Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kriteria Pendeta Ideal Menurut Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan Jemaat GKJ Yeremia Depok T2 752014033 BAB IV

(1)

96

BAB IV

ANALISIS PANDANGAN KRITERIA PENDETA

IDEAL MENURUT JEMAAT GKJ ARGOMULYO

SALATIGA DAN JEMAAT GKJ YEREMIA DEPOK

Berdasarkan hasil penelitian yang tertuang di dalam Bab III, maka penulis ingin memberi paparan analisis yang ditemukan dalam pernyataan jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok mengenai kriteria pendeta ideal, maka penulis melihat adanya perbandingan dan persamaan antara kriteria pendeta ideal menurut jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok, sebagai berikut :

4.1 PERBANDINGAN ANTARA KRITERIA PENDETA IDEAL

MENURUT JEMAAT GKJ ARGOMULYO SALATIGA

DAN JEMAAT GKJ YEREMIA DEPOK

4.1.1 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN JENIS KELAMIN

Dilihat dari letak lokasi antara jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok sangat berbeda, dimana jemaat GKJ Argomulyo Salatiga terletak di lokasi pedesaan, sedangkan jemaat GKJ Yeremia Depok terletak di lokasi perkotaan. Jemaat yang berada di lokasi pedesaan merasa butuh sesosok pendeta laki-laki. Hal ini disebabkan karena jemaat di lokasi pedesaan masih memegang teguh sistem kekerabatan orang Jawa, dimana orang Jawa memiliki sistem kekerabatan patriakhal, dimana kepemimpinan hanya dipegang oleh laki-laki.1 Selain itu, lokasi jemaat GKJ Argomulyo Salatiga terpencar-pencar dan sangat jauh. Selain itu, ada jemaat yang tinggal di desa yang tidak ada penerangan jalan, sehingga jika malam jalan

1


(2)

97

menuju rumahnya sangat gelap gulita. Oleh sebab itu, GKJ Argomulyo Salatiga mencari seorang pendeta laki-laki bukan pendeta perempuan. Pendeta laki-laki dipandang teguh dan memiliki fisik yang kuat di dalam melayani dibandingkan dengan pendeta perempuan.

Berbeda dengan jemaat GKJ Yeremia Depok yang terletak di perkotaan. Walau lokasi jemaat GKJ Yeremia Depok terpencar di dalam 4 wilayah, yaitu Wilayah Depok 1, Wilayah Depok Utara, Wilayah Sawangan, dan Wilayah Depok Timur, yang mana tiap wilayah pun terdapat anggota jemaat yang rumahnya tidak berada di wilayah tersebut, melainkan di wilayah lain bahkan ada yang di kota Jakarta. Walaupun, jaraknya ada yang jauh masih bisa ditempuh. Oleh sebab itu, jemaat GKJ Yeremia Depok tidak mempermasalahkan jenis kelamin dari pendeta yang nantinya akan melayani mereka.

Untuk menyikapi perbandingan antara jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dengan jemaat GKJ Yeremia Depok, maka penulis berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan dihadapan Tuhan memiliki harkat dan martabat yang sama, dimana Tuhan tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Seseorang yang telah terpanggil menjadi seorang pendeta, pada dasarnya sudah mengetahui tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pendeta, termasuk segala konsekuensi-konsekuensi yang harus ia terima sebagai pendeta.

4.1.2 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN IPK KELULUSAN

Setiap manusia akan terus mengalami proses belajar di dalam hidupnya. Belajar baik dalam bidang akademik maupun hal yang lain. Melihat perkembangan di zaman ini, dalam sebuah gereja banyak sekali jemaat yang memiliki intelektual yang tinggi. Intelektual yang tinggi ini mereka raih dalam bidang akademis.

Untuk menyeimbangkan intelektual yang dimiliki oleh jemaat, pendeta sebagai seorang pemimpin gereja harus memiliki kemampuan di segala bidang akademis. Penguasaan di bidang akademis ini diharapkan tidak hanya


(3)

98

di bidang Teologi yang digelutinya, melainkan diharapkan juga menguasai bidang yang lain. Untuk mengetahui kemampuan seorang pendeta, IPK Kelulusan sangat menentukan kemampuan pendeta tersebut.

Dengan IPK Kelulusan, kita dapat mengetahui seberapa jauh pemahaman pendeta di bidangnya sendiri, yaitu Teologi yang digelutinya. Jika seorang pendeta di bidangnya sendiri saja tidak mendapatkan nilai yang baik bagaimana dengan bidang akademis yang lain.

Oleh sebab itu, jemaat GKJ Argomulyo Salatiga mengharapkan pendeta

yang akan melayani dengan IPK ≥ 3,00, sedangkan jemaat GKJ Yeremia Depok mengharapkan pendeta yang akan melayani dengan IPK ≥ 3,25.

Tingkat prestasi yang diharapkan jemaat GKJ Yeremia Depok, jauh lebih tinggi daripada jemaat GKJ Argomulyo Salatiga karena lokasi perkotaan jauh memiliki tantangan yang berat. Oleh sebab itu, pendeta harus benar-benar pintar.

4.1.3 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN SUKU BANGSA DAN BAHASA

GKJ adalah Gereja Kristen Jawa, dimana dahulu kala GKJ merupakan gereja kesukuan, seperti HKBP dan gereja kesukuan lainnya. Awalnya jemaat yang beribadah di GKJ adalah suku Jawa, dimana dalam ibadah GKJ ada ibadah dengan pengantar Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Karena GKJ adalah gereja kesukuan, maka hal yang sangat wajar ketika jemaat di gereja-gereja Kristen Jawa pada umumnya lebih memilih sesosok pendeta yang berasal dari suku Jawa, dimana pendeta yang berasal dari suku Jawa memiliki kepribadian Jawa dan bisa berbahasa Jawa. Hal ini sangat bermanfaat karena sesosok pendeta harus bisa berkhotbah di dalam bahasa Jawa.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, banyak jemaat yang berasal dari luar Jawa yang beribadah di GKJ, dimana mereka tidak bisa berbahasa Jawa. Oleh sebab itu, jemaat yang berasal dari luar Jawa lebih sering memilih ibadah di dalam bahasa Indonesia.

Pdt. Widyatmo mengemukakan pendeta GKJ tidak harus berasal dari etnis Jawa. Dari suku apapun bisa menjadi pendeta GKJ asal menguasai budaya


(4)

99

Jawa, dimana pendeta GKJ yang bukan etnis Jawa harus hidup terlebih dahulu di tengah komunitas jemaat Jawa, sehingga harus belajar etika Jawa (sopan santun). Pdt. Drs. Bambang Irianto. S. Th., M. Min. menyatakan mengenai bahasa Jawa itu bisa dipelajari dan bukan patokan yang mutlak di dalam mencari seorang pendeta GKJ.2

4.2 PERSAMAAN KRITERIA PENDETA IDEAL MENURUT

JEMAAT GKJ ARGOMULYO SALATIGA DAN JEMAAT

GKJ YEREMIA DEPOK

4.2.1 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN STATUS PERNIKAHAN

Status pernikahan terkadang juga menjadi bahan pertimbangan bagi gereja-gereja Kristen Jawa untuk memanggil sesosok pendeta. Biasanya gereja kecil/gereja yang berada di pedesaan mempertimbangkan status pernikahan seorang pendeta. Hal ini disebabkan karena kondisi sosio-ekonomis yang dimiliki beberapa gereja Kristen Jawa.

