Penerapan uang paksa (dwangsom) dalam perkara hadhanah (analisis putusan perkara nomor : 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA NIM : 108044100080

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).

Pada perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa dikenakan uang paksa/dwangsom (perkawinan, harta bersama, waris, wasiat, hadhanah, hibah, wakaf, maupun di bidang ekonomi syariah) kecuali terhadap putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang.

Dalam perkara mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan

hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom, pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Namun demikian, dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA.Mks hakim menyertakan dwangsom dalam perkara Hadhanah.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, dalam hal ini data bahan hukum primer yaitu Kompilasi Hukum Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan, bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara hadhanah, sudah memenuhi unsur dibolehkannya tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom. Yang mana legal opinion hakim masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1)

dwangsom diminta secara tegas oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan bersama-sama dengan hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan berupa pembayaran sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan memungkinkan untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan.

Kata kunci: Uang paksa (Dwangsom), Hadhanah, Pengadilan Tinggi Agama Agama Makasar.

Pembimbing: Hj. Rosdiana, M.A/Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sysarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

v

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan izin dan karunia Dzat yang selalu memberikan kekuatan kepada penulis; Allah SWT. Shalawat teriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada kaum muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. 2. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, S.Ag, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH, Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum. 4. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang

telah banyak memberikan saran dan nasehat dalam perkuliahan.

5. Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang saya cintai.

6. Ayahanda tercinta Drs. Hambali Sahak dan Ibunda tersayang Sulismiani sujud baktiku kepada kalian atas segala do’a dan pengorbanan kalian selama ini,


(7)

vi Sukarmi yang selalu memberi doa.

7. Sahabat-sahabatku: Rusdi Nurridho, S.Sy, S.H, M Athoilah, S.Sy, S.H, IBM Andhika, S.Sy, Ali Seto, S.Sy, Udi Wahyudi, S.Sy, Ade Taufik, S.Sy, Fahrur Rodzy, S.Sy, Mawardi, S.Sy, Monica Lauren, S.Par, Bramantyo Faga, S.Ds, Aby Respati, S.Kom, canda tawa kalian akan menjadi kenangan terindah dan tak terlupakan.

8. Teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008 dan teman-teman KKN Malfath 2011 terima kasih untuk kalian semua semoga sukses selalu.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Jakarta, 19 Maret 2015 Penulis


(8)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Study Review... ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Metode Penelitian ... 9

G. Teknik Penulisan ... 11

H. Sistematika Penulisan ... . 11

BAB II UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM PERKARA HADHANAH ... 13

A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom) ... 13

B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom) ... 15

C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif ... 18


(9)

B. Struktur Organisasi Pengadilan ... 36

C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar ... 37

BAB IV PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM) PADA PERKARA HADHONAH (analisis putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ... 43

A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (dwangsom) ... 43

B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (Dwangsom) ... 52

C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan ... 56

D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (Dwangsom) (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ... 57

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran-saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN


(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Satu di antara persoalan penting yang direkomendasikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung R.I di Manado tanggal 31 Oktober 2012 yang lalu adalah mengenai penerapan lembaga dwangsom dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah), di mana berdasarkan hasil Rakernas tersebut dalam perkara pemeliharaan anak (hadhanah) hakim dapat menghukum tergugat untuk membayar dwangsom. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mengantisipasi berbagai kesulitan pelaksanaan eksekusi anak yang selama ini kerap terjadi.1

Berbagai masalah dan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahapan pemeriksaan apalagi saat pelaksanaan eksekusi, karena sampai saat masalah eksekusi putusan anak masih ada perselisihan dimana ada ahli hukum yang berpendapat anak tidak dapat di eksekusi sedangkan ahli hukum yang lain putusan hadhanah dapat di eksekusi. Para ahli hukum yang berpendapat putusan hadhanah tidak dapat di eksekusi beralasan bahwa selama ini Yurisprudensi yang ada tentang eksekusi semuanya hanya bidang hukum kebendaan, bukan terhadap orang. Oleh karena itu eksekusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman yang ada

