Analisis Yuridis Kewenangan Densus 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Dalam Perspektif Kriminologi

(1)

A. Buku

Arief, Barda Nawawi, 2008, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Arief, Barda Nawawi, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Abimanyu, Bambang, 2005, Teror Bom di Indonesia, Grafindo, Jakarta

Daud, Muhammad, 2004, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Kriminologi Serta Kesan Pesan Sahabat Menyambut 70 Tahun, Pustaka Bangsa Press, Medan

Djamali, Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, 2005, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Dwiyatmi, Sri Harini, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor

Ekaputra, Mohammad, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan

Ediwarman, 2014, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta

Ediwarman, 2015, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Panduan penulisan Skripsi, tesis dan Disertasi, PT. Sofmedia, Medan

Halim, Ridwan, 2008, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Bogor


(2)

Mansur, Dikdik. M.Arief, 2012 Hak Imunitas Aparat Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Teorirsme, Pensil-324, Jakarta

Marpaung, Leden, 1991, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Mardenis, 2011, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Masyar, Ali, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah Kritik Atas Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Mandar Maju, Bandung

Moeljatno, 1993, Azas-Azas Hukum Pidana, Bhineka Cipta, Jakarta

Mulyadi, Mahmud, 2009, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan

Mulyadi, Lilik, 2007, Peradilan Bom Bali, Penerbit Djambatan, Jakarta Muladi, dan Arief, Barda Nawawi, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT.

Alumni, Bandung

Prang, Muzakkir Samidan, 2011 Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan

Prasetyo, Teguh, dan Berkatullah, Abdul Halim , 2005, Politik Hukum Pidana dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Poernomo. Bambang, 1992, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta

Ridwan, H.M., dan Ediwarman, 1994, Azas-azas kriminologi, USU Press, Medan

Simanjuntak, Noach, dan Pasaribu I.L, 1984, Kriminologi, Tarsito, Bandung Siregar, Tampil Anshari, 2005, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan

Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan

Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta


(3)

Wahid, Abdul, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung

Wibowo, Ari, 2012, Hukum Pidana Terorisme, Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta

Wiryono, Prodjodikoro, 2003, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta

Yarnamah, Ansari, 2016, Evolusi Jihad Konsep dan Gerakan, Perdana Publishing, Medan

B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(KUHAP)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

Peraturan pemerintah Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia


(4)

Peraturan Kapolri Nomor 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Profesi Polri

C. Website

htt 15.25

13.51

Mei 2016 Pukul 14.36

19.17

tanggal 18 Juli 2016 Pukul 13.47

Pukul 12.46


(5)

diakses pada hari selasa tanggal 19 Juli Pukul 14.47

pukul 16.50

2016 pukul 18.30

Juli 2016 pukul 14.30

Rabu 3 Agustus 2016 Pukul 11.36

pada hari jumat tanggal 29 Juli 2016 Pukul 09.45

diakses pada hari


(6)

D. Jurnal

Jurnal, Kusumah, Mulyana, Terorisme dalam Pespektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol 2 no III, Jakarta, Terbit terang

Jurnal, Eksistensi Densus 88, Analisis Evaluasi Dan Solusi Terkait Wacana Pembubaran Densus 88 oeh Zainal Muhtar, Vol.3 No. 1, Juni 2014 Radikalisme dalam perspektif kriminologi, yang disampaikan pada loka karya

“Kemitraan Antara Polri Dan Masyarakat Dalam Penanganan Radikalisme” dalam rangka HUT Bhayangkara ke-65 POLRI di Pangkal Pinang 23 Juni 2001 oleh Saut.P.Panjaitan (dosen fakultas hukum universitas sriwijaya)

Terorisme dalam Negara Hukum Pancasila, disampaikan dalam seminar Degradasi

Moral, Gaya Terorisme Muda dan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Surya Buana Karanganyar di Pendopo Bupati/Gedung Paripurna DPRD Karanganyar, Rabu 30 Januari 2013 oleh Prof.Dr.Jamal Wiwoho,S.H.,M.Hum. dan Pembantu Rektor II Universitas UNS


(7)

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA TERORISME

Kejahatan akan selalu ada dalam masyarakat yang berkembang dengan sangat cepat, baik dari segi kualitasnya maupun dari segi kuantitasnya. Kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat, norma-norma dan sanksi sosial yang semakin diperlonggar akan memunculkan disorganisasi baik dalam masyarakat maupun keluarga yang pada gilirannya akan memberi peluang bagi berkembangnya bermacam tindak kejahatan. Sebagaimana diucapkan oleh Lacassagene: “masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya”79

Jika kita amati ada beberapa pengertian kejahatan menurut penggunaannya, antara lain:80

a. Secara praktis (practice interpretetation)

Pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, kesusilaan, yang hidup dalam masyarakat disebut kejahatan.

b. Secara religious (religious interpretetaion)

Pelanggaran atas perintah-perintah Tuhan disebut kejahatan. c. Secara yuridis (juridicial intrepretetation)

Yakni suatu perbuatan yang melanggar hukum atau yang dilarang oleh undang-undang.

79 Muhammad Daud, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Kriminologi Serta Kesan Pesan

Sahabat Menyambut 70 Tahun, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004 Halaman 26

80 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing,


(8)

Dalam perspektif kriminologi ada beberapa aliran etiologi kriminal mengenai faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan, antara lain:81

a. Aliran antropologi

Toko aliran ini adalah C. Lamroso, beliau menyatakan bahwa ciri khas seseorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisiknya yang berbeda dengan manusia lainnya (genus hemodelinguengs) seperti kelainan-kelainan pada tengkorak, roman muka yang lebar,, mukanya menceng, hidungnya pesek, tidak simetris tulang dahinya melengkung kebelakang, rambutnya tebal dan kalau sudah tua lekas botak di bagian tengah kepalanya.

b. Aliran Lingkungan

Tokoh aliran ini adalah Lamark dan Manourier serta A. Lacasagne. Menurut aliran ini seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi olef faktor lingkungan disekitarnya/ lingkungan ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan serta kebudayaan termasuk perkembangan dengan dunia luar serta penemuan-penemuan teknologi baru.

c. Aliran Biososiologi

Tokoh aliran ini adalah A.D. Prins, Van Humel, D.Simons dan Fern. Aliran biososiologi ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aliran Antropologi dan Aliran Sosiologi. Oleh karena ajarannnya didasarkan bahwa tiap-tiap kejahatan itu timbul karena:


(9)

1) Faktor individu seperti keadaan psikis dan fisik dari si penjahat dan juga karena faktor lingkungan.

Faktor individu yang diperoleh sebagai warisan dari orang tuanya, keadaan badannya, kelamin, umur, intelek, tempramen, kesehatan dan minuman keras.

2) Faktor keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan kejahatan itu meliputi keadaan alam (geografis dan klimatologis) keadaan ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu Negara.

d. Aliran Spritualisme

Tokoh aliran ini adalah F.A.K Krauss dan M. De Baets. Menurut para tokoh aliran tersebut bahwa tidak beragamanya seseorang (tidak masuk sebuah agama) mengakibatkan salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan, dalam arti seseorang menjadi jahat karena tidak beragama atau kurang beragama. Jadi terdapat hukum sebab akibat dalam aliran ini.

Beberapa aspek sosial yang oleh kongres PBB ke-9 di Havana, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan khusus dalam masalah “urban crime” antara lain disebutkan dalam dokumen A/CONF.144/1.3 sebagai berikut:82

a. Kemiskinan,pengangguran, buta huruf (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi.


(10)

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial

c. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga

d. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang berimigrasi ke kota-kota atau Negara lain

e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan.

f. Menurunnya atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi temaot-tempat fasilitas dan lingkungan/bertetangga

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam masyarakat, dilingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau lingkungan sekolahnya. h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga

diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas

i. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian.

j. Dorongan-doroangan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah kepada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran (intoleran).

Terorisme merupakan salah satu kejahatan yang telah digolongkan sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah versi penjelasan, di antaranya tipologi yang dirumuskan oleh “National Advisory Committee” (komisi kejahatan nasional Amerika) dalam The Report of the Task Force of the on Disorders and Terrorism (laporan dari satuan tugas pada gangguan dan terorisme) yang mengemukakan sebagai berikut, ada beberapa bentuk terorisme yaitu: 83

a. Terorisme Politik yaitu perilaku kekerasan kriminal yang dirancang guna menumbuhkan rasa ketakutan di kalangan masyarakat demi kepentingan politik

b. Terorisme nonpolitis yakni mencoba menumbuhkan rasa ketakutan dengan cara kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan terorganisasi


(11)

c. Quasi terorisme, digambarkan dengan “dilakukan secara incidental”, namun tidak memiliki muatan ideology tertentu, lebih untuk tujuan pembayaran contohnya dalam kasus pembajakan pesawat udara atau penyanderaan dimana para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada motivasi politik

d. Terorisme politik terbatas, diartikan sebagai teroris, yang memiliki motif politik dan ideology, namun lebih ditujukan dalam mengendalikan keadaan (Negara). Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam (vadetta-type executions)

e. Terorisme Negara atau pemerintahan yakni suatu Negara atau pemerintahan, yang mendasarkan kekuasaannya dengan ketakutan dan penindasan dalam mengendalikan masyarakatnya.

