Di era globalisasi ini era

Di era globalisasi ini, perkembangan ilmu dan teknologi sangat cepat. Sejumlah penemuan
dan inovasi memberikan kontribusi yang tinggi munculnya produk-produk baru yang
membudahkan pekerjaan manusia. Akan tetapi sangat disayangkan kebanyakan para ilmuwan
yang muncul berasal dari negeri barat yang rata-rata bukan berasal dari kaum musalimin.
Lantas dimanakah para ilmuwan muslimin itu? Bukankah dalam islam disebutkan bahwa tiap
muslim itu diwajibkan menuntut ilmu?Apakah kaum muslimin kini menyadari bahwa kita
sedang mengalami apa yang dimaksud engan Ghozwul Fikri (Perang pemikiran)?
Definisi Ilmu dan Ilmu Pengetahuan
Menurut Sutrisno Hadi, ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman
dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara harmonis
dalam suatu bangunan yang teratur.
Sedangkan ilmu itu sendiri (yang berasal dari kata science) adalah rangkaian keterangan
tentang sesuatu yang berasal dari pengamatan gejala-gejala alamiah (fenomena) melalui studi
dan pengalaman yang disusun dalam sebuah sistem untuk menentukan hakekat dari yang
dimaksud. Dari pengertian ini terlihat bahwa rasio lebih dominan.
Menurut pemikiran manusia secara umum, hakekat ilmu adalah hubungan antara subyek
terhadap obyek (timbale balik) menurut suatu idea (cita-cita). Selain definisi tersebut, masih
banyak definisi lain tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dari para ahli, tetapi bagaimana
halnya menurut Al-Qur’an?
Pada Al-Baqarah:31
secara fungsional berlaku pada kita bahwa ilmu yang pertama adalah wahyu Allah. Dan Dia

mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Dan juga dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 1 dan 2 bahwa Al-Qur’an adalah suatu
ilmu.(Tuhan ) Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Qur’an..
Dan yang dimaksud ilmu dalam Al-Qur’an adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari
Allah.yang diberikan kepada manusia baik melalui rasu-Nya ataupun langsung kepada
manusia yang menghendakinya tentang alam semesta sebagi ciptaan Allah yang bergantung
menurut ketentuan dan kepastian-Nya.
Al -Qur’an sebagai sumber dari segala Ilmu Pengetahuan
Terkadang manusia tidak menyadari bahwa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul
dalam pemikiran mereka akan alam beserta isinya terdapat dalam Al-Qur’an. Namun
bukannya justru kembali ke Al-Qur’an, malah mencari sumber dari berbagai buku, internet
dan sebagainya. Padahal jawaban dari masalah pengetahuan itu secara tersurat/tersirat
terdapat dalam Al-Qur’an.
Mulai dari hal yang kecil, seperti Metodologi Penelitian. Islam memandang bahwa dalam
menyususn penelitian, seorang peneliti harus dapat memandang permasalahan secra jujur an
melepaskan subyektifnya, baik subyektif dalam hal perasaan ataupun lingkungannya. Dalam
Al-Maidah ayat 27-31 disebutkan bahwa seorang anak Adam yang mengambil kesimpulan


berdasarkan subyektifnya, akan berakibat melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap
saudaranya. Akibat dari tindak-tanduknya yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan
secara tuntas, membuatnya bingung sendiri. Selain itu, ayat ini menjelaskan bahwa manusia
banyak pula mengambil pelajaran dari alam dan jangan segan-segan mengambil pelajaran
dari yang lebih rendah tingkatan pengetahuannya.
Berikut ini beberapa potongan ayat tentang teknologi
Yunus:101,
Katakanlah:”Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfat tanda
kekuasaan Allah dan asul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak
beriman”
Thaahaa:114
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa
membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katkanlah:”Ya
Tuhanku, tambahkanlah kepadaku Ilmu Pengetahuan
Al-Mulk:3-4
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.Kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulangulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali padamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.
Al-Alaq:1-5

