Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi

Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi
Judul: Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi
Pengarang : Drs. Masnur Muslich, M.Si.
ISI

Sejarah mencatat bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau, salah satu bahasa
daerah yang berada di wilayah Sumatera. Bahasa Melayu-Riau inilah yang diangkat oleh para
pemuda pada "Konggres Pemoeda", 28 Oktober 1928, di Solo, menjadi bahasa Indonesia.
Pengangkatan dan penamaan bahasaMelayu-Riau menjadi bahasa Indonesia oleh para pemuda
pada saat itu lebih "bersifat politis" daripada "bersifat linguistis". Tujuannya ialah ingin
mempersatukan para pemuda Indonesia, alih-alih disebut bangsa Indonesia. Ketika itu, yang
mengikuti "Kongres Pemoeda" adalah wakil-wakil pemuda Indonesia dari Jong Jawa, Jong Sunda,
Jong Batak, Jong Ambon, dan Jong Selebes. Jadi, secara linguistis, yang dinamakan bahasa
Indonesia saat itu sebenarnya adalah bahasaMelayu. Ciri-ciri kebahasaannya tidak brbeda dengan
bahasa Melayu. Namun, untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,
parapemuda Indonesia pada saat itu "secara politis" menyebutkan bahasa Melayu-iau menjadi
bahasa Indonesia. Nama bahasa Indonesialah yang dianggap bisa memancarkan inspirasi dan
semangat nasionalisme, bukan nama bahasa Melayu yang berbau kedaerahan.
Ikrar yang dikenal dengan nama "Soempah Pemoeda" ini butir ketiga berbunyi "Kami poetera-poeteri
Indonesia, mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia" (Kami putra dan putri
Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia). Ikrar yang diperingati setiap

tahun oleh bangsa Indonesia ini juga memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu bangsa.
Bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif, mutlak diperlukan setiap bangsa. Tanpa bahasa,
bangsa tidak akan mungkin dapat berkembang, bangsa tidak mungkin dpat menggambarkan dan
menunjukkan dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa itu
akhirnya akan lenyap ditelan masa. Jadi, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai
bagian kebudayaan dapat menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan
menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai suatu bangsa. Ikarar
berupa "Soempah Pemoeda" inilah yang menjadi dasar yang kokoh bagi kedududkan dan fungsi
bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, pada perjalanan selanjutnya, bahasa Indonesia
tidak lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi juga berkembang sebagai bahasa negara, bahasa resmi,
dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Setelah hampir dasa windu menjadi bahasa persatuan, bahasa Indonesia memperlihatkan ciricirinya sebagai alat komunikasi yang mutlak diperlukan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia telah
membuktikan diri sebagai bahasa yang tahan uji. Bahasa Indonesia telah menunjukkan identitas
bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia sangat berperan dalam mempersatukan belbagai suku bangsa
yang beraneka adat dan budayanya. Dalam mengemban misinya, bahasa Indonesia terus
berkembang seiring dengan keperluan dan perkembangan bangsa Indonesia, walaupun ada
perkembangan yang menggembirakan dan ada perkembangan yang menyedihkan dan
membahayakan, Dualisme perkembangan ini memang merupakan dinamika dan konsekuensi
bahasa yang hidup Tetapi, karena bahasa Indonesia sudah ditahkikkan sebagai bahasa yang
berkedudukan tinggi oleh bangsa Indonesia, ia harus dipupuk dan disemaikan dengan baik dan

