RESPON WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TERHADAP PENENTANGAN INDIA TENTANG ATURAN PEMBATASAN DOMESTIC SUPPORT ON AGRICULTURE DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG 2001-2013

(1)

RESPON WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TERHADAP PENENTANGAN INDIA TENTANG ATURAN PEMBATASAN DOMESTIC

SUPPORT ON AGRICULTURE DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG 2001-2013

WOLRD TRADE ORGANIZATION REPONSE AGAINTS INDIA'S OPPOSITION ABOUT CAPPING DOMESTIC SUPPORT ON AGICULTURE RULES

IN DEVELOPING COUNTRIES 2001-2013

Disusun oleh: Sulbi Putri Widynar

20130510515

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i

RESPON WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TERHADAP PENENTANGAN INDIA TENTANG ATURAN PEMBATASAN DOMESTIC

SUPPORT ON AGRICULTURE DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG 2001-2013

WOLRD TRADE ORGANIZATION REPONSE AGAINTS INDIA'S OPPOSITION ABOUT CAPPING DOMESTIC SUPPORT ON AGICULTURE RULES

IN DEVELOPING COUNTRIES 2001-2013

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana (S1) Dalam Bidang Ilmu Hubungan Internasional Pada Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta

Disusun oleh: Sulbi Putri Widynar

20130510515

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

RESPON WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TERHADAP PENENTANGAN INDIA TENTANG ATURAN PEMBATASAN DOMESTIC

SUPPORT ON AGRICULTURE DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG 2001-2013

WOLRD TRADE ORGANIZATION REPONSE AGAINTS INDIA'S OPPOSITION ABOUT CAPPING DOMESTIC SUPPORT ON AGICULTURE RULES

IN DEVELOPING COUNTRIES 2001-2013

Sulbi Putri Widynar 20130510515

Telah dipertahankan dalam Ujian Pendadaran, dinyatakan lulus dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pada:

Hari,Tanggal : Rabu, 21 Desember 2016 Pukul : 08.00

Ruang : HI-A Tim Penguji Ketua Penguji

Adde Marup Wirasenjaya, S.IP, M.A

Penguji I

Sugito, S.IP, M.Si

Penguji II


(4)

iii

HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertada tangan di bawah ini: Nama : Sulbi Putri Widynar NIM : 20130510515

Program Studi : S1 Ilmu Hubungan Internasional

Judul : Respon World Trade Organization (WTO) Terhadap

Penentangan India Tentang Aturan Pembatasan Domestic Support On Agriculture Di Negara Sedang Berkembang 2001-2013

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya ilmiah sendiri dan bukanlah merupakan karya yang pernah di ajukan untuk memperoleh gelar akademik oleh pihak lain. Adapun karya atau pendapat pihak lain yang sengaja dikutip, ditulis sesuai dengan kaidah penulisan yang berlaku.

Pernytaan ini saya buat dengan penuh tanggungjawab dan saya bersedia menerima konsekuensi apapun sesuai aturan yang berlaku apabila dikemudian hari bahwap pernyataan ini tidak benar.

Yogyakarta,21 Desember 2016 Penulis:


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkah serta rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Respon World Trade Organization (WTO) Terhadap Penentangan

India Tentang Aturan Pembatasan Domestic Support On Agriculture Di Negara Sedang Berkembang 2001-2013”. Adapun skripsi ini disusun untuk memenuhi ketentuan akademik guna memperoleh gelar Sarjana (S1) Ilmu Politik pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis menyadari dalam proses penyusuan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof Dr. Bambang Cipto, M.A., selaku rector Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Ali Muhammad, S.IP., M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Ibu Dr. Nur Azizah M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Bapak Adde Marup Wirasenjaya, S.IP. M.A selaku dosen pembimbing, terimakasih telah sabar dan meluangnkan banyak waktu, pikiran dan


(6)

v

masukannya dalam membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Bapak, selaku dosen penguji 1, terimakasi atas bimbingan, saran dan masukannya demi perbaikan skripsi ini

6. Ibu selaku dosen penguji 2, terimakasi atas bimbingan, saran dan masukannya demi perbaikan skripsi ini

7. Bapak Bambang Wahyu N., S.IP, M.A dan Bapak Dr. Sidik Jatmika., M.Si selaku dosen penguji proposal yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Seluruh dosen dan staf Jurusan Ilmu Hubungan Internasinal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

9. Sahabat seperjuangan, yang telah mendorong dan memberikan masukan serta semangat selama penyusunan skripsi ini.

10.Teman dan kerabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan doanya.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi semua pihal khususnya yang memerlukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Penyusun juga menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak, sama halnya skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis mengaharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kebaikan skripsi ini.


(7)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Aku ingin mempersembahkan karya kecilku ini untuk

Ibunda tercinta

Ibunda tercinta

Ibunda tercinta, Ibu Sunarni

Ayahanda tersayang, Bapak Widoyo

Adikku Qolbu Putra Widynar

Keluarga besarku di kampung halaman


(8)

vii

MOTTO HIDUP

MAN JADDA WA JADDA”

MENUNTUT ILMU ITU WAJIB BAGI UMAT MUSLIM

DENGAN ILMU KEHIDUPAN MENJADI LEBIH MUDAH, DENGAN SENI KEHIDUPAN MENJADI INDAH, DENGAN AGAMA


(9)

viii

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatakan kali ini saya ingin menyampaikan rasa terimakasi yang teramat dalam bagi mereka-mereka yang tidak henti-hentinya memberikan doa dan dukungannya sehingga saya bisa meyelesaikan studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penghargaan yang setinggi-tingginya saya haturkan kepada:

1. Mama Tercinta, ibu Sunarni yang telah memberikan curahan kasih sayang, doa dan semua dukungan material dan immaterial yang tiada henti diberikan untuk anaknya. Bersyukur memiliki seorang mama sepertimu yang memberikan pelajaran berharga dalam menjalani kehidupan. Satu hal yang paling diingat bahwa didunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Terimakasih mama. Suatu saat aku akan menjadi bagian hidup yang bisa kau banggakan. 2. Bapak tersayang, bapak Widoyo yang telah memberikan kasih sayang, doa serta dukungan material dan tenaga demi mensekolahkan anak nakalnya. Terimakasih ayah, yang telah sabar mendidik tanpa ada kata meyerah. Walaupun sering bertengkar yang pada akhirnya saya tetap bangga menjadi anakmu.

3. Kepada adik laki-laki satu-satunya, yang memberikan dukungan serta contoh kedewasaan. Terimakasih telah memanjatkan doa yang tiada henti untuk kakakmu.

4. Kepada keluarga besarku, yang tiada henti memberikan doa serta dukungan. Akhirnya saya bisa menjadi orang yang kalian banggakan.

5. Kepada kakakku yang paling cantik, Devita Kurniawati yang telah dengan semangat mengajari aku, bahwa hidup ini memiliki dua sisi yang berbeda. Dan kita harus kuat dan sabar menghadapinya.

6. Kepada para Pejuang, Widya Astuti, Heriyanto, Wuri Wulandari, Ike Trines Sari, Nanda Harahap, dan Devi Kurniawati. Terimakasih telah bersedia menerima aku sebagai bagian dari cerita perjuangan kalian.


(10)

ix

7. Kepada yang tercinta, yang telah memberikan dukungan doa dan dorongan dalam meyelesaikan studi. Yang telah menemani dan menambah kedewasaan selama menempuh studi ini.

8. Para teman-teman yang selalu menghadirkan penyeimbangan dalam hidup saya, Almira, Fenny, Aisyah, Azzahra, Friska mengajarkan bahwa hidup juga perlu dinikmati. Disisi lain teman-teman kontrakan negeri di atas awan, Ilham Rizki, Ilham, Riyo, Abang, Nanta. Terimakasih kalian sudah memberikan warna diperjalanan saya.

9. Kepada sahabat dan kerabat kerja di BEM KM UMY, Kak Abidin yang mengajarkan bahwa proses itu lebih penting, hasil akan terasa indah apabila telah lelah berjuang.dan adik-adik fil filun yang cerewet dan heboh. Aku bakal kangen kalian. Dan semua keluarga besar UKM Basket UMY, yang telah memberikan pelajaran dan kesabaran.

10.Semua teman-teman kos dan Mbak Siti-nya Wisma Amira yang telah sabar menghadapi suara saya. Terimakasih.

11.Dan seluruh kawan, sahabat, serta orang-orang yang tidak bisa saya sebutkan satu-per-satu yang tealah mengiringi perjalanan saya sampai pada tahap ini. Terimakasih doa serta dukungan yang telah diberikan.


(11)

(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...vi

MOTTO HIDUP ... vii

UCAPAN TERIMAKASIH ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ...xi

DAFTAR GAMBAR ...xiv

DAFTAR GRAFIK ... xv

DAFTAR TABEL ...xvi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Kerangka Berfikir ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

E. Hipotesa ... 11

F. Metode Penelitian ... 11

G. Jangkauan Penelitian ... 12

G.1 Jangkauan Waktu ... 12

G.2 Jangkauan Bahasan ... 12

H. Sitematika Penulisan ... 13

BAB II : ISU PEMBATASAN DUKUNGAN DOMESTIK DALAM AoA A. Agreement on Agriculture ... 15

B. Aturan Domestic Support on Agriculture ... 17


(13)

xii

B.2 Blue Box ... 21

B.3 Green Box ... 22

C. Dampak Pembatasan Domestic Support on Agriculture di Negara Sedang Berkembang ... 24

C.1 Adanya proses liberalisasi yang radikal ... 25

C.2 Penurunan produktivitas neraca pertanian ... 25

C.3 Meningkatnya produk impor ... 26

C.4 NSB tidak mempunyai keunggulan komparatif ... 27

D. Dominasi Negara Maju Melalui AoA ... 27

D.1 Tarif tinggi tetap berlaku di negara maju ... 30

D.2 Domestic Support semakin bertambah bukannya menurun ... 30

D.3 Penerapan kebijakan yang tidak adil ... 31

BAB III : PENENTANGAN INDIA TERHADAP PEMBATASAN DOMESTIC SUPPORT ON AGRICULTURE DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG A. Gambaran Umum Pertanian India ... 36

B. Kepentingan India Menentang Aturan Domestic Support on Agriculture ... 40

B.1 Ketahanan Pangan ... 41

B.2 Pengentasan Kemiskinan ... 44

B.3 Mengimbangi Dominasi Negara Maju ... 45

B.4 Resistensi Peran WTO... 47

C. Penentangan India terhadap Aturan Domestic Support on Agriculture .... 48

C.1 Aksi Demo Petani 1999 ... 48

C.2 Aksi Demo Forum Petani India (Indian Kisan Sabha) 2001 ... 49

C.3 Doha Development Agenda ... 51

C.4 Pembentukan Kelompok Negara G-33... 53

C.5 Pembentukan Kelompok G-20 ... 57


(14)

xiii

BAB IV : RESPON WTO TERHADAP TUNTUTAN REFORMASI INDIA

A. WTO sebagai Rezim Perdagangan Global ... 65

B. Perubahan Sikap WTO dalam Pola Negosiasi Aturan Domestic Support on Agriculture ... 73

C. Respon WTO Terhadap Penentangan India dalam Bali Package 2013 ... 79

D. Kepentingan WTO Mengakomodasi Penentangan India ... 79

D.1 WTO Tidak Ingin Kehilangan Dukungan NSB ... 80

D.2 WTO Ingin Mentranfromasi Perannya dalam Tata Perdagangan Internasional ... 81