Untuk menggaji sesosok pendeta, biasanya gereja yang berada di pedesaan belum tentu bisa memberikan gaji yang layak untuk pendetanya, apalagi jika pendeta tersebut sudah menikah dan memiliki anak. Biasanya gereja yang berada di pedesaan tidak mampu untuk memberikan tunjangan untuk keluarganya.

Selain itu, ada pertimbangan lain, dimana jika seorang calon pendeta belum menikah, maka harapan jemaat sebelum calon pendeta ditahbiskan menjadi pendeta sudah harus menikah. Hal ini didasari atas pemikiran jika seorang calon pendeta sudah ditahbiskan menjadi pendeta dan belum menikah, maka ketika pendeta akan menikah, ada kekhawatiran bahwa biaya pernikahan pendeta akan ditanggung oleh gereja.3

2

Pdt. Widyatmo merupakan pendeta emeritus GKJ Semarang Barat, sedangkan Pdt. Bambang Irianto merupakan pendeta GKJ Semarang Barat.

3


(5)

100

Menurut pandangan penulis, berbicara mengenai pernikahan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, dimana sebuah pernikahan hanya dilaksanakan satu kali seumur hidup. Apabila sebuah pernikahan dipaksakan, bisa membawa dampak buruk untuk ke depannya, apalagi kehidupan seorang pendeta, harus benar-benar mencari pasangan yang sepadan, pasangan yang takut akan Tuhan dan pasangan yang benar-benar mendukung pelayanannya.

4.2.2 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN RENTANG USIA

Kematangan seseorang dipengaruhi oleh usia dan pengalaman hidup, di sini penulis mengambil variable rentang usia calon pendeta di dalam melayani sebagai sesosok pendeta. Hal ini memberikan penjelasan bahwa usia 25-30 tahun adalah usia yang matang bagi calon pendeta.

Penemuan ini sangat logis karena di usia 25-30 tahun inilah seorang calon pendeta dapat melayani dengan sepenuh hati dan dengan semangat yang luar biasa. Selain itu rentang usia 25-30 tahun adalah usia yang dewasa dimana seorang calon pendeta dapat mengatasi konflik yang terjadi di gereja dengan kematangan yang dimilikinya.

Oleh sebab itu, kebanyakan gereja-gereja Kristen Jawa yang menggunakan usia 25-30 tahun sebagai kriteria pendeta yang ideal karena usia tersebut adalah usia produktif.

4.2.3 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN PENDIDIKAN

Sesuai dengan akta sinode Gereja Kristen Jawa dalam persidangan Sinode ke XX ditegaskan bahwa perguruan tinggi teologi atau yang memiliki fakultas/jurusan teologi yang diakui oleh sinode Gereja Kristen Jawa adalah Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia Yogyakarta, dan Universitas Kristen Surakarta.

Hasil penelitian yang terlihat di Bab III, bahwa lulusan Universitas Kristen


(6)

101

Duta Wacana Yogyakarta dalam pelayanannya sebagai pendeta, mereka memiliki kecenderungan mampu menampilkan diri sendiri dan sedikit banyak dipengaruhi oleh kehidupan masyarakatnya. Artinya mereka mampu mengekspresikan diri berdasarkan dari pengalaman-pengalaman dan keterlibatan kehidupan sosial, hal ini diperkuat dengan adanya keterbukaan masyarakat Yogyakarta dengan para mahasiswa, sehingga interaksi antara mahasiswa dengan masyarakatnya kelihatan lebih intens. Sehingga mempengaruhi cara pandang kehidupan dan kepemimpinan. Menurut Goffman, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran tersebut, terlibat dalam kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang mereka masuki dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi. Presentasi diri yang ditunjukkan Goffman bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Interaksi tatap muka

dibatasinya sebagai “individu-individu yang saling mempengaruhi tindakan-tindakan mereka satu sama lain ketika masing-masing berhadapan secara

fisik”. Biasanya terdapat suatu arena kegiatan yang terdiri serangkaian

tindakan individu tersebut. Dalam suatu situasi sosial, seluruh kegiatan dari partisipan tertentu disebut sebagai suatu penampilan (performance). Pertunjukan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang lain, sedang orang-orang lain yang terlibat di dalam situasi tersebut disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya. Para aktor adalah mereka yang melakukan tindakan-tindakan atau penampilan rutin (routine). Dan kesan (impression) si pelaku terhadap pertunjukan ini bisa berbeda-beda.

Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana, memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh lembaga atau organisasi. Hasil ini didukung dengan adanya proses belajar mengajar di UKSW, interaksi yang intens dengan mahasiswa dalam berbagai fakultas di area kampus. Seperti yang dikatakan Goffman, bahwa interaksi dengan siapa dan apa, akan mempengaruhi peran dan


(7)

102

penampilan secara rutin. Mahasiswa teologi UKSW memiliki pergaulan/komunitas mahasiswa yang multi etnik dan dari berbagai lingkungan sosial yang berbeda sehingga tampilan diri sangat dipengaruhi oleh lingkungan tersebut. Melalui kenyataan itu, maka lulusan UKSW mampu menghasilkan lulusan yang memiliki ketaatan pada lembaga/organisasi, hal ini juga dipengaruhi karena fakultas teologi cenderung memberikan tekanan kepada pastoral dan konseling dan gaya kepemimpinan para pengajarnya yang khas yaitu terbuka.

Lulusan Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia dan Universitas Kristen Surakarta cenderung kepemimpinannya dipengaruhi oleh kehidupan keluarga dan masyarakat. Hal ini disebabkan mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut sebagian besar dari masyarakat pedesaan di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, yaitu kekerabatan keluarga dan kehidupan sosial sangat erat. Sedangkan lulusan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak memiliki kecenderungan tertentu, dimungkinkan karena berada di ibukota, sedangkan mahasiswa berasal dari berbagai daerah, proses belajar mengajarnya memberi penekanan pada science dan dalam kampus hanya ada fakultas teologi saja. Sehingga interaksi dengan mahasiswa dalam bidang ilmu yang lain tidak ada, pengembangan diri tergantung dimana mahasiswa tersebut berinteraksi dengan sosial lingkungannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan para pengajarnya yaitu para pendeta yang masih aktif di jemaatnya.

4.2.4 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN KESEHATAN

Sesosok pendeta harus memiliki kondisi yang sehat baik lahir dan batin. Kondisi yang sehat dapat membuat seorang pendeta semangat di dalam melayani. Oleh sebab itu, kebanyakan jemaat berharap pendetanya tidak merokok, bukanlah seorang peminum, dan narkoba. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa jika pendeta merokok, peminum, dan narkoba, dapat merusak kesehatannya. Hal ini juga mempengaruhi keuangan gereja, dimana gereja bertanggung jawab jika pendetanya sakit diwajibkan untuk


(8)

103

menanggung segala biaya kesehatannya. Hal ini menyebabkan suatu pemahaman bahwa jika pendeta sakit, maka beliau tidak dapat melayani dengan baik.

Dalam hal ini, penulis sangat mendukung seorang pendeta alangkah baiknya tidak merokok karena merokok sama sekali tidak membawa manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

4.2.5 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN SIKAP HIDUP

Kehidupan seorang pendeta beserta keluarganya diibarat seperti ikan yang hidup di akuarium. Diamati/dilihat dari berbagai sudut pandang. Gaya hidup/sikap hidup seseorang pendeta ini sangat mempengaruhi cara pandang jemaatnya terhadap pendetanya.

