sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. Syarat kepangkatan tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk
itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan pejabat penyidik, disesuaikan dengan kepangkatan penuntut umum
dan hakim Pengadilan Negeri. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat
penyidik sebagaimana yang dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada, dan telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No. 27 Tahun 1983. Syarat
kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan dan
pengangkatan pejabat penyidik kepolisian dapat dilihat uraian berikut :
a. Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan.
• Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi. • Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam
suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;
• Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI. Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi
pejabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat 2 PP No. 27 Tahun 1983, sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-
kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga
Universitas Sumatera Utara
personel yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sektor kepolisian, Peraturan Pemerintah memperkenankan jabatan penyidik dipangku
oleh seorang anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”. Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan kepangkatan
penuntut umum maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum seorang
bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya sering
dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah.
b. Penyidik Pembantu
Pejabat Polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur dalam Pasal 33 PP No. 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan
untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu; • Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
• Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda golongan IIa;
• Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil dilingkungan kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan harus mempunyai keahlian
atau kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat
kepangkatan penyidik pembantu, lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik. Berdasar hierarki dan organisatoris, penyidik pembantu diperbantukan kepada
Universitas Sumatera Utara
pejabat penyidik, oleh karena itu, kepangkatan mereka harus lebih rendah dari penyidik.
Seperti dikatakan, penyidik pembantu bukan mesti terdiri dari anggota Polri, tetapi bisa diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai dengan keahlian
khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu. Misalnya, ahli kimia atau ahli patologi. Kalau pegawai sipil Polri yang demikian tidak bisa diangkat menjadi
penyidik pembantu, mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab dikalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat
kepangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi motivasi keperluan penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan
pegawai sipil. Bukankah sudah ada pejabat penyidik ? Apa perlunya ada penyidik
pembantu? Bukankah hal ini seolah-olah dualistis dalam tubuh aparat penyidik ? Memang menurut logika, dengan adanya pejabat penyidik, tidak perlu dibentuk
suatu eselon yang bernama penyidik pembantu. Sebab secara rasio, dengan adanya jabatan penyidik berdasar syarat kepangkatan tertentu, semua anggota Polri yang
berada di bawah jajaran pejabat penyidik adalah pembantu bagi pejabat penyidik. Apalagi jiha dihubungkan dengan ketentuan Pasal 11, pengklasifikasian antara
penyidikan denan penyidik pembantu semakin mengherankan. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 11, penyidik pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan
pejabat penyidik, kecuali sepanjang penahanan, wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Jadi, boleh dikatakan hampir sama
wewenang yang sama dengan pejabat penyidik. Apalagi jika dihubungkan dengan
Universitas Sumatera Utara
ketentuan Pasal 11, pengklasifikasian antara penyidikan dengan penyidik pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan pejabat penyidik, kecuali
sepanjang penahanan, wajib sama wewenangnya sebagaimana diperinci pada Pasal 7 ayat 1.
Untuk mendapatkan penjelasan atas klasifikasi penyidik, mungkin dapat diterima alasan yang dikemukakan pada buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP,
yang menjelaskan latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu, yang dapat disimpulkan.
• Disebabkan terbatasnya tenaga Polri yang berpangkat tertentu sebagai pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah sektor kepolisian di daerah terpencil, masih
banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat bintara; • Oleh karena itu, seandainya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-
kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polri, sedangkan yang berpangkat demikian belum mencukupi kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan
banyaknya jumlah Sektor Kepolisian, hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah, sehingga besar
kemungkinan, pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di daerah-daerah.
Sanksi Secara Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Salah Tembak Anggota Polri
Pada Putusan Nomor: 239Pid.B2007PN.Bj, perbuatan terdakwa berupa salah tembak dan mengakibatkan hilangnya jiwa orang lain diancam pidana
Universitas Sumatera Utara
Pasal 359 KUHP.
