73
BAB IV MAKNA PULAU SABU DAN NARASI TEMPAT DAN IDENTITAS KULTURAL
ORANG SABU DIASPORA
Masyarakat suku Sabu memiliki banyak warisan kebudayaan yang masih tetap dipelihara dan dilaksanakan hingga saat ini. Warisan kebudayaan tersebut adalah benda-benda peninggalan,
tari-tarian, ritual, dan lain sebagainya. Benda-benda peninggalan dari suku Sabu yang ada hingga saat  ini  adalah  kebudayaan  megalitik  yang  berada  di  kampung  adat  namata,  batu-batu  keramat
yang terdapat di Raijua sebagai tempat persembahan kepada raja Majapahit, dll. Tari-tarian yang biasa  digunakan  dalam  setiap  ritual  dari  masyarakat  suku  Sabu  adalah  tarian
padoa
dan  tarian
ledo hawu
. Ritual-ritual yang digunakan dalam masyarakat suku Sabu adalah ritual yang sesuai dengan siklus hidup manusia mulai dari ketika seseorang dilahirkan sampai meninggal.
Salah  satu  ritual  dari  masyarakat  suku  Sabu  yang  masih  dilaksanakan  hingga  saat  ini adalah
pebale rau kattu do made
. Ritual ini dilaksanakan oleh orang Sabu diaspora terutama bagi mereka  yang hidup agar mereka mengadopsi nilai-nilai persaudaraan ketika mereka kembali ke
pulau  Sabu  untuk  melaksanakan  ritual  ini.  Selanjutnya,  nilai-nilai  tersebut  bermakna  dalam kehidupan  mereka  ketika  mereka  kembali  dalam  masyarakat  diaspora  tempat  mereka  tinggal.
Sementara bagi orang yang meninggal, pelaksanaan ritual ini bertujuan agar orang Sabi diaspora tersebut meninggal dalam memori keluarga.
1. MAKNA PULAU SABU
Dalam  memahami  makna  pulau  Sabu  maka  terlebih  dahulu  penulis  ingin menggambarkan  tentang  orang  Sabu  diaspora.  Ritual
pebale  rau  kattu  do  made
dilakukan  oleh orang  Sabu  diaspora  yang  merantau  di  sebelah  timur  pulau  Sabu.  Dalam  hubungannya  dengan
74
teori diaspora maka Sheffer mendefinisikan diaspora modern sebagai emigran yang berasal dari kelompok  etnis  yang  menetap  di  negara  tempat  tinggal
host  country
,  namun  masih  menjaga hubungan  sentimental  yang  kuat  dengan  negara  asal  dan  kampung  halamannya.
1
Berdasarkan hasil  temuan  dari  penulis,  orang  Sabu  diaspora  adalah  orang  Sabu  yang  lahir  di  Sabu,  tetapi
karena  tuntutan  hidup  dan  pekerjaan  akhirnya  harus  merantau  ke  luar  pulau  Sabu  dan  bahkan menetap  di  tanah  rantau.  Sekalipun  orang  Sabu  telah  merantau  dan  menetap  di  tanah  rantau,
tetapi  mereka  masih  menjaga  hubungan  sentimental  dengan  kampung  halamannya.  Hal  itu terlihat dari kebiasaan orang Sabu yang tetap menjalankan ritual-ritual yang ada. Salah satu ritual
yang masih tetap dijalankan oleh orang sabu diaspora adalah ritual
pebale rau kattu do made.
Hubungan sentimental yang dibangun tidak saja dengan kampung halaman tempat orang Sabu  diaspora  berasal  tetapi  juga  dengan  keluarga  yang  berada  di  tempat  asal.  Hal  itu  dapat
dilihat  dari  pemahaman  orang  Sabu  bahwa  pulau  Sabu  itu  sebagai  rumah.  Rumah  dimana seorang  Sabu  diaspora  dilahirkan  sehingga  ketika  meninggal,  ia  juga  harus  kembali  ke  dalam
rumah.  Rumah  dalam  pemahaman  baik  masyarakat  primitif,  modern  dan  religius  adalah  pusat dunia axis mundi. Pulau Sabu juga dimaknai sebagai pusat dunia axis mundi. Oleh karena itu,
kehidupan  manusia  dimulai  dari  dalam  rumah,  berlangsung  di  rumah  dan  berakhir  di  rumah. Rumah  orang  Sabu  sama  dengan  sebuah  perahu  yang  dari  luar  nampaknya  tertutupterbalik.