penuh tanggung jawab agar ia bisa benar-benar menjadi "cermin" bangsa Indonesia.
Sebelum Perang Dunia Kedua, bahasa Indonesia tidak dihargai dengan sepantasnya walaupun
dunia pergerakan politik sedmakin banyak memakai bahasa Indonesia. Dunia ilmu pengetahuan dan
dunia pendidikan belum lagi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Kalau ingin memperbaiki
nasib, bukan bahasa Indonesia yang digunakan,melainkan bahasa Belanda sebagai bahasa kaum
penjajah. Bahasa pengantar untuk ilmu pengetahuan adalah bahasa Belanda. Apabila sesorang
ingin dihormati dan disegani dalam pergaulan, ia harus bisa menguasai bahasa Belanda dengan
baik. Bahasa Belanda benar-benar bisa menentukan status pemakainya. Akibatnya, pemakai
bahasa Indonesia merasa apatis atau masa bodoh melihat kekangan-kekangan yang hebat terhadap
bahasa Indonesia ketika itu. Seolah-olah bahasa Indonesia tidak akan mampu menjadi bahasa ilmu
pengetahuan. Kaum penajajh ketika itu memang menginginkan seperti itu sehingga pemakai bahasa
Indonesia merasa diri tidak berguna mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia. Orang
Indonesia ketika itu merasa lebih terpelajar dan terhormat aoabila menguasai bahasa Belanda
dengan baik. Orang Indonesia tidak merasa malu apabila tidak menguasai bahasa Indonesia dengan
baik, tetapu akan merasa ada yang kurang apabila tidk menguasai bahasa Belanda dengan baik.
Akibatnya, tidak banyak orang Indonesia yang mau mempelajari bahasa Indonesia dengan serius
dan cukup menguasai bahasa Indonesia ala kadarnya untuk komunikasi umum. Akhirnya, banyak
pula otang Indonesia yang tidak mahir berbahasa Indonesia , tetapi menguasai dan sangat mahor
berbahasa Belanda.


Pada zaman pendudukan Jepang, bahasa Belanda dilarang pemakaiannya dan harus digani dengan
bahasa Indonesia. Ketika itu, sebagian orang masih meragukan kemampuan bahasa Indonesia
menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk kaum cendekiawannya. Tetapi, karena dipaksa oleh
pemerintah pendudukan Jepang dan didorong oleh pemuda-pemuda Indonesia, orang-orang
Indonesia terpanksa menggunakan bahasa Indonesia untuk setiap ranah pembicaraan. Bahasa
Indonesia mulai populer dan mulai diperhatikan para pemakainya dengan baik. Sesudah itu
terbuktilah bahwa bahasa Indonesia tidak kurang mutunya dibanding dengan bahasa-bahasa asing
lainnya. Bahasa Indonesia pun mulai mengalami perkembangan sesuai dengan kodratnya sebagai
bahasa yang hidup. Bahasa Indonesia terus dipakai pemiliknyadengaqn teratur dan lebih luas.
Sesudah Indonesia merdeka, bahasa Indonensia lebih berkembang lagi dengan baik dan meluas.
Bangsa Indonesia sudah merasakan betapa perlunya membina dan memperhatikan perkembangan
bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia mulai sadar bahwa tanpa bahasa Indonesia, bangsa Indonesia
tidak akan memperoleh kemajuan. Minat bangsa Indonesia untuk mau mempelajari bahasa
Indonesia dengan baik setiap tahun terus bertambah. Akibatnya, bahasa Indonesia mengalami
kemajuan yang pesat. Setelah perkembangan bahasa Indonensia itu sedemikian pesatnya,
sekarang timbullah serangkaian pertanyaan:
- Apakah setiap bangsa Indonesia sudah bangga berbahasa Indonesia sebagai bahasa nasional?
- Apakah setiap bangsa Indonesia sudah mencintai dan menghormati bahasa Indonesia?
- Adakah rasa kebanggan itu timbul dari hati nurani setiap orang yang mengaku berbangsa
Indonesia?

- Apabila setiap bangsa Indonesia sudah mencintai, menghormati, dan bangga berbahasa Indonesia,
apakah mereka sudah membina bahasa Indonesia dengan baik?
- Adakah pemakai bahasa Indonesia itu sudah memathui kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
benar?
- Apakah setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia itu sudah mempergunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar?
Jawaban untuk semua pertanyaan ini tentulah ada di dada masing-masing orang yang menganggap,
mengaku, dan menjadikan dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Jati Diri Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah okok tertentu yang membedakannya
dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Dengan ciriciri umum dan kaidah0kaidah pokok ini pulalah dapat dibedakan mana bahasa Indonesia dan mana
bahasa asing ataupun bahasa daerah. Oleh karena itu, ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok
tersebut merupakan jati diri bahasa Indonesia. Ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok yang
dimaksud adalah antara lain sebagai berikut.
a. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jenis kelamin. Kalau
kita ingin menyatakan jenis kelamin, cukup diberikan kata ketarngan penunjuk jenis kelamin,
misalnya:
- Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan atau wanita.
- Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina.

Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta) untuk
menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk.
Contoh:
Bahasa Inggris : lion - lioness, host - hostess, steward -stewardness.
Bahasa Arab : muslimi - muslimat, mukminin - mukminat, hadirin - hadirat
Bahasa Sanskerta : siswa - siswi, putera - puteri, dewa - dewi. .
Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah beberapa kata yang
berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta; sedangkan perubahan bentuk dalam bahasa
Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan bahasa
Sanskerta pun dilakukan secara leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian, dalam
bahasa Arab, selain kata muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain mukmin, diserap
juga kata mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna 'datang', bukan 'orang yang

datang'), diserap juga kata hadirin dan hadirat. Dalam bahasa Sanskerta, selain dewa, diserap juga
dewi; selain siswa diserap juga siswi. Karena sistem perubahan bentuk dari kedua bahasa tersebut
tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia, maka tidaklah mungkin kita menyatakan kuda betina
dengan bentuk kudi atau kudarat; domba betina dengan bentuk kata dombi atau dombarat. Untuk
menyatakan jenis kelamin tersebut dalam bahasa Indonesia, cukup dengan penambahan jantan
atau betina, yaitu kuda jantan, kuda betina, domba jantan, domba betina. Oleh karena itu, kaidah
yang berlaku dalam bahasa Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga bahasa Inggris tidan bisa

diterapkan ke dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan, tentu struktur bahasa Indonesia
akan rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia akan terganggu.
b. Bahasa Indonesia mempergunakan kata tertentu untuk menunjukkan jamak. Artinya, bahasa
Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jamak. Sistem ini pulalah yang
membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa sing lainnya, misalnya bahasa Inggris, bahasa
Belanda, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa lain. Untuk menyatakan jamak, antara lain,
mempergunakan kata segala, seluruh, para, semua, sebagian, beberapa, dan kata bilangan dua,
tiga, empat, dan seterusnya; misalnya: segala urusan, seluruh tenaga, para siswa, semua persoalan,
sebagian pendapat, beberapa anggota, dua teman, tiga pohon, empat mobil.
Bentuk boy dan man dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi boys dan men ketika menyatakan
jamak, tidak pernah dikenal dalam bahasa Indonesia. Bentuk bukus (jamak dari kata buku),
mahasiswas (jamak dari mahasiswa), dan penas (jamak dari pena), misalnya, tidak dikenal dalam
bahasa Indonesia karena memang bukan kaidah bahasa Indonesia.
c. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan waktu. Kaidah pokok
inilah yang juga membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa asing lainnya. Dalam bahasa
Inggris,misalnya, kita temukan bentuk kata eat (untuk menyatakan sekarang), eating (untuk
menyatakan sedang), dan eaten (untuk menyatakan waktu lampau). Bentukan kata seperti ini tidak
ditemukan dalam bahasa Indonesia. Bentuk kata makan tidak pernah mengalamai perubahan
bentuk yang terkait dengan waktu, misalnya menjadi makaning (untuk menyatakan waktu sedang)
atau makaned (untuk menyatakan waktu lampau). Untuk menyatakan waktu, cukup ditambah katakaa aspek akan, sedang, telah, sudah atau kata keterangan waktu kemarin, seminggu yang lalu, hari