1

Cik Basir, Hakim pada Pengadilan Agama Lubuk Linggau (Sum-Sel) hal ini Rumusan hasil Rakernas dimaksud selengkapnya menyatakan bahwa pada dasarnya putusan perkara hadhanah dapat dieksekusi, akan tetapi dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kepentingan dan psikologis anak. Untuk menghindari kesulitan pelaksanaan eksekusi, hakim dapat menghukum tergugat untuk membayar dwangsom. Lihat Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama (Komisi II), (Manado, tanggal 31 Oktober 2012), h.2-3.


(11)

maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusan bersifat deklatoir, karena kenyataan sekarang eksekusi terhadap anak hanya bersifat sukarela. Sedang ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang putusannya bersifat comdennatoir.

Sejauh ini di Pengadilan Agama menerima permohonan dwangsom itu justru lebih banyak diajukan dalam perkara-perkara sengketa kebendaan, sedangkan dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) dapat dikatakan masih sangat jarang yang disertai dengan tuntutan dwangsom.2

Dari sekian banyak permohonan dwangsom yang diajukan di Pengadilan Agama selama ini khususnya dalam perkara-perkara sengketa kebendaan (zakenrecht) ternyata masih sangat jarang yang sampai dikabulkan hakim. Hal ini tidak dipungkiri disebabkan antara lain karena masih terbatasnya pemahaman sebagian hakim Pengadilan Agama terhadap eksistensi dan urgensi lembaga

dwangsom itu sendiri di satu sisi dan penerapannya di Pengadilan Agama di sisi lain.3

Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim dijumpai dalam setiap gugatan. Kongkritnya, tuntutan uang paksa merupakan hal

2

Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 34

3

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 9.


(12)

wajar dan semestinya diminta oleh pihak penggugat atau para penggugat kepada pihak tergugat atau para tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak tergugat atau para tergugat mematuhi, memenuhi dan melaksanakan tuntutan atau hukuman pokok.4

Uang paksa (Dwangsom) diartikan sebagai hukuman tambahan yang dibebankan hakim kepada pihak tergugat (terhukum) untuk membayar sejumlah uang kepada pihak penggugat dengan tujuan agar tergugat (terhukum) bersedia memenuhi hukuman pokok yang dijatuhkan hakim secara sukarela dalam waktu yang telah ditentukan.

Sedangkan dari ketentuan Pasal 606a dan 606b Rv setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami yang merupakan sifat sekaligus sebagai prinsif dasar dari

dwangsom sebagaimana diuraikan oleh Harifin Tumpa:5

Pertama, dwangsom itu bersifat pelengkap (accessoir). Oleh karena bersifat accessoir maka gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dikabulkan oleh hakim apabila diajukan bersama-sama dengan gugatan pokok. Dengan perkataan lain gugatan mengenai dwangsom tidak bisa diajukan secara tersendiri atau terpisah dengan gugatan pokok, ia selalu harus mengikuti gugatan pokok. Dengan demikian dwangsom tidak mungkin dijatuhkan hakim jika gugatan pokok

4

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; Hukum Acara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni, 2009), h. 71.

5

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 18-19.


(13)

tidak dikabulkan. Gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dijatuhkan hakim apabila bersama-sama dengan dijatuhkannya hukuman pokok.

Kedua, dwangsom merupakan hukuman tambahan. Dalam hal ini

dwangsom yang dijatuhkan hakim bersama-sama dengan hukuman pokok hanya akan diberlakukan terhadap tergugat (terhukum) manakala ia tidak memenuhi hukuman pokok dalam putusan tersebut. Apabila hukuman pokok dalam putusan tersebut telah dilaksanakan dan dipenuhi oleh tergugat (terhukum) sebagaimana mestinya maka dengan sendirinya dwangsom tidak mempunyai kekuatan hukum lagi sehingga tidak perlu dilaksanakan lagi oleh tergugat. Sebaliknya, manakala tergugat lalai melaksanakan hukuman pokok, lalu ia hanya memenuhi dwangsom sebagaimana yang dijatuhkan hakim dalam putusan, pelaksanaan dwangsom

tersebut sama sekali tidak menghapuskan hukuman pokok. Keharusan tergugat melaksanakan hukum pokok tetap tidak gugur dengan dilaksanakannya

dwangsom.