Rumah  juga  dimaknai  sebagai  tempat  tinggal  baik  bagi  orang  yang  sudah  meninggal  maupun yang  masih  hidup  bersama  dengan  yang  Ilahi.  Oleh  karena  itu,  ketika  seorang  Sabu  diaspora
yang  meninggal  maka  ia  harus  kembali  ke  rumah  yang  merupakan  tempat  berkumpul  keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Tujuan untuk berkumpul dalam rumah bagi orang
Sabu diaspora adalah bagi orang yang hidup adalah agar mengambil nilai-nilai kehidupan seperti
1
G. Sheffer, A New Field of Study: Modern diasporas in international politics Croom Helm, London and Sydney, 1986, p. 1-15.
75
persaudaraan, dan lain-lain untuk dipakai ketika kembali dalam kehidupan diaspora. Sementara bagi orang yang meninggal, ia ingin meninggal dalam memori keluarga. Hubungan sentimental
dengan  kampung  halamannya  juga  terlihat  dalam  ritual
pebale  rau  kattu  do  made
yang dilaksanakan di Sabu dan dihadiri oleh anak cucu dan keluarga inti dari yang meninggal di tanah
rantau, keluarga di Sabu, pemerintah dan pemimpin agama. Dalam  kehidupan  masyarakat  diaspora  memiliki  ciri-ciri  khusus  dibandingkan  dengan
masyarakat  dimana  tempat  mereka  tinggal  menetap.  Menurut  William  Safran  mendefinisikan orang-orang  yang  merupakan  diaspora  dengan  menampakkan  enam  ciri  utama:  mereka  atau
nenek  moyang  mereka  yang  tersebar  dari  satu  pusat  asli  untuk  dua  atau  lebih  lokasi  asing, memiliki  memori  kolektif  tentang  tanah  asli  mereka,  mereka  tidak  sepenuhnya  percaya  dan
mereka tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat tuan rumah mereka, menganggap tempat asal mereka  sebagai  rumah  mereka  yang  sebenarnya  mereka  atau  keturunan  mereka  akhirnya  akan
kembali,  secara  kolektif  berkomitmen  untuk  pemeliharaan  tanah  air  mereka,  dan  terus berhubungan dengan tanah air yang dalam satu atau lain cara.
2
Demikian pula yang terjadi dalam kehidupan  orang  Sabu  diaspora,  orang  Sabu  disapora  menetap  hampir  tersebar  di  seluruh
Indonesia bahkan sampai di luar negeri. Khusus di Nusa Tenggara Timur NTT sendiri hampir di  setiap  daerah  atau  kabupaten  tempat  orang  Sabu  diaspora  tinggal,  Mereka  membentuk
komunitas  sendiri  yang  biasa  dinamakan  sebagai  “kampung  Sabu”.  Tujuan  pembentukkan komunitas tersebut  adalah untuk  menjaga kesatuan identitas  mereka.  Khusus  untuk  orang Sabu
diaspora yang masih hidup, cara mereka mengingat tanah leluhur atau kampung halaman mereka adalah dengan nyanyian lagu
Elemoto
.  Lagu ini menggambarkan  agar seorang Sabu  yang telah
2
Yolanda  Covington-Ward,  Transforming  Communities,  Recreating  Selves:  Interconnected  Diasporas, Perfomance in the Shaping Liberian Immigrant Identity,
Jurnal Ebsco Africa Today seri 1,vol.60, 2013: 5
76
merantau dan telah mengalami keberhasilan di tanah rantau, tidak boleh melupakan Sabu sebagai tanah tuak dan gula. Sementara untuk orang Sabu yang telah meninggal, mereka juga tidak akan
melupakan tanah leluhur atau pulau Sabu. Hal itu tergambar dari ritual
pebale rau kattu do made
yang  dilaksanakan  oleh  keluarga  yang  masih  hidup  terhadap  orang  Sabu  diaspora  yang  telah meninggal di tanah rantau. Tujuan pelaksanaan ritual
pebale rau  kattu do  made
di Sabu adalah
orang  Sabu  diaspora  yang  telah  merantau  dan  meninggal  di  tanah  rantau  telah  kembali  dalam rumah dan persekutuan keluarga di tempat asal atau pulau Sabu.
