Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Rachmatsyah Akbar 1111048000038

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 84 halaman + 6 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian kasus sengketa

perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui Dispute Settlement

Body yang berada dibawah naungan World Trade Organization. Skripsi ini juga

bertujuan untuk untuk melihat prospek penyelesaian kedepannya kasus sengketa ini dililhat dari kasus serupa pada kasus sebelumnya. Kasus serupa yang dimaksud

adalah kasus sengketa rokok antara Indonesia dengan Amerika perihal clove

cigarette. Latar belakang pada skripsi ini adalah gugatan Indonesia terhadap Australia melalui WTO, dikarenakan Australia telah membuat kebijakan

mengenai Tobacco Plain Packaging Act yang dirasa merugikan Indonesia.

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu melalui penelitian yuridis normatif, dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi objek penelitian. Metode yang penulis gunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dan juga melakukan wawancara dalam hal memperoleh data. Hasil penelitian dari skripsi penulis adalah peran negara diperlukan untuk mengambil langkah atau sikap dalam menyelesaikan konflik dengan negara lain. Peran yang dimaksud disini adalah peran awal atau yang sering digunakan pertama kali apabila masalah mulai muncul, yaitu melalui diplomasi. Diplomasi merupakan komunikasi diluar litigasi yang bertujuan untuk saling berkomunikasi melalui hubungan bilateral. Dalam hasil penelitian ini penulis juga mencoba untuk melihat prospek kedepan penyelesaian sengketa ini di WTO, penulis berada pada posisi pro pemerintah Indonesia, dikarenakan ada berbagai argumentasi yang penulis buat, salah satunya adalah bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.

Kata Kunci : WTO, Penyelesaian Sengketa, Rokok, Diplomasi,

Australia

Pembimbing : 1. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum

2. Fitria, SH., MR


(6)

v

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “PERAN NEGARA DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL (Studi

Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World

Trade Organization)”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Asep Syarifudin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Abu Tamrin, SH., MH. selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum. dan Fitria, SH., MR., selaku dosen

pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.


(7)

vi

pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis.

5. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda H. Zakaria Sarong dan Ibunda

tersayang, Hj. Yumanih. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi, dukungan, doa, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata satu Perguruan Tinggi Negeri. Begitu pula untuk kakak-kakak penulis, terima kasih atas segala dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan.

6. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 Nevo Amaba,

Ilyas Aghnini, Fanny Fatwati Putri, Hilda Israa dan yang lainnya, yang selalu mewarnai kehidupan di bangku perkuliahan selama delapan semester ini.

7. Terimakasih kepada pihak Kementerian Perdagangan R.I dan Kedutaan

Besar Australia, atas kebersediaannya melakukan wawancara terkait skripsi penulis.

8. Pihak perpustakaan Kemendag, UI, dan UIN Jakarta, terima kasih karena

telah menyediakan buku-buku yang lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari referensi buku yang dibutuhkan.


(8)

vii

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 23 September 2015


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN………....……... ii

LEMBAR PERNYATAAN………. iii

ABSTRAK………... iv

KATA PENGANTAR………....……... v

DAFTAR ISI………... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...…. 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu...………... 10

F. Metode Penelitian...……...………. 12

G. Sistematika Penulisan...………...………... 14

BAB II KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Penyelesaian Sengketa Internasional...……….... 17

B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai... 20

C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional... 25

D. Tanggung Jawab Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Umum ………... 38


(10)

ix

A. World Trade Organization…... 41

1. Sejarah Singkat GATT dan WTO ………....…... 41

2. Fungsi WTO ………...…………... 42

3. Struktur WTO…………...………... 43

4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO.………... 44

5. Ruang Lingkup Pengaturan WTO ………...……50

B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa ………... 51

C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa ……… 52

1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sebagai Bagian dari Pengawasan Internasional ……….52

2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO ………….54

BAB IV. ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL STUDI KASUS GUGATAN PERDAGANGAN ROKOK INDONESIA TERHADAP AUSTRALIA MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia…...……… 60

B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika Dengan Indonesia – Australia ……… 65


(11)

x

B. Saran……….………...80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana manusia, negara adalah entitas yang saling membutuhkan. Kebutuhan negara secara garis besar yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik, kedua sektor ini memiliki peranan yang penting demi kemakmuran dan kemajuan sebuah negara.Kebutuhan ekonomi ditujukan untuk mensejahterakan rakyat agar dapat memiliki penghasilan yang cukup untuk keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Kemudian kebutuhan politik diperlukan untuk menjembatani jalannya kebutuhan ekonomi itu sendiri, sebab tidak mungkin sebuah negara menjalani sistem perekonomiannya dengan sendiri tanpa adanya bantuan dari negara lain. Negara butuh kerjasama atau hubungan dengan negara yang lain agar apa yang menjadi kebutuhan di dalam negaranya dapat tercapai. Salah satu hubungan untuk meningkatkan perekonomian yaitu melalui hubungan perdagangan yang merupakan sektor paling mumpuni untuk meningkatan perekonomian, tentu saja apabila neraca perdagangan ekspor dan impor dijalankan dengan baik dan benar.


(13)

Hubungan antar negara merupakan sebuah landasan dari adanya hubungan perdagangan itu sendiri. Hubungan antar negara disebut juga dengan hubungan internasional, yaitu interaksi manusia antarbangsa baik secara individu maupun kelompok, dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan dapat berupa persahabatan, persengketaan, permusuhan ataupun peperangan.

Seperti kebanyakan sistem sosial lainnya, hubungan internasional dapat

memiliki keuntungan dan kerugian tertentu bagi para partisipasinya.1 Hubungan

internasional didasarkan atas politik bebas aktif seperti yang tertuang di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Politik bebas aktif bukan hanya sekedar dalam ruang lingkup politik saja, melainkan hubungan-hubungannya yang lain, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu praktik hubungan internasional yaitu dengan melakukan perdagangan antar negara, setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan dalam sumber dayanya, oleh sebab itulah mereka saling membutuhkan antara satu sama lain, hal ini dilakukan dengan cara impor dan ekspor.

Salah satu tujuan dari adanya perdagangan internasional yaitu untuk

meningkatkan pendapatan (income) dalam negeri itu sendiri. Proses

perdagangan internasional ini tidak semata-mata sederhana atau mudah, melainkan harus ada suatu perjanjian antara negara yang bersangkutan, baik

1

Robert Jackson & George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 2.


(14)

dalam lingkup bilateral, multilateral, unilateral, dan maupun regional. Dari proses pejanjian ini muncul yang namanya kesepakatan-kesepakatan, misalnya traktat, konvensi, aturan organisasi perserikatan bangsa-bangsa dan lain sebagainya.

Untuk mendapatkan kepastian hukum itu sendiri, munculah hukum internasional. Hukum internasional merupakan hukum yang berlaku secara universal sebagai regulasi internasional. Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum

internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, vatikan, belligerency,

merupakan contoh-contoh subjek non negara.

