UJI EFEKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TIKUS PUTIH JANTAN GALUR Sprague Dawley YANG DIINDUKSI KARAGENIN

(1)

UJI EFEKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR

Sprague Dawley YANG DIINDUKSI KARAGENIN

Oleh

ABIGAIL PHEILIA YUMEISIEN THAMRIN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

ANTI-INFLAMMATORY EFFECTIVENESS OF BINAHONG LEAVES EXTRACTS (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) IN MALE SPRAGUE

DAWLEY RATS INDUCED BY CARRAGEENAN

By

ABIGAIL PHEILIA YT

Non Steroid Anti-inflammatory Drugs (NSAID) have been used as anti-inflammatory therapy but have side effect like gastrointestinal bleeding so natural anti-iinflammatory is needed. Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) has nature substances which have anti-inflammatory characteristic like oleanolic acid, ursolic acid and flavonoid. The aim of this study is to test the effectiveness of binahong leaves extract as anti-inflammatory drug.

In this study, we investigated the antiinflammatory effect in male Sprague Dawley rats which was induced by carrageenan 1%. This study was an experimental study with pre and post test control group design. Twenty five rats was divided into five groups (a negative control with aquadest, a positive control with mefenamic acid, and three treatment groups with binahong leaves extract of dose 25,2 mg/200 g BB, 50,4 mg/200 g BB and 100,8 mg/200 g BB).

The results showed the anti-inflammatory capacity in positive control group, three groups of binahong leaves extract 25,2 mg/200 g BB, 50,4 mg/200 g BB and 100,8 mg/200 g BB were 11,00%, 5,10%, 10,49% and 0,82%.

The dose of binahong leaves extract which has the highest antiinflammatory in this study is 50,4 mg/200 g BB.


(3)

ABSTRAK

UJI EFEKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TIKUS PUTIH JANTAN GALUR Sprague

Dawley YANG DIINDUKSI KARAGENIN

Oleh

ABIGAIL PHEILIA YT

Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) digunakan sebagai terapi antiinflamasi namun memiliki efek samping berupa perdarahan saluran cerna sehingga dibutuhkan antiinflamasi alami. Tanaman binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) memiliki senyawa alami yang bersifat antiinflamasi seperti asam oleanolik, asam ursolat dan flavonoid. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas ekstrak daun binahong sebagai antiinflamasi.

Pada penelitian ini, uji efektivitas ekstrak daun binahong sebagai antiinflamasi dilakukan pada tikus jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi karagenin 1%. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan pre dan post test control group design. Dua puluh lima ekor tikus dibagi dalam lima kelompok (kontrol negatif dengan pemberian akuades, kontrol positif dengan pemberian asam mefenamat, dan tiga kelompok perlakuan dengan dosis ekstrak binahong 25,2 mg/200 g BB, 50,4 mg/200 g BB dan 100,8 mg/200 g BB).

Hasil penelitian menunjukkan daya antiinflamasi pada kelompok kontrol positif dan tiga kelompok dosis ekstrak daun binahong 25,2 mg/200 g BB, 50,4 mg/200 g BB dan 100,8 mg/200 g BB secara berurutan sebesar 11,00%, 5,10%, 10,49% dan 0,82%. Dosis ekstrak binahong yang memiliki efek antiinflamasi paling tinggi dalam penelitian ini adalah 50,4 mg/200 g BB.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penulisan ... 4

1. Tujuan Umum ... 4

2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Kerangka Teori... 6

1.6. Kerangka Konsep ... 7

1.7. Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1.Inflamasi ... 9

2.2.OAINS ... 12

2.3. Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) ... 16


(7)

III. METODE PENELITIAN.. ... ...25

3.1. Desain Penelitian ... 25

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

3.3. Populasi dan Sampel ... 25

3.4. Alat dan Bahan Penelitian ... 27

3.5. Prosedur Penelitian ... 28

3.6. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 33

3.7. Analisis Data ... 35

3.8. Justifikasi Etik ... 35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1.Hasil ... 38

4.2.Pembahasan ... 42

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1.Simpulan ... 47

5.2.Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Definisi Operasional... 34

2 Volume rerata telapak kaki tikus dari sebelum induksi, jam kesatu hingga jam keenam keenam setelah diinduksi 0,1 ml karaginan 1% ... 38


(9)

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Kerangka Teori... 6

2 Kerangka Konsep ... 7

3 Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranan dalam inflamasi ... 12

4 Biosintesis Prostaglandin ... 14

5 Daun Binahong ... 17

6 Alur Penelitian... 32


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Ethical Clearance... 54

2 Hasil Pengamatan ... 55

3 Hasil Uji Statistik ... .. 57


(12)

I . PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) merupakan obat yang dapat mengurangi inflamasi dan meredakan nyeri melalui penekanan pembentukan prostaglandin (PG) dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase (COX). OAINS merupakan salah satu obat yang paling banyak diresepkan. Berdasarkan survey yang dilakukan di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa OAINS digunakan oleh 17 juta orang setiap hari. Di laporan tersebut juga dinyatakan bahwa telah terdapat 100 juta resep OAINS yang ditulis dengan omset penjualan sebesar USD 2 miliar setiap tahun (Soeroso, 2008).

Usia harapan yang terus meningkat menyebabkan peningkatan frekuensi penyakit muskuloskeletal seperti osteoartritis (OA), gout dan sebagainya. Lebih dari 50% resep OAINS diberikan kepada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun, sehingga insiden efek samping OAINS semakin meningkat (Soeroso, 2008).


(13)

Penggunaan OAINS ini dalam waktu lama dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan pada saluran pencernaan bawah. Dilaporkan bahwa OAINS menyebabkan luka permukaan dengan mempengaruhi integritas membran mukosa saluran cerna (Prakash, 2012).

OAINS juga banyak digunakan untuk pereda nyeri pada organ atau sistem lain seperti sakit kepala, nyeri visera, kolik ureter dan bilier, dismenore dan pada nyeri akut akibat trauma. Kebanyakan masyarakat menggunakan OAINS dengan dosis yang berlebihan, karena mereka ingin rasa nyeri segera lenyap. Berbagai keadaan tersebut mengakibatkan lebih 100.000 orang dirawat di RS setiap tahun karena efek samping OAINS, dengan angka kematian sekitar 10.000-20.000 orang (Soeroso, 2008).

Seiring dengan perkembangan sediaan OAINS, para ahli mengupayakan penyediaan obat ini dengan efek samping yang seminimal mungkin, diantaranya merubah formulasi dan penemuan sediaan OAINS baru. Akan tetapi ternyata sediaan terkini pun tidak mampu memberikan solusi yang terbaik sebab di satu sisi memberikan efek terapi terhadap suatu organ tubuh tertentu, tetapi memberi efek samping terhadap organ tubuh lainnya (Fajriani, 2008).

