ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD LAMPUNG TIMUR DI TINGKAT KASASI (Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)

(1)

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD

LAMPUNG TIMUR DI TINGKAT KASASI

(Studi Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana

Korupsi Dana APBD Lampung Timur No.253 K/PID.SUS/2012/ MA)

Oleh

WAJID HUSNI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Uiversitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD LAMPUNG TIMUR DI

TINGKAT KASASI

(Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)

Oleh

Wajid Husni

Kejahatan korupsi dari tahun ketahun semakin meningkat drastis, bahkan dari beberapa kasus terdapat diantaranya yang melibatkan para pejabat dan para pengambil kebijakan ditingkat daerah maupun pusat, seperti tindak pidana korupsi yang terjadi di kabupaten lampung timur. Dampak paling besar dari tindak pidana korupsi adalah terhambatnya pembangunan secara umum maka diperlukan pemberian sanksi pidana sebagai pertanggung jawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah apakah yang menjadi dasar jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur tersebut.

Penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari studi lapangan, data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, analisa data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa korupsi dana APBD lampung timur dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat(1) KUHP. Dalam sidang ditingkat kasasi, Hakim memutus bahwa terdakwa H.Satono SH.SP bin Darmo Susiswo telah melakukan tindak pidana korupsi dan terdakwa divonis pidana penjara selama lima belas (15) dengan pidana denda Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan uang pengganti sebesar Rp.10.586.575.000 (sepuluh milyar lima ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Terdakwa diperintahkan mengembalikan barang bukti dalam perkara lain atas nama Sugiharto Wiharjo als Alay. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana APBD lampung timur dalam kasasi dalam


(3)

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 sesuai Pasal 3 menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Sifat melawan hukum terdakwa bertentangan dengan sifat melawan hukum materiil karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma yang hidup dimasyarakat, maka Perbuatan itu dapat dipidana.

Terdakwa memenuhi kriteria mampu bertanggung jawab karena mampu mengetahui kalau perbuatanya itu bertentangan dengan hukum dan dapat menentukan kehendaknya sesuai kesadaranya yang dimilikinya. Perbuatan terdakwa adalah dilakukan dengan adanya unsur kesengajaaan (Dolus) demikian pula terhadap diri terdakwa tidak ada alasan pemaaf atau pembenar (Culpa) yang dapat menghapuskan perbuatan pidana terdakwa.

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka yang menjadi saran penulis adalah hendaknya para penegak hukum dapat bersinergi dalam penegakan tindak pidana korupsi, sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan tersebut sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan bagi orang lain sehingga perbuatan tersebut tidak terulang kembali. Serta perlu ditingkatkan kerjasama terpadu dalam mengawasi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penegakan peraturan hukum yang berlaku agar tidak terjadi tindak pidana korupsi.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Putusan Hakim... 19

B. Macam-Macam Putusan Hakim... 22

C. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana... 28

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 29

E.Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi... 32

F.Pengertian Pelaku Tindak Pidana Korupsi... 36

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 37

B. Sumber Dan Jenis Data... 38

C. Penentuan Populasi Dan Sampel... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data... 40


(7)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden... 43 B. Dasar Hukum Jaksa Dalam Mengajukan Kasasi Terhadap Perkara

Tindak Pidana Korupsi Dana APBD Lampung Timur (Studi

Putusan Mahkamah Agung No.253

K/PID.SUS/2012/MA)... 45

C. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur (Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/ MA)... 68

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 82 B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA


(8)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Korupsi adalah memperkaya diri sendiri maupun orang lain dengan cara merugikan pihak ketiga dan ini merupakan permaslahan yang muncul sejak berdirinya negara-negara di dunia. Hal ini menjadi cukup serius dialami suatu negara karena dampaknya sangatlah luar biasa karena mampu merugikan keuangan suatu negara dan dibilang menjadi momok yang menakutkan, sebagai salah satu bentuk tindak pidana dalam ruang lingkupnya sekarang ini serta memiliki metode yang dibilang lebih modern dan bahkan belum ada sejarah pada manusia sebelumnya.

Tindak pidana korupsi merupakan masalah besar yang selalu menjadi sorotan dan sekaligus keprihatinan masyarakat. Tidak hanya keprihatinan nasional, tetapi juga menjadi keprihatinan dunia internasional. Dalam resolusi tentang “corruption in government” yang diterima kongres PBB ke-8 mengenai “the Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders”di hanava (cuba) tahun 1990, dinyatakan bahwa: “Korupsi di kalangan pejabat public (corrupt activities of public official)”

dapat menghancurkan efektifitas potensial dari semua jenis program pemerintah” ( Barda Nawawi Arief,14:1998 )

Perilaku korup ini terdapat di negara yang menganut paham demokrasi terutama negara diktator militeristik, dalam setiap tahap pembangunan system ekonomi dari negara kapitalis terbuka yang pernah terjadi dinegara Indonesia pasca


(9)

kemerdekaan diera demokrasi terpimpin era Presiden Soeharto pada tahun 1956 sampai 1998.

Di Indonesia sendiri korupsi sudah ada jauh sebelum negara ini terbentuk, seperti yang terjadi masa kolonial Belanda pada waktu itu korupsi menjadi salah satu ancaman bobroknya birokrasi dan tata pemerintahan bahkan korupsi telah mampu menghancurkan hubungan persekutuan dagang kompeni (VOC) dan kemudian menjadi semacam peninggalan setelah terbentuknya negara kesatuan republik Indonesia korupsi kembali menyebar dalam pemerintah baik pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah yang semakin merata. Banyak berbagai cara digunakan untuk menggalakan pemberantasan tindak pidana korupsi guna menjaga stabilitas ekonomi serta wajah birokrasi yang terbentuk, bahkan karena begitu ganasnya virus korupsi di indonesia sehingga mampu menurunkan sebuah rezim yang sedang berkuasa.

Dengan kondisi yang demikian pasca runtuhnya pemerintah orde baru yang berkuasa, indonesia mulai membenahi diri untuk memulai membangun Negara Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Berbagai usaha-usah serta cara-cara digunakan untuk mencegah ataupun menanggulangi permasalahan tersebut. Demikian halnya dengan konteks regulasi yang perlu adanya pembaharuan peraturan-peraturan yang ada karena hal ini memiliki kelemahan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi secara khusus.