ini, tahun ini, besok, besok lusa, bulan depan, dan sebagainya.
d. Susunan kelompok kata dalam bahasa Indonesia biasanya mempergunakan hukum D-M (hukum
Diterangkan - Menerangkan), yaitu kata yang diterangkan (D) di muka yang menerangkan (M).
Kelompok kata rumah sakit, jam tangan, mobil mewah, baju renang, kamar rias merupakan contoh
hukum D-M ini. Oleh karena itu, setiap kelompok kata yang diserap dari bahasa asing harus
disesuaikan dengan kaidah ini. Dengan demikian, bentuk-bentuk Garuda Hotel, Bali Plaza,
International Tailor, Marah Halim Cup, Jakarta Shopping Center yang tidak sesuai dengan hukum DM harus disesuaikan menjadi Hotel Garuda, Plaza Bali, Penjahit Internasional, Piala Marah Halim,
dan Pusat Perbelanjaan Jakarta. Saya yakin, penyesuaian nama ini tidak akan menurunkan prestise
atau derajat perusahaan atau kegiatan tersebut. Sebaliknya, hal inilah yang disebut dengan
penggunaan bahasa Indonesia yang taat asas, baik dan benar.
e. Bahasa Indonesia juga mengenal lafal baku, yaitu lafal yang tidak dipengaruhi oleh lafal asing
dan/atau lafal daerah. Apabila seseorang menggunakan bahasa Indonesia lisan dan lewat lafalnya
dapat diduga atau dapat diketahui dari suku mana ia berasal,maka lafal orang itu bukanlah lafal
bahasa Indonesia baku. Dengan kata lain, kata-kata bahasa Indonesia harus bebas dari pengaruh
lafal asig dan/atau lafal daerah. Kesulitan yang dialami oleh sebagian besar pemakai bahasa
Indonesia adalah sampai saat ini belum disusun kamus lafal bahasa Indonesia yang lengkap.
Akibatnya, sampai sekarang belum adapatokan yang jelas untuk pelafalan kata peka, teras, perang,
sistem, elang. Tetapi, pengucapan semangkin (untuk semakin), mengharapken (untuk
mengharapkan), semua (untuk semua), mengapa (untuk mengapa), thenthu (untuk tentu), therima
kaseh (untuk terima kasih), mBandung (untuki Bandung), dan nDemak (untuk Demak) bukanlah lafal

baku bahasa Indonesia.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai
bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya
lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu.
Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja
muncul secara bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja.
Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak "Soempah Pemoeda", 28 Oktober 1928, yang
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk
mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat bahwa bahasa

Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan
suku vangsa atau etnik. Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa
Indonesia bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan menggunakan
bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk. Kehadiran
bahasaIndonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi
etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai
pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang

budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai
bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial
budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan
daerah dan golongan.
Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan
antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan
dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang
Indonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan
memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya
peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalamn fungsinya sebagai alat
perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya sarana
perhubungan, bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum, bertambah banyaknya
jumlah perkawinan antarsuku, dan bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau
karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulau dikenal sejak 17 Agustus 1945 ketika bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa
Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa
nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan

pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh
bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus dibina dan
dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung
tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia
Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri
sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili
identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian
rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak diperlukan,
misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah.kata tersebut sudah
ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa
Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau
beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum
sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa
seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang
demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat
diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini
tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan
akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia,

yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara,
bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara
lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat
yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia.
Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi
tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato
kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga
masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan
harus menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa
perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah
satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan
atau pagawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada
seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah
kewibawaan bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai

sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai
sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan
formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat
antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah
pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah. Dengan kata
lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi
formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi
tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara bawahan - atasan, mahasiswa dosen, kepala dinas - bupati atau walikota, kepala desa - camat, dan sebagainya.
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa Indonesia pun
kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa
negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia
merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas
sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia
dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah
bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, dalam
kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu
pengetahuna dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek
dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta
penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum
dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak
lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti
perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia bertambah perannya
sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun dipakai bangsa Indonesia sebagai alat untuk
mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan.
Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, mulai
dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan
tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa daerah boleh dipakai
sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga
(kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di perguruan
tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa - skripsi, tesis, disertasi, dan hasil atau laporan
penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia telah mampu sebagai alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahsa
bahasa Indonesia belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek.

Sikap Pemakai Bahasa Indonesia yang Negatif
Bangsa Indonesia, sebagai pemakai bahasa Indonesia, seharusnya bangga menggunakan bahasa
Indonesia sebagai alay komunikasi. Dengan bahasa Indonesia, mereka bisa menyampaikan
perasaan dan pikirannya dengan sempurna dan lengkap kepada orang lain. Mereka semestinya
bangga memiliki bahasa yang demikian itu. Namun, berbagai kenyataan yang terjadi, tidaklah
demikian. Rasa bangga berbahasa Indonesia belum lagi tertanam pada setiap orang Indonesia.
Rasa menghargai bahasa asing (dahulu bahasa Belanda, sekarang bahasa Inggris) masih terus
menampak pada sebagian besar bangsa Indonesia. Mereka menganggap bahwa bahasa asing lebih
tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Bahkan, mereka seolah tidak mau tahu perkembangan
bahasa Indonesia.
Fenomena negatif yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain sebagai
berikut.
a. Banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan bangga kemahirannya menggunakan bahasa
Inggris, walaupun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
b. Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak
pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia.
c. Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya
karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
d. Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai
bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna.

