PELAKSANAAN UPAYA PAKSA YANG DILAKUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA TERORISME (Tinjauan Terhadap Penegakan Ham Di Indonesia)

  PELAKSANAAN UPAYA PAKSA YANG DILAKUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA TERORISME (Tinjauan Terhadap Penegakan Ham Di Indonesia) (Jurnal) Oleh JOHAN IMMANUEL

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

  

ABSTRAK

PELAKSANAAN UPAYA PAKSA YANG DILAKUKAN DENSUS 88 ANTI

TEROR DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA TERORISME

(Tinjauan Terhadap Penegakan Ham Di Indonesia)

Oleh :

  

Johan Immanuel, Sunarto, Gunawan

Email : johanimsnuel@gmail.com

  Pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) dalam mengungkap tindak pidana terorisme menjadi kunci dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia, karena setiap terduga/tersangka terorisme memiliki hak-hak manusia yang telah diatur negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan Polri dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan bagaimanakah pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan Polri dalam mengungkap tindak pidana terorisme dari perspektif Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yakni, wawancara terhadap Anggota Kepolisian Daerah Lampung bagian Keamanan Negara, Anggota Penyelidik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Jakarta dan Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, bahwa pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan oleh Detasement Khusus 88 Anti Terordalam mengungkap tindak pidana terorisme (tinjauan terhadap penegakan hak asasi manusia di Indonesia) berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam lingkup penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat, Detasement Khusus 88 Anti Teror selain KUHAP berpedoman Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Upaya Paksa dalam KUHAP sangat berbeda dengan UU Terorisme, inilah yang menjadi perhatian oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror agar pelaksanaannya tidak berbenturan dan tidak melanggar hak-hak asasi dari seorang terduga/tersangka terorisme. Perlindungan hak asasi terhadap terduga/tersangka terorisme di lindungi baik dari Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, Undang- Konvensi Hak Ekonomi Sosial Budaya yang pada intinya melindungi dan menjamin seseorang untuk hak hidup, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak mendapat penyiksaan.Saran dalam penelitian ini adalah Detasement Khusus 88 Anti Teror dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum harus profesional, taat hukum, kode etik, dan hak asasi manusia, sesuai yang diamanatkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undnag tentang Hak Asasi Manusia maupun peraturan pelaksana lainnya.

  

Kata Kunci : Upaya Paksa, Tindak Pidana Terorisme, Penegakan Hak Asasi

I. PENDAHULUAN

  Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.

  menghentakkan dunia oleh pelaku terorisme, tanggal 1 Oktober 2005, ledakan bom di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, Pantai Kuta dan di Nyoman Cafe’Jombaran, telah mengakibatkan 22 orang meninggal dan 102 orang luka-luka. Tanggal 17 Juli 2009, kembali terjadi pengeboman di Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton yang membuat Indonesia menjadi ancaman dari para pelaku terorisme yang merenggut nyawa manusia. Peristiwa ini telah membuat 9 orang meninggal dan 50 orang luka- luka, diantaranya warga negara Indonesia dan warga Asing. Tanggal 8 Maret 2016, Densus 88 AT meringkus terduga pelaku terorisme di Klaten, Jawa Tengah dan membuat terduga teroris Siyono meninggal. Beberapa pendapat baik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

  Penetapan Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

  Kekerasan (KONTRAS), dan Ahli Hukum Pidana menyatakan penangkapan Siyono terduga teroris tidak sesuai hukum acara pidana, baik tidak ada surat penangkapan, surat penggeledahan, maupun status Siyono yang belum tersangka.

  Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. Untuk melakukan pengusutan diperlukan perangkat hukum yang dapat mencegah dan memerangi terorisme tersebut. Namun untuk mendapatkan kepastian hukum hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan kebijakan criminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme.