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 85


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 : Skema Agreement on Agriculture (Domestic Support) ... 19 Gambar 2. 2 : Pengelompokkan NSB ke dalam Kategori Boxes dalam skema


(16)

xv

DAFTAR GRAFIK

Grafik 2. 2: Perbandingan Jumlah Negara anggota WTO ... 28 Grafik 3. 1: Prosentase Jumlah Status Gizi Balita India ... 43


(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1: Perbedaan Negara Maju dan Negara Sedang Berkembang ... 29

Tabel 3. 1: Komoditas Produk Makanan dan Bukan Makanan ... 38

Tabel 3. 2: Komoditas Pertanian India... 39

Tabel 3. 3: Penurunan Hasil Panen India ... 42

Tabel 3. 4: Rasio Kemiskinan di India ... 44

Tabel 3. 5: Level Subsidi di Beberapa Negara (Juta $) ... 45

Tabel 3. 6: Level Domestic Support on Agriculture (Milyar $) ... 46


(18)

(19)

ASBTRAK

This article will throw light on the phenomenon of globalization that is

redefining the role of the State in international trade. As well, globalization

becomes a view that transformation of international trade regime-WTO- that is

something that might happen. Domestic support policy on agriculture led to the

onset of agriculture issues pressing the developing countries. The problem is

pushing India to demonstrate its opposition in any WTO meetings. This was

followed with the transformation of the paradigm of the WTO to consider the

interests of developing countries.


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membahas mengenai perekonomian internasional, isu globalisasi sering dikaitkan dengan adanya ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik antara negara maju dan negara sedang berkembang (NSB). Seiring dengan adanya fenomena

globalisasi yang menciptakan dunia yang ‘tanpa batas’, perdagangan bebas menjadi

salah satu bentuk dari hadirnya fenomena globalisasi. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari adanya peran World Trade Organization (WTO) yang merupakan satu-satunya rezim internasional yang mengatur perdagangan internasional yang terbentuk sejak tahun 1995 menggantikan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) (Kemenlu, 2016). Sebagai sebuah rezim internasional, WTO memilki dua sisi yang dapat memberikan keuntungan maupun kerugian bagi negara anggota. Peran WTO adalah sebagai pengendali utama perekonomian terutama perekonomian negara-negara sedang berkembang (NSB) yang mempunyai aturan-aturan mengikat bagi setiap negara anggotanya.

Dikeluarkannya aturan domestic support atau dukungan domestik dalam Agreement on Agriculture (AoA) 1 Januari 1995 merupakan usaha WTO untuk meminimalisir hambatan perdagangan bebas yang mungkin disebabkan oleh kebijakan dukungan domestik dalam bentuk subsidi pangan (Tobing, 2015). AoA merupakan suatu pakta yang bertujuan untuk melaksanakan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem


(21)

2

perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. AoA pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan perdagangan nasional dengan aturan internasional agar memberikan dorongan kuat untuk pertumbuhan sektor pertanian (Yuniarti, 2015).

Aturan domestic support atau dukungan domestik itu sendiri merupakan pengurangan campur tangan negara dalam menentukan perekonomian. Diungkapkan dalam artikel WWF, Agriculture in Uruguay Round: implications for Sustainable Development in Developing Countries” dalam Third World Resurgence No. 100/101 Dec. 98/Jan 99, The WTO, Agriculture and Food Security secara ringkas disebutkan bahwa, Pengurangan dukungan domestik, pengurangan total atas subsidi domestik yang dianggap “mendistorsi perdagangan” akan berkisar pada 20 persen dari AMS (Aggregate Measure of Support) dari acuan periode 1986-1988. Untuk negara berkembang pengurangannya sebesar dua per tiganya, yaitu 13.3 persen. Aturan ini tidak berlaku bagi negara yang AMS-nya tidak melebihi 5 persen (yaitu yang sedikit atau tidak menjalankan dukungan terhadap pertaniannya) atau untuk negara berkembang yang AMS-nya kurang dari 10 persen. Pengecualian diberikan untuk subsidi yang berdampak kecil pada perdagangan serta pembayaran langsung pada produksi yang terbatas. (Hasibuan, 2015). Dalam Persetujuan Bidang Pertanian dengan mengacu pada sistem klasifikasi HS (harmonized system of product classification) dijelaskan bahwa produk-produk pertanian didefinisikan sebagai komoditi dasar pertanian seperti beras, gandum, dan lain-lain, serta produk-produk olahannya seperti roti, mentega (Utama, 2010).

Mekanisme aturan AoA memiliki berbagai dampak bagi negara anggota WTO. Penyelesaian masalah peningkatan produktifitas pertanian pada dasarnya


(22)

3

tidak bisa secara sederhana diselesaikan dengan melakukan liberalisasi perdagangan terlebih lagi ketika mekanisme internasional lebih memihak kepentingan negara-negara maju dan meninggalkan negara-negara miskin dan berkembang (Yuniarti, 2015). Dalam kebijakan AoA ini dominasi WTO semakin kuat dengan banyaknya NSB bergabung serta meratifikasi persetujuan tersebut. Namun, kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan pertanian ini menunjukkan adanya implikasi bahwa AoA hanya ditujukan untuk penguasaan pasar pertanian oleh negara maju. Adanya implikasi tersebut membangun reaksi NSB bahwa AoA memiliki kelemahan dalam bersifat disinsentif bagi kebijakan pembangunan pertanian di NSB (Malian, 2015). Hal ini terlihat dari, pertama, akses pasar ke negara maju relative lebih sulit bagi NSB, karena sejak awal telah memiliki “initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi. Kedua, dengan kekuatan kapital yang dimiliki, negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi domestik yang tinggi. Ketiga, dalam AoA tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi NSB untuk melakukan penyesuaian tarif, yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan strategis perdagangan komoditas pertanian negaranya. Kekhawatiran terhadap perundingan pertanian selanjutnya menjadi tekanan bagi NSB untuk melakukan pembangunan ditengah dominasi WTO yang semakin kuat.

Dalam laporan Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2002 juga disebutkan bahwa selama 30 tahun terakhir telah terjadi kemajuan luar biasa dalam hal kemampuan dunia menyediakan pangan (pertanian) bagi seluruh umat manusia, tetapi secara absolut tingkat kekurangan pangan tetap tinggi (Kusumajati, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi implikasi adanya dominasi WTO dan


(23)

4

negara maju dalam distribusi produk pertanian. Keikutsertaan sebagian besar NSB dalam lingkaran WTO ini menimbulkan fakta bahwa banyak NSB yang tidak mampu bersaing dalam perekonomian internasional saat ini. NSB yang menempatkan sektor pertanian sebagai setor utama penopang perekonomian domestik justru menghadapi implikasi memilih untuk mengimpor komoditas pertanian dibandingkan dengan memproduksi. Hal ini sebagai dampak bahwa tidak mampunya NSB untuk mandiri dalam era liberalisasi ekonomi tanpa campur tangan negara.

Reaksi keras ditunjukkan oleh India yang menentang secara tegas kebijakan WTO tentang pembatasan subsidi petani di NSB. India merupakan salah satu NSB yang masih menempatkan komoditas pertanian sebagai bagian vital dalam perekonomian nasionalnya (Berutu, 2015). India merupakan negara sedang berkembang dengan subsidi pertanian terbesar di dunia (Tobing, 2015). Sektor pertanian dibutuhkan India untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduk India yang berjumlah besar, sejumlah kurang lebih 1,2 ribu juta jiwa.

Sejak dikeluarkan aturan domestic support dalam AoA, India tidak bisa memberikan subsidi yang sama besarnya ketika sebelum adanya kebijakan tersebut. AoA mensyaratkan semua negara yang bergabung dalam WTO untuk tidak memberikan subsidi bidang pertanian melebihi ketentuan yang sudah dikeluarkan. India merasa bahwa kebijakan tersebut tidak akan membantu NSB untuk dapat bersaing dengan negara maju dalam perekonomian internasional. India memandang kebijakan ini adalah sebuah manifestasi penguasaan WTO di NSB. Adanya penguasaan pasar pertanian oleh negara barat akibat adanya AoA tersebut menimbulkan aksi protes dari sejumlah aktivis Forum Petani India (Insian Kisan


(24)

5

Sabha) yang melakukan aksi protest terhadap WTO di Mumbai, Oktober 2001. Sebelumnya, ratusan petani India melakukan aksi protes terhadap kebijakan AoA di Jenewa ada Juni 1999. Seiring perkembangannya, sikap India ini kemudian dilancarkan dengan adanya keputusan pemerintah untuk menentang kebijakan pembatasan proteksi dan subsidi petani.

Bentuk perlawanan India dalam menentang pembatasan protesksi dan subsidi petani tidak berhenti pada sikap penentangan dengan aksi protes tersebut. Pemerintah India mengupayakan untuk adanya perubahan aturan WTO tentang subsidi pertanian. India tidak menentukan sikapnya untuk keluar dari WTO, namun India juga tidak sepenuhnya setuju dengan aturan yang diterapkan WTO. India dalam pertemuan WTO kemudian melancarkan aksi protesnya yang didukung oleh negara berkembang lainnya.India melihat bahwa aturan yang dijalankan oleh WTO tentang domestic support ini tidak mempunyai fleksibilitas yang cukup bagi negara berkembang. India menginisiasi adanya amandement ulang tentang aturan tersebut. Sejak tahun 2003, India meminta perubahan serta fleksibilitas pelaksanaan aturan domestic support bagi negara berkembang (Tobing, 2015).

Setelah melalui beberapa perundingan, India yang tetap menentang kebijakan WTO tersebut mendapatkan respon dari negara maju yang menyetujui klausul perdamaian dari India. Klausul tersebut merupakan jalan tengah untuk menjadi penyelesaian sementara. Klausul perdamaian atau peace clause ini merupakan mekanisme interim yang mengizinkan negara-negara berkembang untuk memberikan subsidi pangan secara fleksibel yang artinya negara berkembang akan dibebaskan dari tuntutan disiplin apabila subsidi dari total output produk


(25)

6

pertanian melampui de minimis 10%, sampai ditemukannya solusi permanen pada KTM WTO XI tahun 2017 mendatang (Tobing, 2015).