Jika dipahami secara jernih, kejahatan terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor psikologis, tetapi juga ekonomi, politik, agama, sosiologis, dan masih banyak lagi yang lain. Karena itu terlalu simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme hanya berdasar satu penyebab saja misalnya psikologis. Konflik etnik, agama dan ideology, kemiskinan, tekanan modernisasi, ketidakadilan politik, kurangnya saluran komunikasi dana, tradisi kekejaman, lahirnya kelompok-kelompok revolusioner, kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah, erosi kepercayaan daripada rezim, dan perpecahan yang begitu mendalam diantara pemerintahan dan elit politik juga menjadi penyebab lahirnya terorisme. Berikut akan dibahas faktor terjadinya tindak pidana terorisme berdasarkan faktor politik, ekonomi, nasionalisme, psikologi, sosial dan budaya, serta ideologi , dan faktor terjadinya terorisme akibat paham radikalisme.


(12)

3.1 Faktor Terjadinya tindak Pidana Terorisme berdasarkan Faktor Politik, Ekonomi, Nasionalisme, Psikologi, Sosial dan Budaya, Serta Ideologi.

Rangkaian aksi tindak pidana terorisme selama satu dekade belakangan ini:84

a. Peristiwa Teror di Tahun 2000 :

Kantor Kedutaan Besar (Kedubes) Filipina diguncang ledakan bom pada 1 Agustus 2000 dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sedikitnya dua orang tewas dan puluhan orang lainnya menderita luka-luka termasuk Dubes Filipina kala itu, Leonides T Caday. Sebuah granat meledak di komplek Kedubes Malaysia, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.

Teror bom kembali mengguncang Jakarta. Kali ini yang menjadi target ialah area parkir P2 kantor Bursa Efek Indonesia (BEI), Tercatat, 10 orang tewas, puluhan orang lainnya luka-luka, dan ratusan mobil rusak berat.

Menjelang perayaan Natal, rangkaian aksi teror bom kembali terjadi pada 24 Desember 2000. Peristiwa ini terjadi di sejumlah kota di Indonesia. Belasan orang meregang nyawa dan puluhan lainnya menderita luka-luka.


(13)

b. Tahun 2001 :

Gereja Santa Anna dan HKBP di daerah kalimalang, Jakarta Timur diguncang ledakan bom pada 22 Juli 2001. Sebanyak lima orang tewas dalam peristiwa ini.

Pada 23 September 2001 Plaza Atrium Senen, Jakarta Pusat diteror ledakan bom. Sejumlah orang di lokasi menderita luka-luka. Beruntung tidak ada korban jiwa.

Ledakan bom juga mengguncang restoran KFC, Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada 12 Oktober 2001. Tidak ada korban jiwa dalam insiden ini.

Sekolah Australian International School (AIS), di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan juga mendapat teror bom rakitan pada 6 November 2001. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.

c. Tahun 2002 :

Sebuah granat manggis meledak di depan restoran ayam di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan pada 1 Januari 2002. Satu orang dilaporkan tewas.

Pada 12 Oktober 2002, terjadi aksi bom bunuh diri yang mengguncang Pulau Dewata, Bali. Dua bom pertama meledak di Paddy's Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, Bali. Bom ketiga meledak di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat, Jalan Hayam Wuruk 188, Denpasar. Sebanyak


(14)

202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas mengenaskan dan ratusan orang lainnya luka-luka.

Sebuah bom meledak di restoran McDonald's, di Kota Makassar pada 5 Desember 2002. Bom rakitan terbungkus wadah pelat berbahan baja itu meledak dan menewaskan tiga orang serta belasan lainnya 11 luka-luka.

d. Tahun 2003 :

Kompleks Mabes Polri, di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan pada 3 Februari 2003 diteror oleh sebuah bom rakitan yang meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Beruntung tidak ada korban jiwa dlam peristiwa ini.

Bandara Soekarno-Hatta, pada 27 April 2003 juga tak lepas dari target ancaman bom. Kali ini sebuah bom rakitan meledak di area terminal 2F, dan menyebabkan dua orang luka berat dan beberapa lainnya ringan.

Hotel JW Marriott tak luput dari target kelompok teroris. Pada 5 Agustus 2003 sebuah bom mengguncang area Hotel JW Marriott dan menyebabkan 11 orang meregang nyawa dan ratusan orang lainnya mengalami luka-luka dan mendapat perawatan intensif di berbagai rumah sakit di Jakarta.


(15)

e. Tahun 2004 :

Kantor Kedutaan Besar Australia diguncang ledakan bom pada 9 September 2004. Sebanyak lima orang tewas dan ratusan orang lainnya luka-luka. Ledakan bom juga terjadi di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004 atau dua pekan menjelang perayaan Natal.

f. Tahun 2005 :

Serangkaian aksi teror ledakan bom terjadi pada tahun 2005. Di antaranya ialah di Ambon pada 21 Maret 2005 dan Tentena pada 28 Mei 2005. Puluhan orang tewas dalam tragedi ini.

Selanjutnya, wilayah Tangerang menjadi target operasi kelompok teroris. Pada 8 Juni 2005 sebuah bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat, Tangerang. Beruntung tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.

Selanjutnya, ledakan bom kembali meneror Pulau Dewata pada 1 Oktober 2005. Ledakan bom terjadi di R.AJA's Bar and Restaurant, Kuta Square, kawasan Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran. Sebanyak 22 orang tewas dalam peristiwa ini.


(16)

Sebuah bom juga meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah pada 31 Desember 2005. Delapan orang dilaporkan tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

g. Tahun 2009 :

Teror bom kembali mengguncang Ibu Kota Jakarta pada 17 Juli 2009. Kali ini yang menjadi sasaran ialah Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Ledakan terjadi hampir bersamaan sekira pukul 07.50 WIB. Aksi ini belakangan diketahui diinisiasi oleh terduga teroris asal Malaysia, Noordin M Top, yang tewas ditembak oleh tim Densus 88 Antiteror Polri pada 16 September 2009.

h. Tahun 2010 :

Aksi teror terhadap warga sipil terjadi pada Januari 2010 dan diikuti oleh aksi perampokan Bank CIMB Niaga Cabang Medan Aksara, Jalan Arief Rahman Hakim, Medan, Sumatera Utara pada 18 Agustus 2010. Seorang anggota Brimob tewas dalam peristiwa tersebut.

i. Tahun 2011 :

Aksi bom bunuh diri terjadi di Masjid Mapolresta Cirebon saat pelaksanaan salat Jumat pada 15 April 2011. Pelaku tewas di lokasi dan puluhan orang lainnya.


(17)

Ledakan bom bunuh diri juga terjadi di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai acara kebaktian. Seorang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 orang lainnya luka-luka.

j. Tahun 2012 :

Ledakan cukup keras terdengar di depan pos polisi tak jauh dari Tugu Gladak, Kota Solo, pada Sabtu 18 Agustus 2002 sekira pukul 23.00 WIB. Ledakan itu diduga berasal dari bom yang dilempar oleh orang tak dikenal. Sekira delapan personel polisi berlarian menyelamatkan diri dari pospol tersebut. Beruntung nihil korban jiwa dalam insiden ini.

k. Tahun 2016 :

Aksi teror terjadi di awal tahun 2016, tepatnya pada Kamis, 14 Januari 2016. Ledakan benda diduga bom terjadi sekitar pukul 10.45 WIB di Pos Polantas Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Insiden ini telah menewaskan delapan orang dan puluhan lainnya luka-luka. Korban jiwa terdiri dari anggota polantas dan warga sipil. Selain di Pospol Sarinah, pelaku juga meledakkan bom dan mengumbar tembakan di depan gerai Starbucks. Bahrun Naim yang disebut-sebut sebagai salah satu pentolan ISIS Asia Tenggara dituding sebagai dalang di balik aksi teror tersebut.

Selanjutnya aksi teror bom bunuh diri terjadi pada tanggal 5 Juli 2016 di Kompleks kantor Polresta Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Seorang polisi terluka akibat serangan tersebut. Pelaku bom bunuh diri ini adalah Nur


(18)

Rohman yang merupakan buronan yang masuk DPO jaringan terorisme bom Bekasi yang berhasil melarikan diri saat penangkapan pada Desember 2015.

Dari data yang dimuat di atas kita dapat melihat bahwa serangan teroris sepanjang satu dekade ini terjadi hampir tiap tahun. Jeda waktu paling lama hanya 4 tahun yaitu terjadi pada tahun 2005 kemudian terjadi lagi pada tahun 2009, lalu ditahun 2012 ada lagi jeda waktu 4 tahun, yang kemudian terjadi serangan lagi di awal tahun 2016. Ternyata betapapun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana terorisme, Terorisme di Indonesia tetap saja merajalela.

