1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Gereja sebagai tubuh Kristus menjadikan segala sesuatu berpusat dalam Kristus, Kepala Gereja, ialah satu-satunya yang memerintah jemaat dengan
Firman dan Roh-Nya, sehingga tanpa Dia sia-sialah keberadaan gereja itu. Kata gereja berasal dari bahasa Portugis, yakni
Igreja
. Jika ditinjau dari cara pemakaiannya dewasa ini, maka gereja adalah terjemahan dari kata Gerika :
kyriake
, yang berarti milik Tuhan, yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat, persekutuan orang yang beriman kepada Yesus Kristus.
1
Pada hakekatnya gereja merupakan “persekutuan orang-orang kudus, yaitu
persekutuan orang-orang yang menjadi suci kembali di hadapan Allah karena perbuatan Tuhan Yesus Kristus”.
2
Kata “Gereja” berasal dari bahasa Yunani
ekklesia
yang secara harafiah berarti “mereka yang dipanggil keluar” hampir sama dengan kata “kelompok” dalam arti dan penggunaannya.
3
Sebagai perkumpulan orang-orang percaya, maka gereja mempunyai ciri-ciri persamaan dengan perkumpulan duniawi lainnya. Persamaan ini nampak,
misalnya dalam hal-hal sebagai berikut : mempunyai sejumlah anggota, memiliki peraturan-peraturan dan memiliki struktur serta unsur-unsur kepemimpinan di
dalamnya. Di pihak lain terdapat perbedaan yang prinsipil antara gereja dengan perkumpulan duniawi tersebut. Perbedaannya terutama terletak dalam latar
belakang timbulnya gereja dan kekhususan tugasnya. Terbentuknya gereja karena karya Kristus, tanpa persekutuan dengan Kristus, maka gereja itu tidak berhak
disebut gereja.
4
Gereja memiliki tugas panggilannya untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani.
5
1
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1973, 295.
2
R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989, 207.
3
Ronald W. Leigh, Melayani Dengan Efektif, Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2002, 185-186.
4
Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1972, 173.
5
Martin B. Dainton, Gereja dan Bergereja Apa dan Bagaimana?, Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina KasihOMF, 1994, 10-11.
2
Berdasarkan laporan nasional survei menyeluruh gereja di Indonesia yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Studi DGI, dijelaskan bahwa masalah
kepemimpinan gereja termasuk yang utama dan harus ditanggulangi secara serius oleh gereja itu sendiri dalam mewujudkan misinya.
6
Di dalam mengeksplorasi bagaimana gereja, a da dua jabatan gerejawi atau
kedudukan kepemimpinan dalam gereja setempat, yaitu penatua dan diaken : a.
Penatua Istilah penatua, di gereja setempat menunjukkan pada jabatan yang sama
dengan uskup, penilik, gembala, dan pendeta. Hal ini dapat dilihat dengan memeriksa kata-kata Yunani yang dipergunakan dalam Perjanjian Baru untuk
menggambarkan para
pemimpin gereja.
Kata yang
pertama ialah
“
presbyteros
”, artinya orang tua, yang sulung, ketua-ketua.
7
Kata “
presbiter
”, diderivasi dari kata
presbyteros
, yang kemudian berkembang menjadi “imam”.
8
Sebagian orang
berpandangan bahwa masing-masing gereja harus memiliki seorang pendeta saja dengan menyatakan bahwa ada dua jenis
penatua, yaitu penatua yang mengajar dan penatua yang memimpin.
9
b. Diaken
Jabatan diaken
diakonos
berbeda dengan jabatan penatua. Kata
diakonos
adalah kata yang umum, yang berarti “pelayan” atau hamba”. Tugas-tugas diaken dapat mencakup bidang pelayanan yang umum dibedakan dengan
kepemimpinan rohani di gereja yang merupakan tanggung jawab para penatua.
Salah satu tanggung jawab dewan diaken yang sangat luar biasa adalah memastikan pelayanan pastoral tidak berhenti di dalam gereja. Ketika ada
pendeta yang mengundurkan diri, merekalah yang bertanggung jawab menghadirkan calon-calon yang akan menggantikan jabatan pendeta itu.
10
6
F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang, Jakarta : LPS-DGI, 1978, 346.
7
Gerhard Kittle, Theological of the New Testament, Michigan : W. M. B. Eerdmands Publishing Coy. Grand Rapid, 1971, 1027.
8
Dr. J. L. Ch. Abineno, Penatua Jabatannya dan Pekerjaannya, Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2005, 15.
9
Dr. Ronald W. Leigh, Melayani dengan Efektif, Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2002, 217-225.
10
Richard L. Dresselhaus, The Deacon and His Ministry, Springfield : Gospel Publishing House, 1977, 43-44.