Penolakan India yang secara tegas diungkap dalam setiap pertemuan WTO ini membutuhkan waktu yang panjang untuk mendapatkan respon aktif dari negara maju. India yang diwakili oleh menteri industri dan perdagangannya, Anand Sharma, yang melaluinya, menunjukkan sikap tegas dalam menuntut perubahan pada aturan Domestic support dalam AoA khususnya bagi negara-negara berkembang (Tobing, 2015). Yang pada akhirnya pada tahun 2008, persoalan agriculture menjadi agenda utama pada pertemuan WTO pada tahun 2013 di Bali. Dimana dalam lima isu pertanian salah satu point menyebutkan “Sebuah klausul perdaiman sementara mengenai isu komoditas pedagangan dan subsidi pangan di

negara sedang berkembang” (Schnepf, 2014).

Keputusan WTO untuk menyetujui klausul perdamaian ini diterangkan pada Bali Agreement, 7 Desember 2014. Dimana dalam laporan Congressional Research Service menyebutkan bahwa “WTO mengesahkan kesepakatan tersebut setelah Amerika Serikat menyerah pada permintaan India mengenai isu keamanan pangan dan menyetujui klausul perdaimaian sementara untuk melindungi program subsidi pangan dari negara-termasuk makanan- di negara sedang berkembang” (Schnepf, 2014). Adapun akhirnya pada Bali Pakage 2013 klausul perdamaian yang berhasil disahkan adalah menaikkan angka de minimis dalam domestic support on agriculture dari angka 10 persen menjadi 15 persen selama empat tahun kedepan


(26)

7

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah “Mengapa World Trade Organization (WTO) mengakomodasi penentangan India terhadap aturan pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang?”

C. Kerangka Berfikir

Adapun kerangka berfikir yang digunakan adalah sebagai berikut: Transformationalist globalist

Dalam pandangan transformasionalis, globalisasi adalah proses historis yang panjang dari evolusi sistem sosial umat manusia. Globalisasi mencakup tidak hanya perdagangan, tetapi juga ekologi, kebudayaan, nilai-nilai, migrasi manusia dan etika. Globalisasi membawa hubungan internasional pada bentuk baru dalam strata antar bangsa yang memberi dampak bagi terciptanya hubungan-hubungan baru, munculnya aktor-aktor baru diluar negara serta munculnya peran-peran baru negara dalam hubungan internasional. Menurut Anthony Giddens kaum Transformationalis terdiri dari kaum globalisasi yang memunculkan fenomena “manufactured uncertainly” atau sebuah bangunan ketidakpastian, globalisasi yang mengantarkan manusia pada fase “high consequence risk” atau jaman yang penuh dengan resiko. Globalisasi yang memunculkan empat gugus utama dunia (kapitalisme, industrialism, pengawasan dan kekuatan militer).

Pandangan kaum transfomasionalis ini merupakan pandangan tengah antara dua pandangan tentang globalisasi lainnya, yaitu sceptic globalist dan hyperglobalist.Kaum skeptis berpandangan bahwa globalisasi merupakan sebuah


(27)

8

proses dominasi dari negara barat. Tidak ada keuntungan apapun dalam proses globalisasi ini, yang ada hanyalah kemenangan bagi perusahaan besar yang menyebabkan terjadinya zero sum game. Globalisasi merupakan sebuah mitos. Sedangkan disisi yang lain, kaum hiper global berpandangan bahwa globalisasi merupakan sebuah keuntungan. Globalisasi akan membawa damak positif bagi kehidupan. Kaum hiper berpandangan bahwa kapitalisme dan tekhnologi merupakan pengendali dari proses globalisasi. Namun, kaum skeptis memandang bahwa negara dan pasar yang menjadi pengendali globalisasi. Kaum transformasionalis menilai kombinasi dari kekuatan modernitaslah penggerang globalisasi. Sehingga aktor dalam prespektif transformasionalis adalah academia, universities dan think-tankgroup.

Menurut Joseph E.Stiglitz (Stiglitz, 2007), globalisasi memberi dampak besar terhadap perubahan peran negara, tetapi tidak menghilangkan sama sekali peran negara. Tansformasionalis berargumen bahwa globalisasi yang berlangsung saat ini menempatkan kembali kekuasaan dan fungsi pemerintahan nasional. Hanya saja, negara tidak lagi bersembunyi di balik klaim kedaulatan nasional. Kekuasaan negara dalam mengambil keputusan disejajarkan dengan hukum internasional dan lembaga global governance. Rezim internasional akan mempertimbangkan kembali peran negara dalam mencapai kesepakatan dalam kebijakannya. Transfromasionalis percaya bahwa globalisasi selain menjadi sebuah fenomena akan tetapi juga menjadi wadah bagi engara untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Hadirnya konsep kekuatan negara menengah atau middle power state menambah tekanan bahwa dalam rezim internasional kekuatan negara akan


(28)

9

semakin diperhitungkan. Seiring dengan berakhirnya perang dingin, menigkatnya pengaruh soft power, kemunduran dominasi negara – negara great power dan juga berkurangnya penggunaan hard power, konsep negara middle power mengalami peningkatan reputasi dalam ranah hubungan internasional. Middle power diartikan sebagai gagasan yang menghubungkan ukuran suatu negara dengan perilaku negara. Konsep middle power ini muncul pada tahun 1589 melalui Bartolous Sassoferato yang membagi dunia menjadi 3 kekuatan yaitu, kecil, sedang dan besar. Cooper menerangkan bahwa:

“Proposed that pursuing multilateral solutions to international problems, preferring compromise positions in international disputes and embracing notions of good international citizenship constitute the typical behavior of a middle power” (Cooper, 1993)

Kekuatan middle power state akan mencoba mengalisa peranan India yang menuntut adanya transformasi aturan dalam WTO. Sejalan dengan pandangan kaum transformasionalis yang percaya bahwa globalisasi akan mendefinisikan ulang peran negara sebagai akibat munculnya hirarki baru dalam hubungan internasional.. Dengan kekuatan diplomasinya, India mampu untuk menekan WTO mengesahkan klausul perdamaian yang diajukan. Kekuatan India dengan posisi tawar yang tinggi mendorong WTO untuk memperhitungkan kepentingan-kepentingan NSB.

Kerangka berifikir transfromasionalis ini digunakan untuk menganalisa sikap WTO yang cenderung akomodatif terhadap penentangan India. Pada dasarnya, WTO menginginkan adanya pasar bebas tanpa adanya campur tangan negara yang menentukan perekonomian. Akan tetapi, respon WTO yang mengakomodasi penentangan India terhadap domestic support on agriculture ini


(29)

10

menunjukkan sikap transformasionalis. Dimana, dalam pandangan transformasionalis, globalisasi akan mendefinisikan ulang peran negara dalam hubungan yang -tanpa batas- ini. Dalam pandangan transfromasionalis, globalisasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan akan tetapi adanya globalisasi harus dapat memberikan manfaat baik bagi masyarakat. Pasar bebas sebagai produk globalisasi harus mampu mendorong perkembangan ekonomi tanpa adanya ketimpangan (Joseph E.Stiglitz and Andrew Charlton, 2005).

Sehingga, penentangan India mendapatkan respon positif dengan adanya persetujuan WTO tentang klausul perdamaian yang diusulkan. Yang kemudian, sikap WTO ini mengarah akan adanya transformasi paradigm rezim pedagangan internasional seiring berkembangnya masalah pertanian yang tidak dapat secara sederhana diselesaikan tanpa ada campur tangan peran negara.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Suatu penelitian atau kajian ilmiah biasanya dilakukan untuk memberikan gambaran objektif mengenai fenomena persoalan tertentu. Adapun beberapa hal yang penulis harapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis alasan WTO merespon penentangan India terhadap pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang

2. Menganalisis proses penentangan India terhadap WTO tentang pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang


(30)

11

E. Hipotesa

Respon World Trade Organization (WTO) yang akomodatif terhadap penentangan India tentang aturan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang dalam pandangan transformasionalis disebabkan karena WTO tidak ingin kehilangan dukungan dari NSB sehingga mendorong WTO melakukan transformasi paradigma rezim perdagangan internasional.

F. Metode Penelitian

Penulis berupaya mengembangkan tulisan yang bercorak eksplanatif (Mas'oed, 1994), yang memberikan penjelasan tentang alasan WTO merespon tuntutan India untuk melakukan transformasi tentang aturan pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang perspektif transformasionalis. Penulis mencoba menganalisa proses India menuntut adanya transformasi aturan WTO tentang pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang dengan konsep middle power.

Dalam penulisan penelitian ini penulis menghimpun data lewat studi kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan ini merupakan teknik pengumpulan data lewat bacaan (general reading) dengan mengumpulkan materi tulisan lewat referensi buku-buku, artikel-artikel yang berhungan dengan kebijakan proteksi petani India, sikap penentangan India tengtang pembatasan domestic support on agriculture, dan respon WTO terhadap tuntutan transformasi aturan domestic support on agriculture serta sumber-sumber yang terkait dengan aturan, perjanjian, Undang-undang tentang hal tersebut. Beberapa literature yang penulis


(31)

12

miliki sendiri, dan meminjam dari berbagai perpustakaan yang ada. Penulis juga memanfaatkan fasilitas internet sebagai sumber data dan informasi lain.

Adapun mengenai analisis data, penulis menggunakan metode induktif (Mas'oed, 1994)atas berbagai materi tulisan dengan mencari hal-hal khusus yang tampak dari materi-materi yang dibaca. Beberapa data diperoleh dari banyak literatur yang penulis kumpulkan dan analisa dengan cara membandingkan serta melakukan seleksi data.

G. Jangkauan Penelitian

Penulisan skripsi ini mempunyai jangkauan penelitian yang dibatasi oleh: G.1 Jangkauan Waktu

Adapun jangkauan penelitian dalam penulisan skripsi ini dibatasi oleh waktu pada tahun 2001-2013. Tahun 2001 merupakan awal dari keterbukaan WTO terhadap negosiasi permasalahan dari setiap anggota dengan disahkannya Doha Development Agenda. Serta, pada tahun 2013 WTO menyetujui kalusul perdamaian sebagai respon penentangan India tentang hal tersebut. Akan tetapi, dalam penulisan ini juga akan membahas tentang penetapan AoA, serta penentangan India yang sudah dilakukan pada tahun sebelumnya.

G.2 Jangkauan Bahasan

Cakupan penjanjian Agreement on Agriculture (AoA) tahun 1995 dalam pilar Domestic Support. Sehubungan dengan adanya 3 pilar perjanjian dalam AoA tersebut. Adapun dipilihnya batasan pilar perjanjian ini di dasarkan oleh penyebab utama permasalahan pertanian bagi negara sedang berkembang


(32)

13

adalah adanya pembatasan domestic support. Adanya perubahan sikap WTO terhadap tuntutan NSB tentang domestic support menjadi fokus dalam penelitian ini. Sehingga laporan ini menenkankan analisa alasan-alasan WTO menyetujui adanya transformasi kebijakan domestic support on agriculture yang di inisiasi oleh India.