Untuk itu diawal pemerintahan Presiden BJ Habibie di buatlah sebuah Undang-undang yang memuat tentang tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang-undang Nomor


(10)

31 Tahun 1999 tentang Pemberantaasan Korupsi menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang secara efektif meminimalisir bahkan mampu mencegah tindak pidana korupsi. Selain diundangkanya Undang-undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diganti dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Pemerintah juga membentuk lembaga yang ber fungsi memonitoring keuangan negara seperti BPK dan yang lebih khusus menangani masalah tindak pidana korupsi adalah di bentuknya lembaga Komisi Pemberantas Korupsi sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana biasa karena sangat merugikan keuangan serta perekonomian suatu negara, dan merupakan suatu pelanggaran terhadap hak -hak sosial dan hak-hak perekonomian masyarakat. Oleh karenanya perlu adanya perhatian khusus untuk menanggulanngi permasalahan ini karena pada dasarnya jika hanya menggunakan cara-cara konvensional yang sudah ada sangat kurang mampu menekan perbuatan tindak pidana korupsi oleh karena itu perlu adanya badan khusus yang secara luas menangani permasalahan korupsi.

Terbentuknya KPK pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono tersebut diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. Komisi yang dimaksud mempunyai tugas


(11)

dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan menyidikan, dan penuntutan, serta memonitoring (diatur dalam Bab II Pasal 6 dan Pasal 7) hal ini dimaksud agar kewenangan KPK bukan hanya sebatas di pemerintahan pusat akan tetapi perlu sampai ketingkat daerah dikarenakan banyak tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah yang dalam hal ini belum tersentuh oleh KPK.

Berawal dari tindak pidana korupsi yang semakin mengakar dan meluas maka banyak diberbagai daerah telah terjadi pelanggaran tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah.

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sendiri yang menjadi aturan umum dalam pelaksanaan peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia telah menjelaskan bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam proses peradilan tidak pidana korupsi keberhasilannya sangat tergantung pada alat bukti sebagai pemberi petunjuk.

Unsur yang berperan sangat penting dalam penegakan hukum adalah masyarakat, selain aparatnya sendiri, serta peraturan pendukungnya. Disini masyarakat dapat berperan sebagai pengungkap terjadinya suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum, artinya masyarakat baik secara individual ataupun sebagai kelompok dalam berperan aktif dalam proses hukum sebagai pengamat maupun saksi. Semakin berperan aktif masyarakat dalam proses hukum maka penegakan hukum akan semakin optimal.


(12)

Terlepas dari persoalan tersebut diatas, terjadi kasus korupsi dana APBD senilai 119 miliar yang terjadi di kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung yang menyeret pejabat bupati terpilih Hi.Satono,SH ke pengadilan tindak pidana korupsi. Berdasarkan putusan yang di bacakan hakim Agung Bernomor 253/PID.SUS/2012/ MA terdakwa dipidana 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp.500.000.000 oleh hakim Mahkamah Agung dalam kasasi. Walaupun sebelumnya diputus bebas oleh hakim pengadilan negeri tanjung karang karena dianggap pelaksanan peradilan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dinyatakan tidak tepat baik dalam hal penyidikan, pelimpahan berkas perkara hingga pemeriksaan di pengadilan serta adanya kelemahan tuntutan jaksa.

Berdasarkan pada uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya kedalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi yang diberi judul “Analisis Putusan Mahkamah Agung Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi Dana APBD Lampung Timur Di Tingkat Kasasi” (Studi Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dana APBD Lampung Timur No.253 K/PID.SUS/2012/MA) yang dilakukan oleh terdakwaHi.Satono,SH,SP bin Hi.Darmo Susiswo.

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang diungkapkan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:


(13)

1. Apakah yang menjadi dasar jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur ? (Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)

2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lam-Tim ? (Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/ MA ?

2. Ruang Lingkup

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka perlu adanya sebuah pembatasan yang perlu di kaji dalam penulisan skripsi ini. Yaitu di tekankankan pada dasar hukum yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan serta dasar jaksa dalam mengajukan kasasi.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang serta permasalahan yang di uraikan diatas maka dapat di ketahui bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji sebuah dasar hukum putusan terhadap pelaku tipikor yaitu :

a. Untuk mengetahui alasan jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap putusan bebas dari hakim pengadilan negeri kepada pelaku tindak pidana korupsi. b. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi. 2. Kegunaan Penulisan


(14)

Adapun yang menjadi kegunaan teoritis dalam penulisan skripsi ini adalah, untuk menambah dan memperluas ilmu pengetahuan akademik di bidang hukum khususnya hukum pidana serta bagi masyarakat umum dalam upaya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan hukum pidana.

b. Kegunaan Praktis

Dapat memberikan kontribusi atau masukan sebagai bahan pemikiran bagi pihak-pihak yang memerlukan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka teoritis

Setiap penelitian perlu adanya kerangka teoritis yang menjadi acuan. Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil penelitian dan pemikiran yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap penting atau relevan oleh peneliti, (Soerjono Soekanto:1986 :25)

Kata teoritis adalah bentuk adjective dari kata “teori” teori adalah anggapan yang teruji kebenaranya atau pendapat/cara yang tepat untuk melakukan sesuatu atau asas hukum yang dijadikan dasar ilmu pengetahuan, atau keterangan mengenai suatu peristiwa atau kejadian. Asas-asas putusan hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana adalah :


(15)

Asas mengenai kebebasan hakim ini dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Disebutkan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Pasal 2 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang berbunyi : “Mahkamah Agung adalah Pengadilan negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.

Karena itulah dalam melaksankan tugasnya seorang hakim harus bebas dari segala campur tangan para pihak yang dapat mempengaruhi keputusan hakim, baik intern maupun ekstern sehingga hakim dapat dengan tenang memberikan keputusan yang seadil-adilnya.

b) Asas Kesamaan (Audi et Alteram Partem)

Di dalam proses peradilan, para pihak yang berperkara atau bersengketa berhak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama demi untuk membela dan melindungi hak-hak yang bersangkutan.

Asas ini juga menghendaki adanya keseimbangan prosessuil dalam pemeriksaan. Oleh karena itu hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, hakim harus memberikan kesempatan pada pihak lain untuk menyampaikan keterangan atau pendapatnya.


(16)

Asas objektivitas ini dapat kita lihat di dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal ini menegaskan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak boleh membedakan-bedakan orang”. Dengan kata lain hakim tidak boleh memberikan keputusan yang memihak kepada salah satu pihak yang berperkara, hakim harus objektif dalam memeriksa dan memberikan putusan.