Ketiga, dwangsom merupakan media untuk memberikan tekanan psychis (dwaang middelen) kepada terhukum. Hal ini berarti bahwa dwangsom

dimaksudkan untuk memberikan tekanan secara psikis kepada pihak tergugat agar yang bersangkutan mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela. Di sini kedudukan dwangsom jelas fungsi utamanya adalah sebagai alat untuk menekan pihak tergugat agar ia mau memenuhi hukuman pokok secara sukarela.6

6

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h. 439.


(14)

Inilah tiga hal yang merupakan sifat sekaligus prinsif lembaga dwangsom

yang penting untuk diketahui dan dipahami guna memudahkan dalam memahami eksistensi dan urgensinya dalam praktik Peradilan di Indonesia.

Disisi lain, persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom

dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Hipotesa atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.7

Berdasarkan uraian di atas yang telah dijelaskan, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana penerapan atau implementasi uang paksa dalam perkara hadhanah. Berangkat dari keingintahuan penulis inilah, penulis ingin mencoba meneliti dan menguraikan bentuk penulisan skripsi dengan judul: “Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks)”

7

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h. 438.


(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai penerapan atau implementasi uang paksa dalam perkara hadhanah banyak perbedaan antara para ahli hukum, karena masih banyak ahli hukum yang berbeda pendapat akan hal ini, maka dari permasalahan ini penulis ingin mengkaji lebih dalam dan memberikan batasan pada Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Pada Pelaksanaan Putusan hanya pada Perkara Hadhanah saja (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) di Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

2. Perumusan Masalah

Perkara Hadhanah yang sering kita temui dalam praktek yang terkadang kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya dikarenakan banyaknya pihak tergugat atau yang kalah jarang sekali yang melaksanakan putusan dari pengadilan, sehingga proses eksekusi terhadap anak sering terjadi tarik-ulur. Sehingga banyak ahli hukum berpendapat untuk memasukkan unsur uang paksa (dwangsom) pada perkara hadhanah ini agar memberikan efek jera pada tergugat, akan tetapi hal psikis anak harus juga diliat berkaitan eksekusinya, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk menganalisis juga terkait putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara

hadhanah. Hal ini lah yang masih menjadi perdebatan para ahli. Berdasarkan uraian pokok permasalahan di atas, maka penulis mencoba memformulasikan


(16)

dalam rumusan penelitian ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom)? b. Apa saja Kategori Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa (dwangsom)? c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa

(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan:

1. Untuk mengetahui Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom). 2. Untuk mengetahui Apa saja Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa

(dwangsom).

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa

(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.

D. Review Study

1. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan agama Cikarang, oleh: RA Didin Dlliyauddin, (109044200003) Tahun 2014.

2. Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusuz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur (Putusan Nomor: 377/Pdt.G/2006/PAJT) oleh: Hadi Zulkarnain, (106044201462) Tahun 2011.


(17)

3. Hadhanah Perspektif Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PAJS) oleh: Sabaruddin (204044103057) Tahun 2009.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini para pihak khususnya yang konsen mengkaji Hukum Acara Perdata. b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal

Hukum Acara Perdata.

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan penelitian yang serupa di masa mendatang.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai hak asuh anak (hadhanah) dan uang paksa (dwangsom).

b. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(18)

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka Penulis menggunakan metode:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

a. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.8

b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach).9 Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan dokrtin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

8

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.

