BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 MENOPAUSE Definisi

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 MENOPAUSE

Definisi

Menopause didefinisikan sebagai penghentian haid secara permanen selama 1 tahun dan secara fisiologis berhubungan dengan penurunan sekresi estrogen akibat hilangnya fungsi folikel.7,8 Menopause berasal dari bahasa Yunani men (bulan) dan

pausis (penghentian).9

Penghentian haid sebagai akibat hilangnya fungsi ovarium merupakan peristiwa yang alamiah, sebagai bagian dari proses penuaan normal. Waktu terjadinya menopause ditentukan secara genetik dan terjadi pada median usia 51 tahun.7,9,10 Menopause tidak berhubungan dengan ras ataupun status nutrisi. Namun, menopause terjadi lebih cepat pada nulipara, perokok tembakau, dan pada beberapa wanita yang mengalami histerektomi.7

Perubahan hormon

Dua hingga delapan tahun sebelum menopause, kebanyakan wanita menjadi tak teratur ovulasinya. Selama tahun-tahun tersebut, folikel indung telur (kantung indung telur), yang mematangkan telur setiap bulan, akan mengalami tingkat kerusakan yang


(2)

semakin cepat hingga pasokan folikel itu akhirnya habis. Penelitian menunjukkan bahwa percepatan rusaknya folikel ini dimulai sekitar usia tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan. Inhibin, zat yang dihasilkan dalam indung telur, juga semakin berkurang sehingga mengakibatkan meningkatnya kadar FSH (Follicle Stimulating Hormone - hormon perangsang folikel yang dihasilkan hipofise).10

Akhirnya terdapat 10-20 kali lipat peningkatan FSH dan kira-kira 3 kali lipat peningkatan LH (Luteinizing Hormone), mencapai kadar maksimalnya 1-3 tahun setelah menopause, dimana setelahnya terdapat penurunan sedikit dan perlahan-lahan pada kedua gonadotropin. Peningkatan kadar keduanya baik FSH dan LH pada saat ini merupakan bukti yang meyakinkan dari kegagalan ovarium.9

Sebelum menopause, estrogen utama yang dihasilkan tubuh seorang wanita adalah estradiol. Namun selama pra-menopause, tubuh wanita mulai menghasilkan lebih banyak estrogen dari jenis yang berbeda, yang dinamakan estron, yang dihasilkan di dalam indung telur maupun dalam lemak tubuh.10

Segera setelah menopause, ovarium mensekresi androstenedione dan testosteron primer. Setelah menopause, kadar sirkulasi androstenedione sekitar setengah dari kadarnya pada awal menopause. Sebagian besar androstenedione paska menopause berasal dari kelenjar adrenal, dengan hanya sejumlah kecil disekresi dari ovarium, meskipun androstenedione merupakan steroid utama yang disekresi oleh ovarium paska menopause.9


(3)

Produksi testosteron menurun sekitar 25 % setelah menopause, namun sebagian besar ovarium paska menopause (tidak pada semua wanita), mensekresi lebih banyak testosteron daripada ovarium premenopause, setidaknya dalam tahun pertama periode paska menopause.Sebaliknya, kadar progesteron benar-benar mulai menurun selama pra-menopause, bahkan jauh sebelum terjadinya perubahan-perubahan pada estrogen atau testosteron dan ini merupakan hal yang paling penting bagi kebanyakan wanita. 9,11

Tabel 1. Perubahan pada kadar sirkulasi hormon saat menopause

Pra menopause Paska menopause

Estradiol 40-400 pg/mL 10-20 pg/mL

Estrone 30-200 pg/mL 30-70 pg/mL

Testosterone 20-80 ng/dL 15-70 ng/dL

Androstenedione 60-300 ng/dL 30-150 ng/dL

Dikutip dari : Speroff L, Fritz M A, Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, Seventh Edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2005

Gejala Klinis

7,9,11

Gejala yang paling sering adalah :

• Jantung berdebar-debar

Hot flushes (rasa panas)

• Keringat malam

• Kulit kemerahan


(4)

Gejala lainnya dapat termasuk :

• Penurunan libido

• Pelupa (pada beberapa wanita)

• Periode haid yang tidak teratur

• Perubahan mood termasuk mudah tersinggung, depresi, dan ansietas

• Inkontinensia urin

• Vagina kering dan nyeri pada saat berhubungan

• Infeksi vagina

• Nyeri sendi

• Denyut jantung tidak teratur (palpitasi)

Diagnosis

Usia

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan usia antara 40-65 tahun. Setelah itu, perlu ditanyakan pola haid wanita tersebut untuk mengetahui apakah wanita tersebut berada pada usia pra menopause, menopause atau paska menopause. Kemudian tanyakan keluhan yang muncul. Keluhan yang paling pertama dirasakan adalah keluhan vasomotorik. Berat ringannya keluhan berbeda-beda pada setiap wanita. Keluhan vasomotorik tampil berupa rasa panas (hot flushes) yang dirasakan mulai dari bagian dada menjalar ke leher dan kepala. Kulit di daerah-daerah tersebut terlihat kemerahan. Segera setelah timbul rasa panas, daerah yang terkena rasa panas tersebut mengeluarkan banyak keringat. Pasien mengeluh jantung berdebar-debar, sakit kepala, dan perasaan