3
Oleh sebab itu, kebanyakan gereja, diaken lebih bertindak sebagai eksekutif bisnis ketimbang hamba-hamba yang melayani.
11
Dari jabatan gerejawi ini, yang paling signifikan adalah pendeta. Seorang pendeta adalah seorang manusia biasa seperti pada umumnya warga jemaat, yang
berarti memiliki kelemahan dan kekurangan manusiawinya, selain tentunya juga memiliki kelebihan-kelebihannya. Seorang pendeta tidak bisa dituntut untuk
menjadi pendeta yang lain, oleh karenanya, seorang pendeta tidak dapat disbanding-bandingkan dengan pendeta yang lain yang kemudian berlanjut pada
penghargaan yang berbeda pula. Jabatan pendeta adalah jabatan panggilan untuk mengabdikan seluruh hidupnya bagi tugas jabatan itu, karena pentahbisannya
memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan sendiri. Namun demikian, sebagai manusia biasa juga membuat banyak hal yang kemudian menempatkan pendeta
dalam kondisi dilematis antara apa yang menjadi tuntutan dan tanggung jawab jabatannya dengan kebutuhan pribadinya. Umumnya pendeta ditempatkan pada
posisi kepemimpinan ger eja yang paling „atas‟ sebagai penghargaan atas predikat
yang diembannya, namun bukan berarti gereja yang dipimpinnya adalah gereja miliknya sendiri yang bisa ditentukan segala-galanya.
Berbicara tentang pendeta, tidak dapat kita pisahkan dengan jemaat. Pendeta dan jemaat dapat diumpamakan dengan dua sisi keping logam yang menyatu
dalam satu kesatuan. Keduanya saling berhubungan dan sangat terkait. Dalam hal ini, antara pendeta dan jemaat ada suatu hubungan yang kuat yang tak dapat
dipisahkan, artinya masalah kependetaan tidak dapat kita bicarakan terlepas dari hubungannya dengan jemaat atau pendeta tidak mempunyai peranan apa-apa jika
tidak ada jemaat. Pendeta itu ada karena adanya jemaat. Jemaat tentunya mempunyai berbagai kepentingan dan kebutuhan. Hal inilah membuat kehadiran
seorang pendeta sebagai pemimpin mempunyai peranan yang sangat penting. Bervariasinya kebutuhan jemaat itu menuntut seorang pendeta untuk
melakukan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan kebutuhan jemaat tersebut. Oleh sebab itu, muncullah harapan-harapan tertentu dari pihak jemaat
terhadap pendeta. Misalkan seorang pendeta diharapkan sebagai tokoh panutan
11
Alexander Strauch, Diaken dalam Gereja Penguasa atau Pelayan?, Yogyakarta : ANDI, 1992, ix.
4
yang dapat memberi keteladanan kepada anggota jemaat, ia dianggap yang patut dicontoh sebab ia yang lebih tahu tentang kebenaran, yang senantiasa
memberitakan tentang kebenaran, yang mendasari hidupnya pada Firman Tuhan dan memberi kesaksian tentang-Nya kepada semua orang, dan mengajarkan
bagaimana kehidupan orang-orang beriman. Selain itu, sering terjadi masalah kepemimpinan gereja yang ikut merugikan
perkembangan gereja, antara lain adanya gap kekosongan dalam komunikasi antara pemimpin gereja pendeta dan Majelis Jemaat dengan warga gereja;
pemimpin gereja kurang memberi perhatian dalam soal pendidikan Agama Kristen di jemaat; pemimpin gereja kurang mempersiapkan warga jemaat dalam
menghadapi tantangan sekularisme, materialisme; kadangkala pemimpin gereja tidak berusaha mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam gereja;
adanya rasa tidak puas terhadap kepribadian pemimpin gereja; nampaknya kemunduran dalam jemaat belum mendapat tanggapan yang secara maksimal oleh
pemimpin gereja.
12
Masalah pendeta sebagai pemimpin jemaat terdapat juga dalam Gereja Kristen Jawa GKJ, dimana dipaparkan dalam tulisan Pdt. Broto Semedi yang berjudul
“Merenungkan Kembali Kewibawaan Pendeta”, dikatakan bahwa dalam jemaat- jemaat GKJ sekarang terdapat krisis kewibawaan pendeta. Krisis kewibawaan
pendeta ini merupakan masalah serius sebab merugikan kehidupan jemaat terutama dalam hal penggembalaan dan pelayanan Firman Allah yang dilakukan
oleh pendeta. Tugas pendeta pada dasarnya adalah menolong warga jemaat sebagai manusia yang telah diselamatkan oleh Allah di dalam dan melalui Yesus
Kristus untuk tidak kehilangan keselamatan yang telah diperolehnya. Jadi jika si pembawa Firman Allah dalam keberadaannya kurang dihargai maka sekaligus
mengakibatkan warga jemaat akan kurang menghargai Firman Allah yang dibawakannya atau bentuk pelayanan lain yang dilakukannya.
