ANALISIS YURIDIS PENANGANAN TINDAK PIDANA TERORISME OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR DI INDONESIA

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PENANGANAN TINDAK PIDANA

TERORISME OLEH DETASEMEN KHUSUS

88 ANTI TEROR DI INDONESIA

Oleh

JAPRIYANTO

Sebagai warga negara yang baik tentu tak ada yang bisa menerima aksi-aksi terorisme. Agama seringkali dijadikan topeng perbuatan teror, kendati demikian tidak satu pun agama yang membenarkan penghilangan nyawa manusia yang tidak berdosa. Terorisme adalah kejahatan yang biadab dampak yang ditimbulkannya sungguh luar biasa. Kerusakan bangunan fisik barangkali tidak seberapa, karena kekerasan yang dilakukan bersifat indiscriminative, terorisme menciptakan ketakutan global (global fear). Tanpa terkecuali siapapun bisa menjadi korban. Sangat bisa dipahami jika seluruh dunia mengutuk terorisme. Modus eksekusinya yang brutal menggoreskan trauma abadi. Menyadari besarnya kerugian dan ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh suatu tindak terorisme dan dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali dan yang lainnya, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya menangani tindak pidana terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.

Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. Untuk melakukan penanganan diperlukan perangkat hukum yang dapat mencegah, dan memerangi terorisme tersebut. Namun untuk mendapatkan kepastian hukum hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan kebijakan criminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Pada skripsi ini mengangkat tentang, upaya penanganan tindak pidana terorisme oleh detasemen khusus 88 anti teror di Indonesia, faktor-faktor penghambat penanganan tindak pidana terorisme oleh detasemen khusus 88 anti teror di Indonesia.

Penelitian dilakukan di Detasemen 88 Anti Teror Kepolisian Daerah Lampung terhadap 4 (empat) orang anggota Densus 88, dan seorang Kepala densus 88 sebagai responden serta ditambah salah satu dosen Fakultas Hukum Unila. Penulis menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dan dengan dua jenis data yaitu data primer yang diperoleh dari wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Pada sampel penelitiannya, diambil dari beberapa orang populasi secara purposive sampling. Data yang diperoleh dengan cara editing, klasifikasi data dan sistematika data.


(2)

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah dalam penanganan tindak pidana terorisme hampir sama dengan penanganan tindak pidana lain namun dalam penanganan tindak pidana terorisme lebih didukung dengan kecanggihan alat perlengkapan yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, kekhususan undang-undang untuk memberantas tindak pidana terorisme ini, serta faktor penghambat dalam penanganan tindak pidana terorisme adalah faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Saran yang dapat diberikan adalah penanganan tindak pidana terorisme harus dapat terus berkembang dan tidak selalu bergantung pada kecanggihan teknologi, perlu sosialisasi tentang masalah terorisme kepada masyarakat sehingga terdapat pemahaman yang sama tentang terorisme, perlu pembentukan suatu lembaga yang mengkoordinasikan dan memberikan pertukaran informasi secara cepat dan tepat kepada para penegak hukum baik Polri, Intelijen, maupun TNI sebagai pelindung Negara dalam menangani dan menanggulangi terorisme secara nasional yang bersifat tetap sehingga operasi penanggulangan terror dapat terkoordinasi dengan baik antar instansi yang terkait untuk dapat melaksanakan operasi secara terpadu, serta faktor-faktor penghambat penanganan tindak pidana harus dapat diatasi oleh Detasemen 88 Anti Teror.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak lima tahun terakhir ini terorisme menjadi salah satu wacana yang akrab sekaligus mengerikan di telinga kita. Berbagai aksi ekstrem dan radikal yang melibatkan bom bunuh diri terjadi. Tragedi WTC, Bom Bali, BEJ, Marriot dan Bom di depan Kedubes Australia Kuningan pada 9 September 2004 hingga terakhir, bom Jakarta. Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror yang menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang lainnya. Ribuan orang meninggal, trauma, luka dan cacat seumur hidup dalam waktu seketika akibat aksi-aksi terorisme.

Dua ledakan dahsyat terjadi di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, Jakarta, 17 Juli 2009 beberapa tahun lalu, mengguncang hati kita dengan kengerian yang luar biasa. Korban tidak berdosa berjatuhan, luka-luka dan meninggal diakibatkan aksi pemboman tersebut. Dua bulan setelah peledakan Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton tersebut, Tim Detasemen Khusus 88 Anti Teror pada tanggal 9 Oktober 2009 menggerebek sebuah rumah di Cempaka Putih, Tangerang Selatan yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian Saifudin,


(4)

yang merekrut pembom bunuh diri yang diledakkan di Hotel JW. Mariott dan Hotel Ritz Carlton.

Karena dampak yang begitu luar biasa pihak Detasemen Khusus 88 bekerja ekstra cepat dalam menangani tindak pidana terorisme ini. Di daerah Lampung pada tahun 2009 Densus 88 Lampung menangkap enam orang yang diduga terkait kasus teroris di Cilacap dan Purbalingga, Jawa Tengah. Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror membekuk enam orang yang diduga kuat anggota jaringan teroris. Enam orang yang ditangkap oleh Densus 88 yang diduga terlibat kasus teroris tersebut bukan berasal dari Lampung, melainkan warga asing yang ditangkap saat melintas di wilayah Lampung. Salah satu yang dibekuk adalah warga negara Singapura bernama Husaini. Dia merupakan salah satu jaringan teroris Slamet Kastari dan Fajar Taslim yang merencanakan pengeboman Bandara Changi di Singapura. Husaini diduga terlibat dalam rencana aksi teroris di Bandara Changi, Singapura pada 2002 bersama Slamat Kastari yang ditangkap Kepolisian Malaysia di Johor, Malaysia pada 1 April 2009. Kastari juga dituding terlibat dalam rencana pembajakan pesawat yang akan ditabrakkan ke bandara internasional Singapura Changi. Rencana yang belum sempat diwujudkannya itu diduga sebagai reaksi balas dendam atas penangkapan anggota-anggota J.I. di Asia Tenggara.

(http://beritanasional.blogspot.com/2009/06/densus-88-tangkap-6-teroris-di-lampung.html)

Pada tahun 2010 di daerah Gunung Bun, Jalinjantho, Aceh Besar juga terjadi penangkapan orang yang diduga terkait tindak pidana terorisme. Tempat tinggal tersangka teror tersebut berasal dari Lampung. Tersangkanya bernama Ali Umar


(5)

alias Abu Barok, warga Dusun Sidorejo Rt 02/Rw 06, Labuhanratu, Way jepara, Lampung Timur. Penangkapan terjadi pada 12 Maret 2010 dengan Nomor: Sprin Han/38/III/2010/Ditreskrim yang dikeluarkan 19 Maret 2010 dan surat perintah penangkapan dengan Nomor: SP.Kap/41/III/2010/Ditreskrim tertanggal 12 Maret 2010. Dalam surat penahanan disebutkan, Ali Umar diduga melakukan tindak pidana terorisme, pemufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Ali juga dituduh telah menyembunyikan pelaku tidak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 Perppu No. 1 tahun 2002 yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

(http://www.kontras.org/index.php?hal=dalam_berita&id=3050)

Sebagai warga negara yang baik tentu tak ada yang bisa menerima aksi-aksi terorisme. Agama seringkali dijadikan dasar perbuatan teror, kendati demikian tidak satu pun agama yang membenarkan penghilangan nyawa manusia yang tidak berdosa. Terorisme adalah kejahatan yang biadab. Sangat bisa dipahami jika seluruh dunia mengutuk terorisme. Sebenarnya dari segi jumlah, kejahatan terorisme tidak banyak terjadi, namun dampak yang ditimbulkannya sungguh luar biasa. Kerusakan bangunan fisik barangkali tidak seberapa, karena kekerasan yang dilakukan bersifat indiscriminative, terorisme menciptakan ketakutan global (global fear). Tanpa terkecuali siapapun bisa menjadi korban. Modus eksekusinya yang brutal menggoreskan trauma abadi.