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Ijtihad
Beberapa kasus/masalah ilmu pengetahuan yang tidak terjawab oleh Al-Qur’an secara
gamblang (disebabkan kondisi yag berbeda), dapat dicarikan jawaban/solusi dengan ijtihad,
yaitu: bersungguh-sunguh /kesungguhan dalam rangka memahami hidayah yang diberikan
oleh Allah.Menurut Mahmud Syaltout, salah satu wawasa yang menjadi focus dalam kegiatan
ijtihad adalah bagaimana usaha untuk memahami makna Al-Qur’an dan Al-Hadis sehinga
kesimpulannya menjadi jelas.
Ghozwul Fikri-perang pemikiran
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sedemikian cepat, membuat manusia
terlena. Disadari atau tidak secara tidak langsung, para kaum Nasrani dan Yahudi mengubah

pola perang mereka, dari fisik menjadi pemikiran. Melalui teknologi, saluran komunikasi,
informasi perang itu terjadi. Lihat saja berbagai situs di internet yang terkadang kita tidak
diketahui sumbernya beanr/tidak, menjadi saluran/strategi perang pemikiran yang efektif.
Lihat saja kenyataannya, tidak sedikit situs-situs jaringan seperti Friendster, dsb menjadi
rutinitas dan hal yang utama bagi tiap remaja untuk mencari teman, dsb. Dan bila kita tidak

cerdik mengikapi perkembangan teknologi dan informasi ini, kita bisa terseret bahkan
menjadi budak teknologi. Dan tidak sedikit terjadi waktu sholat/ibadah terbuang karena ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dan bila manusia telah jauh dari Iman, dari islam dan Tuhannya,
ilmu yang ia miliki tidak akan memberi manfaat, malah dapat menjadi penghambat atau
menimbulkan kerusakan.
Oleh sebab itu sebagai insan cendikia yang bernafaskan islam, sudah selayaknya dalam
menuntut ilmu dan mengikuti perkembangan teknologi, hendaknya juga dilandasi oleh iman,
dan secara cerdik memanfaatkan saluran informasi dan teknologi itu untuk menghadapi
perlawanan terselubung kaum Nasrani dan Yahudi. Sudah seharusnya kaum muslimin
mengendalikan teknologi untuk kebaikan bukan menjadi budak teknologi sehingga dapat
menghadapi Ghozwul Fikri.
Al-Maaidah:75,
… Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-anda
kekuasaan (kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari
memperhatikan ayat-ayat Kami itu)
Al-Hajj:46
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan
itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar?Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati
yang didalam

Ar-ruum:50
Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allha, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang
sudah mati.Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa
menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu
Daftar pustaka
Al-Qur’an dan terjemahannya
Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an sumber segala disiplin ilmu.Gema Insani Press:1996.
Jusuf, H.Z. Pendidikan Agama Islam (suatu analisis ransangan afeksi).IKIP Jakarta.1990
Ditulis dalam rangka memenuhi tugas akhir perkuliahan Agama Islam II, UNJ, 2006
see more at my blog http://tukerpikiran.blogspot.com
sumber: http://tpers.net/2007/09/memandang-ilmu-pengetahuan-dan-teknologi-darikacamata-islam/

Copas Artikel Ini ? Ijin Dulu Dengan Saya/Admin dan Gunakan Sumber Link Seperti di
Bawah,Copas Tanpa Sumber Maka Blog Anda Saya Laporkan Pada Pihak Googl
Sumber : http://mukzizat-islam.blogspot.com/2011/05/islam-for-all-memandangilmu.html#ixzz2htBBqmd8
http://mukzizat-islam.blogspot.com/2011/05/islam-for-all-memandang-ilmu.html
Islam
For All: Memandang ilmu Pengetahuan dan teknologi dari kacamata Islam
[url=http://mukzizat-islam.blogspot.com/2011/05/islam-for-all-memandang-ilmu.html]/Islam For All:
Memandang ilmu Pengetahuan dan teknologi dari kacamata Islam[/url]

Ilmu pengetahuan umum yang berhubungan dengan masalah-masalah keduniaan
juga manfaatnya bagi masyarakat tidak berbeda dengan manfaat ilmu agama, asalkan
digunakan sejalan dengan tuntunan agama. Manusia dengan akalnya diberikan oleh
Allah kemampuan untuk menyerap sejumlah ilmu pengetahuan, walaupun hanya
sedikit saja dibandingkan dengan kesempurnaan ilmu Allah, akan tetapi tetap harus
berpegang kepada kebenaran untuk mencari ridho Allah SWT.
http://hadi-abdillah.blogspot.com/2012/04/bagaimana-islam-memandang-ilmu.html