Salah satu upaya untuk mewujudkan keobjektivitasan seorang hakim, undang-undang menyediakan hak bagi pihak yang diadili, hak tersebut adalah hak ingkar, yaitu hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap seorang hakim yang akan mengadili perkaranya, hal ini terdapat di dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

d) Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)

Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menegaskan bahwa segala putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Oleh sebab itu hakim dalam memutuskan suatu perkara harus memberikan pertimbangan yang cukup, hal ini dimaksudkan agar hakim tidak berbuat sewenang-wenang.

Dengan memperhatikan asas-asas umum peradilan, maka diharapkan agar proses peradilan dapat tercapai, yaitu membeirakan keadilan dan kepastian hukum terhadap suatu peristiwa yang disengketakan para pihak dengan putusan pengadilan. Dan diharapkan pula dengan putusan pengadilan yang


(17)

baik, para pihak yang berperkara akan mendapatkan keadilan serta hak-hak dan kepentingannya yang dilanggar dapat dipulihkan kembali sebagaimana mestinya.

Setelah menguraikan tentang asas-asas pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara atau menjatuhkan pidana maka perlu diketahui dengan adanya asas-asa tersebut bahwasas-asanya jenis-jenis putusan hakim dapat berupa:

1) Putusan akhir

Pada hakikatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa perkara di persidangan sampai dengan “pokok perkara”(pasal 182 ayat (3)

dan(8) Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP) dan pembacaanya di buka untuk umum. 2) Putusan yang bukan putusan akhir

Dalam praktek hokum peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa “penetapan” atau putusan sela atau sering disebut dalam istilah baha belanda “tussen-vonnis” putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan keberatan”eksepsi. (Lilik Mulyadi,137:2010)

Terkait dengan jenis putusan itu dapat kita ketahui bahwa setiap putusan yang berupa pidana dapat dijatuhkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana atau memenuhi unsur-unsur dapat dipidanaya seseorang.

Unsur- unsur dapat dipidanya seseorang adalah: a.Melakukan perbuatan pidana.


(18)

c.Dengan kesengajaan atau kealpaan d.Tidak ada alasan pemaaf

Orang yang melakukan tindak pidana yang terkait dengan masalah ini yakni tindak pidana korupsi dalam hal ini yaitu tindakan dengan tujuan menguntungkan orang lain atau diri sendiri bahkan dengan adaya koorporasi.

Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau bahkan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukanya sebagai kepala daerah atau kekuasaan lain yang memiliki kewenangan dalam hal pemindah bukukan keuangan daerah dan bahkan sangat merugikan keuangan negara bahkan perekonomian pun tidak akan berjalan dengan mulus karena terhambatnya pembangunan yang menggunakan anggaran yang dikorupsi oleh orang-orang yang berwenang untuk mengelolanya.

Di kabupaten Lampung Timur dana APBD sebesar 119 miliar telah hilang karenaadanya pemindah bukuan oleh Bupati lampung timuri Ir.Hi.Satono,SH.SP dari Bank Lampung ke Bank Tripanca Setiadana yang kemudian Bank tersebut dinyatakan pailit dan ditutup oleh Bank Nasional namun dana tersebut telah hilang dan tidak tau kemana mengalirnya.

Hal ini ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah dirubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatanya tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada


(19)

waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi pandangan masyarakat menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang dilakukan oleh orang tersebut. (Roeslan Saleh (1981:84) )

Masalah ini tergantung pada cara atau perumusan pertanggung jawaban yang ditempuh oleh sipembuat Undang-undang sehubungan dengan pertanggung jawaban badan hukum selama ini ada bermacam-macam cara perumusan yang ditempuh oleh pembuat Undang-undang yaitu:

a. ada yang merumuskan bahwa yang dapat merumuskan tindak pidana yang dapat dipertanggung jawabkan adalah orang, perumusan ini dianut dalam (KUHP) wvs.

b. ada yang merumuskan bahwa yang melakukan tindak pidana adalah orang atau perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggung jawabkan adalah orang atau pribadi, dan dalam hal perserikatan adalah yang dapat dipertanggung jawabkan yaitu (anggota) pengurus, perumusan serupa ini terlihat pada ordonasi devisa Undang-undang penyelesaian perburuhan. c. ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat

dipertanggung jawabkan adalah orang dan atau perserikatan itu sendiri, perumusan serupa ini terlihat pada undang-undang tindak pidana ekonomi, subversi dan Undang-undang tindak pidana korupsi (Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-undang No 31 Tahun 1999)

Dalam pembicaran masalah tindak pidana korupsi yang terjadi di berbagai lini baik dari sektor swasta maupun pemerintah tentu didalamnya ada istilah unsur melawan hukumnya.


(20)

Dalam hal sifat melawan hukum ada sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum materil. Dalam sifat melawan hukum formal adalah hukum tertulis yaitu peraturan Perundang-undangan. Terpenuhinya sifat melanggar hukum apabila pelaku melanggar atau bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan (onwetmatigedaad) dalam sifat melawan hukum materil hukum tidak hanya hukum tertulis, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritteen law). Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar hukum (onrechtmatigedaad).

Perbuatan yang memenuhi rumusan suatu delik diancam pidana yang dilakukan dalam suatu proses sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah semata-mata merupakan pembalasan melainkan sebagai usaha preventif dan represif agar terdakwa bisa merenungkan perbuatan yang dilakukan dan akan menjadi pelajaran bagi perbuatan yang dilakukan yang akan datang.

Dalam hal hakim memberikan keputusan sepenuhnya diberi kebebasan untuk memberikan dan menentukan suatu hukuman pidana maupun putusan bebas terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dengan dasar-dasar hukum yang meringankan terdakwa bahkan membebaskanya. Maka dengan berlakunya KUHAP peranan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan harus dapat dipertanggung jawabkan.

Kitab undang-undang hukum acara pidana dalam pasaal 244 menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang di berikan pada tingat akhir oleh pengadilan selain daripada Mahkamah Agung dapat di ajukan permintaan kasasi kepada


(21)

mahkamah agung kecuai terhadap putusan bebas sedangkan dalam pasal 253 ayat (1) menyatakan bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh mahkamah agunng atas permintaan beberaa pihak sebagai mana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 248 guna menentukan

a. apakah benar suatu peraturan hukum tidk diterapkan sebagaimana mestinya b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakn menurut ketentuan

undang-undang

c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangya.

Sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum dalam Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat diketahui bahwa keputusan hakim pada pengadilan negeri dapat di ajukan kasasi karena dinyatakan bukan sebagai bebas murni.