Jemaat sangat menyenangi pendeta yang mawas diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka4, selalu berbelas kasih dengan siapa saja, tidak pilih kasih, tegas, teliti dimana saja berada, memiliki sifat pemaaf, menjadi berkat dengan memberikan inspirasi kepada jemaatnya, menjadi terang bagi jemaatnya, percaya diri.5

Pemimpin Kristen adalah seorang yang memiliki pengenalan yang besar terhadap diri sendiri (berdamai dengan diri sendiri).6 Menerima dengan ikhlas apa yang ada pada diri sendiri itu berarti : (a) tidak marah, kecewa terhadap kekurangan yang dimilikinya dan dengan demikian juga tidak cemburu terhadap kelebihan yang dimiliki orang lain; (b) memiliki kemampuan menentukan diri sendiri (Bagaimana menggunakan kebebasan); (c) Pengendalian terhadap daya tarik kekuasaan, daya tarik material dan seksual. Godaan kekuasaan, materi dan seks merupakan hal utama yang harus dapat dihadapi. Maka, dibutuhkan kemampuan untuk memegang kendali, mengedepankan rasio dan melawan dengan iman; (d) memiliki kerendahan hati. sederhana, mengucap syukur senantiasa, mentaati hati nurani; (e) menggunakan akal budi dengan baik : manusia memiliki rasio dan akal budi,

4

Budiono Herusatoto, 81-83.

5

Asep Rachmatullah, 127-128.

6


(9)

104

yang memampukannya untuk mengetahui atau membedakan yang baik dan yang buruk. Perasaan memegang peranan penting dalam menggerakkan pribadi kita untuk menghendaki bahkan melakukan sesuatu.

4.2.6 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN DOMISILI

Sesosok pendeta yang baik adalah pendeta yang dekat dengan jemaatnya. Oleh sebab itu, pendeta harus tinggal di dekat jemaat. Selama penulis memasuki tahap orientasi di GKJ Yeremia Depok selama 3 bulan, penulis tinggal di rumah-rumah jemaat, dimana setiap 2-3 hari di pindah. Hal ini bertujuan supaya jemaat lebih mengenal bakal calon pendeta dan bakal calon pendeta juga mengenal dan mengetahui pergumulan yang dialami oleh jemaat.

Dengan demikian, pendeta dan jemaatnya memiliki hubungan kekeluargaan satu dengan yang lainnya, pendeta menjadi sahabat bagi jemaat. Pendeta menjadi seorang sahabat dalam arti selalu mempunyai waktu untuk sahabatnya.

Jika pendeta dengan jemaatnya memiliki hubungan yang dekat, maka konflik yang terjadi dapat dengan mudah diatasi karena saling mengenal dan saling memahami satu dengan yang lainnya.

4.2.7 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN HOBI

Sesosok pendeta merupakan teladan bagi jemaatnya. Oleh sebab itu, sesosok pendeta harus memiliki pengetahuan yang luas. Bagaimana caranya sesosok pendeta memiliki pengetahuan yang luas? Hal itu dapat diperoleh jika seorang pendeta rajin membaca. Oleh sebab itu, salah satu hobi seorang pendeta yang diharapkan oleh jemaat adalah rajin membaca.

Hobi yang kedua adalah suka olahraga. Dengan berolahraga, seorang pendeta memiliki tubuh yang sehat. Jika tubuh sudah sehat, maka pikiranpun akan sehat dan bisa dengan tenang mengatasi setiap konflik yang ada.

Hobi yang ketiga yang diharapkan oleh jemaat adalah bisa menyanyi, bisa main alat musik. Hal ini dikarenakan pendeta tidak hanya menjadi seorang


(10)

105

pemimpin bagi jemaatnya dalam hal kerohanian, melainkan juga menjadi pemimpin dalam menyanyi di atas mimbar.

4.2.8 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN

Seorang pendeta merupakan seorang pemimpin bagi jemaatnya. Seorang pemimpin yang memberi pengaruh kepada jemaat untuk menjalankan kehendak Allah.7 Seorang pemimpin harus memiliki visi8 dan misi yang jelas.9

Oleh sebab itu, seorang pendeta harus mampu menjadi teladan sebagai murid Kristus, mau melayani dan mengutamakan kesejahteraan orang lain daripada kenikmatan dan martabat dirinya sendiri, yang membimbing, memprakarsai, dan dapat memikul tanggung jawab10, mampu memberikan solusi di tengah masalah yang dihadapi oleh jemaat, mampu berkomunikasi dengan jemaatnya.

Kepemimpinan yang ada di GKJ adalah presbiterial-sinodal, dimana kepemimpinan dipegang oleh majelis jemaat, dimana gereja-gereja GKJ harus mandiri, dimana gereja-gereja GKJ memiliki kewenangan/kebijakan tersendiri, mengembangkan diri sendiri, dan membiayai diri sendiri, sehingga dalam gereja GKJ, yang menjadi ketua majelis jemaat bisa pendeta jemaat atau majelis jemaat tergantung dari kebijakan masing- masing gereja.

Dasar pemerintahan presbiteral mempunyai pemahaman bahwa Tuhan Yesus Kristus itu sebagai kepala jemaat dengan mempunyai 3 kedudukan yaitu Raja, Nabi dan Imam. Warga jemaat sudah disatukan dengan Tuhan Yesus Kristus, disatukan melalui sakramen baptis, juga memiliki kedudukan 3 seperti Tuhan Yesus. Oleh karena itu dalam jemaat harus ada 3 kedudukan yang menjelaskan kedudukan Tuhan Yesus yang juga dimiliki oleh warga gereja, yaitu kedudukan Raja yang diwakili oleh Penatua,kedudukan Nabi yang diwakili oleh Pendeta, dan kedudukan imam yang diwakili oleh

7

J. Robert Clinton.

8

Hasil visi adalah penetapan sasaran dan pengembangan strategi.

9

Alan E. Nelson, 214-215.

10


(11)

106

Diaken (pemelihara). Ketiganya itu disebut sebagai Majelis Gereja. Majelis gereja itu yang mengatur kehidupan bergereja seperti Tuhan Yesus artinya majelis itu menjadi wakil Tuhan Yeus yang memerintah jemaat. Karena ketiganya itu disebut Presbiterium maka awal mula tatanannya disebut tatanan Presbiteral.

Gereja setempat satu dengan yang lainnya yang sama ajarannya, tata gerejanya dan cara bergereja maka menyatukan diri yaitu dengan mengadakan rapat-rapat / sidang. Rapat jemaat / persidangan gereja yang ada dalam wilayah tertentu disebut klasis, begitu pula dengan persidangan gereja-gerejanya (utusan tiap klasis bersidang/ umumnya disebut Sinode. GKJ, memilih tatanan presbiteral tetapi juga memperhatikan pentingnya klasis dan sinode. Oleh karena itu, semua gereja gkj yant tersebar ada di 5 propinsi yaitu : propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah istimewa Yogyakarta, daerah khusus ibukota Jakarta, dan Jawa Barat, harus memiliki perasaan yang satu dan dengan sukacita menanggung segala kebutuhan klasis dan sinode apalagi saling membantu. Biarpun system Presbiteral namun setiap gereja itu mandiri tetapi juga jangan hanya memikirkan diri sendiri. Gereja yang sati harus memikirkan gereja yang lain yang masih satu GKJ dan juga harus memikirkan klasis dan sinode. Jadi, gereja yang mandiri itu tidak menyingkirkan tentang persekutuan dan kebersamaaan.