Terjadinya tindak pidana terorisme tidak dapat dikatakan dapat muncul dengan sendirinya, melainkan adanya faktor-faktor lain yang dapat mendorong munculnya tindak pidana terorisme seperti perkembangan situasi dalam dunia global mempunyai pengaruh yang sangat besar. Dasar terorisme berasal dari ekstremisme, baik ekstremisme kanan maupun ekstremisme kiri. Ekstremisme kanan terpola dari adanya suatu ideology yang dianut, seperti ideology rasisme, fasisme, dan nasionalisme, sedangkan ekstremisme kiri terpola dari keberadaan suatu agama, dimana setiap agama melakukan pembenaran dari aksi mereka dengan menjadikannya sebagai alat, untuk melawan dan melecehkan harkat dan martabat seseorang yang memiliki agama yang berbeda.

Terorisme berkembang akibat ketidakpuasan kelompok tertentu terhadap sistem yang ada dan berusaha mengubah keadaan awal ke keadaan yang sesuai


(19)

dengan tujuan cita-cita mereka. Arsyad Mbai memandang bahwa terjadinya terorisme bersumber pada ekstremisme ideology keagamaan, nasionalisme kesukuan dan terorisme yang dilakukan oleh kepentingan tertentu. Motivasi terorisme ekstremisme ideology keagamaan ini didasarkan kepada radikalisme agama, yaitu membangun komunitas eksklusif sebagai modal dan identitas kelompok vis a vis dunia sekitarnya dianggap sebagai dekaden, dan karenanya harus dimusnahkan. Prinsip yang digunakan berperang melawan kafir adalah kewajiban, kematian adalah take off menuju rumah sorgawi.

Motivasi terorisme nasionalisme kesukuan mengarah pada separatisme, karena adanya perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat, adanya ketimpangan ekonomi dan sosial, keinginan untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alamnya, sampai kepada keinginan untuk memperoleh kemerdekaan politik atau pendirian Negara baru. Terorisme yang dilakukan oleh kepentingan tertentu melakukan perbutaan untuk sekedar ingin menimbulkan kekacauan. Teror ini dilakukan untuk melindungi kepentingan tertentu, baik di bidang politik, ekonomi dan sosial, bahkan sebagai upaya untuk menutupi proses hukum atas kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan pada masa lalu.85

Hasil penyelidikan para ahli menemukan bahwa ada beberapa faktor yang melatar belakangi timbulnya terorisme, antara lain:86

85Dikdik. M. Arief. Mansur, op.cit Halaman 161

86Kusumah, Mulyana, Terorisme dalam Pespektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi


(20)

a. faktor nasionalisme, berkisar pada tuntutan hak-hak politik dan nasionalisme kelompok minoritas yang merasa tertindas, seperti yang terjadi di Palestina dan Irlandia

b. faktor politik, berkisar pada tuntutan suatu kelompok yang merasa lebih berhak untuk mendapatkan kekuasaan atau bagian dari kekuasaan seperti yang terjadi di beberapa Negara berkembang

c. faktor keturunan agama dan bahasa yang merupakan faktor utama yang menimbulkan teror, dimana suatu kelompok yang berasal dari keturunan yang sama atau agama yang sama atau bahasa yang sama menuntut memisahkan diri dari Negara dengan dalih bahwa hak-hak mereka dirampas oleh Negara seperti yang terjadi pada suku kurdi di Iran dan Turki.

d. faktor peradaban, berkisar pada tuntutan suatu kelompok agar kesucian ajaran agama dan kehormatan bangsa yang selama ini tercemar akibat tingkah laku pemerintah yang berkuasa atau pengaruh tekanan Negara lain, seperti gerakan Hisbullsh di Iran dan Aum Sin Rikyo di Jepang. e. faktor sosial dan psikologi yang meliputi:

perasaan tertindas yang biasanya banyak dialami oleh masyarakat kelas bawah dan menengah dalam sebuah masyarakat sebagai akibat kesulitan ekonomi sehingga melahirkan kecemburuan sosial dalam masyarakat f. tuntutan perubahan, yang mendorong suatu kelompok untuk melakukan


(21)

sosial. Tuntutan ini banyak terjadi pada masyarakat eropa, khususnya kelas atas.

g. penolakan, yakni penolakan terhadap fenomena sosial baru akibat perkembangan teknologi yang di nilai bertentangan dengan norma kemanusiaan dan akhlak mulia,

h. akidah ideology faktor ini biasanya tumbuh di kalangan kelompok terdidik, dimana apa yang selama ini mereka yakini bertentangan dengan masyarakat sekitar, seperti keyakinan mereka terhadap marxisme atau zionisme.

Menurut sebagian besar aktifis yang tergabung dalam kelompok Tanzim al-Qaidah di Aceh, faktor-faktor pendorong terbentuknya radikalisme dan terorisme di Indonesia antaralain:

a. Faktor ekonomi

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi merupakan motif utama bagi para terorisme dalam menjalankan misi mereka. Keadaan yang semakin tidak menentu dan kehidupan sehari-hari yang membuat resah orang untuk melakukan apa saja. Dengan seperti ini pemerintah harus bekerja keras untuk merumuskan rehabilitasi masyarakatnya. Kemiskinan membuat orang gerah untuk berbuat yang tidak selayaknya diperbuat seperti; membunuh, mengancam orang, bunuh diri, dan sebagainya.


(22)

b. Faktor sosial

Orang-orang yang mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu kelompok garis keras yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Dalam keseharian hidup yang kita jalani terdapat pranata sosial yang membentuk pribadi kita menjadi sama. Situasi ini sangat menentukan kepribadian seseorang dalam melakukan setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem sosial yang dibentuk oleh kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang yang mempunyai tujuan sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam garis keras atau radikal.

c. Faktor Ideologi

Faktor ini yang menjadikan seseorang yakin dengan apa yang diperbuatnya. Perbuatan yang mereka lakukan berdasarkan dengan apa yang sudah disepakati dari awal dalam perjanjiannya. Dalam setiap kelompok mempunyai misi dan visi masing-masing yang tidak terlepas dengan ideologinya.

Terorisme yang ada di Indonesia di ditinjau dari sudut pandang psikologis-politis, terdapat dua faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak terorisme87

Pertama, terorisme adalah salah satu cara untuk menemukan makna hidup, pintu masuknya adalah ajaran-ajaran yang menjanjikan kebahagiaan transedental dan kebahagiaan abadi. Dalam konteks Islam, ajaran tersebut antara lain jihad, mati syahid, dan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka yang meninggal dalam medan jihad dijanjikan masuk surga.

diakses


(23)

Kedua, terorisme adalah ekspresi orang-orang yang tertindas yang berasal dari kelompok minoritas politik, budaya atau agama yang hak-haknya terampas. Secara kolektif mengalami tekanan ekonomi juga mudah hanyut terseret ke dalam aksi terorisme. Kesenjangan ekonomi, tirani politik dan hegemoni kebudayaan merupakan lahan yang subur bagi terorisme. Oleh karena itu, solusi pemberantasan terorisme tidak hanya dapat melalui pendekatan keamanan dan cara-cara militer saja, tetapi diperlukan pendekatan social-security yang humanis.

Dikdik M Arief Mansur dalam bukunya yang berjudul “ Hak Imunitas Aparat Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme” mengatakan khusus untuk kasus-kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, terjadi karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu:88

c. faktor psikologis yaitu akibat tekanan barat terhadap muslim, terutama yang dilakukan oleh amerika serikat dan sekutunya terhadap Negara-negara arab, serta dukungan Amerika Serikat terhadap Israel menjadi faktor timbulnya sikap antipati muslim terhadap barat. Tindakan teroris merupakan akumulasi dari kekecewaan a. faktor agama, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, menjadi objek yang sangat memungkinkan direkrutnya warga masyarakat menjadi anggota teroris dengan dalih agama, yaitu untuk melawan kedzoliman barat, memerangi kafir dan jihad di jalan agama

b. faktor pendidikan dan keterbatasan pemahaman terhadap agama, latar belakang pendidikan yang rendah dan keterbatasan pemahaman agama yang dianut juga menjadi penyebab mudahnya perekrutan teroris di Indonesia


(24)

yang tidak mungkin dilakukan dengan perlawanan terbuka karena kekuatan tidak berimbang.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam telekonfrensi dengan Gubernur di seluruh Indonesia di Istana Negara pada tanggal 30 Juli 2009 mengatakan ada tiga penyebab munculnya aksi terorisme. Yang pertama, ideologi yang radikal dan ekstrim, ini bisa muncul di mana saja, negara mana saja, dan di masyarakat manapun, penyebab kedua, adalah penyimpangan terhadap ajaran agama yang dianut. Penyebab terakhir karena kondisi kehidupan yang susah, kemiskinan absolute dan keterbelakangan yang ekstrim.89

Radikalisme dalam perspektif kriminologi dapat diartikan sebagai: 3.2. Faktor terjadinya tindak Pidana terorisme akibat paham radikalisme

Radikalisme dan terorisme kini menjadi musuh “baru” umat manusia. Banyak radikalisme menyebar ke kalangan masyarakat. Kasus terorisme di Indonesia oleh penganut teologi radikal tidak berbanding lurus dengan intoleransi dan kekerasan. Karena fenomena terorisme tentu tidak cukup dengan penjelasan dari dimensi agama, terutama radikalisasi dan fundamentalisme agama semata.