Menurut  Hans  Ucko,  masyarakat  diaspora  dalam  suatu  negara  dapat  dikategorikan sebagai masyarakat minoritas. Sering kali dalam situasi mayoritas-minoritas ada perasaan curiga
bahwa kelompok minoritas tidak memiliki kesetiaan apapun, dan mereka mengajukan agendanya sendiri,  yang  kalau  diterima  dan  diberi  kesempatan  akan  mengganggu  keamanan  dan
melenyapkan  stabilitas.  Sering  juga  kita  menganggap  kelompok  minoritas  sebagai  kelompok yang lemah, yang membutuhkan perlindungan dari yang mayoritas. Perlindungan tersebut sering
dalam bentuk kemurahan yang berubah-ubah, bahkan bisa menjadi suatu penganiayaan. Semakin kelompok  minoritas  ditekan,  semakin  pula  anggotanya  memberi  diri  untuk  mempertahankan
eksistensi kelompoknya.
3
Berdasarkan temuan dari penulis, orang Sabu diaspora yang terdapat di Kupang, mereka menjadi masyarakat yang minoritas. Hal itu dapat dilihat dari kelompok tempat
mereka  tinggal  adalah  hanya  khusus  dihuni  oleh  orang-orang  Sabu.  Dalam  keberadaannya sebagai  yang  minoritas  ditengah  masyarakat  yang  beragam  suku  dan  budaya  maka  orang  Sabu
diaspora  juga  dapat  menjadi  ancaman  yang  berarti  bagi  masyarakat  disekitarnya.  Mereka  juga hidup  dalam  budaya  yang  mereka  bentuk  sendiri,  cara  hidup  dan  kebiasaan-kebiasaan  yang
mereka lakukan. Contohnya, kejadian yang terjadi di kampung Sabu, Kabupaten Timor Tengah
3
Hans Ucko, Akar Bersama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999,36
77
Selatan TTS yaitu kejadian terkait ada isu yang beredar via SMS tentang penikaman terhadap 2 dua pemuda asal TTS di yang ditikam di Naibonat. Setelah dikonfirmasi dengan Kapolres TTS
Bapak  Agus  Hermawan  dan  koordinasi  dengan  Kapolres  Babau,  diperoleh  jawaban  pasti  isu tersebut tidak benar. Sebelum diketahui bahwa isu ini tidak benar, keadaan kampung Sabu cukup
mencekam.  Beberapa  warga  setempat  bersiaga  di  sejumlah  sudut  kampung  sambil mempersentajai  diri  dengan  batu,  parang,  panah,  potongan  kayu,  potongan  pipa  besi,  tombak,
senapan  angin  dan  benda  lainnya.  Untuk  mengatasi  keadaan  tersebut  maka  polisi  mengadakan razia terhadap warga luar yang melintasi jalan masuk ke lingkungan kampung Sabu di belakang
RSUD  Soe.  Selain  itu,  polisi  bersiaga  di  sejumlah  titik  dalam  lingkungan  kampung  tersebut.
4
Inilah  yang  dikatakan  oleh  Hans  Ucko  bahwa  masyarakat  diaspora  itu  sebagai  masyarakat minoritas.  Sekalipun  sebagai  masyarakat  minoritas  tetapi  masyarakat  dispora  itu  juga  dapat
menjadi  ancaman  bagi  orang-orang  yang  berada  disekitarnya.  Kampung  Sabu  di  Soe,  TTS  itu adalah salah satu contoh dari orang Sabu diaspora. Khusus untuk komunitas Sabu diaspora dalam
contoh  ini  terlihat  bahwa  mereka  menjadi  ancaman  bagi  masyarakat  Soe  secara  keseluruhan. Dilihat  dari  kasus  yang  dilakukan  oleh  warga  kampung  Sabu  tersebut  sudah  jelas  mengganggu
keamanan  dan  ketertiban  dari  masyarakat  TTS  secara  keseluruhan.  Untuk  menjaga  eksistensi kelompoknya dalam kasus tentang isu pembunuhan terhadap 2 warganya maka kita bisa melihat
bahwa warga kampung Sabu mempersenjatai diri mereka dengan berbagai benda tajam, dan lain- lain.