Bagaimanapun keadaaanya setiap gereja pasti ada kekurangannya. Tidak ada cara pememerintahan gereja yang sempurna. Setiap cara memerintah di gereja it ada kekuarangan dan ada kelebuahannya. Bagi Gereja Kristen Jawa, dari system pemerinahan gereja yang paling baik yaitu prsbiteral yang tetap memperhatikan kesatuan klasis maupun sinode.11

Dhasaring paprentahan presbiterial iku panganggep yen Sang Kristus kang jumeneng retuning pasamuwan kagungan kalenggahan telu, yaiku ratu, nabi, lan imam. Warganing pasamuwan jalaran wis ditunggalake karo Gusti Yesus, kang patunggalan iku mau katandhan srana baptis, uga nduweni kalenggahan telu kagungane Gusti Yesus mau. Awit saka iku ing sajroning pasamuwan kudu ana kalenggahan telu kang babarake kalenggahane Gusti Yesus kang uga kadarbe dening warganing pasamuwan, yaiku kalenggahan ratu kang kebabar ana ing pinituwa, kalenggahan nabi kang kebabar ana ing pandhita lan kalenggahan imam kang kebabar ana ing juru pamulasara utawa dhiaken. Tetelune iku disebut

11

Pdt. P. Pudjaprijatma, S. Th., Tukang Ngreta Gereja GKJ (Tuntunan Kanggo Ngrembug Tata Gereja GKJ), Yogyakarta : BP-LPK Sinode GKJ dan GKI Jateng, 1993, 2-3.


(12)

107

pradata utawa presbiterium. Pradata iku kang ngereh pasamuwan babarake pangrehe Gusti Yesus, tegese pradata iku dadi wakile Gusti Yesus ngereh pasamuwan. Sarehning tetelune iku disebut presbiterium mula tatanan iku disebut tatanan presbiterial.

Pasamuwan sapanggonan siji lan sijine kang padha wulangane, Tata Gerejane lan carane masamuwan padha tetunggalan yaiku srana nganakake parepatan-parepatan. Parepataning pasamuwan-pasamuwan kang ana ing wewengkon tertentu disebut klasis, dene parepataning pasamuwan-pasamuwan ing saumume disebut sinodhe.

Gereja Kristen Jawa, milih tatanan presbiterial nanging uga kanthi migatekake pentinge klasis lan sinodhe. Awit saka iku kabeh pasamuwan GKJ kang sumebar ana ing limang propinsi, yaiku propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Khusus Ibukota Jakarta lan Jawa Barat, kudu rumangsa anggone dadi siji lan kanthi suka rila nyangga sakabehing kabutuhaning klasis lan sinodhe apadene padha dene tansah mbiyantoni. Sanadyan miturut tatanan presbiterial iku saben pasamuwan iku mandhiri nanging aja mandhireng yaiku mung mikir awake dhewe. Pasamuwan kang siji uga kudu mikirake pasamuwan liyane kang tunggal GKJ, lan uga kudu mikirake klasis apadene sinodhe. Dadi, ing adage kang mandhiri iku ora ngiwakake bab tetunggalan lan bebarengan (kebersamaan).

Kapriye wae saben paprentahaning pasamuwan iku ana cacade. Ora ana cara paprentahaning pasamuwan kang sampurna. Saben cara paprentahaning pasamuwan iku ana kaunggulane nanging uga ana kakurangane. Dene tumraping Gereja Kristen Jawa saka antarane cara-cara paprentahaning pasamuwan iku mau kang dianggep paling prayoga dhewe iku cara paprentahaning pasamuwan presbiterial kang kanthi migatekake patunggalaning klasis apadene sinodhe. Dalam hal organisasi dan kepemimpinan gereja, kita menganut sistem presbiterial. Menurut sistem tersebut kepemimpinan gereja bersifat kolektif dan berbentuk Majelis, yang terdiri dari tiga macam jabatan : pendeta (dengan tugas utama mengajar), penatua (dengan tugas utama mengatur), dan diaken (dengan tugas utama melaksanakan pelayanan kasih). Ketiga jabatan kemajelisan tersebut tidak tersusun secara hirarkis, melainkan masing-masing mempunyai kedudukan yang setara, dengan pembagian atau pengkhususan tugas masing- masing.

Pilihan sistem bergereja secara umum menggambarkan model kepemimpinan yang dipergunakan oleh gereja tersebut. Pilihan sistem bergereja Sinodal misalnya, diasumsikan punya kecenderungan model kepemimpinan otoriter-topdown. Sementara pilihan sistem bergereja presbiterial (dengan banyak variannya) diasumsikan punya kecenderungan model kepemimpinan demokratis-partisipatif. Sedangkan pilihan sistem bergereja independentatis/pentakostal diasumsikan punya kecenderungan model kepemimpinan kharismatik. Demikian seterusnya dengan system


(13)

108

bergereja papal, episkopal, kongregasional, dll. Meskipun demikian, seyogyanya kita perlu tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan, sebab asumsi-asumsi tersebut dalam praktik tidak selalu benar bahkan boleh jadi berkebalikan.

Berbicara mengenai sistem dan model kepemimpinan, Eka Darma Putera

mengingatkan, “Jangan kita memutlakkan satu system kepemimpinan tertentu, apalagi seorang pemimpin tertentu. Yang harus kita terapkan ialah prinsip-prinsipnya. Tetapi bagaimana itu kita terapkan secara praktis, tidak selalu konstan atau permanen. Ia tergantung pada dua faktor. Pertama, apakah ia taat asas terhadap apa yang dikehendaki Tuhan. Kedua, apakah ia tepat guna di tengah-tengah kebutuhan konkret yang ada”.12

Jajaran gereja-gereja GKJ se-sinode yang telah dipanggil menjadi alat kasih karunia Allah oleh Tuhan Yesus ditegaskan secara praktis. Konteks GKJ sekarang ini berada di tengah keadaan masyarakat yang sedang sakit. Tugas kita adalah bagaimana menjadi pewarta-pewarta kebenaran di tengah konteks masyarakat dan memelihara iman percaya warga gereja agar tetap menjadi bahtera yang dipakai oleh Kristus.13

Seorang ketua atau pemimpin jemaat adalah seorang yang dipilih Allah dan umat-Nya untuk memimpin gereja Tuhan. Ini adalah satu “pekerjaan” yang mulia. Seorang ketua jemaat yang benar adalah seorang yang disisihkan untuk menjadi kepala dari Gereja Tuhan, seorang pemimpin yang bertugas menggembalakan kelompok umat Tuhan yang terikat sebagai anggota-anggota dari satu jemaat. Ketua yang benar itu bukan boss yang hanya tahu memerintah atau memberikan komando. Seorang ketua yang benar dan mengikuti standard yang diberikan dalam Alkitab adalah seorang yang tugasnya seperti gembala terhadap domba-domba di dalam kandang yang dipercayakan kepadanya. Dia secara harfiah memang disebut sebagai seorang gembala dalam Alkitab. Dia adalah seorang pelayan dan hamba Allah di jemaat itu.

12

Eka Darmaputera, dkk., Kepemimpinan Kristiani : Spiritualitas, Etika, dan Teknik-Teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan, (Jakarta : Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2003), 3.

13

Pdt. Sukardi Citro Dahono, GKJ Terus Berlayar Mengarungi Zaman, Salatiga : Badan Pelaksana Sinode XXV GKJ, 2011, 16.