(5)

kurang nyaman. Pasien ingin selalu berada di tempat dingin. Frekuensi kemunculan rasa panas per harinya sangat berbeda pada setiap individu. Pada keadaan berat, rasa panas dapat muncul sampai 20 kali per hari. Rasa panas dan berkeringat yang muncul pada malam hari menyebabkan gangguan tidur, cepat lelah dan mudah tersinggung. Sebanyak 70 % wanita mengalami rasa panas satu tahun setelah menopause, dan 5 tahun setelah menopause hanya 25 % yang mengalaminya.8

Rasa panas akan diperberat dengan adanya stres, alkohol, kopi, makanan dan minuman panas. Rasa panas dapat juga terjadi akibat reaksi alergi dan pada keadaan hipotiroid. Selain itu, obat-obat tertentu seperti insulin, niasin, nifedipin, nitrogliserin, kalsitonin dan antiestrogen juga dapat menyebabkan rasa panas.8

Keluhan lain adalah keluhan psikologik berupa perasaan takut, gelisah, mudah tersinggung, lekas marah, sulit berkonsentrasi, perubahan perilaku, depresi dan gangguan libido. Pada sistem urogenital muncul keluhan nyeri senggama, vagina kering, keputihan, infeksi, perdarahan paska senggama, infeksi saluran kemih, gatal-gatal pada vulva/vagina. Pada paska menopause ditemukan prolapsus uteri dan vagina, nyeri berkemih dan inkontinensia urin. Kulit menjadi kering dan menipis, gatal-gatal, keriput, kuku rapuh, dan berwarna kuning. Tulang-tulang dan otot terasa nyeri. Mata kering (keratokonjungtivitis sika), sulit menggunakan lensa kontak. Muncul keluhan oral discomfort, berupa mulut kering yang persisten, rasa terbakar atau panas, ulserasi di rongga mulut dan gangguan pengecapan (disgeusia). Selain itu akibat terjadinya osteoporosis pada tulang, gigi menjadi lebih mudah rontok. Rambut menipis dan


(6)

tumbuh bulu di tempat-tempat tertentu (diatas bibir). Kadar kolesterol tinggi, HDL turun dan LDL naik.8

Dalam jangka panjang dampak kekurangan estrogen adalah meningkatnya kejadian osteoporosis, demensia, penyakit jantung koroner, stroke dan kanker usus besar.8

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hormon FSH, LH dan estradiol tidaklah mutlak. Dari usia dan keluhan yang muncul, diagnosis sudah dapat ditegakkan. Bila pasien tidak haid > 6 bulan, maka pada umumnya kadar FSH dan LH tinggi, sedangkan kadar estradiol sudah rendah. Analisis hormonal baru dilakukan bila keluhan yang muncul belum tentu akibat kekurangan estrogen. Pada usia pra dan peri menopause, hormon yang diperiksa adalah FSH, LH dan estradiol. Tidak jarang pada keadaan seperti ini ditemukan FSH, LH dan estradiol tinggi, namun pasien telah ada keluhan. Keluhan vasomotorik sering dijumpai pada keadaan kadar estrogen tinggi. Meskipun kadar estrogen tinggi, pengobatan tetap diberikan karena pasien telah ada keluhan. Mungkin saja ditemukan kadar FSH, LH dan estradiol normal, tetapi pasien telah merasakan adanya keluhan. Pada keadaan seperti ini dianjurkan pemeriksaan T3, T4, dan TSH (Thyroid-Stimulating Hormone/ hormon pelepas tiroid) karena baik hipertiroid maupun hipotiroid dapat menimbulkan keluhan yang mirip dengan keluhan klimakterik.8


(7)

Pengobatan

Kepada semua pasien perlu dijelaskan bahwa keluhan yang dialami tersebut adalah akibat kekurangan hormon estrogen. Meskipun pasien tidak ada keluhan, perlu dijelaskan bahwa dampak jangka panjang kekurangan estrogen adalah meningkatnya kejadian osteoporosis, penyakit jantung koroner, stroke, demensia, dan kanker usus besar. Oleh karena itu, satu-satunya pengobatan yang tepat adalah dengan penambahan hormon estrogen dari luar, yang dikenal dengan hormone replacement therapy (HRT), atau istilah dalam bahasa Indonesia adalah terapi sulih hormon.8

2.2

KOMPOSISI AIR MATA

Air mata merupakan salah satu proteksi mata atau daya pertahanan mata disamping tulang rongga mata, alis dan bulu mata, kelopak mata, refleks mengedip dan adanya sel-sel pada permukaan kornea dan konjungtiva.12

Sebagai salah satu alat proteksi, air mata berfungsi : (1) mempertahankan integritas kornea dan konjungtiva dengan meniadakan ketidakteraturan pada sel epitel permukaan guna mempertahankan permukaan kornea agar tetap licin dan rata. Fungsi ini memperbaiki penglihatan terutama pada saat setelah mengedip; (2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut atau lubrikasi agar gerakan bola mata serta mengedip terasa nyaman dan membersihkan kotoran yang masuk mata; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mencegah kemungkinan infeksi karena mengandung antibakteri termasuk laktoferin, imunoglobulin, lisozim dan lipokalin; (4) memberi kornea substansi nutrien, dan sebagai media transport produk


(8)

mikroorganisme ke dan dari sel-sel epitel kornea dan konjungtiva terutama oksigen dan karbondioksida.12