Indonesia sebagai negara megabiodiversity memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga masyarakat sudah terbiasa memanfaatkan tanaman untuk digunakan sebagai obat dan salah satunya adalah binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis). Di negara-negara Eropa, tumbuhan ini memiliki nama lain, yaitu madeira vine. Daun binahong telah


(14)

digunakan sebagai obat tradisional sebagai terapi untuk gagal ginjal, diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, infeksi dan lainnya (Sukandar et al., 2010).

Uji farmakologis terhadap daun binahong mendapati tumbuhan ini mampu berperan sebagai antibakterial, antiobesitas dan antihiperglikemik, antimutagenik, antiviral, antiulser dan antiinflamasi. Analisa fitokimia mengindikasikan daun binahong mengandung saponin, alkaloid dan flavonoid (Cloridina dan Nugrohowati, 2009).

Salah satu efek daun binahong yang paling banyak dimanfaatkan masyarakat adalah efek antiinflamasi sehingga penulis tertarik untuk menguji dan membandingkan ekstrak daun binahong dengan asam mefenamat sebagai antiinflamasi.

1.2. Perumusan Masalah

OAINS merupakan obat yang sering digunakan sebagai pereda rasa nyeri maupun antiinflamasi. Namun, akhir-akhir ini penggunaannya semakin meluas dan kasus akibat efek sampingnya pun meningkat. Sedangkan, pengobatan secara herbal pun semakin meningkat belakangan ini. Daun binahong mengandung beberapa senyawa aktif yang berperan sebagai antiinflamasi seperti asam oleanolik, asam ursolat dan flavonoid.


(15)

Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas ekstrak daun binahong sebagai antiinflamasi? 2. Berapa dosis ekstrak daun binahong yang paling efektif sebagai

antiinflamasi?

3. Berapa persentase daya antiinflamasi asam mefenamat dan ekstrak daun binahong?

4. Bagaimana efektivitas peningkatan dosis ekstrak daun binahong sebagai antiinflamasi?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun binahong sebagai antiinflamasi.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dosis ekstrak daun binahong yang paling efektif sebagai antiinflamasi.

2. Untuk mengetahui persentase daya antiinflamasi asam mefenamat dan ekstrak daun binahong.

3. Untuk mengetahui efektivitas peningkatan dosis ekstrak daun binahong sebagai antiinflamasi.


(16)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan farmakologi mengenai efek ekstrak daun binahong sebagai antiinflamasi.

2. Manfaat praktis a. Bagi diri sendiri

Untuk mengembangkan jiwa peneliti dan mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama masa pembelajaran di perguruan tinggi. b. Bagi peneliti lain

Sebagai referensi bagi peneliti lain mengenai ekstrak obat herbal sebagai antiinflamasi.

c. Bagi masyarakat

- Penelitian ini merupakan salah satu upaya pemanfaatan tumbuhan daun binahong dalam mengobati inflamasi.

- Meningkatkan status daun binahong, dari jamu tradisional menjadi obat fitofarmaka untuk terapi inflamasi.


(17)

1.5. Kerangka Teori

Keterangan:

= Menginduksi = Menghambat = Mengandung

Gambar 1. Kerangka Teori

Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

Saponin Alkaloid

Asam Ursolat Asam

Oleanolik Flavonoid

Inflamasi Karagenin


(18)

1.6. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2. Kerangka Konsep Kelompok 1

(Kontrol negatif) Aquadest 5 ml

Kelompok 2 (Kontrol positif) Asam Mefenamat 12,6 mg/200g BB

Kelompok 3 (Perlakuan 1) Ekstrak Binahong 25,2 mg/200g BB

Volume Telapak Kaki Tikus

Kelompok 4 (Perlakuan 2) Ekstrak Binahong 50,4 mg/200g BB

Kelompok 5 (Perlakuan 3) Ekstrak Binahong 100,8 mg/200g BB


(19)

1.7. Hipotesis

Dari paparan di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Ekstrak daun binahong memiliki efek antiinflamasi.

2. Dosis ekstrak daun binahong yang paling efektif sebagai antiinflamasi adalah 50,4 mg/200 g BB.

3. Peningkatan dosis ekstrak daun binahong disertai peningkatan efektivitas sebagai antiinflamasi.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Inflamasi

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).

Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004).

Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan


(21)

Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme yang berbeda :

a. fase akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler.

b. reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit.

c. fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis (Wilmana, 2007).

Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah:

1. Kemerahan (rubor)

Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008).

2. Rasa panas (kalor)

Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007).


(22)

3. Rasa sakit (dolor)

Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal:

(1) adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).

4. Pembengkakan (tumor)

Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).

5. Fungsiolaesa

Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi.

(Wilmana, 2007).

Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG). Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek


(23)

Gambar 3. Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranan dalam inflamasi. (Sumber : Robbins, 2004)

2.2. OAINS

1. Definisi

Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter. Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, secara kimia (Wilmana, 2007).


(24)

2. Mekanisme Kerja

Prostaglandin dilepaskan saat terjadi kerusakan sel dan OAINS menghambat biosintesis prostaglandin. Obat-obat tersebut tidak menghambat pembentukan mediator inflamasi lain atau leukotrien. Enzim pertama dalam jalur pembentukan prostaglandin adalah prostaglandin G/H sintetase, atau yang dikenal dengan nama siklooksigenase (COX). Enzim ini mengubah asam arakidonat (AA) menjadi Prostaglandin G2 (PGG2) dan Prostaglandin H2 (PGH2), yang akan diubah menjadi tromboksan A2 (TXA2) dan bentuk prostaglandin lainnya. Dosis terapeutik OAINS menurunkan biosintesis prostaglandin dengan menghambat COX, dan terdapat korelasi antara potensi sebagai penghambat COX dan aktivitas antiinflamasi (Brunton et al., 2008).

Terdapat dua bentuk COX, COX-1 dan COX-2. COX-1 dapat ditemukan dalam kebanyakan sel dan jaringan normal, sedangkan sitokin dan mediator inflamasi yang menyertai inflamasi menginduksi produksi COX-2. COX-1 lebih banyak diekspresikan, khususnya dalam sel epitel lambung dan merupakan sumber terbanyak dari pembentukan prostaglandin sitoprotektif. Penghambatan COX-1 pada lokasi ini memiliki efek terhadap lambung sebagai komplikasi dari terapi OAINS, sehingga dilakukan penelitian untuk mengembangkan penghambat COX-2 yang diekspresikan dalam ginjal dan otak


(25)

OAINS biasanya diklasifikasikan sebagai analgesik ringan. Obat ini efektif ketika inflamasi menyebabkan sensitisasi pada reseptor nyeri karena stimulus kimia atau mekanik. Nyeri yang menyertai inflamasi dan kerusakan jaringan dapat berasal dari stimulus lokal dari jaringan yang rusak dan meningkatkan sensitivitas nyeri (hiperalgesia), sebagai konsekuensi dari peningkatan rangsangan dari neuron di medula spinalis (Brunton et al., 2008).