Kenyataan-kenyataan tersebut merupakan sikap pemakai bahasa Indonesia yang negatif dan tidak
baik. Hal itu akan berdampak negatif pula pada perkembangan bahasa Indonesia. Sebagian
pemakai bahasa Indonesia menjadi pesimis, menganggap rendah, dan tidak percaya kemampuan
bahasa Indonesia dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan lengkap, jelas, dan
sempurna. Akibat lanjut yang timbul dari kenyataan-kenyataan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapanungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan itu sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia.
Misalnya, page, background, reality, alternatif, airport, masing-masing untuk "halaman", "latar
belakang", "kenyataan", "(kemungkinan) pilihan", dan "lapangan terbang" atau "bandara".
b. Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan kata
dan istilah asing yang "amat asing", "terlalu asing", atau "hiper asing". Hal ini terjadi karena salah
pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut,misalnya rokh, insyaf, fihak, fatsal, syarat
(muatan), (dianggap) syah. Padahal, kata-kata itu cukup diucapkan dan ditulis roh, insaf, pihak,
pasal, sarat (muatan), dan (dianggap) sah.
c. Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai
bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang mempunyai
bermacam-mecam kamus bahasa asing tetapi tidakmempunyai satu pun kamus bahasa Indonesia.
Seolah-olah seluruh kosakata bahasa Indonesia telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya,kalau
mereka kesulitan menjelaskan atau menerapkan kata-kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia,
mereka akan mencari jalan pintas dengan cara sederhana dan mudah. Misalnya, pengggunaan kata
yang mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan, pemakaian
kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.
Kenyataan-kenyataan dan akibat-akibat tersebut kalau tidak diperbaiki akan berakibat
perkembangan bahasa Indonesia terhambat. Sebagai warga negara Indonesia yang baik,
sepantasnyalah bahasa Indonesia itu dicintai dan dijag. Bahasa Indonesia harus dibina dan
dikembangkan dengan baik karena bahasa Indonesia itu meruoakan salah satu identitas atau jati diri
bangsa Indonesia. Setiap orang Indonesia patutlah bersikap positif terhadap bahasa Indonesia,
janganlah menganggap remeh dan bersikap negatif. Setiap orang Indonesia mestilah berusaha agar
selalu cermat dan teratur menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia yang
baik, mestilah dikembangkan budaya malu apabila meraka tidak memperguanakn bahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang dipenuhi oleh kata,
istilah, dan ungkapan asing merupakan bahasa Indonesia yang "canggih" adalah anggapan yang
keliru. Begitu juga, penggunaan kalimat yang berpanjang-panjang dan berbelit-belit, sudah tentu
memperlihatkan kekacauan cara berpikir orang yang menggunakan kalimat itu. Apabila seseorang
menggunakan bahasa dengan kacau-balau, sudah tentu hal itu menggambarkan jalan pikiran yang
kacau-balau pula. Sebaliknya, apabila seseorang menggunakan bahasa dengan teratur, jelas, dan
bersistem, cara berpikir orang itu teratur dan jelas pula. Oleh sebab itu, sudah seharusnyalah setiap
orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang teratur, jelas, bersistem, dan benar agar
jalan pikiran orang Indonesia (sebagai pemilik bahasa Indonesia) juga teratur dan mudah dipahami
orang lain.

Jati Diri Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi
Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap
warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh
dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan
budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya
terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta
pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri
bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua
menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yan berlaku
dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata
lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh
terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan
kondisinya.
Seiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah pembina bahasa
Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan bahasa Indonesia ialah
menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Untuk menyatakan sikap
positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap
kebanggaan berbahasa Indonesia. Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia teruangkap jika bangsa
Indonesia lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar

pengaruh asing tidak terlalu berlebihan. Sikap kebanggan berbahasa Indonesia terungkap melalui
kesadaran bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat
dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-halusnya. Yang perlu dipahami adalah sikap positif
terhadap bahasa Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa
Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia (sebagaimana aliran purisme) dan
menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu,
bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif dan mana pengaruh yang
negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap positif seperti inilah yang bisa
menanamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan
bahasa asing lain. Masing-masing bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif
terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya disiplin
berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia
untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini
sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini.
Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada bahasa, tanah air,
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara Indonesia mesti bangga mempunyai
bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah
yang dapat menimbulkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga
negara yang baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif, baik, dan terpuji.
Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak baik, dan tidak terpuji, akan
berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang kurang terbina dengan baik. Mereka
menggunakan bahasa Indonesia "asal orang mengerti". Muncullah pemakaian bahasa Indonesia
sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung
perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Mereka tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padalah, pemakai bahasa
Indonesia mengenal ungkapan "Bahasa menunjukkan bangsa", yang membaw pengertian bahwa
bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa itu. Apabila pemakai
bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun kurang berdisiplin
dalam berpikir. Akibat lebih lanjut bisa diduga bahwa sikap pemakai bahasa itu dalam kehidupan
sehari-hari pun akan kurang berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era
globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin dalam segala segi kehidupan
akan mengakibatkan kekacauan cara berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini
terjadi, kemajuan bangsa Indonesia pasti terhambat dan akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di
tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Untuk itu, bangsa Indonesia harus
mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan
adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia
memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, Tatabahasanya
mempunyai sistem sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan dan ketidakrumitan
inilah salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika mempelajari bahasa Indonesia. Setiap
bangsa asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat menguasai dalam waktu yang cukup
singkat. Namun, kesederhaan dan ketidakrumitan tersebut tidak mengurangi kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia dalam pergaulan dan dunia kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah
pergaulan antarbangsa. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri dapat dipergunakan untuk
menyampaikan pikiran-pikiran yang rumit dalam ilmu pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan
tepat. Bahasa Indonesia menjadi ciri budaya bangsa Indonesia yang dapat diandalkan di tengahtengah pergaulan antarbangsa pada era globalisasi ini. Bahkan, bahasa Indonesia pun saat ini
menjadi bahan pembelajaran di negara-negara asing seperti Australia, Belanda, Jepanh, Amerika
Serikat, Inggris, Cina, dan Korea Selatan.

Penutup
Tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa
Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan tertatur kacaunya bahasa Indonesia
merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik.
Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina dan
mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah yang positif. Usaha-usaha ini, antara lain dengan
meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia pada era globalisasi ini, yang sangat ketat dengan
persaingan di segala sektor kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah
pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia sehingga rasa
tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan tumbuh dengan
subur di sanubari setiap pemakai bahasa Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun
akan bertambah besar dan bertambah mendalam. Sudah barang tentu, ini semuanya merupakan

harapan

bersama,

harapan

setiap

orang

yang

mengaku

berbangsa

Indonesia.

Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia merupakan ciri bangsa Indonesia yang perlu
terus dipertahankan. Pergaulan antarbangsa memerlukan alat komunikasi yang sederhana, mudah
dipahami, dan mampu menyampaikan pikiran yang lengkap. Oleh karena itu, bahasa Indonesia
harus bterus dibina dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi kebanggaan bagi bangsa
Indonesia dalam pergalan antarbangsa pada era globalisasi ini. Apabila kebanggaan berbahasa
Indonesia dengan jati diri yang ada tidak tertanam di sanubari setiap bangsa Indonesia, bahasa
Indonesia akan mati dan ditinggalkan pemakainya karena adanya kekacauan dalam pengungkapan
pikiran. Akibatnya bangsa Indonesia akan kehilangan salah satu jati dirinya. Kalau sudah demikian,
bangsa Indonesia "akan ditelan" oleh bangsa lain yang selalu melaksanakan tugas dan
pekerjaannya dengan menggunakan bahasa yang teratur dan berdisiplin tinggi. Sudah barang tentu,
hal seperti harus dapat dihindarkan pada era globalisasi ini. Apalagi, keadaan seperti ini bukan
merupakan keinginan bangsa Indonesia

Kelebihan : Bahasa ,udah dimengerti, berdasar fakta.
Kekurangan : kurang menjelaskan sikap yang harus ditingkatkan demi mengurangi dampak negative
globalisasi.
Saran : Tingkatkan rasa cinta tanah air, gunakan bahasa Indonesia dengan bangga karena bahasa
Indonesia adalah bahasa pemersatu.