H. Sitematika Penulisan

Dalam proses penelitian ini, penulis ingin mengkategorikan pembahasan dalam beberapa bab, yaitu:

BAB I

Penulis akan memaparkan pendahuluan sebelum menjelaskan lebih jauh tentang analisa alasan WTO merespon tuntutan India untuk melakukan transformasi tentang aturan pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang. Bab I terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan teori, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesa, metode penelitian serta sistematika penulisan. Dengan demikian pembaca akan mengetahui mengapa respon WTO terhadap tuntutan India untuk melakukan transformasi tentang aturan pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang ini menjadi menarik dibahas.

BAB II

Bab II ini akan membahas tentang kebijakan World Trade Organization (WTO) tentang pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang dalam Agreement on Agriculture (AoA). Akan dibahas


(33)

14

lebih rinci tentang bagaimana WTO mendominasi negara sedang berkembang melalui kebijakan tersebut.

BAB III

Bab III akan membahas tentang insiasi India menentang aturan WTO tentang domestic support on agriculture. Akan dibahas lebih rinci tentang sikap penentangan India dalam setiap perundingan WTO, serta dibentuknya aliansi dukungan dari negara lain.

BAB IV

Bab IV berisi tentang respon WTO terhadap penentangan India tentang pembatasan domestic support on agriculture di negara sedang berkembang. Akan dibahas lebih rinci tentang alasan dan sikap WTO untuk memberikan fleksibilitas bagi NSB untuk ikut diperhitungkan dalam setiap perundingan WTO.

BAB V


(34)

15

BAB II

ISU PEMBATASAN DUKUNGAN DOMESTIK DALAM

AGREEMENT ON AGRICULTURE (AoA)

Di dalam bab ini akan membahas mendalam tentang Agreement on Agriculture dan pilar domestic support serta membahas tentang implikasi dari WTO dalam kerangka AoA yang memberikan dampak bagi NSB serta mendominasi NSB. Permasalahan pertanian menjadi pusat perhatian semua negara anggota WTO sejak disahkannya kebijakan Agreement on Agriculture yang bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan pertanian nasional dengan kebijakan internasional. Pertanian adalah kebutuhan yang sangat vital bagi manusia sehubungan dengan erat kaitan pertanian dengan ketahanan pangan di setiap negara di dunia. Sejak dikeluarkannya AoA yang dihasilkan dari serangkaian perundingan putaran Uruguay, aturan pertanian diterapkan oleh semua negara anggota WTO. Permasalah AoA ini semakin vital disebabkan oleh adanya ketimpangan jumlah negara maju dan negara berkembang sehingga munculnya implikasi adanya dominasi negara maju terhadap negara berkembang dalam bidang pertanian.

A. Agreement on Agriculture

Agreement on Agriculture atau Persetujuan Bidang Pertanian merupakan sebuah pakta yang bertujuan untuk melaksanakan refomasi kebijakan perdagangan dalam bidang pertanian untuk menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang berorientasi pasar. AoA dibentuk dalam kerangka liberalisasi perdagangan


(35)

16

komoditas pertanian dengan membuat kebijakan-kebijakan yang adil serta berorientasi pasar.

Disahkannya AoA yang juga diiringi dengan direalisasikannya GATT menjadi WTO, menempatkan WTO sebagai pengawas utama dalam pelaksanaan aturan AoA dengan secara ketat dapat menjatuhkan sanksi berat bagi negara-negara yang dianggap menentang aturannya. Sebagaimana dengan cita-cita dibentuknya GATT pertama kali yaitu merealisasikan pembentukan rezim perdagangan internasional WTO yang mengatur semua jenis perjanjian perdagangan global (Adolf, 2005).

Ciri terpenting dan khas dari penandatangan perjanjian AoA adalah

“penyesuaian” kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional (Hasibuan,

2015). Aturan-aturan serta kebijakan nasional domestik yang mengatur tentang komoditas pertanian yang berada dibawah yuridiksi pemerintah domestik dengan munculnya AoA mengalami pergeseran dibawah wewenang WTO sebagai pengatur dan pengawas kebijakan. Hal demikian merupakan dampak dari adanya semakin sempitnya kadaulatan nasional dengan adanya rezim internasional dalam era globalisasi ini. Sehingga, pemerintah serta masyarakat kehilangan kemampuan untuk menentukan pilihan dan perannya dalam kebijakan yang besinggungan langsung degan perdagangan pertanian. Fakta menyebutkan bahwa pertanian merupakan sektor vital yang sangat berpengaruh dalam kehidupan dan keberlangsungan hidup masyarakat.

AoA merupakan sebuah kebijakan yang telah diinisiasi sejak lama, sejak tahun 1948 – 1994 GATT mengadakan 7 (tujuh) putaran perundingan perdagangan


(36)

17

multilateral dengan tujuan memfasilitasi perdagangan internasional (Putra, 2016). Dari berbagai Putaran Perundingan Perdagangan, yang terpenting adalah Putaran Tokyo dan Putaran Uruguay (Hidayat). Putaran Tokyo telah gagal untuk menyelesaikan masalah utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai safeguard. Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non-tarif telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada (Jhamtani, 2005). Sementara putaran Tokyo telah gagal, putaran Uruguay yang memakan waktu dua kali lebih lama dari waktu yang ditetapkan yaitu tujuh setengah tahun, memberikan hasil nyata. Perundingan putaran Uruguay berhasil menetapkan peraturan AoA yang mengatur segala bentuk perdagangan pertanian.

B. Aturan Domestic Support on Agriculture

AoA yang terdiri atas 13 bagian dengan 21 Pasal yang dilengkapi dengan 5 Pasal Tambahan (Annex) dan satu lampiran untuk Annex ke-5, memiliki tiga pilar yaitu dukungan domestik, perluasan akses pasar, serta subsidi ekspor (Putra, 2016). Dukungan domestik menjadi sebuah pilar yang sangat sering diperdebatkan karena signifikansi dampak terhadap produksi pertanian dalam negeri yang sangat besar. Domestic support merupakan komitmen penting di dalam kerangka AoA yang berhubungan langsung terhadap perekonomian di negara sedang berkembang. Seiring dengan komoditas pertanian menjadi komoditas primer yang sangat berpengaruh terhadap Gross Domestic Product (GDP) di NSB.


(37)

18

Domestic Support ini sendiri muncul akibat riwayat kebijakan subsidi besar-besaran dalam industri pertanian yang dilakukan oleh negara-negara maju, yang pada saat perjanjian ini dinegosiasikan, telah banyak menyebabkan distorsi perdagangan khususnya perdagangan dalam produk pertanian (Rezlan Ishar Janie, 2008). Komitmen ini diperuntukkan tidak untuk melanggar segala bentuk subsidi pemerintah yang dialokasikan untuk produsen, akan tetapi komitmen domestic support on agriculture ini memiliki aturan-aturan yang lebih disiplin untuk mengatur besara subsidi yang diberikan sehingga tidak terjadi ketimpangan (Eva, 2014). Kepentingan WTO dalam membatasi besaran domestic support di setiap negara anggotanya sangat kuat dilihat dengan adanya aturan ketat serta sanksi yang keras bagi negara-negara yang melanggar komitmen tersebut. Komitmen ini tidak hanya ditujukan bagi NSB akan tetapi juga kepada negara maju dengan membedakan besaran pembatasan domestic support berdasarkan besaran AMS-nya.

Domestic support atau yang biasa disebut dengan subsidi pertanian di dalamnya mengatur bantuan-bantuan yang dapat dikategorikan sebagai Kotak Jingga atau Amber Box, Kotak Biru atau Blue Box maupun Kotak Hijau atau Green Box. Disamping itu juga terdapat Total Aggregate Measurement Support (AMS) yang menjadi tolak ukur pembatasan domestic support yang akan ditentukan sesuai dengan jenjangan AMS yang dikeluarkan setiap tahunnya. Berikut penjelasan singkat tentang domestic support on agriculture:


(38)

19

Gambar 2. 1 Skema Agreement on Agriculture (Domestic Support)

Sumber: World Trade Organization. The WTO Agreement Series: Agriculture. www.wto.org. Geneva 21, 2015 (World Trade Organization, 2015)

B.1 Amber Box (Kotak Jingga)

Di dalam Amber Box mengatur tentang semua subsidi domestik yang dianggap mendistorsi produksi dan perdagangan (Pasal 6 AoA). Subsidi dalam kategori ini adalah subsidi total yang dihitung dalam Aggregate Measurement Support (AMS). Definisi Aggregate Measurement of Support (AMS) di dalam Bagian I, Artikel I AoA adalah tingkat bantuan per tahun yang diberikan pada suatu produk pertanian yang mempertimbangkan atau

AoA

Market Acess

Domestic Support

Export

Competition Other Rules

Green Box

Blue Box

Development Box

Amber Box

De Minimis Limit Rules

Amber/ AMS Cut


(39)

20

berpihak kepada petani secara umum, dengan pengecualian program bantuan seperti tercantum pada Annex 2 perjanjian ini, yaitu:

i. bantuan yang diberikan pada tahun dasar, seperti tercantum dalam tabel di dokumen penunjang, yang juga ada di bagian IV dari jadwal negara anggota,

ii. bantuan yang diberikan pada tahun-tahun implementasi dan sesudahnya, yang dihitung sesuai dengan Annex 3 Perjanjian ini dengan data dari negara-negara yang bersangkutan sesuai dengan Part IV dari jadwal negara-negara anggota (Lokollo, 2007).

Di dalam kesepkatan pemotongan AMS ini dikategorikan dalam 3 jenis, yaitu pemotongan AMS bagi negara maju adalah 20-36 persen selama 6 tahun dimulai dari tahun 1995. Sedangkan negara sedang berkembang diharuskan memotong AMS sebesar 13,3 persen untuk waktu 10 tahun. Sedangkan negara-negara miskin tidak diharuskan untuk membuat pengurangan dalam bentuk apapun (Lokollo, 2007).

Terdapat tiga jenis dukungan yang masuk dalam Amber Box, akan tetapi dikecualikan untuk dikurangi, yaitu (WTO, 2003):

i. De minimis : tingkat dukungan yang dianggap tidak terlalu berpengaruh dan memiliki pengaruh minimum terhadap distorsi perdagangan komoditas pertanian. Untuk negara berkembang ditetapkan de minimis tidak boleh lebih dari 10 persen, sedangkan untuk negara maju ditentukan sebesar paling tinggi 5 persen. Sehingga, dukungan pemerintah dalam kasus ini tetap


(40)

21

diperbolehkan asalkan tidak melebihi tingkat de minimis yang telah ditetapkan.

ii. Dukungan domestik yang berkaitan dengan bantuan untuk mendorong pembangunan pertanian dan pedesaan di negara sedang berkembang, serta dukungan yang berkaitan utnuk mencegah penanaman tanaman narkotika dan sejenisnya.

iii. Bantuan-bantuan yang termasuk dalam Blue Box. Sehingga tidak terjadi decouple payment, yaitu bantuan yang di berikan pemerintah kepada petani tidak mempengaruhi hasil produksi (decoupling).