Yudaisme dalam banyak aspek adalah agama dari umat yang hidup dengan suatu ingatan atau  kenangan  akan  sejarah.  Ia  adalah  suatu  agama  yang  mengenang.  Salah  satu  kunci  dalam
Yudaisme  adalah  perintah
Zakor
“Ingatlah”  Ingatlah  masa  ketika  diperbudakan  dan  dalam
4
https:www.google.co.id?gws_rd=cr,sslei=txzRV_-LB8HRvgSHp4PQCAq=kampung+Sabu+Soe diunduh 08 September 2016
78
kurungan  Ingatlah  bahwa  engkau  dibawa  keluar  dari  perbudakan  Ingatlah  kesulitan-kesulitan dalam perjalanan di padang gurun Ingatlah bahwa engkau menjadi umat Tuhan ketika berada di
gurun  pasir.  Ingatlah  bahwa  engkau  dibebaskan  agar  menjadi  umat  yang  terpilih  Ingatlah identitasmu  sebagai  umat  yang  terpilih.
5
Jika  membandingkan  antara  Yudaisme  dengan  Sabu diaspora  maka  ada  kesamaan  diantaranya  yaitu  cara  mereka  mengekspresikan  kerinduan
terhadap tempat asal mereka adalah dengan ingatan atau kenangan akan sejarah. Ingatan dimulai dari  orang  Sabu  diaspora  tidak  melupakan  sejarah  pulau  Sabu  dari  masa  ke  masa.  Ingatan  itu
juga berkenaan dengan orang-orang  yang berjasa terhadap Sabu dan perkembangannya. Seperti contoh  nama-nama  besar  seperti  Bapak  El  Tari,  Piet  Alexander  Tallo,  Is  Tiboeloedi,  R.  Riwu
Kaho,  dan  lain-lain.  Ingatan  terhadap  nama-nama  besar  tersebut  sebenrnya  mau  menjelaskan bahwa orang Sabu diaspora telah berdiaspora sejak lama tetapi juga orang-orang Sabu diaspora
tersebut  juga  mengalami  kesuksesan  dan  keberhasilan  di  tanah  rantau.  Hal  itu  terlihat  dari jabatan-jabatan penting yang dipegang oleh orang-orang Sabu diaspora tersebut seperti gubernur,
kakanwil depdikbud NTT, pimpinan perusahan daerah NTT, dan lain-lain. Ingatan yang lain dari orang  Sabu  diaspora  yang  masih  hidup  terhadap  tempat  asal  atau  pulau  Sabu  adalah  dengan
penggunaan bahasa Sabu di tanah rantau, lagu elemoto yang tetap dinyanyikan dan ritual
pebale rau  kattu  do  made
yang  dilaksanakan oleh keluarga  yang masih  hidup.  Selain itu juga, ingatan terhadap  pulau  Sabu  tidak  akan  pernah  hilang  dari  kehidupan  orang  Sabu  diaspora.  Hal  itu
terlihat  dari  ketika  keluarga  Riwu  Kaho  dan  Tiboeloedji  datang  ke  Sabu. Mereka  tidak  saja
membawa
rau  kattu
dari  tanah  rantau  tetapi  juga  berbagi  rejeki  melalui  talenta  yang  mereka miliki.  Rejeki  yang  dibagi  adalah  berupa  pengobatan  gratis  yang  dilakukan  oleh  keluarga  dan
seminar  berupa  penyadaran  gender.  Ingatan  terhadap  pulau  Sabu  membuat  generasi  penerus
5
Ucko, Akar Bersama. 38.