Lapisan air mata terdiri atas tiga lapisan. Lapisan superfisial adalah lapisan lipid, dengan ketebalan kurang lebih 0,1 µm yang berasal dari kelenjar Meibom. Lapisan ini berfungsi menghambat penguapan air dan merupakan sawar kedap bila palpebra ditutup. Disfungsi kelenjar Meibom dapat menyebabkan lapisan air mata tidak stabil dan berakibat terjadi gangguan permukaan kornea dan konjungtiva.12

Lapisan tengah adalah lapisan akuos dengan ketebalan kurang lebih 7 µm dihasilkan oleh kelenjar lakrimal utama, yang terletak pada orbita serta kelenjar lakrimal asesorius Kraus dan Wolfring pada konjungtiva. Lapisan akuos mentransportasikan nutrien-nutrien yang larut dalam air; defisiensi lapisan akuos, yang dapat terjadi bersamaan dengan disfungsi kelenjar Meibom merupakan penyebab dry eye paling umum.12

Lapisan paling dalam adalah lapisan musin dengan ketebalan 20-50 nm yang dihasilkan oleh sel goblet konjungtiva dan sel epitel permukaan. Lapisan ini terdiri atas glikoprotein yang melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein sehingga relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan berair saja. Musin diabsorbsi sebagian pada membran sel epitel kornea dan tertambat oleh mikrofili sel-sel epitel permukaan. Ini menyebabkan permukaan menjadi hidrofilik agar airmata menyebar ke bagian yang dibasahinya dengan menurunkan tegangan permukaan. Lapisan musin juga berfungsi memerangkap berbagai faktor pertumbuhan, leukosit dan sitokin.12


(9)

PH air mata normal adalah berkisar 7.2, dengan osmolaritas sebesar 302 mOsm/L, dan indeks refraksi sebesar 1,336.12

2.3

DRY EYE

Istilah sindroma dry eye mewakili kelompok keadaan yang bermacam-macam dikarakterisasikan oleh adanya gejala-gejala ketidaknyamanan okular dan berhubungan dengan penurunan produksi airmata dan/atau abnormalitas penguapan airmata yang sangat cepat. Prevalensi sindroma dry eye meningkat dengan usia, mengenai sekitar 5% populasi dewasa selama dekade keempat kehidupan, meningkat hingga 10-15% pada dewasa diatas usia 65 tahun. Kebanyakan penelitian epidemiologis menunjukkan adanya prevalensi yang lebih tinggi pada wanita. Sampai saat ini, sindroma dry eye tampaknya timbul dengan prevalensi yang sama pada semua ras dan kelompok etnik.12

Kerusakan pada permukaan okular merupakan akibat dari penurunan produksi akueus lapisan airmata (aqueous tear deficiency, ATD) atau penguapan airmata yang berlebihan (evaporative tear dysfunction, ETD).12


(10)

Tabel 2. Klasifikasi Dry Eye Aqueous tear deficiency Non-Sjogren syndrome

Kelainan-kelainan lakrimal (primer atau sekunder) Kelainan obstruktif lakrimal

Refleks hiposekresi

Lain-lain (misal : neuromatosis multipel) Sjogren syndrome

Primer Sekunder

Evaporative tear dysfunction Kelainan glandula meibom Disfungsi glandula meibom

Peningkatan ukuran apertura palpebra Ketidaksesuaian kelopak mata/ bola mata Penggunaan lensa kontak

Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology: External Disease and Cornea in Basic and Clinical Science Course, Section 8, 2009-2010


(11)

Tabel 3. Derajat Dry Eye

DERAJAT DRY EYE 1 2 3 4

Rasa sakit, Keparahan, dan Frekuensi

Ringan dan/atau Episodik, Terjadi dibawah stres lingkungan

Episodik sedang atau kronis, Ada atau tidak ada stres lingkungan

Berat/ Sering atau terus menerus tanpa stres lingkungan

Berat dan melumpuhkan aktivitas, terus menerus

Gejala visual Tidak ada atau ada kelelahan episodik ringan

Mengganggu dan/ atau menghambat aktivitas secara episodik

Mengganggu,

menghambat aktivitas secara kronis dan/ atau terus menerus

Terus menerus dan/ atau kemungkinan melumpuhkan aktivitas

Kelopak mata/ kelenjar Meibom

MGD dijumpai berubah-ubah

MGD dijumpai berubah-ubah

Sering ada Trikiasis, Keratinisasi, Simblefaron

Injeksi konjungtiva Tidak ada sampai Ringan Tidak ada sampai Ringan +/- +/++

Pewarnaan Kornea Tidak ada sampai Ringan Bervariasi Jelas di sentral Erosi pungtata berat Pewarnaan Konjungtiva Tidak ada sampai Ringan Bervariasi Sedang sampai Jelas Jelas

Tanda pada kornea/ airmata Tidak ada sampai Ringan Debris ringan, penurunan meniskus

Keratitis filamen, gumpalan mukus, peningkatan debris airmata

Keratitis filamen, gumpalan mukus,peningkatan debris airmata, ulserasi

TFBUT (detik) Bervariasi ≤10 ≤5 Segera tampak

Tes Schirmer (tanpa anastesi) (mm/ 5 menit)

Bervariasi ≤10 ≤5 ≤2

Terapi yang direkomendasikan

Edukasi pasien, Modifikasi asupan makanan dan terapi kelopak mata, Air mata buatan/ gel, Kontrol lingkungan Penambahan anti inflamasi, Tetrasiklin, Sumbat pungtum, Moisture chamber spectacles