Hukum internasional dan hubungan internasional dilakukan dan dilaksankan oleh subjek hukum internasional yaitu negara. Negara adalah persekutuan bangsa dalam satu daerah tertentu batas-batasnya yang diperintah

dan diurus oleh badan pemerintahan yang teratur.2 Negara sebagai suatu subjek

memiliki peranan atau fungsi secara garis besar yaitu membuat Undang-Undang

(legislatif), menjalankan Undang-Undang (eksekutif), dan mengawasi

pemerintah (yudikatif).

Penulis dalam proposal skripsi ini menekankan pada pembahasan peranan negara dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Penulis

2

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen (Jakarta: Pustaka Amani, 2006), h. 267.


(15)

mengambil contoh peranan negara terhadap penyelesaian sengketa perdagangan internasional rokok yang diajukan Indonesia terhadap Australia melalui WTO (World Trade Organization) / Organisasi Perdagangan Internasional).

Dalam penyelesaian kasus perdagangan internasional ada sebuah lembaga

yang menangani soal sengketa ini, yaitu lembaga yang terdapat di badan World

Trade Organization (WTO) / Organisasi Perdagangan Internasional, yang

bernama Dispute Settlement Body (DSB). Salah satu peranan WTO yaitu sebagai

forum dalam menyelesaikan sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi

guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.3

Dalam menjalankan perekonomian nasional dan internasional seyogianya semua hal yang berkepentingan menyatu secara bersama-sama demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di dalam negeri maupun di luar negeri (universal). Semua subyek hukum yaitu dalam hal ini negara wajib tunduk kepada aturan yang ada, aturan yang telah ada tidak boleh dilanggar. Semua negara yang ikut serta dalam hukum internasional wajib mematuhi regulasi yang ada. Suatu negara tidak dapat melakukan proteksi ekonominya apabila ia dalam aturan hukum nasionalnya bertentangan dengan ketentuan hukum internasional

yang sudah ada dan yang sudah disepakati (agreement) secara bersama-sama.

3

Syahmin AK, Hukum Dagang Internasiona l (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 246.


(16)

Australia diadukan lima negara ke WTO karena dianggap melanggar pasal

XXIII dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Australia

dianggap keliru menerapkan kebijakan mewajibkan kemasan polos semua produk tembakau. Pengaduan ke WTO dilakukan Indonesia bersama Honduras, Republik Dominika, Ukraina dan Kuba. Kelima negara ini menyampaikan dokumen pertama kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang membuat argumentasi hukum bahwa kebijakan Australia yang diterapkan sejak 1 Desember 2012 yang mewajibkan kemasan polos untuk semua produk tembakau merupakan pelanggaran terhadap ketentuan di WTO. Dalam pandangan Indonesia, kebijakan Australia diatas bertentangan dengan pasal XXIII dari

GATT 1994, serta tiga ketentuan WTO lainnya yakni: understandings on rules

and procedures governing the settlement of dispute; agreement on trade related aspects of intellectual property rights; dan agreement on technical barriers to trade. 4

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang penulis bahas tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan dan ketidak pastian pembahasan masalah maka penulis dengan ini membatasi masalah yang akan diteliti, antara lain,

4

m.bisnis.com/industri/read/20141014/12/264889/sengketa-rokok-indonesia-resmi-laporkan-australia-ke-wto, 14:00 WIB, 5-11-14.


(17)

membahas peran negara diluar pengadilan, yaitu melalui diplomasi dan membahas peran negara dalam pengadilan, yaitu melalui panel WTO. Kemudian prospek penyelesaian kasus ini kedepannya melihat dari kasus yang serupa yang ada sebelumnya.

2. Perumusan Masalah

Menurut peraturan internasional negara tidak boleh menutup diri dalam perdagangan internasional, pada praktiknya negara Australia menutup perdagangan rokok terhadap Indonesia. Rumusan tersebut penulis rinci dalam pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah prospek penyelesaian kasus sengketa dagang antara

Indonesia dengan Australia?

b. Bagaimana peranan negara Indonesia dalam kasus sengketa perdagangan

internasional rokok dengan Australia melalui World Trade Organization?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mendalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


(18)

a. Untuk mengetahui prospek penyelesaian sengketa perdagangan antara Indonesia dengan Australia.

b. Untuk mengetahui tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian

kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan untuk menambah ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum bisnis, ilmu hukum internasional, ilmu hukum perdagangan internasional, ilmu hukum tata negara, ilmu hubungan internasional dan ilmu politik bagi yang membacanya. Manfaat penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi pejabat negara agar dapat berperan aktif dalam meningkatkan mutu kualitas indonesia di mata dunia internasional. Manfaat penelitian ini juga untuk menambah atau melengkapi koleksi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi atau sumbangsih pemikiran bagi penerapan hukum di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi peneliti lanjutan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis


(19)

Demi terciptanya cita-cita suatu negara maka negara harus memiliki tujuan yang dikehendaki oleh masyarkat di dalamnya. Terdapat sebuah teori mengenai negara, yaitu teori tujuan negara. Meskipun orang telah lama memikirkan, tetapi oleh karena tujuan negara itu menentukan segala keadaan dalam negara, maka orang biasanya menyelipkan pembicaraan tentang ajaran tujuan negara ini dalam ajaran keseluruhannya untuk menentukan sifat daripada ajarannya. Pentingnya pembicaraan tentang tujuan negara ini terutama berhubungan dengan bentuk negara, susunan negara, organ-organ negara atau badan-badan negara yang harus diadakan, fungsi dan tugas daripada organ-organ tersebut, serta hubungannya antara organ yang satu dengan organ yang lain yang selalu harus disesuaikan dengan tujuan negara.

Tujuan negara dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan, waktu, serta sifat daripada kekuasaan penguasa. Karena mungkin apa yang dalam waktu ratusan tahun lalu tidak menjadi tugas negara, dalam zaman sekarang ini menjadi tugas negara yang amat penting, misalnya soal ekonomi. Jadi, tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan masyarkat adil dan

makmur.5 Pada sekarang ini tujuan negara lebih menekankan untuk

terciptanya welfare state, demi tercapainya kemaslahatan bersama.

5


(20)

2. Kerangka Konseptual

Pada era modern seperti sekarang ini banyak sekali terjadi sebuah perubahan-perubahan di dalam segala sistem yang ada di muka bumi ini, salah satunya merupakan proses globalisasi. Globalisasi merupakan perubahan sebuah tatanan sistem yang ada ke arah tatanan sistem yang baru, artinya bahwa seiring berjalannya waktu maka dibutuhkan adanya sebuah perubahan,

karena didasarkan pada berubahnya pola atau custom yang ada pada saat ini.

Dengan adanya globalisasi terdapat pula jalinan hubungan antar negara yang satu dengan negara yang lain, sebab sebuah negara tidak dapat hidup atau berdiri dengan sendiri-sendiri, negara saling membutuhkan karena di dalam negara itu sendiri pasti terdapat sebuah kekurangan yang mana ia membutuhkan negara yang lain untuk melengkapi kekurangan yang ada di dalam negaranya. Salah satu yang dijalankan dalam hubungan kenegaraan yaitu adanya sebuah perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasioal. Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara

untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.6 Oleh karena itu dibutuhkan

kerjasama dalam bidang ekonomi yakni hubungan perdagangan antar negara

demi untuk mendapatkan advantage secara bersama-sama.