14
Pasal 359 KUHP berbunyi: “Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya satu tahun. R. Soesilo menjelaskan:
Matinya orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh terakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau
lalainya terdakwa delik culpa, misalnya seorang sopir menjalankan kendaraan mobil terlalu kencang, sehingga menubruk orang sampai mati,
atau seorang berburu melihat sosok hitam-hitam dalam tumbuh- tumbuhan, dikira babi rusa terus ditembaj mati, tetapi ternyata sosok yang
dikira babi itu adalah manusia, atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang hati-hati meletus dan mengenai orang lain sehingga mati
dan sebagainya. Apabila mati orang itu dimaksud oleh terdakwa, maka ia dikenakan pasal tentang pembunuhan Pasal 338 atau 340.
Karena salahnya = kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian.
15
Selanjunya dalam Putusan Nomor: 239Pid.B2007PN.Bj hakim yang memeriksa perkara tersebut memutuskan:
Menyatakan terdakwa Dicky S. Lubis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mati. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tiga bulan.
Menyatakan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Menyatakan barang bukti berupa: 1 satu pucuk senjata api genggam SSW No. 9024
5 lima butir selongsong peluru.
14
Putusan Nomor: 239Pid.B2007PN.Bj, halaman 5.
Universitas Sumatera Utara
1 satu lembar kartu izin pemegang senjata api atas nama Dicky S. Lubis. Dikembalikan kepada Polresta Binjai melalui Kasat reskrim Polresta Binjai.
Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000 lima ribu rupiah.
16
Berdasarkan putusan pengadilan tersebut maka dapat dilihat bahwa sanksi yang diberikan kepada anggota kepolisian yang salah tembak adalah berupa sanksi
pidana pidana penjara. Asas hukum pidana Indonesia mengatur sebuah ketentuan yang
mengatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dihukum selama perbuatan itu belum diatur dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis. Asas ini dapat
dijumpai pada Pasal 1 ayat 1 KUHP yang disebut dengan asas legalitas yaitu asas mengenai berlakunya hukum. Untuk itu dalam menjatuhkan atau menerapkan
suatu pemidanaan terhadap seorang pelaku kejahatan harus memperhatikan hukum yang berlaku.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat I KUHP, asas legalitas mengandung 3 tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Dari pengertian point 1 menyebutkan harus ada aturan undang-undang.
15
R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, halaman 248.
16
Putusan Nomor: 239Pid.B2007PN.Bj, halaman 15.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian harus ada aturan hukum yang tertulis terlebih dahulu terhadap suatu perbuatan sehingga dapat dijatuhi pidana terhadap pelaku yang melakukan
perbuatan pidana. Dengan demikian berdasarkan peraturan yang tertulis akan ditentukan perbuatan apa saja yang dilarang untuk dilakukan yang jika dilanggar
menimbulkan konsekuensi hukum yaitu menghukum pelaku. Dalam KUHP tidak ada diatur mengenai tindak pidana penggunaan senjata
api yang tidak sesuai dengan prosedur, akan tetapi dalam KUHP telah diatur dengan tegas batasan-batasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
berupa tindakan kekerasan yaitu dalam Pasal 49 ayat 1 yang menyatakan dengan tegas bahwa:
“barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau
harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Berdasarkan peraturan ini, maka suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yang dilakukan karena keadaan terpaksa tidak dikenai hukuman akan
tetapi tindakan kekerasan yang dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, sebagimana diatur dalam Pasal 49 ayat I dapat dijatuhi hukuman.
Di samping pada Pasal 49 ayat 1 diatas, batasan untuk melakukan suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan juga diatur dalam Pasal 50 KUHP, yang
dengan tegas menyatakan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum”.
Hal ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan suatu perbuatan untuk
Universitas Sumatera Utara
menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh dihukm akan tetapi apabila perbuatan tersebut dilakukan bukan untuk menjalankan peraturan undang-undang,
pelakunya dapat dikenai hukuman. Berdasarkan asas legalitas, telah terbentuk suatu peraturan internasional
yang mengatur tentang prosedur penggunaan senjata api bagi setiap Penegak Hukum yang berlaku secara khusus, yaitu Resolusi PBB 34168 Dewan umum
PBB tentang prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api bagi aparat penegak hukum yang diadopsi dari kongres PBB ke-8 tentang perlindungan
kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggar hukum di Havana Kuba. Sebagai Negara anggota PBB, Indonesia wajib mematuhi peraturan ini.