(14)

109

Pemimpin jemaat tidak harus pendeta. Seorang penatua juga bisa menjadi pemimpin jemaat, dia tidak digaji oleh jemaat, tetapi dia dijanjikan pahala yang sama seperti seorang pendeta, selain mempunyai tanggung jawab yang sama seperti seorang pendeta. Tetapi kenyataannya seorang pemimpin jemaat tidak digaji oleh organisasi gereja bukan berarti bahwa dia lebih rendah atau lebih kurang dalam sudut kemampuan atau keuangannya dari seorang pendeta.14

Adapun kelebihan dan kekurangan seorang pemimpin jemaat dipimpin oleh seorang pendeta, yaitu : jika yang menjadi ketua majelis jemaat adalah seorang pendeta, maka kelebihannya adalah struktur organisasi berjalan dengan baik, sedangkan kekurangannya, pendeta yang menjadi ketua majelis jemaat akan memimpin dengan otoriter.15

Oleh sebab itu, penulis lebih memilih tipe kepemimpinan transformatif. Dimana kepemimpinan ini didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan kharimsa mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya. Para pemimpin yang transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-instruksi yang bersifat top down. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Pemimpin yang transformatif lebih menekankan pada bagaimana merevitalisasi institusinya, baik dalam level organisasi maupun negara.

Secara lebih detil, para pemimpin yang transformatif memiliki ciri-ciri berikut : (1) seperti yang disebutkan di atas, mereka memiliki charisma; (2) mereka senantiasa menghadirkan stimulasi intelektual. Artinya, mereka selalu membantu dan mendorong para pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara untuk memecahkannya; (3) pemimpin yang transformatif memiliki perhatian dan kepedulian terhadap setiap individu pengikutnya. Mereka memberikan dorongan, perhatian, dukungan kepada pengikutnya untuk melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri dan

14

Retnowati, 8-9.

15


(15)

110

komunitasnya; (4) pemimpin transformatif senantiasa memberikan motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara melakukan komunikasi secara efektif dengan menggunakan simbol-simbol, tidak hanya menggunakan bahasa verbal; (5) mereka berupaya meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada sang pemimpin; (6) para pemimpin transformatif lebih banyak memberikan contoh ketimbang banyak berbicara. Artinya ada sisi keteladanan yang dihadirkan kepada para pengikutnya dengan lebih banyak bekerja ketimbang banyak berpidato yang berapi-api tanpa disertai tindakan yang konkrit.16

Kebanyakan pendeta GKJ memiliki ungkapan “Jawa ilang jawane”,

dimana ungkapan ini menggambarkan manusia Jawa yang kehilangan sifat-sifat kejawaan. Mereka tidak lagi berpegang teguh pada nilai-nilai budaya Jawa, karena tergerus oleh budaya-budaya dari luar. Gejala tersebut menandakan orang Jawa kehilangan kepercayaan diri terhadap kebudayaan sendiri. Terjadi pergeseran cara pandang terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Masyarakat Jawa tidak lagi melihat masalah kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang diajarkan dan diterapkan oleh leluhur mereka. Cara pandang itu sudah tergeser oleh cara pandang terhadap kemanusiaan versi asing. Contoh, nilai-nilai gotong-royong sudah langka, tergeser oleh nilai- nilai mementingkan diri sendiri, pragmatism, dan sebagainya.17

Oleh sebab itu, sikap kepemimpinan yang menonjol sebagaimana dirasakan oleh kebanyakan warga gereja adalah sebagai gembala, sebagai

pelayan dan sebagai bapak. Bilamana ditelaah ketiga sikap tersebut sekaligus,

maka yang muncul adalah sikap “kesabaran” yang terkandung di dalamnya.

Gembala menggambarkan sikap suka memelihara, mencarikan yang serba bertanggung jawab, melindungi orang yang dipimpin dan sebagainya.

Sikap pelayan seorang pemimpin, ditinjau dari sudut pelayan yaitu si pemimpin sendiri nampak adanya kesediaan berkorban untuk yang dipimpin, meninggalkan kepentingannya pribadi termasuk materi, hormat dan kesehatan tubuh.

16

m.kompasiana.com/audiendro/kepemimpinan-transformatif_55006e4fa33311926f5110e3.

17

Adi Ekopriyono, Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang, (Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 2012 ), 1-2.


(16)

111

Sikap sebagai bapak perlu dibedakan dengan corak kebapakan atau paternalism dalam memimpin : di sini terasa kemampuan pemimpin mengerti kebutuhan mereka yang dipimpin dan sabar terhadap ulahnya antara lain yang berupa kritik. Jadi tidak perlu dikacaukan dengan paternalism yang menunjuk adanya orientasi ke atas sebagai sesuatu yang dituntut oleh atasan atau pemimpin.18

Kepemimpinan kolektif merupakan pilihan Sadar Model Kepemimpinan GKJ :

a. Bentuk dan Sifat Kepemimpinan dalam Gereja

Dilihat dari bentuknya, terdapat dua bentuk kepemimpinan dalam gereja, yaitu bentuk kepemimpinan dalam gereja, yaitu bentuk kepemimpinan tunggal dan bentuk kepemimpinan kolektif (jamak). Pada umumnya gereja-gereja arus utama memilih bentuk kepemimpinan kolektif karena dipandang lebih egaliter, demokratis, dan sesuai imamat am orang percaya. Sedangkan dilihat dari sifatnya, kepemimpinan partisipatif yang mendorong anggota gereja untuk bertumbuh dan berkembang dalam organisasi dipandang lebih sesuai. Jenis kepemimpinan ini dalam bahasa gereja disebut dengan istilah “kepemimpinan pelayan”, yaitu kepemimpinan yang melayani dan yang member kesempatan kepada orang lain (warga gereja) untuk berpartisipasi dalam pelayanan dan dalam menentukan kebijakan penyelenggaraan gereja.

Karakteristik utama yang membedakan kepemimpinan pelayan dengan jenis kepemimpinan yang lain adalah bahwa keinginan untuk melayani ada sebelum keinginan untuk memimpin.19 Pemimpin semacam ini lebih banyak melakukan fungsi pendampingan, pembimbingan, dan pemberdayaan, ketimbang fungsi komando atau memberi perintah. Ini berlaku baik untuk pemimpin formal (pejabat gereja dan pengurus badan-badan pembantu majelis gereja), maupun pemimpin informal yaitu para sesepuh, orang-orang yang dianggap sebagai tokoh, dan para aktivis gereja yang telah memiliki banyak pengalaman namun tidak masuk dalam

18

Tim Benih yang Tumbuh Sinode XVII -GKJ, 64.

19


(17)

112

struktur organisasi gereja.

Dengan model kepemimpinan yang demikian, tidak mudah bagi siapa pun juga yang duduk dalam jabatan-jabatan kepemimpinan dalam gereja, bahkan pemimpin informal yang ada di dalam gereja sekalipun, dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya.

b. Doktrin GKJ tentang Kepemimpinan

Sejak komitmen ber-Sinode (17-18 Februari 1931), GKJ memilih bentuk kepemimpinan kolektif yang berasal dari tradisi gereja Gereformeerde di Belanda. Bentuk kepemimpinan kolektif tersebut merupakan konsekuensi logis dari sistem bergereja yang dipergunakan mengikuti gereja induknya. Meskipun demikian, sejarah GKJ mencatat bahwa sebelum Sinode pertama telah berdiri gereja-gereja di Jawa (khususnya Jawa Tengah Bagian Selatan) dengan karakteristik sistem bergereja dan model-model kepemimpinan yang beragam.