Dalam Islam agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat
menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga
mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah
agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi
Muhammad SAW. Dengan karakternya yang demikian itu, maka Pendidikan Islam tidak
mendikotomikan agama dan ilmu. Dalam islam agama menetapkan tujuan yang harus
dicapai manusia, sedangkan ilmu membantu mempercepat sampainya pada tujuan
tersebut. Seseorang yang ingin melaksanakan ajaran agama dalam bentuk menunaikan
ibadah haji, misalnya, ia membutuhkan produk ilmu dan teknologi berupa pesawat
udara. Islam juga memandang bahwa manusia adalah makhluk yang disamping
memiliki keunggulan dan keistimewaan, juga memiliki keterbatasan. Fisik, akal,

perasaan, dan potensi lainnya yang dimiliki manusia serba terbatas. Untuk itulah agama
datang melengkapi, menolong, menyempurnakan pengetahuan yang terbatas itu. Ilmu
yang bersumber pada rasio memerlukan agama yang berasal dari Tuhan. Ilmu yang
kebenarannya relatif harus tunduk kepada agama yang kebenarannya mutlak. Ilmu yang
hanya berbicara hal-hal yang bersifat empiris perlu disempurnakan dengan agama yang
berbicara tentang yang ghaib.
Berdasarkan analisis tersebut di atas, tidak pada tempatnya untuk mengatakan
bahwa di dalam Alquran terdapat seluruh ilmu pengetahuan, karena walaupun
pernyataan tersebut secara lahiriah ingin mengagungkan Alquran, tetapi sebaliknya
pernyataan tersebut dapat menjatuhkan kedudukan Alquran. Ilmu pengetahuan
kebenarannya relatif, bisa salah dan suatu saat tidak diperlukan lagi. Jika di dalam
Alquran terdapat seluruh ilmu pengetahuan, boleh jadi akan ada ayat-ayat Alquran yang
relatif kebenarannya sehingga bisa dibatalkan. Keadaan ini tidak boleh terjadi.

Menghubungkan Islam (Alquran) dengan Ilmu pengetahuan, termasuk dengan
Ilmu Pendidikan, bukan dengan melihat, misalnya adakah teori relativitas atau bahasan
tentang angkasa luar; adakah ilmu komputer tercantum dalam Alquran dan sebagainya;
tetapi yang lebih diutamakan oleh Alquran adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya
menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat
Alquran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan

kata lain, Alquran meletakkan ilmu pengetahuan pada sisi social psychology (psikologi
sosial)-nya, dan bukan pada sisi history of scientific progress (sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan)nya.
Selanjutnya perlu ditambahkan, bahwa sekalipun terdapat kata Islam dalam Ilmu
Pendidikan Islam, namun dalam Ilmu Pendidikan Islam bukanlah Alquran atau setara
dengan Alquran. Bagaimanapun hebatnya, Ilmu Pendidikan Islam adalah sebagai sebuah
hasil Ijtihad yang tidak luput dari kesalahan. Namun demikian, ilmu pendidikan Islam
bukan pula ilmu yang liberal atau bebas nilai. Ilmu Pendidikan Islam adalah hasil ijtihad
yang dibimbing oleh ajaran Islam yang bersumber pada Alquran dan al-Sunnah.
Bimbingan tersebut antara lain terlihat pada adanya nilai-nilai ajaran Alquran
sebagaimana tersebut di atas yang menjadi prinsip pengembangan ilmu pendidikan
Islam tersebut, dan sekaligus menjadi karakternya. Dengan demikian Ilmu Pendidikan
Islam adalah ilmu yang dihasilkan melalui ijtihad yang terbimbing oleh nilai-nilai ajaran
Alquran dan al-Sunnah dan bukan ilmu pendidikan Barat yang didasarkan pada hasil
ijtihad manusia semata-mata.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diperoleh pengertian bahwa Ilmu
Pendidikan Islam adalah ilmu yang membahas berbagai teori, konsep, dan desain
tentang berbagai aspek atau komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses
belajar mengajar dan sebagainya yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam
sebagaimana terdapat di dalam Alquran dan al-Sunnah. Kata Islam yang berada di