13
Harapan inilah yang membawa jemaat kepada pemikiran bahwa pendeta adalah tokoh yang melekat dengan Firman Tuhan dengan demikian ia dilihat
sebagai tokoh rohaniwan yang lebih baik dari anggota jemaat. Jemaat lalu
12
S.H. Widyapranawa, Benih yang Tumbuh, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1973, 193-194.
13
-----, Majalah bulanan Warta Gereja GKJGKI Jateng, tahun XV, 1980, no.78.
5
memikirkan tokoh yang sangat ideal dari diri pendeta dengan harapan yang tinggi dan menganggap pendeta tidak bisa berbuat salah, akhirnya keterbatasan dan
kelemahannya sebagai manusia biasa tidak lagi diperhitungkan. Dalam hal ini, pendeta boleh dikatakan manusia super, terutama dalam menegakkan nilai-nilai
moral dan dalam kehidupan rohani. Ideal seperti ini akan membuat anggota jemaat terlalu mengagung-agungkan pendeta, jika ia memenuhi kriteria pendeta
yang ideal tersebut, tetapi juga mereka akan memprotes pendeta yang tidak dapat memenuhi kriteria pendeta ideal tersebut baik langsung maupun tidak. Ideal
seperti ini menyebabkan tokoh pendeta sebagai seorang manusia biasa yang terkesampingkan.
Kriteria pendeta ideal tersebut, pada dasarnya baik akan tetapi harus dipadukan dengan keberadaan pendeta sebagai manusia biasa yang bisa juga
keliru atau salah. Antara ideal yang tinggi dari jemaat dengan keberadaan pendeta yang terbatas sebagai manusia biasa menyebabkan banyak kesulitan dari pihak
pendeta untuk memenuhi harapan-harapan tersebut. Dari berbagai harapan yang ada itu, dapat kita lihat peranan pendeta di sini sangat penting dimana pendeta
perlu lebih mengenal jemaat dengan segala kebutuhan pelayanan mereka dan mengenal diri pendeta dalam melihat kemampuan diri untuk melayani. Perlu
disadari pula bahwa karena adanya harapan jemaat yang tinggi dengan kemampuan pendeta yang terbatas ia menemui banyak masalah dalam
menjalankan tugasnya serta dalam hal memenuhi kriteria pendeta ideal bagi jemaat. Hal ini disebabkan disamping harapan jemaat yang terlalu ideal, harapan-
harapan tersebut cukup bervariasi. Karena sulitnya memenuhi harapan tersebut, maka perlu dilihat harapan yang relatif bulat, yaitu harapan yang tidak terlalu
tinggi tetapi yang disesuaikan dengan kenyataan yang ada bahwa pendeta juga manusia biasa yang punya keterbatasan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan definisi kriteria yaitu ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu.
14
Jadi kriteria pendeta ideal ialah suatu ukuran yang menjadi dasar penilaian yang diberikan
kepada seseorang yang telah menerima jabatan kependetaan dari institusi gereja
14
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
6
tertentu untuk melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan kebutuhan gereja. Kriteria pendeta ideal juga banyak didapati di gereja-gereja Kristen Jawa.
Gereja Kristen Jawa GKJ merupakan gereja yang kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus yang ada
di suatu tempat tertentu yang dipimpin oleh Majelis Gereja dan yang telah mampu mengatur diri sendiri, mengembangkan diri sendiri, dan membiayai diri sendiri,
berdasarkan Alkitab, Pokok-Pokok Ajaran GKJ, serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ.
15
Oleh sebab itu, hakikat gereja GKJ dalam kesadaran sebagai bagian dari keluasan kasih penyelamatan Allah kepada seluruh ciptaan, yang dijiwai oleh
nilai-nilai budaya Jawa, serta warisan tradisi teologis sesuai konteksnya yang tidak bertentangan dengan alkitab, GKJ memahami diri sebagai kehidupan
bersama orang percaya, yang berpusat pada Yesus Kristus, dan sekaligus jawaban manusia terhadap karya kasih penyelamatan Allah, yang di dalamnya Roh Kudus
bekerja.
16
Gereja Kristen Jawa GKJ menggunakan sistem organisasi gereja presbiterial sinodal, dimana setiap GKJ adalah gereja Allah yang mandiri yaitu gereja yang
memiliki kewenangan dan mampu mengatur diri sendiri, mengembangkan diri sendiri, dan membiayai diri sendiri yang dipimpin oleh majelis gereja yang terdiri
atas penatua
presbyteros
, pendeta dan diaken.