9


(19)

2. Sumber Hukum

Sumber Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, Kompilasi Hukum Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dan sumber data sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang terdiri dari buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi.10 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.11

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.12

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.

11

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 29. 12

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, h. 201.


(20)

untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang hukum hak asuh anak serta tentang uang paksa dalam peraturan

perundang-undangan.

b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.

G. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

H. Sistematika Penulisan

Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, Studi review terdahulu, manfaat penelitian, metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.


(21)

Kedua dalam Bab ini menjelaskan tentang Pengertian Uang Paksa (dwangsom) kemudian tentang Kegunaan Dwangsom dan yang terakhir tentang Eksistensi Hadhanah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif.

Ketiga dalam bab ini penulis menjelaskan tentang Histori Pengadilan Tinggi Agama Makassar kemudian menjelaskan tentang Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi Agama Makassar dan yang terakhir menjelaskan tentang Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

Keempat dalam bab terakhir ini berisikan tentang Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan dan yang terakhir tentang Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (dwangsom) (putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).

Kelima dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dari penulis beserta saran-saran penulis dan penutup.


(22)

13

VERKOOP) HADHANAH

A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom)

Hukuman adalah resiko yang ditanggung oleh siapa saja yang melakukan kesalahan akibat perbuatannya. Hukuman tidak selamanya berbentuk penjara untuk mengekang dalam arti fisik agar orang itu terasing dari komunitas sosial dalam pembinaan diri untuk menjadi lebih baik. Hukuman menjadi sebuah sarana pengendalian sosial (social control) yang efektif dalam pembinaan terhadap orang yang melakukan kesalahan.

Dalam ranah hukum privat/perdata terdapat hukuman yang disebut “uang paksa” sebagai uang hukuman bagi seseorang tergugat (orang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain) yang ditetapkan dalam putusan hakim yang sifatnya komdemnatoir.1

Qudelaar menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, tuntutan uang paksa (dwangsom) adalah sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan

1

Ditinjau dari segi sifatnya, terdapat beberapa jenis putusan yang dapat dijatuhkan hakim: Putusan declatoir atau deklarator adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata, Misalnya putusan yang menyatakan ikatan perkawinan sah, perjanjian jual beli sah. Putusan Constitutief atau konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan hubungan hukum baru, misalnya putusan perceraian. Putusan Condemnatoir atau kondemnator adalah putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan yang bersifat kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari amar deklaratif atau konstitutif. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 872-874.


(23)

hakim yang harus dibayar oleh si Terhukum untuk kepentingan pihak lawan apabila ia tidak memenuhi hukuman pokok.2

Dasar hukum dwangsom dijelaskan dalam Pasal 606a Rv. menentukan:

Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan,bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.3

Tuntutan uang paksa dalam praktik peradilan perkara perdata di Indonesia lazim disebut dengan terminology "Dwangsom". Terminology "dwangsom" ini berasal dari bahasa Belanda, yang merupakan kata absorptie dari bahasa Perancis yaitu kata "astreinte". Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim dijumpai dalam setiap gugatan. Konkritnya, tuntutan uang paksa merupakan hal wajar dan semestinya diminta oleh pihak Penggugat atau para Penggugat kepada pihak Tergugat atau para Tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak Tergugat atau para Tergugat mematuhi, memenuhi dan melaksanakan tuntutan atau hukuman pokok.4

Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam hukum acara perdata berkaitan dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam

2

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 2009), h. 70.

3

Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17.

4

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; HukumAcara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni,2009), h. 71.


(24)

sengketa perdata terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah sebagai berikut:5

1. merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok, apabila hukuman pokok telah dilaksanakan maka dwangsom yang ditetapkan bersama hukuman pokok tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan lagi; 2. merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh

hakim tidak dipenuhi oleh Tergugat, maka dwangsom tersebut dapat dijalankan eksekusi;

3. merupakan tekanan pcychis, dengan adanya hukuman dwangsom yang ditetapkan oleh putusan hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum tersebut ditekan secara pcychis agar ia dengan sukarela menjalankan hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim.