Di Indonesia, jejak terorisme modern sudah dapat diidentifikasikan saat pesawat Vickers milik Merpati Nusantara Airlines dibajak tanggal 4 April


(6)

1971 dan pada tanggal 28 Maret 1981 ketika pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia, untuk rute penerbangan Palembang-Medan dibajak dan dipaksa mendarat di Penang hingga Bandara Don Muan di Bangkok. Dalam situasi demikian, terorisme potensial menimbulkan instabilitas nasional, bahkan internasional. Dampak politis inilah yang membuat terorisme menjadi sesuatu yang menakutkan. Tepat kiranya jika dikatakan terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak terorisme dan dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali dan yang lainnya, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas tindak pidana terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.

Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. Untuk melakukan pengusutan diperlukan perangkat hukum yang dapat mencegah, dan memerangi terorisme tersebut. Namun untuk mendapatkan kepastian hukum hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan kebijakan criminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang selalu dekat dan bersama masyarakat harus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat melalui upaya preemtif, preventif, dan


(7)

represif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (law abiding citizenship).

Keamanan dan ketertiban erat sekali kaitannya dengan tugas Polisi sebagai pelaksana keamanan dan ketertiban nasional (selanjutnya disebut KAMTIBMAS) seperti yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Terorisme sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang bersifat global membuat POLRI membentuk satuan khusus, khusus untuk menangani kejahatan ini.

Setelah mengesahkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kemudian pemerintah melalui Kepolisian Negara Indonesia sebagai salah satu instrumen penegak hukum membentuk Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai detasemen yang dilatih khusus oleh organisasi Agen rahasia Amerika seperti FBI, CIA, dan Secreet Service yang langsung dan khusus untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindak pidana terorisme yang telah berhasil mengungkap beberapa kasus dan sindikat terorisme di Indonesia.

Hal ini dimaksudkan supaya pelaksanaan penanganan dan penanggulangan terorisme dapat dilaksanakan secara maksimal dan tersendiri. Disamping ada satuan anti teror Gegana Brimob Polri, dan Satgas Bom Polri, Polri juga


(8)

memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Anti Teror di bawah Bareskrim Mabes Polri. Keberadaan Direktorat VI Anti Teror ini bertumpuk dan memiliki fungsi dan tugas yang sama sebagaimana yang diemban oleh Satgas Bom Polri, disamping itu dinamika yang sangat cepat seperti ancaman dan teror, Mabes Polri akhirnya melakukan reorganisasi terhadap Direktorat VI Anti Teror, akhirnya Kapolri Jenderal Da’I Bachtiar secara resmi menerbitkan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, hal ini sekaligus menandai terbentuknya Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri, disingkat Densus 88 AT Polri. Keberadaan Skep Kapolri tersebut merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme atau yang biasa disebut dengan UU Anti Terorisme yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

Bila merujuk pada Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni 2003 maka tugas dan fungsi dari Densus 88 AT Polri secara spesifik untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi teror dengan modus peledakan bom, dengan penegasan ini berarti Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana tugas penanggulangan teror dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Detasemen Khusus 88 Anti Teror adalah satuan khusus Kepolisisan Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Menurut Wikipedia Indonesia, Densus 88 diresmikan kewujudannya pada tanggal 26 Agustus 2004 oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani, dengan anggota awal hanya sejumlah 75 orang yang dikepalai Ajun Komisaris Besar Polisi Tito Karnavian.


(9)

Banyak pendapat mengenai angka 88 dalam pemberian detasemen khusus ini. Ada yang menjelaskan Angka 88 berasal dari kata ATA (anti teror act), sebuah undang-undang anti teror united states, yang jika dilafalkan dalam bahasa inggris berbunyi “Ei Ti Ei”. Pelafalan ini kedengaran seperti Eighty Eight (88). Ada juga yang mengartikan angka 88 pada tulisan Detasemen Khusus 88 ini merupakan representasi dari korban peristiwa bom Bali pada tahun 2002. Dari warga asing yang mengalami korban terbanyak yaitu Australia. Makna "88" berikutnya adalah angka "88" tidak terputus dan terus menyambung. Ini artinya bahwa pekerjaan Detasemen 88 Antiteror ini terus berlangsung dan tidak kenal berhenti. Angka "88" juga menyerupai borgol yang maknanya polisi serius menangani kasus ini. (http://www.forumbebas.com/thread-72554-post 873451.html)

Pasukan khusus ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Ketentuan pasal 26 ayat (1) undang-undang Nomor. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme hanya dengan memperoleh bukti permulaan yang cukup, cukup menggunakan setiap laporan intelijen penyidik dapat melakukan upaya selanjutnya. Kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik (Densus 88).


(10)

Kejahatan terorisme adalah kejahatan yang termasuk ke dalam tindak pidana khusus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, ditegaskan dalam Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain. Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum (DENSUS 88 AT) mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi.

Memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Penanganan Tindak Pidana Terorisme Oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia”


(11)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah Penanganan Tindak Pidana Terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia?

b. Apakah faktor-faktor penghambat dalam penanganan terorisme di Indonesia? 2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup terhadap permasalahan ini pada penanganan tindak pidana terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti teror dan faktor penghambat dalam penanganan tindak pidana terorisme berdasarkan aturan-aturan dan kenyataan yang ada untuk menangani tindak pidana terorisme. Lokasi penelitian mengetahui sebatas penanganan tindak pidana terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polisi Daerah Lampung. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari 2010.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian


(12)

a. Mengetahui Penanganan Tindak Pidana Terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia.

b. Mengetahui faktor-faktor penghambat dalam penanganan terorisme di Indonesia.

2. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan praktis dan kegunaan teoritis yaitu:

a. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran Detasemen Khusus 88 Anti Teror termasuk pembentuk undang-undang dalam memformulasikan peraturan-peraturan mengenai penanganan dan pemberantasan terorisme, dan bahan masukan bagi perkembangan penanganan tindak pidana terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror (law enforcement). b. Kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya terutama dalam pemberantasan terorisme dan penegakan hukum dari ancaman terorisme untuk melindungi masyarakat.


(13)

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka Teoritis adalah suatu konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan (Soerjono Soekanto, 1986 : 123).

Untuk membahas Permasalahan dalam skripsi ini penulis mendasarkan pemikiran pada teori Joseph Goldstein dalam Siswantoro Sunarso (2004:84) dimana penegakan hukum itu harus diartikan dalam tiga kerangka konsep, yaitu pertama penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement) yaitu ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime), yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali. Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai Area of No Enforcement.

Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of No Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yaitu Full Enforcement, dimana para penegak hukum diharapkan menegakkan


(14)

hukum secara maksimal. Tetapi harapan itu agak sulit untuk menjadi kenyataan, disebabkan adanya keterbatasan-keterbatasan waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, dan sebagainya yang mana semua ini mengakibatkan harus dilakukannya diskresi, sehingga yang tersisa adalah Actual Enforcement. Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penegakan hukum pidana dalam usahanya menanggulangi kejahatan, maka dalam kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah “Politik Kriminal”, menggunakan upaya-upaya dalam ruang lingkup yang cukup luas, yaitu dengan menggunakan upaya lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan jalur pidana).

Mengenai teori-teori penegakan hukum pidana atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal sebagaimana disebutkan oleh G. Peter Hoefnagels (Barda Nawawi Arief, 2002 : hal 21) adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan hukum pidana (Penal Policy)

Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

b. Upaya Non Penal dalam penanggulangan kejahatan

Upaya Non Penal dalam penanggulangan kejahatan lebih menitikberatkan pada sifat pencegahan (preventive) sebelum kejahatan terjadi.

Teori yang digunakan dalam membahas faktor-faktor penghambat dalam penerapan teknik dan taktik interogasi dalam penyidikan tindak pidana terorisme


(15)

adalah teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri.

Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif di dalam kehidupan masyarakat.

2. Faktor penegak hukum.

Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

3. Faktor sarana atau fasilitas.

Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.

4. Faktor masyarakat.

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.


(16)

5. Faktor kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari) (Soerjono Soekanto, 1983: 34-35, 40).

2. Kerangka Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang hendak diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 132).

a. Analisis, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (Purwadarmita, 1993); usaha untuk meneliti, memahami dan mempelajari pokok masalah tertentu serta membuat kesimpulan dari kegiatan tersebut (Andi Hamzah, 1986:37).

b. Yuridis ialah berdasarkan atau menurut hukum

c. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan tindak pidana (Sudarto, 1986); perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. (Rancangan KUHP Pasal 11 ayat (1)). d. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani. (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, edisi ketiga, Balai Pustaka, 2005).

e. Tindak Pidana Terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan


(17)

suasana teror atau rasa takut terhadap publik secara luas (Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme).

E. Sistematika penulisan

Sistematika penulisan ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan yang bertujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang skripsi ini, adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini diuraikan mengenai latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan konseptual, sistematika penulisan dan metode penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar terhadap pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang dalam hal ini adalah pengertian terorisme, penanganan tindak pidana, Detasemen Khusus 88 Anti Teror.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan analisis data.


(18)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan yang memuat tentang penanganan tindak pidana terorisme oleh detasemen khusus 88 anti teror di Indonesia.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang memuat kesimpulan penulisan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya berisikan tentang kesimpulan dan saran dari penulis yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dibahas.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukum

Soerjono Soekanto (1983:2) menyatakan bahwa penegakan hukum adalah:

Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan yang menetap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social enginering) memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup. Dimana manusia dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu, misalnya ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan, misalnya perlu penyerasian antara nilai kettertiban dengan nilai ketentraman. Sebab nilai ketertiban bertitik tolak pada keterkaitan, sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan.

Sebagai suatu proses, penegakan hukum tidak terlepas dari adanya gangguan. Soerjono Soekanto (1993:4) menyatakan bahwa:


(20)

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidak serasian antara “tritunggal”, yaitu nilai, kaidah, dan pola prilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila ada ketidak serasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola prilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa penegakan hukum akan berjalan dengan baik bila ada keserasian antara nilai, kaidah, dan pola prilaku dalam masyarakat. Tanpa adanya keserasian itu, maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik seperti yang diharapkan. Seorang sosiolog hukum, Lawrence M. Friedman dalam bukunya American Law An Introduction Second Edition (2001:8-10) yang di terjemahkan oleh penerbit Tatanusa Jakarta menyatakan bahwa hukum dalam mekanismenya atau dalam penegakan hukum adalah sebagai suatu sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi serta menggambarkan satu kesatuan dalam mencapai tujuannya atau sasarannya. Hukum sebagai suatu sistem terdiri dari tiga sub sistem, yaitu:

1.Sub sistem nilai atau substansi yang merupakan sistem nilai atau norma baik bebentuk tertulis (peraturan perundang-undangan) atau dalam bentuk tidak tertulis (kebiasaan).

2.Sub sistem legal actor atau sub sistem legal structur, dapat berupa lembaga-lembaga atau berupa aparat hukum yang bertugas dan berperan dalam mengimplementasikan atau mengaktualisasikan substansi hukum dari sifat-sifatnya yang abstrak menjadi hukum yang bersifat konkret. 3.Subsistem legal culture (budaya hukum), yaitu berupa perasaan hukum,

opini hukum, pendapat hukum, atâu kesadaran hukum dari masyarakat, yang memberikan pcngaruh terhadap keberlakuan substansi hukum maupun terhadap aparat hukum.

Sehubungan dengan sistem legal culture (budaya hukum), pada umumnya di negara-negara yang sedang berkembang terutama di negara maju seperti Amerika Serikat berbeda dengan beberapa negara Asia Timur seperti Cina dan Jepang, budaya hukum lebih memberikan pengaruh terhadap keberlakuan hukum sebagai


(21)

efektivitas hukum secara konkrit yang mencerminkan bagaimana budaya hukum dari suatu masyarakat. Sebagai suatu sistem, hukum dalam arti substansi tidak mempunyai pengaruh apa-apa atau tidak mernpunyai arti sama sekali tanpa adanya penegak hukum yang nenerapkannya, dan di pihak lain penegak hukum pun dalam menjalankan perannya untuk pelaksanaan penegakan hukum dipengaruhi oleh budaya hukum. Hal ini menunjukkan bahwa antara subsistem yang satu dengan subsistem yang Iainnya dalam rnekanismenya tidak dapat berdiri sendiri-sendiri tetapi merupakan satu kesatuan.

L. Friedman (2001: 11) selanjutnya menguraikan tentang fungsi sistem hukum, yaitu:

a. Fungsi kontrol sosial (social control), dimana semua hukum adalah berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.

b. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan konflik (confliet) Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (mikro). Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik.

c. Fungsi redistribusi atau fungsi rekayasa sosial (redistributive function or social engineering function) Fungsi ini rnengarah pada penggunaan hukum untuk mengadikan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah.

d. Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game).

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang telah ditetapkan oleh suatu undang-undang atau hukum.


(22)

Sedangkan menurut Joseph Goldstein dalam Siswantoro Sunarso (2004: 84) penegakan hukum itu harus diartikan dalam tiga kerangka konsep, yaitu; pertama, penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement), yaitu ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime), yang menuntut agar semua nilal yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali. Penegakan hukum pidana secara total ini tidak rnungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai Area of No Enforcernent.

Setelah ruang lingkup penegakan hukurn yang bersifat total tersebut dikurangi Area of No Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yaitu Full Enforcement, dimana para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara rnaksimal. Tetapi harapan itu agak sulit untuk menjadi kenyataan, disebabkan adanya keterbatasan-keterbatasan waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, dan sebagainya, yang sernuanya ini mengakibatkan harus dilakukannya diskresi, sehingga yang tersisa adalah Actual Enforcement.