17
Gereja Kristen Jawa GKJ dalam sistem presbiterialnya dimana kepemimpinan dipegang oleh sebuah majelis
yang terdiri dari seorang pendeta dan sejumlah presbiter atau penatua yang dipilih oleh umat.
18
Pikiran dasar dari sistem atau susunan presbiterial-sinodal ialah dapat dikatakan pimpinan atau pemerintahan gereja
19
oleh Kristus sebagai Kepala dan Tuhannya : Kepala dari tubuh-Nya dan Tuhan dari jemaat-Nya. Pimpinan dan
15
Sinode GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Salatiga : Sinode GKJ, 2005, 8.
16
Ceramah dalam Kursus Teologi Jemaat KTJ Klasis Semarang Barat, yang disampaikan oleh Pdt. Andreas Untung Wiyono, D. Min. selaku mantan ketua umum Sinode GKJ mengenai Eklesiologi
GKJ tanggal 10 Juni 2016 di GKJ Semarang Barat.
17
Ibid, 4.
18
Andar Ismail, Awam dan Pendeta Mitra Membina Gereja, Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2003, 175.
19
Yang dimaksudkan di sini dengan gereja ialah bukan saja gereja sebagai persekutuan, tetapi juga gereja sebagai institute atau lembaga. Pimpina n atau pemerintah gereja seperti yang
dikatakan di atas dipegang oleh Kristus sebagai Kepala dan Tuhannya. Pimpinan dan pemerintahan itu Ia jalankan dengan perantaraan pejabat-pejabat gerejawi sebagai alat atau
hamba-hamba-Nya.
7
pemerintahan ini berlangsung oleh pekerjaan Firman dan Roh-Nya.
20
Dalam sistem presbiterial sinodal, GKJ menempatkan pendeta sebagai pemimpin namun
juga sebagai pelayan, sebagai pemimpin yang pada hal tertentu mengatur namun juga sebagai pekerja yang harus diatur. Perlakuan ambigu ini yang seringkali
menjadi benih persoalan baik bagi gereja juga bagi dirinya sendiri. Masa pelayanan jabatan pendeta di GKJ seumur hidup, kecuali oleh karena
suatu sebab, jabatan tersebut diletakkan. Jabatan kependetaan diletakkan karena pendeta yang bersangkutan meninggal dunia atau ditanggalkan. Untuk studi kasus
pendeta yang ditanggalkan membuat beberapa gereja-gereja Kristen Jawa memiliki kriteria pendeta yang ideal ketika hendak memanggilmencari pendeta.
21
GKJ Argomulyo Salatiga dan GKJ Yeremia Depok merupakan salah satu contoh Gereja Kristen Jawa yang sedang memanggilmencari pendeta, dimana
gereja ini memiliki kriteria ideal sesosok pendeta yang berbeda. GKJ Argomulyo Salatiga merupakan Gereja Kristen Jawa yang terletak di pedesaan kota Salatiga
dengan kondisi sudah dewasa 2 tahun dan belum memiliki pendeta jemaat
22
, sedangkan GKJ Yeremia Depok merupakan Gereja Kristen Jawa yang berada di
pinggir kota Jakarta dengan kondisi baru dewasa 23 tahun jumlah warga dewasa ± 692 jiwa dengan jumlah KK sebesar ± 215 KK
23
dan sudah memiliki satu pendeta jemaat yang melayani.
Oleh sebab itu, penulis ingin mengetahui kriteria pendeta ideal yang dimiliki jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok dengan alasan :
1 Gereja tersebut belum memiliki pendeta atau sedang memanggilmencari Pendeta; 2 Harapan jemaat terhadap seorang pendeta karena banyak pendeta
yang ditanggalkan atau menanggalkan kependetaannya dengan permasalahan yang terjadi di gereja; 3 Banyak harapan-harapan yang ideal yang dimiliki gereja
tetapi tidak ada yang memenuhi syarat.
20
Dr. J. L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 1997, 79.
21
Salah satu studi kasus pendeta yang ditanggalkan terjadi di sebuah gereja GKJ tahun 2014 dimana pendeta kedua di jemaat ini ditanggalkan karena pendeta tersebut memiliki hutang yang
sangat banyak dan melibatkan gereja untuk membayar hutang-hutangnya.
22
Data diperoleh dari wawancara dengan Pnt. Suhardi selaku Ketua Majelis Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga pada tanggal 1 Desember 2015.
23
Data diperoleh dari data gereja GKJ Yeremia Depok yang tercatat di Ruang Konsistori pada tanggal 14 Mei 2016.
8
Dari latar belakang di atas, saya mengambil judul :
KRITERIA PENDETA IDEAL MENURUT JEMAAT GKJ ARGOMULYO SALATIGA DAN
JEMAAT GKJ YEREMIA DEPOK
1.2 RUMUSAN MASALAH