B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom)

Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan perkara perdata adalah gugatan. Oleh karena itu, apabila di dalam gugatan diminta adanya suatu dwangsom, hakim dapat saja mengabulkannya. Kewenangan ada pada hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi.6 Tentang seberapa jauh hakim

5

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-5, (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230.

6

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51.


(25)

agar dapat mengabulkan suatu dwangsom, itu sangat tergantung pada kebijaksanaan (diskresioner) dari hakim. Tidak harus setiap permintaan dwangsom yang memenuhi rumusan ketentuan pasal 611a Rv harus dikabulkan oleh hakim. Hakim pulalah yang mempunyai kewenangan untuk mempertimbangkan fakta-fakta dan menentukan suatu jumlah uang paksa (dwangsom).

Adalah suatu sifat yang sangat bijaksana bila hakim mempertimbangkan kemampuan dr si terhukum (tergugat) didalam menjatuhkan dwangsom. Di samping itu, dalam menetapkan besarnya uang paksa (dwangsom) hakim hendaknya juga mempertimbangkan apkah jumlah uang paksa (dwangsom) yang dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, artinya apakah hukuman dwangsom itu akan sungguh-sungguh merupakan tekanan psychis bagi terhukum, sehingga si terhukum ini akan dengan sukarela memenuhi hukuman pokoknya.7

Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang. Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai 2 unsur, yaitu:8

7

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51. 8

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di


(26)

1. Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psychis; dan 2. Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld).

Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu: 1. Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;

2. Berlakunya dwangsom;

3. Tuntutan pelaksanaan dwangsom.

Dengan adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom

yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok, sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan.

Dalam rumusan ketentuan pasal 61d Ayat 1 menetukan bahwa hakim yang telah menjatuhkan dwangsom, dapat menghapuskan, atau menunda untuk suatu jangka waktu atau mengurangi dwangsom baik mengenai jumlahnya maupun jangka waktunya, di dalam hal si terhukum tidak mungkin melaksanakan hukuman pokok. Kemudian Ayat 2 menegaskan bahwa hakim tidak boleh mengubah suatu dwangsom yang telah berkekuatan hukum, sebelum ternyata adanya ketidak-mungkinan tersebut.9 Ternyata undang-undang tidak menjelaskannya. Hal ini tentunya diserahkan sepenuhnya kepada kearifan dari hakim dan para ahli hukum. Menurut yurisprudensi dan literatur ditemukan dua kemungkinan sebagai dasar “ketidakmungkinan” tersebut yaitu:

9

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di


(27)

1. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara materiil/fisik; 2. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara psychis.

C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif 1. Menurut Fiqh

Dalam islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,

hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanat-tha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia mengumpulkan (mengempit) telurnya itu kedalam dirinya di bawah (himpitan sayapnya).10 Demikian pula sebutan hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada, serta pinggulnya.11

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan.12Hadhanahjuga berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan

10

Ahmad Warson, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 296.

11

Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973), h. 339. 12

DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid II, h. 206.


(28)

kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.13 Dalam kajian fiqh, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.14

Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.15

Dalam kitab Subulussalam disebutkan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau membahayakannya.16

Dalam literatur fiqh, hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminologis diantaranya:

13

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 293.

14

Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 67. 15

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut : Dar Fikr, 1983), h. 287. 16

Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan’ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya Al-Turas Al-Araby, 1960), h. 227.


(29)

a. Menurut Sayyid Sabiq:17

Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”. b. Menurut Qalyubi Dan Umairah:18

Artinya : “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan tanggung jawab. Hadhanah diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Yang dimaksud mendidik dan memelihara disini adalah

17

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289. 18

Syeikh Al-syihab Al-Din Al-Qalyubi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar Wahya Al-Kutub, 1971), h. 88.