Yang menarik adalah bahwa selama kurun waktu lebih dari setengah abad (1931-Sinode Pertama di Kebumen, sampai dengan 1996- Sinode Antara di Cilacap) GKJ tetap berpegang pada sistem bergereja dan model kepemimpinan yang sama, bahkan berlangsung sampai sekarang. Kenyataan ini membuktikan bahwa pilihan sistem bergereja dan model kepemimpinan GKJ bukan sekadar warisan, melainkan sekaligus pilihan sadar dari para pendahulu GKJ. Tentu saja, yang demikian terjadi karena dasar pemahaman teologis tertentu yang sampai kini tetap dipegang. Dasar teologis tertentu dimaksud adalah warisan dari teologi gereja reformasi sebagaimana diajarkan oleh Johanes Calvin, khususnya berkenaan dengan teologi jabatan.20

Doktrin GKJ tentang kepemimpinan dapat kit abaca dari PPA GKJ, khususnya sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan, dan TJ :107-11521

20

Pdt. Andreas UW, D. Min., Kepemimpinan Kolektif dan Partisipasi Warga Gereja dalam Pembangunan Jemaat dalam Buku Murid, Sahabat, Pelayan, Semarang : GKJ Semarang Timur, 2012, 10.

21


(18)

113

1. Kekhasan asas kepemimpinan dalam gereja

a. Sisi ilahi, yaitu sebagai buah penyelamatan Allah, gereja dengan kehidupannya dipimpin oleh Allah melalui bekerjanya Roh Kudus dengan Alkitab sebagai alat-Nya.

b. Sisi manusiawi, yaitu sebagai kehidupan bersama, gereja dipimpin oleh manusia atas kehendak Allah.

2. Pertanggungjawaban dalam Kepemimpinan

a. Dipertanggungjawabkan kepada Allah (Rm 14:17-18; Ibr. 13:17). b. Dasar pertanggungjawaban (tiga tolok ukur berjenjang, yaitu

Alkitab, pokok-pokok ajaran gereja dan peraturan gereja yang dibuat berdasarkan Alkitab sesuai dengan yang dirumuskan di dalam ajaran gereja (1 Kor. 14:40; 1 Tes. 4:1-2; 2 Tim. 3:16-17; Tit. 1:9).

3. Bentuk Kepemimpinan

a. Berdasarkan watak gereja sebagai kehidupan bersama religius yang di dalamnya setiap orang percaya memiliki jabatan imamat am, maka yang paling tepat bagi GKJ ialah bentuk kepemimpinan dewan yang lazim disebut majelis gereja22 (Kis.15:4,6; Ef.4:11-12; Flp.1:1; 1 Tim. 5:17; 1 Ptr.2:9).

b. Berdasarkan imamat am orang percaya, lahir dua asas yaitu asas kesederajatan dan asas pemerataan.

4. Sifat kepemimpinan gereja adalah pelayanan. Oleh karena itu, mereka yang duduk sebagai majelis gereja adalah pelayan-pelayan Allah (Mrk.10:45; 2 Tim.2:2).

5. Pembagian tugas dalam kepemimpinan GKJ : Penatua bertugas mengatur kehidupan gereja, Pendeta bertugas mengajar, dan Diaken melakukan tugas pelayanan kasih (Kis.6:1-6; 1 Kor.12:28; 2 Tim.2:24; Tit.1:7)

c. Kepemimpinan GKJ dalam Praktik

Meskipun PPA GKJ dan praksisnya dalam bentuk Tata Gereja dan

22

Gereja mula-mula dipimpin oleh para presbyter (Kis.14:23; 20:17, 1 Ptr.5:1-5). Itu berarti sejak awal gereja mempergunakan bentuk kepemimpinan kolektif (jamak), bukan kepemimpinan tunggal.


(19)

114

Tata Laksana GKJ telah ditetapkan, namun dalam praktik terdapat perbedaan antara GKJ satu dan lainnya. Perbedaan tersebut terjadi karena interpretasi yang berbeda, konteks yang berbeda, dan kepentingan/kebutuhan yang berbeda-beda pula.

1. Model Konvensional

Sekurang-kurangnya dalam praktik di GKJ model ini dapat kita kelompokkan menjadi dua, yaitu model kepemimpinan “Kolektif

Paternalistis” dan “Kolektif Birokratis”.

Model kepemimpinan “Kolektif Paternalistis” dimaksud secara umum

tampak dalam bentuk kecenderungan pemimpin (Majelis Gereja, khususnya Pendeta) memahami diri dan/atau dipahami oleh jemaat sebagai

“pater”. Metafor relasional antara pemimpin dengan umat yang biasa dipergunakan adalah “Gembala-Domba”.

Model kepemimpinan “Kolektif Birokratis” dimaksud secara umum

tampak dalam bentuk kecenderungan pemimpin (Majelis Gereja) memahami diri dan/atau dipahami oleh jemaat sebagai “Pemegang

Kekuasaan/Pemerintahan Gereja”. Metafor relasional antara pemimpin

dengan umat lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman Organisasi Politik/Pemerintahan.

a. Model-Model Baru yang terus berkembang

Sekurang-kurangnya dalam praktik di GKJ model ini dapat kita

kelompokkan menjadi dua, yaitu model kepemimpinan “Kolektif Partisipatif” dan “Kolektif Egaliter”

b. Model Kepemimpinan “Kolektif Partisipatif” dimaksud secara umum tampak dalam bentuk kecenderungan pemimpin (Majelis Gereja, termasuk Pendeta) memahami diri dan/atau dipahami oleh jemaat

sebagai “Partner”. Metafor relasional antara pemimpin dengan umat yang biasa dipergunakan adalah “Kepala-Tubuh”. Kepala adalah Kristus (termanifestasi dalam ketiga jabatan gerejawi), tubuh adalah jemaat/warga gereja; atau analog dengan “Suami-istri”.

c. Model kepemimpinan “Kolektif Egaliter” dimaksud secara umum tampak dalam bentuk kecenderungan pemimpin (Majelis Gereja,


(20)

115

termasuk Pendeta) memahami diri dan/atau dipahami oleh jemaat

sebagai “Rekan Sekerja” dalam Pelayanan. Metafor relasional antara

pemimpin dengan umat yang biasa dipergunakan adalah “Para Murid”.

2. Kepemimpinan Kolektif dan Partisipasi Warga Gereja dalam Pembangunan Jemaat

a. Apapun model kepemimpinan kolektif yang dipergunakan, doktrin dan kultur GKJ masa kini menghendaki ruang dan kesempatan yang lebih besar bagi partisipasi warga gereja dalam pembangunan jemaat.

b. Ruang dan kesempatan dimaksud bukan hanya untuk kepentingan menjadikan warga gereja sebagai pelaksana kebijakan, melainkan juga dalam batas-batas tertentu melalui koridor yang sengaja diciptakn turut menentukan kebijakan penyelenggaraan gereja.

c. Tugas utama pemimpin (yang adalah pelayan) adalah memberdayakan warga gereja, agar baik sendiri maupun bersama-sama, mampu menjalankan fungsinya sebagai orang percaya (gereja/warga gereja). d. Gereja/warga gereja disebut berfungsi apabila :

1. Baik sendiri maupun bersama-sama, mampu memelihara iman.

2. Baik sendiri maupun bersama-sama, mampu memberitakan penyelamatan Allah.

e. Untuk itu dibutuhkan :

1. Perubahan paradigm kepemimpinan

2. Sistem dan perangkat sistem yang mampu mentransformasi 3. Kesadaran dan kerelaan untuk berproses

f. Contoh model pola pelayanan konvensional dan pengembangan dapat dilihat pada persandingan (terlampir).