2. Konseptual

Kerangka konseptual, merupakan kerangka yang mengambarakan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau diteliti (Soerjono Soekanto;1986:32)

Konsep ini akan menjelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penulisan, sehingga mempunyai batasan yang jelas dan tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini untuk menghindari kesalah pahaman dalam penulisan adapun istilah yang digunakan adalah sebagai berikut :


(22)

a. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan sebagainya. (W.J.S.Poerwadarminta,2006:407)

b. Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. (Pasal 1 Ayat (11) Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

c. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. ( Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman ).

d. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19945. (Pasal 1 Ayat (2) Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

e. Jaksa adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Pasal 1 Ayat (6) huruf a KUHAP)

f. Perkara adalah adalah sesuatu hal yang tidak dapat diselesaikan antara pihak-pihak serta adanya perselisihan, ada yang dipertengkarkan, dan adapula hal


(23)

yang disengketakan sehingga penyelesaianya perlu adanya pihak ketiga/orang lain.(Abdulkadir Muhammad, 2008:12)

g. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut, (Moeljatno:1993:54)

h. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi dengan menyalah gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberarantasan Tindak Pidana Korupsi).

i. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. (Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah).

j. Lampung timur adalah kabupaten atau daerah tingkat II yang berasal dari kabupaten daerah tingkat II lampung tengah dengan pusat pemerintahan di sukadana serta otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi lampung (Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lampung Timur).

k. Kasasi adalah upaya yang dilakukan penuntut umum maupun terdakwa untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang( Pasal 1 Ayat (12) KUHAP)


(24)

E. Sistematika Penulisan

Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi dalam penulisan sekripsi ini dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka sekripsi ini disusun dalam 5 (lima) Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

1. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, dan sistematika penulisan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan Bab yang berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah latar belakang pembuktian, masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang terdiri dari: pengertian tindak pidana, dan pengertian tindak pidana korupsi,dasar-dasar putusan hakim.

3. METODE PENELITIAN

Merupakan Bab yang menjelaskan metode yang dilakukan utuk memperoleh dan mengelola data yang akurat, adapun metode yang di gunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengelolahan data, serta analisis data.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab ini berisikan pembahasan dari hasil penelitian yang akan memberikan jawaban tentang pelaksanaan peradilan perkara tindak pidana korupsi, serta tuntutan yang di lakukan oleh Jaksa Penuntut Umum serta dasar-dasar pembelaan


(25)

terdakwa begitu juga dengan adanya dasar-dasar putusan hakim dan tuntutan jaksa. Serta tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-undang 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

5. PENUTUP

Merupakan Bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang berupa jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berisikan saran- saran penulis mengenai apa yang harus ditingkatkan dari pengembangan teori-teori yang berkaitan dengan hasil penelian demi perbaikan dimasa mendatang.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Putusan Hakim

Perihal “putusan hakim” atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechzekerheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim merupakan mahkota “sekaligus” “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki, hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya. Bab I Pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata menyebutkan putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang


(27)

dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.

Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis. Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan. Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sednangkan apabila panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita acara.


(28)

a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban. b. Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim.

c. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.

d. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.

e. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan. f. Tandatangan hakim dan panitera.

Berdasarkan Pasal 23 UU No. 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Karena begitu kompleksitas dimensi dan subtansi putusan hakim tersebut, memang tidaklah mudah untuk memberikan rumusan aktual, memadai, dan sempurna terhadap pengertian putusan hakim, akan tetapi, untuk memberikan sekedar batasan maka kalau kita bertitik tolak pada pandangangan doktrina, hukum positif/ius operatum. Dan asumsi penulis “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan” demikian dimuat dalam buku peristilahan hukum dalam praktik yang dikeluarkan Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 221.

Rumusan diatas terasa kurang tepat selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata ‟putusan‟ dan ‟keputusan‟ dicampur adukan. Adapula yang mengartikan „putusan‟ (vonis) sebagai vonis tetap‟ (devinitif) (kamus istilah hukum Fockema Andrea) rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa yang bukan ahli hukum. Sebaliknya dalam pembangunan hukum sedang berlangsung, diperlukan kecermatan dalam pembangunan istilah. Mengenai kata ‟putusan‟ yang


(29)

diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan. Ada juga yang disebut “interlocutoir” yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dan “prevaratoire” yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan atau keputusan persiapan serta keputusan „professional‟ yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara‟1 praktik yang dikeluarkan Kejaksaan Agung.

Bab 1 Pasal 1 Angka 11 KUHP Acara Pidana

Dalam Bab tersebut disebutakan bahwa‟putusan pengadilan‟putusan sebagai: “Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemindanan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini” Menurut Lilik Mulyadi, Dengan berlandaskan pada visi teoritis dan praktik maka ”putusan hakim” itu merupakan: Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatanya dalam persidangan perkara pidan ayang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemindahan atau bebas atau pelepasan dai segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian.

B.Macam-Macam Bentuk Putusan Hakim

Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).


(30)

Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan:

a) Putusan bebas (vrijpraak/acquittal)

Secara teoritis, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa kontinental lazim disebut dengan istilah putusan “vrijspraak” sedangkan dalam rumpun aglo saxon disebut putusan ”acquittal”. Pada asasnya esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan. Konkretnya, terdakwa dibebaskan dari segala macam tuntutan hukum. Atau singkatnya terdakwa tidak dijatuhi pidana. Jika kita bertitik tolak pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, asasnya terhadap putusan bebas limitatif diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa :

” Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan” perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Kalau konteks diatas ditarik suatu konklusi dasar, secara sistematis ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP beserta penjelasanya menentukan putusan bebas/ vrijspraak dapat terjadi apabila tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) sebagaimana dianut oleh KUHAP. Misalnya, hakim dalam persidangan tidak menemukan satu alat


(31)

bukti berupa keterangan terdakwa saja ( Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja ( Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP).

Majelis Hakim berpendirian terhadap asas minimum pembuktian sesuai undang-undang telah terpenuhi, misalnya, adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHP). Akan tetapi, majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana karena tidak yakin akan kesalahan tardakwa.

Oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak/acquital) kepada terdakwa.