(23)

B. Faktor-faktor / Komponen Penegakan Hukum

a. Faktor Penegak Hukum (Struktur Hukum)

Faktor ini menunjukkan adanya kelembagaan yang mempunyal fungsi-fungsi tersendiri dan bergerak di dalam suatu mekanisme. Adapun faktor penegak hukum atau dapat pula disebut komponen struktur hukum, meliputi:

1. Badan pembentuk undang-undang atau lembaga legislatif.

2. Aparat penegak hukum dalarn arti sempit, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Penasehat Hukum, dan Pengadilan.

3. Aparat pelaksana pidana.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa faktor penegak hukum merupakan tempat kita menggantungkan harapan bagaimana suatu sistem hukum itu seharusnya bekerja (law in the books) dan bagaimana bekerjanya suatu sistern hukum dalam kenyataan (law in action). Di sini berlaku adegium yang berbunyi, “bahwa baik buruknya sesuatu tergantung kepada baik buruknya manusianya”. Dalam kerangka penegakan hukum pidana, hal ini mengandung makna bahwa baik buruknya penegakan hukum pidana tergantung kepada baik buruknya penegak hukum, jadi bukan tergantung kepada hukumnya.

Tegasnya, walaupun hukumnya baik, tetapi jika para penegaknya (penegak hukum dalam arti sempit) tidak baik, maka penegakannya pun tidak akan baik, demikian pula sebaliknya. Adapun baik buruknya penegak hukum tergantung kepada nilai-nilai yang diterima dan dipahaminya atau dapat dikatakan bahwa penegakan hukum yang baik harus bermula dari nilai yang baik.


(24)

b. Faktor Nilai / Budaya Hukum

Faktor nilai rnerupakan sumber dari segala aktivitas dalarn penegakan hukum pidana. Jika nilainya baik, maka akan baik pula penegakan hukum pidana, demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan betapa urgennya kedudukan nilai dalam mewujudkan penegakan hukum pidana yang baik. Faktor nilai akan mernbentuk pemahaman dan sikap para penegak hukurn dalam melaksanakan tugasnva menegakkan hukum pidana, baik mengenal bagaimana suatu sistem hukum itu seharusnya bekerja (law in the books) maupun tentang bagaimana bekerjanya suatu sistern hukum dalarn kenyataan (law in action).

c. Faktor Substansi Hukum

Faktor substansi hukum ini merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus merupakan dasar bagi bekerjanya sistern hukum dalam kenyataan. Baik buruknya suatu substansi hukum tergantung kepada baik buruknya sikap para penegak hukum, sedangkan baik buruknya sikap para penegak hukum tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai yang diterirna dan dipahami oleh para penegak hukum. Dengan dernikian, baik buruknya substansi hukum pada hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum. Jadi, sebagal hasil aktual dari bekerjanya sistem hukum, maka substansi hukum pada hakikatnya merupakan aktualisasi nilai-nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum.


(25)

C. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan-tulisan para pakar hukum, ada kalanya digunakan istilah delik untuk pengertian tindak pidana. Istilah delik berasal dari kata delict dalam bahasa Belanda, sementara itu ada yang menggunakan istilah perbuatan pidana untuk tindak pidana. Istilah perbuatan pidana diambil dari frasa criminal act dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Belanda selain digunakan istilah delict, digunakan juga istilah strafbaar feit. Sementara itu, istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah crime atau offence.

Tindak pidana dalam hukum pidana berbeda dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata. Untuk membedakan antara keduanya, yaitu antara tindak pidana dan perbuatan melawan hukum tidaklah mudah. Tindak pidana maupun perbuatan melawan hukum, keduanya adalah salah (wrong) dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap larangan hukum (commission) atau terhadap kewajiban hukum (omission). Apabila pelanggaran tersebut menimbulkan konsekuensi pidana yang dilekatkan pada pelanggaran itu, maka pelanggaran itu merupakan tindak pidana. Konsekuensi pidana yang dimaksud adalah berupa tuntutan secara pidana di muka pengadilan pidana dan dijatuhi sanksi pidana bila terbukti bersalah.

Dalam sistem hukum Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau perilaku melanggar hukum pidana hanya apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini


(26)

berkenaan dengan berlakunya asas legalitas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan aturan pidana dalam perundang-undangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada.”

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut memberi jaminan bahwa seseorang tidak dapat dituntut berdasarkan undang-undang secara berlaku surut. Semangat Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut telah ditegaskan oleh Pasal 28-i ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan dengan demikian memperoleh jaminan konstitusional. Adapun bunyi Pasal 28-i ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas itu dapat dijumpai pula sebagaimana tertulis pada Pasal 6 ayat (1) undang-undang tersebut yang berbunyi:

“Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.”

Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang dimaksudkan dengan tindak pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika perilaku itu dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang


(27)

dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

D. Tindak Pidana Terorisme

Menurut R.V. Keeley, 2002 dalam buku Terorisme Mitos dan Konspirasi karangan Budi Gunawan (2006:1) menyebutkan terorisme berasal dari kata terrere atau terror (latin), yang artinya membuat rasa takut yang mencekam, keadaan yang menakutkan, kegentaran. Teror sebagai kata benda mengandung arti sebuah ketakutan yang amat sangat (extreme fear), kemampuan untuk menimbulkan ketakutan. Dalam bentuk kata kerja, terrorize (izing, ized) artinya mengancam atau memaksa dengan teror atau dengan ancaman teror (to intimidate or coerce by terror or by threats of terror).

Istilah teror sebetulnya sudah ada sejak lama, yakni masa Imperium Romawi pada paruh abad pertama masehi yang saat itu diperintah oleh Tiberius dan Caligula, dimana mereka menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan. Namun, istilah teror dan terorisme baru mulai popular digunakan pada Abad ke-18. Aksi teror dapat dilakukan oleh pihak lemah atau kuat.

Teror adalah usaha untuk menciptakan ketakutan , kengerian, dan kekejaman oleh seorang anggota atau golongan, sedangkan orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut biasanya untuk tujuan politik disebut teroris. Dan kegiatannya atau penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai tujuan disebut terorisme.


(28)

Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah Terorisme (Terrorism) dan Teroris (Terrorist) sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasikan efek “terorisme” y a n g tadinya hanyalah istilah untuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang orang yang diserang. Polarisasi itu terbentuk karena ada relativitas makna terorisme yang mana menurut William D. Purdue (1989),

“the use word "terrorism" is one method of delegitimation often use by side that has the military advantage”.

Terjemahan bebas: "kata penggunaan "terorisme" adalah satu metoda delegitimation sering menggunakan dengan sisi yang mempunyai keuntungan militer".

(http://en.wikipedia.org/wiki/Definitions_of_Terrorism).

Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai “teroris”. Meski kemudian muncul istilah State Terrorism, namun mayoritas masyarakat membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak kenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya, miskin, siapapun dapat diserang.

Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria antara lain, target, tujuan, motivasi dan legitimasi dari aksi


(29)

terorisme tersebut. Pada bulan November 2004, Panel PBB mendefinisikan Terorisme sebagai:

“Any action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, non-combatans when the purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a population or compel a government or international organization to do or to abstain from doing any act.”