79
dapat mengabdikan talenta yang dimiliki dan menggunakan Sumber Daya Manusia SDM yang ada untuk membangun masyarakat yang ada di Sabu.
Perintah  untuk  mengingat  inilah  yang  biasa  dikenal  dengan  nama  menyimpan  memori. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan orang Israel yaitu ketika mereka meninggal di tanah diaspora
maka mereka harus membawa pulang sesuatu ke kampung halaman mereka. Sebagai contoh, ada kisah dari keluarga Yakub atau Israel dimana di akhir hidupnya ia meminta kepada anak-cucu di
Mesir  tepatnya  di  wilayah  Gosyen  yang  subur  agar  suatu  hari  nanti  Yakub  di  bawa  pulang  ke Kanaan. Bahkan ia meminta dibuat sebuah janji atau sumpah. Demikian juga Yusuf melakukan
hal yang sama agar ia pun dibawa pulang untuk menikmati persekutuan dengan para leluhurnya di  Kanaan.  Bukankah  Mesir  lebih  mewah  dibanding  Kanaan?  Yakub  meminta  Yusuf  untuk
memenuhi  kerinduannya  seperti  ini:  “ketika  hampir  waktunya  bahwa  Israel  akan  mati, dipanggi
lnya  anaknya  Yusuf,  dan  berkata  kepadanya:  “jika  aku  mendapatkan  kasihmu, letakkanlah kiranya tanganmu di bawa pangkal pahaku, dan bersumpahlah, bahwa engkau akan
menunjukkan  kasih  dan  setiamu:  jangan  kiranya  kuburkan  aku  di  Mesir,  karena  aku  mau mendapat  perhentian  bersama-sama  dengan  nenek  moyangku.  Sebab  itu  angkutlah  aku  dari
Mesir dan kuburkanlah aku dalam kubur mereka. jawabnya: “aku akan berbuat seperti katamu itu. Kemudian kata Yakub: “bersumpahlah kepadaku”. Maka Yusuf pun bersumpah kepadanya
Kejadian  47:29-31.  Demikian  juga  Yusuf  melakukan  hal  sama  seperti  Yakub  kepada  anak- anaknya;  meskipun  membutuhkan  waktu  yang  panjang  untuk  membawa  Yusuf  ke  Kanaan
melalui  tragedi  penindasan  dari  Firaun  dimana  Allah  sendiri  menolong.  Melepaskan  serta membawa mereka melalui peristiwa Paskah. Kehadiran anak-anak dan cucu ini adalah kehadiran
Yusuf  sendiri  seperti  nyata  dalam  doanya  di  Kejadian  50:24- 25:  “Tidak  lama  lagi  akau  akan
mati;  tentu  Allah  akan  memperhatikan  kamu  dan  membawa  kamu  keluar  dari  negeri  ini,  ke
80
negeri yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; pada waktu itu kamu  harus  membawa  tulang-
tulangku  dari  sini”.  Rindu  ke  rumah  dan  berkumpul  dengan keluarga,  tanah  dan  air  adalah  semangat  dari  permintaan  bapak  leluhur  Israel.  Harapan  itu
dilegalkan  menjadi  wadah  ziarah  tiap  generasi  ke  tanah  air  perjanjian  yang  telah  diwariskan kepada anak cucu mereka.  Ketika Yusuf meninggal di tanah diaspora yaitu di tanah Mesir maka
saudara-saudaranya harus membawa tulang-tulangnya untuk dikuburkan di Israel. Artinya bahwa ketika Yusuf menjadi seorang diaspora di tanah Mesir dan waktu ia meninggal harus membawa
sesuatu puulang ke tanah leluhur atau tempat asal dari Yusuf. Yakub dan Yakub menginginkan bahwa  tulang-tulangnya  dikuburkan  di  Israel.  Ketika  Yakub  meminta  Yusuf  bersumpah  untuk
membawa tulangnya ke Israel. Hal  inilah  juga  yang  terjadi  dalam  sejarah
rau  kattu
yaitu  ketika
Jawa  Miha
meminta kepada
Hawu Miha
agar ketika ia meninggal maka harus membawa rambut dan tutup kepalanya dikembalikan  ke  negeri  asalnya,  pulau  Sabu.  Peristiwa  membawa  sesuatu  ke  tempat  asal  dari
orang  yang  meninggal  telah  dimulai  dari  zaman  Yakub  dan  Yusuf.  Tradisi  membawa  pulang sesuatu dari orang yang meninggal juga terjadi dalam kehidupan orang Sabu diaspora khususnya
orang Sabu diaspora yang merantau di sebelah timur pulau Sabu.  Dalam cerita Yakub dan Yusuf yang  dibawa  pulang  adalah  tulang  maka  bagi  orang  Sabu  diaspora  yang  dibawa  pulang  adalah
rambut. Tetapi dalam perkembangannya
rau kattu
yang dibawa tidak lagi berupa rambut, namun batu  kecil  dari  kuburan,  sarung  atau  selimut,  pakaian  dari  orang  yang  meninggal  dan  tulang.
