Sesuai dengan
isi akad dimaksud sebagaimana disebutkan
dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) bisa melalui
proses litigasi ke pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum atau upaya musyawarah,
mediasi perbankan serta melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) atau badan
arbitrase lain. Ketentuan dalam Penjelasan Pasal
55 Ayat (2) ini oleh amar putusan Mahkamah
Konstitusi yang diucapkan dalam sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum
pada Kamis tanggal 29 Agustus 2013, dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena
mengandung ketidakpastian hukum bagi pihak
pencari keadilan.
Tidak Melingkupi Hal-hal Terkait Putusan
Arbitrase Syariah
Berdasarkan Pasal 59 Ayat (3) UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Penjelasannya menentukan
bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan
putusan arbitrase (termasuk Arbitrase Syariah)
secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di
atas, lahirlah Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No. 08 Tahun 2010 tentang Penegasan
tidak Berlakunya SEMA No. 08 tahun 2008
tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase
Syariah yang isinya mengadopsi Pasal 59 Ayat
(3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009,
sebagaimana telah disebutkan di atas.
Sejak terbitnya SEMA No. 08 Tahun 2010
ketentuan dalam SEMA No. 08 Tahun 2008

yakni bahwa Ketua Pengadilan Agama
berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan
Badan Arbitrase Syariah dinyatakan tidak
berlaku.
Jelasnya hal-hal yang menyangkut putusan
Arbitrase Syariah yang bukan lagi kewenangan
absolut Peradilan Agama yakni menyangkut :
Pertama, penyerahanan dan pendaftaran putusan
Arbitrase Syariah. Kedua, pendaftaran permohonan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi.
Ketiga, permohonan pembatalan putusan
Arbitrase dan pemeriksaannya, dalam hal apabila
putusan tersebut diduga mengandung unsurunsur tertentu sebagaimana diatur lebih lanjut
dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan APS.
Demikianlah hal-hal yang harus diperhatikan
ketika membahas persoalan ruang lingkup
kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili
sengketa
ekonomi
Syariah,
meskipun
berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
Peradilan Agama memiliki kompetensi absolut
menangani perkara ekonomi Syariah termasuk
juga di dalamnya sengketa Perbankan Syariah.
Lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008,
Undang-Undang No. 48 tahun 2009 serta SEMA
No. 08 Tahun 2010 kewenangan dalam bidang
dimaksud mengalami reduksi.
Penyelesaian sengketa ekonomi Syariah dalam
lingkup litigasi diwenangi secara mutlak hanya
oleh lembaga Peradilan Agama, sebagaimana isi
amar putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini
dianggap sangat tepat, sebab akan ditemui
keselarasan antara impelementasi hukum materil
yang berlandaskan prinsip-prinsip Syariah
dengan lembaga Peradilan Agama yang memang
merupakan wadah bagi para pencari keadilan
yang beragama Islam atau mereka yang tunduk
pada Hukum Islam, dapat terlaksana dengan
baik. Keraguan terhadap kemampuan Peradilan
Agama dalam menangani sengketa ekonomi
Syariah dan Perbankan Syariah bukanlah alasan
yang logis, karena Peradilan Agama telah
didukung oleh seperangkat aturan yang bersifat
khusus serta aparat yang beragama Islam dan
memiliki kemampuan memahami Hukum Islam
dengan baik.
Penutup
Ekonomi Syariah adalah bidang perdata yang
secara sosiologis merupakan kebutuhan umat
Islam, sebab itu kemudian Undang-Undang No.

3 Tahun 2006
mengamanatkan sengketa
ekonomi Syariah masuk dalam lingkup kewenangan Peradilan Agama. Namun peraturan
perundang-undangan yang lahir belakangan telah
mereduksi kewenangan dimaksud, meskipun
telah lahir putusan MK yang mengembalikan
sebagian kewenangan dimaksud, namun belum
dibarengi
dengan
perubahan
peraturan
perundang-undangan lainnya. Setidaknya ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menentukan batas ruang lingkup kewenangan
Peradilan Agama dalam mengadili sengketa
ekonomi Syariah. Pertama, melingkupi semua
sengketa ekonomi Syariah bidang Hukum
Perdata. Kedua, melingkupi sengketa ekonomi
Syariah yang tidak hanya terjadi antara orangorang yang beragama Islam melainkan juga
dengan non Islam. Ketiga, tidak melingkupi
klausul yang memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain Peradilan Agama (sesuai isi
akad). Keempat, tidak melingkupi hal-hal terkait
putusan arbitrase Syariah.
Sejatinya memang penyelesaian sengketa
ekonomi Syariah dalam lingkup litigasi diwenangi
secara mutlak hanya oleh lembaga Peradilan
Agama. Dengan pertimbangan bahwa akan
ditemui keselarasan antara implementasi hukum
materil yang berlandaskan prinsip-prinsip Syariah
dengan lembaga Peradilan Agama yang memang
merupakan wadah bagi para aparat yang
Beragama Islam, pencari keadilan yang beragama Islam atau mereka yang tunduk pada
Hukum Islam. Sehingga putusan yang
dikeluarkan oleh Peradilan Agama adalah
putusan yang benar-benar bertali ke langit dan
berakar ke bawah (masyarakat).
Daftar Rujukan
Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Indonesia, Makalah Orasi Ilmiah
disampaikan pada Pembukaan Kuliah
Fakultas
Syariah
IAIN
Antasari,
Banjarmasin, 30 Agustus 2010.

Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam,
Zakat dan Wakaf, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, 1988.
Anshori, Abdul Ghofur, Aspek Hukum Reksa
Dana Syariah di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2008.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia,
Raja Grapindo Persada, Jakarta, 1996.
Ghozalie, Fathurrohman,
Laporan Pelatihan
Sertifikasi Ekonomi Syariah, 2013
Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik
Hukum di Indonesia. Dari Otoriter Konservatif
Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000.
Lubis, Hairuman Pasaribu dan Suhrawardi K,
Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996.
Noeh, Zaini Ahmad, (Trans). Daniel S. Lev,
Peradilan Agama di Indonesia, Intermasa,
Jakarta, 1980.
Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan Islam dan
Lembaga-Lembaga terkait
( BAMUI dan Takaful) di Indonesia, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1997.
Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama. Undang-Undang RI No.
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Undang-Undang
RI No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang RI No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah
Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.
08 Tahun 2010 tentang Penegasan tidak
Berlakunya SEMA No. 08 tahun 2008
tentang
Eksekusi Putusan
Badan
Arbitrase Syariah.