Dalam prinsip nomor 9 tentang prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api dinyatakan dengan tegas bahwa: “Anggota polisi tidak boleh
menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman nyawa
atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa”.
Jadi apabila hal-hal di atas tidak diperhatikan dan dipatuhi oleh aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api, maka tindakan aparat tidak sesuai lagi
dengan peraturan yang berlaku. Peraturan lain yang berhubungan dengan penggunaan senjata api yang tidak
sesuai dengan prosedur adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api
tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan yang sewenang-wenang atau
Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan wewenang, dan hal ini merupakan tindakan pelanggaran HAM. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur telah melanggar
Pasal 4 dan 33 ayat 1 Undang-undang HAM. Pasal 4 menyatakan diantaranya “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa…adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Berdasarkan ketentuan ini, maka tindakan aparat kepolisian yang
sewenang-wenang berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan yang mengurangi hak hidup seseorang karena
penembakan yang mengakibatkan luka atau tewasnya seseorang jelas merupakan perampasan hak hidup dari seseorang.
Di samping Pasal 4 diatas, juga ditentukan dalam Pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.
Berdasarkan peraturan ini, tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedurnya merupakan tindakan penyiksaan dan
tidak manusiawi karena aparat kepolisian dalam tindakannya tidak memperhatikan dan menghormati hak hidup seseorang. Dan tindakan aparat kepolisian yang tidak
menghormati hak hidup seseorang ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum sehingga merupakan tindak pidana.
Berdasarkan peraturan-peraturan diatas maka dapat ditentukan unsur-unsur dari tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur.
Menurut prinsip Nomor 9 tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan
Universitas Sumatera Utara
dan Senjata Api dapat ditentukan unsur-unsur dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian, dimana telah dikatakan bahwa
anggota polisi dilarang menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika
mengghadapi ancaman nyawa atau luka parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa. Maka ditentukan unsur-unsur penggunaan senjata api
yang tidak sesuai dengan prosedur yaitu: 1. Bahwa telah ada suatu tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian yaitu
penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur pada saat berhadapan dengan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana atau pada
saat berhadapan dengan masyarakat sipil ketika. Tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata api yang dimiliki oleh aparat untuk mendukung
tugasnya. 2. Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai
dengan prosedur dilakukan pada saat melaksanakan tugaspada saat aparat sedang bertugas di lapangan.
3. Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur bertentangan dengan ketentuan internasional yang telah
ditetapkan oleh dewan umum PBB. 4. Bahwa perbuatan menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur
merupakan tindakan penggunaan kekerasan yang berlebihan sehingga bertentangan dengan ketentuan mengenai batasan-batasan menggunakan
kekerasan dan senjata api bagi aparat ketika bertugas.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan unsur-unsur tersebut diatas dapat ditentukan bahwa penggunaan senjata api yang tidak sesuai denga prosedur merupakan tindak pidana
karena telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Resolusi 34168 Dewan umum PBB, dimana unsur-unsur diatas telah terpenuhi untuk dapat dilakukan
pemidanaan yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap penggunaan senjata yang tidak sesuai dengan prosedur.
Berdasarkan ketentuanperaturan tentang HAM, maka dapat ditentukan unsur-unsur dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang
merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat pada saat melaksanakan tugas, yaitu:
1. Bahwa telah ada suatu tindakan mengurangi hak hidup seseorang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang HAM. Pengurangan hak hidup
seseorang tersebut dilakukan dengan cara memakai kekerasan berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur.