Selanjutnya bila di telaah dari aspek teoritis, hakikatnya bentuk-bentuk putusan

bebas/acquittal”dikenal adanya beberapa bentuk, yaitu:

a. Pembebasan murni atau de”zuivere vrijspraak” dimana hakim membenar

kan mengenai ”feiten”-nya (na alle noodzakelijke voorbeslissingen met juistheid te hebben genomen).

b. Pembebasan tidak murni atau de “onzuivere vrijspraak” dalam hal “bedekte nietigheit van dagvaarding” (batalnya dakwaan secara terselubung) atau”perampasan yang menurut kenyataannya tidak dasarkan pada ketidak terbuktian dalam surat dakwaan”.

c. Pembebasan secara alasan pertimbangan pergunaan atau de “vrijspraak op

grond doilmatigheid ovimeginger” bahwa berdasarkan pertimbangan

haruslah di akhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak ada hasilnya

(berustend op de overwenging, dat eed eing gemaakt muet worden aan een noodjakelijk op niets uitlopende vervolging”.


(32)

d. Pembebasan yang terselubung atau de “berdekte vrijksparaak” dimana

hakim telah mengambil keputusan “feiten” dan menjatuhkan putusan “pelepasan dan tuntutan hukum”, padahal menurut HR putusan tersebut berisikan suatu “pembebasan secara murni.”

Dalam praktek peradilan, jika seorang terdakwa oleh majelis hakim di jatuhi hukungan

“vrijkspraak”, pada hakikatnya amar/diktum putusannya haruslah berisikan:

“Pembebasan terdakwa secara sah dan meyakinkan dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, serta martabatnya, memerintahkan terdakwa segera di bebaskan dari tahanan setelah putusan di ucapkan apabila terdakwa di tahan dan pembebanan biaya perkara kepada negara. (Lilik Mulyadi,2010:22)

b) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van Alle Rechtsvervolging)

Secara fundamental terhadap “putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum” atau

Onslag van alle rechtsvervolging “di atur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP di rumuskan dengan redaksional bahwa :“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Apabila di konklusikan dan di jabarkan lebih jauh, baik secara teoretis maupun praktik, pada ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP terhadap putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onsleg van alle rechtsvervolging) terjadi jika perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana, melainkan, misalnya, termasuk yurisdiksi hukum perdata adat, atau dagang. Perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi amar/diktum putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala


(33)

tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf (strafuitsluitings-gronden/feitde„axcuse) dan alasan pembenar (rechtsvaardigings-grond).

Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana). Keadaan memaksa atau overmacht (Pasal 48 KUH pidana). Pembatalan darurat atau

noodwer (Pasal 49 KUH Pidana). Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 KUH pidana).

Apabila secara intens di perbandingkan antara putusan bebas (Vrijspraak/Acquital) dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging),

menurut M. Yahya Harahap di tinjau perbandingan tersebut. Di tinjau dari segi pembuktian, pada putusan pembebasan, perbuatan yang di lakukan dan di dakwakan kepada terdakwa „tidak terbukti‟ secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Jadi, tidak memenuhi atas pembuktian undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas batas mminimum pembuktian yang di atur dalam Pasal 183 KUHAP. Lain halnya pada putusan dari segala tuntutan hukum. Apa yang di dakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik di nilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum yang di atur dalam Pasal 182 akan tetapi, perbuatan yang terbukti tadi “tidak merupakan tindak pidana.” Tegasnya perbuatan yang di dakwakan dan yang telah terbukti tadi, tidak ada di atur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana. Tapi, mungkin terkadang, atau hukum adat.”

c) Putusan pemidanaan (veroordeling)

Pada asasnya, putusan pemidanan atau “veroordeling” diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP dengan redaksioanal bahwa:


(34)

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana kejahatan

(misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen) dan dipenuhinya alat-alat bukti dan fakta-fakta dipersidangan (Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Oleh karena itu majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa.

Dalam praktek peradilan, lazimnya terhadap putusan pemidanaan kerap muncul nuansa yuridis. Pertama, jika tidak dilakukan penahanan terhadap terdakwa, majelis hakim dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan, yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih atau tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan terdapat alasan cukup untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu penahanan maka pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskanya jika terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2) KUHAP). Kedua, sedangkan terhadap lamanya pemidanaan (sentencing atau straftoemeting) pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum dan maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan. Memngenai masalah berat atau ringanya pidana ini merupakan wewenang yudex facti yang tidak unduk pada kasasi kecuali apabila yudex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1953 k/pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.


(35)

Walaupun pembentuk undang-undang memberikan kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, hal ini bukan berarti hakim dapat dengan seenaknya sendiri menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap.

Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang. (Lilik mulyadi,2010:219)

C. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana adalah “gebonden vrijheld” yaitu kebebasan terikat /terbatas karena diberi batas oleh Undang-undang yang berlaku dalam batas tertentu, hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan dan menentukan jenis pidana (starsoort) ukuran pidana berat atau ringanya pidana (strafmaat), cara pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk menentukan hukum (rechtvinding), (Nanda Agung Dewantara,1987:51)

Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dimasyarakat, sebagai mana diatur dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat:

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusanya mengenai hal-hal sebagai berikut:


(36)

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya, kemudian

2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan akibatnya,

3. Keputusan mengenai pidanaya, apakah memang dapat dipidana. (Soedarto:2000:74)

Berdasarkan pendapat diatas dapat diketahui bahwa segala keputusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dimana pertanggung jawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya-sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keputusan yang proposaional tersebut dapat dicapai dengan memperhatikan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Pedoman pemidanaan (statutory guidelines for sencenting), aturan pemidanaan yang berlaku serta keyakinan hakim tersebut dalam menjatuhkan sanksi, sehingga terlihat faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sangsi pidana dalam rangka mengurangi disparitas pidana. (Muladi dan Barda Nawawi Arief,1998:67).

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi dengan menyalah gunakaan


(37)

wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Pengertian korupsi secara gramatikal telah mengalami penyempitan makna, saat ini istilah korupsi cenderung hanya diartikan sebatas tindak pidana yang menyangkut keungan negara, padahal jika kita melihat pengertian secara umum dari asal mulanya istilah tersebut muncul sebenarnya tidaklah demikian, kata korupsi berasal dari bahasa latin itulah turunan dari bahasa eropa seperti inggris: coruptions, corupt, perancis corruption dan belanda corruptie (korruptie). Dapat kita memberanikan diri bahwa bahasa belanda inilah kata itu turun kebahasa indonesia “ korupsi” Korupsi memiliki arti harfiah dari kata kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah, meskipun kata coruptions itu luas sekali artinya namun sering corruptions dapat dipersamakan artinya dengan penyuapan” kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam ”Kamus Umum Bahasa Indonesia” Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti pengertian penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Poerwadaminta:1976).

Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah yaitu tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur oleh Hi,Satono SH.SP bin Hi, Darmo Susiswo yang ketentuan pidananya dalam Undang –Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan “Setiap orang yang dengan tujuan


(38)

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang menyalah gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan ayat (1) huruf a “Perampasan harta bergerak yang berwujud atau atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana yang dimana tindak pidana dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut ayat (1) huruf b “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” dan ayat 2 “jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu satu (1) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan akan dilelang dan digunakan untuk menutupi uang pengganti tersebut :

Pasal 55 ayat (1) ayat ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan “Penyertaan dalam tindak pidana, dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan tindak pidana”.

Perbuatan tindak pidana yang di lakukan oleh mantan Bupati Lampung Timur Hi.Satono,SH SP Bin Darmo Susiswo melanggar perbuatan tindak pidana yang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 junto, Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ko Pasal 64 ayat (1) KUHP serta Pasal 22 ayat (3) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Pasal 3 ayat (1)


(39)

jo Pasal 2 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

E.Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur setiap orang sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang dimaksud setiap orang adalah orang perorangan atau individu termasuk koorporasi. Bahwa Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak menjelaskan bahwa kata-kata setiap orang sebagai pelaku tindak pidana ini, namun jika dihubungkan dengan pasal ini menghendaki yang dapat diajukan sebagai subjek hukum atau pelaku tindak pidana tidak hanya orang perorangan tetapi juga koorporasi. Berpedoman pada teori hukum, yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban yang padanya dapat dikenai pertanggung jawaban hukum atas perbuatanya.

Unsur tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi, yang dimaksud dengan menguntungkan adalah sama artinya dengan mendapat untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi sama artinya dengan mendapatkan untung sendiri atau suatu koorporasi. Dimana dalam ketentuan pasal ini, unsur ini merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi.

Unsur menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dimaksud dengan “menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan tersebut


(40)

adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikanya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut.

Kewenangan yang dimaksud adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaanya dilaksanakan dengan baik. Kewenangan tersebut tercantum didalam ketentuan-ketentuan tentang kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari prilaku tindak pidana korupsi. Misalnya tercantum dalam Keppres, Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Anggaran Dasar dari suatu badan hukum perdata.

Kesempatan yang dimaksud adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang mana tercantum didalam ketentuan–ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat. Atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi, pada umumnya kesempatan ini diperoleh karena adanya kekurangan pengawasan dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan yaitu legislative.

Sarana yang dimaksud adalah syarat, cara media. Dalam kaitanya dengan tindakan pidana korupsi .

Penyalah gunaan kewenangan menurut hukum administrasi dalam 3 (tiga) wujud sebagai berikut :

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan–tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.


(41)

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar dijatuhkan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan Undan-undang atau peraturan lain.

3. Penyalahgunaan dalam arti penyalahgunaan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Unsur yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, yang dimaksud dengan “dapat” disini oleh pembentuk Undang-undang diletakan didepan kata-kata merugikan keuangan atau perekonomian Negara, hal ini menunjukan bahwa delik korupsi merupakan delik formil yaitu adanya delik korupsi cukup dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan kata lain, tidak menimbulkan kerugian apapun, asalkan perbuatan memenuhi unsur pidana korupsi maka terdakwa harus dihukum.

Dalam Undang-undang keuangan Negara yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan ataupun yang tidak dipisahkan yang termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban badan usaha milik Negara/badan usaha milik daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahann yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.


(42)

Perekonomian Negara yang dimaksud adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan maupun ditingkat daerah sesuai dengan kebutuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh warga masyarakat. Unsur yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan. sehubungan dengan Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP karena untuk menilai sejauh mana pertanggung jawaban terdakwa atas perbuatan yang dilakukan.

Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP merumuskan mengenai pengertian pelaku yaitu: a. Mereka yang melakukan sendiri suatu tindakan (plegen)

b. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana (doen plegen)

c. Mereka yang turut serta melakukan tindakan pidana (mede plegen)

Tindak pidana korupsi yang di dakwakan kepada mantan bupati Lampung Timur Hi.Satono SH.SP bin Hi, Darmo Susiswo Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa sesuai Undang-Undang Pembendaharaan Negara bahwa pejabat bupati ataupun walikota dalam menempatkan segala bentuk kas Negara harus dengan adanya pesetujuan DPRD dan harus pada Bank Negara. Namun tuntutan yang diajukan JPU ke pengadilan tinggi di mentahkan oleh majelis hakim dipersidangan sehinggan terdakwa diputuskan bebas dari segala tuntutan hukum.

Oleh karenanya inilah yang menjadi dasar penentu penulisan sekripsi ini mengapa ada perbedaan persepsi antara putusan hakim dan tuntutan jaksa. Sesuai dengan Pasal 22 ayat (3) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, terkait pemindahan kas daerah ke BPR Trianca. “Yang menyebutkan uang negara disimpan dalam rekening kas


(43)

umum Negara pada Bank central” adalah melanggar hukum.“Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 3 junto, Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No 20 tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ko Pasal 64 ayat (1) KUHP‟‟.

F. Pengertian Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Mengenai pelaku dalam Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah digambarkan siapa yang dianggap pelaku suatu tindak pidana.

Adapun bunyi Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP) yaitu:

a) Dipidana sebagai pembuat delik sesuai perbuatan pidana. Ke- 1 mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjajinkan sesuatu dengan kekerasan ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana ataupun keterangan sengaja menganjurkan orang lain yang supaya melakukan perbuatan. b) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang

diperhitumgkan akibatnya.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP, pelaku dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama melakukan tindak pidana. Selain bunyi Pasal 55 KUHP diatas, pelaku juga dapat dilihat dari rumusan delik yang dilakukan yaitu:

a. Delik dengan perumusan formil, pelaku adalah barang siapa yang memenuhi perumusan delik.

b. Delik dengan perumusan materiil, pelaku adalah barang siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang.


(44)

(45)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memenuhi dan mempelajari serta meneliti suatu masalah secara seksama dan penuh ketekunan guna mencapai suatu tujuan, untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penulisan ini maka digunakan langkah-langkah sebagai berikut;

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah menggunakan dua macam pendekatan terhadap permasalahan yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris.

1. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, memahami serta menelaah peraturan perundang-undangan, ketentuan dan dokumen yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi ini.

2. Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menggali informasi dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui secara lebih jauh mengenai permasalahan yang diteliti. Pada penelitian ini peneliti melakukan


(46)

wawancara dengan para jaksa dan hakim serta akademisi untuk mendapat gambaran tentang perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur oleh mantan Bupati Hi.Satono, SH.SP Bin Darmo Susiswo.

B. Sumber Dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dua jenis data, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama (Soerjono Soekanto, 1984:12) dengan demikian data primer adalah data yang diperoleh dari study lapangan maupun dari masyarakat atau pihak-pihak terkait dengan permasalahan yang diteliti.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku dan dokumen yang berhubungn dengan permasalahan yang ada di dalam penelitian ini, data sekunder yang dipergunakan antara lain:

a. Bahan hukum primer, di antaranya berupa: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).


(47)

4) Undang-Undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

5) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

7) Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 253.K/pid.SUS/2012/MA.

8) Salinan Putusan Pengadilan Negeri Kelas 1 A Tanjungkarang Nomor : 304.K/pid.sus/2011/PN.TK

b. Bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum, artikel, jurnal, dan laporan penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, terdiri dari literatur-literatur maupun media massa dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi Dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek sebagai keseluruhan sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian. Dalam penelitian yang akan diteliti oleh peneliti dalam skripsi ini adalah mempergunakan metode “Purpose Sampling, yaitu mengambil subjek penelitian tidak secara keseluruhan dari subjek yang yang ada, tetapi hanya mengambil beberapa subyek yang mempunyai hubungan dan sangkut paut dengan cirri-ciri populasi yang dapat mewakili dari keseluruhan subjek tersebut yakni Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung serta Dosen Pidana


(48)

pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu yang mewakili populasi secara keseluruhan.

Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Hakim Agung Pada Mahkamah Agung RI : 2 orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang 3. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta : 1 orang 4. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang

Jumlah : 5 orang D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan cara : a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan merangkum data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Studi Lapangan

Study lapangan adalah sebuah study untuk mendapatkan data primer guna melengkapi data sekunder yang dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan dengan system terbuka terhadap Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung serta Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, serta Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan


(49)

menggunakan daftar pertanyaan secara terbuka sebagai pedoman terhadap pihak yang berhubungan dengan Putusan Mahkamah Agung Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi Dana APBD Lampung Timur Di Tingkat Kasasi” (Studi Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dana APBD Lampung Timur No.253 K/PID.SUS/2012/ MA) kemudian data yang diperoleh melalui wawancara dikembangkan dan diperluas dengan tujuan untuk lebih memperkaya hasil penelitian.

3. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan data. Adapun langkah-langkah pengolahan data sebagai berikut:

a. Editing data, yaitu memilih data yang relevansinya bagi penelitian, kejelasanya, supaya memperoleh data yang benar-benar diperlukan dalam pembahasan.

b. Klasifikasi data, yaitu mengelompokan data sesuai dengan sub pokok bahasan supaya mempermudah dalam melakukan analisis.

c. Sistematika data, yaitu proses mengolah data yang diperoleh pada waktu penelitian karena data masih mentah, harus diolah terlebih dahulu. Tahap ini data-data direduksi, dirangkum, dipilih yang pokok dan relevan dengan permasalahan yang diteliti.

E.Analisis Data

Data yang diperoleh terkumpul secara keseluruhanbaik yang diperoleh dari hasil penelitian studi pustaka(data sekunder) maupun hasil penelitian lapangan(data


(50)

primer) kemudian dianalisis secara kualitatif yang menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian di interpretasikan dengan bentuk kalimat yang disusun secara sistematis,dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus yang kemudian diinterpretasikan dengan berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga diperoleh gambaran yang jelas dari mengenai pokok bahasan yang akhirnya menjadi jawaban permasalahan berdasarkan hasi penelitian.


(51)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai dasar-dasar alasan Jaksa dalam mengajukan kasasi serta dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur, maka penulis mengambil kesimpulan :

1. Bahwa yang menjadi alasan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan kasasi adalah karena Majelis Hakim telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum yang tidak sesuai sebagaimana mestinya, sehingga terdakwa dinyatakan bebas. Namun dengan alasan bahwa hakim telah salah dalam menafsirkan terhadap undang-undang yang dilanggar dalam perkara tindak pidana korupsi sehingga Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri tersebut harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut dan mejatuhkan vonis pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun, dengan pidana denda sebesar Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana tersebut tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Dan menghukum terdakwa membayar pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar


(52)

Rp.10.586.575.000 (sepuluh milyar lima ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama satu (1) bulan sesudah putusan ini mempunyai hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana dengan pidana penjara selama tiga (3) tahun.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana APBD lampung timur No.253.K/pid.sus/2012.MA, dengan memperhatikan pada pertimbangan yang bersifat yuridis dogmatis yaitu terdakwa Hi.Satono.SH.SP bin Hi.Darmo Susiswo telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP, undang No.48 Tahun 2009, Undang-Undang No.8 Tahun 1981, Undang-Undang-undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No.5 Tahun 2004, dan perubahan kedua dengan Undang-undang No.3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain.

3. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa yaitu terbukti melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, karena terdakwa melakukan tindak pidana korupsi


(53)

“Bersama-sama Melakukan Korupsi dan Berlanjut” dana APBD Lampung Timur.

4. Sifat melawan hukum yang dilakukan tedakwa bertentangan dengan sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika diangap perbuatan tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma dimasyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana, penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTK menyebut yang dimaksud dengan “melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil, yakni meski perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu diangap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dimasyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.

5. Terdakwa memenuhi kriteria mampu bertanggung jawab karena mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya itu bertentangan dengan hukum dan dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya.

6. Perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah dengan unsur kesengajaan untuk memperkaya diri (dolus) demikian pula terhadap diri terdakwa tiada melekat alasan pemaaf maupun alasan pembenar (culpa) yang dapat menghapuskan sifat perbuatan pidana.

B. Saran

Berdasarkan analisa dan kesimpulan atas permasalahan yang telah dibahas, maka yang menjadi saran penulis adalah:


(54)

1. Sebaiknya hakim dapat memberikan putusan yang berpihak pada keadilan yang objektif sehingga mampu menemukan hukum yang sebenarnya dan tidak memihak, serta diharapkan mampu membuat jera setiap pelaku yang ingin melakukan tindak pidana korupsi khususnya diwilayah Hukum Provinsi Lampung khususnya di kabupaten Lampung Timur.