belakang kata ”Ilmu Pendidikan,” selain berfungsi sebagai sumber informasi, motivasi,
dan tujuan, juga menjadi karakter Ilmu Pendidikan Islam, yang selanjutnya
membedakan dirinya dengan Ilmu Pendidikan yang berasal dari Barat. Dengan
karakternya yang demikian itu, Ilmu Pendidikan Islam, bukan ilmu yang bersifat ekslusif
dan statis, melainkan ilmu yang terbuka, menerima berbagai pengaruh dari luar, dan
terus mengalami perkembangan sepanjang pengaruh tersebut tetap sejalan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam.
Referensi
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Rajawali Pers:
Jakarta, 2009.
http://susihandayaniiii.blogspot.com/2012/11/konsepsi-dasar-islam-terhadap.html

Perkembangan peradaban manusia jauh lebih cepat dibandingkan dengan makluk lainnya di
dunia ini. Sejak kelahirannya di dunia manusia terus berkembang dan mengembangkan
dirinya demi mencapai kenikmatan, kesenangan, kesejahteraan, dan berbagai keindahan
hidup lain, yang bisa jadi tidak pernah dinikmati oleh binatang, atau makluk lain ciptaan
Allah SWT. Peradaban yang terus berkembang pada dasarnya didorong oleh hasrat manusia
yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Manusia selalu ingin mendapatkan
lebih dari apa yang dimiliki. Hasrat ini, disatu sisi mendorong manusia untuk terus berusaha


melakukan perubahan dan menemukan hal-hal baru, namun di sisi lain sering mendorong
manusia terjerumus ke dalam “jurang” yang tidak berujung.
Peradaban manusia pada hakikatnya adalah hasil dari proses upaya manusia untuk
menemukan sesuatu yang baru untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai upaya yang
dilakukan manusia berbeda, karena tuntutan kebutuhan yang berbeda. Bisa juga perbedaan
tersebut diakibatkan oleh cara dan proses yang dilakukan antara satu manusia dengan
manusia lainnya berbeda. Justru perbedaan inilah yang menghasilkan dan memperkaya
peradaban manusia tersebut.
Salah satu wujud peradaban manusia yang sangat cepat berkembang adalah dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan pada bidang ini selain mendorong dirinya
untuk berkembang juga mendorong bidang lain untuk terus juga ikut berkembang, seperti
kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi yang sangat mengagumkan.
Sama halnya dengan bidang lain, sudah menjadi sunatullah, bidang inipun dalam
perkembangannya beragam dan bervariasi. Keberagaman ini disebabkan oleh banyak factor
diantaranya disebabkan oleh cara, proses, asal-usul, dan hubungannya (epistemology) (AlHussaini, 2007) dengan manusia dalam mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang menjadi
minat dan perhatiannya yang juga berbeda.
Masing-masing bidang tentu memberi dampak dan manfaat yang berbeda bagi kehidupan
manusia; masing-masing memberi kepuasan dengan jenis dan tingkat yang berbeda. Sehingga
satu bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa mengklaim bahwa hanya
bidangnyalah yang paling benar, paling bermanfaat, dan paling penting dalam kehidupan

manusia. Dalam hal ini diperlukan keterbukaan sikap pada setiap individu yang
mengembangkan suatu bidang atau disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi dan
memperhatikan prinsip holistik dalam upaya mencari kebenaran ilmu yang diusungnya.

