BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Penunjang 2.1.1 Pengolahan secara Biologis

(1)

2.1 Teori Penunjang

2.1.1 Pengolahan secara Biologis

Di dalam pengolahan secara biologis, bakteri dan mikroorganisme yang lain akan memecah dan memetabolisme zat organik terlarut, oleh karena itu dapat mengurangi BOD dan COD. Namun tidak semua organik terdegradasi, waktu yang cukup dan jenis mikroba yang sesuai akan membantu degradasi zat organik lebih banyak lagi. Pengolahan secara biologis pada umumnya adalah aerobik dan anaerobik.

Proses secara Aerobik

Proses secara aerobik terjadi reaksi biokimia untuk pertumbuhan dan metabolisme bakteri/mikroba lainnya. Agar proses berjalan lancar, cell-cell harus tumbuh berkembang lebih cepat dari yang dioksidasi (hal ini yang menghasilkan lumpur).

Reaksi pada proses aerobik lumpur aktif :

Organik terlarut + O2 + N + P  cell + CO2 + H2O + NO3

sisa organik terlarut yang tak terurai

Proses aerobik dengan aerasi juga dimaksudkan untuk menghilangkan komponen organik yang mudah menguap. Di samping itu cell mikroba memerlukan nutrient.

Proses secara Anaerobik

Denitrifikasi adalah proses biologis anaerobik, digunakan untuk mengkonversi nitrogen-nitrat dalam effluent dari proses nitrifikasi lumpur aktif menjadi gas nitrogen. Nitrat merupakan reduktor maka kandungan nitrat dalam air sangat berbahaya sehingga harus dikurangi atau dihilangkan. Bakteri yang berperan dalam denitrifikasi umumnya merupakan bakteri anaerobik.


(2)

NO3- + Substrate N2 + CO2 + H2O + OH- + cells

2.1.2 Proses Lumpur Aktif

Pengolahan limbah cair dengan menggunakan proses biologis dapat dilakukan dengan sistem aerob dengan menggunakan lumpur aktif. Proses dengan metode aerobik dimaksudkan untuk mengoksidasi materi organik secara biologis disertai proses adsorpsi padatan tersuspensi (suspended solid) oleh bioflok.

Lumpur aktif merupakan suatu kultur bebas yang heterogen dan mayoritas tersusun dari berbagai macam mikroorganisme yang terdiri dari bakteri, protozoa dan metazoa. Mikroorganisme tersebut menjadi satu dalam suatu matrik yang kompleks terflokulasi yang sering disebut dengan flok (Sundstroms dan Klei, 1979).

Pada dasarnya, proses lumpur aktif terdiri dari bak aerasi dan bak sedimentasi. Bak aerasi merupakan reaktor suspended growth yang terdiri dari kumpulan mikroba atau flok dari mikroorganisme yang membentuk lumpur aktif. Oksidasi aerobik dari senyawa organik berada dalam tangki ini. Dalam bak aerasi, umpan dialirkan kedalamnya dan bercampur dengan RAS (Return Activated Sludge) untuk membentuk mixed liquor, yang memiliki batasan konsentrasi MLSS (Mixed Liquor

Suspended Solid) yaitu 2000-3500 mg/l (Williams, 1999). Biasanya aerasi diberikan

dengan cara mekanik, misalnya dengan beberapa metode seperti brush mechanical aerator, bubble aeration, dan static aeration (Wesley, 1989). Karakteristik yang terpenting dari proses lumpur aktif adalah perbandingan recycle biomass. Dimana umur sludge lebih besar daripada HRT (Hydraulic Retention Time). Lumpur aktif yang terbentuk dipisahkan dalam bak sedimentasi, sedangkan lumpur yang terpisah dalam bak sedimentasi sebagian dikembalikan ke bak aerasi atau yang disebut dengan RAS untuk menjaga waktu tinggal lumpur (Sludge Retention Time-SRT) dan sebagian lagi dibuang (Waste Activated Sludge-WAS) untuk menjaga agar tidak terjadi akumulasi lumpur (Williams, 1999). Pengikatan bakteri flok pada proses pengendapan dan recycle lumpur yang dikembalikan ke reaktor merupakan kunci dari proses lumpur aktif, karena dapat menimbulkan tingginya konsentrasi biomassa dalam bioreaktor.