Kapasitas prostaglandin untuk membuat reseptor nyeri peka terhadap stimulasi mekanik dan kimia berasal dari penurunan ambang pada nosiseptor fiber C. Umumnya, OAINS tidak memiliki efek langsung terhadap nyeri, karena kerja obat ini adalah dengan menghambat biosintesis prostaglandin (Brunton et al., 2008).

Gambar 4. Biosintesis Prostaglandin (Sumber: Wilmana, 2007)


(26)

3. Efek Samping

Efek samping yang terjadi terutama berhubungan dengan saluran pencernaan karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis PG. Gangguan yang dapat terjadi meliputi anoreksia, nausea, dispepsia, nyeri abdominal, dan anemia akibat perdarahan saluran cerna. Gejala-gejala tersebut terkait dengan ulkus gaster atau ulkus duodeni, dan dapat dikurangi dengan obat selektif COX-2 (Brunton et al., 2008).

4. Asam Mefenamat

Asam mefenamat merupakan senyawa fenamat turunan N-fenilantranilat yang termasuk golongan fenamat.

Sifat Farmakologis

Senyawa fenamat mempunyai sifat antiradang, antipiretik dan analgesik. Pada uji analgesia, asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan kerja perifer. Senyawa fenamat juga memiliki sifat-sifat tersebut terutama karena kemampuannya menghambat siklooksigenase (Brunton et al., 2008).

Sifat Farmakokinetik

Konsentrasi puncak dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam untuk asam mefenamat. Pada manusia, sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresi dalam urin, terutama sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi dan metabolit 3-karboksil serta konjugatnya.


(27)

metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi. Asam mefenamat sangat terikat kuat oleh protein plasma (>90%). Dengan demikian interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan (Wilmana, 2007; Brunton et al., 2008).

Efek toksik dan perhatian

Efek samping yang paling umum (terjadi pada sekitar 25% dari sleuruh pasien) melibatkan sistem saluran cerna. Biasanya efek samping ini berupa dispepsia atau rasa tidak nyaman pada saluran cerna bagian atas sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung.. Pada orang usia lanjut efek samping diare hebat lebih sering dilaporkan. Efek samping lain yang berdasarkan hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokonstriksi. Anemia hemolitik pernah dilaporkan (Wilmana, 2007).

Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Karena efek toksiknya, maka di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil, dan pemberiannya tidak melebihi 7 hari. Penelitian klinis menyimpulkan bahwa penggunaan selama haid mengurangi kehilangan darah secara bermakna (Wilmana, 2007). Senyawa fenamat dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat penyakit saluran cerna. Jika tampak diare atau ruam kulit, obat ini harus segera dihentikan (Brunton et al., 2008).


(28)

2.3. Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

1. Nama Lain

Tanaman binahong di Inggris dikenal dengan nama heartleaf madeiravine atau madeira vine, sedangkan di Tiongkok tanaman ini disebut teng san chi. Di negara asalnya, Amerika Selatan, tanaman ini juga memiliki sinonim Boussingaultia basselloides, Boussingaultia cordifolia, Boussingaultia gracilis, Boussingaultia gracilis var. Pseudobaselloides (Badan POM RI, 2008).

Gambar 5. Daun Binahong (Sumber : biofarmaka.ipb.ac.id)

2. Klasifikasi Taksonomi

Seperti yang tercantum pada Direktorat Obat Asli Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan POM RI (2008), klasifikasi tanaman binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) adalah sebagai berikut:


(29)

Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Caryophyllales

Famili : Basellaceae Genus : Anredera

Spesies : Anredera cordifolia (Ten.) Steenis

3. Deskripsi Tumbuhan

Berupa tumbuhan menjalar, berumur panjang, bisa mencapai panjang lebih dari 6 m. Batang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid, permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tak beraturan dan bertekstur kasar. Daun tunggal, bertangkai sangat pendek, tersusun berseling, berwarna hijau, bentuk jantung, panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi rata, permukaan licin dan bisa dimakan. Bunga majemuk berbentuk tandan, bertangkai panjang, muncul di ketiak daun, mahkota berwarna krem keputih-putihan berjumlah lima helai tidak berlekatan, panjang helai mahkota 0,5 - 1 cm, berbau harum. Akar berbentuk rimpang, berdaging lunak (Badan POM RI, 2008).

4. Kandungan

1) Flavonoid

Aktivitas flavonoid adalah sebagai antioksidan, anti atherosklerotik, anti agregasi trombosit, antiulser, antiviral, antiinflamasi,


(30)

antiartritis dan antidiare (Patel, 2008). Flavonoid juga memilki efek antimikroba dengan target spektrum luas (Manoi, 2009).

2) Asam Oleanolik

Hammond (2006) menyatakan bahwa kandungan asam oleanolik dalam daun binahong memiliki efek antiinflamasi yang dapat mengurangi rasa nyeri pada luka bakar (Astuti et al., 2011).

3) Saponin

Saponin yang ditemukan dalam binahong memiliki beberapa aktivitas farmakologis seperti antimikroba, antitumor, penurun kadar kolesterol, immune potentiating dan antioksidan (Blumert dan Liu, 2003). Selain itu, saponin juga potensial dalam proses pembentukan kolagen, protein yang berperan dalam proses pemulihan luka (Isnaini, 2009).

4) Alkaloid

Alkaloid merupakan zat yang terdistribusi luas dalam tanaman dan memiliki kemampuan sebagai antimikroba (antibakteri, antifungi dan antiviral). Alkaloid juga memiliki aktivitas antitumor, antihiperglikemik, antipiretik serta digunakan untuk mengobati edema, asites dan hordeolum (Fattorusso dan Taglialatela-Scafati, 2008).

5) Asam Ursolat

Menurut Lim et al. (2007), asam ursolat dapat menstimulasi diferensiasi keratinosit epidermal sehingga binahong dapat


(31)

2.4. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang akan diinginkan larut (Ansel, 1989). Faktor-faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah:

1. jangka waktu sampel kontak dengan cairan pengekstraksi (waktu ekstraksi)

2. perbandingan antara jumlah sampel terhadap jumlah cairan pengekstraksi (jumlah bahan pengekstraksi)

3. ukuran bahan dan suhu ekstraksi (Voight, 1994).

Semakin lama waktu ekstraksi, kesempatan untuk bersentuhan makin besar sehingga hasilnya juga bertambah sampai titik jenuh larutan. Perbandingan jumlah pelarut dengan jumlah bahan berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi, jumlah pelarut yang berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak, namun dalam jumlah tertentu pelarut dapat bekerja optimal. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini dapat mengakibatkan beberapa komponen mengalami kerusakan. Penggunaan suhu 50° C menghasilkan ekstrak yang optimum dibandingkan suhu 40°C dan 60° C (Voight, 1994).

Salah satu metode ekstraksi bahan alam, yaitu metode maserasi. Maserasi adalah metode perendaman. Penekanan utama pada maserasi adalah


(32)

tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dan jaringan yang diektraksi (Guenter, 1987).

Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat-zat aktif sehingga zat aktif akan larut. Karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel, maka larutan yang pekat didesak keluar. Pelarut yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Untuk mendapatkan ekstrak dalam waktu yang relatif cepat dapat dilakukan pengadukan dengan menggunakan shaker berkekuatan 120 rpm selama 24 jam (Yustina et al., 2008).

Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses ekstraksi, sehingga banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut (Guenther, 2006). Terdapat dua pertimbangan utama dalam memilih jenis pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat melarutkan ekstrak yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Bernasconi, 1995).


(33)

2.5. Tikus (Rattus novergicus)

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm (Depkes, 2013).

Rattus novergicus galur Sprague Dawley umumnya digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian karena memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan manusia, yakni termasuk ke dalam kelas mamalia. Oleh karena itu, tikus sering dijadikan model penelitian aplikasi kesehatan manusia karena terdapat persamaan fisiologis. Selain itu, sifat-sifat Rattus novergicus galur Sprague Dawley telah diketahui dengan jelas, antara lain: mudah dipelihara dalam jumlah besar, cepat berkembang biak dan tidak rentan terhadap infeksi bakteri dan virus (UW AUTP, 2009)

Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan dewasa, yaitu berumur minimal kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Tikus putih galur ini


(34)

mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan cukup agresif dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner, 1983).

Klasifikasi tikus (Rattus novergicus) dalam taksonomi adalah (Depkes, 2013) :

Dunia : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Mammalia Subklas : Theria Ordo : Rodentia Sub ordo : Myomorpha Famili : Muridae Sub famili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus novergicus

2.6. Karagenin

Iritan yang digunakan untuk pengujian efek antiinflamasi beragam jenisnya, satu diantaranya adalah karagenin. Karagenin merupakan polisakarida hasil ekstraksi rumput laut dari family Eucheuma, Chondrus, dan Gigartina. Bentuknya berupa serbuk berwarna putih hingga kuning


(35)

berbau, serta memberi rasa berlendir di lidah. Karagenin juga memiliki sifat larut dalam air bersuhu 80ºC (Rowe et al., 2009).

Karagenin berperan dalam pembentukan edema dalam model inflamasi akut (Singh et al., 2008). Karagenin dipilih karena dapat menstimulasi pelepasan prostaglandin setelah disuntikkan ke hewan uji. Oleh karena itu, karagenin dapat digunakan sebagai iritan dalam metode uji yang bertujuan untuk mencari obat-obat antiinflamasi, tepatnya yang bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin (Winter et al., 1962).

Ada tiga fase pembentukan edema yang diinduksi oleh karagenin. Fase pertama adalah pelepasan histamin dan serotonin yang berlangsung hingga 90 menit. Fase kedua adalah pelepasan bradikinin yang terjadi pada 1,5 hingga 2,5 jam setelah induksi. Pada fase ketiga, terjadi pelepasan prostaglandin pada 3 jam setelah induksi, kemudian edema berkembang cepat dan bertahan pada volume maksimal sekitar 5 jam setelah induksi (Morris, 2003). Berdasarkan penelitian terdahulu, yang berperan dalam proses pembentukan edema adalah prostaglandin yang terbentuk melalui proses biosintesis prostaglandin. Senyawa ini dilepaskan lalu bereaksi dengan jaringan di sekitarnya dan menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang merupakan awal mula terjadinya edema (Vinegar et al., 1976).


(36)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan pre dan post test control group design.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Oktober-Desember 2013.

3.3. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.


(37)

2. Sampel

a. Kriteria Sampel 1. Kriteria Inklusi

a. Tikus jantan galur Sprague Dawley sehat (bergerak aktif). b. Umur 2-3 bulan.

c. Berat badan 180-200 gram. 2. Kriteria Eksklusi

Tikus sakit atau mati sebelum mendapat perlakuan. 3. Kriteria Drop Out

- Tikus mati.

- Tikus tampak sakit (gerakan tidak aktif, tidak mau makan, rambut kusam atau rontok).

b. Besar Sampel

Sampel penelitian ini ditentukan menurut rumus Federer untuk uji eksperimental, yaitu:

(t-1) (n-1) 15

dimana (t) adalah kelompok perlakuan, dan (n) adalah jumlah sampel perkelompok perlakuan.


(38)

(t - 1) (n - 1) 15 (5 – 1) (n – 1) 15 4 (n – 1) 15 4n – 4 15 4n 19 n 4,75

n  5

Dalam penelitian ini, tikus dibagi dalam dua kelompok kontrol perlakuan dan tiga kelompok perlakuan, dan jumlah sampel per kelompok lima ekor, sehingga didapat jumlah sampel 25 ekor tikus.

3.4. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

- Kandang tikus beserta kelengkapan pemberian makan - Gelas Ukur

- Spuit - Jarum oral

- Gelas kimia beserta spatula - Neraca digital


(39)

- Rotary evaporator - Waterbath

- Stopwatch

2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

- Ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steensis) - Asam mefenamat

- Aquadest - Karagenin 1%

3.5. Prosedur Penelitian

1. Prosedur Pemberian ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steensis)

a. Cara pembuatan ekstrak etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steensis)

Daun Binahong diperoleh dari kebun di kawasan Sukabumi, Bandar Lampung. Masing-masing simplisia yang sudah dibersihkan dan dikeringkan hingga diperoleh simplisia kering, dipotong-potong ±5 mm dan diblender sampai jadi bubuk kasar. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 70 % selama 24 jam kemudian diuapkan dengan evaporator untuk menguapkan pelarut sehingga didapatkan ekstrak kental.


(40)

b. Cara perhitungan dosis

Volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada tikus adalah 5 ml (Rosalind Franklin University, 2012). Menurut Laurence dan Bacharach (1964), faktor konversi dosis dari manusia Eropa dengan berat badan 70 kg terhadap hewan uji (tikus) dengan berat badan 200 g adalah 0,018. Berat badan rata-rata orang Indonesia adalah 50 kg (Birawati, 2012).

Kelompok kontrol positif diberikan asam mefenamat dengan dosis = 500 mg x (70kg/50kg) x 0,018 = 12,6 mg/200 gram BB.

Dosis lazim yang digunakan masyarakat untuk mengatasi inflamasi ringan adalah 2 lembar daun binahong perhari. Massa rata-rata satu lembar daun binahong adalah 1 gram.

Dosis lazim masyarakat = 2 x 1 gram = 2 gram.