Dalam  contoh  kasus  yang  terjadi  di  Seba  yaitu  pembawaan
rau  kattu
dalam  bentuk  tulang. Sebenarnya  mau  menjelaskan  bahwa  mereka  meneruskan  tradisi  yang  dilakukan  oleh  bangsa
Israel  terhadap  Yakub  dan  Yusuf.  Ritual
pebale  rau  kattu  do  made
dalam  perkembangannya dapat  dilaksanakan  baik  oleh  orang  yang  merantau  di  sebelah  timur  maupun  sebelah  barat  dari
81
pulau  Sabu.  Beberapa  daerah  rantau  orang  Sabu  diaspora  yang  pernah  melaksanakan  ritual
pebale rau kattu do made
adalah Kupang, Flores, Jakarta, dan lain-lain. Tempat  asal  itu  berhubungan  dengan  tempat  dimana  seseorang  dilahirkan.  Dalam
pandangan  orang  Sabu  jika  ia  dilahirkan  di  tempat  asalnya  atau  tanah  lelehurnya  maka  dengan sendirinya  ketika  ia  meninggal  ia  harus  kembali  ke  tempat  asalnya.  Alasan  orang  Sabu  harus
meninggal  dan  kembali  ke  Sabu  karena  tali  plasentanya  dikuburkan  di  Sabu.  Bagi  orang  Sabu diaspora yang merantau di sebelah timur pulau Sabu dan meninggal di tanah rantau maka harus
melaksanakan  ritual
pebale  rau  kattu  do  made
.  Ritual  ini  dilaksanakan  karena  jenazah  orang Sabu diaspora tidak dapat kembali ke Sabu. Jadi,
rau kattu
dianggap mewakili diri si mati untuk kembali  ke  kampung  halaman,  rumah  dan  persekutuan  keluarga.  Tempat  asal  juga  sering
digambarkan sebagai sebuah tempat dimana banyak memori tersimpan didalamnya.
6
Bagi orang Sabu  diaspora,  di  pulau  Sabu  terdapat  rumah  yang  menjadi  tempat  dimana  banyak  memori
tersimpan didalamnya. Rumah di Sabu bukan saja tempat dimana orang Sabu sebelum merantau dilahirkan tetapi menjadi ruang dimana masa kecil dihabiskan bersama dengan seluruh keluarga.
Kerinduan  untuk  kembali  dalam  rumah  yang  merupakan  tempat  dilahirkan  juga  menjadi kerinduan  orang  Sabu  diaspora  yang  merantau  ketika  ia  meninggal  agar  ia  dapat  kembali  ke
dalam rumah dan persekutuan keluarga. Rumah juga tidak saja menjadi tempat beristirahat bagi orang  yang telah meninggal tetapi  juga rumah menjadi  tempat  pertemuan antara keluarga  yang
masih  hidup  baik  itu  keluarga  dari  tanah  rantau  maupun  keluarga  yang  ada  di  Sabu.  Selain  itu juga,  rumah  orang  Sabu  terdapat  kolong  rumah  yang  merupakan  tempat  bagi  orang  Sabu
dikuburkan.  Bagi  orang  Sabu  diaspora,  jika  meninggal  kembali  ke  rumah  maka  kembali  untuk dikuburkan di bagian kolong rumah. Kolong rumah orang Sabu terdiri dari bagian
wui
buritan
6
Bell Hook, Belonging: A Culture of Place. New York: Routledge, 2009, 5.