(3)

Ada dua peristiwa dalam pengolahan senyawa organik pada air limbah, pertama, adanya konsumsi O2 oleh mikroorganisme untuk menghasilkan energi dan sel-sel baru. Kedua, yaitu auto oksidasi dalam sel atau respirasi. Sumber karbon, sumber energi dan nutrien inorganik yang memadai, harus terdapat dalam media. Nitrogen dan fosfor harus tersedia dalam jumlah yang cukup agar pertumbuhan mikroorganisme tidak mengalami hambatan. Perbandingan berat BOD5:N:P dalam limbah adalah sebesar 100:5:1 agar terjadi degradasi COD/BOD yang sempurna (Williams, 1999). Sedangkan secara umum, nutrien seperti Fe dan S tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan biomassa. Untuk menjaga agar tidak terjadi kekurangan maka perlu ditambahkan minimum 1,0 mg/l N anorganik (NH3 dan NO3-) dan 0,2 mg/l PO42-. Jika tidak ada lingkungan pertumbuhan yang memadai dan nutrien yang seimbang maka efisiensi dari pengolahan air limbah tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya (Grady dan Lim, 1980). Bahan organik dalam air limbah terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan fraksi partikel. Bahan organik terlarut sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme heterotrophik dalam mixed

liquor. Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi mikroorganisme

aerobik, dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu konstan teragitasi untuk melaksanakan kontak yang cukup antara flok dengan air limbah yang baru datang pada sistem pengolahan limbah. Konsentrasi oksigen yang cukup juga diperlukan untuk aktifitas mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik, khususnya bakteri nitrit.


(4)

Kinerja lumpur aktif sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter yang saling terkait, yakni:

1. Waktu Tinggal Sel

Waktu tinggal sel/lumpur (solid retention time-SRT) didefinisikan sebagai waktu tinggal rata-rata mikroba di dalam bak aerasi. SRT dikendalikan dengan cara pembuangan lumpur yang merupakan hasil bawah dari bak sedimentasi maupun dari bak aerasi secara langsung. Volume lumpur yang dibuang tergantung pada SRT yang diinginkan. Semakin besar SRT yang diinginkan, semakin kecil laju pembuangan lumpur yang dikendalikan, atau sebaliknya. Perhitungan SRT didekati dengan jumlah MLSS yang ada di dalam bak aerasi dibagi dengan laju pembuangan lumpur, dengan persamaan sebagai berikut:

Bila pembuangan lumpur dilakukan langsung melalui bak aerasi maka persamaan dapat dituliskan sebagai berikut:

Jika tidak digunakan clarifier dan tanpa adanya sirkulasi lumpur kembali ke bioreaktor, persamaan (2.9) dapat ditulis sebagai berikut:

Dimana :

V = volume bak aerasi, (liter)

X = MLSS dalam bak aerasi, (mg/L) Xr = MLSS hasil bawah bak aerasi, (mg/L) Xe= MLSS keluaran bak sedimentasi, (mg/L) Q = laju volumetris influent, (L/hari)

Qw= laju pembuangan lumpur volumetris, (L/hari)


(5)

τ = waktu tinggal cairan (hydraulic retention time, HRT), (hari)

Proses lumpur aktif biasanya beroperasi pada SRT 3-15 hari agar diperoleh flok yang mudah mengendap. Penggunaan SRT di luar rentang tersebut akan menimbulkan permasalahan pengendapan di dalam bak sedimentasi. (Sundstrom dan Klei, 1979).