(Terjemahan bebas: Segala aksi yang dilakukan untuk menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yang serius bagi para penduduk sipil, non kombatan dimana tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya adalah untuk mengintimidasi suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu). (http://en.wikipedia.org/wiki/Definitions_of_Terrorism).

Kecenderungan terjadinya terorisme adalah akibat dari tekanan sosial atau tekanan lain yang berkaitan dengan berbagai kepentingan dan tindakan. Terorisme juga diakibatkan adanya bentuk-bentuk penyimpangan-penyimpangan perilaku dari para pelakunya. Teroris telah memporak porandakan kepastian hidup sehari-hari. Teroris memproduksi ketakutan, mengobarkan kecemasan, mematikan kreatifitas dan nilai-nilai yang memanusiawikan manusia. Teroris tidak mendadak, tidak terjadi dalam sehari, pelaku terorisme tidak bodoh, melainkan disiplin, teguh, jitu dalam sasaran. Mereka terlatih dan bermotivasi tinggi. Mereka selalu bekerja dalam jaringan, kelompok, tim, pasukan, atau lainnya dan kerjanya sangat rapih. Terorisme bukan wacana melainkan gerakan, bukan sekedar menyebar ketakutan, tetapi juga meluluhlantakkan peradaban. Terorisme is an action, bukan hanya paham. Setiap aksi memiliki motivasi, kompensasi, perjuangan, dan filosofi tindakan. Motivasi terorisme yang dahsyat yakni “in The Name of Religion” atau “Demi Agama Allah”. Tidak ada motivasi lain yang lebih indah dari “hidup dan


(30)

mati untuk agama”. Kompensasi perjuangan langsung berkaitan dengan pahala surga atau kematian sendiri (seandainya dia pun harus mati) dikamuflasekan dengan kenikmatan yang tiada tara di Surga. Dengan demikian tidak ada ruang kebimbangan atau kesangsian untuk menjalankan tugas kematian. Perbuatan teror biasanya digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendak”Nya”.

Terorisme di Indonesia dilatarbelakangi oleh politik, agama, pemisahan diri dari NKRI, kriminal biasa, yang dilakukan oleh orang sakit hati atau balas dendam terhadap orang atau sekelompok orang. Terorisme biasanya digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu, serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok orang tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.

Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus.

Peristiwa Bom Bali tahun 2002 menjadi pemicu bagi keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2003 yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme berbunyi:


(31)

“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.”

Pengertian tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yaitu:

“Segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”.

Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yaitu: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yaitu:

“Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran


(32)

terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yaitu:

“Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:

a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;

d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;

e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;

g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak;

h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;


(33)

i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;

j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;

k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;

l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;

m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;

n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;

o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n; p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;

q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan; r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat

mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan”.


(34)

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu:

“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme”.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu:

“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional”

Pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10”.

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu:

“Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan :

a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,


(35)

radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;

b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ; c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata

kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;

d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;

e. mengancam :

1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau

2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan

g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f”.

Definisi yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. 2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

3. Menggunakan kekerasan.

4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.

5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.


(36)

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap publik secara luas. Tindakan dengan cara merampas kemerdekaan orang lain atau menghancurkan obyek-obyek vital yang strategis atau fasilitas publik atau internasional tersebut, bahkan dapat menimbulkan korban bersifat massal.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pelakunya dapat diproses secara hukum positif bahkan hukum internasional. Terorisme biasanya mempunyai organisasi yang rapi, fanatisme, dan militansi yang tinggi dari anggotanya. Terorisme mempunyai tujuan tertentu, dilakukan penuh dengan kerahasiaan dan terselubung.

Bentuk tindak pidana terorisme yang dipandang populer belakangan ini adalah pengeboman. Kaum teroris juga masih sering menggunakan tindakan teror seperti pembunuhan, penculikan, serangan bersenjata, pembajakan dan penyanderaan, serta penggunaan senjata pemusnah massal (kimia, biologi, radioaktif, nuklir). Itulah sebabnya sasaran teror tidak hanya merugikan individu, melainkan juga organisasi, komunitas tertentu, bahkan negara.

Tindakan teror juga dapat dimasukkan sebagai alat perjuangan mencapai tujuan ideologi dan politik. Bahkan ada juga yang diarahkan sekedar menciptakan suasana yang menakutkan sehingga menimbulkan meluasnya keresahan dikalangan masyarakat. Sebagai contoh, meluasnya ancaman teror bom di


(37)

berbagai kota di Indonesia selama ini meski sering kali tidak sampai terbukti meledak tetapi cukup berhasil menciptakan keresahan.

E. Detasemen Khusus 88 Anti Teror

Kapolri menerbitkan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 menandai terbentuknya Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri, disingkat Densus 88 AT Polri. Keberadaan Skep Kapolri tersebut merupakan tindaklanjut dari diterbitkannya UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau yang biasa disebut dengan UU Anti Terorisme, yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

Sebelum Densus 88 AT Polri berdiri, Polri telah memiliki organisasi anti teror yang merupakan bagian dari Brimob Polri, yakni Detasemen C Gegana, akan tetapi keberadaan Detasemen C tersebut dianggap kurang memadai untuk dapat merespon berbagai tindakan dan ancaman dari organisasi teroris pasca 9 September 2001 di Amerika Serikat.

Faktor lain yang mendorong dibentuknya Densus ini adalah akibat pelanggaran HAM yang dilakukan TNI di masa lalu. Sejak tahun 1994, TNI terkena embargo senjata dan pendidikan oleh negara-negara barat. Hal ini menyebabkan TNI kesulitan mengembangkan kemampuan tempurnya, khususnya dalam menghadapi ancaman terror. Sehingga berbagai bantuan dan dukungan, baik persenjataan, pelatihan hingga pendanaan pasukan anti terror dari negara-negara Barat dikembangkan di Polri, sebut saja misalnya Amerika Serikat, yang banyak


(38)

kehilangan warganya akibat serangan teroris pada peristiwa 9 September 2001, Australia, yang juga banyak kehilangan warganya pada Peristiwa Bom Bali I dan II, serta Kedutaan Besarnya di Indonesia menjadi sasaran peledakan bom mematikan dari jaringan terorisme di Indonesia, serta Negara Uni Eropa lainnya. Peristiwa 9 September 2001 telah mengubah paradigma aparat penegak hukum di Indonesia dalam memberantas terorisme. Ini tercermin dari terkonsolidasi, dan terfokusnya pola pengembangan organisasi yang khusus dalam memberantas gerakan terorisme dalam berbagai varian dan jenis, dari mulai yang bernuansa separatisme hingga pada kelompok pembuat teror dalam konflik komunal.

Momentum kampanye global perang terhadap terorisme menjadi titik balik bagi penguatan dan pembangunan institusi anti teror yang mapan, handal dan profesional. Dan penguatan institusi anti teror tersebut pada akhirnya dilakukan di lembaga Kepolisian, hal ini selain sebagai strategi untuk meraih dukungan dan bantuan dari negara-negara barat, juga untuk tetap mengucurkan bantuan untuk membangun institusi anti teror, setelah pemberlakuan embargo militer terhadap Indonesia.

Ketika menguat kampanye perang global terhadap terorisme, Pemerintah Indonesia meresponnya dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian dipertegas dengan diterbitkanya paket kebijakan nasional terhadap pemberantasan terorisme dalam bentuk Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002.