Penambahan autologus serum, lensa kontak (bandage atau rigid

dengan diameter besar), Oklusi pungtum permanen

Penambahan anti inflamasi sistemik, Intervensi bedah

Dikutip dari : Nichols K, Foulks G, The New Dry Eye : A Global Perspective, Lippincott CME Institute. Available at :


(12)

Faktor Resiko14 Besar

Wanita Usia tua

Blefaritis/ meibomianitis Kelainan-kelainan jaringan ikat Defisiensi vitamin A

Status Androgen

Haematopoietic stem cell transplantation

Laser in situ keratomileusis (LASIK) Lensa kontak

Diabetes melitus Obat-obatan sistemik

Obat tetes mata berbahan pengawet Sarkoidosis

Penyakit Parkinson Kecil

Hepatitis C HIV

Faktor lingkungan Faktor pekerjaan


(13)

Pemeriksaan Khusus

Tear film break-up time 12,15

Tear film break up time (BUT) adalah indeks dari stabilitas lapisan airmata pre korneal. Diukur sebagai berikut :

a. Fluorescein diteteskan pada forniks inferior

b. Pasien diinstruksikan untuk berkedip beberapa kali kemudian berhenti

c. Lapisan airmata diperiksa dengan cahaya yang luas dan cobalt blue filter. Setelah interval beberapa waktu, titik-titik atau garis-garis hitam yang mengindikasikan daerah dry eye akan timbul.

BUT merupakan interval antara kedipan terakhir dengan munculnya dry spot pertama yang terdistribusi secara acak. BUT yang kurang dari 10 detik adalah abnormal.

Rose bengal15

Pewarnaan ini memiliki afinitas terhadap sel epitel yang telah mati dan mukus. Rose bengal mewarnai konjungtiva bulbi yang terpapar, menghasilkan pola pewarnaan yang khas dari dua buah segitiga dengan dasarnya di limbus. Filamen-filamen dan plak pada kornea juga tampak lebih jelas dengan pewarnaan ini. Satu kekurangan dari pewarnaan dengan rose bengal ini adalah dapat menyebabkan iritasi okular yang dapat bertahan selama satu hari, khususnya pada


(14)

dry eye yang berat. Untuk meminimalisasi iritasi yang dapat terjadi diberikan hanya satu tetes kecil saja, namun penggunaan anastesi topikal tidak diberikan oleh karena dapat memberikan hasil positif palsu.

• Tes Schirmer 12

Produksi lapisan akuos airmata dapat dilakukan dengan berbagai macam cara (Tabel 4). Tes Schirmer dilakukan dengan meletakkan kertas strip tipis pada kuldesak inferior. Jumlah pembasahan dapat diukur untuk mengetahui jumlah produksi akuos. Terdapat berbagai macam cara melakukan tes Schirmer. Tes sekresi basal (Basal secretion test) dilakukan setelah diteteskan anastetik topikal. Kertas strip tipis (lebar 5 mm, panjang 35 mm) diletakkan pada pertemuan antara pertengahan dan 1/3 lateral palpebra inferior untuk meminimalisasi iritasi pada kornea selama tes berlangsung. Tes ini dapat dilakukan dengan mata tertutup ataupun terbuka, meskipun beberapa ahli merekomendasikan dengan mata yang tertutup untuk membatasi efek dari berkedip. Meskipun pengukuran normal cukup bervariasi, pemeriksaan yang telah diulang dengan hasil pembasahan ‹ 5 mm dengan anastesi, dapat merupakan sugesti yang besar terhadap defisiensi lapisan akuos, sedangkan 5-10 mm masih meragukan.

Tes Schirmer I, dimana cara pemeriksaannya serupa dengan tes sekresi basal namun dilakukan tanpa anastetik topikal, mengukur keduanya baik basal sekresi dan refleks sekresi dikombinasikan. Pembasahan ‹ 10 mm setelah 5 menit merupakan diagnostik untuk defisiensi lapisan akuos.


(15)

Tes Schirmer II yang mengukur refleks sekresi, dilakukan dengan cara yang serupa tanpa anastetik topikal. Namun setelah kertas filter diletakkan pada forniks inferior, aplikator dengan ujung kapas digunakan untuk mengiritasi mukosa nasal. Pembasahan ‹ 15 mm setelah 5 menit konsisten dengan adanya defek pada refleks sekresi.

Tabel 4. Pemeriksaan Produksi Airmata

Pemeriksaan Anastetik topikal Waktu Stimulasi nasal Nilai normal

Basal sekresi airmata + 5 menit - ≥ 10 mm

Schirmer I - 5 menit - ≥ 10 mm

Schirmer II - 5 menit + ≥ 15 mm

Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology: External Disease and Cornea in Basic and Clinical Science Course,

Section 8, 2009-2010

Tear meniscus 12

Dilakukan dengan inspeksi tinggi tear meniscus antara bola mata dengan kelopak mata bawah (normal tingginya adalah 1,0 mm dan konveks). Tear meniscus 0,3 mm atau kurang dianggap abnormal.