2. Konsentrasi Biomassa (MLSS)

Pengolahan limbah cair industri secara proses biologis yaitu proses lumpur aktif dengan menggunakan mikroorganisme untuk mendegradasi limbah organik. Proses lumpur aktif tidak hanya membutuhkan tangki aerasi yang luas dan tangki sedimentasi tetapi juga menghasilkan jumlah lumpur yang berlebih (Chang et al., 2002). Proses ini sangat tergantung pada tiga parameter yaitu kondisi F/M ratio,

sludge age dan dissolved oxygen (Williams, 1999). Dalam proses lumpur aktif terdapat batasan konsentrasi biomassa (MLSS) yang digunakan yaitu 2000-5000 mg/L (Sundstrom dan Klei, 1979). Sehingga jika digunakan untuk konsentrasi biomassa yang terlalu tinggi maka perlu dilakukan pengontrolan tiga parameter tersebut diatas. Konsentrasi biomassa sangat mempengaruhi kondisi mikroorganisme yang terdapat dalam limbah cair, selain itu mikroorganisme juga mempengaruhi keberhasilan proses lumpur aktif untuk mendegradasi limbah organik. Dalam sistem lumpur aktif respon bakteri digunakan untuk meremove senyawa organik, yang sering disebut dengan proses flokulasi atau pembentukan mikroba flok.

Secara umum mikroorganisme yang terdapat dalam lumpur aktif, terbagi menjadi empat kelas yaitu: organisme pembentuk flock (flock forming organism), saprofit, predator dan organisme pengganggu. Organisme pembentuk flok, merupakan organisme yang berperan penting dalam proses lumpur aktif. Tanpa organisme ini, lumpur tidak dapat terpisah secara baik dari air limbah yang diolah. Biasanya bakteri Zooglea remigera dianggap sebagai bakteri pembentuk flok, tetapi terdapat bermacam-macam jenis mikroorganisme yang dapat membentuk flok. (Grady dan Lim, 1980).


(6)

2.1.2.3 Faktor Pembebanan

Faktor pembebanan proses disebut juga sebagai nisbah pakan terhadap mikroorganisme (food to microorganism ratio, nisbah F/M), yakni laju BOD atau COD yang ditambahkan ke dalam unit volum bioreaktor, dan didefinisikan dalam persamaan berikut :

reaktor dalam

isme mikroorgan massa

hari reaktor dalam

digunakan yang

substrat massa

M F

Nisbah  / (2.11)

Untuk reaktor dengan pengadukan sempurna, nisbah F/M bisa didefinisikan dengan persamaan berikut.

(2.12) Dimana :

V = volume bak aerasi, (liter)

X = MLSS dalam bak aerasi, (mg/L) Q = laju volumetris influent, (L/hari)

τ = waktu tinggal cairan (hydraulic retention time, HRT), (hari) S0 = initial substrate concentration

Nisbah F/M juga dikendalikan dengan laju pembuangan lumpur. Dengan demikian laju pembuangan lumpur akan mengendalikan dua parameter sekaligus yaitu SRT dan nisbah F/M. Nisbah F/M yang terjadi berbanding terbalik dengan HRT. Proses lumpur aktif konvensional biasanya beroperasi pada nisbah F/M antara 0,2-0,6 kg COD/(kg MLSS.hari). Pemakaian nisbah di luar kisaran tersebut, akan menimbulkan beberapa permasalahan pengendapan di dalam bak sedimentasi (Sundstroms dan Klei, 1979).

Pada proses yang bekerja dengan baik, lumpur akan mudah mengendap, hal ini dapat terjadi bila cell-cell mikroba bergabung membentuk flok. Apabila tumbuh mikroba berfilamen (filamentous organism) secara berlebihan, pengendapan lumpur akan lambat. Peristiwa ini disebut “bulking sludge”. Pertumbuhan mikroba


(7)

berfilamen terjadi bila O2 terlarut atau BOD telalu kecil. Mikroba berfilamen mempunyai luas permukaan lebih besar sehingga menyerap O2 atau makanan lebih banyak, sebelum mereka terserap oleh flok.

Jenis-jenis lumpur tersebut sangat sulit mengendap secara gravitasi. Adanya kesulitan dalam proses pemisahan lumpur tersebut dalam bak sedimentasi mengakibatkan sebagian lumpur akan terbuang keluar (washout). Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya kadar kualitas effluent. Namun, kinetika menunjukkan bahwa mikroba-flokulasi (zoogleal) lebih efektif dengan O2 dan BOD lebih tinggi. Di samping itu ia dapat mengoksidasi zat organik yang komplek di mana mikroba filament tidak mampu.