90

a. Paham / aliran yang ‘radikal’ dalam politik.

90Paper Radikalisme dalam perspektif kriminologi, yang disampaikan pada loka karya

“Kemitraan Antara Polri Dan Masyarakat Dalam Penanganan Radikalisme” dalam rangka HUT Bhayangkara ke-65 POLRI di Pangkal Pinang 23 Juni 2001 oleh Saut.P.Panjaitan (dosen fakultas hukum universitas sriwijaya)


(25)

b. Paham / aliran yang menginginkan perubahan/ pembaharuan sosial dan politik dengan cara yang drastis, atau kalau perlu dengan kekerasan.

c. Sikap ekstrim dalam aliran politik.

d. Kegiatan yang bertujuan merubah sistem sosial politik secara drastis.

Kriteria radikal itu sendiri antara lain adalah sebagai berikut:

a. Kelompok yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang berlaku.

b. Dalam kegiatannya sering menggunakan aksi-aksi kekerasan, dan bahkan kasar, terhadap kelompok masyarakat lainnya yang dianggap bertentangan dengan keyakinan mereka.

c. Secara sosio-kultural dan sosio-religius, mereka mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas.

Penyebab timbulnya radikalisme antara lain karena didorong oleh rasa ketidakadilan dan kekecewaan akibat tata sosio-ekonomis dan sosio-politis, yang sifatnya :

1) diskualifikatif, dicirikan dengan sulitnya mendapatkan akses ke dunia kerja akibat ketidak mampuan bersaing karena rendahnya keterampilan dan pendidikan;


(26)

2) Dislokasi sosial-ekonomis, dalam bentuk termarginalisasikannya kaum miskin dari sumber daya ekonomi, sosial, dan kultural;

3) Deprivasi sosio-politis, dapat berupa proses pemiskinan masyarakat kelas bawah, lebih besar melalui lembaga-lembaga ekonomi yang sifatnya monopolitik, adanya konglomerasi dan masuknya modal asing yang berkolusi dengan elit penguasa lokal atas penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politis.

Rasa ketidakadilan dan kekecewaan akibat tata sosio-ekonomis dan sosio politis inilah yang kemudian memunculkan radikalisasi individual / kelompok di Asia yang mengatasnamakan ideologi perubahan atau keyakinan teokratis, dengan tafsir sempit, miopik, dan sepihak. yang secara radikal dan brutal justru disalahgunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan radikal dan ekstrim. Perbuatan radikal dan ekstrim inilah yang akhir-akhir ini dinamai dengan teror / terorisme.

91

Sejarah radikalisme di dalam masyarakat menunjukkan adanya banyak faktor yang bertanggungjawab atas kemunculannya. Ada kecenderungan sangat kuat bahwa motivasi dan daya dorong (driving factors) radikalisme lebih terkait dengan politik daripada agama. Terlihat jelas bahwa peningkatan radikalisme juga terkait erat dengan kekacauan sistem politik dan sosial di Indonesia pada awal masa reformasi. Secara keseluruhan, ketiadaan atau kurangnya penegakan hukum merupakan faktor penting bagi kelompok radikal untuk menegaskan diri mereka,

akses pada hari senin tanggal 18 Juli 2016 Pukul 17.46


(27)

antara lain dengan main hakim sendiri dan berbagai bentuk kekerasan lain dengan mengatasnamakan Islam.

Jazuli Juwaini Anggota Komisi III DPR RI, pada tanggal 1 Februari 2015. Menyebutkan bahwa hal itu disebabkan kalangan miskin merasa terasing dari lingkungan sekitar. Mereka merasa minder dan seolah tak memiliki harapan. Selain masalah ekonomi itu juga ditambah pemicu dari sisi ketidakadilan dan masalah sosial. Alhasil pemicunya memang kompleks. Situasi inilah yang membuat radikalisme dan terorisme tumbuh subur di masyarakat.

Sementara menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terorisme yang mengatasnamakan agama ini berpangkal dari kemiskinan, ketidakadilan dan korupsi. Keadilan yang sudah sulit ditemui, korupsi yang merajalela, serta kemiskinan yang ditambah jurang pemisah antara si kaya dan miskin yang begitu lebar membuat beberapa individu membentuk komunitas yang cenderung radikal atau ikut bergabung dengan terorisme.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya aksi ekstrem seperti terorisme. Pertama, adanya sebagian orang yang merasa diperlakukan tidak adil. Sistem hukum yang ada atau Negara tidak memihak kepada mereka. Perasaan diperlakukan tidak adil, baik secara sistem hukum maupun kebijakan Negara. Itu yang membuat mereka merespons dengan melakukan aksi teror. Kedua, mereka terpengaruh dengan paham agama yang dipahami secara tidak pas, sehingga dijadikan justifikasi untuk melakukan aksi teror. Misalnya Jihad, dijadikan justifikasi aksi teroris. Padahal


(28)

jihat memiliki banyak makna luas, tetapi kerap disalahartikan dan dipersempit secara makna. Jihad artinya sungguh-sungguh, bukan hanya berperang, melainkan melakukan kebaikan bagi orang lain.92

Beberapa tahun terakhir, istilah jihad yang banyak disebut di dalam Alquran dan hadis telah menjadi salah satu isu yang cukup menginspirasi dan sekaligus kontroversi baik dalam wacana akademik maupun dalam realitas kehidupan masyarakat, tidak hanya di kalangan Islam tetapi juga menarik perhatian kalangan non-Islam di berbagai belahan dunia.

Istilah Jihad yang banyak disebut di dalam Alquran dan hadis telah menjadi salah satu isu utama dalam pemberitaan tentang Tindak Pidana Terorisme. Padahal Terorisme dana jihad memiliki makna yang berbeda. T.P. Thorton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan:

“terorisme sebagai penggunaan teror berupa tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara ekstra normal, khususnya dengan kekerasan dan ancaman kekerasan”.

Menurut pengertian syariat, jihad bermakna “pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain”. Salah satu bentuk perbuatan jihad yaitu memberi pengajaran terhadap seluruh manusia kepada jalan kebenaran dan mengembalikan tujuan dari penciptaan manusia yaitu sebagai khalifah fi al-ardh.


(29)

Berdasarkan pemaknaan tentang kedua istilah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan teror itu merupakan perbuatan yang menyimpang, meskipun dengan dalih akan menyebarkan agama. Misalnya, pengeboman di Bali, hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton di kawasan mega kuningan (Jakarta). Sebenarnya, mereka melakukan pengeboman dengan mendasarkan diri menyebarkan agama. Namun hal itu salah besar, karena terkesan sangat radikal. Padahal masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyebarkan agama. Sedangkan istilah jihad itu digunakan dalam menyampaikan ajaran agama menggunakan metode praktis, sederhana, dan lemah lembut.

Dalam sebuah artikel yang berjudul Islam and Violence (Islam dan Kekerasan) Esposito membantah keras mengaitkan islam dengan aksi teror. Ia mengatakan, “The islamic tradition places limits on the use of violence and rejects terorism, hijackings and hostage taking” (tradisi ke-islam-an menetapkan batas-batas penggunaan kekerasan dan menolak terorisme, pembajakan dan penyanderaan).93

Pada satu sisi, Jihad menawarkan sebuah janji kebahagian eskatologis yang kekal dan abadi yang harus diperjuangkan dengan segala daya dan cara, dan pada sisi yang lain, realitas jihad juga memperlihatkan sebuah dampak atau fenomena yang memiliki efek cukup menyentak dalam berbagai urusan kemanusiaan baik dalam bentuknya yang positif maupun dalam akibatnya yang negatif.

Pukul 14.47


(30)

Bagi kelompok yang berpegang dengan ide yang pertama, jika dipahami secara sempit, jihad dapat membentuk pemikiran seseorang dalam memandang tatanan dunia dengan pandangan “hitam putih” yang mengakibatkan dirinya merasa terpanggil, berdasarkan semangat keagamaan, untuk melakukan perubahan tatanan dunia yang dianggap telah bertentangan dan merusak, menurut pandangannya, nilai-nilai dasar keagamaan dan norma-norma kemanusiaan.