Aqueous Tear Deficiency (ATD)

Temuan yang khususnya mengindikasikan adanya ATD termasuk, dari definisi, penurunan produksi lapisan akueus airmata yang diukur dengan tes Schirmer. Sebagai tambahan, pola paparan yang khas dari pewarnaan konjungtiva dan/atau kornea dengan


(16)

lissamine green atau rose bengal, pewarnaan kornea dengan fluorescein, dan filamentary keratopathy mendukung diagnosis ATD.12

Gejala Klinis

Spektrum dari defisiensi lapisan akueus berkisar dari iritasi ringan dengan kelainan permukaan okular yang minimal hingga iritasi berat, kadang-kadang berhubungan dengan komplikasi kornea yang mengancam penglihatan. Stadium lanjut dapat terjadi kalsifikasi kornea, terutama berhubungan dengan obat-obat tetes mata tertentu (khususnya obat-obatan antiglaukoma); band keratopathy; serta keratinisasi kornea dan konjungtiva.12

Gejala-gejalanya cenderung memburuk menjelang penghujung siang, dengan penggunaan mata yang berlangsung sangat lama, atau dengan paparan terhadap lingkungan yang ekstrem. Sensasi benda asing merupakan gejala yang sering berhubungan dengan keratopati epitelial pungtata. Keluhan-keluhan yang berhubungan termasuk rasa panas, sensasi kering, fotofobia, dan penglihatan kabur.11 Gejala-gejala lain yang juga sering dilaporkan adalah mata yang berat atau lelah, rasa sakit, berkedip lebih sering, sekret mukus berlebihan dan intoleransi terhadap aliran udara atau lingkungan yang kering. Pasien dengan defisiensi lapisan akueus cenderung mengalami gejala iritasi yang memburuk di malam hari, sementara pasien yang menderita meibomian gland disease dan pembersihan lapisan airmata yang terlambat cenderung mengalami gejala-gejala yang memberat ketika bangun tidur pagi hari.16


(17)

Tanda-tanda dari dry eye termasuk dilatasi pembuluh darah konjungtiva bulbi, lipatan-lipatan konjungtiva, penurunan tear meniscus, permukaan kornea yang ireguler, dan peningkatan debris didalam lapisan airmata. Keratopati epitelial, bisa tipis dan granular, kasar, atau menyatu dapat dilihat dengan lebih jelas setelah diteteskan lissamine green, rose bengal atau fluorescein. Fluorescein mewarnai erosi epitel dan membrana basalis yang terpapar dan bisa menghasilkan pewarnaan granular yang halus ataupun kasar pada kornea bagian sentral atau inferior. Dalam mengevaluasi pasien-pasien dry eye

terutama yang lebih bermanfaat adalah pewarnaan dengan rose bengal 1% atau lissamine green. Dahulu, rose bengal dianggap hanya mewarnai sel-sel yang mati dan mukus. Belum lama ini telah ditunjukkan bahwa rose bengal juga dapat mewarnai sel-sel epitel yang tidak dilindungi secara adekuat oleh lapisan musin. Pewarnaan rose bengal dan

lissamine green dapat lebih sensitif dibandingkan fluorescein dalam menunjukkan kasus-kasus dini atau ringan dari keratokonjungtivitis sika; pewarnaannya dapat terlihat pada limbus nasal dan temporal dan/atau kornea parasentral inferior (exposure staining). Dapat juga lebih menonjol sepanjang kornea inferior dan konjungtiva inferior (linear staining), seperti yang terlihat pada meibomian gland disease (MGD). Lissamine green mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan rose bengal yaitu tidak mewarnai epitel konjungtiva yang sehat, jauh lebih kurang mengiritasi, dan tidak menghambat pertumbuhan viral seperti rose bengal.12

Pada stadium dry eye yang lebih berat dapat dijumpai adanya filamen dan mukus plak. Penipisan kornea marginal atau parasentral dan bahkan perforasi dapat terjadi pada kasus-kasus yang lebih berat.12


(18)

Terapi

Pemilihan terapi untuk pasien-pasien dry eye sangat bergantung pada berat penyakitnya (tabel 5).

Tabel 5. Rekomendasi terapi untuk Dry Eye

Tingkat Keparahan Pilihan terapi Ringan

Sedang

Berat

- Airmata buatan dengan pengawet hingga 4 x per hari

- Salep lubrikasi sebelum tidur

- Kompres hangat & masase kelopak mata

- Airmata buatan tanpa pengawet 4 x per hari hingga setiap jam sekali

- Salep lubrikasi sebelum tidur

- Anti-inflamasi topikal (siklosporin A 0,05%,2xsehari)

- Oklusi reversibel, pungtum lakrimalis bawah

- Semua yang diatas

- Oklusi pungtum (bawah dan atas)

- Serum tetes topikal (20%) 4-6 x sehari

- Steroid topikal (tanpa pengawet jika tersedia)

- Melembabkan lingkungan

- Tarsorafi (lateral dan medial)

- Lensa kontak (jarang)

Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology: External Disease and Cornea in Basic and Clinical Science Course, Section 8, 2009-2010

ATD pada Non-Sjogren syndrome dapat diakibatkan oleh kelainan-kelainan pada kelenjar lakrimal, obstruksi kelenjar lakrimal, atau refleks hiposekresi. Kelainan-kelainan lakrimal dapat primer, disebabkan oleh kondisi kongenital seperti Riley-Day syndrome; alakrima kongenital, atau tidak adanya kelenjar lakrimal; anhidrotic ectodermal