Hal ini mernunjukkan bahwa total pengurangan AMS memang seharusnya didasarkan pada jenjang pemberian AMS setiap tahunnya. Yang kemudian, dengan ini diharapkan bahwa keseimbangan pasar dapat terwujud.

B.2 Blue Box (Kotak Biru)

Blue Box adalah Amber Box dengan persyaratan tertentu yang ditujukan untuk mengurangi distorsi. Dukungan domestik yang biasanya dikategorikan sebagai Amber box akan dimasukkan ke dalam Blue Box jika hal tersebut juga menuntut dikuranginya produksi oleh para petani (Pasal 6:5 AoA) (Rezlan Ishar Janie, 2008). Bentuk dukungan domestik ini merupakan dukungan yang langsung berhubungan dengan tanah pertanian, dan ternak.

Subsidi yang pada kondisi normal ditempatkan dalam Amber Box akan berada pada Blue Box jika subsidi yang diberikan bertujuan untuk


(41)

22

membatasi jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani. Bentuk bantuan langsung (direct payments) seperti ini juga dapat memperoleh pengecualian dalam komitmen penurunan tarif. Kriteria bantuan langsung yang diberikan harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Lokollo, 2007):

i. Diperuntukkan bagi petani yang membatasi luas lahan dan tingkat produksi dari komoditas yang diusahakan (usahatani yang diusahakan pada luas lahan dan tingkat produksi yang tetap)

ii. Bantuan yang diberikan kurang lebih sebesar 85 persen dari nilai tingkat produksi yang tetap atau

iii. Bantuan yang didasarkan pada jumlah kepemilikan hewan ternak pada jumlah yang terbatas.

Seperti yang telah disebutkan, bahwa bantuan langsung dalam kategori Blue box ini tidak akan diberikan kepada petani maupun peternak yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah produktifitasnya (Lokollo, 2007). Blue box pada dasarnya merupakan bagian yang akan memperingan pengurangan domestic support.

B.3 Green Box (Kotak Hijau)

Green box merupakan kelompok subsidi yang tidak berpengaruh atau pengaruhnya sangat kecil terhadap perdagangan. Subsidi tersebut harus dibiayai oleh dari anggaran pemerintah (tidak dengan membebani konsumen dengan harga yang lebih tinggi) dan harus tidak melibatkan subsidi terhadap harga (Annex 2 AoA) (Rezlan Ishar Janie, 2008). Adapun


(42)

23

bentuk-bentuk domestic support dalam kelompok ini adalah sebagai berikut (WTO.org, 2010):

i. Pelayanan Umum (General Services) seperti research, pest and disease control, extension and marketing services, dan infrastructure

ii. Stock penyangga pangan (stockholding for food security) iii. Bantuan pangan dalam negeri untuk masyarakat yang

memerlukan (domestic food-aid for the needy)

iv. Pembayaran langsung terhadap produsen (direct payment to

producers that are “decoupled” from production)

v. Asuransi pendapatan dan program jaring pengaman sosial (income insurance and safety net programmes)

vi. Bantuan darurat (disaster relief)

vii. Program penyesuaian structural (structural adjustment programmes)

viii. Program bantuan lingkungan hidup dan bantuan daerah (environmental and regional assistance programmes)

Di dalam green box ini beban subsidi tidak boleh dibebankan kepada konsumen karena besarannya yang kecil. Green box juga memperbolehkan kebijkaan pembayaran langsung kepada produsen yang tidak mempengaruhi produksi, yaitu tidak terjadi decoupling. Meskipun demikian, terdapat dua pokok pengecualian domestic support dalam kelompok ini, yaitu (Lokollo, 2007):


(43)

24

i. Subsidi disalurkan melalui program pemerintah dengan menggunakan dana publik yang tidak melibatkan transfer dari konsumen

ii. Subsidi tidak mempunyai dampak pada pemberian bantuan harga kepada produsen.

C. Dampak Pembatasan Domestic Support on Agriculture di Negara Sedang Berkembang

Sekilas memang terlihat bahwa tujuan dari direalisasikannya AoA merupakan sebuah terobosan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan memacu pertumbuhan ekonomi di NSB sehingga terciptanya pemerataan ekonomi di semua negara anggota WTO. Martin Khor dalam bukunya (terjemahan) yang berjudul Globalisasi dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan mengatakan bahwa

pendekatan liberalisasi “pasar bebas” mendukung dilakukan-nya pengurangan atau

peniadaan peraturan negara atas pasar, membiarkan berkuasanya “kekuatan pasar

bebas”, serta hak dan kebebasan yang luas bagi perusahaan besar yang mendominasi pasar (Khor, 2002). Pernyataan tersebut dimaknai bahwa paradigma fenomena pasar bebas mampu memecahkan seluruh persoalan, yang termasuk di dalamnya adalah hambatan-hambatan ekonomi nasional. Dalam kenyataannya, ketetuan-ketentuan domestic support on agriculture dalam AoA yang cukup rumit

dan bersifat ‘tricky’ (memperdaya), sehingga muncullah dampak-dampak yang


(44)

25

NSB yang menempatkan sektor pertanian menjadi komoditas utama dalam tumpuan perekonomian menerima dampak yang kurang menguntungkan dari andanya skema pembatasan domestic support on agriculture yang dikeluarkan oleh WTO. Adapun dampak yang dialami NSB dari pembatasan domestic support on agriculture ini adalah:

C.1 Adanya proses liberalisasi pertanian yang radikal

Adanya pembatasan domestic support on agriculture adalah sebagai upaya untuk merunkan praktik-praktik distorsi yang terjadi dalam proses perdagangan komoditas pertanian. Hal tersebut membiaskan peran negara di dalam menentukan kebijakan. Sehingga, keseimbangan harga ditentukan oleh mekanisme pasar. NSB yang masih dalam tahap untuk mengembangkan komoditas pertaniannya kurang mampu untuk bersaing dalam liberalisasi pertanian yang diciptakan WTO. Sehubungan dengan hal tersebut, NSB dipaksa untuk masuk dalam liberalisasi yang cenderung tidak menguntungkan. Sistem domestic support dalam AoA berarti menyerahkan

nasib petani di NSB kepada “free-fight liberalism” yang berarti siapa yang

kuat, dia yang menang.

C.2 Penurunan produktivitas neraca pertanian

Tidak adanya campur tangan negara dalam menentukan kebijakan pertanian domestiknya, berdampak pada menurunnya produktivitas neraca pertanian. Hal ini dibuktikan dengan tidak mampunya NSB untuk bersaing dalam perdagangan bebas sehingga dengan adanya pembatasan domestic support produktivitas petani untuk mendapatkan hasil panen yang


(45)

26

maksimal. Semakin rendahnya surplus produksi pertanian berdampak pada semakin rendahnya neraca peroduksi pertanian domestik. Dengan liberalisasi pertanian, maka terjadi pergeseran kebijakan pangan yang sangat berdampak pada kondisi empat komoditi pangan utama, yakni beras, jagung, gula, dan kedelai (Hasibuan, 2015). Empat komoditas pertanian ini merupakan komoditas pokok dalam menentukan ketahanan pangan yang berdampak langsung bagi kelangsungan hidup masyarakat.

C.3 Meningkatnya produk impor

Meningkatnya komoditas impor yang masuk dalam pasar NSB adalah sebagai dampak dari menurunnya produktivitas neraca pertanian domestik. Mingkatnya produk impor ini juga untuk memenuhi kebutuhan domestik dan menyeimbangkan harga. Sebagai contohnya di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan nilai impor kopi tumbuh 54,86 persen sejak 2008 sampai 2012, dimana pada 2008 nilai impor kopi tercatat sebesar US$ 18,441 juta dan 2012 melonjak hingga US$ 117,195 juta. Disisi volume, impor kopi juga mengalami pertumbuhan sebesar 50,81 persen, dimana pada 2008 sebesar 7,5 juta kilogram dan tahun 2012 melonjak hingga 52,7 juta kilogram (Parapat, 2015) . Kuatnya perusahaan asing menjadikan perusahaan-perusahaan itu mampu bersaing dan mengalahkan petani domestik NSB.

Sehingga, diungkapkan juga oleh ketua umum Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Octa Muchtar dalam Seminar Pertanian dan WTO: Sektor Pertanian Dalam Menyongsong KTM V Meksiko, Gallery Hotel- Jakarta, 15


(46)

27

Agustus 2002, “Negara yang bergantung pada impor pangan akibat gencarnya arus liberalisasi pertanian akan menghadapi goncangan (shocks). Hal inilah yang ditakutkan dari pembukaan sektor pertanian secara global, yang pada akhirnya akan meningkatkan kompetisi suplai negara konsumen kaya di negara-negara maju melawan konsumen miskin di NSB.” (Hasibuan, 2015).

C.4 NSB tidak mempunyai keunggulan komparatif

Pembatasan domestic support yang terjadi mengakibatkan NSB yang belum tidak mampu bersaing dalam pasar internasional tidak mempunyai keunggulan komparatif. Hal ini juga menyebabkan tidak mampunya komoditas pertanian domestik bersaing dengan komoditas negara maju bahkan di pasar domestik sekalipun.

Dari uraian dampak diatas mengindikasikan bahwa ketimpangan yang terjadi ketika NSB melakukan pembatasan domestic support on agriculture. Aturan domestic support yang mengikat menyebabkan NSB tidak mampu bersaing. Peningkatan ekonomi yang di inisiasikan WTO pada awal mula pembentukan AoA akan sulit terjadi. Dampak yang dialami NSB ini akan terjadi dan menimbulkan adanya ketimpangan serata dominasi negara maju di NSB dalam bidang pertanian.

D. Dominasi Negara Maju Melalui AoA

Dalam keanggotaan WTO, jumlah negara maju lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah NSB. Dimana NSB merupakan mayoritas dari anggota WTO.