Adanya oksigen yang terlarut dalam bak aerasi dapat memberikan efek secara kuantitatif terhadap laju pertumbuhan organisme filament maupun non-filament (pembentuk flok). Kemampuan difusi oksigen ke dalam flok tergantung dari konsentrasi oksigen terlarut di dalam cairan curah. Konsentrasi oksigen yang rendah dapat menyebabkan sebagian besar dari flok berada dalam kondisi anoksik atau anaerobik.

2.1.3 SMBR (Submerged Membrane Bioreactor)

SMBR (Submerged Membrane Bioreactor) atau bioreaktor membran terendam merupakan kombinasi proses biologis lumpur aktif dan filtrasi membran dalam satu unit. Sistem SMBR mempunyai kecenderungan besar untuk digunakan karena dianggap potensial untuk fabrikasi dan biaya perawatan rendah. Hal penting dalam sistem SMBR adalah kemampuan penyerapan permeat yang dibantu oleh tekanan dari bioreaktor itu sendiri yang berasal dari gelembung udara yang digunakan sebagai kontrol deposisi pada metode mekanika fluida dan pencemaran. (Fane dan Chang, 2002).

Peneliti Côté et al. (1997) telah menggunakan SMBR untuk mengolah limbah domestik dan membandingkannya dengan SMBR eksternal dan konvensional. Pada SMBR diaplikasikan sistem sirkulasi udara yang berfungsi sebagai aerasi sekaligus


(8)

dapat membersihkan membran dari dasar modul, sehingga mempunyai fungsi ganda selama operasi. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa pembersihan secara kimia, membran yang digunakan dapat beroperasi lebih lama dan memberikan keuntungan dalam hal kualitas, keamanan, dan kekompakan. Keunggulan lainnya adalah dapat menghilangkan senyawa nitrogen dan mereduksi produksi sludge hingga 50% dibandingkan dengan cara konvensional.

Tetapi penggunaan teknik membran pada pengolahan limbah terdapat problem terjadinya fouling yang melekat pada membran, berupa bahan organik kompleks yang dihasilkan dari produk metabolisme mikroorganisme. Selain itu SMBR juga memiliki beberapa kelemahan lainnya yaitu tidak terjadi proses denitrifikasi dan backwash yang sangat mengganggu sistem.

2.1.4 MBR (Membrane Bioreactor)

Pada tipe Membran Bioreactor, membran diletakkan terpisah dari reaktor. Cairan hasil penguraian bioreaktor di pompa ke membran secara cross-flow untuk dilakukan pemisahan padat cair. Kelebihan cairan diresirkulasi, sedangkan produk ditempatkan pada bak khusus.

Masing-masing tipe tersebut memiliki keunggulan. Namun, bioreaktor membran terendam paling disukai dan banyak digunakan pada instalasi pengolahan air limbah. Keunggulan menggunakan membrane bioreactor adalah mempermudah proses filtrasi pada membran dan backwash dapat dilakukan tanpa mengganggu sistem.


(9)

2.2 Studi Hasil Penelitian Sebelumnya Road Map Penelitian

Berbagai penelitian mengenai pengolahan limbah amonia menggunakan

membrane bioreactor telah dilakukan, Tian dan Liang (2008) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa MBR dapat mengurangi kadar amonia dalam limbah domestiknya hingga 89,4 %. Sedangkan Thamer dan Ahmed (2008) mendapatkan hasil yang lebih baik dengan menyimpulkan bahwa kandungan N-NH3 dalam limbah sintetik yang digunakan berhasil disisihkan hingga 99,8%. Fenomena ini mengindikasikan bahwa laju nitrifikasi cukup tinggi. Proses nitrifikasi dapat berlangsung dengan adanya bakteri Nitrisomonas. Bakteri nitrifikasi mengoksidasi ion ammonium untuk memperoleh energi dan melepas ion nitrit (NO2-). Ion nitrit yang dihasilkan akan dioksidasi lebih lanjut oleh bakteri Nitrobacter menjadi ion nitrat (NO3-). Oksidasi ion ammonium dan ion nitrit oleh bakteri disebut proses nitrifikasi. Ketika ion nitrit dioksidasi, bakteri memperoleh energi dan melepas ion nitrat (NO3-). Ketika bakteri mengoksidasi substrat, maka proses reproduksi akan terjadi atau terjadi peningkatan populasi bakteri. Bakteri mewakili jumlah padatan dalam tangki aerasi (Kusworo, 2009).