Dosis konversi tikus = 2 x (70kg/50kg) x 0,018 = 0,504 g = 50,4 mg/200g BB

Dalam penelitian ini digunakan dosis ekstrak daun binahong yang bertingkat:

Kelompok uji I : Dosis rendah/dosis I = 0,5 x 50,4 mg/200 g BB = 25,2 mg/200 g BB Kelompok uji II : Dosis sedang/dosis II = 1 x 50,4 mg/200 g BB

= 50,4 mg/200 g BB Kelompok uji III : Dosis tinggi/dosis III = 2 x 50,4 mg/200 g BB


(41)

2. Prosedur Penelitian

a. Tikus jantan galur Sprague Dawley (180-200 gr) diadaptasikan selama satu minggu sebelum mulai diberikan perlakuan.

b. Tikus dimasukkan ke dalam 5 kelompok

 Kelompok 1 (5 ekor tikus) sebagai kontrol negatif yang diberikan aquadest 5ml

 Kelompok 2 (5 ekor tikus) sebagai kontrol positif yang diberikan asam mefenamat 12,6 mg/200g BB

 Kelompok 3 (5 ekor tikus) sebagai kelompok perlakuan 1 yang diberikan ekstrak daun binahong 25,2 mg/200g BB

 Kelompok 4 (5 ekor tikus) sebagai kelompok perlakuan 2 yang diberikan ekstrak daun binahong 50,4 mg/200g BB

 Kelompok 5 (5 ekor tikus) sebagai kelompok perlakuan 3 yang diberikan ekstrak daun binahong 100,8 mg/200g BB

c. Tikus dipuasakan 24 jam sebelum masa percobaan dengan tetap diberi minum.

d. Melarutkan 0,1 gram karagenin dalam 10 ml larutan salin.

e. Mengukur volume telapak kaki kanan dengan cara volumemetrik sesuai Hukum Archimedes menggunakan gelas ukur yang telah dikalibrasi sebelum diberi perlakuan (t=0).

f. Memberikan ekstrak daun Binahong dan asam mefenamat peroral sesuai dengan kelompok perlakuan masing-masing tikus (t=0’).


(42)

g. Melakukan induksi dengan 0,1 ml karagenin 1% diinjeksikan pada telapak kaki kanan tikus 1 jam setelah pemberian ekstrak dan asam mefenamat (t=1).

h. Menghitung volume edema pada telapak kaki setelah injeksi karaginan (interval waktu 1,2,3,4,5,6 jam) dengan cara volumemetrik menggunakan gelas ukur yang telah dikalibrasi. Pengulangan pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali kemudian hasil tersebut dirata-rata.

i. Menganalisis data yang diperoleh secara statistik

j. Menghitung persentase penghambatan edema dengan rumus (Mogosan dan Munteanu, 2008):

% penghambatan edema = (1 –

) x 100 %

Keterangan :

= volume rerata telapak kaki tikus dalam kelompok kontrol (ml)

= volume rerata telapak kaki tikus dalam kelompok perlakuan(ml)


(43)

3. Alur Penelitian

Diadaptasikan selama 1 minggu

Gambar 6. Alur Penelitian Tikus putih jantan galur Sprague Dawley

Kelompok 1 (5 ekor tikus)

Kontrol negatif Aquadest

5 ml

Kelompok 3 (5 ekor tikus) Perlakuan 1 Ekstrak Binahong 25,2 mg/200 g BB Kelompok 2

(5 ekor tikus) Kontrol positif Asam Mefenamat 12,6 mg Kelompok 5 (5 ekor tikus) Perlakuan 3

Ekstrak Binahong

100,8 mg/200 g BB Kelompok 4

(5 ekor tikus) Perlakuan 2

Ekstrak Binahong 50,4 mg/200

g BB

t = 0 Ukur Volume telapak kaki tikus

t = 0’ Pemberian Ekstrak Binahong dan Asam Mefenamat

t = 1 Induksi telapak kaki kanan tikus dengan karagenin 1%

t = 2,3,4,5,6,7 Ukur Volume telapak kaki tikus


(44)

3.6. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

1. Identifikasi Variabel

a. Variabel bebas / independen b. Variabel tergantung / dependen

2. Klasifikasi Variabel

a. Variabel Independen : Dosis ekstrak daun Binahong dan asam mefenamat


(45)

3. Definisi Operasional

Tabel 1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Skala Dosis Ekstrak Daun

Binahong

Dosis ekstrak yang terbuat dari

daun Binahong (Anredera

cordifolia (Ten.) Steenis) dalam pelarut etanol 70%

Numerik

Karagenin Zat yang digunakan untuk menginduksi edema pada telapak kaki tikus

Volume Telapak Kaki Tikus

Volume telapak kaki tikus yang diukur dari ujung jari kaki hingga mata kaki dengan gelas ukur secara volumetrik.

Numerik

Persentase Penghambatan Edema

Persentase penghambatan edema

untuk menilai kerja obat

antiinflamasi dengan rumus: % penghambatan edema =

(1 –

) x 100 %

Keterangan :

= volume rerata telapak kaki tikus dalam kelompok kontrol (ml)

= volume rerata telapak kaki tikus dalam kelompok perlakuan(ml)


(46)

3.7. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan software pengolah data statistik dengan uji normalitas data (Shapiro-Wilk) dan homogenitas (Levene). Jika data berdistribusi normal serta homogen (p>0,05), maka dilanjutkan dengan uji beda lebih dari dua sampel, yaitu uji analisis varian satu arah (one way ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh bermakna atau tidak. Uji ANOVA akan dianggap bermakna bila p<0,05 dan selanjutnya dilakukan uji post hoc. Jika salah satu syarat untuk uji ANOVA tidak terpenuhi, maka dilakukan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui adanya perbedaan. Apabila terdapat perbedaan bermakna, dilakukan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar tiap kelompok perlakuan.

3.8. Justifikasi Etik

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Penelitian ini menggunakan hewan coba sebagai sampel sehingga dalam pelaksanaan penelitian, peneliti akan menerapkan prinsip 3R yaitu Replacement, Reduction dan Refinement .


(47)

1. Replacement, adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh sel atau biakan jaringan (Ridwan, 2013).

2. Reduction, adalah pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Pengurangan jumlah penggunaan hewan coba dilakukan sampai pada batas jumlah yang masih bisa dianalisis secara statistik. Dalam penelitian ini sampel dihitung berdasarkan rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) ≥ 15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan (Ridwan, 2013). Pada penelitian ini dibutuhkan jumlah sampel minimal sebanyak 5 ekor tikus tiap kelompok dengan total 25 ekor tikus yang dibutuhkan.

3. Refinement, adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi, dengan prinsip dasar membebaskan hewan coba dalam beberapa kondisi (Ridwan, 2013).

a. Bebas dari rasa lapar dan haus, pada penelitian ini hewan coba diberikan pakan standar dan minum secara ad libitum.

b. Bebas dari ketidak-nyamanan, pada penelitian hewan coba ditempatkan di animal house dengan suhu terjaga 20-25°C, kemudian hewan coba terbagi menjadi 3-4 ekor tiap kandang. Animal house berada jauh dari gangguan bising dan aktivitas manusia serta kandang dijaga kebersihannya.


(48)

c. Bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan pemantauan, serta pengobatan terhadap hewan percobaan jika diperlukan. Pada penelitian ini, hewan coba diberikan anestesi berupa eter sebelum diinjeksikan induksi karagenin pada telapak kakinya.

d. Bebas dari stres, dengan memberikan waktu adaptasi selama 1 minggu sebelum dilakukan perlakuan.