(47)

28

Adapun perbandingan jumlah negara maju dan NSB sejak awal WTO dibentuk adalah sebagai berikut:

Grafik 2. 1 Perbandingan Jumlah Negara anggota WTO (NSB dan Negara Maju)

Sumber: World Trade Organization 2016, Members and Observers (WTO, 2016)

WTO tanggal 29 Juli 2016 memiliki 164 negara anggota dengan negara maju, NSB, dan negara kurang berkembang sebagai anggota. Perbandingan NSB yang lebih banyak, merupakan sebuah pertimbangan WTO dalam menjalankan AoA. Dimana AoA sengaja dibentuk untuk meningkatkan daya saing NSB untuk meningkatkan produktivtas pertanian dalam skala global. Adapun dalam beberapa faktor, NSB sangat jauh tertinggal dibandingkan negara maju. Disetujiuinya AoA merupakan sebuah upaya untuk menyeimbangkan ketimpangan yang terjadi diantara negara maju dan NSB. Beberapa perbedaan antara negara maju dan NSB adalah sebagai berikut:

0 20 40 60 80 100 120

1996 2000 2004 2008 2012 2016 Negara Maju NSB

WTO


(48)

29

Tabel 2. 1 Perbedaan Negara Maju dan Negara Sedang Berkembang (NSB)

Parameter Negara Maju NSB

Dasar Sistem Pertanian Komersial Export Oriented

Penghidupan

Share of GDP 3% 26%

Kontribusi terhadap Devisa

8.3 % 27%

Masyarakat Petani 4 % 70 %

Orientasi Pasar Tinggi Lemah

Kapasitas Administrasi Tinggi Lemah

Sumber:Tabel oleh Green, D. and Priyadarshi, S. (2001) Proposal for a 'Development Box' in the WTO Agreement on Agriculture, CAFOD and South Centre, Oktober dan Kaukab, R., (2002) Presentation at Agriculture and WTO Seminar, Ministry of Commerce, Government of Pakistan, Islamabad, Agustus 2002 dalam www.ActionAid.org. (ActionAid, 2003)

Faktor tersebut menjadi landasan bahwa AoA dikeluarkan untuk menyeimbangkan persaingan pasar antara negara maju dan NSB dalam bidang pertanian. Akan tetapi kenyataan yang dihadapi berbanding terbalik. Sejak dikeluarkannya AoA untuk mengatur perdagangan komoditas pertanian tahun 1995, timbul sebuah implikasi ketimpangan perlakuan (treatment) WTO di negara maju dengan NSB. Adanya sebuah anggapan bahwa AoA lebih menguntungkan negara maju dan meniskreditkan kepentingan NSB.

Sepintas dalam beberapa hal, kewajiban NSB memang kelihatannya lebih ringan dibanding negara maju. Namun, dalam kenyataannya NSB justru menjadi bagian yang didominasi oleh kuatnya kemampuan negara maju bersaing di pasar global. Diharapkan bahwa negara maju dapat mengurangi proteksi domestiknya yang sangat tinggi, sehingga dengan demikian NSB dapat memanfaatkan peluang akses pasar yang tercipta (Lokollo, 2007). Namun kenyataannya tidaklah demikian


(49)

30

yang terjadi. Seperti yang tertera dalam beberapa argumentasi berikut ini (B. Hutabarat. E M. Lokollo, 2006):

D.1 Tarif tinggi tetap berlaku di negara maju

Tahun pertama berlakunya AoA, di Amerika Serikat (AS) masih berlaku tarif tinggi untuk gula, sebesar 244 persen, kacang tanah 174 persen, di MEE masih berlaku tarif daging sapi 213 persen, gandum 168 persen, di Jepang masih berlaku tarif gandum 353 persen; dan di Kanada masih berlaku tarif mentega 360 persen, telur 236 persen (Khor, 2003). Karena menurut perjanjian, negara maju tersebut hanya dihimbau untuk menurunkan tarifnya sebesar 36 persen rata-rata sampai tahun 2000, maka tarif-tarif tersebut masih tergolong tetap tinggi walaupun sudah diturunkan. Kenyataan demikian mengakibatkan produk-produk pertanian dari NSB tidak mampu bersaing dipasaran internasional. Produktivitas NSB yang sangat dibatasi kemudian tidak dapat bersaing secara seimbang di negara maju. Hal tersebut berakibat pada adanya dominasi negara maju yang kembali menguasai pasar pertanian dalam skema domestic support dalam AoA yang dikeluarkan oleh WTO.

D.2 Domestic Support semakin bertambah bukannya menurun

Walaupun dalam AoA diharapkan adanya penurunan Domestic Support pertanian, kenyataannya seluruh Domestic Support semakin bertambah. Meskipun negara maju diharapkan menurunkan tingkat AMS, akan tetapi pada kenyataannya hanya sebagian subsidi saja yang masuk dalam kategori AMS. Negara maju memanfaatkan pengecualian yang


(50)

31

terdapat dalam Blue box dan Green box untuk tidak menurunkan tingkat AMS-nya.

Sedangkan sebagian bentuk subsidi yang seharusnya masuk dalam kategori AMS dikeluarkan dari kategori ini dan dimasukkan di dalam kategori lain. Hal ini menyebabkan AMS menurun tetapi Total Domestic Support bertambah. Dengan kata lain, yang terjadi hanyalah pemindahan kategori subsidi, sehingga terlihat AMS menurun sesuai ketentuan, tetapi Total Support bertambah (seperti contohnya: Total Support Estimate dari 24 negara OECD naik dari AS$ 275,6 milyar pada 1986-1988 menjadi AS$ 326,0 milyar pada 1999) (OECD, 2000).

Hal ini memerlukan kajian yang mendalam untuk mendapatkan angka-angka subsidi terbaru sesuai data yang terbaru. Melalui kajian seperti ini, kita dapat melihat bagaimana negara maju berupaya memanfaatkan peluang-peluang dalam AoA untuk tetap dapat memberikan subsidi atau bantuan domestiknya atau memperjuangkan kepentingan negaranya, dan tetap dalam kerangka AoA tersebut, sementara NSB yang memang masih sangat minimal atau terbatas dalam bantuan domestiknya tidaklah dapat menaikkan batas bantuan domestiknya melampaui batas de minimis yang telah ada.

D.3 Penerapan kebijakan yang tidak adil

Negara maju wajib mengurangi bantuan dalam negeri kepada petani sebesar 20 persen dan subsidi ekspor 36 persen dalam masa 6 tahun, sedang NSB wajib mengurangi bantuan dalam negeri hanya sebesar 13,3 persen


(51)

32

dan subsidi ekspor sebesar 24 persen dalam masa 10 tahun. Namun, bila dikaji lebih dalam, sebenarnya, kewajiban itu tidak adil. Pada kenyataannya, NSB tidak memberikan ekspor subsidi, sedangkan bantuan dalam negeri yang diberikan oleh negara-negara maju sangat besar. Akibat tingginya subsidi yang diberikan oleh negara-negara maju terhadap para petaninya, maka impor pangan negara-negara berkembang pun jadi semakin meningkat. Padahal, dengan meningkatnya impor, jelas, semakin mengancam tingkat ketahanan pangan dari suatu negara (Hasibuan, 2015).

AoA kemudian menjadi celah bagi negara maju untuk melakukan dominasi di NSB. Hal tersebut ditujukkan dengan adanya permasalahan yang terjadi dalam implementasi aturan domestic support on agriculture ini. Banyaknya penyalahgunaan bantuan yang telah disepakati dalam pembagian kotak domestic support. Meskipun domestic support ditujukan untuk membangun perkembangan produktivitas pertanian disetiap negara anggota WTO, pada kenyataannya AoA membuka peluang untuk negara maju agar dapat megembangkan hegemoninya. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam proposal Amerika Serikat utuk melakukan perubahan kriteria yang termasuk dalam Blue Box, yaitu dengan menambahkan kriteria bentuk pembayaran langsung yag ditujukan kepada produsen. Namun, pada prakteknya pengembangan dari definisi ini mengizinkan diberikannya countercyclical payments dalam kerangka Blue Box (Lokollo, 2007). Proposal ini secara tegas mendapatkan penentangan, dengan adanya countercyclical payments dalam Blue Box maka hal ini akan berdampak langsung pada NSB. Dimana NSB


(52)

33

tidak lagi dapat mengembangkan produktivitas pertaniannya karena tidak mampu lagi bersaing dengan produk dari negara maju.

Selanjutnya, dalam skema Green Box yang mengatur tentang pembayaran yang tidak menyebabkan distorsi pasar atau menyebabkan distorsi yang sangat kecil. Dalam skema Green Box ini menjadi celah bagi negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk melakukan pergeseran bantuan yang semula masuk dalam Amber Box dan BlueBox kemudian dimasukkan dalam Green Box. Hal ini terlihat karena negara maju tidak terlalu diperhatikan bahkan seakan-akan dikecualikan dari komitmen AoA tersebut (Lokollo, 2007). Negara maju terutama UE dan AS sudah menyalahgunakan pemakaian Green Box. Begitu banyak subsidi yang dialihkan Green Box. Dari pergeseran kategori tersebut, menjadi peluang bagi negara maju untuk memberikan domestic support yang besar dalam bidang pertanian. Penelitian dari 4 LSM Internasional yaitu, ActionAid, Caritas, CIDSE dan Oxfam, 2005 (Lokollo, 2007) menghitung bahwa UE memberikan 50 milyar euro per tahun untuk Green Box, bila reformasi Common Agricultural Policy (CAP) diberlakukan pada tahun 2006-2007. Sementara AS melaporkan 50,7 milyar dollar AS pembayaran setiap tahun di dalam Green Box (Oxfam International, 2005).

Adapun gambaran dari pengelompokkan total pembatasan domestic support on agriculture dari 104 NSB anggota WTO ke dalam kategori boxex adalah sebagai berikut:


(53)

34

Gambar 2. 2 Pengelompokkan NSB ke dalam Kategori Boxes dalam skema Domestic Support on Agriculture

Sumber: FAO Commodity and Trade Policy Research Working Paper No. 45 (FAO, 2014)

Dominasi negara maju terhadap NSB ini kemudian menjadi masalah yang harus dihadapi NSB. Hampir 75 persen NSB menjadikan sektor pertanian sebagai pusat perekonomian. Yang kemudian adanya pembatasan domestic support on agriculture menjadikan NSB tidak mampu untuk bersaing dengan negara maju. Tujuan awal WTO dalam AoA tertuang dalam pilar domestic support disebutkan


(54)

35

bahw pembatasan domestic support adalah melimitasi adanya hambatan pertanian, sehingga terciptanya keseimbangan ekonomi yang ditentukan oleh pasar tanpa ada campur tangan negara. Akan tetapi, kenyataannya AoA dimanfaatkan oleh negara maju untuk melakukan dominasi terhadap NSB. Tidak ditemukannya kesepakatan dalam AoA, membawa pemerintah negara-negara berkembang untuk bergerak aktif memperjuangkan kepentingannya (Alifiyah, 2015).Perlakuan yang berbeda antara negara maju dan NSB yang seharusnya menguntungkan NSB justru dinilai tidak adil ketika negara maju mampu memanfaatkan peluang pilar pengecualian dalam konteks boxes AoA.