Penelitian Tri Widjaja (2007), tentang SMBR menunjukkan bahwa sistem ini masih mampu menyisihkan bahan organik dengan baik, walaupun konsentrasi biomassa cukup tinggi. Dengan teknologi membran dapat mengatasi masalah keterbatasan penggunaan konsentrasi lumpur, dan perlu pengontrolan yang baik pada F/M ratio, sludge age dan dissolved oxygen


(1)

Kinerja lumpur aktif sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter yang saling terkait, yakni:

1. Waktu Tinggal Sel

Waktu tinggal sel/lumpur (solid retention time-SRT) didefinisikan sebagai waktu tinggal rata-rata mikroba di dalam bak aerasi. SRT dikendalikan dengan cara pembuangan lumpur yang merupakan hasil bawah dari bak sedimentasi maupun dari bak aerasi secara langsung. Volume lumpur yang dibuang tergantung pada SRT yang diinginkan. Semakin besar SRT yang diinginkan, semakin kecil laju pembuangan lumpur yang dikendalikan, atau sebaliknya. Perhitungan SRT didekati dengan jumlah MLSS yang ada di dalam bak aerasi dibagi dengan laju pembuangan lumpur, dengan persamaan sebagai berikut:

Bila pembuangan lumpur dilakukan langsung melalui bak aerasi maka persamaan dapat dituliskan sebagai berikut:

Jika tidak digunakan clarifier dan tanpa adanya sirkulasi lumpur kembali ke bioreaktor, persamaan (2.9) dapat ditulis sebagai berikut:

Dimana :

V = volume bak aerasi, (liter)

X = MLSS dalam bak aerasi, (mg/L) Xr = MLSS hasil bawah bak aerasi, (mg/L) Xe= MLSS keluaran bak sedimentasi, (mg/L) Q = laju volumetris influent, (L/hari)

Qw= laju pembuangan lumpur volumetris, (L/hari)


(2)

τ = waktu tinggal cairan (hydraulic retention time, HRT), (hari)

Proses lumpur aktif biasanya beroperasi pada SRT 3-15 hari agar diperoleh flok yang mudah mengendap. Penggunaan SRT di luar rentang tersebut akan menimbulkan permasalahan pengendapan di dalam bak sedimentasi. (Sundstrom dan Klei, 1979).

2. Konsentrasi Biomassa (MLSS)

Pengolahan limbah cair industri secara proses biologis yaitu proses lumpur aktif dengan menggunakan mikroorganisme untuk mendegradasi limbah organik. Proses lumpur aktif tidak hanya membutuhkan tangki aerasi yang luas dan tangki sedimentasi tetapi juga menghasilkan jumlah lumpur yang berlebih (Chang et al., 2002). Proses ini sangat tergantung pada tiga parameter yaitu kondisi F/M ratio, sludge age dan dissolved oxygen (Williams, 1999). Dalam proses lumpur aktif terdapat batasan konsentrasi biomassa (MLSS) yang digunakan yaitu 2000-5000 mg/L (Sundstrom dan Klei, 1979). Sehingga jika digunakan untuk konsentrasi biomassa yang terlalu tinggi maka perlu dilakukan pengontrolan tiga parameter tersebut diatas. Konsentrasi biomassa sangat mempengaruhi kondisi mikroorganisme yang terdapat dalam limbah cair, selain itu mikroorganisme juga mempengaruhi keberhasilan proses lumpur aktif untuk mendegradasi limbah organik. Dalam sistem lumpur aktif respon bakteri digunakan untuk meremove senyawa organik, yang sering disebut dengan proses flokulasi atau pembentukan mikroba flok.