(39)

Sebagai respon dari Inpres dan kemudian Perpu tersebut, Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan membentuk Desk Kordinasi Pemberantasan Terorisme yang langsung berada dibawah kordinasi Menteri Kordinasi Politik dan Keamanan. Desk tersebut memiliki legitimasi dengan adanya Surat Keputusan (Skep) Menko Polkam yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan Nomor Kep. 26/Menko/Polkam/11/2002.

Dalam Desk Kordinasi Pemberantasan Terorisme, kesatuan Anti Teror Polri, yang lebih dikenal dengan Detasemen C Resimen IV Gegana, Brimob Polri bergabung dengan tiga organisasi anti teror angkatan dan intelijen. Dalam perjalanannya, institiusi anti teror tersebut kemudian melebur menjadi Satuan Tugas Antiteror dibawah kordinasi Departemen Pertahanan. Akan tetapi, lagi-lagi inisiatif yang dilakukan oleh Matori Abdul Djalil, Menteri Pertahanan, berantakan. Karena masing-masing kesatuan anti teror tersebut lebih nyaman berinduk kepada organisasi yang membawahinya.

Praktik Satgas Anti Teror tersebut tidak efektif berjalan, selain karena eskalasi ancaman teror sejak Bom Bali I juga konflik komunal yang memaksa masing-masing kesatuan anti teror akhirnya berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi, eskalasi teror yang begitu cepat memaksa Polri untuk mengkhususkan permasalahan anti teror pada satuan tugas khusus, dan akhirnya dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri yang tugas pertamanya adalah mengusut kasus Bom Natal tahun 2001 dilanjutkan dengan tugas-tugas terkait ancaman bom lainnya.

Satgas Bom Polri ini menjadi begitu dikenal publik setelah menangani beberapa kasus peledakan bom yang terkait dengan kalangan luar negeri, sebut saja


(40)

misalnya Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia. Satgas ini berada dibawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, dan dipimpin oleh perwira polisi bintang satu. Kepala Satgas Bom Polri yang pertama adalah Brigadir Polisi Gories Mere, dan kemudian digantikan oleh Brigjen Polisi Bekto Suprapto, dan yang ketiga adalah Brigjen Polisi Surya Dharma Salim Nasution. Bekto dan Surya Dharma berturut-turut menjabat sebagai Komandan Densus 88 AT yang pertama dan kedua.

Disamping ada satuan anti teror Gegana Brimob Polri dan Satgas Bom Polri, Polri juga memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Anti Teror di bawah Bareskrim Mabes Polri. Keberadaan Direktorat VI Anti Teror ini bertumpuk dan memiliki fungsi dan tugas yang sama sebagaimana yang diemban oleh Satgas Bom Polri, disamping itu dinamika yang sangat cepat karena ancaman dan teror, Mabes Polri akhirnya melakukan reorganisasi terhadap Direktorat VI Anti Teror. Secara resmi Kapolri Jenderal Da’I Bachtiar, menerbitkan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 menandai terbentuknya Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri, disingkat Densus 88 AT Polri. Keberadaan Skep Kapolri tersebut merupakan tindaklanjut dari diterbitkannya UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau yang biasa disebut dengan UU Anti Terorisme, yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sedangkan TNI dan BIN menjadi unsur pendukung saja dari pemberantasan tindak pidana terorisme.

Kondisi tersebut sesungguhnya sejalan dengan Inpres dan Perpu yang diterbitkan pemerintah sebelum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini


(41)

disahkan menjadi undang-undang. Ada tiga alasan mengapa akhirnya Polri diberikan kewenangan utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, yakni:

Pertama, pemberian kewenangan utama pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan strategi pemerintah untuk dapat berpartisipasi dalam perang global melawan terorisme, yang salah satunya adalah mendorong penguatan kesatuan khusus anti terorisme yang handal dan profesional, dengan dukungan peralatan yang canggih dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas.

Pembentukan Densus 88 AT Polri ini menghabiskan dana lebih dari Rp. 15 Milyar, termasuk penyediaan senjata, peralatan intai, alat angkut pasukan, operasional, dan pelatihan, yang merupakan bantuan dari negara-negara barat khususnya Amerika Serikat dan Australia. Ketika Densus 88 AT Polri terbentuk, TNI masih diembargo persenjataan dan pendidikan militernya oleh negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat. Sehingga salah satu strategi untuk mendirikan kesatuan anti teror tanpa terjegal masa lalu TNI adalah dengan mengembangkannya di kepolisian.

Kedua, kejahatan terorisme merupakan tindak pidana yang bersifat khas, lintas negara (borderless) dan melibatkan banyak faktor yang berkembang di masyarakat. Terkait dengan itu terorisme dalam konteks Indonesia dianggap sebagai domain kriminal, karena cita-cita separatisme sebagaimana konteks terorisme dulu tidak lagi menjadi yang utama, tapi mengedepankan aksi teror yang mengganggu keamanan dan ketertiban, serta mengancam keselamatan jiwa dari masyarakat.


(42)

Ketiga, menghindari sikap resistensi masyarakat dan internasional perihal pemberantasan terorisme jika dilakukan oleh TNI dan intelijen. Sebagaimana diketahui sejak Soeharto dan rejimnya tumbang, TNI dan lembaga intelijen dituding sebagai institusi yang mem-back up kekuasaan Soeharto. Sehingga pilihan mengembangkan kesatuan anti teror yang profesional akhirnya berada di Kepolisian, dengan menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, khususnya Pasal 2,4, dan 5. Yang berbunyi:

Pasal 2: Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 4: Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5: Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Dengan alasan tersebut di atas, keberadaan Densus 88 AT Polri harus menjadi kesatuan profesional yang mampu menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya, sebagaimana ditegaskan pada awal pembentukan. Bila merujuk pada Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni 2003, maka tugas dan fungsi dari Densus 88 AT Polri secara spesifik adalah untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi


(43)

teror dengan modus peledakan bom. Dengan penegasan ini berarti Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana tugas penanggulangan terror dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam UU Anti Terorisme.

Secara organisasional Densus 88 AT berada di Mabes Polri dan Polda, untuk yang di Mabes Polri berada di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang dipimpin oleh Kepala Densus 88 AT Polri dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi, pada tingkat kepolisian daerah, Densus 88 AT Polri berada di di bawah Direktorat Serse (Ditserse) dipimpin oleh perwira menengah polisi, tergantung tipe Poldanya, untuk Polda Tipe A, Densus 88 AT dipimpin oleh perwira menengah berpangkat Komisaris Besar Polisi, sedangkan di Polda Tipe B dan Persiapan, dipimpin oleh perwira menengah berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi.

Pada tingkat Mabes Polri, Kepala Densus 88 AT baru terjadi dua kali pergantian pimpinan, yakni yang pertama Brigjen Polisi Bekto Suprapto, yang dipindah menjadi Kapolda Sulawesi Utara, yang digantikan oleh Brigjen Polisi Surya Dharma Salim Nasution, mantan Direktur I Bidang Keamanan dan Transnasional Bareskrim Mabes Polri.