(55)

36

BAB III

PENENTANGAN INDIA TERHADAP

PEMBATASAN DOMESTIC SUPORT ON AGRICULTURE DI

NEGARA SEDANG BEKEMBANG

Pembatasan domestic support on agriculture dalam AoA menimbulkan mengharuskan semua negara anggota melakukan penyesuaian terhadap peraturan tersebut. Demikian juga dengan semua NSB yang harus mampu untuk mengikuti skema pembatasan domestic support on agriculture. India merupakan salah satu negara sedang berkembang (NSB) yang dengan kuat menentang adanya aturan pembatasan domestic support on agriculture yang tertuang dalam pilar kesepakatan bidang pertanian atau agreement on agriculture (AoA). Seiring dengan bergabungnya India menjadi salah satu anggota WTO sejak awal dibentuknya WTO, India wajib mengikuti keputusan yang disahkan oleh WTO. Dalam bab ini akan membahas mendalam tentang India, latar belakang India menentang adanya aturan domestic support on agriculture, serta aksi penentangan India terhadap aturan tersebut sampai pada disetujuinya aksi penentangan India oleh WTO. Kemudian, dalam bab ini akan dianalisa peran India dalam sistem perdagangan internasional.

A. Gambaran Umum Pertanian India

Dalam beberapa NSB maupun negara miskin, pertanian bukan hanya sebagai sebagai sumber Gross Domestic Product (GDP) namun juga sebagai


(56)

37

sebuah mata pencaharian utama, ketahanan pangan, juga kehidupan bagi sebagian besar penduduk domestik di negara tersebut. India, sebuah negara dengan penduduk terbesar kedua dengan pertanian sebagai komoditas utama dalam perekonomian.

Berdasarkan Prediksi dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dimuat dalam U.N. News Service menyebutkan bahwa “Penduduk dunia diproyeksikan akan mencapai 8,5 miliar pada 2030, 9,7 miliar pada 2050, dan 11,2 miliar pada 2100, demikian menurut laporan baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterbitkan 29 Juli 2015. Penduduk dunia saat ini berkisar 7,3 miliar jiwa dengan Jumlah Populasi India melampaui Tiongkok sebagai negara dengan penduduk

terpadat pada 2022” (U.N. News Service, 2015).

Dengan kondisi yang demikian, India harus mampu untuk memberikan jaminan ketahanan pangan bagi setiap penduduknya. Kehidupan India dengan komoditas pertaniannya sudah dimulai dari ribuan tahun yang lalu (Maravi, 2015). Pada awal mulanya, para penduduk India melakukan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan domestiknya yang cukup besar. Dari total tenaga kerja India, sebanyak 49 persen bekerja pada sektor pertanian (Berutu, 2015) . Para penduduk membentuk sebuah pasar hasil pertanian di setiap kota. Seiring dengan perkembangan waktu, hasil panen India yang melebihi kapasitas untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya kemudian di ekspor keluar negeri. Yang kemudian India menempatkan hasil pertanian sebagai sektor utama dalam pertumbuhan ekonomi domestiknya. Namun, Para petani India masih banyak yang menerapkan sistem pertanian tradisional dan sekitar 55 persen pertanian India bergantung pada air hujan (Berutu, 2015). Untuk mendukung sektor pertaniannya, pemerintah India


(57)

38

mengeluarkan dukungan domestik yang besar untuk mendukung petani agar mendapatkan hasil pertanian yang tinggi sehingga India mampu menjadi salah satu negara peng-ekspor hasil pertanian yang cukup tinggi.

Beras merupakan komoditas paling utama yang dihasilkan oleh petani India. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan tekhnologi, India mampu untuk men-supply komoditas pertaniannya sebagai komoditas ekspor. Adapun komoditas pertanian India adalah sebagai berikut:

Tabel 3. 1 Komoditas Produk Makanan dan Bukan Makanan

Makanan Produk (Biji-bijian, kacang-kacangan, rempah-rempah dan

minyak)

Bukan Produk Makanan

Chana / Gram, kacang kedelai / biji, Crude Palm Oil, Ketumbar / Dhaniya, Lada, Jeera (biji jintan), Cabe (Red Chili), Kunyit, Cardamom, Pala, Rape / Mustard Seed, Gandum, Beras, Jagung Pakan, Barley, Bajra, Jowar, kentang, gula, Gur, Coffee Rep Massal, Kopra, minyak kelapa, kacang-kacangan -Tur Dal (Arhar Dal), Tur (Arhar), urad (Mash), urad dal

Mentha Oil, benih Castor, Guar Gum, Kapas, Karet, rami mentah,

pemecatan, Bibit Isabgul, Benang, Rami Barang, benang benih bungkil / Kapasia Khali


(58)

39

Tabel 3. 2 Komoditas Pertanian India

Kelompok Komoditas Pertanian

Jenis Hasil Pertanian

Oil and Oil seeds

Biji seledri, Minyak Kopra (Coconut Oil), Bungkil Kopra (Coconut bungkil), Kopra /kelapa, Minyak kopra, Minyak biji kapas,Bungkil biji kapas, CPO Refined, Crude Palm Oil, Crude Palm Olive, Kacang tanah, Minyak kacang tanah, Kacang tanah bungkil, Biji rami, Minyak biji rami, Biji rami bungkil, Minyak Mustard, biji Mustard bungkil, Biji Mustard, RBD Palmolein, Beras Bran, Rice Bran Oil, Rice Bran bungkil, Wijen, Minyak wijen, Wijen bungkil, Kedelai, minyak kedelai, Kedelai, Minyak Bunga Matahari, Minyak Biji Bunga matahari,Benih bunga matahari, Minyak Jarak, Benih jarak, biji kapas

Bumbu Kapulaga, Jeera, Lada, Cabe, Kunyit, Pala, Jahe, Cengkeh, Kayu Manis, Sirih kacang-kacangan, Adas manis

Kacang-kacangan Chana, Masur, Peas Kuning, Tur Dal (Arhar Dal), Tur (Arhar), urad (Mash), urad dal, Gram Dal, Mung Dal

Sereal (Food Grains)

Jagung, Gandum, Arhar Chuni, Bajra, Barley, Gram, Guar, Jowar, Kulthi, Lakh (Khesari), Moth, Mung, Mung

Chuni, Peas, Ragi, beras atau Paddy, Kecil Millets (Kodan Kulti, Kodra, Korra, Vargu, Sawan, Rala, Kakun,

Samai, Vari & Banti)

Perkebunan Kacang Mete, Kopi (Robusta), Karet

Fibersand Manufactures

Benang sutera, Benang Pakaian, Benang polong, Benang Yarn, Benang India, barang Rami (Hessian dan pemecatan dan kain , tas, benang ikat, benang yang diproduksi oleh salah satu pabrik atau produsen lain dalam bentuk apapun yang terbuat dari goni), Kapas, Rami Baku Termasuk Mesta, Benang Serat Staple

Lain-lain Mentha Oil, Kentang (Agra), Kentang (Tarkeshwar), Gula M-30, Gula S-30

Sumber:FMC, (www.fmc.gov.in) dalam (Maravi, 2015)

Dalam kategorisasi komoditas pertanian India, dikategorikan dalam dua bagian yaitu komoditas yang mudah tumbuh, dan komoditas yang sulit tumbuh


(59)

40

dengan kata lain harus mendapatkan perlakuan yang lebih dibandingkan komoditas yang mudah tumbuh. Contoh dari komoditas yang mudah tumbuh adalah jagung, gandum, beras, dan lain sebagainya, Sedangkan komoditas yang sulit tumbuh adalah komoditas seperti minyak.

Agriculture merupakan sektor yang menenuhi sarana utama kehidupan lebih dari 70 persen dari populasi penduduk India (Maravi, 2015). Dan ini menyumbangkan lebih dari seperlima dari GDP dan 10 persen dari total pendapatan ekspor. Hal ini merupakan salah satu keunggulan dari India. India menjadi salah satu produsen pertanian terbesar diantara negara anggota WTO lainnya. Namun, fluktuatif pendapatan hasil pertanian di India tidak dapat dipisahkan dari besarnya domestic support yang dikeluarkan pemerintah India untuk mengawasi serta mengontrol kestabilan harga komoditas pertanian domestik. Kestabilan harga ini tentunya akan berdampak pada potensi ekspor yang berlangsung.

B. Kepentingan India Menentang Aturan Domestic Support on Agriculture

Skema Domestic support dalam Agreement on Agriculture oleh WTO mempunyai pengaruh yang signifikan pada setiap negara anggota yang menjadikan agriculture sebagai komoditas utama dalam pilar perekonomiannya. Termasuk juga India, skema domestic support on agriculture ini mendorong kemandirian sektor pertanian India tanpa ada campur tangan dari pemerintahan negara. Akan tetapi, domestic support on agriculture ini dinilai tidak menguntungkan bagi NSB. Adanya dominasi dan juga hegemoni dari negara maju lewat skema ini menimbulkan reaksi


(1)

14

domestic support on agriculture di NSB dengan membawa aliansi kelompok G-33 serta diplomasi ketat terhadap negara maju dalam kelompok G-20. Kebutuhan ini bertolak belakang antar negara maju. . Meskipun dalam Bali Package hanya mewakili 10 persen dari 19 isu yang diangkat dalam DDA namun dalam beberapa media internasional seperto European Daily, Xin Hun, Asia Times, Channel New Asia, The Mirror, dan Helsinki Times menyebutkan bahwa KTM kesembilan WTO di Bali dan Bali Package sebagai hasilnya, merupakan

sebuah “Accord” yaitu sebuah kesepakatan yang memberi nafas dan arah baru bagi WTO dan perundingan selanjutnya (Pambagyo, 2016).

Respon WTO yang menolak putusan negara maju untuk menentang klausul perdamaian yang di ajukan oleh India membawa NSB memiliki ruang fiskal yang sedikit lebih luas. Negara maju (AS dan UE) akhirnya menyerah kepada India dalam perundingan WTO sehingga menyetujui permintaan India untuk menaikkan domestic support on agriculture dari angka 10 persen menjadi 15 persen selama empat tahun kedepan (Yogi, Tanpa Tahun). Dengan adanya keputusan tersebut, menjamin NSB untuk menyelesaikan masalah

pertanian, ketersediaan pangan dan kemiskinan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negaranya. NSB mempunyai fleksibilitas dalam bidang domestic support yang sedikit lebih longgar, bertolak belakang dengan keadaan negara maju yang telah memberikan subsidi besar pada pertanian sehingga dituntut untuk mengurangi subsidi secara drastis untuk menjaga keseimbangan pasar.

Momentum ini bukan hanya sebagai pencapaian yang memuaskan bagi India, akan tetapi juga sebagai ujung dari perubahan transformasi kebijakan WTO yang sebelumnya diskriminatif terhadap NSB. WTO kembali untuk menempatkan peran negara dalam penerapan kebijakan yang telah disepakati. Dengan memberi definisi baru bagi negara dalam perdagangan internasional.

Terbukanya WTO dengan problematika yang dihadapi NSB memperlihatkan adanya kepentingan WTO di balik hal tersebut. Melalui konsep transformationalist globalist, keputusan WTO ini didasari oleh dua kepentingan, yaitu WTO tidak ingin kehilangan dukungan dari NSB serta WTO ingin mentranformasi perannya dalam tata perdagangan internasional.