(19)

dysplasia; Adie syndrome; dan disfungsi otonom idiopatik (Shy-Drager syndrome). Penyebab sekunder dari kelainan-kelainan lakrimal termasuk sarkoidosis, chronic graft-vs-host disease, HIV, xerophthalmia, dan ablasi operatif dari kelenjar lakrimal. Obstruksi dari aliran keluar lakrimal dapat disebabkan oleh konjungtivitis sikatrikal berat (trakoma,

erythema multiforme, trauma kemis, dan cicatricial pemphigoid), dimana duktus ekskretorius lakrimal yang terdapat pada forniks konjungtiva superior terganggu.12

Penurunan sekresi lakrimal dapat terjadi sebagai akibat dari adanya gangguan pada cabang aferen atau eferen dari arkus refleks. Gangguan dari cabang aferen refleks arkus dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit akibat virus (contoh : herpes simpleks [HSV], varisella-zoster [VZV]), penggunaan lensa kontak, neuropati perifer (contoh : diabetes, Bell’s palsy), gangguan akibat tindakan operatif (contoh : laser insitu keratomileusis [LASIK], keratektomi fotorefraktif [PRK], penetrating keratoplasty [PK], ekstraksi katarak ekstrakapsular [ECCE], dan proses penuaan. Penurunan sensasi kornea setelah tindakan PRK atau LASIK sering mengakibatkan gejala-gejala dry eye yang bertahan selama beberapa bulan. Gejala-gejala ini biasanya membaik setelah terjadinya perbaikan sensitivitas normal kornea. Cabang eferen dari arkus refleks dapat dipengaruhi oleh berbagai macam obat-obatan antikolinergik sistemik.12

Evaporative Tear Dysfunction

Peningkatan penguapan lapisan airmata paling sering disebabkan oleh MGD namun dapat juga disebabkan oleh kelainan-kelainan pada kelenjar meibom, aposisi kelopak mata pada permukaan okular yang kurang baik, peningkatan apertura palpebra, dan penggunaan lensa kontak. Gejala-gejalanya terdiri dari rasa terbakar, sensasi benda


(20)

asing, kemerahan pada palpebra dan konjungtiva, penglihatan berkabut dan kalazion berulang. Tanda-tanda dari ETD adalah termasuk penurunan tear break up time, MGD, produksi lapisan akueus yang abnormal, dan pewarnaan konjungtiva dan kornea inferior serta margin kelopak mata dengan rose bengal/ lissamine green dengan pola linear yang khas.12

2.4

HUBUNGAN MENOPAUSE DAN

DRY EYE

Terdapat peningkatan insidensi dan prevalensi dry eye pada usia tua, terutama pada wanita usia 50 tahun keatas, yang mana dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka. Menopause mempunyai peranan penting dalam menyebabkan timbulnya gejala-gejala dry eye.17

Status hormonal dan khususnya seks steroid mempunyai peranan pada homeostasis dan fungsi permukaan okular, selama hidup dan pada kedua jenis kelamin, dilaksanakan oleh reseptor estrogen dan androgen yang terletak pada epitel kornea dan konjungtiva, kelenjar lakrimal serta kelenjar meibom.18,19 Permukaan okular merupakan satu kesatuan, sehingga adanya disfungsi apapun berakibat pada ketidakstabilan lapisan airmata yang menghasilkan dry eye.18

Pada menopause, penurunan hormon seks dalam sirkulasi (sebagai contoh estrogen, androgen) terjadi, kemungkinan mempengaruhi aspek fungsional dan sekresi dari kelenjar lakrimal. Empat puluh tahun yang lalu, ketertarikan awal di bidang ini memusatkan pada defisiensi estrogen dan/atau progesteron untuk menjelaskan hubungan


(21)

antara KCS dan menopause. Namun, penelitian terbaru memusatkan pada androgen, khususnya testosteron, dan/atau androgen yang dimetabolisasi.19,20

Defisiensi steroid seks lebih spesifiknya androgen, dapat menjadi faktor patogenesis penting dari etiologi sindroma dry eye. Pertama, androgen mengontrol berbagai aspek dari kelenjar lakrimal, termasuk morfologi sel epitel, ekspresi gen, sintesis protein, proses sekresi dan fungsi imun. Kerja androgen nampaknya bertanggungjawab terhadap banyak perbedaan yang berhubungan dengan jenis kelamin pada anatomi, fisiologi, biologi molekuler dan imunologi dari jaringan ini. Bagaimanapun, wanita dengan sindroma Sjogren mengalami defisiensi androgen, dan defisiensi hormon ini dapat mempredisposisi terjadinya disfungsi kelenjar lakrimal, sekresi airmata yang terganggu dan dry eye tipe defisiensi akuous.20

Kedua, glandula meibom seperti glandula sebaseus lainnya, merupakan target organ androgen. Androgen meregulasi perkembangan, diferensiasi dan produksi lipid dari glandula sebaseus pada tubuh. Hal yang sama, androgen mengontrol fungsi glandula meibom, meningkatkan kualitas dan/ atau kuantitas lipid yang diproduksi oleh jaringan ini dan meningkatkan pembentukan lapisan lipid air mata. Pada keadaan dimana terdapat defisiensi androgen, seperti pada kondisi menopause, penuaan berhubungan dengan disfungsi glandula meibom, tear film instability dan peningkatan signifikan pada gejala dan tanda dry eye. Telah ditunjukkan bahwa pada disfungsi kelenjar meibom, defisiensi androgen menyebabkan kehilangan lapisan lipid, secara spesifik adalah trigliserida, kolesterol, monounsaturated essential fatty acids (misalnya : asam oleik), dan lipid polar (misalnya : fosfatidiletanolamin, sfingomielin). Kehilangan lipid polar (yang terdapat