2. Bahwa selain merupakan tindakan pembatasan hak hidup seseorang, penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian juga merupakan tindakan
penyiksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat 1 Undang-undang HAM. Dimana aparat kepolisian bertindak diluar batas kemanusiaan ketika sedang
melaksanakan tugasnya dan tidak lagi menghormati hak hidup seseorang. 3. Bahwa perbuatan pengurangan hak hidup seseorang dan tindakan penyiksaan
yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada saat melaksanakan tugasnya, khususnya pada saat menggunakan senjata api telah melanggar kewajiban dan
tanggung jawab dari kepolisian sebagai bagian dari pemerintah sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
diatur dalam Pasal 71 Undang-undang HAM, yang menyebutkan bahwa: “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi,
menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukm internasional tentang HAM yang
diterima oleh Negara Republik Indonesia”. Berdasarkan unsur-unsur tersebut diatas maka dapat ditentukan bahwa
perbuatan aparat kepolisian yang tidak menghargai hak hidups seseorang serta penyiksaan yang dilakukan pada saat menjalankan tugas merupakan perbuatan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah diatur secara tegas dalam Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999, dimana unsur-unsur diatas telah dipenuhi untuk
dapat dilakukan pemidanaan yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Terdapat 2 dua jenis penyalahgunaan senjata api, yaitu apabila penyalahgunaan senjata api dilakukan dalam tugas atau penggunaan senjata api
yang tidak sesuai dengan prosedur maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM, dimana aparat kepolisian tersebut telah melakukan penyalahgunaan
wewenang abuse of power dan penggunaan kekerasan yang berlebihan excessive use of force, karena menurutnya dalam menggunakan senjata api harus sesuai
dengan prinsip fungsional, proporsional dan professional sebagaimana diatur dalam Resolusi PBB Nomor 34169, dan jika hal ini tidak dilaksanakan maka akan
sangat rentan dengan pelanggaran HAM sedangkan apabila penyalahgunaan senjata api dilakukan diluar tugas maka tindakan tersebut merupakan tindakan
kriminal dan menurutnya kedua jenis penyalahgunaan senjata api ini dapat
Universitas Sumatera Utara
dikenakan sanksi pidana. Berbicara mengenai tindak pidana yang ditimbulkan oleh penggunaan
senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, maka yang akan dibahas adalah tindak pidana yang terjadi akibat penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan
prosedur. Selain penggunaan kekerasan yang berlebihan dan pelanggaran HAM,
terdapat beberapa tindak pidana lainnya yang ditimbulkan oleh pengunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yaitu:
1. Penganiayaan Undang-undang tidak memberikan ketentuan mengenai apakah yang dimaksud dengan penganiayaan. Menurut yurisprudensi yang dimaksud
dengan pengniayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak penderitaan, rasa sakit pijn, atau luka. Di dalam KUHP, penganiayaan
diatur dalam Pasal 351, 352, 353, 354 dan 353. Akan tetapi penganiayaan yang sering dilakukan oleh aparat kepolisian pada saat melaksanakan tugasnya
adalah penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3.
Berdasarkan Pasal 351 terdapat 3 tiga jenis penganiayaan yaitu: a.
Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang. b.
Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. c.
Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. 2. Pemerasan
Diatur dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP, yang dinamakan dengan pemerasan dengan kekerasan. Pasal 368 ayat 1 menyatakan diantaranya bahwa:
“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman
Universitas Sumatera Utara
kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri, kepunyaan orang lain……”.
3. Pencurian Diatur dalam Pasal 362 KUHP yang menyatakan diantaranya bahwa:
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu
dengan melawan hak, dihukum karena pencurian…………”.
4. Pembunuhan Diatur dalam Pasal 338 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “Barangsiapa
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun”.
Berdasarkan bunyi pasal 338 KUHP, maka unsur-unsur pembunuhan adalah:
17
a. Barangsiapa Hal ini berarti ada orang tertentu yang melakukannya.
b. Dengan sengaja Dalam ilmu hukum pidana, dikenal 3 tiga jenis bentuk sengaja dolus yakni:
1 Sengaja sebagai maksud
2 Sengaja dengan keinsyafan pasti
3 Sengaja dengan keinsyafan kemungkinandolus eventualis
c. Menghilangkan nyawa orang lain 5. Kelalaian yang menyebabkan kematian
Diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang menyatakan bahwa: “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun”.
Rumusan karena salahnya adalah unsur kelalaian atau culpa yang menurut ilmu hukum pidana terdiri dari:
a. Culpa dengan kesadaran. b. Culpa tanpa kesadaran.
17
Adami Cahazawi, 2001, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, halaman 22.