Prosedur pemeliharaan, perlakuan dan pengambilan data selama penelitian mempertimbangkan tindakan manusiawi dan pada akhir penelitian akan dilakukan tindakan dislokasi servikal untuk menewaskan hewan coba. Kemudian, kadaver hewan coba akan dimasukkan ke dalam plastik, ditutup rapat lalu dimusnahkan dengan pembakaran.


(49)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil simpulan sebagai berikut:

1. Ekstrak daun binahong memiliki efek antiinflamasi. Jika dibandingkan dengan obat antiinflamasi seperti asam mefenamat, efek antiinflamasi ekstrak daun binahong lebih rendah.

2. Dosis ekstrak binahong paling efektif sebagai antiinflamasi dalam penelitian ini adalah 50,4 mg/200g BB.

3. Persentase daya anti inflamasi asam mefenamat sebesar 11%, ekstrak binahong pada dosis 25,2 mg/200 g BB sebesar 5,10%, dosis 50,4 mg/200 g BB sebesar 10,49% dan dosis 100,8 mg/200 g BB sebesar 0,82%. 4. Peningkatan dosis ekstrak daun binahong tidak selalu diikuti peningkatan


(50)

5.2. Saran

Saran bagi peneliti lain antara lain:

1. Penggunaan obat antiinflamasi yang lebih poten sebagai kontrol positif untuk penelitian selanjutnya.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap efek toksik dari ekstrak binahong.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk uji efek antiinflamasi secara topikal dari ekstrak daun binahong.

4. Perlu dilakukan penelitian terhadap efek-efek lain yang dimiliki zat-zat aktif yang terkandung dalam tanaman binahong.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Anredera cordifolia. http://www.plantamor.com/species/anredera-cordifolia. Diakses 20 Oktober 2013.

Anonim. 2012. Binahong. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/593-herbal-plants-collection-binahong. Diakses 09 Oktober 2013.

Anosike, C.A., dan Obidoa, O., 2010. Anti-Inflammatory and Anti-Ulcerogenic Effect on Ethanol Extract of Coconut (Cocos nucifera) on Experimental Rats. AJFAND. 10(10): 4286-4300.

Ansel, C.H., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Astuti, S.M., Sakinah A.M, M., Andayani B.M, R., dan Risch, A., 2011. Determination of Saponin Compound from Anredera cordifolia (Ten) Steenis Plant (Binahong) to Potential Treatment for Several Diseases. Journal of Agricultural Science. 3(4): 224–32.

Badan POM RI. 2008. Anredera cordifolia (Ten.) Steenis dalam Direktorat Obat Asli Indonesia. hal.10.

Bernasconi, G., 1995. Teknologi kimia I. Penerjemah; Handojo.L, Jakarta: PT. Prandya Paramitha.

Birawati, S., 2012. Pengaruh Seduhan Bunga Rosella terhadap Histopatologi Tubulus Proksimal Ginjal Mencit Jantan. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandarlampung.

Blumert, M dan Liu J., 2003. Jiaogulan (Gynostemma pentaphyllum). China’s Immortality Herb 3rd ed. Badger: Torchlight Publishing.


(52)

Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., dan Buxton, I., 2008. Goodman &

Gilamn’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. United States of

America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Chuang, M.T., Lin, Y.S. dan Hou, W.C., 2007. Ancordin, the major rhizome protein of Madeira-vine, with trypsin inhibitory and stimulatory activities in nitric oxide productions. Peptide. 28 (6): 1311–16.

Cloridina, H., dan Nugrohowati, N., 2009. Identifikasi dan isolasi senyawa kimia ekstrak air dan etanol daun Anredera cordifolia (Ten.) Steenis dengan kromatografi lapis tipis. (Laporan Penelitian Internal). Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.

Corwin, E.J., 2008. Handbook of Pathophysiology 3th edition. Philadelphia: Lippincort Williams & Wilkins.

Depkes RI. Pedoman Pengendalian Tikus.pdf diunduh pada 03 Oktober 2013.

Dorland, W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. (Penerjemah: Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk.). Jakarta: EGC.

Duryatmo, S., 2003. Aneka Ramuan Berkhasiat dari Temu-Temuan. Jakarta: Puspa Swara.

Fajriani. 2008. Pemberian Obat-Obatan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) pada Anak. Indonesian Journal of Dentistry. 15(3): 200-4.

Fattorusso, E., dan Taglialatela-Scafati, O., 2008. Modern Alkaloids: Structure, Isolation, Synthesis and Biology. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co.

Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri. Jakarta: penerbit UI.


(53)

Grzanna, Reinhard, Linmark, L., dan Frondoza, C.G., 2005. Review: Ginger An Herbal Medicinal Product with Broad Anti-Inflammatory Actions. Journal of Medicinal Food. 8(2): 125-32.

Moura-Letts, G., Villegas, L.F., Marçalo, A., Vaisberg, A.J., dan Hammond, G.B., 2006. In Vivo Wound-Healing Activity of Oleanolic Acid Derived from the Acid Hydrolysis of Anredera diffuse. 69(6): 978-9.

Harkness, J.E., dan Wagner, J.E., 1983. Biology and Medicine of Rabbits and

Rodents.Philadelphia: Lea and Fabriger.

Isnaini, H., 2009. Uji Aktivitas Salep Extract Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis) Sebagai Penyembuhan luka Bakar Pada Kulit Punggung Kelinci. (Skripsi). Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

King, T.C., 2007. Elsevier’s Integrated Pathology. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Lim, S.W., Hong, S.P., Jeong, S.W., Kim, B., Bak, H., Ryoo, H.C., et al., 2007. Simultaneous effect of ursolic acid and oleanolic acid on epidermal permeability barrier function and epidermal keratinocyte differentiation via peroxisome proliferator-activated receptor-alpha. The Journal of Dermatology. 34(9): 625–34.

Liu, J., 1995. Pharmacology of Oleanolic Acid and Ursolic Acid. Journal of Ethnopharmacology. 49(2): 57-68.

Malole, MB dan Pramono, C.S.U., 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Manoi, F., 2009. Binahong (Anredera cordifolia) Sebagai Obat. Warta Penelitian dan Pengembangan. 15(1): 3-6.

Mogosan, C., dan Munteanu, M.F., 2008. A Comparative Study on Antiinflammatory Effect of The Tinctures from Melampyrum bihariense Kern and Melampyrum cristatum L. (Scrophulariaceae). Farmacia; LVI(4): 389-92.


(54)

Morris, C.J., 2003. Carrageenan-Induced Paw Edema in the Rat and Mouse. Methods Mol Biol. 225: 115-21.

Narayana, K.R., Reddy, M.S., Chaluvadi, M.R., dan Krishna, D.R., 2000. Bioflavonoids Classification, Pharmacological, Biochemical Effects and Therapeutic Potential. Indian Journal of Pharmacology. 33(1): 2-16.