PERBEDAAN KESADARAN
Keragaman dan perbedaan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan lain sering
bertentangan atau dipertentangkan. “Pertentangan” antar-ilmu pengetahuan ini disebabkan
karena cara, proses, dan sumber (epistemology) ilmu pengetahuan sendiri yang berbeda
memang tidak bisa dihindari. Dilihat dari sumbernya, berbagai kategori telah berkembang,
seperti sumber ilmu pengetahuan yang berasal dari barat dan timur, ilmu pengetahuan
tradisional dan modern, dan kategori lainnya. Sumber ilmu pengetahuan barat yang berasal
dari proses pemikiran yang rasional dan empiris, berbeda dengan sumber ilmu pengetahuan
timur yang berasal dari intuisi dan wahyu; Sebagai contoh, teori kepribadian barat yang
dinilai bersifat relatif dan tidak mutlak, berbeda dengan teori sufis dari timur yang dinilai
bersifat mutlak.
“Pertarungan” antarkedua kutub terus berlangsung, masing-masing merasa yang paling benar.
Hal ini disebabkan oleh karena kedua “kutub” masing-masing menggunakan terminology dan
indicator yang berbeda dalam menentukan kebenaran dari ilmu yang dikembangkannya. Teori
kepribadian sufis, misalnya, menilai dirinya sebagai teori yang universal karena tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu, dan dapat diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan. Sedangkan teori
saintifik modern lebih terbatas oleh waktu, tertutama bila tidak didukung oleh penemuanpenemuan terbaru.

Para filosof Islam, misalnya, meyakini bahwa Islam memiliki sejumlah pilar utama dalam
pencarian kebenaran (epistemologi), salah satunya adalah tasawuf. Aspek epistemologi Islam
ini dapat dijadikan sebagai alternatif di jaman modern ini dimana kebanyakan manusianya
telah dikuasai oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya
barat yang materialitik dan sekularistik. Al-Hussaini menilai bahwa filsafat pengetahuan barat
yang hanya menilai keabsahan ilmu pengetahuan semata-mata yang bersifat induktif-empiris,
rasional-deduktif, dan pragmatis, serta menafikkan atau menolak ilmu pengetahuan nonempiris dan non-positivisme, merupakan suatu masalah yang akut. Karena pada saat
paradigma ini berhasil menemukan cabang disiplin suatu ilmu, maka penemuannya sering
mereduksi sebuah kenyataan menjadi hanya kumpulan fakta dan bersifat material. Adam
Smith, misalnya, pada saat bicara teori ekonomi, ia bicara tentang prinsip “mekanisme
pasar”, dan Charles Darwin dalam biologi berbicara tentang “mekanisme evolusi”. Jelas ini
menampikkan peran Penguasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah mengatur seluruh sendi
kehidupan manusia. Dengan kata lain, paradigam mekanistik-materialistik telah
mengesampingkan Tuhan dari wacara keilmuan dan mempromosikan sekularisme (AlHussaini, 2007)
Kondisi, sebagaimana yang digambarkan di atas, mendorong digunakannya berbagai cara,
proses dan sumber ilmu (epistemologi) yang menyeluruh (holistik) dan komprehensif.
Dengan demikian, maka pengembangan epistemology berwawasan holistik akan kebenaran
pengetahuan selalu bersifat intersubjektif, dimana keberadaan suatu ilmu tidak direduksi ke
dalam satu aspek kebenaran dan kepastian tertentu saja. Hal ini sejalan dengan esensi dari
epistemologi, yaitu suatu usaha membiarkan pikiran untuk mencapai pengenalan akan
esensinya sendiri, dan berusaha mengekspresikan dan menunjukkan kepada dirinya sendiri
tentang dasar-dasar kepastian yang sifatnya utuh, kokoh, dan holistik (Watloly, 2001)

KEBENARAN PENGETAHUAN YANG RELATIF
Prinsip holistik bermaksud menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai sifat analogis.
Kehadiran pengetahuan tidak dinyatakan secara sama, misalnya pengetahuan di dalam
persepsi indrawi tidak sama seperti pengetahuan abstrak atau pengalaman moral. Karena
panca indra manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas
eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam
menangkap objek luar. Kesadaran tidak bersifat subjektif murni, tetapi memiliki keterarahan
kepada yang lain yang bukan-diri yang sesungguhnya dan mempunyai tingkat kejelasan yang
berbeda.
Para saintis umumnya cenderung memaksakan adanya suatu jenis epistemology tertentu yang
benar-benar pantas disebut pengetahuan. Mereka menekankan adanya jaminan metode dan
ukuran kebenaran tertentu saja yang dapat menentukan ketepatan dan kejelasan suatu
kebenaran ilmiah. Hal ini berakibat pada sikap yang cenderung menolak kebenaran lainnya
dan hanya memandangnya sebagai sesuatu yang mendekati kedudukan ilmiah (Greg
Soetomo, 1995: 14). Cara demikian ini sangat tidak memadai karena untuk menghasilkan
suatu definisi yang pasti dan tetap mengenai pengetahuan adalah hal yang tidak mungkin.
Pengetahuan manusia selalu bersifat dialogis. Sifat analog dalam pengetahuan mensyaratkan
bahwa sifat awal yang tepat bagi ilmuwan adalah kerendahan hati di dalam menghadapi
pengalaman dengan sikap keterbukaan total.