6

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 2.


(21)

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan beberapa hasil terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Kurniawan dari universitas

Jember, tahun 2013, yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Rokok

Antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat

Melalui World Trade Organization (WTO)”. Penelitian tersebut menjelaskan

tentang prinsip-prinsip hukum yang mendasari pengaturan perdagangan

internasional, mekanisme penyelesaian sengketa dalam World Trade

Organization, penyelesaian sengketa perdagangan rokok antara pemerintah

Republik Indonesia dengan Amerika Serikat melalui World Trade Organization.

Perbedaan disini penulis memfokuskan pada penyelesaian dibawah Badan Penyelesaian Sengketa, tidak secara universalnya.

Skripsi yang disusun oleh Putri Paramita Soedali dari Universitas Pelita

Harapan, tahun 2013, yang berjudul “Peran WTO Dalam Upaya Penyelesaian

Sengketa Tobacco Control Act Antara Indonesia dan Amerika Serikat Tahun

2009-2012”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang latar belakang terjadinya

kasus rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat, dampak yang dialami


(22)

dalam upaya penyelesaian sengketa, serta mengetahui apakah implementasi keputusan WTO yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat telah sesuai dengan rekomendasi WTO. Pembeda dengan penulis disini yaitu penulis mengambil kasus rokok antara Indonesia dengan Australia, dan penulis mengarahkan pada peran negara, bukan dasar daripada implementasi keputusan yang diputuskan oleh WTO.

Buku karangan Jhon H Willes yang berjudul “International Business Law”, diterbitkan oleh McGraw-Hill/Irwin, New York, tahun 2005. Dalam buku ini hanya membahas dasar daripada penyelesaian sengketa melalui WTO dan rentang waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketanya. Perbedaan dengan penulis yaitu penulis lebih merinci penyelesaian sengketa dengan memfokuskan pada penyelesaian masalah dalam ranah Badan Penyelesaian Sengketa.

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis menguaraikan tentang peran negara Indonesia dalam penyelesaian kasus sengketa perdagangan rokok dengan Australia terkait peraturan kemasan polos. Kemudian penulis juga membahas prospek kasus yang penulis ambil, melihat dari kasus serupa yang dahulu. Dalam skripsi ini penulis juga menguraikan

mengenai cara penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Body yang

berada di ranah WTO. Jadi disini terdapat perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.


(23)

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang yang

bersifat normatif (law in book).7 Dimana penulis mencari fakta-fakta yang

akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi objek penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan-peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional, konvensi-konvensi internasional yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan mengenai sifat penelitian ini yaitu bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan suatu hal atau fenomena dengan rinci agar dapat memperkuat teori yang sudah ada, atau mecoba membuat suatu rumusan teori yang baru.

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-Undangan

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil

Amandemen)

2) General Agreement on Tarrifs and Trade 1994

7

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 58.


(24)

3) Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996 4) Agreement on Technical Barriers to Trade

b. Pendekatan Konseptual

Negara yang satu dalam hal ini Australia tidak merasa bahwa aturan yang dibuatnya melanggar ketentuan hukum internasional yang telah ada, maka dari itu disinilah diperlukan suatu pendekatan konseptual untuk mencari doktrin atau pendapat yang ada. Dalam hal ini tidak hanya melihat atau fokus terhadap permasalahan hukumnya, juga harus dilihat dari segi ekonomi dan politiknya.

3. Data dan Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibagi atas tiga kelompok/bagian, yaitu:

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari wawancara, peraturan

perundang-undangan dan peraturan internasional lainnya.

b. Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait

perdagangan internasional, badan penyelesaian sengketa organisasi perdagangan dunia, dan artikel-artikel yang terkait.


(25)

c. Bahan hukum tertier yang penulis pergunakan bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu dengan cara

wawancara (interview) dan studi dokumen atau kepustakaan (library

research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa dagang dan mekanisme penyelesian litigasi maupun non litigasi. Dalam hal

ini informasi yang di update secara terus menerus di situs WTO dalam kaitan

dengan gugatan Indonesia terhadap Australia dalam kasus kemasan rokok.

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman

Penulis Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara umum atau menyeluruh tentang isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai berikut :


(26)

Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, abstrak, daftar isi, serta daftar lampiran.

Bagian isi skripsi terdiri atas :

Bab I : Pendahuluan. Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi, dan metode penelitian.

Bab II : Kedudukan Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional. Membahas dan menguraikan mengenai penyelesaian sengketa dan juga bentuk-bentuk penyelesaiannya, serta membahas tanggung jawab negara dalam sengketa internasional secara umum.

Bab III : World Trade Organization dan Penyelesaian Sengketa. Mebahas WTO sebagai organisasi kerjasama penyelesaian sengketa, ruang lingkup WTO, dan juga proses atau mekanisme penyelesaian sengketa.

Bab IV : Analisis Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization. Membahas bagaimana sesungguhnya posisi dan peran Indonesia dalam menangani kasus ini, serta membahas aksi pemerintah dalam penyelesaiannya.


(27)

Kemudian dibahas juga mekanisme penyelesaiannya melalui proses bilateral dan terakhir melihat prospek penyelesaian sengketa di kedepannya.

Bab V : Penutup. Berisi kesimpulan dan saran


(28)

BAB II

KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

A. Penyelesaian Sengketa Internasional

Penyelesaian sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian atau sengketa, kedua adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan

terjemahan dari dispute.8

Sengketa (dispute)9 menurut Merrilis adalah ketidaksepahaman mengenai

sesuatu. Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:10

a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another.

Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Dengan demikian,

8

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 174.

9 Sengketa dalam bahasa Arab disebut almutanazi’atu 10

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 322.


(29)

setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan

sebagai sengketa (dispute).

Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengketa internasional

dapat menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union menyangkut

kebutuhan integrasi politik yang lebih kuat adalah sengketa menyangkut

kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah adalah sengketa tentang legal right.

Disisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta, misalnya posisi kapal negara A ketika diintersepsi oleh negara B.

Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk

memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik

(political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakterisitik

sengketa hukum adalah sebagai berikut:11

1. Capable of being settled by the application of certain principles and rules of international law

2. Influence vital interest of State such as territorial integrity

3. Implementation of the existing international law enough to raise a justice decision and support to progressive international relation 4. The dispute related with legal rights and claims to change the existing

rule

Disisi lain Waldock mengemukakan bahwa:

The legal or political character of dispute is ultimately determined by the objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights as, for

11

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 323.


(30)

example, in the Corfu Channel case, the dispute is evidently legal. If both are demanding the application of standards or factors not rooted in the existing rules of international law as, for example in a dispute regarding disarmament, the dispute is evidently political.12

Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse mengemukakan bahwa bersengketa adalah hal yang lazim dalam hubungan internasional. Definisi persengketaan menurut Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse adalah suatu

perbedaan atas hasil yang dikehendaki dalam suatu situasi tawar-menawar (....a

difference in preferred outcomes in a bargaining situation).13

Selanjutnya menurut Oppenheim-Kelsen

All dispute have their political aspects by the very fact that they concern relation between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to be legal nature might involve highly important political intersets of the State concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction to be a political character more often than not concern the application of a principal or a norm of international law.14

Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis

Palestine Concessions (Preliminary Objections, 1924) mendefinisikan pengertian

12

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 323.