1 Peristiwa bom Bali yang

  Terorisme sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang bersifat global membuat Polri membentuk satuan khusus untuk menangani kejahatan ini. Penanganan yang dilakukan Polri dalam menugaskan satuan khusus yaitu Detasemen Khusus Anti Teror Polri (Densus 88 At). Melalui Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, hal ini sekaligus menandai terbentuknya Detasemen Khusus 88 Anti Teror, disingkat Densus

  88 AT Polri. Keberadaan Skep Kapolri tersebut merukan tindak lanjut dari diterbitkannya Undnag-Undnag Nomor Pemberantasan Terorisme atau yang biasa disebut dengan Undang-Undang Anti Terorisme yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

  Detasemen Khusus 88 Anti Teror preventif, deradikalisasi, reperesif, dan rehabilitasi. Ipaya preventif dimaksud untuk mencegah wilayah dan warga masyarakat dengan mengedapankan fungsi intelijen atau penyelidikan yaitu kegiatan deteksi dan cegah dini seperti

  surveillance , identifikasi dan dukungan

  teknis lainnya, upaya deradikalisasi yaitu merubah pemahaman radikal terhadap orang/kelompok yang dianggap radikal, upaya represif dilaksanakan apabila telah terjadi peledakan bom.teror dengan melakukan penyidikan seperti pengumpulan bukti- bukti, penangkapan, penahan, penyitaan barang bukti, membuat berkas perkara dan pengiriman berkas perkara ketingkat Kejaksaan/JPU, upaya rehabilitasi diperlukan guna mengembalikan suatu tempat atau daerah yang terkena dampak kegiatan terorisme. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindak pidana terorisme hanya dengan memperoleh bukti permulaan yang cukup, menggunakan setiap laporan intelijen penyidik dapat melakukan upaya selanjutnya.

  Kejelasan hal tersebut sangat diperlukan hak asasi manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat dalam hal ini penyidik (Densus 88 AT). Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menelitinya dan menyusunnya ke dalam dijadikan skripsi dengan judul

  “Pelaksanaan Upaya Paksa Yang Dilakukan Densus 88 AT Dalam Mengungkap Tindak Pidana Terorisme (Tinjauan Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia)”.

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dibahas dan dikembangkan dalam penulisan skripsi ini adalah :

  1. Bagaimanakah pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan Densus 88 AT dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?

  2. Bagaimanakah pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan Densus 88 AT dalam menungkap tindak pidana terorisme dari perspektif Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM?

  Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukan wawancara terhadap Anggota Kepolisian Daerah Lampung, Angota Komisi Nasional Hak Pidana Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundnag- undnagan, dokumen-dokumen resmi dan lain-lain.

II. PEMBAHASAN

A. Upaya Paksa Oleh Densus 88 AT Dalam Mengungkap Tindak Pidana Terorisme berdasarkan KUHAP

  Seseorang yang ditangkap berdasarkan alasan hukum yang jelas, sesuai dengan Pasal 17 KUHAP, bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Saat seseorang ditangkap, akan dijelaskan perbuatan pidana yang disangkakan serta alat bukti yang digunakan sehingga ia ditangkap. Alat bukti yang digunakan sebagai landasan hukum harus jelas dan cermat memang perbuatan pidana memang dilakukan oleh yang disangkakan. Liivingstone Hsll menjelaskan bahwa tidak hanya dengan alasan kuat (probable cause), tetapi “good cause” (diduga keras, karena bukti permulaan yang cukup) yakni alasan-alasan yang wajar untuk menduga bahwa orang itu bersalah suatu kejahatan.

  Mengenai pelaksanaan penangkapan, diatur dalam Pasal 18 yang pada intinya bahwa kegiatan penangkapan dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, saat penangkapan diperlihatkan kepada tersangka surat tugas dan surat penangkapan, penangkapan diperlihatkan kepada tersangka surat tugas dan surat penangkapan, penangkapan yang dalam hal tertangkap tangan, tanpa adanya surat perintah penangkapan, tetapi dengan maksud tersangka segera diserahkan kepada Penyidik disertai barang bukti yang ada padanya, dan setelah surat perintah penangkapan baru diberikan kepada keluarganya. Penangkapan sebagaimana Pasal 19 KUHAP dilakukan paling lama satu hari.

  tanggal 20 November 2016 Pukul !!.00 WIB 5 Hasil Wawancara dengan Musa Tampubolon

  bahwa penahanan yang dilakukan Kepolisian berdasarkan prosedur dan aturan-aturan KUHAP maupun Peraturan Kapolri untuk acuan proses 4 Hasil wawaqncara dengan Sanusi Husin pada

  5

  Penahanan yang termuat dalam Pasal 20 KUHAP, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon

  selaku Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung bahwa penangkapan dilaksanakan guna seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dengan alasan bukti permulaan yang cukup.

  dengan Musa Tampubolon

  4

  Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin

  ada sehingga memiliki dasar yang kuat dan jelas untuk penangkapan serta proses penyelidikan serrta penyidikan kedepan.