Prinsip holistik mensyaratkan bahwa dibutuhkan sikap kehati-hatian dalam rangka mencari
pernyataan-pernyataan epsitemologis yang lebih pasti. Tidak ada kebenaran yang sifatnya
mutlak dalam setiap pernyataan pengetahuan yang bersifat reduksi sektoral, walaupun adalah
hak setiap orang untuk membuat pernyataan atau penegasan. Tidak ada kebenaran dan
kepastian yang sifatnya “exemplaris” (tidak selamanya A=A, bersifat analog bukan univok),
sebab kebenaran dan kepastian itu penuh nuansa dan membangun perspektif.
Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau
bisa disebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif atau
transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif. Tiga jenis kebenaran ini bisa
berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan. Sedangkan dalam epistemology Islam, konsep
kebenaran ilmu pengetahuan di samping mencakup kebenaran korespondensi, koherensi dan
pragmatisme, juga yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain
mungkin didapat melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya
didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihanlatihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang
sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu
pengetahuan dan kebenaran (Al-Hussani, 2007)
Prinsip holistik menunjukkan bahwa karena isi pernyataan muncul dari sisi eksistensi dan
eksistensi bersifat analog, maka sifat pengetahuan pun harus analog. Dibutuhkan kerendahan
hati dan keterbukaan total karena setiap objek persepsi tidak dapat hadir secara tepat sama
(univok).
Hanya dengan kesadaran moral, orang dapat mengenali kesalahan moral. Hanya kesadaran
estetiklah yang dapat menyadari kesalahan estetik dan seterusnya.
Epistemologi, pada hakikatnya, merupakan ekspresi reflektif diri pribadi atau pengalaman
pribadi yang perlu pemurnian terus menerus tanpa melenyapkan nilai epistemologisnya.
Penegasan ini sekaligus menunjukkan bahwa elemen pokok dalam proses pemurnian
pengetahuan adalah dialog antarbudi.
PERLUNYA KERJA SAMA
Prinsip holistik dalam pengembangan ilmu mensyaratkan perlunya kerja sama antarberbagai
jenis epistemology yang sifatnya khusus. Melalui kerjasama akan diperoleh ilmu yang lebih
baik, karena masing-masing epistemologi akan memberikan kontribusinya dan saling
mengisi. Menurut hakikat dan strukturnya sebagai pengetahuan ilmiah atau “ilmu” (scince)
maka pengetahuan (jenis-jenis epistemology yang sifatnya khusus) harus bersifat
terspesialisasi.
Kemajemukkan dan keanekaragaman aspek kemanusiaan mengisyaratkan perlunya kerja
sama antara semua jenis epistemologi khusus karena semuanya saling terkait dan saling
membutuhkan. Van Melsen selanjutnya menekankan bahwa spesialisai dalam ilmu
pengetahuan (jenis-jenis epistemology yang khusus) biasanya terjadi karena ilmuwan
membatasi diri pada satu wilayah tertentu saja. Setiap jenis epistemology khusus berbeda satu
sama lain karena menggunakan metode atau cara pandang (objek formal)-nya masing-masing
yang sangat berlainan untuk menyelidiki, melukiskan, dan mengerti realitas manusia sebagai
objek material. Akibatnya masing-masing melakukan observasi dan eksperimen yang
berbeda-beda terhadap objek material yang umumnya sama yaitu pada manusia.