Patel, J.M., 2008. A Review of Potential Health Benefit of Flavonoids. Lethbridge Undergraduate Research Journal. 3(2): 1-5.

Prakash, P., Linchtenberger, L.M., dan Gorfe, A.A., 2012. Aggregation Behavior of Indomethacin, Cholic Acid and POPC. 17th Annual Structural Biology Symposium.

Ridwan, E., 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med Assoc. 63(3): 112-6.

Robbins. 2004. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rosalind Franklin University. 2012. Guidelines for Injection Volumes, Needle Sizes and Osmotic Minipump Size Considerations.pdf. Diunduh 22 Oktober 2013.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E., 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth edition. London: Pharmaceutical Press.

Singh, A., Maholtra, S., dan Subban, R., 2008. Antiinflammatory and Analgesic Agents from Indian Medicinal Plants. International Journal of Integrative Biology. 3(1): 57-72.

Soeroso, J., 2008. Pedoman Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid. (Abstrak). http://penelitian.unair.ac.id/artikel_dosen. Diakses 13 Maret 2013.

Subbaramaiah, K., Michaluart, P., Sporn, M.B., dan Dannenberg, A.J., 2000. Ursolic Acid Inhibits Cyclooxygenase-2 Transcription in Human Mammary


(55)

Sukandar, E.Y., Qowiyyah, A., dan Minah, N., 2010. Influence of ethanol extract of binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) leaves on renal failure rat model. Jurnal Medika Planta. 1(4): 1-10.

Sutrisna, E.M., Widyasari, D.F., dan Suparapto. 2010. Uji Efek Anti Inflamasi Ekstrak Etil Asetat Buah Semu Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) terhadap Edema pada Telapak Kaki Tikus Putih (Rattus novergicus) Jantan Galur Wistar yang diinduksi Karagenin. Biomedika. 2(1): 33-7.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2007. Obat-obat Penting (Khasiat penggunaan dan efek-efek sampingnya) Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Vasconcelos, M.A.L., Royo, V.A., Ferreira, D.S., Crotti, A.E.M., e Silva, M.L.A., Carvalho, J.C.T., et al., 2006. In vivo Analgesic and Anti-Inflammatory Activity of Ursolic Acid and Oleanolic Acid from Miconia albicans (Melastomataceae). Z. Naturforsch. 61(7-8): 477-82.

Vinegar, R., Truax, J.L., dan Selph, J.L., 1976. Quantitative Studies of The Pathway to Acute Carrageenan Inflammation. Federation Proceefing, 35 (13): 228.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. (Penerjemah Soendari N.S). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wilmana, F.P., 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Winter, C.A., Risley, E.A., dan Nuss, G.W., 1962. Carrageenin - induced Udem in Hind Paw of the Rat as an Assay for Antiinflammatory Drugs. Proc. Soc. Exp .Biol. Med. 111: 544–7.

Yuliani, S.H., Fudholi, A., Pramono, S., dan Marchaban. 2012. Physical Properties of Wound Healing Gel of Ethanolic Extract of Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) during Storage. Indonesian J. Pharm. 23(4): 203-8.

Yustina, S.H., 2008. Daya Antibakteria Campuran Ekstrak Etanol Buah Adas (Foeniculum vulgare. Mill) dan Kulit Batang Pulasari (Alyxia reindwartii BL). (Skripsi). Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.


(1)

48

5.2. Saran

Saran bagi peneliti lain antara lain:

1. Penggunaan obat antiinflamasi yang lebih poten sebagai kontrol positif untuk penelitian selanjutnya.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap efek toksik dari ekstrak binahong.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk uji efek antiinflamasi secara topikal dari ekstrak daun binahong.

4. Perlu dilakukan penelitian terhadap efek-efek lain yang dimiliki zat-zat aktif yang terkandung dalam tanaman binahong.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Anredera cordifolia. http://www.plantamor.com/species/anredera-cordifolia. Diakses 20 Oktober 2013.

Anonim. 2012. Binahong. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/593-herbal-plants-collection-binahong. Diakses 09 Oktober 2013.

Anosike, C.A., dan Obidoa, O., 2010. Anti-Inflammatory and Anti-Ulcerogenic Effect on Ethanol Extract of Coconut (Cocos nucifera) on Experimental Rats. AJFAND. 10(10): 4286-4300.

Ansel, C.H., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Astuti, S.M., Sakinah A.M, M., Andayani B.M, R., dan Risch, A., 2011. Determination of Saponin Compound from Anredera cordifolia (Ten) Steenis Plant (Binahong) to Potential Treatment for Several Diseases. Journal of Agricultural Science. 3(4): 224–32.

Badan POM RI. 2008. Anredera cordifolia (Ten.) Steenis dalam Direktorat Obat Asli Indonesia. hal.10.

Bernasconi, G., 1995. Teknologi kimia I. Penerjemah; Handojo.L, Jakarta: PT. Prandya Paramitha.

Birawati, S., 2012. Pengaruh Seduhan Bunga Rosella terhadap Histopatologi Tubulus Proksimal Ginjal Mencit Jantan. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandarlampung.

Blumert, M dan Liu J., 2003. Jiaogulan (Gynostemma pentaphyllum). China’s Immortality Herb 3rd ed. Badger: Torchlight Publishing.


(3)

50

Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., dan Buxton, I., 2008. Goodman & Gilamn’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Chuang, M.T., Lin, Y.S. dan Hou, W.C., 2007. Ancordin, the major rhizome protein of Madeira-vine, with trypsin inhibitory and stimulatory activities in nitric oxide productions. Peptide. 28 (6): 1311–16.

Cloridina, H., dan Nugrohowati, N., 2009. Identifikasi dan isolasi senyawa kimia ekstrak air dan etanol daun Anredera cordifolia (Ten.) Steenis dengan kromatografi lapis tipis. (Laporan Penelitian Internal). Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.

Corwin, E.J., 2008. Handbook of Pathophysiology 3th edition. Philadelphia: Lippincort Williams & Wilkins.

Depkes RI. Pedoman Pengendalian Tikus.pdf diunduh pada 03 Oktober 2013.

Dorland, W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. (Penerjemah: Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk.). Jakarta: EGC.

Duryatmo, S., 2003. Aneka Ramuan Berkhasiat dari Temu-Temuan. Jakarta: Puspa Swara.

Fajriani. 2008. Pemberian Obat-Obatan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) pada Anak. Indonesian Journal of Dentistry. 15(3): 200-4.

Fattorusso, E., dan Taglialatela-Scafati, O., 2008. Modern Alkaloids: Structure, Isolation, Synthesis and Biology. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co.

Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri. Jakarta: penerbit UI.


(4)

Grzanna, Reinhard, Linmark, L., dan Frondoza, C.G., 2005. Review: Ginger An Herbal Medicinal Product with Broad Anti-Inflammatory Actions. Journal of Medicinal Food. 8(2): 125-32.