2 Berdasarkan hasil wawancara penulis

  Pidana, Dalam Talks on American Law, Alih bahasa oleh Gregory Churchill, course material Program Pasca Ilmu Hukum universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 17. 3 Hasil Wawancara dengan Musa Tampubolon

  selaku Anggota Kepolisian Daerah Lampung berpendapat bahwa penangkapan yang dilakukan seseorang yang diduga terorisme , sebelum melakukan penindakan penangkapan terlebih dahulu melakukan persiapan seperti memantau, menganalisis, serta mengumpulkan segala bukti-bukti yang 2 Livingstone Hall, Hak Tertuduk Dalam Perkara

  3

  penyidikaan. Penahanan yang dilakukan untuk menindaklanjuti dari penangkapan sehingga pemeriksaan atas diduganya terjadi suatu tindak pidana bisa diketahui dan akibat hukum dari tindakannya.

  Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin

  6

  , bahwa penahanan dalam suatu proses penegakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam sistem peradilan Indonesia, sehingga terciptanya keserasian hukum dan membuat terjaminnya kepastian hukum serta guna untuk menjalankan proses penyidikan sehingga terangnya suatu dugaan tindak pidana. Syarat-syarat seseorang untuk dilakukan penahanan yang diduga sebagai tersangka sebagaimana Pasal 21 yaitu :

  1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana;

  2) Penahanan atau penahanan lannjutan dilakukan oleh terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan;

  3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahan lanjutan atau penetapan Hakim sebgaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.

  Kesimpulan menurut penulis dalam lingkup penahanan adalah : a) Kewenangan badan-badan peradilan pidana melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa, dibatasi oleh perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa menurut ketentuan dalam undang- undang; b) Penahanan dilakukan bila perlu sekali; c) Mendorong agar badan-badan peradilan dalam menggunakan kewenangan tersebut memperhatikan dan mensinkronasikan kebjakan dan praktek masing-masing. Kekeliruan yang dilakukan mempengaruhi kebersamaan tujuan yang diharapkan dan yang merupakan tanggung jawab bersama. wawancara penulis dengan Musa Tampubolon

  7

  ialah tindakan penyidik Polri dalam mencari bukti-bukti yang diduga tersimpan pada tersangka dan atau suatu tempat tempat tinggal atau tempat yang sering dikunjungi guna 7 Hasil waancara dengan Musa Tampubolon hukum penyidik :

  kepentingan penyidikan dan memperoleh bukti-bukti yang kuat.surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat

  8

  tata caranya adalah :

  a) Tanpa terlebih dahulu meminta/mendapat surat izin dari Ketua PN Penyidik dpat segera melakukan penggeledahan terhadap :

  • Halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada diatasnya;
  • Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
  • Tempat tindak pidana dilakukan atau bekasnya;
  • Tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

  b) Dalam pelaksanaan penggeledahan tersebut diatas Penyidik tidak diperkenankan memeriksa dan atau menyita surat, buku dan tulisan lainnya yang tidak merupakan benda berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan.tetapi terhadap benda yang berhubungan dan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, Penyidik dapat memeriksa dan menyitanya dengan kewajiban untuk segera melaporkan kepada Ketua PN guna memperoleh persetujuannya (baik persetujuan penggeledahan maupun persetujuan penyitaan); c) Dalam waktu paling lama dua hari setelah melakukan penggeledahan rumah, Penyidik harus membuat Berita Acara

  Penggeledahan Rumah (model SERSE: A.11.08) yang turunannya/tembusannya/salinan nya diberikan kepada tersangka dan atau pemilik dan atau penghuni rumah yang bersangkutan.

