Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Uang Paksa (Dwangsom) Dan Sanksi Administratif Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

ABSTRAK
Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Uang Paksa (Dwangsom) Dan
Sanksi Administratif Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Oleh
Ivo Pardamean Simanjuntak
Penyelesaian sengketa tata usaha negara yang bersifat administratif adalah suatu
prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila
ia tidak puas terhadap putusan tata usaha negara. Banyaknya putusan tata usaha
negara yang tidak dipatuhi oleh pejabat tata usaha negara dikarenakan tidak
adanya kekuatan eksekutorial dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Pasal 116 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ayat (4),
apabila tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan tata usaha negara yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi
administratif. Uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak
yang dihukum mematuhi atau melaksanakan hukumannya.
Permasalahan yang diteliti adalah bagaimanakah pelaksanaan putusan pengadilan
tata usaha negara terhadap uang paksa, dan bagaimanakah pelaksanaan putusan
pengadilan tata usaha negara terhadap sanksi administratif.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

normatif. Adapun sumber data yang dalam penelitian ini yaitu data primer berasal
dari penelitian pustaka melalui peraturan perundang-undangan, literatur, bukubuku dan dokumen-dokumen resmi.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan tata
usaha negara terhadap uang paksa diperlukan adanya peraturan pelaksana berupa
peraturan pemerintah yang mengatur prosedur dan mekanisme pembayaran uang
paksa, besaran uang paksa, dan pembebanan uang paksa, dan pelaksanaan putusan
pengadilan tata usaha negara terhadap sanksi administratif memerlukan peraturan
pelaksana mengenai jenis sanksi administratif yang dapat dijatuhkan kepada
pejabat publik yang tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan tata usaha
negara.
Kata kunci : Uang Paksa, Sanksi Administrasi, Putusan Tata Usaha Negara

ABSTRACT

Judicial Review of Implementation Forced Money (Dwangsom) and
Administrative Sanctions In the State Administrative Court's Decision

by
Ivo Pardamean Simanjuntak
Administrative dispute resolution administrative nature is a procedure that can be

taken by a person or body of civil law if he is not satisfied with the decision of the
state administration. The number of administrative decisions which have not been
followed by officials of the state administration due to lack of strength executorial
in Act No. 5 of 1986 About the State Administrative Court. In Act No. 9 of 2004
Section 116 verse (4) About the State Administrative Court, if the defendant does
not willing to implement the decision of the state administration which has
obtained permanent legal force against the concerned officials charged forceful
measures in the form of payment of a sum money forced and or administrative
sanctions. Forced Money is one of the pressure that person or parties who was
sentenced to obey or carry out the sentence.
The problems under study is how the implementation of the decision of the
administrative court against the forced money, and how the implementation of the
decision of the administrative court against the administrative sanctions. Approach
to the problem used in this research is a normative approach. The source of the
data in this study are primary data derived from the research literature through
legislation, literature, books and official documents.
The results showed that the implementation of the decision of the administrative
court against the forced money necessary implementing regulations in the form of
government regulations that govern the procedures and mechanisms of
compulsory payments, the amount of money forced, and the imposition of forced

money, and enforcement of the administrative court to require administrative
sanctions implementing regulations regarding the type of administrative sanctions
which can be imposed on public officials who are not willing to implement the
decision of the administrative court.
Keywords: Forced Money, administrative sanctions, the State Administrative
Decision

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Parsoburan, Kabupaten Toba Samosir,
Sumatera Utara pada tanggal 15 Juni 1991, penulis merupakan
anak keenam

dari enam bersaudara dari pasangan (alm)

Marudin Simanjuntak, dan Evelina br. Pardosi.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Santo Pius Parsoburan pada
tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMP R. A. Kartini Parsoburan pada tahun
2007 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Habinsaran pada tahun 2010.
Pada Tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Lampung Fakultas

Hukum melalui Jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat dan kemudian
mengambil minat pada bagian Hukum Administrasi Negara. Penulis melaksanakan
Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Suka Cari Kecamatan Batanghari Nuban
Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2013 selama empat puluh hari.

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, cinta
kasih, serta rahmat dan karuniaNya,
sebagai wujud ungkapan terima kasih dan sayang serta bhakti yang tulus
kupersembahkan karya ini teruntuk:
Kedua orang tuaku tercinta serta keluarga yang terus berjuang tanpa lelah,
menyayangi dengan tulus dan ikhlas tanpa mengharap balasan, mendukung,
menyemangati, dan senantiasa berdoa untuk kebahagiaan dan masa depan
anaknya.
Kedua pembimbing yang telah membimbing, memberikan masukan, kritik dan
saran yang membangun dari awal hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Kakak dan abang tersayang yang selalu memberikan motivasi dalam hidupku
dalam menyelesaikan segala urusan.

Almamater Tercinta.

MOTO

“Apabila anda berbuat kebaikan pada orang lain, maka anda telah berbuat baik terhadap diri
sendiri ”
(Benyamin Franklin)

“Segala sesuatu dicapai melalui serangkaian proses yang harus dilewati dan dihayati dengan
penuh kesabaran dan ketekunan disertai doa”
( R.A. Kartini )

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Uang Paksa (Dwangsom) Dan
Sanksi Administratif Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara”.
Adapun tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat
akademis untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Lampung.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak dan
segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan kemampuan penulis
Pada kesempatan, ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1.

Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum,
Universitas Lampung

2.

Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Administrasi
Negara, Fakultas Hukum, Universitas Lampung.

3.

Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama terima kasih
atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam
proses penyelesaian skripsi ini.


4.

Ibu Eka Deviani, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Kedua atas
bimbingan dan pengarahannya yang sangat berharga dalam proses
penyelesaian skripsi ini.

5.

Bapak Syamsir Syamsu, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas Utama yang
telah

memberikan

kritikan

dan

masukan


yang

luar

biasa

untuk

menyempurnakan skripsi ini.
6.

Ibu Ati Yuniati, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahasa Kedua atas
ketersediaannya

meluangkan

waktu,

tenaga


dan

pikirannya

untuk

memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
7.

Bapak Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Akademik yang
dengan ikhlas telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulis
menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8.

Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang telah mengajar dan memberikan ilmu
yang bermanfaat.

9.


Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang, (alm) M.Simanjuntak dan
Mamaku Evelina Pardosi, untuk doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan
pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang
begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupan ku.

10. Kakak ku Tiur Simanjuntak dan Dermawaty Simanjuntak dan Abangku R.D
Marihot Simanjuntak, T.T.T. Donatus Simanjuntak, Joannes Simanjuntak,
yang telah banyak memberikan banyak dukungan baik secara moril maupun
materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

11. Sahabat-sahabat terbaikku sekaligus saudaraku yang selama empat tahun
terakhir ini menemani dan mengisi hari – hari dihidupku, Reni Oktauli
Panjaitan, Abram Sitepu, Adatua Simbolon, Bryan Sipayung, Elyasip
Sembiring, Sanggam Simanullang, Jusuf Purba, Josua Tampubolon, Olfredo
Sitorus, Richad Simanungkalit, Ricko Sihaloho, Rio Meliala, Rizal Sinurat,
Saut Lumbangaol, Yoga Adrian Ibrahim, Yuri Simatupang, dan Wetson
Rumahorbo, Alex Sitinjak, Bobby Debataraja, Wiliam Sihombing yang
tergabung dalam Gerobak Pasir fc, terimakasih untuk saat – saat berharga
yang telah dihadirkan dan kebersamaan kita selama ini, terimakasih telah

menjadi semangat dalam penyusunan skripsi ini dan tugas – tugas
diperkuliahan diwaktu kemarin, terimakasih telah mengajarkan arti sebuah
persahabatan selama ini kepadaku, kiranya kita bisa menjadi saudara
selamanya.
12. Saudara seiman Alumni, Senior, Junior Keluarga Besar Forum Mahasiswa
Hukum Kristen (Formahkris), Terima kasih atas doa, dukungan, persahabatan
dan kebersamaannya dalam pelayanan kita selama ini,
13. Teman-teman kosan Wisma Resik; Ridho Thamrin, R.C.C. Sagala, Reno
Sihombing, Dolly Nababan, Roy Sihombing, Andreas Simbolon, Rio Anggra
Prayuda, Alex Manurung, Lodewick, Rizal Sitorus dan Teman- teman kosan
F-17; Batara, Cristian, Sisco, Alber, terimakasih atas persahabatan,
kebersamaan, dukungan dan semangat yang selalu kalian berikan.
14. Teman - teman Mahasiswa Fakultas Hukum, yang tidak dapat disebutkan satu
persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda tawa
selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari

perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat
Viva Justicia Hukum Jaya.
15. Kawan – kawan Kuliah Kerja Nyata (KKN), Anisa Septa Rini, Lestari, Sherly
Yuliana Irmas, Silvi Widya Candra, Jordi Imanda, Eric, Izal, Dio, yang
selama 40 hari bersama menjadi keluarga kecil di Desa Suka Cari.
16. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

Apabila terdapat kekurangan dalam penulisan maupun pada penyusunan skripsi
ini, maka penulis menerima saran, masukan, dan kritik dari pembaca sebagai
perbaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bandar Lampung
Penulis

Ivo Pardamean Simanjuntak

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................ ....i
ABSTRACT .......................................................................................................... ...ii
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ..iii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ..iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ...v
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. ..vi
MOTTO ................................................................................................................ .vii
PERSEMBAHAN ................................................................................................. viii
SANWACANA ..................................................................................................... ..ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ...x

BAB I . PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ........................................ 6
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Upaya paksa. ................................................................................................. 8
2.2 Pengertian Uang Paksa .................................................................................. 9
2.3 Sifat Uang Paksa (Dwangsom).................................................................... 12
2.4 Jenis Putusann Yang Dapat Dikenakan Uang Paksa .................................. 13
2.5 Perbedaan Ganti Rugi dan Uang Paksa ....................................................... 14
2.6 Beban Pembayaran Uang Paksa .................................................................. 14
2.7. Upaya Administratif .................................................................................... 15
2.7. Sanksi Administratif .................................................................................... 19
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan masalah ...................................................................................... 20
3.2 Sumber Data dan Jenis data .......................................................................... 21
3.3 Metode pengumpulan data ............................................................................ 22
3.4 Analisis Data ................................................................................................. 23
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Ruang Lingkup Peradilan Tata Usaha Negara .............................................. 24
4.1.1 Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif ......................................... 25

4.1.2 Sengketa Tata Usaha Negara .................................................................. 27
4.1.3 Putusan Tata Usaha Negara .................................................................... 28
4.1.4 Eksekusi Putusan Tata Usaha Negara ..................................................... 30
4.2 Pelaksanaan Putusan Uang Paksa(Dwangsom)............................................. 34
4.3 Pelaksanaan Putusan Sanksi Administratif ................................................... 39

BAB V. PENUTUP
5.1 Simpulan ....................................................................................................... 43
5.2 Saran ............................................................................................................. 44

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Untuk melaksanakan
unsur tersebut diperlukan penegakan hukum supaya hukum menjadi kenyataan.
Ada tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu :
kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan
(gerechtigkeit).1
Sarana hukum administrasi negara diperlukan untuk memberikan perlindungan
hukum kepada masyarakat dari segala perbuatan administrasi negara, dan
disamping itu pada dasarnya juga memberikan perlindungan hukum bagi
administrasi negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya. Hukum
Administrasi Negara memberikan batasan-batasan keabsahan bagi perbuatan yang
dilakukan oleh administrasi negara dan menjamin keadilan bagi masyarakat yang
haknya dirugikan oleh perbuatan administrasi negara tersebut. Hukum
Administrasi Negara yang ada pada saat sekarang ini mencakup berbagai
pengaturan mengenai pemerintahan, perekonomian, kesejahteraan sosial, otonomi
daerah, kepegawaian, birokrasi, serta peradilan administrasi. Hal ini manjadikan
Hukum Administrasi Negara mangatur sebagian besar kegiatan di suatu Negara.
Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum (suatu pengantar)”, cetakan pertama
(Yogyakarta:Liberty,2003) hal.60
1

2

Dalam mengelola suatu Negara atau pemerintahan harus mempunyai batasanbatasan, disinilah muncul asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas adalah
norma hukum yang kongkret yang mengatur perilaku kongkret tertentu,dapat
diabstraksikan sebagai norma yang lebih umum, yang lingkupannya lebih luas
sedangkan asas hukum mengandung nilai etis tertentu.
Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik, diantara lain sebagai berikut:2
1)

Asas kepastian hukum

2)

Asas keseimbangan

3)

Asas kesamaan

4)

Asas bertindak cermat

5)

Asas motivasi untuk setiap keputusan

6)

Asas larangan mencampur-adukan kewenagan

7)

Asas kejujuran dalam bertindak

8)

Asas larangan bertindak tidak wajar atau bertindak sewenang-wenang

9)

Asas pengharapan

10)

Asas meniadakan akibat keputusan yang yang batal

11)

Asas perlindungan atas pandangan hidup

Asas inilah yang yang harus dijadikan pedoman dalam menjalankan pemerintahan
yang baik bagi pejabat maupun dalam lingkup peradilan, agar mampu menjadi
alat yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, dan dalam menjalankan
tugasnya selalu berdasarkan hukum.
Perlindungan hukum bagi masyarakat sangat penting karena di dalam kehidupan
masyarakat sering ditemui permasalahan atau sengketa antara individu, baik per
2

Ateng Syafrudin, Butir-butir bahan Telaahan Tentang AAUPL untuk Indonesia, dalam Paulus
Efendi lotulung, “Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik”, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1994) hal 64

3

orangan maupun kelompok, dengan Pemerintah yang berkaitan dengan kebijakankebijakan dan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat
administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
menyebut sengketa Tata Usaha Negara muncul jika seseorang atau badan hukum
perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan.
Sebagaimana diketahui bahwa, Pejabat Tata Usaha Negara dalam fungsi
menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan umum tidak terlepas dari
tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan
keputusan tersebut menimbulkan kerugian.
Banyaknya putusan pengadilan tata usaha Negara yang tidak dapat dieksekusi
telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat dikarenakan tidak
adanya kekuatan eksekutorial dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Salah satu yang menyebabkan lemahnya
pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha Negara adalah karena tidak
terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan
putusan tersebut sehingga pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha Negara
tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat Tata Usaha Negara tersebut.
Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara terbukti tidak efektif dalam
pelaksaan putusan pengadilan tata usaha negara.
Kelemahan Peradilan Tata Usaha Negara itu terjadi karena tidak adanya upaya
memaksa yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan Tata Usaha Negara.
Menyadari kelemahan yang ada pemerintah kemudian menetapkan adanya upaya

4

pemaksa agar suatu putusan Tata Usaha Negara dapat dilaksanakan oleh para
pihak melalui pengesahan Undang-undanag Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara baru akan berwibawa
dan ada artinya bagi pencari keadilan, apabila putusan-putusannya dapat
dilaksanakan oleh aparatur Tata Usaha Negara yang bersangkutan sesuai dengan
isi diktum Putusan Pengadilan tersebut.
Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara

terletak pada ditaatinya atau tidak

kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam putusan Pengadilan tersebut oleh
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam Undang-Undanag Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 terdapat
perubahan pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang
paksa (dwangsom) bagi pejabat Tata Usaha Negara yang tidak melaksanakan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa
(dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak.
Uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum
mematuhi dan melaksanakan hukumannya. Uang paksa (Dwangsom) bukan
termasuk hukum pokok, karena meskipun telah ditetapkan sejumlah uang paksa
dalam amar putusan, maka pihak yang kalah tidak perlu membayarnya atau
dibebani pembayaran uang paksa tersebut apabila dia mematuhi isi amar putusan
tersebut. Kewajiban dwangsom harus dipenuhi apabila pihak yang kalah tidak
mematuhi isi putusan tersebut. Dwangsom sifatnya adalah assesoir, artinya
hukuman tambahan sebagai penjaga dan bisa sekaligus sebagai pemaksa agar
putusan hakim dipatuhi/ dilaksanakan.

5

Tidak semua putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat diterapkan uang
paksa, dalam Pasal 116 Ayat (4) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan apabila tergugat tidak bersedia
melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif. Jadi putusan yang dapat
diterapkan uang paksa hanya putusan yang sudah berkekuatan hukum yang tetap.
Uang paksa diterapkan (dipaksakan) kepada pejabat apabila ia melawan putusan
Hakim dan hanya bisa diterapkan terhadap perintah melaksanakan perbuatan
tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu dan tidak bisa diganti/diwakili orang
lain.
Dalam Ketentuan Pasal 116 ayat (4) undang-undang No.51 Tahun 2009 mengenai
uang paksa dan/atau sanksi administratif, yang dimaksud dengan pejabat yang
bersangkutan dikenakan uang paksa atau sanksi administratif dalam ketentuan ini
adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh
hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat
memutuskan mengabulkan gugatan penggugat. Dalam ketentuan pasal ini tidak
jelas apakah pengenaan uang paksa itu terhadap pribadi pejabat atau terhadap
instansi.
Dalam implementasinya pemberlakuan uang paksa3 masih belum dapat diterapkan
sebagaimana mestinya karena menyangkut permasalahan belum adanya produk
hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme cara pembayaran uang
paksa, terhadap siapa uang paksa itu dibebankan dan sejak kapan uang paksa
Lilik Mulyadi, “Tututan Uang Paksa (Dwangsom Dalam Teori dan Praktik)”, (Jakarta,
Djambatan.2001). hal-2
3

6

diberlakukan. Hal ini menyababkan uang paksa belum dapat diterapkan, sehingga
berdampak pada seluruh putusan pengadilan tata usaha negara yang telah
berkekuatan hukum yang tetap.
Berdasarkan uraian latar belakang tentang uang paksa diatas, peneliti tertarik
untuk membuat penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan
Uang Paksa (Dwangsom) dan Sanksi Administratif dalam Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara ”
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah ;
1)

Bagaimana pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara terhadap uang
paksa ?

2)

Bagaimana pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara terhadap
sanksi administratif ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini merumuskan konsep yuridis pelaksanaan uang paksa di
pengadilan Tata Usaha Negara, sedangkan sasaran yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui efektifitas penerapan atau pelaksanaan uang paksa di
pengadilan tata usaha negara.
2) Untuk mengetahui efektifitas penerapan atau pelaksanaan sanksi administratif di
pengadilan tata usaha negara.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :

7

1) Secara teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat dalam

pengembangan Hukum Administrasi Negara khususnya yang berkaitan dengan
pelaksanaan uang paksa dan sanksi administratif dalam peradilan tata usaha
negara
2) Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam perkembangan
ilmu pengetahuan hukum, serta dapat bermanfaat sebagai informasi bagi para
pihak yang ingin mengetahui dan memahami tentang uang paksa dan sanksi
administratif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Upaya Paksa
Untuk terlaksananya suatu putusan terdapat 2 (dua) upaya yang dapat ditempuh
yaitu :
1) Upaya paksa langsung(directe middelen), yaitu penggugat memperoleh
prestasi dari tergugat sesuai dengan apa yang ditentukan atau diperintahkan oleh
hakim.
Upaya ini dapat dibedakan dalam 2 (dua) cara, yaitu :
1) Eksekusi riil, yaitu secara langsung tergugat dipaksakan untuk
memenuhi apa yang diperintahkan oleh hakim. Cara ini adalah untuk
melakukan prestasi yang berupa untuk menyerahkan suatu barang
selain dari uang.
2) Hukuman untuk memenuhi prestasi berupa pembayaran sejumlah uang,
dilaksanakan dengan lebih dulu mengadakan penyitaan barang barang
bergerak maupun tidak bergerak milik penggugat, kemudian barang
tersebut dilelang dan hasilnya digunakan untuk pembayaran sesuai
dengan jumlah uang yang harus dibayar oleh tergugat (verhaal
executive)

9

1) Upaya paksa tidak langsung(indirecte middelen), yaitu pemenuhan prestasi
tercapai dengan melalui tekanan fisik kepada tergugat agar ia dengan sukarela
memenuhi prestasi, upaya ini dikenal dengan dua cara yaitu:
1) Penerapa gijzeling (sandra), yaitu hakim menetapkan bahwa apabila
terhukum tidak mau memenuhi prestsi yang ditetapkan maka terhukum
disandra. Penerapan sandra ini dapat diterapakan dalam putusan
kondemnatoir. Penerapan sandra sekarang ini tidak diperkenankan
sesuai surat edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1964 karena
bertentangan dengan Pancasila.
2) Penerapan Dwangsom, yaitu hakim menetapkan suatu hukuman
tambahan kepada si terhukum untuk membayar sejumlah uang kepada
si penggugat didalam hal ini apabila si terhukum tidak memenuhi
hukuman pokok, hukuman tambahan dimaksud untuk menekan agar si
terhukum tersebut dengan sukarela memenuhi hukuman pokok.

2.2 Pengertian Uang Paksa
Ketentuan mengenai Uang paksa diatur dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang
No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pengertian uang paksa
secara umum adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim dalam amar
putusan yang dibebankan kepada tergugat dan diberlakukan apabila tergugat tidak
melaksanakan hukuman yang ditetapkan.1
Uang paksa/dwangsom adalah pembayaran sejumlah uang yang dibayar sekaligus
atau dengan cara diangsur kepada orang atau ahli warisannya, atau hukum badan
perdata yang dibebankan tergugat (Badan/Pejabat Tata Usaha Negara) karena
1

Lilik Mulyadi,op cit. hal 11

10

tidak bersedia melaksanakan Putusan. Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
berkekuatan hukum tetap (Inkcracht Van Gewijsde) dan hal tersebut menimbulkan
kerugian material terhadap orang atau badan hukum perdata.2
Dasar pemberlakuan uang paksa dalam praktik peradilan di Indonesia adalah
mengacu pada Pasal 606 a dan pasal 606 b Rv.3
Pasal 606 a. Rv :
“sepanjang suatu putusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain
dari pada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau
setiap kali terhukum tidak mematuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan
sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam putusan hakim dan uang tersebut
dinamakan uang paksa”.
Pasal 606 b Rv :
“bila putusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang
untuk melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan
tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum “
Dari ketentuan tersebut tidak dijelasakan mengenai batasan tuntutan uang paksa,
dengan demikian batasan uang paksa hanya bisa didapatkan dari para doktrin
ataupun praktisi hukum yang ada saat ini.
Berikut pengertian/ batasan uang paksa dwangsom menurut para ahli hukum:4
1) Prof. Mr. P.A. Stein, mengemukakan batasan bahwa uang paksa sebagai:
“sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan, hukuman tersebut diserahkan
kepada Penggugat, di dalam hal sepanjang atau sewaktu-waktusi terhukum
2

Bambang Sugiono, Penerapan Upaya Paksa dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,
(Makalah Workshop, Jakarta) , 2004
3
Hamdani “.Efektifitas Uang Paksa dalam sanksi Administrasi Negara”
(http//:Kiemdhaniinspiration.blogspot.com).diakses pada 16 April 2014.
4
Lilik Mulyadi, Op Cit, hal. 14

11

tidak melaksanakan hukuman. Uang paksa ditetapkan di dalam suatu jumlah
uang, baik berupa sejumlah uang paksa sekaligus, maupun setiap jangka
waktu atau setiap pelanggaran”.
2) Marcel Some, sesorang guru besar Rijksuniversiteit Gent, Antwerpen-Belgia
memberi batasan tentang uang paksa sebagai:
“ suatu hukuman tambahan pada si berhutang tersebut tidak memenuhi
hukuman pokok, hukuman tambahan mana dimaksudkan untuk menekan si
berhutang agar supaya dia memenuhi putusan hukuman pokok”
3) Mr. H. Oudelar dengan tegas menyebutkan bahwa uang paksa sebagai :
“suatu jumlah uang yang ditetapkan hakim yang dibebankan kepada
terhukum berdasarkan atas putusan hakim dalam keadaaan ia tidak memenuhi
suatu hukuman pokok”
4) J.C.T Simorangkir, Drs. Rudy T Erwin, S.H dan J.T Prasetya menyebutkan
uang paksa sebagai:
“Uang yang ditetapkan sebagai hukuman yang harus dibayar karena
perjanjian yang tidak dipunuhi”
5) Prof Subekti S.H. dan Tjitrosoedibio menyebutkan uang paksa itu sebagai:
“sebegitu jauh suatu putusan pengadilan memutuskan penghukuman untuk
sesuatu lain daripada untuk membayar

sejumlah uang, maka dapatlah

ditentukan di dalamnya, bahwa si terhukum tidak/belum memenuhi keputusan
tersebut, ia pun wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam
putusan itu, dengan demikian maka uang paksa ini merupakan suatu alat
eksekusi secara tidak langsung”

12

Pengenaan uang paksa merupakan sebagai hukuman atau denda, yang jumlahnya
berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang dibayar karena tidak menunaikan, tidak
sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan, dimana dalam
hal ini berbeda dengan ganti rugi kerusakan, dan pembayaran bunga.5
2.3

Sifat Uang Paksa/ Dwangsom

Dari definisi beserta pengertian uang paksa diatas maka tampak bahwa suatu
dwangsom itu bersifat;
1) Accessoir, artinya dwangsom harus selalu mengikuti hukuman pokok, dengan
artian tidak ada dwangsom tanpa adanya hukuman pokok.6Apabila hukuman
pokok telah dilaksanakan oleh terhukum maka dwangsom yang ditetapkan
bersama hukuman pokok tadi tidak berkekuatan hukum lagi.
2) Hukuman tambahan, artinya apabila hukuman pokok yang diterapkan oleh
hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan suka rela, maka dwangsom
diberlakukan, dan apabila dwangsom tersebut telah dilaksanakan tidak berarti
hukuman pokok telah hapus. Hukumam pokok tidak hapus dengan adanya
pelaksanaan dwangsom.
3) Tekanan fisik bagi terhukum, dengan adanya dwangsom yang ditetapkan
oleh hakim didalam putusannya, maka si terhukum ditekan secara fisik agar
ia dengan suka rela memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan.

Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara,” (Jakarta,Rajawali Press, 2006). hal-331
Harifin A.Tumpa, “Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia”, (Jakarta , Kencana. 2010) hal 34

5

6

13

2.4

Jenis Putusan yang Dapat Dikenakan Uang Paksa

Dari macam isi dan sifat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut tidak
semua putusan dapat dikenakan uang paksa melainkan hanya putusan putusan
yang memenuhi syarat saja, antara lain 7:
1) Putusan yang menyatakan gugatan dikabulkan.
yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di persidangan ternyata dalil-dalil dari
posita gugatan Penggugat telah terbukti secara formal maupun materiil dan
telah dapat mendukung petitum yang dikemukakan Penggugat
2) Putusan yang bersifat condemnatoir,
Putusan yang berisi penghukuman / kewajiban melakukan tindakan tertentu
kepada pihak yang kalah.
3) Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht Van
Gewijsde), yaitu putusan pengadilan yang tidak dapatditerapkan upaya hukum
lagi terhadap putusan tersebut.
Dalam konteks Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Putusan yang bersifat condemnatoir adalah berupa :
1) kewajiban mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal/ tidak sah.
2) kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti/ baru.
3) kewajiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru.
4) kewajiban membayar ganti rugi, dan
5) kewajiban melaksanakan rehabilitasi, dalam sengketa kepegawaian.

Ujang Abdullah, “Penerapan Upaya Paksa Berupa Pembayaran Uang Paksa”.
(Jakarta:Pradnya Paramita. 2010). hal 3
7

14

2.5

Perbedaan Ganti Rugi dan Uang Paksa

Ganti rugi dalam Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang
No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 53 ayat (1) dan Pasal
97 ayat (10). Ganti rugi adalah merupakan jenis hukuman pokok yang dibebankan
kepada pihak yang terbukti melakukan perbuatan hukum, atau melakukan inkar
janji (wanprestasi), sementara uang paksa hanya merupakan hukuman tambahan.
Ganti rugi adalah cara pemenuhann atau kompensasi hak oleh pengadilan yang
diberikan kepada satu pihak yang menderita kerugian oleh pihak lain yang
melakukan kalalaian atau kesalahan sehingga menyebabkan kerugian tersebut.
Beban pembayaran ganti rugi telah diputuskan dalam amar putusan oleh hakim,
sehingga jumlah tersebut harus dipenuhi. Pengenaan uang paksa merupakan
alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti sebagai sanksi tambahan.
Persoalan hukum yang dihadapi dalam pengenaan dwangsom sama dengan
pelaksanaan nyata. Uang paksa biasanya dicantumkan dalam petitum gugatan
dengan alasan agar tergugat mau melaksanakan isi putusan pengadilan.
2.6

Beban Pembayaran Uang Paksa

Mengenai beban pertanggung jawaban uang paksa, kepada siapa uang paksa
tersebut dibebankan, dikenal dua teori dalam menyelesaikan masalah ini :
1) Teori Fautes Personalies, teori ini menyatakan bahwa kerugian pihak ketiga
itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya mengakibatakan
kerugian.
2) Teori Fautes de service, teori menyatakan bahwa kerugian kepada pihak
ketiga dibebankan kepada instansi pejabat yang bersangkutan apabila
kesalahan itu dilakukan dalam rangka menjalankan tugas publik.

15

2.7

Upaya Administratif

Menurut sistem hukum administrasi negara, penyelesaian Tata Usaha Negara ada
yang bersifat “administratif” suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang
atau badan hukum perdata, apabila ia tidak puas terhadap putusan tata usaha
negara. Prosedur tersebut dilakukan dilingkungan intern pemerintahan sendiri
mengenai upaya administrasi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 48 ayat (1) UU
No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara , “Dalam hal suatu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa
Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia”
Upaya administratif menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ada 2 (dua) cara:
1) Banding Administratif (Administratief beroep)
Banding Administratif adalah penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan
oleh instansi atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara
tersebut atau instansi yang lainnya dari badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan ke putusan tata usaha negara.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang menyelesaikan sengketa
administratif seperti yang dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

16

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia”.
Selanjutnya ada upaya administratif dilingkungan intern pemerintahan sendiri
tersebut berkaitan dengan sistem “Fungsional control” atau “Pengawasan
melekat” dari pejabat atasan kepejabat bawahannya , baik yang bersifat prefentif
maupun refresif yang bersifat represif antara lain tindakan pembatalan atau
pencabutan terhadap “Beschikking” yang telah diputuskan oleh pejabat
bawahannya.
Menurut ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dinyatakan:
“Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh
upaya administratif yang bersangkutan digunakan”.
Apabila upaya administratif ditempuh semuanya, sedangkan yang bersangkutan
menderita kerugian atau tidak puas, dapat mengajukan gugatan sengketa Tata
Usaha Negara tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berwenang,
memeriksa, memutus dan menyelesaikannya dalam peradilan tingkat pertama dan
bukan dalam tingkat banding, seperti dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48”.
Dengan adanya upaya administrasi terhadap sengketa Tata Usaha Negara tertentu,
maka Peradilan Tata Usaha Negara harus benar-benar cermat meneliti terhadap

17

surat gugatan sengketa Tata Usaha Negara, apakah sengketa Administratif
tersebut mengandung upaya administratif, atau tidak. Pengadilan baru berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, jika seluruh
upaya administratif yang telah tersedia itu dilampaui, maka terhadap gugatan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan, pengadilan harus menyatakan tidak diterima.
2) Keberatan
Keberatan merupakan penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus
dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan itu. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara yang bersifat “yuridis”
atau dari segi hukumnya sesuai dengan asas negara hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka yang berwenang menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara (Administratif
rechtspraak) yang mampu menegakkan keadilan, kebenaran, dan kepastian
hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya
dalam hubungan antar badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat.
Secara formal, Peradilan Tata Usaha Negara berfungsi menilai dan menguji dari
segi hukumnya (toetsingrecht) terhadap tindakan hukum atau hubungan hukum,
atau pejabat yang dirumuskan dalam suatu Beschikking Tata Usaha Negara,
apakah bertentangan dengan hukum. Apabila bertentangan dengan hukum,
pengadilan berwenang membatalkannya atau menyatakannya tidak sah, serta
berwenang apabila memerintahkan kepada Badan atau Pejabat yang bersangkutan
untuk mencabut kembali dan menerbitkan yang baru sesuai ketentuan hukum
yang berlaku, namun terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut
dapat langsung dimohonkan Kasasi. Hal ini dimaksud untuk mempersingkat

18

tingkat penyelesaian sengketa, mengingat upaya hukum yang ditempuh sudah
melalui upaya administratif.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, diatur bahwa kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin,
kepadanya dapat dikenakan hukuman disiplin atau sanksi administratif antara lain
berupa:
1) penurunan pangkat
2) pembebasan dari jabatan
3) pemberhentian dengan hormat, dan
4) pemberhentian tidak dengan hormat
Dari beberapa jenis sanksi tersebut sebenarnya dapat dipilih, mana yang paling
tepat diterapkan dalam penjatuhan sanksi administratif.
Hukuman disiplin yang berupa penurunan pangkat yang setingkat lebih rendah,
ditetapkan untuk masa sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan, dan untuk paling
lama 1 (satu) tahun setelah hukuman penurunan pangkat selesai maka pangkat
pegawai negeri sipil yang bersangkutan dengan sendirinya kembali pada pangkat
yang semula. Hukuman disiplin yang berupa pembebasan dari jabatan organik.
Pembebesan dari jabatan berarti pula pencabutan segala wewenang yang melekat
pada jabatan itu. Selama pembebasan dari jabatan, pegawai negeri sipil yang
bersangkutan menerima penghasilan penuh kecuali tunjangan jabatan.
Pegawai negeri sipil yang yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil, apabila
memenuhi syarat masa kerja dan usia pensiun menurut peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersangkutan diberikan hak pensiun.

19

2.8

Sanksi Administratif

Sanksi administratif adalah hukuman yang ditetapkan oleh hakim berisi perintah
kepada atasan tergugat atau pejabat yang berwenang menghukum agar tergugat
dijatuhi hukuman administratif dalam hal tergugat tidak melaksanakan hukuman
yang ditetapkan dalam putusan.8
Sanksi administratif dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara tidak dijelaskan secara rinci.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Pasal 116 ayat (7) disebutkan ketentuan mengenai besaran
uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang
paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan tata usaha negara akan
diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera. Disamping
diumumkan pada media massa cetak setempat, ketua pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi

untuk

memerintahkan

pejabat

tersebut

melaksanakan

putusan

pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi
pengawasan.

8

legal draft peraturan pemerintah tentang uang paksa (http:heryjudge.blogspot.com?2010_03_01_archive.html) diakses pada tanggal 11 Agustus 2013

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1

Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau berupa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya1. Tipe
penelitian ini sendiri bersifat deskriptif, karena merupakan penggambaran dan
pemaparan dari ketentuan norma yang berlaku, dikaitkan dengan doktrin yang ada
serta kenyataan yang berlangsung saat ini.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif
terapan. Pokok kajian dalam normatif-terapan adalah pelaksanaan atau
implementasi ketentuan hukum positif dan kontrak secara faktual pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Dalam normatif terapan terdapat gabungan 2 (dua) tahap
kajian yaitu :
1)

Tahap yang pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku.

2)

Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in contreto guna mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui
perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan

1

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Universitas Indonesia,1986) Press. Jakarta. Hal 12

21

pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan hukum normatif secara patut
atau tidak.
Pendekata normatif merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara
mendekati permasalahan dari segi hukum, membahas kemudian mengkaji bukubuku, ketentuan perundang-undangan yang telah ada dan yang ada hubunganya
dengan masalah yang akan dibahas. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan
sebagai upaya memahami persoalan dengan tetap berada berada atau bersandarkan
pada lapangan hukum.
3.2

Sumber Data dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2
Untuk mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi :
1)

Bahan hukum primer, yaitu data normatif yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang meliputi :
1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
2) Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.

2

Sarjono Soekanto, penelitian hukum normatif, (Jakarta; Rajawali Pers, 1990), hal. 11.

22

2) Bahan hukum sekunder
Bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu dalam menganalisa
serta memahami permasalahan dalam penelitian dan diperoleh dengan cara studi
dokumen, mempelajari permasalahan dari penerapan uang paksa di peradilan tata
usaha negara berbagai sumber hukum primer lainnya yang berhubungan dengan
masalah penelitian.
3) Bahan hukum tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tambahan atau dukungan data
yang telah ada pada bahan hukum primer dan bahan sekunder. Bahan hukum
tersier yang digunakan adalah buku-buku, literatur, makalah, kamus hukum,
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan
materi ditambah lagi dengan kegiatan pencarian data menggunakan internet.

3.3

Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah.
1) Studi kepustakaan
Dilakukan dengan cara membaca, menelaah, memahami dan mengutip hal-hal
yang berkaitan dengan permasalahan yang teliti.
2) Studi lapangan
Studi lapangan yang dimaksud dalam hal ini adalah hanya sebagai data tambahan
yang dilakukan dengan wawancara kepada hakim pengadilan tata usaha negara
bandar lampung.

23

2) Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data yang
dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Data, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan,
kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam
penelitian. Dalam penelitian ini data-data berupa peraturan perundangundangan, dan literatur atau buku karya ilmiah yang relevan dengan
permasalahan yang akan dibahas.
2) Klasifikasi Data, yaitu kegiatan penetapan data menurut kelompok-kelompok
yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar
diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
3) Sistematika Data, yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai
jenis data dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dengan
menganalisa data tersebut.
3.4 Analisis Data
Setelah pengolahan data selesai, dilakukan analisis data secara kualitatif, yaitu
analisis yang dilakukan dengan cara mengkonstruksikan data dalam bentuk uraian
kalimat yang tersusun secara sistematis sesuai dengan pokok bahasan dalam
penelitian ini, sehingga memudahkan untuk dimengerti guna menarik kesimpulan
tentang masalah yang diteliti. Kemudian akan dilakukan penarikan kesimpulan
secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang
bersifat umum guna memperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari
permasalahan yang diteliti.

BAB V
PENUTUP

5.1

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut, bahwa:
1) Pelaksanaan putusan uang paksa dalam suatu putusan Hakim di Pengadilan
Tata Usaha Negara terhadap uang paksa dwangsom di Pengadilan Tata Usaha
Negara sampai saat ini belum bisa terlaksana secara efektif dikarenakan tidak
adanya peraturan mengenai pelaksanaan uang paksa, besaran uang paksa,
penjatuhan uang paksa, prosedur maupun mekanisme dan cara pembayaran
uang paksa, dan kurangnya partisipasi aktif dari tergugat untuk mengikut
sertakan uang paksa dalam petitum gugatan.
2) Pelaksanaan sanksi administratif di pengadilan tata usaha negara masih belum
bisa terlaksana secara efektif dikarenakan tidak adanya peraturan pelaksana
mengenai jenis sanksi administratif yang dapat dijatuhkan kepada pejabat
publik yang tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan tata usaha
negara dan kurangnya kesadaran dari pejabat publik untuk melaksanakan
putusan pengadilan tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum yang
tetap.

44

5.2

Saran

Sebagai upaya untuk meningkatakan pelaksanaan uang paksa dan sanksi
administratif di Peradilan Tata Usaha Negara untuk saat ini yang sangat
diperlukan adalah dibuatnya produk hukum berupa Peraturan Pemerintah untuk
mengatur prosedur dan mekanisme pembayaran uang paksa (dwangsom), seperti
berapa besaran uang paksa yang boleh dijatuhkan dalam sehari, dan jenis sanksi
administratif yang dapat dijatuhkan dalam putusan. Serta Hakim perlu berperan
aktif dalam mengawasi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap apakah telah dilaksanakan atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,Jakarta.Rajawali
Pers.1992
Atmosudirdjo,Prajudi. “Hukum Administrasi Negara”,Jakarta.Ghalia Indonesia. 1994
Fachrudin, Irfan. “Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah ” Bandung. PT.Alumni.2004
Hadjon, Philipus M. “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”Yogyakarta.Gajah
Mada University Press. 1995
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara,Jakarta, Rajawali Press 2006
Marbun, SF. Peradilan administrasi, Yogyakarta,.Liberty. 1988
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal hukum (suatu pengantar), cetakan pertama
Yogyakarta Liberty 2003
----------------------------. Hukum Acara Perdata Indonesia” Yogyakarta: Libe