Secara umum mikroorganisme yang terdapat dalam lumpur aktif, terbagi menjadi empat kelas yaitu: organisme pembentuk flock (flock forming organism), saprofit, predator dan organisme pengganggu. Organisme pembentuk flok, merupakan organisme yang berperan penting dalam proses lumpur aktif. Tanpa organisme ini, lumpur tidak dapat terpisah secara baik dari air limbah yang diolah. Biasanya bakteri Zooglea remigera dianggap sebagai bakteri pembentuk flok, tetapi terdapat bermacam-macam jenis mikroorganisme yang dapat membentuk flok. (Grady dan Lim, 1980).


(3)

2.1.2.3 Faktor Pembebanan

Faktor pembebanan proses disebut juga sebagai nisbah pakan terhadap mikroorganisme (food to microorganism ratio, nisbah F/M), yakni laju BOD atau COD yang ditambahkan ke dalam unit volum bioreaktor, dan didefinisikan dalam persamaan berikut :

reaktor dalam

isme mikroorgan massa

hari reaktor dalam

digunakan yang

substrat massa

M F

Nisbah  / (2.11)

Untuk reaktor dengan pengadukan sempurna, nisbah F/M bisa didefinisikan dengan persamaan berikut.

(2.12) Dimana :

V = volume bak aerasi, (liter)

X = MLSS dalam bak aerasi, (mg/L) Q = laju volumetris influent, (L/hari)

τ = waktu tinggal cairan (hydraulic retention time, HRT), (hari) S0 = initial substrate concentration

Nisbah F/M juga dikendalikan dengan laju pembuangan lumpur. Dengan demikian laju pembuangan lumpur akan mengendalikan dua parameter sekaligus yaitu SRT dan nisbah F/M. Nisbah F/M yang terjadi berbanding terbalik dengan HRT. Proses lumpur aktif konvensional biasanya beroperasi pada nisbah F/M antara 0,2-0,6 kg COD/(kg MLSS.hari). Pemakaian nisbah di luar kisaran tersebut, akan menimbulkan beberapa permasalahan pengendapan di dalam bak sedimentasi (Sundstroms dan Klei, 1979).

Pada proses yang bekerja dengan baik, lumpur akan mudah mengendap, hal ini dapat terjadi bila cell-cell mikroba bergabung membentuk flok. Apabila tumbuh mikroba berfilamen (filamentous organism) secara berlebihan, pengendapan lumpur akan lambat. Peristiwa ini disebut “bulking sludge”. Pertumbuhan mikroba


(4)

berfilamen terjadi bila O2 terlarut atau BOD telalu kecil. Mikroba berfilamen mempunyai luas permukaan lebih besar sehingga menyerap O2 atau makanan lebih banyak, sebelum mereka terserap oleh flok.

Jenis-jenis lumpur tersebut sangat sulit mengendap secara gravitasi. Adanya kesulitan dalam proses pemisahan lumpur tersebut dalam bak sedimentasi mengakibatkan sebagian lumpur akan terbuang keluar (washout). Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya kadar kualitas effluent. Namun, kinetika menunjukkan bahwa mikroba-flokulasi (zoogleal) lebih efektif dengan O2 dan BOD lebih tinggi. Di samping itu ia dapat mengoksidasi zat organik yang komplek di mana mikroba filament tidak mampu.

Adanya oksigen yang terlarut dalam bak aerasi dapat memberikan efek secara kuantitatif terhadap laju pertumbuhan organisme filament maupun non-filament (pembentuk flok). Kemampuan difusi oksigen ke dalam flok tergantung dari konsentrasi oksigen terlarut di dalam cairan curah. Konsentrasi oksigen yang rendah dapat menyebabkan sebagian besar dari flok berada dalam kondisi anoksik atau anaerobik.