  9 Penggeledahan jika di luar daerah

  10 Dalam hal penyidik harus melakukan

  penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan itu dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin

  11

  , menjelaskan penggeledahan dalam lingkup upaya paksa menjadi suatu keharusan, karena untuk mencari bukti-bukti akibat atau sebab yang ditimbulkan oleh tersangka dalam melaksanakan tindak pidana yang disangkakan kepadanya. Selain itu juga dengan tata cara atau prosedur pelaksanaanya sesuai aturan yang berlaku. Penulis menarik kesimpulan bahwa pada penggeledahan bisa dilakukan pada orang yang diduga melakukan tindak pidana dan suatu tempat yang menjadi persinggahan tersangka,dengan tata cara yang diamanatkan dalam KUHAP sehingga didapatkan bukti-bukti guna Penyitaan berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon

  12 9 Lihat Pasal 33 ayat (5) KUHAP 10 Lihat Pasal 36 KUHAP 11 Hasil wawancara dengan Sanusi Husin pada tanggal 20 November 2016 pukul 11.00 WIB. adalah serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan proses tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, yang mengambil alih dan atau menguasai benda apapun terkait tindak pidana yang dilakukan. Penyiaan yang dilakukan berupa mengambil barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, maupun barang yang diperuntukkan melancarkan tindak pidana.

  A. Berdasarkan hasil wawancara penulis

  dengan Sanusi Husin

  13

  menjelaskan mengenai penyitaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ialah untuk kepentingan proses penegakan hukum terhadap seseorang yang diduga sebagai tersangka, akibat perbuatannya melakukan tindak pidana, sehingga saat dilakukan penangkapan ditemukan bukti-bukti atau barang-barang baik berwujud maupun tidak berwujud yang diambil alih untuk sementara waktu hingga kepentingan proses hukum seorang tersangkaselesai dan mendapat keadilan. Sedangkan menurut penulis, penyitaan memang sesuatu yang harus dilakukan oleh Penyidik terhadap seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga penyidik menemukan bukti-bukti yang diambil alih sementara untuk mendukung pembuktian sehingga tersangka tersebut mendapatkan kepastian hukum dalam tindak pidana yang

  B. Upaya Paksa Oleh Densus 88 At Dalam Mengungkap Tindak Pidana Terorisme Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2013 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

  Penangkapan di dalam Undang-Undang Terorisme bahwa :

  14 Penyidik dapat melakukan penangkapan

  terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagiamana dimaksud dalam

  Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Penahanan dalam kasus terorisme diperlukan untuk kepentingan penyidikan, penututan dan kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Terdapat ketentuan khusus dalam penyidikan delik terorisme ialah mengenai penahanan terhadap seseoang yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme. Dalam penahanan terhadap tersangka tindak pidana terorisme seorang penyidik dalam penyidikannya danpenuntutan diberi wewenang untuk melakukan penahan terhadap tersangka tindak pidana terorisme paling lama 6 bulan.

  15

  . penggeledahan di dalam Undang-Undang Terorisme dijelaskan bahwa :

  16

  1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidaa terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang dketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme. sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim 14 Lihat Pasal 28 Undang-Undang No. 15 Tahun

  2003 15 Lihat Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No.

  15 Tahun 2003 tidak berlaku ketentuan undang- undang yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. 3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai : a) Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b) Identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme; c) Tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan

  d) Tempat harta kekayaan berada. 4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh :

  a) Kepala Kepolsian Daerah atau pejabat yang setingkat pada tingkat pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;

  b) Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh Penuntut Umum;

  c) Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara bersangkutan.

  Terorisme dijelaskan bahwa :

  17

  1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pembelokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme. 2) Perintah pentidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai : a) Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;

  b) Identitas setiap orang yang tealh dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersanka, atau terdakwa;

  c) Alasan pemblokiran;

  d) Tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan

  e) Tempat harta kekayaan berada. 3) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakm paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran. 4) Harta kekayaan yang diblokir dan lembaga jasa keuangan yang bersangkutan. Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

C. Perspektif Pelaksanaan Upaya Paksa Oleh Densus 88 At Dalam Mengungkap Tindak Pidna Terorisme Ditinjau Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

  Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin

  memiliki bukti permulaan yang cukup yang nantinya dijadikan dasar dalam penyelidikan maupun penyidikan, serta Densus 88 AT harus berpedoman dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam menindak terduga terorisme dengan menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai kemanusiaan tanpa membeda-bedakan orang.

