79 mendukung keagamaan yaitu ilmu bahasa Arab. Karena ilmu-ilmu tersebut sangat
membantu dalam meempelajari ilmu-ilmu agama dan memahami teks-teks mulia, yaitu Alquran dan Al-Hadist. Ia meletakkkan ilmu Filsafat pada urutan yang
terakhir.
104
C. Analisis Kritis Terhadap Kurikulum Ibn Khaldun
Penulis merasakan kebahagiaan dan bangga terhadap Ibnu Khaldun karena dengan begitu beraninya dan punya pikiran yang sangat cemerlang serta punya
perhatian penuh terhadap kurikulum pendidikan islam sebagai barometer dan panduan bagi pengembangan kurikulum untuk masa sekarang dan masa yang akan
datang. Namun bila kita melihat kepada pengertian kurikulum Secara tradisional
diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sedangkan definisi kurikulum yang populer ialah segala pengalaman anak di sekolah di bawah
bimbingan sekolah. Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan untuk siswa sekolah.
Kurikulum disusun oleh para pendidikanahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta masyarakat lainnya. Rencana ini
disusun dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-
citakan oleh siswa sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada
maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab
tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Jadi kurikulum menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang sangat
sempit untuk era sekarang. Mungkin pada masa Ibn Khaldun sangat relevan ketika kurikum itu memandang kepada sejumlah materi yang akan diajar. Sehingga
menurut penulis Ibnu Khaldun menikberatkan pada kurikulum isi. Jadi peserta dituntut untuk menguasai materi-materi kurikulum. Jadi bukan berarti kurikulum
yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun tidak cocok diplikasikan untuk masa
104
Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh, hal. 25.
80 sekarang, namun dalam konteks zaman sekarang perlu kepada proses
pengembangan untuk mencapai tingkat kesempurnaan sesuai dengan tuntutan zaman, karena masa yang ditempuh oleh Ibnu Khaldun tempo dulu sangat berbeda
dengan zaman kita sekarang baik dari segi sistem maupun model pendidikan. Orientasi Kurikulum Pendidikan Islam menurut Ibn Khaldun, adalah harus
mengutamakan Alquran dan al-Hadis sebagai sumber Pokok untuk mendapat pengetahuan yang lain. Disamping itu juga, Alquran mengajarkan semua ilmu
Syariat kepada peserta didik. Ketika Alquran ditanamkan kepada peserta didik maka Alquran akan menjadi pegangan hidupnya.
Ciri khas pendidikan Ibnu Khaldun adalah pendidikan Islam, memberikan perinsip moral religius yang ukhrawi tanpa mengabaikan masalah-masalah
duniawi, yang memberikan perhatian kepada subjek akal, pengetahuan, kecerdasan hidup yang beragama dan bermoral. Hal ini penulis sangat setuju,
karena inti dari tujuan pendidikan adalah melahirkan dan menciptakan generasi yang berwawasan tinggi dan berakhlak mulia. Hal ini telah dilaksanakan oleh
Ibnu Khaldun pada zamannya ketika bergelut dalam dunia Pendidikan. Dalam masalah mengkasifikasikan materi ajar, Ibnu Khaldun sebagai mana dikutip oleh
Ramayulis mengklasifikasikan materi ajar menjadi kepada tiga kelompok besar, yaitu ilmu Naqli, Ilmu Aqli dan Ilmu Lisan ilmu bahasa.
Dalam pengelompokan ilmu-ilmu Naqliyah penulis sangat setuju dan sependapat dengan apa yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun, kerena itu adalah
ilmu yang wajib diketahui oleh segenap ummat islam dalam rangka mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Namun bila mana kita melihat dalam
pengelompokan ilmu-ilmu Aqli menjadi empat kelompok ilmu logika mantiq, ilmu Fisika meliputi Kedoktoran dan Pertanian, ilmu metafisika, dan Ilmu
Matematika meliputi ilmu geografi, Aritmatika, aljabar, ilmu musik, ilmu astronomi dan ilmu Nujum.
Menurut hemat penulis dengan melihat kenyataan atau realita hari ini pengelompokan ilmu-ilmu Naqli tidak usah lagi dilakukan. Lebih baik
menyebutkan nama-nama dari kelompok ilmu naqli tersebut, misalnya ilmu filsafat, logika, fisika, kimia, biologi, matematika, aritmatika, geografi, ilmu
81 musik, astronomi, pertanian, kedoktoran dan sebaginya. Tapi yang harus diketahui
bahwa ilmu-ilmu tersebut adalah bagian dari ilmu-ilmu Aqli. Untuk ilmu Lisan ilmu bahasa, Ibnu Khaldun menitik beratkan dan
berpendapat bahwa ilmu bahasa merupakan alat untuk dapat mengkaji ilmu-ilmu yang lain terutama ilmu syariah. Padahal tidak hanya itu ilmu bahasa juga bisa
mengkaji semua ilmu pengetahuan baik yang naqli maupaun yang ‘aqli. Selanjutnya bahasa yang dipelajari hanya bahasa arab saja, karena Ibnu khaldun
tidak menguasai bahasa lain, sehingga ia sangat-sangat memeperhatikan dan menuntut untuk setiap muslim supaya bisa menguasai bahasa Arab. Pendapat ini
penulis setuju, namun alangkah indahnya bila mana peserta didik juga diajarkan bahasa yang lain, seperti misalnya bahasa Inggris yang merupakan bahasa
Internasional untuk konteks sekarang yang penting untuk dipelajari supaya terbuka wawasan untuk membuka mata dalam menelusuri dan memahami
kebudayaan serta peradaban bangsa-bangsa lain. Mengenai pembahasan di atas tentang kurikulum Ibnu Khaldun beliau mencoba membandingkan kurikulum-
kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur.
Disaat kita melihat realita hari ini kurikulum Ibnu Khaldun sedang berjalan dan diterapkan di Indonesia dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam,
mulai Madrasah Ibtidaiyyah sampai dengan Madrasah ‘Aliyah bahkan di Perguruan-perguruan Tinggi Islam seperti Sekolah Tinggi Agama Islam, Institut
Agama Islam dan Universitas Agama Islam. Jadi, konsep pendidikan yang pernah digagas oleh Ibnu Khaldun sebagai cendikiawan abad pertengahan sangat relevan
dengan corak pendidikan Indonesia hari ini. Memang sudah seyogyanya Islam menuntut Ummatnya ‘alim dan tahu tentang berbagai pengetahuan, sehingga
nantinya akan tercipta masyarakat islam yang madani yang bahagia duniawi dan Ukhrawi.
D. Relevansi Kurikulum Ibn Khaldun dalam konteks kekinian