2.1.3 SMBR (Submerged Membrane Bioreactor)

SMBR (Submerged Membrane Bioreactor) atau bioreaktor membran terendam merupakan kombinasi proses biologis lumpur aktif dan filtrasi membran dalam satu unit. Sistem SMBR mempunyai kecenderungan besar untuk digunakan karena dianggap potensial untuk fabrikasi dan biaya perawatan rendah. Hal penting dalam sistem SMBR adalah kemampuan penyerapan permeat yang dibantu oleh tekanan dari bioreaktor itu sendiri yang berasal dari gelembung udara yang digunakan sebagai kontrol deposisi pada metode mekanika fluida dan pencemaran. (Fane dan Chang, 2002).

Peneliti Côté et al. (1997) telah menggunakan SMBR untuk mengolah limbah domestik dan membandingkannya dengan SMBR eksternal dan konvensional. Pada SMBR diaplikasikan sistem sirkulasi udara yang berfungsi sebagai aerasi sekaligus


(5)

dapat membersihkan membran dari dasar modul, sehingga mempunyai fungsi ganda selama operasi. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa pembersihan secara kimia, membran yang digunakan dapat beroperasi lebih lama dan memberikan keuntungan dalam hal kualitas, keamanan, dan kekompakan. Keunggulan lainnya adalah dapat menghilangkan senyawa nitrogen dan mereduksi produksi sludge hingga 50% dibandingkan dengan cara konvensional.

Tetapi penggunaan teknik membran pada pengolahan limbah terdapat problem terjadinya fouling yang melekat pada membran, berupa bahan organik kompleks yang dihasilkan dari produk metabolisme mikroorganisme. Selain itu SMBR juga memiliki beberapa kelemahan lainnya yaitu tidak terjadi proses denitrifikasi dan backwash yang sangat mengganggu sistem.

2.1.4 MBR (Membrane Bioreactor)

Pada tipe Membran Bioreactor, membran diletakkan terpisah dari reaktor. Cairan hasil penguraian bioreaktor di pompa ke membran secara cross-flow untuk dilakukan pemisahan padat cair. Kelebihan cairan diresirkulasi, sedangkan produk ditempatkan pada bak khusus.

Masing-masing tipe tersebut memiliki keunggulan. Namun, bioreaktor membran terendam paling disukai dan banyak digunakan pada instalasi pengolahan air limbah. Keunggulan menggunakan membrane bioreactor adalah mempermudah proses filtrasi pada membran dan backwash dapat dilakukan tanpa mengganggu sistem.


(6)

2.2 Studi Hasil Penelitian Sebelumnya Road Map Penelitian

Berbagai penelitian mengenai pengolahan limbah amonia menggunakan membrane bioreactor telah dilakukan, Tian dan Liang (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa MBR dapat mengurangi kadar amonia dalam limbah domestiknya hingga 89,4 %. Sedangkan Thamer dan Ahmed (2008) mendapatkan hasil yang lebih baik dengan menyimpulkan bahwa kandungan N-NH3 dalam limbah sintetik yang digunakan berhasil disisihkan hingga 99,8%. Fenomena ini mengindikasikan bahwa laju nitrifikasi cukup tinggi. Proses nitrifikasi dapat berlangsung dengan adanya bakteri Nitrisomonas. Bakteri nitrifikasi mengoksidasi ion ammonium untuk memperoleh energi dan melepas ion nitrit (NO2-). Ion nitrit yang dihasilkan akan dioksidasi lebih lanjut oleh bakteri Nitrobacter menjadi ion nitrat (NO3-). Oksidasi ion ammonium dan ion nitrit oleh bakteri disebut proses nitrifikasi. Ketika ion nitrit dioksidasi, bakteri memperoleh energi dan melepas ion nitrat (NO3-). Ketika bakteri mengoksidasi substrat, maka proses reproduksi akan terjadi atau terjadi peningkatan populasi bakteri. Bakteri mewakili jumlah padatan dalam tangki aerasi (Kusworo, 2009).

Penelitian Tri Widjaja (2007), tentang SMBR menunjukkan bahwa sistem ini masih mampu menyisihkan bahan organik dengan baik, walaupun konsentrasi biomassa cukup tinggi. Dengan teknologi membran dapat mengatasi masalah keterbatasan penggunaan konsentrasi lumpur, dan perlu pengontrolan yang baik pada F/M ratio, sludge age dan dissolved oxygen