(22)

pada bidang pemisah lapisan akuos airmata) memperburuk kehilangan evaporatif airmata, dan penurunan asam lemak tidak tersaturasi meningkatkan titik lebur meibum, menghasilkan sekresi yang lebih tebal dan lebih kental yang mengobstruksi duktulus-duktulus dan menyebabkan hambatan sekresi.20 Para peneliti mengestimasikan bahwa disfungsi kelenjar meibom merupakan faktor yang memiliki kontribusi terhadap dry eye


(1)

Tanda-tanda dari dry eye termasuk dilatasi pembuluh darah konjungtiva bulbi, lipatan-lipatan konjungtiva, penurunan tear meniscus, permukaan kornea yang ireguler, dan peningkatan debris didalam lapisan airmata. Keratopati epitelial, bisa tipis dan granular, kasar, atau menyatu dapat dilihat dengan lebih jelas setelah diteteskan lissamine green, rose bengal atau fluorescein. Fluorescein mewarnai erosi epitel dan membrana basalis yang terpapar dan bisa menghasilkan pewarnaan granular yang halus ataupun kasar pada kornea bagian sentral atau inferior. Dalam mengevaluasi pasien-pasien dry eye terutama yang lebih bermanfaat adalah pewarnaan dengan rose bengal 1% atau lissamine green. Dahulu, rose bengal dianggap hanya mewarnai sel-sel yang mati dan mukus. Belum lama ini telah ditunjukkan bahwa rose bengal juga dapat mewarnai sel-sel epitel yang tidak dilindungi secara adekuat oleh lapisan musin. Pewarnaan rose bengal dan lissamine green dapat lebih sensitif dibandingkan fluorescein dalam menunjukkan kasus-kasus dini atau ringan dari keratokonjungtivitis sika; pewarnaannya dapat terlihat pada limbus nasal dan temporal dan/atau kornea parasentral inferior (exposure staining). Dapat juga lebih menonjol sepanjang kornea inferior dan konjungtiva inferior (linear staining), seperti yang terlihat pada meibomian gland disease (MGD). Lissamine green mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan rose bengal yaitu tidak mewarnai epitel konjungtiva yang sehat, jauh lebih kurang mengiritasi, dan tidak menghambat pertumbuhan viral seperti rose bengal.12

Pada stadium dry eye yang lebih berat dapat dijumpai adanya filamen dan mukus plak. Penipisan kornea marginal atau parasentral dan bahkan perforasi dapat terjadi pada kasus-kasus yang lebih berat.12


(2)

Terapi

Pemilihan terapi untuk pasien-pasien dry eye sangat bergantung pada berat penyakitnya (tabel 5).

Tabel 5. Rekomendasi terapi untuk Dry Eye

Tingkat Keparahan Pilihan terapi

Ringan

Sedang

Berat

- Airmata buatan dengan pengawet hingga 4 x per hari

- Salep lubrikasi sebelum tidur

- Kompres hangat & masase kelopak mata

- Airmata buatan tanpa pengawet 4 x per hari hingga setiap jam

sekali

- Salep lubrikasi sebelum tidur

- Anti-inflamasi topikal (siklosporin A 0,05%,2xsehari)

- Oklusi reversibel, pungtum lakrimalis bawah

- Semua yang diatas

- Oklusi pungtum (bawah dan atas)

- Serum tetes topikal (20%) 4-6 x sehari

- Steroid topikal (tanpa pengawet jika tersedia)

- Melembabkan lingkungan

- Tarsorafi (lateral dan medial)

- Lensa kontak (jarang)

Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology: External Disease and Cornea in Basic and Clinical Science Course, Section 8, 2009-2010

ATD pada Non-Sjogren syndrome dapat diakibatkan oleh kelainan-kelainan pada kelenjar lakrimal, obstruksi kelenjar lakrimal, atau refleks hiposekresi. Kelainan-kelainan lakrimal dapat primer, disebabkan oleh kondisi kongenital seperti Riley-Day syndrome; alakrima kongenital, atau tidak adanya kelenjar lakrimal; anhidrotic ectodermal


(3)

dysplasia; Adie syndrome; dan disfungsi otonom idiopatik (Shy-Drager syndrome). Penyebab sekunder dari kelainan-kelainan lakrimal termasuk sarkoidosis, chronic graft-vs-host disease, HIV, xerophthalmia, dan ablasi operatif dari kelenjar lakrimal. Obstruksi dari aliran keluar lakrimal dapat disebabkan oleh konjungtivitis sikatrikal berat (trakoma, erythema multiforme, trauma kemis, dan cicatricial pemphigoid), dimana duktus ekskretorius lakrimal yang terdapat pada forniks konjungtiva superior terganggu.12

Penurunan sekresi lakrimal dapat terjadi sebagai akibat dari adanya gangguan pada cabang aferen atau eferen dari arkus refleks. Gangguan dari cabang aferen refleks arkus dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit akibat virus (contoh : herpes simpleks [HSV], varisella-zoster [VZV]), penggunaan lensa kontak, neuropati perifer (contoh : diabetes, Bell’s palsy), gangguan akibat tindakan operatif (contoh : laser insitu keratomileusis [LASIK], keratektomi fotorefraktif [PRK], penetrating keratoplasty [PK], ekstraksi katarak ekstrakapsular [ECCE], dan proses penuaan. Penurunan sensasi kornea setelah tindakan PRK atau LASIK sering mengakibatkan gejala-gejala dry eye yang bertahan selama beberapa bulan. Gejala-gejala ini biasanya membaik setelah terjadinya perbaikan sensitivitas normal kornea. Cabang eferen dari arkus refleks dapat dipengaruhi oleh berbagai macam obat-obatan antikolinergik sistemik.12

Evaporative Tear Dysfunction

Peningkatan penguapan lapisan airmata paling sering disebabkan oleh MGD namun dapat juga disebabkan oleh kelainan-kelainan pada kelenjar meibom, aposisi kelopak mata pada permukaan okular yang kurang baik, peningkatan apertura palpebra, dan penggunaan lensa kontak. Gejala-gejalanya terdiri dari rasa terbakar, sensasi benda


(4)

asing, kemerahan pada palpebra dan konjungtiva, penglihatan berkabut dan kalazion berulang. Tanda-tanda dari ETD adalah termasuk penurunan tear break up time, MGD, produksi lapisan akueus yang abnormal, dan pewarnaan konjungtiva dan kornea inferior serta margin kelopak mata dengan rose bengal/ lissamine green dengan pola linear yang khas.12

2.4

HUBUNGAN MENOPAUSE DAN

DRY EYE

Terdapat peningkatan insidensi dan prevalensi dry eye pada usia tua, terutama pada wanita usia 50 tahun keatas, yang mana dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka. Menopause mempunyai peranan penting dalam menyebabkan timbulnya gejala-gejala dry eye.17

Status hormonal dan khususnya seks steroid mempunyai peranan pada homeostasis dan fungsi permukaan okular, selama hidup dan pada kedua jenis kelamin, dilaksanakan oleh reseptor estrogen dan androgen yang terletak pada epitel kornea dan konjungtiva, kelenjar lakrimal serta kelenjar meibom.18,19 Permukaan okular merupakan satu kesatuan, sehingga adanya disfungsi apapun berakibat pada ketidakstabilan lapisan airmata yang menghasilkan dry eye.18

Pada menopause, penurunan hormon seks dalam sirkulasi (sebagai contoh estrogen, androgen) terjadi, kemungkinan mempengaruhi aspek fungsional dan sekresi dari kelenjar lakrimal. Empat puluh tahun yang lalu, ketertarikan awal di bidang ini memusatkan pada defisiensi estrogen dan/atau progesteron untuk menjelaskan hubungan


(5)

antara KCS dan menopause. Namun, penelitian terbaru memusatkan pada androgen, khususnya testosteron, dan/atau androgen yang dimetabolisasi.19,20

Defisiensi steroid seks lebih spesifiknya androgen, dapat menjadi faktor patogenesis penting dari etiologi sindroma dry eye. Pertama, androgen mengontrol berbagai aspek dari kelenjar lakrimal, termasuk morfologi sel epitel, ekspresi gen, sintesis protein, proses sekresi dan fungsi imun. Kerja androgen nampaknya bertanggungjawab terhadap banyak perbedaan yang berhubungan dengan jenis kelamin pada anatomi, fisiologi, biologi molekuler dan imunologi dari jaringan ini. Bagaimanapun, wanita dengan sindroma Sjogren mengalami defisiensi androgen, dan defisiensi hormon ini dapat mempredisposisi terjadinya disfungsi kelenjar lakrimal, sekresi airmata yang terganggu dan dry eye tipe defisiensi akuous.20

Kedua, glandula meibom seperti glandula sebaseus lainnya, merupakan target organ androgen. Androgen meregulasi perkembangan, diferensiasi dan produksi lipid dari glandula sebaseus pada tubuh. Hal yang sama, androgen mengontrol fungsi glandula meibom, meningkatkan kualitas dan/ atau kuantitas lipid yang diproduksi oleh jaringan ini dan meningkatkan pembentukan lapisan lipid air mata. Pada keadaan dimana terdapat defisiensi androgen, seperti pada kondisi menopause, penuaan berhubungan dengan disfungsi glandula meibom, tear film instability dan peningkatan signifikan pada gejala dan tanda dry eye. Telah ditunjukkan bahwa pada disfungsi kelenjar meibom, defisiensi androgen menyebabkan kehilangan lapisan lipid, secara spesifik adalah trigliserida, kolesterol, monounsaturated essential fatty acids (misalnya : asam oleik), dan lipid polar (misalnya : fosfatidiletanolamin, sfingomielin). Kehilangan lipid polar (yang terdapat


(6)

pada bidang pemisah lapisan akuos airmata) memperburuk kehilangan evaporatif airmata, dan penurunan asam lemak tidak tersaturasi meningkatkan titik lebur meibum, menghasilkan sekresi yang lebih tebal dan lebih kental yang mengobstruksi duktulus-duktulus dan menyebabkan hambatan sekresi.20 Para peneliti mengestimasikan bahwa disfungsi kelenjar meibom merupakan faktor yang memiliki kontribusi terhadap dry eye sebesar 67%.20