13

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT Alumni, 2010), h.189.

14

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 324.


(31)

sengketa sebagai: disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two persons. 15

B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai

1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)16

Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikannya sengketanya. Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan

sebagai prinsip pertama (awal) yang termuat dalam Manila Declaration

(Section 1 paragraph 1).17

Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali

Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai syarat

utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high contracting parties shall

have the determination and good faith to prevent disputes from arising.

Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa

15

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 2.

16

Iktikad baik dalam bahasa Arab disebut hasanu an niyah 17

All States shall act in good faith and in conformity with the purposes and principles enshrined in the Carter of the United Nations with a view to avoiding disputes among themselves likely to affect friendly relations among States, thus contributing to the maintenance of international peace and security. They shall live together in peace with one another as good neighbours and strive for the adoption of meaningful measures for strengthening international peace and security.


(32)

yang dapat memengaruhi hubungan baik antar negara. Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikannya sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau

cara-cara lain yang dipilih para pihak. Dalam kaitan ini, Section 1 paragraph

5 Manila Declaration mensyaratkan adanya prinsip iktikad baik ini dalam

upaya mencapai penyelesaian sengketa secara lebih dini (lebih cepat).18

2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa

(mabdau khothori istikhdami al unfi fii halli an-nizaa’aat)

Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat

antara lain dalam pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Manila

Declaration. Pasal 13 Bali Concord antara lain menyatakan :

.... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall

refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa (mabdau

hurriyati ikhtiyaari subuli halli an nizaa’aat)

18

States shall seek in good faith and in a spirit of cooperation an early and equitable settlement of their international disputes by any of the following means; negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional arrangements or agencies or other peaceful means of their own choice, including good offices. In seeking such a settlement, the parties shall agree on such peaceful means as may be appropriate to the circumstances and the nature of their dispute.


(33)

Prinsip penting lainnya adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme

bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).

Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UN Charter dan Section 1

paragraph 3 dan 10 Manila Declaration dan paragraph ke-5 dari Friendly Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak. Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang.

Prinsip ini juga termuat dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law on

International Commercial Arbitration.19 Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa kepada arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan

kesepakatan atau perjanjian para pihak.20 Artinya, penyerahan suatu sengketa

kebadan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.

19 “Arbitration agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relatinship, whether contractual or not. An arbitration agreement may be i the form of an arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.

20


(34)

4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok

Sengketa (mabdau hurriyati ikhtiyaari al qoonuun alladziy sayatimmu

tathbiyquhu fii an nizaa’ar roiysiy)

Prinsip fundamental selanjutnya adalah prinsip kebebasan para

pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk

memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).21 Yang terakhir ini

adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan, atau kelayakan.

Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi

pengadilan internasional, misalnya Mahkamah Internasional, untuk

menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional

ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak. Dalam Special Agreement

antara Republik Indonesia – Malaysia mengenai penyerahan sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional, para pihak menyatakan:

The principles and rules of international law applicable to the dispute shall be those recognized in the provisions of Article 38 of the Statute of theCourt .... (Article 4 Special Agreement).

5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (mabdau ittifaaqin min

athroofi an nizaa’)

21

Pasal 38 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional: This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree hereon.


(35)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala

ada kesepaktan dari para pihak.22 Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak

akan mungkin berjalan apabila kesepakatannya hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.

6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies (almabdau almutaahu)

Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commision)

memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC

Draft Articles on States Responsibility.23

Selain itu prinsip ini temuat dalam Section 1 paragraph 10 Manila

Declaration.24 Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian

22

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 17.

23

When the conduct of a State has created situation not in conformity with the result required of it by an international obligation concerning the treatmentto be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.

24

States should, without prejudice to the right of free choice of means, bear in mind that direct negotiations are a flexible and effective means of peaceful setllement of their disputes. When they choose to resort to direct negotiations, States should negotiate meaningfully, in order to arrive at an early settlement acceptable to the parties. States should be equally prepared to seek the settlement of their disputes by the other means mentioned in the present Declaration.


(36)

sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus

terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa Interhandel (1959),

Mahkamah Internasional menegaskan:

Before resort may be had to an international court, the state where the violation occured should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own domestic legal system.

C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional

Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional dibagi menjadi dua ruang lingkup yaitu : secara damai (politik, organisasi internasional, hukum), dan secara kekerasan atau paksaan.

1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Politik (siyasah)

a. Negosiasi (al mufawwadhatu)

Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang

melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosisasi adalah basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain.25

Negosiasi adalah “bilateral and multilateral negotiations to resolve differences between two or more states or between groups of states may

25

Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004) Cet. Kedua, h. 49.


(37)

be carried out by diplomatic correspondence, face to face encounters by permanent diplomatic envoys or by specially designated negotiators.”26

Larry L. Teply mengemukakan antara lain:

“the word „negotiate’, in latin, consists of neg meaning „not’, and atium, maning „ease’. These latin words suggest that one will not be at

easeduring the process or until the agreement is made. Furthermore,

incertain contexts, some individuals are uncomfortable with

compromissing: they consider it an unprincipled „selling out’.”27

Dalam buku yang berjudul Street Law, pengertian negosiasi adalah

the process by which people involved in a dispute discuss their problem and try to reach a solution acceptable to all.28

Cara negosiasi merupakan suatu upaya bersama para pihak untuk mencapai suatu cara penyelesaian yang disepakati bersama dengan mengelola kembali konflik-konflik pandangan para pihak. Cara ini ditempuh manakala para pihak berkeyakinan bahwa dengan menempuh cara ini mereka memperoleh hasil yang positif darpada negatif.

Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai cara yang paling mudah dibandingkan cara-cara lain. Tidak ada tata cara

26

Thomas Buergenthal dan Harold G Maier, Public International Law (Minnesota: West Publishing Co, 1990), Edisi Kedua, h. 65.

27

Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 43. 28 Lee Arbetman dan Ed O’Brien,

Street Law A Course in Practical Law (Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, 2005), Edisi. Ketujuh, h. 41.


(38)

khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral, formal maupun informal. Namun demikian, akan sulit melakukan negosiasi apabila antarpihak yang bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi masing-masing sebagai subjek hukum internasional.

b. Jasa Baik (Good Offices)29

Jasa-jasa baik (good offices) berati intervensi suatu negara ketiga

yang merasa dirinya wajar unuk memantu penyelesaian sengketa yang

terjadi antara dua negara.30 Dalam hal ini, negara ketiga menawarkan

jasa-jasa baiknya. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta oleh salah satu dari kedua negara atau oleh keduan-duanya. Intervensi dalam bentuk jasa-jasa baik ini adalah campur tangan yang sangat sederhana dari negara ketiga karena negara tersebut membatasi diri dan hanya memprgunakan pengaruh moral atau politiknya agar negara-negara yang bersengketa mengadakan hubungan satu sama lain atau mengadakan hubungan kembali bila hubungan tersebut telah putus.

Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya

29

Jasa baik dalam bahasa Arab disebut syahratulmahli 30

Boer Maulana, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung: PT Alumni, 2011), Edisi Kedua, Cet. 4. H. 198.


(39)

menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar negara-negara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu, berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut.

c. Mediasi (wasaathatun)

A voluntary process that is sometimes used when negotiation seems to be failing is mediation.31

Mediasi merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian suatu persengketaan dimana para pihak-pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator dengan maksud untuk memperoleh hasil yang adil dan diterima oleh para pihak yang

bersengketa.32

Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak

ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi, mediator berperan aktif mendamaikan pihak-pihak bersengketa, memiliki kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, juga mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa. Mediator

31

John D. Donnell dkk, Law For Business (Illinois – USA: Richard D. Irwin, INC, 1983), Edisi Revisi, h. 21.

32

Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 322.


(40)

juga diharapkan bisa memberikan proposal untuk menyelesaikan sengketa.

Jika usulan oleh mediator tidak diterima, maka mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati oleh para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat

mengakhiri sengketa. Pasal 3 dan 4 the Hague Convention on the

Peaceful Settlement of Disputes (1907) menyatakan bahwa usulan-usulan yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang

tidak bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa dirugikan).33

Penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau

pihak yang dikalahkan (win-win solution).34

33

Article 3: Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it expedient and desirable that one or more Powers, strangers to the dispute, should, on their own initiative and as far as circumstances may alow, offer their good offices or mediation to the States at variance. Power strangers to the dispute have the right to offer good offices or mediation even during the course of hostilities. The exercise of this right can never be regarded by either of the parties in dispute as an unfriendly act.

Article 4: The part of the mediator consists in reconciling the opposing claims and appeasing the feelings of resentment which may have arisen between the States at variance.

34

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2009), h. 24.


(41)

Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh para pihak yang

bersengketa.35

d. Pencarian Fakta (fact finding/Inquiry)36

Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian

sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah

satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain.37 Inquiry dapat

dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun

organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya.

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1907 dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi (pencarian fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja

dan bukan merupakan suatu keputusan: .... is limited to a statement of

facts and has in no way the character of an award .... (Pasal 35).38

35

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 227.

36

Pencarian fakta dalam bahasa Arab disebut tahqiqi 37

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 331.

38

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 21.


(42)

e. Konsiliasi (mushaalihat)

Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the

Regulations on the Procedure of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan:

a method for the settlement of international disputes of any nature according to which a Commission set up by the Parties, either on a permanent or an ad hoc basis to deal with a dispute proceeds to the impartial examination of the dispute and attempts to define the terms of a settlement susceptible of being accepted by them, or of affording the Parties with a view to its settlement, such aid as they may have requested.

John Wade dari Bond Universiry Dispute Resolution Center,

Australia memberikan definisi konisliasi sebagai berikut:

Conciliation is a process by which the parties in a conflict with assisting of neutral third party (conciliator) identifying the problem, creating options, consider solution options, and strive to rech agreement.” 39

Hakim Manly O. Hudson mengatakan bahwa kosiliasi adalah:

“Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah diadakan penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu pendirian-pendirian yang saling bertentangan. Para pihak dalam sengketa itu tetap bebas menerima atau menolak proposal-proposal yang

dirumuskannya tersebut”.40

39

Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi & Bisnis (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), h. 93.

40

Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional Perkembangan Tindak Pidana Internasional & Proses Penegakannya (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 144.


(43)

Konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik

yang menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam konsiliasi

pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang dipermasalahkan para pihak dan kemudian memberikan rangkaian usulan formal penyelesaian sengketanya. Usulan penyelesaian ini bagaimanapun

tidak mengikat disputing parties. Konsiliasi dapat dilakukan oleh

lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc.

Dalam praktik, perbedaan antara mediasi internasional dan

konsiliasi internasional terkadang masih samar-samar (blurred), tetapi

pusat ide dari konsiliasi itu sendiri yaitu konsiliator (atau badan konsiliasi) yang diharapkan untuk mengeluarkan keputusan yang tidak

mengikat (is expected to issue a non-binding decision).41

2. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Organisasi Internasional

a. Penyelesaian Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (umamu

al-muttahidatu)

Seperti termuat dalam pasal 1 Piagam PBB, tujuan utama PBB

(United Nation) adalah menciptakan perdamaian dan keamanan

internasional.42 PBB juga mendorong agar sengketa-sengketa diselesaikan

41

Sean D Murphy, Principles of International Law (Amerika Serikat: Thomson/West, 2006), h. 116.

42

To maintain international peace and security, and to that end; to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of


(44)

melalui cara-cara penyelesaian secara damai. Dalam upayanya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki lima

kelompok tindakan yaitu:43

Preventive Diplomacy: suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa diantara para pihak, mencegah luasnya suatu sngketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa.

Peace Making: tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khusunya melalui cara-cara damai seperti yang

terdapat dalam BAB VI UN Charter.44

Peace Keeping: tindakan untuk megerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.

Peace Building: tindakan untuk megidentifikasi dan mendukung struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik.

aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;

43

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 95.

44

The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.


(45)

Peace Enforcement: wewenang Security Council berdasarkan piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian

b. Penyelesaian Melalui Organisasi Regional

Pada umumnya organisasi regional memiliki fungsi sebagai good

offices (jasa baik) dan mediasi. Organisasi Regional tersebut antara lain:  Organization of American States (OAS), 30 April 1948. Pasal 1

Piagam menggariskan tujuan pembentukan OAS yaitu: .... to achieve an

order of peace and justice, to promote their solidarity, to strenghten their collaboration and to defend their sovereignity, their territorial integrity, and their independence

The Organization of African Unity (OAU), 23 Mei 1963.

European Union (EU)

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)

3. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Hukum (syariah)

a. Penyelesaian Melalui Arbitrase (tahkim)

Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya

kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.45

45

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h.24.


(46)

Arbitration differs from mediation in that the third party to whom the dispute is submitted decides the outcome.46

Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun demikian sampai sekarang belum ada batasan atau definisi resmi mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda mendeskripsikan badan ini sebagai berikut:

Arbitration is the resolution of international dispute through the submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a third party who would be one or several persons by means of contentious proceedings from which the result of definitive judgement is derived.47

Menurut William H. Gill, arbitrase diartikan sebagai “An arbitration

is the reference of a dispute or difference between not less than two persons for determination after hearing both sides in judicial manner by another person or persons, other than a court of competent jurisdiction.”48

Lawrence S. Clarck, Robert J. Aalberts, dan Peter D. Kinder

mendefinisikan arbitrase sebagai an arrangement in which the parties

46

A. James Barnes dkk, Law for Business (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc, 2006), Edisi Kesembilan, h. 30.

47

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 39.

48


(47)

agree to refer a dispute to an impartial third party (the arbitrator) and to be bound by this determination.49

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut Komisi

Hukum Internasional adalah a procedure for the settlement of disputes

between states by a binding award on the basis of law and as a result of fan undertaking voluntarily accepted.50

Dalam Black’s Law Dictionary, Arbitration is: “The reference of dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.51

Objek perjanjian arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan, yaitu meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan,

penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.52

49

Lawrence S. Clark, dkk, Law and Business The Regulatory Environment (Amerika Serikat: McGraw-Hill, Inc, 1994), Edisi. Keempat, h. 25.