Sementara bagi kelompok yang melihat dari sisi yang kedua, terutama pandangan yang berkembang di belahan dunia Barat, jihad telah menjadi gerakan yang menakutkan sekaligus meneror pemikiran dan kehidupan manusia, padahal sesungguhnya jihad menginginkan sebuah atmosfir kehidupan yang komprehensif dan penuh kedamaian serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk tidak membenturkan kedua visi yang berbeda pandangan tersebut, perlu kiranya untuk mengeksplorasi jihad secara konseptual sebagaimana yang diinginkan alquran dan hadis,demi untuk mengakselerasikan ajaran islam, khususnya tentang jihad, dalam merespon berbagai persoalan yang dihadapi, tidak hanya oleh umat Islam tetapi juga oleh semua umat (bangsa), agar pemahaman tentang jihad yang terdapat di dalam Alquran dan hadis dapat sesuai dengan perkembangan peradaban manusia kontemporer.94

Didalam Alquran terdapat banyak istilah yang mengacu kepada pengertian jihad, yang kemudian berkembangan di dalam historiografi umat islam, dan A. Perspektif Alquran

94Ansari Yamamah, Evolusi Jihad Konsep dan Gerakan, Perdana Publishing, Medan, 2016


(31)

masing-masing pada prinsipnya mempunyai pengertian tersendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya, dan yang paling populer dalam pandangan mainstream, jihad dimaknai sebagai perang. Diantara beberapa istilah yang dipahami semakna dengan jihad antara lain adalah (1) al-ghazw, (2) al-qital; (3) al-harb; dan (4) al-jihad. Kata jihad (al-jihad), dengan berbagai derivasinya yang terdapat di dalam Alquran tercatat sebanyak 41 kali, dalam bentuk kata masdar (kata benda noun) berasal dari akar kata judhu dan jahdu yang berarti, antaralain: kekuatan, kemampuan,kesulitan, kelelahan dan lain-lain.95

Secara terminology, paling tidak kata jihad dapat diartikan sebagai upaya yang kuat (fullherated effort) untuk mengeksplorasi semua potensi dengan berbagai kesulitan dan rintangan dalam rangka mendapatkan apa yang menjadi tujuan, termasuk berjuang melawan musuh demi mempertahankan kebenaran, berbuat untuk kebaikan dan kemuliaan (grandeur) dalam rangka mencari keridaan Allah.96

Ibnu Abi Asim mengelaborasi hadis-hadis jihad menjadi beberapa klasifikasi yaitu:97

1. hadis yang berbicara tentang jihad sebagai pintu menuju surga (gate to heaven), yang mana hadis-hadis dalam bentuk ini memberikan prioritas utama kepada hubungan dan penjagaan secara lebih baik terhadap nilai-nilai kemanusiaan baik secara vertikal maupun horizontal dan yang

95 Ibid Hal 22 96 Ibid hal 26

97


(32)

menyebutkan tentang upaya-upaya pembersihan sprituallitas, yang dapat juga disebut dengan haidis jihad sufistik.

2. Hadis jihad dalam arti melakukan hal-hal yang baik (berbakti) kepada kedua orangtua. Hadis ini menunjukkan bahwa mengabdikan diri kepada kedua orangtua dalam bentuk berbuat baik, mengasihsayanginya dan menghormatinya, baik ketika keduanya masih hidup ataupun setelah mati, adalah merupakan bagian dari jihad yang diajarkan oleh islam, dan bahkan sekalipun seandainya kedua oranggtua tersebut mengajak anaknya untuk berbuat jahat dan menduakan Tuhan namun seorang anak harus berjihad (berbuat baik) untuk kedua orangtuanya.

3. Hadis jihad dengan makna belajar ilmu pengetahuan sains dan teknologi, mengajarkannya dan mengaplikasikannya untuk kepentingan kemanusiaan, sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya : “siapa saja yang datang ke mesjidku (majelis taklim Nabi Penulis) untuk belajar dan kemudian mengajarkan ilmu tersebut maka dia akan mendapatkan posisi yang sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah…” hadis ini menunjukkan betapa signifikannya kedudukan seseorang (ilmuwan) yang belajar ilmu pengetahuan dan melakukan pengkajian terhadap pengembangan sains dan teknologi yang kemudian mengajarkannya dan mengaplikasikannya demi dan untuk kepentingan masyarakat, kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.


(33)

4. Hadis Jihad yang berarti membantu fakir dan miskin serta melindungi yang lemah dan termarjinalkan baik secara politik maupun ekonomi. Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi bersabda “siapa saja yang membantu dan memberikan perlindungan kepada para janda dan orang-orang susah sama dihitung dengan orang yang melakukan jihad di jalan Allah”

5. Hadis jihad yang juga disamakan dengan perjuangan seseorang yang pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Abdul Rahman ibn Mubarak bahwa Aisyah berkata kepada Nabi: “Wahai Nabi, saya tidak melihat adanya pekerjaan (amal) yang lebih baik dibandingkan dengan jihad” , kemudian Nabi menjawab: “Memang tidak ada, akan tetapi untuk kalian (para perempuan) jihad yang paling baik adalah melaksanakan ibadah haji”.

Dari beberapa hadis di atas secara khusus memaknai jihad dalam berbagai perspektifnya, selain bermakna ibadah dan berbuat baik untuk kemanusiaan, maka sangat jelas kelihatan bahwa hadis-hadis tersebut lebih banyak menunjukkan upaya memaksimalkan kemampuan dan kekuatan Islam dalam rangka membangun tatanan kehidupan yang berkeagamaan, berkeadilan, berkemakmuran dan berkesejahteraan dalam bangunan peradaban yang berkemanusiaan.

Aksi terorisme di Indonesia beberapa kali dilancarkan dengan aksi bom bunuh diri. Tito karnavian yang baru menjabat sebagai Kapolri Indonesia saat ini mengatakan bahwa teroris memiliki doktrin untuk bunuh diri. Ini adalah hal yang dicari mereka. Jihad merupakan rukun Islam keenam bagi mereka. Menurut beliau, para teroris ini memiliki keyakinan membunuh orang kafir dimatanya akan


(34)

mendapat pahala. Apalagi ketika orang itu berhasil dibunuh, mereka akan masuk surga dan bertemu bidadari. Hal ini di dapat Kapolri Tito Karnavian setelah meng-interview 500 orang yang ditahan karena Tindak Pidana Terorisme.98

Townsend mengatakan: “No instances of religious or political suicide terrorism stem from lone actions of cowering or unstable bombers. It seems that the decision to send out a suicide terrorist is almost always made by others”( Tidak ada bunuh diri teroristik yang digerakkan oleh tindakan perseorangan, keputusan untuk mengirim para peledak bom bunuh diri selalu dibuat orang berbeda). Yang juga unik pada kasus-kasus bom bunuh diri adalah teroris berhenti pada momen atau kejadian itu, di mana ia mati bersama para korbannya. Namun, justru dengan kematiannya itu, tujuan-tujuannya yang sejati justru baru dimulai. Di sini, bom bunuh diri bukanlah suatu keputusan eksistensial, melainkan hasil dari determinasi organisasional.

Secara umum, tujuan dari bom bunuh diri adalah pencapaian sebanyak-banyaknya korban sehingga dengan itu muncul efek penggentar. Dengan bom bunuh diri, teroris bermaksud membentuk suatu wilayah mental tertentu di kalangan publik, yakni panik, ketakutan, dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem serta pranata-pranata dasar masyarakat.

99

Tindakan bom bunuh diri ini memiliki beberapa karakteristik:

pada hari rabu tangggal 20 Juli 2016 Pukul 13.37


(35)

a. perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian yang direncanakan

b. perbuatan ini menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah, yang tidak memiliki kaitan dengan pihak yang dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri, ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan pada orang banyak

c. perbuatan ini mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah d. perbuatan ini memiliki tujuan yang tidak jelas dan sasaran yang tidak jelas

pula

e. pertimbangan subjektif sangat menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.100

Melihat paparan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme di atas, kita dapat menyadari bahwa terorisme dapat terjadi oleh beragam motif. Dan ada banyak macam faktor yang mempengaruhinya, sehingga pemberantasan terorisme tidak bisa lagi diselesaikan dengan cara-cara biasa. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bisa bergerak cepat untuk mencegah dan menanggulanginya.


(36)

WEWENANG YANG DILAKUKAN DENSUS 88 DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

4.1.Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

4.1.1 Kebijakan Penal

101

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” (sosial policy) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” (sosial welfare policy) dan “kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat” (social defence policy).

Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada terciptanya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”.