18 Husin proses

  Akan tetapi sebaliknya yang telah dilakukan penulis selama proses penelitian di Komnas HAM Jakarta, penulis mewawancarai Agus Suntoro

  20

  dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 AT harus memenuhi prosedur baik secara KUHAP maupun Undang-Undang Khusus yaitu Undang-Undang tentang Terorisme. Selain itu, dalam menentukan seseorang yang diduga sebagai terorisme, Densus 88 AT harus 18 Hasil wawancara dengan Sanusi Husin

  tanggal 20 November 2017 pukul 11.00 WIB 19 Hasil wawancara dengan Musa Tampubolon tanggal 17 November 2017 Pukul 10.00 WIB

  sebelum menindak terduga pelaku terorisme Densus 88 AT melakukan tahap pra persiapan sampai dengan pelaksanaan penindakan. Baik mencari dan menemukan bukti permulaan yang cukup berdasarkan laporan hasil intelijen sampai dengan mencari fakta-fakta yang relevan agar penindakan terhadap terduga pelaku terorisme sesuai aturan yang berlaku.

  penangkapan dalam mengungkap tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 AT, harus dilandasi proses prosedur yang benar baik dari ketentuan KUHAP maupun Undnag-Undang khusus yang mengaturnya. Dalam kajian pembahasan pelaksanaan penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 AT berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon

  Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin

  21

  dalam kaitan penahanan tindak pidana terorisme, Densus 88 AT melaksanakan proses bagian penegakan hukum yang berlandakan aturan-aturan yang umum mamupun khusus, sehingga terciptanya norma-norma yang sesuai dengan negara Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon

  22

  dalam penahanan tindak pidana terorisme memang berbeda dengan aturan di Kitab Undang-Undang Undang Terorisme penahanan dilakukan selama 6 bulan, memang sangat lama namun dalam waktu 6 bulan Densus 88 AT mencari fakta- fakta pendung serta bukti-bukti yang 21 Hasil wawancaran dengan Sanusi Husin

  tanggal 20 November 2016 pukul 11.00 WIB

  19

  Dengan demikian, menurut penulis dalam kaitan hal penangkapan dalam lingkup upaya paksa, proses peradilan harus ditegakkan dengan prinsip kehati- hatian, prinsip asas praduga tak bersalah, prinsip persamaan dimata hukkum, serta rasa keadilan bagi setiap orang, dengan itu maka Densus 88 AT dalam menjalankan tugasnya dapat melaksanakan dengan penuh profesional tanpa menciderai prinsip negara hukum (rechstaat) dan prinsip negara yang menjung Hak Asasi Manusia. valid dalam kasus yang terjadi dalam terorisme. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Agus Suntoro

  23

  menyatakan lanjutan proses hukum yaitu penahanan tindak pidana terorisme menjadi fokus utama, karena waktu penahanan yang

  6 bulan bisa menjadikan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Densus 88 AT. Densus 88 AT dapat melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga terorisme dengan mengabaikan aturan hukum yang berlaku dan prinsip Hak Asasi Manusia, seperti Hak untuk bebas dari penyiksaan dan Hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Dengan demikian Densus 88 AT harus benar-benar profesional dalam menjalankan tugas dan melaksanakan semua aturan-aturan hukum yang berlaku bagi pemenuhan rasa keadilan bagi seseorang yang diduga sebagai tpelaku terorisme.

  Dengan demikian menurut penulis rangkaian upaya paksa yaitu penahan tindak pidana terorisme yang selama 6 bulan, harus dilaksanakan olleh Densus

  88 AT dengan sangat menjungjung tinggi hukum dan melaksanakan tanggung jawabnya dengan profesional agar bukti-bukti dapat dipenuhi dan menjamin keutuhan kemanan negara Indonesia.

  Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa

  24

  lingkup penggeledahan sebagai bagian dari upaya paksa yang dilakukan oleh Densus 88 AT dalam terciptanya supremasi hukum. Penggeledahan biasanya dilakukan terhadap seseorang 23 Hasil wawancara dengan Agus Suntoro

  tanggal 18 November 2016 pukul 12.00 WIB

  yang diduga melakukan tindak pidana, rumah yang menjadi kediaman, rumah lainnya yang sering disinggahi, atau tempat-tempat lainnya yang diduga keras sebagai pelaksaan tindak pidana. Penggeledahan dalam tindak pidana terorisme dilakukan oleh Densus 88 AT dengan berdasarkan standard prosedural yang tinggi agar bukt-bukti yang didapatkan deengan fakta-fakta yang ada menjadi satu-kesatuan dalam rangkai tindak pidana terorisme. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin

  25

  dalam hal penggeledahan bahwa Densus 88 AT dalam menjalankan tugasnya harus mempersiapkan rangkaian tahapan persiapan sebelum penggeledahan seperti surat perintah izin penggeledahan, dengan itu seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorissme dapat terjamin dan Hak Asasi Manusianya tidak terbentur dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Agus Suntoro

  26

  pelaksanaan penggeledahan terhadap terduga trorisme yang dilakukan Densus

  88 AT harus menjamin Hak Asasi Manusia terbut, karena jangan sampai Densus 88 AT menyampingkan ketetapan prosedural pelaksaan penggeledahan yang anantinya berakbiat pada pelanggaran Hak Asasi Manusia pada terduga terorisme tersebut. penggeledahan menjadi rangkaian tindakan yang dilakukan Densus 88 AT dalam mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dan mencari fakta-fakta yang menjadi dugaan keras sebagai proses 25 Hasil wawancara dengan Sanusi Husin

  tanggal 20 November 2016 pukul 11.00 WIB tindak pidana terorisme, dengan itu Densus

  8 AT harus memegang prosedural dan menjalankannya dengan ketentuan yang sudah ada agar tidak melanggar Hak Asasi dari terduga terorisme tersebut.

III. PENUTUP

A. Simpulan

  Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan :

  1. Upaya paksa oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus

  88 AT) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digariskan dalam 5 (lima) pelaksanaan, diantaranya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.

  2. Dalam mengungkap tindak pidana terorisme, Densus 88 AT berpedoman pada aturan umum yaitu KUHAP. Dalam KUHAP, proses upaya paksa dimulai dari penangkapan. Penangkapan dilakukan oleh Penyidik untuk mengekang sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa yang di duga keras melakukan tindak pidana terorisme. Tindakan pengekangan sementara waktu selama 1 (satu) hari yang dilakukan oleh Penyidik Densus

  3. Dalam proses selanjutnya yaitu penahanan, Penyidik menetapkan seseorang ditahan karena terdapat bukti dugaan keras terjadi tindak pidana terorisme. Penahanan yang dilakukan oleh Penyidik ini selama 20 (dua puluh) hari terhadap terduga terorisme dan biasanya statusnya sudah menjadi tersangka. Tujuan penahanan semata-mata agar tersangka terorisme tidak melarikan diri dan menghilangkan atau memusnahkan barang bukti yang ada.

  4. Kemudian dalam penggeledahan, Penyidik melakukan penggeledahan terhadap terduga terorisme baik rumah tempat tinggal maupun tempat lainnya. Penyidik melakukan penggeledahan guna menemukan bukti-bukti yang diduga keras sebagai aksi tindak pidana terorisme.

  5. Selanjutnya penyitaan, penyidik setelah melakukan penggeledahanmenemukan bukti-bukti yang diduga keras sebagai tindak pidana terorisme, lalu dilakukan penyitaan. Penyitaan ini baik setiap dokumen-dokumen atau yang memang dipergunakan oleh terduga terorisme melakukan aksinya.

  6. Proses upaya paksa terakhir adalah pemeriksaan surat, Penyidikmelakukan pemeriksaan terhadap surat-surat baik telekomunikasi atau terduga terorisme dalam menjalankan aksinya. Pemeriksaan surat ini sifatnya sangat rahasia, sehingga Penyidik harus menjaga semua bukti-bukti yang didapat.

  7. Upaya paksa oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus

  88 AT) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Undang- Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

  8. Upaya paksa oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus

  88 AT) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Undang- Undang tentang Terorisme digariskan dalam

  5 (lima) pelaksanaan, diantaranya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Densus 88 AT selain aturan umum yaitu KUHAP, harus berpedoman undang-undang khusus yaitu undang-undang tentang terorisme. Pertama dalam proses penangkapan dilakukan oleh Penyidik terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Sangat berbeda dengan ketentuan KUHAP yang menggariskan selama 1 (satu) hari. Kedua penahanan dilakukan

  (enam) bulan. Kemudian penggeledahan dalam undnag- undang tentang terorisme menjelaskan pada penggeledahan pada pihak Bank dan Lembaga Jasa Keuangan serta mengenai harta kekayaan yang diduga keras sebagai tindak pidana terorisme. Selanjutnya penyitaan, dilakukan oleh Penyidik utnuk memerintahkan Bank dan Lembaga Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan karena diduga keras sebagai hasil tindak pidana terorisme. Selanjutnya pemeriksaan surat dilakukan untuk membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaui pos atau jasa pengiriman karena terkait tindak pidana terorisme, serta melakukan penyadapan telepon atau komunikasi.