3. Peluang dan Hambatan

Peluang untuk mewujudkan model kepemimpinan kolektif egaliter atau sekurang-kurangnya model kepemimpinan kolektif partisipatif bagi GKJ sangatlah terbuka. Yan demikian bukan hanya karena tuntutan kebutuhan sesuai konteks GKJ masa kini, melainkan karena doktrin GKJ sendiri yang pada dasarnya memang mengajarkan demikian (imamat am dan konsekuensinya terhadap penyelenggaraan gereja berdasarkan asas


(21)

116

kesederajatan dan pemerataan).

Dalam terang pemahaman sebagaimana tersebut, setiap warga gereja bukan hanya dibutuhkan partisipasinya, melainkan wajib bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam kehidupan bergereja. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemimpin gereja adalah bukan meminta partisipasi warga gereja, melainkan menyediakan ruang dan kesempatan bagi warga gereja (bahkan warga masyarakat) untuk dapat mengambil bagian dalam pelayanan seusai talenta (waktu dan kemampuan) masing- masing.

Hambatan untuk mewujudkan model kepemimpinan kolektif egaliter atau sekurang-kurangnya model kepemimpinan kolektif partisipatif tersebut (di beberapa tempat yang saya tahu), lebih banyak disebabkan oleh ketidaksiapan para pemimpin itu sendiri dan/atau sebaliknya ketidaksiapan jemaat untuk beranjak dari pola tradisional akibat patron

bergereja yang terlanjur membatu, meski sesungguhnya mereka tahu bahwa itu tidak lagi fungsional.


(1)

111 Sikap sebagai bapak perlu dibedakan dengan corak kebapakan atau paternalism dalam memimpin : di sini terasa kemampuan pemimpin mengerti kebutuhan mereka yang dipimpin dan sabar terhadap ulahnya antara lain yang berupa kritik. Jadi tidak perlu dikacaukan dengan paternalism yang menunjuk adanya orientasi ke atas sebagai sesuatu yang dituntut oleh atasan atau pemimpin.18

Kepemimpinan kolektif merupakan pilihan Sadar Model Kepemimpinan GKJ :

a. Bentuk dan Sifat Kepemimpinan dalam Gereja

Dilihat dari bentuknya, terdapat dua bentuk kepemimpinan dalam gereja, yaitu bentuk kepemimpinan dalam gereja, yaitu bentuk kepemimpinan tunggal dan bentuk kepemimpinan kolektif (jamak). Pada umumnya gereja-gereja arus utama memilih bentuk kepemimpinan kolektif karena dipandang lebih egaliter, demokratis, dan sesuai imamat am orang percaya. Sedangkan dilihat dari sifatnya, kepemimpinan partisipatif yang mendorong anggota gereja untuk bertumbuh dan berkembang dalam organisasi dipandang lebih sesuai. Jenis kepemimpinan ini dalam bahasa gereja disebut dengan istilah “kepemimpinan pelayan”, yaitu kepemimpinan yang melayani dan yang member kesempatan kepada orang lain (warga gereja) untuk berpartisipasi dalam pelayanan dan dalam menentukan kebijakan penyelenggaraan gereja.

Karakteristik utama yang membedakan kepemimpinan pelayan dengan jenis kepemimpinan yang lain adalah bahwa keinginan untuk melayani ada sebelum keinginan untuk memimpin.19 Pemimpin semacam ini lebih banyak melakukan fungsi pendampingan, pembimbingan, dan pemberdayaan, ketimbang fungsi komando atau memberi perintah. Ini berlaku baik untuk pemimpin formal (pejabat gereja dan pengurus badan-badan pembantu majelis gereja), maupun pemimpin informal yaitu para sesepuh, orang-orang yang dianggap sebagai tokoh, dan para aktivis gereja yang telah memiliki banyak pengalaman namun tidak masuk dalam

18

Tim Benih yang Tumbuh Sinode XVII -GKJ, 64. 19


(2)

112 struktur organisasi gereja.

Dengan model kepemimpinan yang demikian, tidak mudah bagi siapa pun juga yang duduk dalam jabatan-jabatan kepemimpinan dalam gereja, bahkan pemimpin informal yang ada di dalam gereja sekalipun, dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya.

b. Doktrin GKJ tentang Kepemimpinan

Sejak komitmen ber-Sinode (17-18 Februari 1931), GKJ memilih bentuk kepemimpinan kolektif yang berasal dari tradisi gereja Gereformeerde di Belanda. Bentuk kepemimpinan kolektif tersebut merupakan konsekuensi logis dari sistem bergereja yang dipergunakan mengikuti gereja induknya. Meskipun demikian, sejarah GKJ mencatat bahwa sebelum Sinode pertama telah berdiri gereja-gereja di Jawa (khususnya Jawa Tengah Bagian Selatan) dengan karakteristik sistem bergereja dan model-model kepemimpinan yang beragam.

Yang menarik adalah bahwa selama kurun waktu lebih dari setengah abad (1931-Sinode Pertama di Kebumen, sampai dengan 1996- Sinode Antara di Cilacap) GKJ tetap berpegang pada sistem bergereja dan model kepemimpinan yang sama, bahkan berlangsung sampai sekarang. Kenyataan ini membuktikan bahwa pilihan sistem bergereja dan model kepemimpinan GKJ bukan sekadar warisan, melainkan sekaligus pilihan sadar dari para pendahulu GKJ. Tentu saja, yang demikian terjadi karena dasar pemahaman teologis tertentu yang sampai kini tetap dipegang. Dasar teologis tertentu dimaksud adalah warisan dari teologi gereja reformasi sebagaimana diajarkan oleh Johanes Calvin, khususnya berkenaan dengan teologi jabatan.20

Doktrin GKJ tentang kepemimpinan dapat kit abaca dari PPA GKJ, khususnya sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan, dan TJ :107-11521

20

Pdt. Andreas UW, D. Min., Kepemimpinan Kolektif dan Partisipasi Warga Gereja dalam Pembangunan Jemaat dalam Buku Murid, Sahabat, Pelayan, Semarang : GKJ Semarang Timur, 2012, 10.

21


(3)

113 1. Kekhasan asas kepemimpinan dalam gereja

a. Sisi ilahi, yaitu sebagai buah penyelamatan Allah, gereja dengan kehidupannya dipimpin oleh Allah melalui bekerjanya Roh Kudus dengan Alkitab sebagai alat-Nya.

b. Sisi manusiawi, yaitu sebagai kehidupan bersama, gereja dipimpin oleh manusia atas kehendak Allah.

2. Pertanggungjawaban dalam Kepemimpinan

a. Dipertanggungjawabkan kepada Allah (Rm 14:17-18; Ibr. 13:17). b. Dasar pertanggungjawaban (tiga tolok ukur berjenjang, yaitu

Alkitab, pokok-pokok ajaran gereja dan peraturan gereja yang dibuat berdasarkan Alkitab sesuai dengan yang dirumuskan di dalam ajaran gereja (1 Kor. 14:40; 1 Tes. 4:1-2; 2 Tim. 3:16-17; Tit. 1:9).

3. Bentuk Kepemimpinan

a. Berdasarkan watak gereja sebagai kehidupan bersama religius yang di dalamnya setiap orang percaya memiliki jabatan imamat am, maka yang paling tepat bagi GKJ ialah bentuk kepemimpinan dewan yang lazim disebut majelis gereja22 (Kis.15:4,6; Ef.4:11-12; Flp.1:1; 1 Tim. 5:17; 1 Ptr.2:9).

b. Berdasarkan imamat am orang percaya, lahir dua asas yaitu asas kesederajatan dan asas pemerataan.