82
dan d’uru haluan dengan lantai tanah. Memori yang lain yang tersimpan dalam ingatan orang
Sabu diaspora adalah kembali ke tempat asal atau pulau Sabu berarti kembali kepada kendaraan milik dari
Ama Piga Laga
. Dalam pemahaman orang Sabu diaspora khususnya bagi mereka yang merantau, jika meninggal dan tidak melaksanakan ritual
pebale rau  kattu do made
maka arwah dari  orang  yang  meninggal  belum  tenang.  Alasannya,  karena  di  Sabu  terdapat  kendaraan  dari
Ama  Piga  Laga
yang  akan  mengantarkan  menuju  tempat  berkumpulnya  roh  para  leluhur  di Tanjung  Sasar,
Juli-Haha
.  Memori  yang  tersimpan  dalam  rumah  orang  Sabu  adalah  tentang seorang ibu  yang melahirkan. Oleh karena itu,  pulau Sabu juga memiliki makna sebagai  rahim
ibu.  Ketika  seseorang  dilahirkan  oleh  ibu,  ibu  tidak  sendiri  tetapi  bersama  dengan  beberapa perempuan dan bidan, sehingga ketika seseorang Sabu diaspora meninggal juga harus kembali ke
rahim atau rumah ibu. Selain itu juga, ketika seorang perempuan melahirkan dalam budaya Sabu dalam  posisi  duduk  sehingga  ketika  seorang  Sabu  diaspora  meninggal  juga  ketika  dikuburkan
dalam  keadaan  duduk  seperti  waktu  melahirkan  dalam  posisi  duduk  di  rahim  ibu.  Pulau  Sabu sebagai tempat dimana banyak deposit memori kehidupan  yang tersimpan di dalamnya. Hal itu
tergambar  dari  kehidupan  baik  itu  orang  Sabu  diaspora  yang  masih  hidup  maupun  yang  sudah meninggal.  Bagi  orang  yang  hidup  ketika  mereka  pulang  ke  Sabu  dan  melaksanakan  ritual  ini
berarti  mereka  mengambil  nilai-nilai  kekeluargaan,  persaudaraan,  dan  lain-lain  yang  akan mereka bawa kembali ketika mereka berada kembali dalam kehidupan diaspora. Bagi orang yang
meninggal, mereka ingin meninggal dalam memori keluarga. Keputusan  untuk  kembali  ke  tempat  asal  adalah  suatu  cara  agar  seseorang  tidak
mengalami  hubungan  yang  terputus  dengan  tempat  asalnya,  untuk  tetap  terikat  dengan  budaya asalnya dan dengan bahasa yang digunakan di tempat asal. Sekalipun seseorang telah pergi lama
untuk  merantau  di  suatu  tempat  namun  ketika  ia  pulang  kembali  ke  tempat  asal  maka  ia  akan
83
disambut  oleh  keluarganya.  Kedatangan  kembali  ke  tempat  asal  menggambarkan  bahwa seseorang  kembali  ke  dalam  cinta  kasih  keluarganya.
7
Dalam  kehidupan  orang  Sabu  diaspora yang  pulang  kembali  ke  tempat  asal  bukan  hanya  orang  yang  telah  meninggal  tetapi  juga
bersama  dengan  keluarga  dari  diaspora.  Bagi  orang  Sabu  diaspora,  kembali  ke  tempat  asal seperti  kembali  ke  dalam  rumah  dan  persekutuan  keluarga.  Hal  itu  dapat  dilihat  dari  cara
bagaimana  orang  Sabu  ketika  menyambut  orang  yang  telah  meninggal  didahului  dengan  ritus
pelango do made
menyambut si mati kembali dalam persekutuan keluarga. Bukan hanya orang yang telah meninggal telah kembali ke rumah berkumpul dengan keluarga, tetapi keluarga yang
dari rantau juga turut serta berziarah ke kampung halaman.
2. NARASI TEMPAT DAN IDENTITAS KULTURAL ORANG SABU DIASPORA