50

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 339.

51

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase (Jakarta: Kencana, 2009), h. 35.

52

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), h. 37.


(48)

Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan

penyelesaian sengketa melalui arbitrase: 53

1. Quicker resolutuion of disputes;

2. Lower costs in time and money to the parties; and

3. The availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute.

Salah satu sifat pokok dari arbitrase adalah suatu prosedur yang menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat bagi para pihak yang

bersengketa.54

Hakikat arbitrase ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan dengan persetujuan negara bersengketa yang

bersangkutan.55 Persetujuan itu dapat merupakan persetujuan umum

sebelumnya atau persetujuan khusus untuk sengketa tertentu.

b. Penyelesaian Melalui Mahkamah Internasional (mahkamatul umamu)

Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau judicial settlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian

53

Kementrian Perdagangan RI, Telaahan Hukum Forum Arbitrase Sebagai Alternatif Penanganan Sengketa (Jakarta: Biro Hukum Sekretariat Jenderal, 2011), h. 22.

54

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), h. 221.

55


(49)

melalui badan peradilan badan internasional (world court/international court). Dalam hukum internasional, penyelesain secara hukum dewasa ini

dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu Permanent

Court of International Justice (PCIJ) atau Mahkamah Internasional, The International Tribunal for The Law of The Sea (Konvensi Hukum Laut

1982), atau International Criminal Court (ICC).56

4. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan atau Paksaan (iqrah)

Penyelesaian sengketa secara kekerasan atau paksaan berarti dalam hal ini yaitu perang. Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain

mematuhinya.57

D. Tanggung Jawab Negara dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Umum

Dalam pembagian kekuasaan (seperation of power)58 dibedakan

menjadi tiga sistem yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap sistem

56

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 58.

57

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. Ke Tujuh, h. 679

58


(50)

memiliki peran dan tugasnya masing-masing. Salah satu fungsi dari lembaga eksekutif perihal diplomasi yaitu melaksanakan hubungan diplomatik dengan

negara-negara lain.59

Negara merupakan subjek internasional, oleh sebab itu segala kekuasaan dan juga beban tertinggi (penyelesaian sengketa internasional) di tanggung oleh negara. Negara memiliki tanggung jawab penuh atas penyelesaian sengketanya melalui wakil di dalam pemerintahannya.

Hal yang paling utama dilakukan negara ketika terjadi sebuah perselisihan sengketa internasional yaitu negara melalui wakilnya melakukan upaya diplomasi terlebih dahulu. Upaya diplomasi merupakan cara penyelesaian jalur damai melalui bilateral, multilateral dan maupun regional. Dunia

internasional selalu memegang prinsipnya untuk melaksanakan world peace, tapi

dewasa ini sulit rasanya untuk menjalankan prinsip tersebut, karena banyaknya

penyelesaian melalui jalan kekerasan atau jalan perang (middle east).

Secara keseluruhan tanggung jawab negara dalam terjadinya sengketa internasional yaitu selalu mengupayakan cara damai terlebih dahulu. Negara

mengupayakan peran aktifnya agar tidak terjadi impact yang buruk terhadap

negara sendiri misalnya kerugian-kerugian yang tidak diinginkan oleh warga

59


(51)

negara itu sendiri. Pemerintah harus aktif mulai dari berbagai sektor yang dirasa dirugikan ketika sebuah sengketa internasional itu dimulai.

Jalan diplomasi memang hal yang paling utama dilakukan karena langsung berhadapan dengan persoalan yang disengketakan. Apabila tidak ditemukannya titik terang dalam jalan diplomasi tersebut, maka tanggung jawab negara dikemudian yaitu melimpahkan atau membawa kasus ini melalui peradilan internasional yaitu peradilan yang berada dibawah kekuasaan PBB.


(52)

BAB III

WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN SENGKETA

A. World Trade Organization

1. Sejarah Singkat GATT dan WTO

GATT didirikan setelah Perang Dunia II (tahun 1947) bersamaan

dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Monetary Fund (IMF),

dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD/Bank

Dunia).60 Ada dua puluh tiga anggota yang bergabung dalam GATT. Hingga

tahun 1994, ketika Putaran Uruguay telah selesai dan WTO didirikan tanggal 1 Januari 1995. GATT adalah satu-satunya organisasi multilateral yang membuat peraturan tentang kebijakan perdagangan internasional. WTO saat

ini beranggotakan 161 bangsa di tahun 2015.61 WTO berjanji untuk

mematuhi prinsip-prinsip pengurangan hambatan perdagangan dan distorsi perdagangan lainnya. Anggota antara lain seluruh negara perdagangan utama kecuali Cina dan yang dulunya Uni Soviet. GATT dan sekarang WTO,

60

Ratya Anindita & Michael R. Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2008), h. 67.

61

http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization, diakses pada tanggal 24 Agustus 2015, jam 14:37 WIB


(53)

merupakan klub negosiasi yang memiliki aturan spesifik untuk memimpin dan menyelesaikan perdebatan.

2. Fungsi WTO

Final Act dari Putaran Uruguay ditandatangani, bersamaan juga dengan beberapa dokumen lainnya, pada tanggal 1 Januari 1995. WTO dan perjanjian-perjanjian yang berkaitan padaa saat sekarang ini mengatur sekitar 90 persen perdagangan dunia. WTO diadopsi lebih dari 146 pemerintahan.

Fungsi WTO terdapat pada WTO Agreement, yaitu sebagai berikut:62

a) Memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi, dan

mencapai sasaran-sasaran dari persetujuan ini serta persetujuan multilateral

b) Menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang

berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral

c) Mengatur prosedur penyelesaian sengketa

d) Mengatur mekanisme pemantauan kebijaksanaan perdagangan

e) Bekerjasama dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank

Internasional

62


(54)

3. Struktur WTO

Badan-badan yang merupakan kunci dari WTO adalah sebagai berikut:63

a) Ministerial Conference (Pertemuan Tingkat Menteri) – puncak organisasi WTO organizational membuat keputusan yang sifatnya hirarki. Pertemuan diadakan paling tidak satu kali dalam dua tahun serta memiliki tanggung jawab membuat kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan oleh WTO.

b) General Council / Dispute Settlement Body & Trade Policy Review Body (Dewan Umum / Badan Penyelesaian Sengketa & Badan

Peninjauan Kebijakan Perdagangan) – komposisinya merupakan

perwakilan dari setiap anggota WTO dan merupakan pelaksana dari WTO. Di dalam General Council, pertemuan diadakan secara bulanan. c) WTO Secretariat (Sekretariat WTO) – pelaksana administratif dan

pelaksana harian.

d) WTO Councils (Dewan WTO) – terdapat dewan-dewan pada setiap bidang perdagangan, yaitu:

1. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan dalam Barang) 2. Council for Trade in Services (Dewan Perdagangan dalam Jasa) 3. Council for Trade Related Aspects of Intellectual Property (Dewan

Hak Kekayaan Intelektual)

63


(55)

e) Committes and Working Parties (Komite dan Kelompok Kerja)

4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO

Terdapat 5 prinsip dasar WTO, yaitu:64

a. Non-Discrimination (Non-Diskriminasi)

Prinsip non-discrimination memuat dua aspek. Pertama, konsep Most

Favored Nation (MFN) dan kedua, National Treatment (NT).