4. Sifat kepemimpinan gereja adalah pelayanan. Oleh karena itu, mereka yang duduk sebagai majelis gereja adalah pelayan-pelayan Allah (Mrk.10:45; 2 Tim.2:2).

5. Pembagian tugas dalam kepemimpinan GKJ : Penatua bertugas mengatur kehidupan gereja, Pendeta bertugas mengajar, dan Diaken melakukan tugas pelayanan kasih (Kis.6:1-6; 1 Kor.12:28; 2 Tim.2:24; Tit.1:7)

c. Kepemimpinan GKJ dalam Praktik

Meskipun PPA GKJ dan praksisnya dalam bentuk Tata Gereja dan

22

Gereja mula-mula dipimpin oleh para presbyter (Kis.14:23; 20:17, 1 Ptr.5:1-5). Itu berarti sejak awal gereja mempergunakan bentuk kepemimpinan kolektif (jamak), bukan kepemimpinan tunggal.


(4)

114 Tata Laksana GKJ telah ditetapkan, namun dalam praktik terdapat perbedaan antara GKJ satu dan lainnya. Perbedaan tersebut terjadi karena interpretasi yang berbeda, konteks yang berbeda, dan kepentingan/kebutuhan yang berbeda-beda pula.

1. Model Konvensional

Sekurang-kurangnya dalam praktik di GKJ model ini dapat kita kelompokkan menjadi dua, yaitu model kepemimpinan “Kolektif

Paternalistis” dan “Kolektif Birokratis”.

Model kepemimpinan “Kolektif Paternalistis” dimaksud secara umum

tampak dalam bentuk kecenderungan pemimpin (Majelis Gereja, khususnya Pendeta) memahami diri dan/atau dipahami oleh jemaat sebagai

“pater”. Metafor relasional antara pemimpin dengan umat yang biasa dipergunakan adalah “Gembala-Domba”.

Model kepemimpinan “Kolektif Birokratis” dimaksud secara umum

tampak dalam bentuk kecenderungan pemimpin (Majelis Gereja) memahami diri dan/atau dipahami oleh jemaat sebagai “Pemegang

Kekuasaan/Pemerintahan Gereja”. Metafor relasional antara pemimpin

dengan umat lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman Organisasi Politik/Pemerintahan.

a. Model-Model Baru yang terus berkembang

Sekurang-kurangnya dalam praktik di GKJ model ini dapat kita

kelompokkan menjadi dua, yaitu model kepemimpinan “Kolektif Partisipatif” dan “Kolektif Egaliter”

b. Model Kepemimpinan “Kolektif Partisipatif” dimaksud secara umum tampak dalam bentuk kecenderungan pemimpin (Majelis Gereja, termasuk Pendeta) memahami diri dan/atau dipahami oleh jemaat

sebagai “Partner”. Metafor relasional antara pemimpin dengan umat yang biasa dipergunakan adalah “Kepala-Tubuh”. Kepala adalah Kristus (termanifestasi dalam ketiga jabatan gerejawi), tubuh adalah jemaat/warga gereja; atau analog dengan “Suami-istri”.

c. Model kepemimpinan “Kolektif Egaliter” dimaksud secara umum tampak dalam bentuk kecenderungan pemimpin (Majelis Gereja,


(5)

115 termasuk Pendeta) memahami diri dan/atau dipahami oleh jemaat

sebagai “Rekan Sekerja” dalam Pelayanan. Metafor relasional antara

pemimpin dengan umat yang biasa dipergunakan adalah “Para Murid”.

2. Kepemimpinan Kolektif dan Partisipasi Warga Gereja dalam Pembangunan Jemaat

a. Apapun model kepemimpinan kolektif yang dipergunakan, doktrin dan kultur GKJ masa kini menghendaki ruang dan kesempatan yang lebih besar bagi partisipasi warga gereja dalam pembangunan jemaat.

b. Ruang dan kesempatan dimaksud bukan hanya untuk kepentingan menjadikan warga gereja sebagai pelaksana kebijakan, melainkan juga dalam batas-batas tertentu melalui koridor yang sengaja diciptakn turut menentukan kebijakan penyelenggaraan gereja.

c. Tugas utama pemimpin (yang adalah pelayan) adalah memberdayakan warga gereja, agar baik sendiri maupun bersama-sama, mampu menjalankan fungsinya sebagai orang percaya (gereja/warga gereja). d. Gereja/warga gereja disebut berfungsi apabila :

1. Baik sendiri maupun bersama-sama, mampu memelihara iman.

2. Baik sendiri maupun bersama-sama, mampu memberitakan penyelamatan Allah.

e. Untuk itu dibutuhkan :

1. Perubahan paradigm kepemimpinan

2. Sistem dan perangkat sistem yang mampu mentransformasi 3. Kesadaran dan kerelaan untuk berproses

f. Contoh model pola pelayanan konvensional dan pengembangan dapat dilihat pada persandingan (terlampir).

3. Peluang dan Hambatan

Peluang untuk mewujudkan model kepemimpinan kolektif egaliter atau sekurang-kurangnya model kepemimpinan kolektif partisipatif bagi GKJ sangatlah terbuka. Yan demikian bukan hanya karena tuntutan kebutuhan sesuai konteks GKJ masa kini, melainkan karena doktrin GKJ sendiri yang pada dasarnya memang mengajarkan demikian (imamat am dan konsekuensinya terhadap penyelenggaraan gereja berdasarkan asas


(6)

116 kesederajatan dan pemerataan).

Dalam terang pemahaman sebagaimana tersebut, setiap warga gereja bukan hanya dibutuhkan partisipasinya, melainkan wajib bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam kehidupan bergereja. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemimpin gereja adalah bukan meminta partisipasi warga gereja, melainkan menyediakan ruang dan kesempatan bagi warga gereja (bahkan warga masyarakat) untuk dapat mengambil bagian dalam pelayanan seusai talenta (waktu dan kemampuan) masing- masing.

Hambatan untuk mewujudkan model kepemimpinan kolektif egaliter atau sekurang-kurangnya model kepemimpinan kolektif partisipatif tersebut (di beberapa tempat yang saya tahu), lebih banyak disebabkan oleh ketidaksiapan para pemimpin itu sendiri dan/atau sebaliknya ketidaksiapan jemaat untuk beranjak dari pola tradisional akibat patron

bergereja yang terlanjur membatu, meski sesungguhnya mereka tahu bahwa itu tidak lagi fungsional.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Sistem Informasi Data Jemaat Berbasis Web pada GKJ Mergangsan Yogyakarta

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kriteria Pendeta Ideal Menurut Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan Jemaat GKJ Yeremia Depok T2 752014033 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kriteria Pendeta Ideal Menurut Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan Jemaat GKJ Yeremia Depok T2 752014033 BAB II

5 28 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kriteria Pendeta Ideal Menurut Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan Jemaat GKJ Yeremia Depok T2 752014033 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kriteria Pendeta Ideal Menurut Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan Jemaat GKJ Yeremia Depok

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Konseling Pastoral di GKP Jemaat Cimahi Tanpa Pendeta Jemaat T2 752010012 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Konseling Pastoral di GKP Jemaat Cimahi Tanpa Pendeta Jemaat T2 752010012 BAB II

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Konseling Pastoral di GKP Jemaat Cimahi Tanpa Pendeta Jemaat T2 752010012 BAB IV

0 1 4

T1 Abstract Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Historis Jemaat Memberikan Perpuluhan di GKJ Salatiga Timur

0 0 1

T1__Full text Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Historis Jemaat Memberikan Perpuluhan di GKJ Salatiga Timur T1 Full text

0 2 31