(37)

PENAL -formulasi -aplikasi -eksekusi NONPENAL

Bertolak dari skema tersebut , dapat diidentifikasikan hal-hal pokok sebagai berikut:

a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), “kesejahteraan masyarakat/social welfare” (SW) dan perlindungan masyarakat/social defence” (SD) Aspek SW dan SD yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial terutama nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan.

b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan integral”, ada keseimbangan sarana “penal” dan “nonpenal” . Dilihat dari sudut politik kriminal kebijakan paling strategis adalah melalui sarana “nonpenal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan, yaitu bersifat fragmentaris/simpilistik/ tidak struktural fungsional, simpromatik/tidak

Social- welfare policy

GOAL SW/SD Social

policy

Social defence

policy


(38)

kausatif/tidak eliminatif, individualistic atau “offender-oriented/ tidak victim oriented”, lebih bersifat represif/ tidak preventif, harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi.

c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/ operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) 3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif)

Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”, karena itu kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Dilihat dari sudut kebijakan kriminal, upaya penanggulangan kejahatan politik dengan menggunakan sarana “penal” bukan merupakan kebijakan yang strategis. Menurut kesepakatan internasional (antaralain dalam Kongres PBB mengenai The prevention of Crime and the treatment of offenders), strategi dasar/pokok pencegahan kejahatan (the basic crime prevention strategy) harus difokuskan pada upaya menghilangkan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang


(39)

menimbulkan terjadinya kejahatan (termasuk kejahatan politik) terletak pada kebijakan yang integral, preventif, dan eliminatif dalam menanggulangi faktor-faktor penyebab. Dengan kata lain, kebijakan strategis terletak pada kebijakan penangulangan kausatif. Inilah yang tidak dipenuhi oleh kebijakan “penal” dalam menanggulangi kejahatan, karena kebijakan penal lebih merupakan kebijakan parsial, represif, dan simptomatik.102

Walaupun kebijakan penal bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik/kejahatan politik diharapkan ada efekpencegahan/penangkal (deterrent effect) nya. Disamping itu kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat” (sosial dislike) atau “pencelaan/kebencian sosial” (social disapproval/social abhorrence) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial” (social defence). Oleh karena itulah sering dikatakan, bahwa “penal policy” merupakan bagian integral dari “social defence policy”.103

Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui sarana penal merupakan suatu usaha yang memuat suatu peraturan yang mencantumkan pemidanaan. Hukum sebagaimana ini dikatakan perlu karena:104

1. Sanksi pidana merupakan sanksi yang dibutuhkan

102

Ibid 174

103Ibid hal 176


(40)

2. Sanksi pidana merupakan sarana yang terbaik atau merupakan alat yang terbaik dalam menghadapi kejahatan (ultimum remedium)

3. Walaupun di suatu sisi sanksi pidana merupakan penjamin yang terbaik, di sisi lain merupakan pengancam utama kebebasan manusia.

Dalam Pasal 10 KUHP telah menentukan jenis-jenis pidana terdiri dari: 1. Pidana pokok:

a. Pidana mati, b. Pidana penjara, c. Kurungan, d. Denda, e. Tutupan 2. Pidana tambahan:

a. Pencabutan hak-hak tertentu, b. Perampasan barang-barang tertentu, c. Pengumuman putusan Hakim.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, maka jenis-jenis pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dirumuskan adalah 3 (tiga) jenis pidana pokok, yaitu 1. Pidana mati, 2. Pidana penjara, serta 3. Denda (apabila yang melakukannya adalah koorporasi). Sehingga sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka aturan pemidanaan (pidana mati, pidana penjara, serta denda) berlaku aturan pemidanaan dalam KUHP, sebaliknya apabila ditentukan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, maka diberlakukan aturan pemidanaan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.


(41)

Kebijakan melalui jalur penal dalam tindak pidana terorisme diatur dalam pasal-pasal yang tertuang mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 19, sebagai berikut105

1. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

:

2. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

3. Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (dipidana dengan pidana mati

105 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


(42)

atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.), setiap orang yang:

a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;

d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak

dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;

g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak;


(43)

h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;

i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;

j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;

k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;

l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;


(44)

m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;

n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai

kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;

p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;

q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;

r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan

4. Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba


(45)

menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 5. Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun), setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

6. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk


(46)

melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.

7. Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan:

a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda; b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,

radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ;

c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;

d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;

e. mengancam :

1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk


(47)

menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau

2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, huruf b, atau huruf c; dan

g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f.

8. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :

a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;

b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau

c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

9. Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

10.Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana


(48)

dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.

11.Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

12.Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). Dan Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 juga mengatur kebijakan pidana terhadap tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, diatur dalam pasal-pasal yang tertuang mulai dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 23, sebagai berikut106

1. Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana

:

106 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


(49)

terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

2. Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

3. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

4. Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

4.1.2 Kebijakan Non-Penal

Penggunaan sarana nonpenal, dalam kaitannya dengan pemberantasan terorisme, adalah upaya penanggulangan tindak pidana terorisme dengan lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi bidang


(50)

yang sangat luas, misalnya dengan memahami dan mendalami akar persoalan (root causes) dari aksi terorisme yang umumnya menyimpulkan bahwa persoalan seperti kemiskinan (poverty) ketidakadilan (injustice) dan kesenjangan (inequality) baik pada level nasional begitu juga internasional merupakan persoalan paling mendasar dari fenomena terorisme. Lebih jauh, fenomena pemahaman yang dangkal dan parsial terhadap ajaran agama islam juga disebut sebagai faktor pemicu terorisme, khususnya di Indonesia.107

Secara internasional masalah penanggulangan kejahatan terorisme sudah diatur setidaknya dalam tiga konvensi internasional (1937, 1997, dan 1999) dan termasuk juga 12 (dua belas) konvensi internasional yang berkaitan dengan terorisme. Selain konvensi internasional tersebut juga terdapat 4 (empat) resolusi Dewan Keamanan PBB, yaitu: resolusi DK PBB Nomor 1333 Tahun 2000 tanggal 19 desember 2000 yang ditujukan secara khusus untuk pencegahan suplai senjata atau kapal terbang atau kelengkapan militer ke daerah Afghanistan dan seruan kepada seluruh Negara anggota PBB untuk membekukan aset-aset Osama bin Laden; resolusi DK PBB Nomor 1368 Tahun 2000 tanggal 12 September 2001 tentang pernyataan simpati PBB terhadap korban tragedi 11 September 2001 dan seruan kepada seluruh Negara anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah untuk merespon serangan teroris tersebut; resolusi DK PBB Nomor 1373 Tahun 2001; dan resolusi DK PBB Nomor 1438 tanggal 15 Oktober 2002 yang menyatakan belasungkawa dan simpati PBB kepada pemerintah dan rakyat Indonesia , terhadap korban dan keluarganya dan menegaskan kembali


(51)

langkah untuk memberantas terorisme serta menyerukan kepada seluruh bangsa-bangsa untuk bekerja sama membantu Indonesia dalam menemukan dan membawa pelakunya ke pengadilan (the Council urged all nations to “work together urgently” and to cooperate and provide assistance to Indonesia in finding and bringing the perpetrators of the bombings to justice).108

Profesor Jamal Wiwoho dalam seminar Degradasi Moral, Gaya Terorisme Muda dan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, mengatakan bahwa Upaya Penanggulangan Dan Pencegahan Terorisme dapat dilakukan antaralain:109

a. Melalui strategi supremasi hukum, upaya penegakan hukum dalam

memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tidak pandang bulu dan tidak mengarah pada penciptaan citra negatif pada kelompok/ komunitas tertentu.

b. Prinsip indepedensi juga di laksanakan untuk menegakkan ketertiban dan

melindungi masyarakat dari pengaruh tekanan negara asing atau kelompok tertentu.

c. Melakukan koordinasi antara instansi terkait dengan komunitas intelijen

dalam penyaluran informasi dan analisa serta partisipasi aktif dari komponen masyarakat

108 Ibid halaman 82

109 Bahan Terorisme dalam Negara Hukum Pancasila, disampaikan dalam seminar

Degradasi Moral, Gaya Terorisme Muda dan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Surya Buana Karanganyar di Pendopo Bupati/Gedung Paripurna DPRD Karanganyar, Rabu 30 Januari 2013 oleh Prof.Dr.Jamal Wiwoho,S.H.,M.Hum. Dosen S1,S2 dan S3 Fakultas Hukum UNS, dan Pembantu Rektor II Universitas UNS


(52)

d. Strategi demokrasi di terapkan dengan memberikan peluang kepada masyarakat sebagai saluran aspirasinya dalam meredam potensi gejolak radikalisme dan terorieme

e. Melakukan pendekatan terhadap tokoh masyarakat serta memberikan

kepahaman dan membentuk pola pikir yang benar

f. Memberikan andil kepada masyarakat untuk ikut serta dalam usaha-usaha

menaggulangi terorisme

g. Menggunakan 4 (empat) pilar yang ada dalam negeri kita untuk mencegah terorisme, yaitu:

1) Pancasila 2) UUD 1945

3) Bhinneka Tunggal Ika; dan 4) NKRI.

Di samping itu pemerintah harus serius menjamin kesejahteraan rakyat dengan menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan SDM rakyat Indonesia melalui pendidikan dan menjamin keamanan masyarakat secara sistematis agar kepercayaan terengkuh kembali.

Komisaris Jenderal Suhardi Alius yang sekarang menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menggantikan Tito Karnavian, mengatakan komitmen untuk mengimplementasikan semangat baru dalam


(53)

menanggulangi tindak pidana terorisme dapat juga diperkuat dengan program deradikalisasi dan antiradikalisasi.110

Melalui keberhasilan program deradikalisasi, mereka berubah dari sosok teroris berdarah dingin menjadi figur yang membantu aparat kepolisian menyadarkan kalangan teroris untuk kembali ke ajaran yang benar dan meninggalkan paham serta aksi kekerasan. Benar bahwa program deradikalisasi

Deradikalisasi merupakan upaya untuk mentransformasi keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal melalui pendekatan interdisipliner, termasuk agama, sosial, dan budaya. Dengan deradikalisasi, kita berharap keyakinan yang keliru yang tersebar melalui narasi-narasi kekerasan dan telanjur diyakini para teroris dapat diubah, jika program deradikalisasi itu dijalankan secara substantif dan paripurna, teroris dan mantan teroris akan berubah menjadi yang jauh lebih baik.