2. Seharusnya tentang pengawasan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) lebih ditingkatkan dengan adanya solidaritas antara pemerintah, para penegak hukum dan seluruh masyarakat untuk menegakan peraturan hukum yang berlaku agar tidak terjadi pelanggaran tindak pidana korupsi.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri 2007, Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi ,1984. Sari Kuliah Hukum Pidana II.Badan Penyediaan Kuliah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Arief, Barda Nawawi ,1987. Perbandingan Hukum Pidana II.Badan Penyediaan Kuliah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Harmien Hadiati, Koeswadji, 2001. Korupsi Di Indonesia Dari Delik Jabatan Ketindak Pidana Korupsi. PT.citra aditya bakti, Bandung.

Hamzah. Andi.2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika Jakarta. 2008 Husin, Kadri “Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia” Universitas Lampung

2011. Bandar Lampung.

Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung, 2010

Nasution, Bahder johan. 2008. Metode penalitian ilmu Hukum. Mandar maju.Bandung.

Poerwadaminta,W,J,S. 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Indonesia. Jakarta.

Rifai, Eddy. 2011. Sifat Melawan Hukum Pidana Korupsi. Lampung post edisi 15 Desember 2011.


(56)

Soerodibroto, Soenarto.1996. KUHP dan KUHAP. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. September 1996

Manan, Bagir.2000. Wajah Hukum di Era Reformasi, Citra Aditia Bakti. Bandung, 2009

Universitas lampung. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Lampung University Press. Bandar Lampung

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Soedarto, 1975. Hukum Pidana jilid I A Badan penyediaan bahan kuliah fakultas hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Soekanto, Soerjono, 1988, Pengantar penelitian hukum, Universitas Indonesia, Jakarta

Universitas lampung 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung

Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 253.K/pid.sus/2012/MA

Salinan Putusan Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang Nomor : 304/PID.SUS/2011/PN.TK


(1)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai dasar-dasar alasan Jaksa dalam mengajukan kasasi serta dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur, maka penulis mengambil kesimpulan :

1. Bahwa yang menjadi alasan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan kasasi adalah karena Majelis Hakim telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum yang tidak sesuai sebagaimana mestinya, sehingga terdakwa dinyatakan bebas. Namun dengan alasan bahwa hakim telah salah dalam menafsirkan terhadap undang-undang yang dilanggar dalam perkara tindak pidana korupsi sehingga Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri tersebut harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut dan mejatuhkan vonis pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun, dengan pidana denda sebesar Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana tersebut tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Dan menghukum terdakwa membayar pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar


(2)

83

Rp.10.586.575.000 (sepuluh milyar lima ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama satu (1) bulan sesudah putusan ini mempunyai hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana dengan pidana penjara selama tiga (3) tahun.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana APBD lampung timur No.253.K/pid.sus/2012.MA, dengan memperhatikan pada pertimbangan yang bersifat yuridis dogmatis yaitu terdakwa Hi.Satono.SH.SP bin Hi.Darmo Susiswo telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP, undang No.48 Tahun 2009, Undang-Undang No.8 Tahun 1981, Undang-Undang-undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No.5 Tahun 2004, dan perubahan kedua dengan Undang-undang No.3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain.

3. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa yaitu terbukti melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, karena terdakwa melakukan tindak pidana korupsi


(3)

“Bersama-sama Melakukan Korupsi dan Berlanjut” dana APBD Lampung Timur.

4. Sifat melawan hukum yang dilakukan tedakwa bertentangan dengan sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika diangap perbuatan tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma dimasyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana, penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTK menyebut yang dimaksud dengan “melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil, yakni meski perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu diangap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dimasyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.

5. Terdakwa memenuhi kriteria mampu bertanggung jawab karena mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya itu bertentangan dengan hukum dan dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya.

6. Perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah dengan unsur kesengajaan untuk memperkaya diri (dolus) demikian pula terhadap diri terdakwa tiada melekat alasan pemaaf maupun alasan pembenar (culpa) yang dapat menghapuskan sifat perbuatan pidana.

B. Saran

Berdasarkan analisa dan kesimpulan atas permasalahan yang telah dibahas, maka yang menjadi saran penulis adalah:


(4)

85

1. Sebaiknya hakim dapat memberikan putusan yang berpihak pada keadilan yang objektif sehingga mampu menemukan hukum yang sebenarnya dan tidak memihak, serta diharapkan mampu membuat jera setiap pelaku yang ingin melakukan tindak pidana korupsi khususnya diwilayah Hukum Provinsi Lampung khususnya di kabupaten Lampung Timur.

2. Seharusnya tentang pengawasan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) lebih ditingkatkan dengan adanya solidaritas antara pemerintah, para penegak hukum dan seluruh masyarakat untuk menegakan peraturan hukum yang berlaku agar tidak terjadi pelanggaran tindak pidana korupsi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri 2007, Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi ,1984. Sari Kuliah Hukum Pidana II.Badan Penyediaan Kuliah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Arief, Barda Nawawi ,1987. Perbandingan Hukum Pidana II.Badan Penyediaan Kuliah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Harmien Hadiati, Koeswadji, 2001. Korupsi Di Indonesia Dari Delik Jabatan Ketindak Pidana Korupsi. PT.citra aditya bakti, Bandung.

Hamzah. Andi.2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika Jakarta. 2008 Husin, Kadri “Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia” Universitas Lampung

2011. Bandar Lampung.

Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung, 2010

Nasution, Bahder johan. 2008. Metode penalitian ilmu Hukum. Mandar maju.Bandung.

Poerwadaminta,W,J,S. 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Indonesia. Jakarta.

Rifai, Eddy. 2011. Sifat Melawan Hukum Pidana Korupsi. Lampung post edisi 15 Desember 2011.


(6)

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Soerodibroto, Soenarto.1996. KUHP dan KUHAP. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. September 1996

Manan, Bagir.2000. Wajah Hukum di Era Reformasi, Citra Aditia Bakti. Bandung, 2009

Universitas lampung. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Lampung University Press. Bandar Lampung

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Soedarto, 1975. Hukum Pidana jilid I A Badan penyediaan bahan kuliah fakultas hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Soekanto, Soerjono, 1988, Pengantar penelitian hukum, Universitas Indonesia, Jakarta

Universitas lampung 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung

Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 253.K/pid.sus/2012/MA

Salinan Putusan Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang Nomor : 304/PID.SUS/2011/PN.TK