Struktur organisasi dari Densus 88 AT Polri memiliki empat pilar pendukung operasional setingkat sub-detasemen (Subden), Di bawah Subden terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional Densus 88 AT Polri, yakni:


(44)

1. Subden Intelijen

pada Subden Intelijen terdapat unit- unit pendukung yaitu: a. Unit Analisa,

b. Unit Deteksi,

c. Unit Kontra Intelijen, 2. Subden Penindakan

pada Subden Penindakan terdapat unit-unit pendukung yaitu: a. Unit Negoisasi,

b. Unit Pendahulu, c. Unit Penetrasi, dan d. Unit Jihandak. 3. Subden Investigasi

pada Subden Investigasi terdapat unit- unit pendukung yakni: a. Unit Olah TKP,

b. Unit Riksa, dan c. Unit Bantuan Teknis, 4. Subden Perbantuan

pada Subden Bantuan terdapat unit-unit pendukung yakni: a. Unit Bantuan Operasional, dan

b. Unit Bantuan Administrasi.

Anggota dan personil Densus 88 AT Polri sedapat mungkin belum pernah ditugaskan di Aceh, Papua, maupun Timor-Timur yang dinilai banyak melakukan pelanggaran HAM. Hal itu adalah salah satu prasyarat dari rekrutmen bagi Anggota dan personil Densus 88 yang dimintakan oleh negara pemberi bantuan


(45)

dana untuk pengembangan dan pembentukan kesatuan khusus anti teror ini. Akan tetapi agak sulit untuk merealisasikan persyaratan tersebut, apalagi banyak dari personil Densus 88 AT Polri berasal dari Brimob Polri, kesatuan khusus yang memiliki kualifikasi tempur. Sehingga permintaan tersebut dipermudah dengan pola pendekatan ketrampilan yang layak sebagai anggota kesatuan khusus.

Selain dari unsur Brimob, khususnya dari Gegana, unsur lain yang menjadi pilar pendukung Densus 88 AT adalah dari Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri dan Bareskrim. Disamping tiga pilar pendukung operasional tersebut, rekrutmen personil Densus 88 AT Polri juga dapat berasal dari Akademi Kepolisian, Sekolah Polwan, serta unsur sekolah kekhususan yang ada di lingkungan Polri.

Saat ini personil Densus 88 AT Polri di tingkat pusat tak lebih dari 400 orang dengan kualifikasi anti teror terbaik. Sedangkan di tingkat Polda, personil Densus 88 AT Polri berkisar antara 50 hingga 75 personil. Sebelum direkrut dan menjadi bagian dari Densus 88 AT Polri, para anggota Polri tersebut terlebih dahulu dilatih di Pusat Pendidikan (Pusdik) Reserse Polri di kawasan Megamendung, Puncak, Jawa Barat, serta Pusat Pendidikan Anti Teror Nasional (Platina), Kompleks Akademi Kepolisian, Semarang. Para pengajarnya, selain internal Polri, juga berasal dari instruktur CIA, FBI, National Service-nya Australia, dan jaringan organisasi intelijen barat lainnya. Selain diajari berbagai teori dan metodologinya, kedua pusat pendidikan tersebut juga difasilitasi oleh simulator dan pendukung lainnya.


(46)

Dukungan persenjataan dan peralatan pendukung lainnya dapat dikatakan sangat canggih, misalnya senapan serbu jenis Colt M4 5.56 mm dan yang terbaru jenis Steyr-AUG, atau senapan penembak jitu, Armalite AR-10, Shotgun model Remington 870 yang ringan dan sangat handal buatan Amerika Serikat. Selain persenjataan, setiap personil Densus 88 AT Polri dilengkapi dengan peralatan personal maupun tim; alat komunikasi personal, Global Positioning System (GPS), kamera pengintai malam, alat penyadap dan perekam mikro, pesawat interceptor, mesin pengacak sinyal, dan lain-lain.

Untuk mendukung keberhasilan operasional, Densus 88 AT Polri juga bekerja sama dengan operator telepon seluler, dan internet untuk mendeteksi setiap pergerakan kelompok terorisme dalam berkomunikasi. Sementara untuk unit penjinak bom juga diperlengkapi dengan peralatan pendukung, semisal pendeteksi logam terbaru, sarung tangan dan masker khusus, rompi dan sepatu anti ranjau darat, serta kendaraan taktis peredam bom. Sempat juga diisukan Densus 88 AT Polri memiliki pesawat Hercules seri C-130 sendiri untuk mempermudah mobilisasi personil, tapi isu tersebut sulit dibuktikan, karena faktanya Mabes Polri telah membentuk Densus 88 AT Polri di tingkat Polda, ini berarti juga menjawab jika isu tersebut tidak sepenuhnya benar.

Dengan mengacu pada uraian tersebut diatas, maka tak heran apabila Densus 88 AT Polri diharapkan oleh internal Polri dan pemerintah Indonesia untuk menjadi kesatuan anti teror yang handal dan profesional. Sejak tahun 2003, Densus 88 AT Polri telah berperan aktif dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sebagaimana amanat UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, dan UU Anti


(47)

Terorisme. Dua bulan setelah kesatuan ini terbentuk, langsung dihadapi dengan terjadinya serangan bom mobil di Hotel J.W. Marriot, yang merupakan hotel milik jaringan Amerika Serikat, 13 orang tewas dalam kejadian itu. Dalam hitungan minggu, jaringan pengebom hotel mewah tersebut dapat dibongkar, dan ditangkap.

Peran yang melekat pada Densus 88 AT Polri ini sesungguhnya mempertegas komitmen Polri, dan pemerintah Indonesia dalam berperan aktif dalam perang global melawan terorisme. Sepanjang empat tahun sejak terbentuknya, peran dan fungsi Densus 88 AT Polri, tidak saja mengharumkan nama kepolisian, tapi juga negara di dunia internasional.

Dengan memperluas keorganisasian Densus 88 AT Polri hingga ketingkat daerah menjadi penegas bahwa komitmen Polri dalam memberantas tindak pidana terorisme tidak main-main. Bahkan dalam perjalanannya, Densus juga tidak hanya terfokus pada identifikasi dan pengejaran aksi teror dan bom, tapi juga membantu unit lain di Polri dalam menindak pelaku kejahatan lainnya seperti Illegal Logging, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang Densus 88 AT Polri membantu identifikasi permasalahan kewilayahan sebagaimana yang pernah terjadi pada kasus pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) pada acara kenegaraan di Maluku.

Meski terfokus pada pemberantasan tindak pidana terorisme, sesungguhnya Densus 88 AT Polri juga memiliki tiga peran dan fungsi yang melekat lainnya yakni:


(48)

Pertama, karena Densus 88 AT Polri berada di Bareskrim Mabes Polri, dan Ditserse Polda, maka personil Densus 88 AT juga merupakan personil dengan kualifikasi seorang reserse yang handal. Sehingga tak heran apabila setiap aktivitas yang melibatkan Bareskrim dan Ditserse, hampir selalu menyertakan personil Densus 88 AT Polri di lapangan, khususnya terkait dengan kejahatan khusus, seperti; narkoba, pembalakan liar, pencurian ikan, dan lain-lain. Salah satu contohnya adalah kasus pembalakan liar di Riau dan Kalimantan Barat yang diduga melibatkan perwira polisi, Densus 88 AT Polri bersama dengan Brimob Polda melakukan perbantuan kepada Bareskrim Mabes Polri dan Ditserse Polda. Kedua, seorang personil Densus 88 AT Polri juga merupakan seorang anggota Polri yang memiliki kualifikasi sebagai seorang anggota intelijen keamanan, dalam melakukan pendeteksian, analisis, dan melakukan kontra intelijen. Dalam beberapa kasus keterlibatan anggota Densus 88 AT dalam kerja-kerja intelijen kepolisian juga secara aktif mampu meningkatkan kinerja dari Mabes Polri ataupun Polda setempat, sebagaimana yang dilakukan Polda-Polda yang wilayahnya melakukan Pilkada dan rawan konflik lainnya.

