Analisis Yuridis Kewenangan Densus 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Dalam Perspektif Kriminologi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Aksi teror dianggap telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, martabat
bangsa, dan norma-norma agama, karena eskalasi dampak detruktif yang
ditimbulkannya telah menyentuh multidimensi kehidupan manusia. 1 Aksi teror
yang dilakukan para teroris tersebut telah membuat dunia menjadi tidak aman dan
menimbulkan ketakutan ditengah-tengah masyarakat. Kejahatan terorisme mampu
menimbulkan ketakutan yang sangat luas, termasuk pada mereka yang tidak
secara langsung menjadi objek serangan atau sasaran.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Pasal 1 menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan ini. 2 Kemudian Pasal 6
menyatakan Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional

dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 3

1

Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme, Pensil-324, Jakarta, 2012, Halaman 2.
2
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 1
3
Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 6

1
Universitas Sumatera Utara

2

Dari isi Pasal tersebut kita dapat melihat bahwa terorisme merupakan

kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu
ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme sudah
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya
terhadap

keamanan,

perdamaian

dunia

serta

merugikan

kesejahteraan

masyarakat. 4
Melihat ancaman serius yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, maka
Terorisme merupakan suatu kejahatan yang tidak dapat lagi digolongkan sebagai

kejahatan biasa (non extra ordinary crime), sebab pengertian “terorisme” itu
sendiri dalam perkembangannya telah dikategorikan pula sebagai kejahatan
terhadap manusia atau crime against humanity. 5 Kejahatan terorisme kini telah
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga
membutuhkan penanganan yang luar biasa pula (extra ordinary measures).
Upaya pemerintah dalam penanggulangan masalah tindak pidana terorisme
di Indonesia terlihat pasca kasus peledakan Bom di Bali pada tanggal 12 Oktober
2002. Pemerintah segera melakukan langkah-langkah darurat serta reaksi cepat
untuk merespon aksi terorisme tersebut dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian
ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan menyetujui Perppu nomor
1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
4

Muzakkir Samidan Prang, Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Pustaka
Bangsa Press, Medan, 2011, Hal aman 61.
5
Ibid Halaman 158


Universitas Sumatera Utara

3

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, dan disahkan
serta diundangkan pada tanggal 4 April 2003. Undang-Undang ini melengkapi
keterbatasan dari ketentuan yang selama ini dipergunakan dalam pemberantasan
aksi terorisme, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UndangUndang Darurat No.12 tahun 1955 6
Upaya pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana terorisme di
Indonesia tidak hanya dengan mensahkan Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme tersebut. Segera setelah terjadinya peledakan Bom Bali I
Polri membentuk satuan tugas yang terdiri dari anggota Kepolisian Daerah Metro
Jaya (Polda Metro Jaya) dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes
Polri) yang dikoordinisikan oleh kepolisian Daerah Bali (Polda Bali). Kemudian
satuan tugas ini dibakukan dalam satuan Tugas Bom Polri (satgas Bom Polri)
melalui Surat Keputusan Polri No. 2/X/2002 tentang Pembentukan Satuan Tugas
Penanganan Kasus Bom Bali. Satgas Bom Polri ini merupakan cikal bakal
dibentuknya Detasemen Khusus Anti Teror (densus 88).
Pembentukan satuan tugas ini juga merupakan amanat dari pasal 45

Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang
menyatakan: Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan
kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini. Dasar pembentukan Densus 88 Anti teror adalah
surat keputusan Polri No. Pol: Kep/30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 yang
6

Didik M.Arief Mansur, Op.cit, Halaman 420-421.

Universitas Sumatera Utara

4

dibuat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia saat itu, Jenderal Polisi
Da’I Bachtiar. 7
Pada tahun 2016 kinerja Densus 88 menjadi sorotan publik pasca tewasnya
seorang warga sipil terduga teroris, Siyono penduduk Klaten. Siyono yang
dijemput paksa dalam keadaan sehat dipulangkan kepada keluarganya dengan
keadaan meninggal dunia, padahal Siyono masih berstatus terduga teroris. Pihak
Polri kemudian mengungkap Siyono tewas karena melakukan perlawanan saat

ditangkap pihak Densus 88 yang akhirnya dilumpuhkan hingga tewas. 8
Jika merunut pada Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Densus 88 Anti Teror hanya memiliki
kewenangan untuk melakukan penangkapan dengan bukti awal untuk selanjutnya
membawa terduga yang telah ditangkap menjalani dan mendapatkan vonis di
persidangan. Seringnya terduga teroris tewas ditangan Densus 88 sebelum melalui
proses persidangan menuai kritik pakar atau pengamat dan beberapa lembaga
keamanan Negara.. Operasi yang dilakukan Densus 88 dianggap operasi yang
agresif dan cenderung melanggar prosedur penegakan keamanan bahkan dianggap
telah melanggar Hak Asasi Manusia. 9
Protes dan pernyataan yang keluar dari beberapa lembaga penegak
kemanan dan pengamat hukum membuat publik mengikuti arus tersebut. Publik
7

Ibid, Halaman 201.
http://www.batasnegeri.com/dilema-anti-terorisme-antara-densus-88-dan-perbatasanindonesia/ diakses pada hari selasa tanggal 5 Juli 2016 Pukul 15.25 WIB
8

9


http://m.liputan6.com/citizen6/read/739868/mau-hidup-aman-dan-tenang-intelijensolusinya diakses pada hari jumat tanggal 10 Juni 2016 pukul 13.51 WIB

Universitas Sumatera Utara

5

tergiring menuju paradigma yang menyatakan Densus 88 Anti Teror adalah
sebuah bentuk teror baru untuk masyarakat, yang berujung pada tuntutan agar
Densus 88 dibubarkan. Derasnya desakan untuk membubarkan Densus 88 Anti
Teror dari berbagai kalangan adalah suatu hal yang harus segera dicari solusinya.
Jika solusinya benar-benar berujung pada dibubarkannya Densus 88 AT, siapa
yang akan bertanggung jawab jika setelah itu terjadi ledakan-ledakan bom atau
aksi terorisme lainnya di Indonesia?
Aksi extra judicial killing (pembunuhan di luar proses persidangan) yang
dilakukan Densus 88 memang patut dipertanyakan, namun tidak menjadi alasan
untuk kita menutup mata terhadap alasan-alasan yang dihadapi personil densus 88
dalam pelaksanaan tugasnya sehingga melakukan hal tersebut. Pihak kepolisian
menyatakan penembakan yang dilakukan oleh Densus 88 adalah dalam rangka
membela diri. Apabila setiap tindakan aparat Densus 88 dalam melaksanakan
upaya pemberantasan terorisme selalu dilihat dari perspektif pelanggaran HAM,

maka dikhawatirkan bahwa hal ini akan melemahkan performa Densus 88 dalam
melaksanakan tugasnya memberantas Tindak Pidana Terorisme.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas menjadi alasan penulis
untuk mengkaji bagaimana kewenangan Densus 88 dalam pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme di Indonesia dan judul yang diangkat dalam penulisan skripsi
ini adalah “ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DENSUS 88 DALAM
RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI”

Universitas Sumatera Utara

6

1.2 Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas maka dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan
dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai kewenangan Densus 88
dalam pemberantasan tindak pidana terorisme?
b. Apa faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme?

c. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan Densus 88 dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan
diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini antara lain:
a. Untuk

mengkaji

dan

mengetahui

pengaturan

hukum

mengenai


kewenangan densus 88 dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
b. Untuk mengkaji dan mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana
terorisme.
c. Untuk mengkaji dan mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap
Penyalahgunaan

wewenang

yang

dilakukan

Densus

88

dalam

pemberantasan tindak pidana terorisme.


Universitas Sumatera Utara

7

1.4. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
secara praktis, yaitu:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain
itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap ilmu
pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai terorisme,
dan kewenangan Densus 88 dalam melakukan pemberantasan tindak
pidana terorisme.
1.4.2 Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam perkembangan ilmu hukum bagi pemerintah, khususnya aparat
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana untuk kepentingan
penegakan hukum, sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik
dan memperjuangkan keadilan yang sebenarnya serta mewujudkan tujuan
hukum yang dicita-citakan.

1.5. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang penulis lakukan,
di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Penulisan skripsi
mengenai

Analisis

Yuridis

Kewenangan

Densus

88

Dalam

Rangka

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dalam Perspektif

Universitas Sumatera Utara

8

Kriminologi belum ada atau belum terdapat. Berdasarkan observasi penulis juga
diluar perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ada beberapa
skripsi yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan
penulisannya jelas berbeda dengan skripsi ini, maka telah terbukti skripsi ini
benar-benar merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal
dari karya tulis orang lain. Jika dikemudian hari ditemukan penelitian yang sama
dan

muncul

permasalahan,

maka

penulis

bersedia

untuk

mempertanggungjawabkannya dengan cara yang sebagaimana sebagaimana
mestinya.

1.6. Tinjauan Pustaka
1.6.1 Pengaturan Hukum Mengenai Kewenangan Densus 88 dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Hukum sebagai norma mempunyai ciri kekhususan, yaitu hendak
melindungi,

mengatur,

dan

memberikan

keseimbangan

dalam

menjaga

kepentingan umum. Pelanggaran ketentuan hukum dalam arti merugikan,
melalaikan

atau

mengganggu

keseimbangan

kepentingan

umum

dapat

menimbulkan reaksi dari masyarakat. Reaksi yang diberikan berupa pengembalian
ketidakseimbangan yang dilakukan dengan mengambil tindakan terhadap
pelanggarnya. Pengembalian ketidakseimbangan bagi suatu kelompok sosial yang
teratur dilakukan oleh petugas yang berwenang dengan memberikan hukuman.
Ketentuan-ketentuan yang diberlakukan kepada seseorang yang melalaikan atau
mengganggu keseimbangan kepentingan umum adalah ketentuan hukum yang

Universitas Sumatera Utara

9

berlaku dalam kehidupan kelompok sosial saat itu, bukan ketentuan hukum masa
lalu yang sudah tidak berlaku atau yang sedang direncanakan berlakunya. Dengan
kata lain, bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku itu merupakan hukum positif.
Hukum positif yang sering juga disebut ius constitutum ialah ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku pada suatu saat, waktu dan tempat tertentu. 10
Hukum Pidana adalah himpunan kaidah yang mengatur hubungan hukum
antara seseorang dengan Negara. Adapun tujuan Hukum Pidana adalah sebagai
berikut:
a. Mengatur masyarakat agar hak dan kepentingannya terjamin
b. Melindungi kepentingan masyarakat.
c. Melindungi masyarakat dari campur tangan penegak hukum yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan.
Hukum Pidana mempunyai sifat istimewa, yaitu pada saat pelaksanaan
hukum pidana justru terjadi perampasan hak terhadap seseorang yang telah
melanggar hukum. Penjatuhan pidana harus dianggap sebagai ultimatum
remedium, maksudnya penjatuhan pidana atau penerapan hukum pidana
merupakan jalan terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum
lainnya tidak dapat menyelesaikan suatu permasalahan. 11
Hukum pidana itu sendiri setidaknya merupakan hukum yang mengatur
tentang:
10

Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
halaman 3
11
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006,
Halaman 60

Universitas Sumatera Utara

10

a. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan
b. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana
c. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang
melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik).
d. Cara mempertahankan atau memberlakukan hukum pidana. 12
Berbicara

mengenai

Tindak

Pidana,

Pembuat

Undang-Undang

menggunakan kata “stafbaar feit” untuk menyebutkannya di dalam KUHP tanpa
memberikan suatu penjelasan tentang “stafbaar feit” tersebut. Oleh karena itu
muncul di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan “stafbaar feit”. 13
Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi
pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak”
lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang
abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit. 14
Dari pengertian tersebut, tindak pidana tersebut mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:

12

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, Halaman

5
13

Ibid Hal 78
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, Sinar Grafika, 1991,
Jakarta halaman. 3
14

Universitas Sumatera Utara

11

a. Perbuatan
b. Yang dilarang ( oleh aturan hukum )
c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar )
Berdasarkan uraian unsur tindak pidana di atas, maka yang dilarang adalah
perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata
perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak
dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan
bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam
hukum.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana
terorisme menegaskan bahwa Terorisme merupakan kejahatan

terhadap

kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap
kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang
bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian
dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan
pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang
banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. 15
Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European
Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi
perluasan paradigma dari Crimes against State menjadi Crimes against Humanity.
Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu
15

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
bagian penjelasan.

Universitas Sumatera Utara

12

keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada
dalam suasana yang teror. Dalam kaitan Hak Asasi Manusia (HAM), crimes
against humanity masuk kategori gross violation of human rights (pelanggaran
berat Hak Asasi Manusia) yang dilakukan sebagai bagian serangan meluas atau
sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (public
by innocent).

16

Istilah kata Terorisme dalam bahasa inggris disebut Terorism yang berasal
dari kata “Terror” dan pelakunya disebut “ Terrorist ”. Berdasarkan Oxford
Paperback Dictionary, terror secara bahasa diartikan sebagai “Extreme fear”
(Ketakutan yang luar biasa), “Terrifying person of thing ” ( Seseorang atau
sesuatu yang mengerikan) , Sedangkan “Terrorism” berarti “use of violence and
intimidation, especially for political purpose ” (menggunakan kekerasan dan
intimidasi, terutama untuk tujuan politik) yang senada dengan pengertian di atas,
Black’s Law mendefinisikan terorisme sebagai “the use of threat of violence to
intimidate or cause panic, especially as a means of affecting political conduct .
(penggunaan ancaman kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan
kepanikan, khususnya sebagai sarana mempengaruhi perilaku politik). 17

16

Abdul Wahid, MA.Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme, Perspektif
Agama, HAM dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004 Halaman 23
17
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme,kebijakan formulatif Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Graha Ilmu,Yogyakarta, 2012, Halaman
61

Universitas Sumatera Utara

13

Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, ada beberapa
pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan oleh beberapa lembaga
maupun beberapa penulis/pakar atau ahli, antara lain:
a. US Central Inteligence Agency (CIA)
Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan
dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk
melawan Negara, lembaga, atau pemerintah asing.
b. US Federal Bureau of Investigation (FBI)
Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas
seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan,
penduduk sipil elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau
politik
c. Black’s Law Dictionary
Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau
yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar
hukum pidana Amerika, atau Negara bagian Amerika, dan jelas
dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi
kebijakan pemerintah, atau mempengaruhi penyelenggaraan Negara
dengan cara penculikan dan pembunuhan. 18
Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang disebut dengan
Tindak Pidana Terorisme, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof.
M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk
18

Ibid hal 24

Universitas Sumatera Utara

14

mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal
sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh
karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan
yang subjektif. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari
usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee
on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan
rumusan definisi.
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), Tindak
Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan
apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam
ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang
dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika: 19
a. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (pasal 6).

19

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, Pasal 6 dan

Pasal 7

Universitas Sumatera Utara

15

b. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta
benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Seseorang

juga

dianggap

melakukan

Tindak

Pidana

Terorisme,

berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang
dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana
Terorisme adalah:
a. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
b.

Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

c. Menggunakan kekerasan.
d. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi
pemerintah.
e. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku,
yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Pemerintah dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme telah
menunjuk Kepolisian Republik Indonesia sebagai garda terdepan dalam
pelaksanaan pemberantasan terorisme di Indonesia, yaitu dengan cara membentuk

Universitas Sumatera Utara

16

satuan khusus yang disebut dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror atau yang
lebih dikenal dengan Densus 88 AT. Pembentukan Densus 88 AT merupakan
amanat dari pasal 45 Perppu No.1 Tahun 2002 yang telah diganti menjadi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yang menyatakan: Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk
merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Dasar pembentukan Densus 88 Anti
teror adalah surat keputusan Polri No. Pol: Kep/30/VI/2003 tertanggal 20 Juni
2003 yang dibuat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kewenangan densus 88 dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di
Indonesia dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Juga berlaku ketentuan pidana di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai satuan dari kepolisian
kewenangan Densus 88 juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia. Densus 88 dalam pelaksanaan tugasnya
juga tunduk pada Peraturan-Peraturan Kapolri dan Kode Etik Polri.
1.6.2. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Terorisme
Kriminologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari serta
menyelediki maupun membahas masalah kejahatan, baik mengenai pengertiannya,

Universitas Sumatera Utara

17

bentuknya, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya dan penyelidikan terhadap sesuatu
kejahatan maupun hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kejahatan itu. 20
Beraneka ragam definisi kriminologi dikemukakan oleh para ahli, antara
lain: 21
a. Sutherland mengatakan kriminologi adalah keseluruhan ilmu-ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan sebagai gejala
masyarakat. Termasuk terjadinya undang-undang dan pelanggaran atas ini,
b. Michael dan adler merumuskan bahwa kriminologi adalah keseluruhan
keterangan tentang perbuatan dan sifat, lingkungan penjahat dan pejabat
memperlakukan penjahat serta reaksi masyarakat, terhadap penjahat.
c. Wood mengatakan kriminologi mengikuti keseluruhan pengetahuan yang
didasarkan pada teori pengalaman yang berhubungan dengan kejahatan
dan penjahat, termasuk reaksi-reaksi masyarakat atas kejahatan dan
penjahat.
d. Seelig merumuskan kriminologi sebagai ajaran dari gejala-gejala nyata
(gejala-gejala fisik dan fisikhis) dari kejahatan.
e. Sauer mengatakan kriminologi adalah ilmu pengetahuan dari kejahatan
individu-individu dan bangsa-bangsa berbudaya. Sasaran penyelidikan
kriminologi kejahatan sebagai fenomena kehidupan.
f. Constant melihat kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdasarkan
pengalaman yang bertujuan menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya
20

H.M.Ridwan, Ediwarman, Azas-azas kriminologi, Universitas Sumatera Utara Press,
1994,Medan halaman.2
21
Noach Simanjuntak, Pasaribu I.L, Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1984, halaman.27

Universitas Sumatera Utara

18

kejahatan dan penjahat (aetiologi). Untuk itu diperhatikan baik faktor
sosial dan ekonomis, maupun faktor-faktor individu dan psikologis.
Pengertian kriminologi dalam arti sempit ialah ilmu pengetahuan yang
membahas masala-masalah kejahatan mengenai bentuk-bentuknya, sebab dan
akibat-akibatnya, yakni dengan istilah: 22
a. Phaaenomenologi/ bentuk-bentuk perbuatan jahat
Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk perbuatan jahat adalah hakikat dari
perbuatan jahat itu, misal: membunuh, merampok, mencuri, mencopet,
menipu.
Bentuk-bentuk dari kejahatan dapat kita kenal dari:
1) Cara melakukan kejahatan itu
2) Luasnya perlakuan kejahatan itu
3) Frekuensi perlakuan kejahatan itu

b. Aetiologi/ sebab-sebab kejahatan
Sebab-sebab dari suatu kejahatan dapat dilihat dari faktor:
1) Bakat sipenjahat
2) Alam sekitarnya/ milieu si penjahat
3) Sprituil/kerohanian si penjahat
4) Bakat + sekitar milieu + sprituil sipenjahat, dapat pula merupakan
suatu yang kebetulan saja.

22

H.M.Ridwan, Ediwarman, op.cit, halaman 4

Universitas Sumatera Utara

19

c. Penology / akibat-akibat kejahatan 23
Penologi ialah ilmu pengetahuan tentang timbulnya dan pertumbuhan
hukuman, arti dan faedah (oleh W.A. Bonger) sebagai akibat-akibat
kejahatan dapat tertuju kepada:
1) Korban si penjahat (perorangan)
2) Masyarakat umum
3) Individu/ diri si penjahat
Kriminologi dalam arti luas ialah semua pengertian kriminologi dalam arti
sempit dan ditambah dengan kriminalistik. Kriminalistik ialah ilmu yang
mempelajari cara-cara menyelediki perbuatan kejahatan atau pelanggaran hukum,
yakni meliputi:
a. Penyelidikan perseorangan, misalnya pembicaraan lisan langsung pada
penjahat-penjahat, saksi dan korban
b. Penyelidikan terhadap bekas/ ilmu jejak dan alat-alat bukti misalnya: sidik
jari, perkara-perkara/alat-alat yang dipakai tulisan-tulisan
c. Ilmu racun dan bisa-bisa toksiologi kehakiman
d. Ilmu

kedokteran/khusus/kehakiman

misalnya

sebab

kematian,

penggolongan darah
e. Penyelidikan secara massal, misalnya : dengan angket dengan statistik dan
penyelidikan opini

23

Ibid hal. 43

Universitas Sumatera Utara

20

Dalam perspektif kriminologi ada beberapa aliran etiologi criminal
mengenai faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan, antara lain: 24
a. Aliran antropologi
Aliran ini mula-mula berkembang di negara Italia, tokoh aliran ini
C.Lamroso, beliau menyatakan bahwa ciri khas seorang penjahat dapat
dilihat dari keadaan fisiknya yang berbeda dengan manusia lainnya (genus
hemodelinguens) seperti kelainan-kelainan pada tengkorak, roman muka
yang lebar, mukanya menceng, hidungnya pesek tidak simetris tulang
dahinya melengkung kebelakang, rambutnya tebal dan kalau sudah tua
lekas botak dibagian tengah kepalanya.
b. Aliran lingkungan
Aliran ini semula berkembang di negara Perancis dengan tokohnya
Lanmark, Tarde dan Monourier serta A. Lacassagne. Menurut aliran ini
seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan
di sekitarnya/lingkungan ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan serta
kebudayaan termasuk perkembangan dengan dunia luar serta penemuanpenemuan teknologi baru.
c. Aliran biososiologi
Tokoh aliran ini adalah A.D. Prins, Van Humel, D.Simons dan Fern.
Aliran Bio sosiologi ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aliran
antropologi dan aliran sosiologi, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa
tiap-tiap kejahatan itu timbul karena:
24

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2014, Halaman 26-27

Universitas Sumatera Utara

21

1) faktor individu seperti keadaan psikis dan fisik dari si penjahat dan
juga karena faktor lingkungan. Faktor individu yang diperoleh
sebagai warisan dari orangtuanya, keadaan badannya, kelamin,
umur, intelek, tempramen kesehatan dan minuman keras.
2) faktor keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan
kejahatan itu meliputi keadaan alam (geografis dan klimatologis)
keadaan ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu
Negara, misalnya meningkatnya kejahatan menjelang pemilihan
umum atau menghadapi sidang MPR dan lain-lain,
d. Aliran spritualisme
Tokoh dari aliran ini adalah F.A.K. Krauss dan M. De Baets. Menurut para
tokoh aliran tersebut bahwa tidak beragamanya seseorang (tidak masuk
sebuah agama) mengakibatkan salah satu faktor penyebab terjadinya
kejahatan, dalam arti seseorang menjadi jahat karena tidak beragama, atau
kurang Beragama, jadi terdapat hukum sebab akibat dalam aliran ini.
Menurut A. Ridwan Halim berbagai latar belakang kehidupan seseorang
yang bisa “mengantarkannya” ke alam kejahatan, misalnya: 25
a. Latar belakang keluarga asalnya
b. Latar belakang adat istiadat/kebiasaan yang dianutnya

25

Ridwan Halim, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya jawab, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2008, Halaman 223

Universitas Sumatera Utara

22

c. Latar

belakang

kebudayaan

orang-orang

dan

masyarakat

sekitar

kehidupannya yang membawa pengaruh secara sosiokultural bagi orang
itu.
d. Latar belakang kehinaan orang tersebut
e. Sifat dan tipe kejiwaan orang tersebut
f. Berbagai indeterminitas dan determinitas orang tersebut
g. Sifat dan tipe temperamen yang dimiliki orang tersebut yang sangat
memengaruhinya dalam menyikapi suatu keadaaan tertentu yang
dihadapinya
h. Berbagai “score” tindak pidana kejahatan yang sudah pernah dilakukan
oleh orang tersebut selama ini.
i. Berbagai hal lainnya yang turut memengaruhi “kadar” kriminologi dalam
diri orang tersebut.
Pada umumnya sekarang orang menganggap bahwa dengan adanya
kriminologi di samping ilmu hukum pidana, pengetahuan tentang kejahatan
menjadi lebih luas. Karena dengan demikian orang lalu mendapat pengertian baik
tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun tentang pengertiannya
mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga
memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk
kebaikan masyarakat dan penjahat itu sendiri.
Ilmu hukum pidana dan kriminologi seperti dalam pandangan di atas,
merupakan pasangan dwitunggal. Yang satu melengkapi yang lain. Kedua ilmu ini

Universitas Sumatera Utara

23

di Jerman dicakup dengan nama Die Gesammte Strafrechts wissenschaft, dan
dalam negeri-negeri Angelsaks disebut Criminal science. 26
Berbicara mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak Pidana
terorisme, hal ini juga merupakan kejahatan yang banyak menyedot perhatian
para kriminolog. Dari sudut pandang kriminologi (latar belakang tindak
kejahatan), terorisme dianggap sebagai tindakan kriminal yang tidak hanya
merugikan orang lain tetapi juga melanggar prinsip-prinsip asas kemanusiaan.
Terorisme telah menjadi istilah yang sangat populer akhir-akhir ini untuk
menyebut suatu tindakan menakut-nakuti, mengancam, dan menyerang pihak lain
secara terselubung. Meskipun demikian, banyak pihak yang menyangsikan
penggunaan istilah tersebut. Sebab penggunaan kata terorisme telah bias dengan
berbagai kepentingan. 27
Jika dipahami secara jernih, kejahatan terorisme merupakan hasil dari
akumulasi beberapa faktor, bukan hannya oleh faktor psikologis, tetapi juga
ekonomi, politik, agama, sosiologis, dan masih banyak lagi yang lain. Karena itu
terlalu simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme hanya berdasar satu
penyebab saja misalnya psikologis. Konflik etnik, agama dan ideology,
kemiskinan, tekanan modernisasi, ketidak adilan politik, kurangnya saluran
komunikasi dana, tradisi kekejaman, lahirnya kelompok-kelompok revolusioner,
kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah, erosi kepercayaan daripada rezim,
dan perpecahan yang begitu mendalam diantara pemerintahan dan elit politik juga

26

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bhineka Cipta, Jakarta, 1993, halaman.15
Abdul Wahid, MA.Sunardi,Muhammad Imam Sidik, Op.cit, Halaman 16

27

Universitas Sumatera Utara

24

menjadi penyebab lahirnya terorisme. Menurut pakar Psikologi, Kent Layne Oots
dan Thomas C. Wiegele, seseorang berubah dari berpotensi sebagai seorang teroris
melalui suatu proses yakni psikologis, filosofis, dan politik. 28
1.6.3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Wewenang yang
Dilakukan

Densus

88

dalam

Pemberantasan

Tindak

Pidana

Terorisme
Kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum
pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana”ini sering
dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy”
atau “strafrechts politiek”.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof.Sudarto “politik Hukum”
adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Bertolak dari pengertian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan,
bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan
28

Ibid, Hal 17

Universitas Sumatera Utara

25

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, dilihat sebagai
bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti,
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan pidana yang baik. 29
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan
hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy). 30
Pengertian Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel,
dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of
crime by society (usaha rasional kontrol kejahatan oleh masyarakat). Definisi
tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels yang menyatakan,
criminal policy is the rational organization of the sosial reaction to crime. (politik
kriminal adalah usaha rasional dari reaksi masyarakat terhadap kejahatan). Hal ini
berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari
masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. 31
Sebagai usaha untuk penanggulangan kejahatan, politik kriminal dapat
mengejawantah dalam berbagai bentuk. Bentuk yang pertama adalah bersifat

29

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Halaman 26
30
Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung,
2007, Halaman .9
31
Teguh prasetyo, Abdul Halim Berkatullah, Politik Hukum Pidana dan dekriminalisasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005 Halaman 12

Universitas Sumatera Utara

26

represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem
peradilan pidana (criminal justice system). Dalam hal ini secara luas sebenarnya
mencakup pula proses kriminalisasi. Yang kedua berupa usaha-usaha prevention
without punishment (tanpa menggunakan sarana penal) dan yang ketiga adalah
mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan
dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas.
Menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana.
Penal police atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya, bagaimana
hukum pidana dirumuskan dengan baik memberikan pedoman kepada pembuat
undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif),
dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). 32
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan untuk membuat
peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari
tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan pengertian penanggulangan
kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, adalah usaha untuk mengendalikan
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Lebih lanjut
dikatakan Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan
hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Lebih lanjut, Barda Nawawi
menandaskan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan
peraturan perundang-undangan pidana merupakan bagian integral dari politik
32

Ibid, Halaman. 2-3

Universitas Sumatera Utara

27

sosial. Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat. Dari uraian di atas terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu
diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam
tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya
digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Pada dasarnya kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan sarana
penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu
tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan
preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut
politik kriminil secara makro, non penal policy merupakan kebijakan
penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, nonpenal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak
pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah menangani dan menghapuskan
faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Salah satu kebijakan dalam hal penanggulangan kejahatan politis seperti
terorisme adalah kebijakan pidana (criminal policy). Untuk penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan sarana penal, tidak lain dasarnya adalah apa yang
diatur dalam KUHP, khususnya dalam Pasal 10 yang mengatur jenis-jenis
hukuman. Disamping itu penggunaan sanksi pidana dapat juga dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di dalamnya,
sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 103 KUHP. Dilihat dalam arti luas,

Universitas Sumatera Utara

28

kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang
hukum pidana materil, di bidang hukum pidana formil dan di bidang hukum
pelaksanaan hukum pidana. Sedangkan dengan menggunakan upaya non penal
dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. 33
Metode Penelitian Hukum
1.7.1

Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Penelitian Yuridis Normatif. Penelitian yuridis normatif membahas doktrindoktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.34 Jika peneliti menggunakan penelitian
hukum normatif atau Doktriner yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan
atau studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian yuridis normatif mencakup 35:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.
d. Penelitian terhadap sejarah hukum.
e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa
terhadap pasal–pasal dan peraturan perundang – undangan yang mengatur
33

M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, Halaman

28
34

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Halaman 24
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis
dan Disertasi, PT. Sofmedia, Medan, 2015. Halaman 97
35

Universitas Sumatera Utara

29

permasalahan dalam skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian
hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang
hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam
pratiknya.

1.7.2

Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah metode yang akan diterapkan dalam

penelitian hukum yang akan dilakukan oleh peneliti. Dapat memakai metode
pendekatan Normatif (Legal Research) antara lain pendekatan Undang-undang
(Statute Approach), metode pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan
Historis (Historical Approach), pendekatan komparatif (Comparative Approach),
pendekatan konseptual (Conseptual Approach) atau mempergunakan metode
Empiris (Yuridis sosiologis) dan dapat juga menggunakan gabungan antara kedua
metode pendekatan tersebut. 36
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan normatif. Jika metode pendekatan yang dipergunakan
dalam penelitian adalah metode pendekatan normatif, yang secara deduktif,
dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi
permasalahan di atas, metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat
permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundangundangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya

36

Ibid, Halaman 99

Universitas Sumatera Utara

30

dengan penerapannya dalam praktek. 37 Dalam penelitian hukum normatif maka
yang diteliti pada awalnya data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan
penelitian terhadap data primer di lapangan terhadap prakteknya. 38

1.7.3

Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel
Lokasi Penelitian penulis dalam melakukan penelitian ini adalah di

Perpustakaan Fakultas Hukum USU dan Perpustakaan Universitas USU.

1.7.4

Alat Pengumpul Data
Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul data

berupa 39:
a. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study)
b. Wawancara (Interview)
c. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket)
d. Pengamatan (Observasi)
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan
studi dokumen atau bahan pustaka yang disusun secara ilmiah (metodologi) guna
memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang
telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya.

37

Ibid, Halaman 99-100
Zainuddin Ali, opcit. Halaman 19
39
Ediwarman, opcit, Halaman.113
38

Universitas Sumatera Utara

31

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dapat dicari dan diperoleh dari
kepustakaan dengan menggunakan instrumen-instrumen studi dokumen. 40
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar
yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder
tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat
pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Data sekunder dibagi dalam:
a.

Bahan Hukum Primer, yaitu norma atau kaidah dasar seperti Pembukaan
UUD 1945, peraturan dasar seperti ketentuan-ketentuan dalam batang
tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan seperti
UU, Perpu, PP, Keppres dan lain-lain, bahan hukum yang tidak
dikodifikasi seperti ketentuan hukum adat, yurisprudensi, traktat dan bahan
hukum dari zaman penjajahan yang masih berlaku

b.

Bahan Hukum Sekunder yaitu Rancangan Undang-Undang, hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lainnya yang
memberi penjelasan tentang bahan hukum primer.

c.

Bahan Hukum Tersier yaitu kamus, ensiklopedi dan lain-lain bahan hukum
yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder. 41

40

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka
Bangsa Press, Medan, 2005, Halaman 75
41
Ibid,

Universitas Sumatera Utara

32

Dalam penelitian ini sumber data sekundernya adalah berupa buku-buku,
literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal, artikel serta dokumen yang ada
hubungannya dengan permasalahan yang dikemukakan.

1.7.5

Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam Penulisan skripsi ini menggunakan

Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian
terhadap berbagai sumber bacaan, yakni buku-buku, pendapat sarjana, artikel,
surat kabar/koran, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas.

1.7.6

Analisis Data
Analisis data dalam penelitian hukum mempergunakan metode pendekatan

kualitatif bukan kuantitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik,
sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas angka persentase sehingga
diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti. 42
Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam
pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka
kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan
dalam skripsi ini.

42

Ediwarman, opcit, hal 99-100

Universitas Sumatera Utara