Moura-Letts, G., Villegas, L.F., Marçalo, A., Vaisberg, A.J., dan Hammond, G.B., 2006. In Vivo Wound-Healing Activity of Oleanolic Acid Derived from the Acid Hydrolysis of Anredera diffuse. 69(6): 978-9.

Harkness, J.E., dan Wagner, J.E., 1983. Biology and Medicine of Rabbits and

Rodents.Philadelphia: Lea and Fabriger.

Isnaini, H., 2009. Uji Aktivitas Salep Extract Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis) Sebagai Penyembuhan luka Bakar Pada Kulit Punggung Kelinci. (Skripsi). Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

King, T.C., 2007. Elsevier’s Integrated Pathology. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Lim, S.W., Hong, S.P., Jeong, S.W., Kim, B., Bak, H., Ryoo, H.C., et al., 2007. Simultaneous effect of ursolic acid and oleanolic acid on epidermal permeability barrier function and epidermal keratinocyte differentiation via peroxisome proliferator-activated receptor-alpha. The Journal of Dermatology. 34(9): 625–34.

Liu, J., 1995. Pharmacology of Oleanolic Acid and Ursolic Acid. Journal of Ethnopharmacology. 49(2): 57-68.

Malole, MB dan Pramono, C.S.U., 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Manoi, F., 2009. Binahong (Anredera cordifolia) Sebagai Obat. Warta Penelitian dan Pengembangan. 15(1): 3-6.

Mogosan, C., dan Munteanu, M.F., 2008. A Comparative Study on Antiinflammatory Effect of The Tinctures from Melampyrum bihariense Kern and Melampyrum cristatum L. (Scrophulariaceae). Farmacia; LVI(4): 389-92.


(5)

52

Morris, C.J., 2003. Carrageenan-Induced Paw Edema in the Rat and Mouse. Methods Mol Biol. 225: 115-21.

Narayana, K.R., Reddy, M.S., Chaluvadi, M.R., dan Krishna, D.R., 2000. Bioflavonoids Classification, Pharmacological, Biochemical Effects and Therapeutic Potential. Indian Journal of Pharmacology. 33(1): 2-16.

Patel, J.M., 2008. A Review of Potential Health Benefit of Flavonoids. Lethbridge Undergraduate Research Journal. 3(2): 1-5.

Prakash, P., Linchtenberger, L.M., dan Gorfe, A.A., 2012. Aggregation Behavior of Indomethacin, Cholic Acid and POPC. 17th Annual Structural Biology Symposium.

Ridwan, E., 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med Assoc. 63(3): 112-6.

Robbins. 2004. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rosalind Franklin University. 2012. Guidelines for Injection Volumes, Needle Sizes and Osmotic Minipump Size Considerations.pdf. Diunduh 22 Oktober 2013.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E., 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth edition. London: Pharmaceutical Press.

Singh, A., Maholtra, S., dan Subban, R., 2008. Antiinflammatory and Analgesic Agents from Indian Medicinal Plants. International Journal of Integrative Biology. 3(1): 57-72.

Soeroso, J., 2008. Pedoman Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid. (Abstrak). http://penelitian.unair.ac.id/artikel_dosen. Diakses 13 Maret 2013.

Subbaramaiah, K., Michaluart, P., Sporn, M.B., dan Dannenberg, A.J., 2000. Ursolic Acid Inhibits Cyclooxygenase-2 Transcription in Human Mammary Epithelial Cells. Cancer Res. 60(9): 2399-2404.


(6)

Sukandar, E.Y., Qowiyyah, A., dan Minah, N., 2010. Influence of ethanol extract of binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) leaves on renal failure rat model. Jurnal Medika Planta. 1(4): 1-10.

Sutrisna, E.M., Widyasari, D.F., dan Suparapto. 2010. Uji Efek Anti Inflamasi Ekstrak Etil Asetat Buah Semu Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) terhadap Edema pada Telapak Kaki Tikus Putih (Rattus novergicus) Jantan Galur Wistar yang diinduksi Karagenin. Biomedika. 2(1): 33-7.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2007. Obat-obat Penting (Khasiat penggunaan dan efek-efek sampingnya) Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Vasconcelos, M.A.L., Royo, V.A., Ferreira, D.S., Crotti, A.E.M., e Silva, M.L.A., Carvalho, J.C.T., et al., 2006. In vivo Analgesic and Anti-Inflammatory Activity of Ursolic Acid and Oleanolic Acid from Miconia albicans (Melastomataceae). Z. Naturforsch. 61(7-8): 477-82.

Vinegar, R., Truax, J.L., dan Selph, J.L., 1976. Quantitative Studies of The Pathway to Acute Carrageenan Inflammation. Federation Proceefing, 35 (13): 228.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. (Penerjemah Soendari N.S). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wilmana, F.P., 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Winter, C.A., Risley, E.A., dan Nuss, G.W., 1962. Carrageenin - induced Udem in Hind Paw of the Rat as an Assay for Antiinflammatory Drugs. Proc. Soc. Exp .Biol. Med. 111: 544–7.

Yuliani, S.H., Fudholi, A., Pramono, S., dan Marchaban. 2012. Physical Properties of Wound Healing Gel of Ethanolic Extract of Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) during Storage. Indonesian J. Pharm. 23(4): 203-8.

Yustina, S.H., 2008. Daya Antibakteria Campuran Ekstrak Etanol Buah Adas (Foeniculum vulgare. Mill) dan Kulit Batang Pulasari (Alyxia reindwartii BL). (Skripsi). Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.


Dokumen yang terkait

Penganrh Salep Ekstrak I)aun Binahong (Anredera cordifulia (Tenore) Steenis) terhadap Pembentukan Jaringan Granulasi pada Luka Bakar Tikus Sprngue dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan Plat Besi

1 19 89

Uji aktivitas ekstrak Etanol 70% daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis) terhadap penurunan kadar asam urat dalam darah tikus putih jantan yang diinduksi dengan Kafeina

1 42 73

Pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong (anredera cordifolia (tenore) steenis) terhadap re-epitelisasi pada luka bakar tikus sprague dawley : studi pendahuluan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi

0 20 70

EFEK PROTEKTIF EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG TIKUS PUTIH GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI ETANOL

3 28 59

EFEK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten) Steenis)) YANG DIEKSTRAKSI ETANOL 70% TERHADAP AKTIVITAS ALT TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI ETANOL 50%

1 11 60

UJI ANTIDIABETIK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Uji Antidiabetik Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi Aloksan.

0 3 19

UJI ANTIDIABETIK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Uji Antidiabetik Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi Aloksan.

0 3 14

PENDAHULUAN Uji Antidiabetik Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi Aloksan.

0 2 4

DAFTAR PUSTAKA Uji Antidiabetik Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi Aloksan.

0 3 4

Efek Anti Inflamasi Ekstrak Daun Binahong [Anredera cordifolia (Ten.) Steenis] Topikal terhadap Jumlah PMN Neutrofil pada Tikus Jantan Sprague Dawley

0 1 7