Ketiga, seorang personil Densun 88 AT Polri juga adalah seorang negoisator yang baik. Seorang negoisator dibutuhkan tidak hanya oleh Densus 88 AT tapi juga oleh organisasi kepolisian secara umum. Artinya seorang negoisator dibutuhkan untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa yang lebih besar, semisal kasus penyanderaan oleh anggota terorisme, ataupun mengupayakan berbagai langkah agar prosesnya meminimalisasi resiko, dengan tetap menegakkan hukum, sebagai pilar utama tugas kepolisian secara umum.


(49)

Negoisasi sangat pelik sempat dilakukan saat mengepung tempat persembunyian Dr. Azahari dan Noordin M.Top. Meski keduanya tidak dapat ditangkap, karena Dr. Azahari memilih meledakkan diri dan Noordin M.Top berhasil lolos, namun prosedur dan langkah yang dilakukan oleh negoisator dari Densus 88 AT Polri relatif berhasil, karena tidak sampai melukai ataupun berdampak negatif pada masyarakat sekitarnya.


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan melalui penelaahan terhadap teori-teori, konsep-konsep, dokumen-dokumen hukum berupa Rancangan Undang-Undang (RUU), Undang-Undang, makalah-makalah, pandangan-pandangan serta perumusan-perumusan yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dan diteliti.

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan penelitian Iangsung ke lapangan yaitu dengan melihat fakta-fakta tentang penanganan tindak pidana terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Indonesia dan hambatan apa saja yang terdapat dalam penegakan hukum tersebut, yang bertujuan untuk memperoleh data yang murni berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini

Tipe penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang segala sesuatu yang diteliti sehingga


(51)

dari hasil penelitian diharapkan dapat mendeskripsikan upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Studi Lapangan (field research)

Data lapangan yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian di lapangan. Data lapangan ini didapatkan dengan cara melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara (interview) dengan anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror.

2. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran dan penelaahan peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, dan literatur lain yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Usaha mengindentifikasi data yang dilakukan penulis dengan cara mengklasifikasikan data menjadi 2 (dua) jenis, yaitu; data primer dan data sekunder.

1. Data primer, yaitu data yang didapat secara Iangsung dari lapangan atau pihak-pihak yang terlibat langsung dalam memberikan data yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.


(52)

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah, peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, dan literatur lain yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas..

Jenis data sekunder dalam penulisan ini terdiri dan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

a. Bahan hukurn primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yaitu:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1. Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukurn primer yang terdiri dari petunjuk lapangan, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan, serta peraturan pelaksanaan lainnya.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi dan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder agar dapat menjadi Iebih jelas, seperti koran, majalah, kamus, dan sebagainya.


(53)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto, 1986 :172). Dalam penelitian yang menjadi populasi adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Dalam penulisan skripsi ini yang akan dijadikan populasi adalah Team Detasemen Khusus 88 Anti Teror.

Sampel adalah sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1987: 152). Dalam menentukan sampel dari populasi yang akan diteliti menggunakan metode pengambilan sampel purposive sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subyek yang didasarkan pada tujuan tertentu.

Berdasarkan metode pengambilan sampel, maka responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror Lampung : 4 (empat) orang b. Akademisi Fakultas Hukum Unila : 1 (satu) orang


(54)

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan langkah-langkah:

1. Studi kepustakaan (library research)

Yaitu studi kepustakaan yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, mengutip hal-hal penting dan berbagai buku literatur, internet, perundang-undangan dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Studi lapangan (field research)

Yaitu pengumpulan data primer yang dilakukan dengan cara mengadakan wawancara kepada beberapa nara sumber dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan.

2. Pengolahan Data

Pengolahan Data dilakukan setelah semua data berhasil dikumpulkan, baik dari kepustakaan maupun dari lapangan. Pengolahan data yang terkumpul dilakukan dengan cara:

a. Editing yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap benar dan relevansinya dengan penelitian.


(1)

ANALISIS YURIDIS PENANGANAN TINDAK PIDANA

TERORISME OLEH DETASEMEN KHUSUS 88

ANTI TEROR DI INDONESIA

Oleh JAPRIYANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(2)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Shafruddin, S.H., M.H. .………

Sekretaris/Anggota : Eko Raharjo,S.H.,M.H. ...

Penguji Utama : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1 003


(3)

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus

Kupersembahkan karya ini untuk

Papa dan Mama tercinta atas segala kasih sayang

dan doa yang tiada henti untuk keberhasilanku ini,

Saudaraku yang terkasih (Veronika Netty Manalu, Darwin Yohanes

Manalu, Mikael Victor Manalu),

Seorang hawa yang mendukung dan mendoakanku dengan ikhlas dan

penuh kesabaran,

Seluruh dosen-dosenku yang ku hormati yang telah banyak

mencurahkan ilmu dan pengetahuan kepadaku,

Seluruh kawan-kawan yang kubanggakan

yang telah mengisi hari-hari dengan canda dan tawa,


(4)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Hj. Erna Dewi, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1 003


(5)

MOTTO

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, Karena

hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan

sehari cukuplah untuk sehari

(Matius 6:34)

Hidup ini tidak perlu kita jalani dalam

Kesempurnaan, Cukup berjuang untuk melakukan

yang Terbaik, maka Allah akan menuntun kita

masuk dalam KesempurnaanNya

(Penulis)

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan

orang-orangtidak menyadari betapa dekatnya mereka

dengan keberhasilan saat mereka menyerah.

(Thomas Alva Edison)

Yang terpenting dalam olimpiade bukanlah

kemenangan, tetapi keikutsertaan...

Yang terpenting dalam kehidupan bukanlah

kemenangan namun bagaimana bertanding dengan

baik.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Teluk Betung Bandar Lampung pada Tanggal 18 Januari 1988 sebagai anak Pertama dari 4 bersaudara dari pasangan P.Manalu dan S.Siahaan.

Riwayat Pendidikan penulis dimulai di Taman Kanak-Kanak Xaverius Panjang Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 1994, Pendidikan Dasar di SD Fransiskus 1 Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Fransiskus 1 Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 2003 dan Sekolah Menengah Kejuruan diselesaikan di SMK Negeri 2 Bandar Lampung 2006. Pada Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada Tahun 2009 penulis melaksanakan program Magang Praktik Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nasional Bandar Lampung.

Dalam pengalaman berorganisasi di Fakultas Hukum Universitas Lampung penulis pernah menjabat sebagai Staf divisi External Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung masa jabatan 2008-2009, anggota BKBH (Bidang Konsultasi dan Bantuan hukum), dan aktif sebagai pengurus maupun anggota pada Forum Mahasiswa Hukum Kristen (FORMAHKRIS).