Most Favored Nation (Negara Paling Disukai)

Pada tahun 1978 ILC mengajukan kepada UNGA suatu Draft

Articles Most-Favored Nation Clause (Rancangan Artikel Klausul Negara yang Paling Disukai). Dalam Pasal 5 Draft itu dirumuskan

pengertian Most-Favored Nation treatment sebagai berikut:65

Most Favored Nation treatment is treatment accorded by the granting State to the beneficiary State, or to persons or things in a determined relationship with that State, not less favourable than treatment extended by the granting State to a third State or to persons or things in the same relationship with that third State.

Konsep MFN merupakan konsep yang fundamental dalam perdagangan internasional. Konsep ini tidak hanya terbatas pada negara-negara anggota semata, oleh karenanya jika anggota WTO memberikan

64

Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 46. 65

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT Alumni, 2010), h.132.


(56)

perlakuan yang berbeda ke negara yang bukan anggota maka hal itu juga harus diterapkan bagi negara-negara anggota.

National Treatment (Perlakuan Nasional)

Konsep NT terdapat pada Article III GATT, Pasal VII GATS

dan Article III TRIPS dan telah menjadi artikel yang paling sering diinterpretasikan baik sebelum maupun sesudah pembe ntukan WTO.

b. Liberalization of Trade (Liberalisasi Perdagangan)

Tujuan dari WTO adalah untuk memberikan stabilitas dan prediktibilitas yang lebih luas dalam sistem perdagangan internasional. Liberalisasi merupakan salah satu jalan untuk menghapuskan segala bentuk pembatasan dalam bidang ekspor dan impor. Juga, dalam hal ini tidak ada subsidi dan tarif sama sekali. Barangkali hal ini terkesan tidak realistis untuk dicapai secara global dan mungkin hal ini akan membuat negara-negara menjadi tidak mendukung keberadaan WTO. Namun penting untuk mencapai proses keberlanjutan dari liberalisasi.

Perlu dicatat bahwa akan selalu ada pembatasan dari proses liberalisasi. Dalam WTO agreement, pembatasan ini diwakili dengan

apa yang disebut safeguards, yaitu “a further special agreement on safeguards and the special case of texttiles”. Intinya, safeguards membolehkan negara-negara anggota untuk mengambil tindakan


(57)

c. No Unfair Trade (Tidak Ada Perdagangan yang Tidak Adil)

Unfair trade merupakan ketidakadilan dalam dunia

perdagangan. Pertama tentang dumping dan kedua mengenai subsidi. Dumping produk dipandang sebagai sebuah contoh diskriminasi harga secara internasional. Di pasar yang berbeda terdapat perbedaan harga

untuk barang yang sama. Dumping dipandang juga sebagai predatory

pricing dimana sebuah produsen menjual dibawah harga untuk mengintimidasi atau menghapuskan saingannya dan dalam jangka waktu yang panjang harga tersebut akan dinaikan setelah kompetitor tetapi dapat dihapuskan.

Antidumping diperbolehkan oleh Pasal VI GATT, dengan pengecualian hanya untuk melindungi perekonomian nasional dalam menghadapi kompetisi yang tidak fair dan bukan sebagai alat untuk melindungi perdagangan.

Subsidies (Subsidi)

Dalam Putaran Uruguay (1986-1994) untuk pertama kalinya

subsidi diberikan definisi, yaitu .... a financial contribution by the

government or any public body where the govcernment practice involves the following :


(58)

2) Potential direct transfers of liabilities

3) Government revenue (for instance taxation and payroll duty) that is otherwise due is foregone

4) Government provisions of goods or services other than general infrastructure

5) Government payments to a funding mechanism or a direction to a private body to carry out the above functions

Sebagai aturan umum, subsidi dilarang ketika hal ini menyebabkan terganggu perdagangan internasional. Jadi bukanlah harga dan kualitas barang yang sampai ke konsumen, melainkan harga yang ditimbulkan oleh semata-mata akibat adanya subsidi tersebut dan bukanlah merupakan hasil dari tekanan kompetisi.

d. Transparency (Transparansi)

Inti daripada transparansi yang diminta aturan-aturan GATT (Pasal X), GATS (Pasal III), dan TRIPS (Pasal 63) adalah:

1) Publikasi segala jenis hukum dan aturan sebelum dilaksanakan

2) Keseragaman, tidak terpisah dan administrasi yang masuk akal dari

aturan dan hukum tersebut.

3) Judicial Review dari setiap putusan administratif.

Prinsip-prinsip transparansi sangat penting guna kepercayaan para pebisnis, yang diinginkan adalah sistem hukum domestik


(59)

memperlakukan korporasi dan individu asing sama perlakuannya dengan individu dan korporasi lokal.

e. Exceptions (Pengecualian)

Terdapat pengecualian didalam prinsip WTO, yaitu: General Exceptions (Pengecualian Umum)

Pengecualian horizontal (The Horizontal Exceptions) dalam

GATT (dan berlaku juga bagi negara-negara anggota WTO) termuat pada Pasal XX. Pengecualian ini termasuk:

1) Kepentingan untuk melindungi moral masyrakat

2) Kepentingan untuk melindungi manusia, binatang atau kehidupan

planet bumi dan kesehatan.

3) Berkaitan dengan impor atau ekspor emas dan perak

4) Kepentingan atas dasar hukum dan aturan yang tidak sesuai dengan

aturan yang terdapat didalam agreement yang berkaitan dengan: 3.1Customs enforcement

3.2Protection of patents, trade marks and copyrights 3.3Enforcement of monopolies

3.4Prevention of deceptive practices

5) Produk yang dihasilkan oleh orang yang dipenjara (prison labour)

6) Diterapkan untuk melindungi warisan artistik, sejarah masa lalu dan


(60)

7) Konservasi sumber daya alam yang sedikit

8) Diambil dalam rangka kewajiban yang timbul dari perjanjian

komoditi antar pemerintah

9) Melibatkan pembatasan ekspor bahan-bahan domestik yang penting

untuk memastikan kualtias utama bahan tersebut pada proses industri domestik selama jangka waktu ketika harga domestim dari bahan tersebut berada diharga bawah dunia, sebagai bagian dari

rencana stabilitas pemerintah yang termasuk dalam subject to the

principle of non discrimination.

10)Berguna untuk mengakuisisi atau mendistribusikan produk sebagai

supply jangka pendek secara umum maupun lokal.

Security Exceptions (Pengecualian dalam Keamanan)

Adalah hak sebuah negara untuk mempertahankan diri dari serangan pihak luar yang dijamin dalam prinsip dasar hukum inetrenasional. Karena anggota-anggota WTO adalah negara-negara yang berdaulat dan bertanggungjawab atas keamanan dalam negerinya,

sulit membayangkan bagaimana WTO dispute settlement body akan

dapat bertindak sebagai hakim pada persoalan ini jika pengecualian kemanan ini tidak dibuat sejelas mungkin dan ukuran-ukuran keamanan tersebut ditempatkan dalam artian senyatanya dari diskriminasi perdagangan dalam rangka produsen domestik. Persoalan ini lebih


(61)

sesuai dibahas oleh hukum internasional, hukum perang, dan Dewan Keamanan PBB.