Prinsip holistik bermaksud menjelaskan bahwa keanekaragaman epistemology itu penting
dalam rangka saling memperkaya untuk menciptakan iklim kesatuan dalam berbagai jenis
epistemology. Seandainya jenis-jenis epistemology yang beraneka ragam itu memetakan
sebagian realitas, maka hanya perlu menggabungkan peta-peta itu supaya dapat diperoleh
tujuan yang mencakup seluruh realitasnya.
Alasan yang kuat bagi epistemology untuk dikembangkan secara menyeluruh (holistik)
karena terdapat sesuatu yang sifatnya bersama yang terdapat diantara jenis-jenisnya yang
khusus.
Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi,
begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan
filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat
jiwa. Dengan demikian proses kerjasama benar-benar diperlukan. Ilmu-ilmu yang dimiliki
oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat
yang berbeda-beda.
KEUTUHAN PENGETAHUAN MANUSIA
Prinsip holistik juga mengakui bahwa betapa pun besarnya kemampuan bidang pengetahuan
eksakta dengan teknologinya, tetap tidak dapat merangkum dan mencakup seluruh
pengalaman manusia. Karena masing-masing bidang memiliki fokus, proses, dan sumber
kajian yang berbeda. Pengetahuan, rasa citranya, perasaan terhadap keindahan, cinta dan
kasih sayang, serta rasa harga diri manusia secara utuh tidak dapat dirangkum secara eksak.
Ini menunjukkan tidak ada satupun bidang pengetahuan yang sempurna dan komprehensif.
Masing-masing memiliki karakteristik sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Masalah yang dihadapi manusia sangat kompleks, beragam baik jenis maupun tingkat
kesulitannya. Oleh karena itu, setiap masalah manusia tidak dapat diselesaikan oleh salah satu
disiplin secara sendiri-sendiri, apalagi hal itu dilakukan secara otonom, tertutup, dan terspisah
dari disiplin lainnya. Prinsipnya, harus diberi tempat yang wajar untuk semua bidang
pengetahuan kemanusiaan dengan sumbangsihnya sendiri, baik dalam hal objek maupun
dalam hal metode. Keutuhan pengalaman manusia harus ditemukan kembali dan diteliti
secara ilmiah. Dengan kata lain untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi umat
manusia diperlukan kerjasama antardisiplin ilmu yang dikembangkan dengan menggunakan
epistemologi dan kebenaran yang beragam.

KESIMPULAN
- Perkembangan peradaban umat manusia didorong oleh adanya perkembangan ilmu
pengetahuan yang beragam baik jenis maupun lingkupnya. Keragaman ilmu pengetahuan
tersebut diakibatkan oleh fokus, proses, dan cara pengembangannya yang berbeda, dan
dikembangkan untuk mengatasi masalah hidup manusia yang juga berbeda. Kondisi ini justru
menghasilkan peradaban manusia menjadi lebih beragam dan kaya.
- Perkembangan ilmu yang beragam menghasilkan bipolaritas dalam ilmu itu sendiri.
Pengkategorian ilmu tidak bisa dihindari, seperti sumber ilmu pengetahuan yang berasal dari
barat dan timur; ilmu pengetahuan tradisional dan modern; ilmu yang bersifat induktifempiris, rasional-deduktif, dan pragmatis.

- Aspek epistemologi Islam mengingatkan bahwa di jaman modern ini kebanyakan manusia
telah dikuasai oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya
barat yang materialistik dan sekularistik, serta menampikkan peran Penguasa, Tuhan Yang
Mahakuasa, yang telah mengatur seluruh sendi kehidupan manusia.
- Kemajemukan dan keanekaragaman karakteristik hidup dan kehidupan manusia,
memerlukan ilmu yang berbeda yang saling bekerja sama secara komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA
* Ahmad Y. Samantho al-Hussaini, Tasawwuf Sebagai Epistemologi,
* Watloly, Aholiab. Tanggung Jawab Pengetahuan. Jakarta: Kanisius, 2001
* Amhar, Fahmi. Penelitian, Kebenaran dan Kreativitas dalam Paradigma Islam.
http://famhar.multiply.com
* Rohmat. Pendekatan Islam Dalam Ilmu Ekonomi: Tinjauan Beberapa Alasan Krusial.
http://www.rohmat.web.id
* Isyraq. Epistemologi; Teori Ilmu Pengetahuan http://isyraq.wordpress.com
[Sumber: Tarbiyah-uin.blogspot.com]