Universitas Sumatera Utara
Suatu perbuatan sudah dapat dihukum, apabila sudah terlebih dahulu diatur dan sesuai menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau perbuatan
tersebut telah bertentangan dengan hukum yang tertulis atau tidak tertulis. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur dikategorikan sebagai
perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum karena perbuatan tersebut memenuhi unsur sifat tercela atau terlarang dari suatu perbuatan, dimana sifat
tercela dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur bersumber dari peraturan tertulis yaitu Resolusi PBB Nomor 34168 Tahun 1979, khususnya
melanggar prinsip Nomor 9 sembilan yang mengatur dengan tegas kapan seorang anggota polisi boleh menggunakan kekerasan dan senjata api, yang wajib diadopsi
oleh negara kita sebagai anggota PBB, khususnya oleh aparat kepolisian kita. Menurut putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 yang dikenal dengan Arrest
1919, suatu perbuatan merupakan perbuatan melawan hukum apabila:
18
a. Melanggar hak orang lain
Yang dimaksud melanggar hak orang lain ialah melanggar hak subyekif orang lain. Sulit untuk merumuskan pengertian tersebut , akan tetapi dapat dinyatakan
sebagai suatu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Menurut Meiyers, hak subjektif menunjuk kepada seseorang secara khusus
untuk melindungi kepentingannya.
Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan,
nama baik dan kehormatan. Adakalanya pelanggaran hak subyektif selain terjadi karena perbuatan melawan hukum, dapat juga disebabkan oleh peristiwa-
peristiwa lainnya, misalnya karena perbuatan pihak ketiga. Dalam hal ini adalah tidak tepat untuk menerapkan ukuran dari sifat melawan hukum pelanggaran
hak subyektif. Pelanggaran tersebut dimasukkan sebagai kriteria perbuatan melawan hukum, karena pelanggaran tersebut pada umumnya sudah dengan
sendirinya merupakan perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif merupakan perbuatan melawan hukum, apabila
18
Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, halaman 17.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan tersebut secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hak subyektif.
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban menurut hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis. Tetapi dalam putusannya Hooge Raad menafsirkan kewajiban hukum sebagai kewajiban menuru Undang-undang. Jadi perbuatan
melawan hukm diartikan antara lain, berbuat atau tidak berbuat yang melanggar suatu kewajiban yang telah diatur oleh Undang-undang. Melanggar kewajiban
menurut Undang-undang tidak hanya Undang-undang dalam arti formal, akan tetapi juga peraturan-peraturan hukm yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Termasuk dalam kategori perbuatan yang melanggar kewajiban menurut hukum Undang-undang adalah perbuatan pidana.
c. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik Tentang kesusilaan yang baik tidak dapat diberikan rumusan yang tepat. Dapat
dinyatakan sebagai norma-norma moral yang dalam pergaulan masyarakat telah diterima sebagai norma-norma hukum. Hingga sekarang belum ada yang dapat
secara tepat mengemukakan apa yang dimaksudkan dengan kesusilaan yang baik. Umum mengakui dan menerima pengertian dan asas tentang kesusilaan
baik tersebut. Akan tetapi selalu mengalami kesulitan apabila harus menentukan lebih lanjut tentang pengertiannya.
Perlu diperhatikan, bahwa pendapat tentang apa yang termasuk ke dalam kesusilaan yang baik selalu berubah menurut waktu dan tempat. Apa yang dulu
dianggap tidak susila, mungkin sekarang dianggap susila. Untuk mengatasi kesulitan tersebut pada akhirnya hakimlah yang memutuskan menurut pendapat
dan nalurinya.
d. Bertentangan dengan kepatutan Setiap manusia harus menyadari bahwa ia adalah bagian dari anggota
masyarakat dan karenanya dalam perbuatan dan tingakah lakunya harus memperhatikan kepentingan-kepentingan sesamanya, demikian juga halnya bagi
seorang aparat kepolisian, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus tetap memperhatikan dan menghormati kepentingan dari masyarakat yang
dilayaninya. Pada garis besarnya dapat dinyatakan, bahwa suatu perbuatan adalah bertentangan dengan kepatutan, jika:
1 Perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang
layak. 2
Perbuatan yang tidak berfaedah yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, yang menurut manusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan
Universitas Sumatera Utara
BAB IV UPAYA PIMPINAN POLRI DALAM MENANGGULANGI TERJADINYA