4. Ruang Lingkup Pengaturan WTO

Ruang lingkup pengaturan WTO adalah:66

1. Pembentukan World Trade Organization (the establishment of WTO)

2. Pengurangan Tarif (Tariff Reduction)

3. Pertanian (Agriculture)

4. Tarif dan Hambatan Non-Tarif (Tariff and Non-Tariff Barriers)

5. Sanitary and Phytosanitary Measures

6. Tekstil dan Pakaian (Textile and Apparel)

7. Safeguards

8. Antidumping

9. Subsidies and Countervailing Measures

10. TRIMs (Trade Related Investment Measures)

11. Jasa (Services)

12. Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights)

13. Penyelesaian Perselisihan (Dispute Settlement)

14. Pengadaan Pemerintah (Government Procurement)

66

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT Alumni, 2010), h.132.


(62)

15. Ketentuan Perdagangan Lainnya (Other Trade Provisions)

16. Lingkungan (The Environment)

17. Hak-hak Pekerja (Worker Rights)

B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa

Sebagai suatu forum internasional yang merupakan instrumen untuk menangani masalah perdagangan dunia, WTO merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan dilakukannya konsultasi antara sesama negara anggota, baik dala bentuk bilateral, plurilateral, maupun multilateral. Mekanisme yang paling luwes konsultasi informal yang banyak menyelesaikan masalah sehingga mencegah terjadinya sengketa yang terlalu sering. Namun ada kalanya timbul masalah yang menjadi sengketa dalam bentuk yang lebih formal. WTO juga merupakan suatu forum penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota.

Sebagai forum untuk kegiatan penyelesaian sengketa WTO secara sistematis menyediakan mekanisme yang lebih formal untuk memberi kesempatan pada negara-negara anggota untuk menyelesaiakan sengketa. Dengan adanya perjanjian WTO yang merupakan suatu kontrak hak dan kewajiban, apabila ada sengketa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dan pelanggaran yang terjadi, maka WTO sebagai suatu sistem

menyediakan forum yang formal untuk menyelesaikan sengketa.67

67

H. S. Kartadjoemena, GATT DAN WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan (Jakarta: UI Press, 1996), h. 90.


(1)

DISPUTE SETTLEMENT: DISPUTE DS467

Australia — Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications and Other Plain Packaging Requirements Applicable to Tobacco Products and Packaging

Current status

Panel composed on 5 May 2014

Short title: Australia — Tobacco Plain Packaging (Indonesia) Complainant: Indonesia

Respondent: Australia

Third Parties: Brazil; Canada; China; Cuba; European Union; Guatemala; Honduras; India; Japan; Korea, Republic of; Malaysia; Mexico; New Zealand; Nicaragua; Norway; Oman; Philippines; Russian Federation; Chinese Taipei; Thailand; Turkey; Ukraine; United States; Uruguay; Zimbabwe; Dominican Republic; Peru; Singapore; Argentina; Chile; Malawi; Nigeria; Ecuador Agreements cited:

(as cited in request for consultations)

Technical Barriers to Trade (TBT): Art. 2.1,2.2

Intellectual Property (TRIPS):

Art. 2.1, 3.1,15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2(b), 24.3

GATT 1994: Art. III:4 Request for

Consultationsreceived:

20 September 2013

Summary of the dispute to date

The summary below was up-to-date at 30 October 2014

Consultations

Complaint by Indonesia. (See also DS434, DS435, DS441 and DS458)

On 20 September 2013, Indonesia requested consultations with Australia concerning certain Australian laws and regulations that impose restrictions on trademarks, geographical indications, and other plain packaging requirements on tobacco products and packaging.


(2)

Indonesia challenges the following measures:

 The To a o Plai Pa kagi g A t , A t No. of , A A t to dis ourage the use of

tobacco products, a d for related purposes ;

 The Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011, No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select

Legislative Instrument 2012, No. 29);

 The Trade Marks A e d e t To a o Plai Pa kagi g A t . A t No. of , A A t to a e d the Trade Marks A t , a d for related purposes ; a d

 Any related measures adopted by Australia, including measures that implement, complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or replace these laws and regulations.

Indonesia claims that Australia's measures appear to be inconsistent with Australia's obligations under:

 Articles 2.1, 3.1, 15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2(b) and 24.3 of the TRIPS Agreement;

 Articles 2.1 and 2.2 of the TBT Agreement; and

 Article III:4 of the GATT 1994.

On 26 September 2013, Guatemala requested to join the consultations. On 27 September 2013, Nicaragua requested to join the consultations. On 30 September 2013, New Zealand requested to join the consultations. On 1 October 2013, Uruguay requested to join the consultations. On 2 October 2013, Ukraine requested to join the consultations. On 3 October 2013, the European Union and Honduras requested to join the consultations. On 4 October 2013, Brazil, Canada, the Dominican Republic and Norway requested to join the consultations. On 11 October 2013, Cuba requested to join the consultations. Subsequently, Australia informed the DSB that it had accepted the requests of Brazil, Canada, Cuba, the Dominican Republic, the European Union, Guatemala, Honduras, New Zealand, Nicaragua, Norway, Ukraine, and Uruguay to join the consultations.

On 3 March 2014, Indonesia requested the establishment of a panel.


(3)

Panel and Appellate Body proceedings

At its meeting on 26 March 2014, the DSB established a panel. Brazil, Canada, China, Cuba, the European Union, Guatemala, Honduras, India, Indonesia, Japan, Korea, Malaysia, Mexico, New Zealand, Nicaragua, Nigeria, Norway, Oman, the Philippines, Russia, Chinese Taipei, Thailand, Turkey, Ukraine, the United States and Uruguay reserved their third party rights. Subsequently, Argentina, Chile, the Dominican Republic, Malawi, Peru, Singapore and Zimbabwe reserved their third party rights. On 23 April 2014, Australia requested the Director-General to compose the panel. On 5 May 2014, the Director-General composed the panel. On 10 October 2014, the Chair of the panel informed the DSB that the panel expects to issue its final report to the parties not before the first half of 2016, in accordance with the timetable adopted by the panel on 17 June 2014 on the basis of a draft timetable proposed by the parties.

Source : http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

10 128 151

PENERAPAN PRINSIP KONSENSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WTO.

0 0 9

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 9

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 2

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 1 28

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 38

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 2 4

UPAYA PENERAPAN RETALIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Lona Puspita, Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Padang lovelylona0408gmail.com Abstract - View of UPAYA PENERAPAN RETALIASI DALAM PE

0 1 11

Kedudukan World Trade Organization (WTO) Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Intenasional (Studi Kasus Terhadap Tuntutan Jepang Atas Indonesia Mengenai Penjualan Mobil Nasional)

0 0 112

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (STUDI KASUS EKSPOR-IMPOR ROKOK KRETEK ANTARA INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT) - Repository UNRAM

1 1 15