(2)

15 1. WTO Tidak Ingin Kehilangan

Dukungan NSB

Dihadapkan pada kepentingan mayoritas negara anggota, WTO mulai untuk memberikan kesempatan negosiasi masalah yang selama ini terjadi pada NSB. Masuknya permasalahan pertanian akibat dari tuntutan India untuk mengadakan tranformasi aturan kebijakan domestic support on agriculture mengindikasikan

bahwa peran negara mulai

dipertimbang. Dalam pandangan transformationalist globalist

menyebutkan bahwa “Globalisasi akan

mendefinisikan ulang tentang peran

negara” (Stiglitz, 2007). Sama dengan pernyataan tersebut, WTO sebagai produk globalisasi sekarang telah memberikan fleksibiltas bagi negara untuk berperan menentukan arah perdagangan mereka.

India dengan sikap tegasnya menentang aturan WTO, kembali mendapatkan kesempatan untuk turut andil menentukan perdagangan domestiknya. Kekuatan India yang menjadi negara middle power mulai diperhitungkan seiring dengan India mempunyai posisi tawar yang besar. Ditambah dengan NSB seperti China, Korea Selatan, Brazil, dan Indonesia

yang didaulat menjadi negara dengan kekuatan baru yang mempunyai posisi tawar yang cukup diperhitungkan dalam dunia internasional (Bary, 2013).

2. WTO Ingin Mentransformasi Perannya Dalam Tata Perdagangan

Kaum transformasionalist memandang secara kritis dan objektif bahwa fenomena globalisasi memiliki potensi yang besar dalam mencapai kesejahteraan, namun juga globalisasi merupakan janji-janji yang tidak pasti apabila tidak dilaksanakan secara baik (Sasmita, 2015). Berjalannya WTO seharusnya berpaku pada prinsip-prinsip yang melekat pada awal di cita-citakannya pembentukan untuk mengatur perdagangan internasional. Seiring dengan berjalannya WTO mengatur lalu lintas perdagangan global, independensi WTO seakan menjadi

‘semu’ dengan anggapan bahwa WTO

merupakan rezim yang hanya mementingkan negara maju sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan.

Keputusan yang ditetapkan WTO dalam Bali Package menimbulkan sebuah fakta, bahwa WTO ingin mentransformasi perannya dalam tata perdagangan Internasional. Terbukti


(3)

16

dengan ditegaskannya kembali prinsip-prinsip WTO. Akan tetapi WTO mempertimbangkan agar kebijakannya dapat menjadi sebuah kebijakan yang membangun dan menerapkan pedoman Positive Sum Game yang diungkapkan oleh Adam Smith (Suhardi, 2007).

WTO ingin mentransformasi perannya kembali pada tujuan awal dibentuknya WTO, yaitu menciptakan perdagangan yang adil, transparant dan bijaksana. Hal itu terbukti dengan pertama, kembalinya prinsip non diskriminasi pada WTO. Selama WTO

menjalankan perannya, WTO

melakukan banyak diskriminasi terhadap NSB yang mempersempit kesempatan NSB untuk turut dalam perumusan kebijakan serta negosiasi yang dilakukan WTO. Prinsip non diskriminasi kemudian ditransformasi menjadi equality as equality of fair opportunity (Rawis, 1973).

Kedua, prinsip mendorong persaingan yang adil kembali ditekankan. Pada awalnya, persaingan antara negara maju dan NSB sangat didominasi oleh negara maju. NSB tidak mempunyai kesempatan yang sama apalagi mempunyai keseimbangan persaingan dengan negara maju. Sehingga, dengan diterapkannya

kebijakan Bali Package 2013 diharapkan mampu untuk menjadi sebuah dorongan untuk mendapatkan persaingan perdagangan yang adil.

Ketiga, pengkhususan perlakuan WTO terhadap negara maju kemudian dibatasi. Hal tersebut dilandasi pada bentuk transformasi peran WTO untuk

mendorong pembangunan dan

pertumbuhan ekonomi, bukan lagi menjadi rezim yang dikontrol oleh negara maju. Disahkannya Doha Development Agenda dan tidak adanya perpanjangan klausul perdamaian kepada AS dan Uni Eropa merupakan bentuk bahwa WTO concern terhadap perkembangan perekonomian di NSB.

Keempat, perubahan komposisi dalam forum green room menunjukkan bahwa WTO kembali menerapkan prinsip transparansi. Dengan bergabungnya India, Brazil, dan China dalam perundingan forum green room merupakan sebuah langkah awal bahwa WTO ingin menerapkan sistem transparan terhadap setiap anggota WTO.

Momentum Doha Development Agenda yang berujung pada disetujuinya Bali package 2013 merupakan sebuah pembuktian bahwa WTO telah mampu mengakomodasi kepentingan NSB yang


(4)

17

sangat kompleks demi terciptanya perdagangan internasional yang memicu adanya pertumbuhan ekonomi tanpa adanya diskriminasi.

KESIMPULAN

Didasarkan pada pandangan kaum transfromasionalis, transformasi tata perdagangan internasional yang dilakukan oleh WTO merupakan sesuatu yang mungkin terjadi. Penelitian ini telah memaparkan sebuah proses perubahan paradigma yang penting dalam perjalanan WTO sebagai rezim perdagangan global. Transformasi WTO tersebut merupakan sebuah kejanggalan ketika sebuah rezim perdagangan global yang menerapkan sistem liberal bersedia untuk mengakomodasi kepentingan negara yang dalam posisi mempunyai kekuatan menengah atau middle power state. Hasil penelitian ini berangkat dari reaksi India sebagai salah satu NSB yang menentang adanya aturan pembatasan domestic support on agriculture. Dengan adanya keputusan pada Bali Package 2013,yaitu dengan menaikkan standar de minimis dari 10 persen menjadi 15 persen bagi NSB menunjukkan bahwa dengan kekuatan diplomasi serta posisi tawar yang diperhitungkan, India bukanlah negara

peripheral akan tetapi telah menjadi negara yang memiliki kekuatan middle power.

Keputusan Bali Package 2013 menyatakan bahwa WTO telah mendefinisikan ulang peran negara dalam tata kelola perdagangan internasional. Pandangan kaum transfomasionalist globalist berhasil diterapkan dalam menganalisa perubahan sikap WTO. Kini, WTO tidak hanya kepanjangan kepentingan negara maju akan tetapi telah kembali menerapkan prinsip untuk menjadikan perdagangan bebas sebagai sarana agar terciptanya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tidak ada diskriminasi.

DAFTAR PUSTAKA

ActionAid. (2003). The WTO Agreement on Agriculture. Retrieved from www.actionaid.org. Bary, P. (2013, April 26). Prospek

Perdagangan Indonesia, Cina dan India melalui Analisa Gravity Model. Retrieved from www.kemendag.go.id: http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2 013/04/26/-1366943584.pdf

Cooper, A. F. (1993). Relocating Middle Powers: Australia and Canada in a Changing World Order. Vancouver: UBC Press.

Goverment of India. (2013). Statement of Shri Anand Sharma in Parliament on the 9th Ministerial Conference of WTO at Bali. India: Press Information Bureau. Hasibuan, A. I. (2015). Kebijakan Pangan


(5)

18 Agriculture. Jurnal Kajian Politik dan

Masalah Pembangunan 1633 Vol.11 No.01.

Kemenlu. (2016). World Trade Organization (WTO). Retrieved from

Kemenlu.go.id:

http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/k erjasama-multilateral/Pages/World-Trade-Organization

Lokollo, E. M. (2007). bantuan Domestik (Domestic Support) Salah Satu Pilar Utama Perundingan Pertanian Pada WTO. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol 5.

Pambagyo, I. (2016, 12 05). Pelajaran dari KTM WTO di Bali. Retrieved from bsn.go.id:

http://bsn.go.id/main/berita/berita_det/ 4951#.WET7oJNqLrY

Planning Commission of India. (2011). The Human Development Report: Towards Social Inclusion. New Delhi: Oxford University Press.

Putra, A. K. (2016). Agreement On Agriculture dalam World Trade Organization. Jurnal Hukum & Pembangunan 46 No.1 .

Rawis, J. (1973). The Theory of Justice. New York: Oxford University Press. Rezlan Ishar Janie, A. S. (2008). Persetujuan

Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA). Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindutrian, Investasi, dan HKI. Direktorat Jenderal

Multilateral Department Luar Negeri. Sasmita, S. (2015). Refomasi Sturktur

Perdagangan INternasional dalam WTO:Perspektif Joseph E. Stiglitz. Jurnal Hubungan Internasional UMY, 198.

Sawit, M. H. (2008). Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO: Implikasi buat India. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Schnepf, R. (2014). Agriculture in the WTO Bali Ministerial Agreement.

Congressional Research Service (p. 2). CRS Report.

Shin, D.-m. (2012). Concept of Middle Power

and the Case of the ROK: A Review’,

Korea Yearbook 2012: Politics, Economy and Society. Netherlands: Brill.

Stiglitz, J. E. (2007). Making Globalization Work. London: Penguin Books. Suhardi, G. (2007). Peran WTO dalam

Pembentukan Peraturan Perdagangan Internasional. Jurnal Hukum Pro Justisia volume 25.

Tobing, E. R. (2015). Kepentingan India Meminta Amandemen Aturan Domestic Support dalam Agreement on Agriculture pada KTM WTO IX 2013. JomFISIP Volume 2,

UNIVERSITAS RIAU, 2.

U.N. News Service. (2015). Jumlah Penduduk Dunia akan Mencapai 8,6 Miliar pada 2030, kata P.B.B. Jakarta: Indo-Asia-Pacific Defense Forum.

Utama, M. N. (2010). Diplomasi Indonesia. FISIP UI .

Utama, M. N. (2010). Diplomasi Indonesia dalam perundingan Doha

Development Agenda WTO. FISIP UI. Wirjawan, G. (2016, 12 04). KTM WTO ke-9

dan Paket Bali. Retrieved from Kemendag.go.id:

http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2 013/12/17/ktm-wto-ke-9-dan-paket-bali-id0-1387252576.pdf

WTO. (2016, 11 03). AGRICULTURE NEGOTIATIONS:

BACKGROUNDER. Retrieved from www.wto.org:

https://www.wto.org/english/tratop_e/a gric_e/negs_bkgrnd13_peace_e.htm WTO. (2016, 12 05). Understanding the

WTO:Principles of the Trading System. Retrieved from WTO.org: HTTP://www.wto.org/english/thewto_ e/whatis_e/fact2_e.htm

Yogi, C. D. (Tanpa Tahun). Ratifikasi Paket Bali Oleh India dalam Konferensi World Trade Organization (WTO) 2013. Jurnal Hubungan Internasional UNEJ, 9.


(6)