Resensi buku 019

Judul buku : Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi
Penulis : Hanta Yuda AR
Kata Pengantar : Prof. Dr. Amien Rais dan Dr. Anies Baswedan
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, April 2010
Harga : Rp65.000
Tebal : xxix + 316 halaman
Peresensi : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
No. ISBN
Penulis
Penerbit
Tanggal terbit
Jumlah Halaman
Jenis Cover
Dimensi(L x P)

9789792254563
Hanta Yuda AR
Gramedia Pustaka Utama
Maret - 2010
339

Soft Cover
150x230mm

Penataan ulang desain institusi politik Indonesia pasca-Reformasi 1998 menjadi sebuah wacana
menarik: bagaimana melakukan kontekstualisasi sistem presidensial efektif di tengah kuatnya
kuasa parlemen dalam sendi-sendi kehidupan politik kita?
Hal tersebut menjadi telaah utama dari penelitian Hanta Yuda dalam bukunya, “Presidensialisme
Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi”(Jakarta: Gramedia, 2010). Hal yang menarik
diangkat, buku ini sebagian besar datanya berasal dari skripsi yang ditulis oleh penulisnya di
Fisipol UGM, 2006.
Dalam buku yang memfokuskan studi pada kabinet SBY-JK (2004-2009) ini, Hanta Yuda
menyoroti adanya problem dan potensi kompromi yang dihadapi oleh Presiden dalam kekuasaan
presidensial “setengah hati” akibat perpaduan model presidensialisme dan multipartai dalam
politik Indonesia. Kompromi-kompromi politik ini disebut oleh Hanta sebagai “Presidensialisme
Setengah Hati” atau “sistem presidensial reduktif“.
Reformasi Kelembagaan
Hanta kemudian melakukan tracking terhadap formasi presidensialisme yang
dianuto l e h I n d o n e s i a . P a s c a - 1 9 9 8 , H a n t a m e n e m u k a n f e n o me n a y a n g s a ma :
k e k u a s a a n p r e s i d e n s i a l y a n g d i p u r i f i k a s i d a r i mo d e l l a ma e r a O r d e B a r u ( p .
8 7 ) , b e r h a m p i r a n d e n g a n s i s t e m mu l t i p a r t a i y a n g d i b e n t u k u n t u k

mengakomodasi pluralitas politik.
Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan Amerika Latin yang dijadikan Hanta
sebagaikerangka berpijak dalam studi ini.
Pasca-1998, upaya untuk mengembalikan nafas demokrasi di Indonesia dilakukan dengan
purifikasi sistem presidensial yang dianut sebagai sistem pemerintahan. Purifikasi tersebut
antara lain dengan mengurangi kuasa yang cenderung koruptif pada lembaga kepresidenan, serta
memberi porsi yang lebih banyak pada parlemen untuk melakukan fungsi kontrol terhadap
kekuasaan presiden.

Hanya saja, desain institusional tersebut menimbulkan masalah tersendiri: kekuasaan presiden
menjadi dilematis karena sistem politik yang ‘legislative heavy’ tersebut menimbulkan keharusan
bagi Presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik dengan parlemen. Akibatnya,
selama masa pemerintahan SBY-JK, terjadi tarik-menarik kepentingan antara presiden dan
parlemen dalam pelbagai hal.
Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis: kompromi internal dan
eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di parlemen yang intervensif
menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan-kewenangan yang seyogianya dimiliki
oleh presiden dalam sistem presidensial. Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik
dan beragam ancaman dari parlemen kepada presiden dalam berbagai kebijakan,
Hal inilah yang coba disoroti oleh Hanta Yuda dalam penelitiannya tersebut. Jika asumsinya

sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai, maka dalam kasus Indonesia
inkompatibilitas tersebut juga akan problematis. Hanta Yuda mencoba mengelaborasi kedua
variabel ini dalam sebuah penelitian yang komprehensif, serta menawarkan 10+1 tawaran desain
institusional baru yang berupaya untuk memberikan alternatif agar sistem presidensial
kompatibel dengan multipartai di Indonesia.
Kesepuluh tawaran tersebut meliputi inisiasi sistem pemilu distrik, memperkecil daerah
pemilihan (district magnitude), penerapan parliamentary threshold secara konsisten,
penggabungan pemilu legislatif dan presiden, penyederhanaan fraksi, koalisi permanen,
penguatan bikameralisme secara seimbang, hak veto presiden, rekonstruksi posisi wakil presiden,
serta larangan rangkap jabatan. Selain itu, Hanta menawarkan sebuah rekomendasi noninstitusional: adanya karakter presiden yang kuat (strong president).
Dalam konteks ini, sistem kepartaian dan pemilu akan sangat menentukan. Bagaimana gagasangagasan mengenai desain institusional ini dikontekstualisasikan dalam sistem politik Indonesia ke
depan? Siapkah partai dan elit politik menerima konsekuensi berupa perubahan-perubahan?
Tentu saja, pertanyaan tersebut tak dapat serta-merta dijawab tanpa proses reformasi institusional.
Di sinilah gagasan Hanta Yuda relevan. Tanpa adanya upaya untuk melakukan perbaikan
kelembagaan, fenomena “presidensialisme setengah hati” bisa saja berimplikasi pada krisis
kepemimpinan dan krisis politik di masa depan. Maka, gagasan untuk reformasi kelembagaan
yang ditawarkan Hanta Yuda akan kompatibel dengan upaya membangun proses demokrasi yang
matang di Indonesia.
Buku yang ditulis oleh Hanta Yuda ini mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari beberapa
pakar ilmu politik. Tercatat beberapa praktisi dan pakar politik Indonesia memberikan testimoni

pada buku tersebut, di antaranya Prof. R. William Liddle (Ohio State University) dan Prof. Dr.
Mahfud MD. (Ketua Mahkamah Konstitusi).
Buku ini patut dibaca oleh sarjana, penstudi, dan pemerhati politik untuk melengkapi kembali
referensi mengenai politik Indonesia. Maka, meminjam wacana Anies Baswedan dalam kata
pengantar buku tersebut, mari bersiap menuju demokrasi yang matang.