  9. Perspektif pelaksanaan upaya paksa oleh Detasement Khusus

  88 Anti Teror (Densus 88 AT) dalam mengungkap tindak pidana terorisme ditinjau penegakan hak asasi manusia atau Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

  Dalam proses penangkapan yang dilakukan Densus 88 AT, Densus 88 seperti mengumpulkan bukti-bukti yang cukup bahwa seseorang yang diduga sebagai pelaku terorisme tidak terjadi sewenang-wenang. Karena dalam prinsip penegakan Hak Asasi Manusia dalam negara Indonesia, penangkapan sukar sekali terjadi pelanggaran prosedural dan melanggar Hak Asasi

  88 AT, baik dari teknis surat perintah penangkapan sampai dengan bukti-bukti yang memadai sehingga melanggar rasa penerapan hukum yang dijunjung ting oleh negara Indonesia. Dalam proses penahanan terduga terorisme, jangka waktu penahanan selama 6 bulan terbilang lebih lama jika dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan waktu 6 bulan bida diartikan dapat terjadi kesewenang- wenangan menjalankan tugas oleh Densus 88 AT, jika tidak memegah teguh aturan hukum yang berlaku dan prinsip kemanusiaan. Karena Hak Asasi Manusia dalam negara Indonesia sangat dilindungi, terbukti dari Pasal 3

  Universal Declaration of Human Rights , yaitu The Rights to life, liberty and security . Hak-hak warga negara ini

  tidak akan berarti bilamana secara sewenang-wenang negara melalui aparatnya dapat membunuh (extrajudicial excecution), terkhusus dalam hal penahanan sseorang warga negara. Dalam pelaksanaan penggeledahan dari perspektif Hak Asasi Manusia, lebih ditekankan pada pelaksaan penggeledehan yang seseuai dengan prosedur dan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Densus 88 AT harus sangat memperhatikan, walaupun ini sebagai extraordinary crimes jangan sampai luput dari aturan yang ada. Dalam pelaksaan penyitaan yang dilakukan oleh Densus 88 AT harus berpedoman pada standar prosedural agar penyitaan terhadap dokumen- aksi tindak pidana terorisme tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Karena dalam hal penyitaan terhadap dokumen- dokumen yanng sifatnya rahasia, Densus

  88 AT harus bersikap profesional dan menjaga keamanan kerahasiaan dokumen-dokumen tersebut, karena jika dillanggar bersifat pribadi yang tidak menjaddi konsumsi publik. Dalam pelaksanaan pemeriksaan surat, Densus 88 AT sukar mengabaikan hukum acara yang berlaku dan prinsip kemanusia. Karena terorisme sebagai extraordinary crime sehingga pelaksanaannya sangat luar biasa oleh Densus 88 AT. Seharusnya dengan menunjung prinsip negara hukum dan Hak Asasi Manusia, Densus

  88 AT dapat melaksanakan tugasnya dengan profesional dan berkeadilan.

  B. Saran

  Adapun saran yang perlu diajukan penulis adalah :

  1. Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum harus profesional, taat hukum, kode etik, dan hak asasi manusia, sesuai yang diamanatkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undnag tentang Hak Asasi Manusia maupun peraturan pelaksana lainnya

  2. Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) dalam menjalankan tugasnya diperlukan pengawasan baik dari internal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), maupun unsur-unsur pendukung lainnya baik dari masyarakat, organisasi kemasyarakatan, instansi/lembaga- lembaga, maupun pemerintah, agar Densus 88 AT tetap profesional dan menjunjung tinggi supremasi negara hukum Indonesia agar dapat menjaga keamanan, ketertiban, dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

  Livingstone Hall, Hak Tertuduk Dalam

  Perkara Pidana, Dalam Talks on American Law, Alih bahasa oleh

  Gregory Churchill, course material Program Pasca Ilmu

  ,

  Hukum universitas Indonesia Jakarta.

  Peraturan Perundang-Undangan

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia