ANALISIS TERHADAP WACANA PEMBUBARAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN EFEKTIVITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

(1)

TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN EFEKTIVITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Oleh

YUNITA DWI UTAMI MAFAZA

Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Salah satu yang dapat dilakukan dalam upaya memberantas praktik tipikor adalah dengan membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor ini diatur dalam Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Terkait dengan keberadaannya, belakangan ini muncul wacana untuk membubarkan Pengadilan Tipikor yang ada di daerah. Hal ini diduga karena banyaknya vonis bebas yang dikeluarkan hakim Pengadilan Tipikor kepada para terdakwa perkara tindak pidana korupsi. Dengan banyaknya vonis bebas yang diberikan kepada para terdakwa perkara tindak pidana korupsi, menyebabkan masyarakat menjadi ragu akan keberadaan Pengadilan Tipikor ini. Sehingga timbul wacana ingin membubarkan Pengadilan Tipikor di daerah. Hal ini membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan permasalahan (a) Apa yang menjadi faktor penyebab munculnya wacana pembubaran pengadilan tindak pidanan korupsi di daerah? (b) Bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pembenahan pengadilan tindak pidana korupsi khususnya yang ada di daerah?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder. Setelah data terkumpul, maka diolah dengan cara editing, interpretasi data, dan sistematisasi. Selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Artinya menguraikan data yang telah diolah secara rinci ke dalam bentuk kalimat-kalimat (deskriptif).

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan : (1) penyebab munculnya wacana pembubaran Pengadilan Tipikor di daerah yaitu banyaknya vonis bebas yang diberikan hakim Pengadilan Tipikor kepada para terdakwa perkara tindak pidana korupsi; buruknya kualitas para hakim Pengadilan Tipikor di daerah; buruknya proses perekrutan hakim untuk Pengadilan Tipikor di daerah;


(2)

dan lemahnya pengawasan terhadap kinerja hakim Pengadilan Tipikor. (2) Upaya yang dapat dilakukan terkait pembenahan Pengadilan Tipikor di daerah, yaitu membenahi kualitas para hakim; membenahi proses perekrutan para hakim yang akan bertugas di Pengadilan Tipikor; melakukan eksaminasi terhadap putusan-putusan bebas yang telah dikeluarkan oleh hakim; dan memperketat pengawasan terhadap kinerja para hakim.

Berdasarkan kesimpulan, maka penulis memberi saran sebagai berikut : (1) Agar Pengadilan Tipikor tidak dibubarkan, tetapi dilakukan evaluasi terhadap kinerjanya selama ini. (2) Pemerintah agar melakukan proses pembenahan dalam hal perekrutan hakim ad hocPengadilan Tipikor. (3) Pemerintah agar melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap para hakim Pengadilan Tipikor.


(3)

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara berkembang. Sebagai negara berkembang, banyak terjadi dinamika atau perubahan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakatnya di berbagai aspek bidang kehidupan. Salah satunya adalah perkembangan dalam bidang hukum. Hal ini sebagai wujud dari tahap demi tahap pembangunan di Indonesia. Sebagai contoh perkembangan dalam bidang hukum adalah usaha pemerintah dalam memberantas praktik tindak pidana korupsi.

Korupsi seperti sudah menjadi budaya di lingkungan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya praktik korupsi yang tidak hanya terjadi di pemerintahan, tetapi juga sudah merembet ke sektor swasta. Praktik korupsi juga tidak hanya terjadi di lingkup pemerintahan pusat saja, melainkan juga terjadi di lingkup pemerintahan daerah, bahkan sampai ke lingkup pemerintahan yang paling sederhana seperti pemerintahan desa. Sebagai contoh, penetapan Wali Kota Medan, Rahudman Harahap sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa Pemkab Tapanuli Selatan (Tapsel) tahun anggaran 2005 senilai Rp. 1,5 miliar. Dugaan korupsi itu terjadi saat Rahudman menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Tapsel (Harian Berita Sore, Medan 2011, http://beritasore.com/2011/11/01)


(4)

Banyaknya praktik korupsi di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya lemahnya pendidikan agama, moral dan etika; tidak adanya sanksi yang keras terhadap pelaku korupsi; tidak adanya suatu sistem pemerintahan yang transparan (Good Governance); faktor ekonomi; manajemen yang kurang baik dan tidak adanya pengawasan yang efektif dan efisien; serta modernisasi yang menyebabkan pergeseran nilai-nilai kehidupan yang berkembang dalam masyarakat (Aziz Syamsudin, 2011: 15).

Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu, tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma sosial lainnya (Elwi Danil, 2011: 70).

Tindak pidana korupsi juga dikatakan sebagai extraordinary crime, yang artinya korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa. Hal ini dapat kita lihat dari adanya kongres-kongres dan deklarasi-deklarasi PBB yang menyangkut masalah korupsi. Masyarakat dunia sepakat bahwa korupsi merupakan suatu tindak pidana yang harus segera diberantas. Misalnya di dalam Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas Venezuela, tindak pidana korupsi diklasifikasikan ke dalam tipe kejahatan yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of the law) (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984: 133). Aparat penegak hukum relatif tidak berdaya, atau tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi jenis tindak pidana ini. Ketidakberdayaan tersebut dapat terjadi karena dua faktor, yaitu :Pertama, kedudukan ekonomi dan politik yang kuat dari si pelaku. Kedua, keadaan-keadaan di sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa,


(5)

sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan atau dituntut (Elwi Danil, 2011: 62)

Praktik korupsi juga dapat dikatakan luar biasa karena akibat-akibat yang ditimbulkan dari korupsi itu sendiri sangat berdampak ke kehidupan masyarakat suatu negara, bahkan juga berdampak ke tubuh pemerintahan suatu negara tersebut. Di Indonesia, korupsi sudah bukan lagi menjadi hal yang tabu. Korupsi seperti sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa dan berakar di kehidupan masyarakat Indonesia.

Korupsi merupakan salah satu dari tindak pidana khusus yang ada di Indonesia, untuk itu diperlukan juga suatu aturan yang khusus mengatur tentang masalah korupsi ini, baik tentang pemberantasannya, pengadilannya, maupun tentang korupsi itu sendiri. Maka, dibentuklah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Diundangkannya beberapa undang-undang tersebut merupakan konsekuensi dari Pasal 103 KUHP yang juga berlaku asas lex spesialis derogat legi generalis (aturan yang khusus menyampingkan aturan yang umum), menyatakan :

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”


(6)

Pemerintah dalam upayanya memberantas praktik korupsi di Indonesia, membentuk suatu lembaga negara yang bersifat independen dan bertugas untuk memberantas praktik korupsi yang banyak terjadi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (yang untuk selanjutnya disebut KPK).

Dibentuknya KPK merupakan perwujudan komitmen pemerintah dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini seperti yang diamanatkan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan sebagai berikut:

“(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

KPK bukanlah satu-satunya elemen dalam upaya pemberantasan tipikor. Masih ada elemen lain yang juga memegang peranan penting, yaitu Pengadilan tindak pidana korupsi (untuk selanjutnya disebut Pengadilan Tipikor). Dibentuknya Pengadilan Tipikor ini sesuai dengan isi Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan :

“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.”

Ketentuan tentang pembentukan Pengadilan Tipikor ini juga dapat dilihat di dalam Pasal 53 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :


(7)

“Dengan Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”

Saat ini, Pengadilan Tipikor sudah ada di setiap ibukota provinsi di seluruh Indonesia, berkedudukan di setiap kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Berdasarkan Mahkamah Agung, saat ini Pengadilan Tipikor sudah ada di 33 Pengadilan Negeri di setiap provinsi dan juga ada 30 Pengadilan Tipikor tingkat banding.

Ketentuan mengenai komposisi hakim Pengadilan Tipikor dapat dilihat dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No. 46 Tahun 2009. “Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim karier dan Hakim ad hoc” (Pasal 26 (1) UU No. 46 Tahun 2009).

“Dalam hal majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 3 (tiga) banding 2 (dua) dan dalam hal majelis hakim berjumlah 3 (tiga) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 2 (dua) banding 1 (satu).” (Pasal 26 ayat (2) UU No. 46 Tahun 2009).

Selama menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Tipikor (Pasal 5 UU No. 46 Tahun


(8)

2009), Pengadilan Tipikor baru-baru ini menuai kontroversi. Hal ini dikarenakan banyaknya putusan bebas yang diberikan hakim pengadilan Ttipikor kepada para terdakwa korupsi. Seperti yang terjadi di Pengadilan Tipikor di Lampung, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Samarinda.

Selasa, 11 Oktober 2011, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memutus bebas terdakwa Walikota Bekasi nonaktif Mochtar Mohammad. Itu adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah peradilan Tipikor di Indonesia, terdakwa korupsi diputus bebas murni. Mochtar sebelumnya divonis 12 tahun penjara dan denda Rp300 juta atas 4 perkara korupsi yang dituduhkan atasnya, yakni suap Piala Adipura 2010, penyalahgunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Bekasi, suap kepada Badan Pemeriksa Keuangan, dan penyalahgunaan anggaran makan-minum yang mengakibatkan kerugian negara Rp5,5 miliar.

Sepekan kemudian, Senin 17 Oktober 2011, Bupati nonaktif Lampung Timur, Satono, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung. Satono adalah terdakwa korupsi dana kas APBD Lampung Timur senilai Rp119 miliar. Hanya selisih sehari Rabu 19 Oktober 2011, giliran mantan Bupati Lampung Tengah, Andi Ahmad Sampurna Jaya, yang divonis bebas.

Pekan berikutnya, Selasa 25 Oktober 2011, Bupati nonaktif Kepulauan Aru, Thedy Tengko, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ambon. Thedy menjadi terdakwa dalam dugaan korupsi penggunaan dana APBD Kepulauan Aru tahun 2006 senilai Rp42,5 miliar.

Terakhir, Pengadilan Tipikor Samarinda memutus bebas beberapa terdakwa kasus korupsi dana operasional anggota DPRD Kutai tahun 2005. Para terdakwa yang


(9)

diputus bebas itu antara lain Ketua DPRD Kutai Kartanegara nonaktif Salehudin, Anggota DPRD nonaktif Suryadi, Suwaji, Sudarto, Rusliandi, Abu Bakar Has, dan Abdul Sani. Kasus korupsi yang melibatkan mereka disebut merugikan negara sebesar Rp2,9 miliar. Karena banyaknya putusan bebas yang dijatuhkan hakim kepada para terdakwa korupsi inilah banyak para pihak yang sangsi terhadap Pengadilan Tipikor ini. (http://indonesian.irib.ir/cakrawala/-/asset_publisher/Alv0/content/id/4930003)

Menurut Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tipikor di daerah sebaiknya dibubarkan saja karena kualitas nya dianggap lebih buruk dibanding pengadilan umum. Namun, menurut mantan Ketua MK, Jimly Asshiddique, Pengadilan Tipikor di daerah yang sudah ada saat ini tidak perlu dibubarkan, hanya saja perlu dilakukan pembenahan. Pembenahan yang dimaksud adalah dalam hal pengawasan dan sistem perekrutan hakim ad hoc (Lampung Post, 05 November 2011). Semua ini menjadi bahan perdebatan di banyak kalangan, baik di kalangan masyarakat awam, akademisi, praktisi hukum, bahkan di kalangan pemerintahan sendiri.

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam skripsi dengan judul : “Analisis Terhadap Wacana Pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Daerah Dalam Kaitannya Dengan Efektivitas Pemberantasan Korupsi di Indonesia”.


(10)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan judul diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Apa faktor penyebab munculnya wacana pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi di daerah?

b. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pembenahan pengadilan tindak pidana korupsi khususnya yang ada di daerah?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi substansi penelitian mengenai bidang ilmu pidana dengan kajian mengenai pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi di daerah dalam kaitannya dengan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui faktor penyebab munculnya wacana pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi di daerah.

b. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam rangka pembenahan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah.


(11)

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan mengembangkan pengetahuan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan masalah apa faktor penyebab munculnya wacana pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi di daerah . Bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pembenahan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah.

b. Kegunaan Praktis

Sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang disesuaikan dengan disiplin ilmu yang telah di pelajari dan juga untuk memperluas cakrawala bagi siapa saja yang ingin mengetahui pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi di daerah dalam kaitannya dengan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstrak dan hasil pemikiran dan kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1984: 132). Untuk menjawab permasalahan yang ada, teori yang digunakan adalah menggunakan pendapat ahli hukum tentang tindak pidana dan kendala atau faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang digunakan sebagai acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada.


(12)

Kerangka teori juga menggunakan acuan dalam penelitian dengan maksud agar lebih jelas untuk membahas pokok permasalahan dengan mendasarkan pada suatu teori. Relevansi sebagai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi di daerah dalam kaitannya dengan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.

Korupsi pada dasarnya merupakan perbuatan yang dilarang sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena sangat merugikan negara dan masyarakat banyak.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang; secara melawan hukum; memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Tri Andrisman, 2010: 64).

Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi perlu dibentuk dan dikembangkan, baik dalam hal hukum pidana substantif, maupun dalam hukum acara pidana. Melihat akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi yang banyak terjadi, maka pemerintah berupaya keras untuk menanggulanginya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal penanggulangan tindak pidana korupsi yaitu dengan dibentuknya Pengadilan Tipikor yang diundangkan dalam Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.


(13)

Dasar hukum dibentuknya Pengadilan Tipikor ini adalah sesuai dengan amanat Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Pasal 53, yang menyatakan : “Dengan Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemeberantasan Korupsi.”

Munculnya wacana pembubaran Pengadilan Tipikor tidak dapat ditanggapi dengan terburu-buru. Sebelum Pengadilan Tipikor dibubarkan, harus dilihat faktor-faktor yang menyebabkan munculnya wacana pembubaran tersebut. Harus dilihat juga efek dari keberadaan dari Pengadilan Tipikor itu sendiri. Sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk di daerah-daerah di seluruh Indonesia, proses mengadili perkara tindak pidana korupsi hanya dilakukan di Pengadilan Tipikor yang ada di Jakarta. Hal ini mengakibatkan proses pemberantasan korupsi menjadi kurang maksimal. Dengan dibentuknya Pengadilan Tipikor di daerah-daerah di seluruh Indonesia, diharapkan pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan efektif dan berjalan lancar, sehingga tindak pidana korupsi dapat dihapuskan.

Kebijakan perundang-undangan tersebut pada akhirnya dapat ditempatkan dalam kerangka upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun, kebijakan tersebut juga harus dilakukan sebagai suatu pembaruan terhadap legal system yang meliputi pembaruan substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Secara substantif, pembaruan itu sendiri harus meliputi tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana. Secara


(14)

struktural, undang-undang korupsi telah mengamanatkan kepada pembuat undang-undang untuk membentuk sebuah komisi independen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang disebut KPK. Meskipun telah dilakukan perubahan substansial, namun itu tidak akan banyak manfaatnya tanpa adanya perhatian yang lebih banyak terhadap masalah budaya hukum (Elwi Danil, 2011: 49-50)

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan secara konsep-konsep khusus, merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istiah yang ingin diteliti atau diketahui (Soerjono Soekanto, 1986: 132).

Sebuah perbuatan yang masuk dalam tindak pidana korupsi tercantum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

“Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara.”

Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok permasalahan dan pembahasan dalam skripsi ini, maka dibawah ini terdapat beberapa batasan mengenai konsep yang bertujuan untuk menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Tindak pidana korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan negara dan


(15)

atau perekonomian negara (Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

b. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

c. Pengadilan tindak pidana korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum. Pengadilan tindak pidana korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi (Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi)

d. Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.

E. Sistematika Penulisan

Dalam memahami isi penelitian ini, maka penulisannya terbagi dalam 5 (lima) Bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya dengan perincian sebagai berikut ini:


(16)

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan, pokok permasalahan serta ruang lingkup. Selain itu juga tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini menguraikan mengenai pengertian tindak pidana korupsi, pengertian pengadilan tindak pidana korupsi, unsur-unsur korupsi dan pengertian pemberantasan tindak pidana korupsi.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang penelitiannya untuk menelaah suatu masalah digunakan metode ilmiah secara sistematis, terarah dan terancang untuk mencari solusi suatu masalah dalam suatu pengetahuan yang dapat diandalkan kebenarannya. Proses yang dilakukan ini merupakan proses yang terencana, sehingga dengan demikian memerlukan suatu metode yang jelas dan efektif agar hasil yang diperoleh dari penelitian ini maksimal serta dapat dipertanggungjawabkan.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab hasil penelitian dan pembahasan meliputi apa yang menjadi faktor penyebabnya munculnya wacana pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi di daerah dan apakah upaya terbaik yang bisa dilakukan dalam rangka pembenahan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah.

V. PENUTUP

Dalam Bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran-saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian yang berguna dan dapat menambah wawasan hukum khususnya hukum pidana.


(17)

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut :

Pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 3 : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Beberapa ahli juga memberikan pendapatnya mengenai pengertian tindak pidana korupsi. Henry Campbell Black mengartikan korupsi sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain (Elwi Danil, 2011: 3).

Syed Hussein Alatas dalam bukunya Corruption:It’s Nature, Causes, and Consequences (dalam Aziz Syamsudin, 2011: 137) mengartikan bahwa korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan


(18)

pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.

Syed Hussein Alatas juga mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi, yaitu:

1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

2. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali telah begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat berakar, sehingga individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;

3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;

4. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum; 5. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan

keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;

7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;

8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu;

9. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.


(19)

Sedangkan, di dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003 (United Nation Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC), yang telah diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-undang No. 7 Tahun 2006, ada beberapa perbuatan yang dikategorikan korupsi, yaitu sebagai berikut :

1. Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat publik atau swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau swasta atau internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang lain atau badan laun yang ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut.

2. Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik/swasta/internasional.

3. Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah (Aziz Syamsudin, 2011: 138).

Piers Beirne dan James Messerschmidt memandang korupsi sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Untuk itu, mereka membagi korupsi ke dalam 4 (empat) tipe korupsi, yaitu :

a. Political beribery adalah kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang, yang secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai penyandang dana. Dimana individu pengusaha sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah diberi


(20)

dukungan dana pada saat pemilihan umum dan yang kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka.

b. Political kickbacks adalah kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha, yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak.

c. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa/anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum.

d. Corrupt campaign practice adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan penggunaan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan.

Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, untuk itu ia membagi korupsi ke dalam 4 (empat) jenis, yaitu :

a. Discretionery corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi;

b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan regulasi tertentu;


(21)

c. Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;

d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegalmaupundiscretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. (Ermansyah Djaja, 2010 : 18)

Unsur-unsur tindak pidana korupsi itu sendiri dapat dilihat dari isi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Jadi, dari kedua pasal itu dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang;

2. Secara melawan hukum;

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan;

4. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 5. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

a. Lemahnya pendidikan agama dan etika;

b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi;

c. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, karena mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat;


(22)

d. Tidak adanya sanksi yang keras;

e. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi;

f. Struktur pemerintahan;

g. Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional;

h. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secra keseluruhan. (Evi Hartanti, 2009: 11)

B. Pengertian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Dalam hal kewenangan mengadili, Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, menggadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 5 Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam hal kedudukan dan tempat kedudukan, kedudukan Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 2 UU No. 46 Tahun 2009), sedangkan tempat kedudukan Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 3 UU No. 46 Tahun 2009).

Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Tipikor pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku (Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana), kecuali


(23)

ditentukan lain dalam Undang-undang No. 46 Tahun 2009 (Pasal 25 UU No. 46 Tahun 2009).

Perkara-perkara tindak pidana korupsi yang dapat diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Tipikor menurut Pasal 6 UU No. 46 Tahun 2009, adalah sebagai berikut :

1. Tindak pidana korupsi;

2. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau

3. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU No. 46 Tahun 2009, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan hakimad hoc.

Hakim Karier adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi. Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi (Pasal 1 UU No. 46 Tahun 2009).

Ketentuan pasal 15 UU No. 46 Tahun 2009, melarang seorang hakim ad hoc merangkap menjadi :


(24)

2. Wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya;

3. Pimpinan atau anggota lembaga negara; 4. Kepala daerah;

5. Advokat;

6. Notaris/pejabat pembuat akta tanah;

7. Jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau

8. Pengusaha.

Prinsip-prinsip umum Pengadilan Tipikor relatif sama dengan yang diatur dalam KUHAP, yakni independen dan tidak memihak, sederhana dan cepat, transparan dan akuntabel.

Pengadilan Tipikor yang independen dan tidak memihak ditujukan agar :

1. Institusi pengadilan tidak memihak;

2. Mampu memainkan peranan penting dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang adil, jujur, terbuka, dan bertanggung jawab;

3. Institusi peradilan bebas dan merdeka dari campur tangan (intervensi), tekana, dan paksaan baik secara langsung maupun tidak langsung dari pihak-pihak lain di luar pengadilan; serta


(25)

Pengadilan Tipikor yang sederhana dan cepat dimaksudkan agar :

1. Proses di pengadilan harus dibuat secara sederhana, baik dari segi biaya, waktu, lokasi, maupun prosedur;

2. Untuk mencegah ketidakadilan dan rasa frustasi akibat proses yang berbelit— belit, namun tetap harus ada jaminan ketelitian dalam pengambilan keputusan; dan

3. Proses pengadilan tidak berlangsung dalam waktu yang lama.

Pengadilan Tipikor yang transparan dan akuntabel diatur dalam Pasal 24 Undang-undang No. 46 Tahun 2009, yang menyebutkan :

1. Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan Tipikor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. Pengadilan Tipikor menyediakan informais yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik mengenai penyelenggaraan Pengadilan Tipikor. Ketentuan ini merupakan wujud akuntabilitas Pengadilan Tipikor melalui keterbukaan informasi mengenai penyelenggaraan penagdilan; dan

3. Ketentuan mengenai hak dan informasi yang bersifat terbuka di atas diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.

Namun pada prinsipnya, keterbukaan dimaksud adalah keterbukaan yang bukan tanpa batas, melainkan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kebutuhan. Publik diperkenankan mengakses informasi mengenai penyelenggaraan Pengadilan Tipikor untuk memberikan kesempatan kepada publik untuk melakukan kontrol


(26)

dan koreksi yang efektif. Hanya saja, kebebasan publik untuk memperoleh informasi tersebut tidak boleh membahayakan jalannya proses peradilan.

C. Pengertian Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Menurut Muladi, tindak pidana korupsi harus dilihat sebagai tindakan yang luar biasa (extraordinary crime) dan tidak bertanggung jawab yang bersifat sistemik, endemik, danflagrantkarena cenderung berdampak sangat luas, yaitu :

a. Merendahkan martabat bangsa di forum internasional;

b. Menurunkan kepercayaan investor danforeign direct investment;

c. Meluas di segala sektor pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah serta terjadi pula di sektor swasta;

d. Bersifat transnasional dan bukan lagi masalah negara per negara;

e. Merugikan keuangan negara dalam jumlah yang signifikan;

f. Merusak moral bangsa;


(27)

h. Mengganggu stabilitas dan keamana negara;

i. Mencederai keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan;

j. Menodai supermasi hukum;

k. Semakin berbahaya karena bersinergi negatif dengan tindak pidana ekonomi lain, sepertimoney laundring;

l. Bersifat terorganisasi;

m. Melanggar HAM karena terjadi di sektor pembangunan strategis yang mencederai kesejahteraan rakyat kecil; dan

n. Dilakukan dalam segala kondisi, termasuk saat negara dalam keadaan krisis dan bencana alam.

Karena tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime, pemerintah tidak perlu ragu untuk menerapkan perangkat-perangkat hukum yang memadai dan bersifat luar biasa. Selain itu diperlukan juga kemauan politik yang didukung kehendak masyarakat untuk meberantas praktik korupsi.

Menurut Aziz Syamsudin, yang termasuk ke dalam kendala pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

a. Motif individu untuk masuk sebagai penyelenggara negara atau pejabat pemerintahan sekedar untuk mendapatkan uang yang banyak dengan cara singkat dan koruptif.


(28)

b. Kontribusi sistem politik yang belum optimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, karena keterlibatan infrastruktur politik dalam sistem yang high cost.

c. Tindak pidana korupsi adalah praktik kejahatan yang dilakukan dengan diam-diam dan rahasia, sehingga kebanyakan masyarakat tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memerangi dan ikut serta dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

d. Praktik tindak pidana korupsi adalah bentuk paling nyata dari sifat serakah, akrenanya tidak heran jika betapa pun tingginya jabatan dan kayanya seorang pejabat negara, namun tetap saja melakukan korupsi. (Aziz Syamsudin, 2001 : 179)

Selain hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, kendala lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi anttara lain masih adanya kekuatan penguasa yang cenderung bermental KKN; merosotnya citra aparatur penegak hukum karena belum menunjukkan kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi yang memuaskan; kekuasaan kehakiman yang merdeka namun kurang didukung integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas memadai; dan citra negatif terhadap sistem rekrutmen, promosi, dan mutasi di lingkungan penegak hukum.

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi sebagai strategi pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu :


(29)

b. Penguatan dan reformasi kelembagaan, baik publik maupun privat, secara terus menerus;

c. Penguatan hukum, praktik hukum dan acaranya;

d. Pembentukan lingkungan luas yang berbudaya antikorupsi, baik sektor publik maupun privat;

e. Pengembangan strategi yang proporsional antara langkah represif dan langkah preventif;

f. Adanya keterpaduan sistem penegakan hukum dan kesamaan persepsi di antara aparatur penegak hukum terhadapa pemberantasan tindak pidana korupsi;

g. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

D. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi

Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang no. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :


(30)

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 2002)

Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi :

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaran pemerintahan negara (Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 2002).

Wewenang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :

a. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.


(31)

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait.

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (Pasal 7 Undang-undang No. 30 Tahun 2002).

f. Wewenang lain dapat dilihat dalam Pasal 12, 13, dan 14 Undang-undang No. 30 Tahun 2002.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan kepada :

a. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK;

b. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

c. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;


(32)

d. Kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

e. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tangggung jawab, dan kewajiban KPK.

KPK berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas :

a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri atas lima anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. Tim Penasihat yang terdiri atas empat anggota;

c. Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas. (Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 2002)


(33)

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang di dasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. Dalam usaha mencari dan mendapatkan jawaban atau masalah yang diajukan dengan cara mencari data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan masalah dengan satu cara yakni secara yuridis normatif.

Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang ada dan berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Pendekatan yang besifat normatif adalah penelitian dengan data sekunder yang dilakukan dengan mencari data atau sumber yang bersifat teori yang berguna untuk memecahkan masalah melalui studi kepustakaan yang meliputi buku-buku, perturan-peraturan, surat-surat keputusan dan dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Dengan mengadakan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Namun demikian untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kebijakan hukum pidana dilakukan


(34)

wawancara dengan akademisi dalam hal ini yaitu dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer adalah berupa perundang-undangan yang terdiri dari : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

4. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

5. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6. Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

7. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa bahan hukum yang meliputi peraturan pelaksanaan rancangan Undang-undang, Keputusan Menteri dan Peraturan Pemerintah.


(35)

c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa pendapat para sarjana, kamus, ensiklopedia, literatur hukum, majalah, koran, internet dan hasil seminar.

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara untuk mendapatkan data sekunder yaitu, melakukan serangkaian studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip buku-buku atau literatur serta peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang mempunyai hubungan dengan Analisi Terhadap Wacana Pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Daerah dalam Kaitannya dengan Efektivitas Pemberantasan Korupsi di Indonesia.

b. Wawancara

Untuk mendapatkan data dari informan dikumpulkan dengan cara wawancara, dengan teknik wawancara tidak terarah (non-directive interview) atau tidak terstruktur (free flowing interview) yaitu dengan mengadakan komunikasi langsung kepada informan, dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) guna mencari jawaban atas permasalahan yang terdapat dalam skripsi.


(36)

2. Pengolahan Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengelola data adalah, sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah data yang diperoleh itu relevan dan sesuai dengan masalah. Selanjutnya apabila ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan diadakan penambahan.

b. Interpretasi, yaitu mengadakan penafsiran terhadap data yang dikumpulkan.

c. Sistematika data adalah penyusunan data secara sistematis yaitu sesuai dengan pokok bahasan sehingga memudahkan analisis data.

Tahap-tahap pengolahan data tersebut bertujuan untuk mempermudah analisis yang nantinya akan mempermudah pengambilan kesimpulan.

D. Analisis Data

Analisis data yang dimaksudkan untuk menyederhanakan data agar mudah dibaca dan dipahami. Analisis data penulis dilakukan dengan cara kualitatif, komprehensif, dan lengkap. Analisis secara kualitatif yaitu menguraikan data-data yang penulis peroleh dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, dan efektif. Komprehensif artinya analisis data secara mendalam, tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis. Cara seperti ini memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis, sehingga bisa menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.


(37)

Berdasarkan hasil analisis data tersebut akan ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu cara berfikir dan hal-hal yang bersifat umum kearah yang lebih khusus guna menjawab permasalahan berdasarkan penelitian dan mengajukan saran-saran yang selanjutnya diperbantukan dengan hasil studi kepustakaan.


(38)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan dalam Bab IV, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Banyak hal yang dapat dikatakan sebagai faktor penyebab munculnya wacana pembubaran Pengadilan Tipikor di daerah. Yang menjadi faktor utama nya adalah banyaknya vonis bebas yang diberikan hakim Pengadilan Tipikor di daerah kepada para terdakwa perkara tindak pidana korupsi. Hal lain yaitu adanya persepsi yang salah yang berkembang di masyarakat mengenai Pengadilan Tipikor yang memvonis bebas terdakwa korupsi. Yang juga menjadi penyebab munculnya wacana pembubaran Pengadilan Tipikor di daerah adalah buruknya kualitas para hakim Pengadilan Tipikor di daerah. Buruknya kualitas para hakim ini tak lepas dari proses perekrutan hakim yang dilakukan dengan terburu-buru sehingga hakim yang diterima tidak mempunyai kompetensi yang memadai untuk menangani suatu perkara tindak pidana korupsi. Lemahnya pengawasan terhadap kinerja hakim Pengadilan Tipikor di daerah juga menjadi salah satu penyebab munculnya wacana pembubaran Pengadilan Tipikor yang ada di daerah.


(39)

2. Upaya pembenahan Pengadilan Tipikor di daerah adalah dengan membenahi kualitas para hakim Pengadilan Tipikor. Hal ini bisa dicapai dengan pembenahan proses perekrutan hakim terlebih dahulu. Proses rekrutmen harus memenuhi unsur transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Aspek kualitas, integritas, moralitas, danmindsetyang menjadi dasar kinerja pun harus benar-benar teruji. Sebab, menjadi percuma kita memiliki sumber daya calon hakim ad hoc yang baik jika mekanisme penyeleksiannya tidak baik. Hal lainnya menyangkut upaya pembenahan yang dapat dilakukan adalah melakukan eksaminasi atas putusan-putusan bebas yang telah dikeluarkan oleh hakim. Jika putusan-putusan tersebut tidak berdasarkan landasan hukum yang jelas dan melenceng dari yang seharusnya, maka hakim yang bertugas dapat ditindak lebih lanjut. Untuk itu diperlukan pola pengawasan hakim yang ketat agar hakim-hakim yang bertindak tidak sesuai dengan koridor hukum dapat ditindak lanjuti.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan, maka penulis menyarankan sebagai berikut :

1. Agar Pengadilan Tipikor tidak dibubarkan, tetapi dilakukan evaluasi terhadap kinerjanya selama ini.

2. Pemerintah agar melakukan proses pembenahan dalam hal perekrutan hakim ad hocPengadilan Tipikor.

3. Pemerintah agar melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap para hakim Pengadilan Tipikor.


(40)

KORUPSI DI INDONESIA (Skripsi)

oleh

YUNITA DWI UTAMI MAFAZA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(41)

KORUPSI DI IINDONESIA

Oleh

Yunita Dwi Utami Mafaza

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(42)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...……….……1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup……….…...…. 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………...……8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual……….……... 9

E. Sistematika Penulisan……….…...…13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi……….…...……. 15

B. Pengertian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi……….…...…….. 20

C. Pengertian Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………...………24

D. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi ... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah………....…31

B. Sumber dan Jenis Data………....…32

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data……….…... 33

D. Analisis Data………..……….…….... 34

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Informan ... 36

B. Faktor Penyebab Munculnya Wacana Pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Daerah ... 37


(43)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58 B. Saran ... 59


(44)

Ali, Mahrus. 2011.Hukum Pidana Korupsi di Indonesia.UII Press. Yogyakarta. Andrisman, Tri. 2010. Tindak Pidana Khusus di Luar KUHP. Universitas

Lampung. Bandar Lampung.

Danil, Elwi. 2011.Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Djaja, Ermansyah. 2010. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006.Sinar Grafika. Jakarta.

Hartanti, Evi. 2009.Tindak Pidana Korupsi. Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni.

Bandung.

Moeljatno. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

________________. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI. Jakarta. Syamsudin, Aziz. 2011.Tindak Pidana Khusus. Sinar Grafika. Jakarta. Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


(45)

Penyelenggaraan Seleksi Calon Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

http://beritasore.com/2011/11/01/komisi-iii-dpr-pertanyakan-kasus-korupsi-rahudman/ diakses tanggal 31 Januari 2012

http://indonesian.irib.ir/cakrawala/-/asset_publisher/Alv0/content/id/4930003 diakses tanggal 9 April 2012


(46)

KAITANNYA DENGAN EFEKTIVITAS

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Nama Mahasiswa :Yunita Dwi Utami Mafaza

No. Pokok Mahasiswa : 0812011317

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M, S.H., M.H. Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

NIP 19620817 198703 2 003 NIP 19600406 198903 1 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H., M.H.


(47)

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati M, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.

NIP 19621109 198703 1 003


(1)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...……….……1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup……….…...…. 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………...……8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual……….……... 9

E. Sistematika Penulisan……….…...…13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi……….…...……. 15

B. Pengertian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi……….…...…….. 20

C. Pengertian Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………...………24

D. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi ... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah………....…31

B. Sumber dan Jenis Data………....…32

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data……….…... 33

D. Analisis Data………..……….…….... 34

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Informan ... 36

B. Faktor Penyebab Munculnya Wacana Pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Daerah ... 37


(2)

C. Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Rangka Pembenahan Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi Khususnya yang Ada di Daerah ... 49 V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58 B. Saran ... 59


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus. 2011.Hukum Pidana Korupsi di Indonesia.UII Press. Yogyakarta. Andrisman, Tri. 2010. Tindak Pidana Khusus di Luar KUHP. Universitas

Lampung. Bandar Lampung.

Danil, Elwi. 2011.Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Djaja, Ermansyah. 2010. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006.Sinar Grafika. Jakarta.

Hartanti, Evi. 2009.Tindak Pidana Korupsi. Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni.

Bandung.

Moeljatno. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

________________. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI. Jakarta. Syamsudin, Aziz. 2011.Tindak Pidana Khusus. Sinar Grafika. Jakarta. Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


(4)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Seleksi Calon Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

http://beritasore.com/2011/11/01/komisi-iii-dpr-pertanyakan-kasus-korupsi-rahudman/ diakses tanggal 31 Januari 2012

http://indonesian.irib.ir/cakrawala/-/asset_publisher/Alv0/content/id/4930003 diakses tanggal 9 April 2012


(5)

Judul Skripsi :ANALISIS TERHADAP WACANA PEMBUBARAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN EFEKTIVITAS

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Nama Mahasiswa :Yunita Dwi Utami Mafaza No. Pokok Mahasiswa : 0812011317

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M, S.H., M.H. Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

NIP 19620817 198703 2 003 NIP 19600406 198903 1 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H., M.H.


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati M, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.

NIP 19621109 198703 1 003