Para teroris dan mantan teroris yang berhasil mengikuti program deradikalisasi tidak saja akan meninggalkan paham dan aksi kekerasan yang pernah dianut, mereka tidak jarang menjadi aktor yang membantu aparat keamanan dalam menyadarkan kalangan yang telanjur terlibat aksi dan teperdaya oleh narasi-narasi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Keberhasilan program deradikalisasi, misalnya, dapat kita lihat pada sosok Abdurrahman Ayyub, Abu Dujana, Ali Imron, dan Ali Fauzi Manzi.

110


(54)

tidak selamanya berhasil mengubah teroris meninggalkan keyakinan dan praktik kekerasan mereka.

Santoso, misalnya, meskipun pernah mengikuti program deradikalisasi, tidak meninggalkan aksi terorisme bahkan menjadi dedengkot teroris di Poso hingga akhir hayatnya. Namun, harus dicatat, program deradikalisasi atas Santoso baru separuh jalan karena ia terlanjur kabur dari tahanan. Deradikalisasi harus radikal, dalam arti program tersebut harus dilaksanakan secara sistematis, tuntas, komprehensif, dan menyentuh akar persoalan dalam bingkai kemajemukan dan kebangsaan. Akar persoalan terorisme bukanlah kemiskinan harta atau pendidikan, melainkan kemiskinan atau kedangkalan pemahaman ajaran agama. Akar persoalan itulah yang terutama harus disentuh supaya deradikalisasi sukses.

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana terorisme dengan sarana non penal juga dilakukan dengan cara melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.111

111 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


(55)

4.2.Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Wewenang yang Dilakukan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dalam lingkup kejahatan Internasional yang berkaitan dengan kejahatan terorisme, tiap Negara wajib melakukan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, dan penghukuman terhadap tindak pidana terorisme di manapun locus delicti terorisme dilakukan. Pemberantasan terorisme harus tetap dilandaskan pada koridor hukum dengan berkiblat kepada paradigma Tritunggal, yaitu:

a. melindungi kedaulatan wilayah Negara Kesatuan RI dari ancaman dan agresi kegiatan terorisme, baik yang bersifat domestik maupun internasional.

b. melindungi korban kegiatan terorisme, dan c. saksi-saksi dilindungi secara optimal.

Selain itu, para pelaku tindak pidana terorisme tetap mendapat perlindungan hukum sesuai dengan prinsip universal perlindungan hak tersangka.112

Densus 88 sebagai satuan tugas dari Kepolisian Republik Indonesia untuk memberantas tindak pidana terorisme memiliki kewenangan atau fungsi yang sama dengan polisi. Kewenangan atau fungsi polisi itu mengenal 2 azas: pertama asas legalitas yang berarti bahwa semua tindakan Polisi harus berdasarkan pada aturan-aturan atau perundang-undangan yang berlaku. Setiap tindakan yang setelah dikaji tidak berdasarkan peraturan adalah tindakan yang tidak sah dan karenanya Polisinya dapat ditindak. Kedua asas Opurtunitas atau asas Utilitas,


(56)

yang berarti setiap tindakan Polisi yang selaras dengan kewajiban dan tanggung jawabnya maka semua dapat dianggap sah.113

Untuk melaksanakan tugas tindakan Polisi harus diarahkan pada kegiatan:114

a. Mengawasi dan mengarahkan agar kewajiban masyarakat untuk kepentingan umum terlaksana dengan baik.

b. Bertindak aktif untuk mencari penyebab mengapa kewajiban rakyat untuk kepentingan umum tidak terlaksana dan sekaligus mencari pemecahan yang tepat

c. Melakukan upaya paksa apabila perlu dengan menggunakan sarana Peradilan agar kewajiban rakyat itu dapat terlaksana. Dalam banyak hal usaha memaksa itu dapat dilakukan tanpa menggunakan sarana Peradilan. d. Mempertanggungjawabkan semua tindakan yang telah dilakukan maupun

yang tidak dilakukan.

Eksistensi Densus 88 mulai dipertanyakan mengingat akses negatif yang ditimbulkan dari tindakan-tindakan represif yang dilakukan sudah diluar batas kewajaran. Namun disisi lain peran vital Densus 88 sebagai aparat penegak hukum dianggap masih relevan dengan kebutuhan penanggulangan dan pemberantasan terorisme sebagai bentuk kebijakan strategi keamanan nasional. Tentu diperlukan suatu solusi yang dapat menjembatani problem berkaitan dengan eksistensi Densus 88 tersebut (Problem Solution) yang bisa menjadi titik

113 Kunarto, Etika Kepolisian, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, Halaman 79 114 Ibid Halaman 80


(57)

keseimbangan antara kebutuhan untuk menciptakan keamanan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia secara proporsional.

Pada Tahun 2016 upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh densus 88 menjadi sorotan pasca meninggalnya Siyono terduga teroris akibat tindakan yang dilakukan oleh dua personil densus 88 yang ditugaskan mengawasi siyono pada tanggal 8 Maret 2016. Kematian Siyono menyisakan sejumlah pertanyaan besar bagi keluarga dan masyarakat.

Analisis Kebijakan Madya Divisi Humas Polri, Kombes Pol Rikwanto, membeberkan secara detail perkelahian antara anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror dengan terduga teroris asal Klaten , Siyono yang menyebabkannya tewas. Ilustrasi tersebut diketahui setelah dilakukannya rekontruksi kejadian tersebut. Rikwanto mengatakan, saat melewati jalur Klaten-Yogyakarta, Siyono meminta petugas membukakan borgolnya, karena dianggap kooperatif, borgol di pergelangan tangan Siyono pun dilepas. Lewat daerah itu. Disanalah Siyono mulai menyikut petugas. Maka terjadilah perkelahian.

Siyono sempat mencakar dan mencekik anggota Densus 88 di sampingnya. Gerakan Siyono tanpa arah sehingga juga menendang kepala anggota lain yang mengendarai mobil di depan dan menyebabkan mobil oleng menabrak trotoar. Bahkan dalam pergulatan itu, Siyono mencoba meraih senjata anggota tersebut. Anggota Densus 88 pun langsung memojokkan Siyono dan memposisikannya di bawah tubuhnya. Saat itu, Siyono berusaha melawan dengan terus mencakar anggota Densus 88 di atasnya. Di satu sisi dengkul (anggota


(58)

Densus) menekan dadanya (Siyono). Di satu sisi angota membenturkan Siyono ke pintu. Itulah yang menyebabkan rusuknya patah. Saat itu Siyono belum meninggal dan langsung di bawa ke RS Bhayangkara. Namun, nyawa Siyono tidak tertolong.115

Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan Sembilan dokter forensik dari Muhammadiyah dan dihadiri oleh dokter forensik dari Polda Jawa Tengah, setidaknya ditemukan beberapa temuan. Pertama, otopsi mayat baru dilakukan oleh tim Muhammadiyah. Artinya temuan itu membantah pernyataan Polri yang menyatakan telah melakukan otopsi sebelumnya. Kedua terdapat tanda-tanda kekerasan dan patah tulang rusuk di kanan dan kiri. Ketiga, kematian korban

Berdasarkan hasil otopsi Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Kapusdokkes), pada tanggal 11 Maret 2016 ditemukan pendarahan di belakang kepala yang menyebabkan tewasnya Siyono. Sementara itu Berdasarkan hasil otopsi melalui tim forensik Muhamadiyah pada tanggal 14 Maret 2016, diketahui bahwa kematian Siyono diakibatkan benda tumpul yang dibenturkan ke bagian rongga dada. Tulang iga Siyono di sisi kiri dan kanan patah, kemudian tulang dada juga patah kearah jantung. Luka itu yang dianggap fatal dan disebut sebagai titik kematian Siyono.


(59)

akibat rasa sakit yang sangat besar. Keempat tidak ada luka di tangan sebagai upaya tangkisan tangan melawan aparat.116

Pada Jumat 11 Maret 2016 Pukul 15.00 WIB istri dan kakak siyono serta perangkat desa diajak ke Jakarta oleh Densus 88 untuk membesuk Siyono ke Jakarta dengan menggunakan 2 mobil. Pada sabtu 12 Maret 2016 Pukul 10.00 WIB baru diberitahukan resmi bahwa Siyono telah wafat. Istri dan kakak korban Kematian Siyono, terduga teroris asal Klaten, Jawa tengah ini diduga ada unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pada tanggal 15 Maret 2016 Komnas HAM menerima pengaduan dari kuasa hukum Suratmi istri Siyono terkait peristiwa kematian Siyono dalam kondisi ditangkap dan ditahan. Ketua Komnas HAM M Imdadun Rahmat mengatakan bahwa materi pengaduan tersebut berisi infomasi bahwa pada Selasa 8 Maret 2016 telah terjadi penangkapan terhadap Siyono di Klaten, Jawa Tengah. Pelaku penangkapan adalah 3 orang berpakaian sipil tanpa surat penangkapan dan membawa Siyono pergi menggunakan mobil. Menurut keluarga, Siyono sehat. Selama dua hari tidak ada info tentang Siyono hingga pada Kamis 10 Maret 2016 terjadi penggeledahan rumah Siyono oleh Densus 88 dan ada aksi penodongan senjata laras panjang oleh Densus 88 ke anak-anak yang sedang belajar. Dalam penggeledahan itu tidak ada suratnya. Densus 88 tidak temukan kotak yang dicari hingga saat itu disita 1 sepeda motor dan beberapa lembar kertas. Keluarga tidak ada tanda tangan berita acara penyitaan. Kemudian sepeda motor telah dikembalikan.


(60)

kemudian diberi uang dalam amplop besar, masing-masing di kamar terpisah. Pada Suratmi uang tersebut dikatakan untuk anak-anaknya, pada kakaknya dikatakan untuk mengurus jenazah. Uang tersebut diberikan tanpa ada tanda terima. Lalu pukul 11.00 wib keluarga melihat jenazah di RS Bhayangkara, usai lihat jenazah korban, jenazah pun dipulangkan ke Klaten dengan didampingi polisi.

Setelah pemakaman, keluarga didatangi aparat desa dan Densus 88 agar mau menandatangani surat ikhlaskan kematian dan tidak akan menuntut secara hukum serta tidak bersedia diautopsi. Ayah Siyono terpaksa tanda tangan, tetapi Suratmi tidak mau tanda tangan karena menganggap Siyono mati tidak wajar. Karena itu pada tangggal 14 Maret 2016 keluarga korban menunjuk kuasa hukum.117

Pengaduan istri Siyono membuahkan hasil dengan digelarnya Sidang Kode Etik oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri terhadap 2 anggota Densus 88 AT terkait tewasnya terduga teroris Siyono. Sidang etik digelar untuk mencari tahu penyebab tewasnya Siyono ketika dijemput dua anggota Densus 88. Sebanyak 10 saksi dihadirkan dalam sidang perdana. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Polisi Agus Rianto mengungkapkan 10 saksi yang dihadirkan antara lain orangtua Siyono.ada juga sejumlah anggota Densus 88 yang bertugas saat penangkapan Siyono, dokter dari Polda Jateng, dan Kapolres Klaten.

117


(1)

Melalui kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. OK. Saidin S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. H.M. Hamdan, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan ilmu kepada Penulis selama proses penulisan skripsi ini;

9. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis, memberikan arahan-arahan dan ilmu


(2)

10.kepada Penulis, serta sangat mengerti kesulitan Penulis selama penulisan skripsi ini;

11.Seluruh Dosen dan Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12.Sahabat terbaik Penulis “BENJOL” Lara tisa Oktasia Manurung Dan Bettiteresya Perangin-angin, terimakasih untuk setiap suka duka yang telah kita saling bagi selama perkuliahan (walau lebih banyak dukanya). Terimakasih karena telah menjadi sahabat bertumbuh dalam segala hal terutama bertumbuh dalam iman kepada Tuhan Yesus. Semoga kita bisa meraih mimpi kita masing-masing dan salah satu dari kita ada yang jadi istri Presiden nantinya.

13.Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) terkhusus GMKI Komisariat FH-USU yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk membentuk karakter Penulis menjadi Mahasiswa yang Tinggi Iman Tinggi Ilmu dan Tinggi Pengabdian. Terimakasih untuk semua anggota dan senioren yang telah menjadi keluarga bagi penulis. Ut Omnes Unum Sint!

14.UKM KMK USU UP FH yang telah menjadi wadah bagi Penulis untuk bertumbuh secara rohani, untuk semakin mengenal Kristus, dan belajar menjadi cerminan akan firman Allah. Terimakasih juga untuk Kelompok kecil Penulis The M.O.G dan EL-SEMOG (kak Dona, kak Nia, Anggis, Raphita, Natalia, Irma, Junel, Kevin, Sarah, Reynald, Yara dan Beni).


(3)

15.Terimakasih untuk setiap kebersamaan dalam kelompok kecil yang telah kita lewati selama ini

16.UKM Chair foundation yang telah menjadi wadah bagi Penulis untuk peduli akan pendidikan dan masalah-masalah sosial, serta belajar untuk dapat membantu orang-orang yang membutuhkan. Terimakasih terkhusus untuk abangku dan sahabatku berjuang bersama di chair foundation Aubertus Siahaan dan Theresia Sinuraya. Dan terimakasih juga untuk seluruh anggota. 17.Pengurus Komisariat GMKI Koms FH-USU masa bakti 2015-2016,

Sekretaris Sornica Butar-Butar, Bendahara Fitty Simamora, Wakil Bendahara Yeni Ginting, Wakil Ketua Dimas Saragih, Febrian Manurung dan Heru Sinaga, Wakil Sekretaris Resmi Purba, Pasca Saragih dan Sara Hasugian, Biro Alex Siregar, Apri Panjaitan dan Hans Saragih. Terimakasih untuk pelayanan yang boleh kita jalani bersama selama setahun.

18.Tim Klinis Sayang Mama Papa (SAMAPA), Ester, Riska, Lara, Betti, Iwan, Andreas, Adi, Ritcat dan sahata. Terimakasih untuk perjuangan kita bersama di klinis Pidana dan PTUN. terimakasih juga untuk Tim Klinis Perdata Meilinda, Fredrik, Tri, Tesa, Samswardi, Febrian, dan dimas. See you on top Guys!

19.Abang kelas di SMA yang sudah seperti abang sendiri, Rahmat Husein Harahap. Terimakasih sudah jadi tempat curhat dari zaman alay sampai sekarang, dan teman marbadai, terimakasih untuk setiap semangat yang diberikan dan teraktiran setiap kali ketemu di Medan. Doakan aku cepat kerja biar bisa traktir abang balik, dan semoga abang cepat kawin!


(4)

20.Dimas Sidabagas Saragih yang telah mengantar aku untuk pertama kalinya ke Pasca sarjana UMSU, karena aku gak tau alamatnya. Makasih banyak dim, semoga dirimu segera menyusul sidang, Amin!

21.Terimakasih untuk keluarga besar manurung dan nairasaon di FH USU, Terkhusus untuk ito Arya Manurung, Febrian Manurung, Lara Manurung, Sahata Manurung, dan Tri Bosko Manurung.

22.Terimakasih untuk CCC yang sudah berganti nama jadi KUDETA (Ica, Mei, Pasca, Naomi, dan Vina) terimakasih untuk segala kegalauan akan degem dan CDH yang telah kita bagi setiap malam kelabu. Terimakasih juga tuk Kredit Motor Tim (Lara dan andry agashi) semangat kita weee biar bisa mengkredit motor!

23.Terimakasih untuk Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA) dan teman-teman di Grup F Stambuk 2012. Semoga kesuksesan jadi milik kita semua.

24.Untuk setiap orang yang mengenal penulis dan senantiasa mendoakan penulis secara diam-diam. Baik yang penulis kenal maupun tidak, Dan untuk semua abang kakak teman dan adik-adik sekalian yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu namanya terimakasih banyak.

Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun semoga berguna bagi kalangan akademik maupun perkembangan hukum. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, 1 September 2016 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Perumusan Masalah... 6

1.3Tujuan Penelitian... 6

1.4Manfaat Penelitian... 7

1.5Keaslian Penulisan ... 7

1.6Tinjauan Kepustakaan ... 8

1.6.1 Pengaturan Hukum Mengenai Kewenangan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 8 1.6.2 Faktor Penyebab Terjadinya Tindak pidana Terorisme .... 16

1.6.3 Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Wewenangyang Dilakukan Densus 88 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 24

1.7Metode Penelitian ... 28

1.7.1 Spesifikasi Penelitian ... 28

1.7.2 Metode Pendekatan ... 29

1.7.3 Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel ... 30

1.7.4 Alat Pengumpul Data ... 30

1.7.5 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 32

1.7.6 Analisis Data ... 32

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEWENANGAN DENSUS 88 DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME 2.1Kewenangan Densus 88 dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme .... 37


(6)

2.2Kewenangan Densus 88 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 49 2.3Kewenangan Densus 88 dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 57

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA TERORISME

3.1Faktor terjadinya tindak Pidana Terorisme berdasarkan Faktor

Politik, Ekonomi, Nasionalisme, Psikologi, Sosial dan Budaya Serta Ideologi ... 73 3.2Faktor Terjadinya Tindak Pidana Terorisme Akibat Paham

Radikalisme ... 85

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH DENSUS 88

4.1Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 98 4.1.1 Kebijakan Penal ... 98 4.1.2 Kebijakan Non Penal ... 111 4.2Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Wewenang

yang Dilakukan Densus 88 Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme ... 117 4.2.1 Kebijakan Penal ... 125 4.2.2 Kebijakan Non-Penal ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan... 132 5.2Saran ... 134