(30)

menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum sanggup mengatur sendiri.19

Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.20

Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam islam, yakni hadhanah memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.21

Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:22

1) Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan. 2) Hak anak dalam kesucian keturunannya. 3) Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4) Hak anak dalam menerima susuan.

19

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391. 20

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (damaskus: Dar Al-fikr, 1984), h. 279.

21

Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49. 22

Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam DI Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005), h. 177.


(31)

5) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan. 6) Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi

kelangsungan hidupnya.

7) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.23

2. Menurut Hukum Perdata

Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV, Pada pasal 289 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai siapa yang paling berhak memelihara atau mengasuh anak yang masih di bawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya.

23

Amiur Nuruddin dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). h. 298-299.


(32)

Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu.24

Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam hal adanya pisah meja atau ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.25

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama

24

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: sinar Grafika, 2007), h. 72. 25


(33)

sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak.26

Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam pasal 229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas mereka dari kekuasaan orang tua.27

Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua atau para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah dipecat dari kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau berperilaku tidak baik. Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara atau mengasuh anak yang masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang tua baik dari ibu maupun ayah.

26

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 211.

27

Soedharyo soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 72.


(34)

Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

“Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”.

Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah yang dilahirkan atas perkawinan yang sah.28

3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum pengauasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fiqh ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan

28

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 55-56.


(35)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.29

Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana dikemukakan dalam pasal 104 yaitu:

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya;

(2) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.30

Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relavan dengan hal yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab

29

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 428-429.

30


(36)

material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.31 Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.32

Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.33

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat: 1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia

21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak tercatat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

31

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 149. 32

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.

33

Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negara Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14-15.


(37)

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.34

Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.35

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat

34

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189.

35


(38)

melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali, M. Yahya Harahap (1975:216) menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan berpergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.36

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan.37 Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

36

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.

37


(39)

biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.38

4. Dasar Hukum Hadhanah

Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang masih dibawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu:

a. Al-Qur’an

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 223:

                                                                                                                     

Artinya: “ Para ibu hendaklah menyusunkan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu memberi makan dan Pakaian kepada para ibu

38

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sianar Grafika, 2007), h. 15.


(40)

dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak itu sendiri.39

b. As-Sunnah

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :40

39

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 392-393. 40

Abu Daud Sulaiman bin Al-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar Fikr, 2003), h. 525.


(41)

.

Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang perempuan berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini telah menjadikan perutku sebagai tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama belum menikah”.

Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak dari pada bapak selama ibunya belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena mempunyai kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar dari pada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang dari pada bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah

menjadi hilang.41

41


(42)

33 A. Histori Pembentukan Pengadilan

1. Masa Sebelum Penjajahan

Pada pemerintahan Raja Gowa III (1637-1653) yang bernama Sultan Malikus Saleh dibentuk semacam Pengadilan Tinggi Agama, dimana kepalanya diberi gelar Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) dan bawahannya disebut IMAM dan dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal.1

Pada tahun 1611 Kerajaan Bone menerima agama Islam sebagai agama resmi dan Raja adalah penghulu tertinggi (Syaikhul Islam). Parewa Syara’ bertugas sebagai aparat pelayanan bagi masyarakat Islam, seperti pelaksanaan ibadat, upacara keagamaan, pembinaan dan perawatan bangunan keagamaan, melayani upacara pernikahan, kematian dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan.

Parewa Syara’ mendapat nafkah dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah Iedul Fitri dan Iedul Adha, penyelenggaraan mayat, kenduri kerajaan dan pernikahan.

2. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang Parewa Syara’ tidak mengalami perubahan sekalipun Kerajaan Bone dan Gowa telah ditaklukkan

1

Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 24 November 2013 pkl. 16.15 wib


(43)

oleh Belanda dan Jepang, penyelesaian masalah perceraian dan kewarisan tetap ditangani oleh Parewa Syara’.

3. Masa Kemerdekaan

Pada tahun 1957 Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 Lembaran Negara No. 99 tentang Pembentukan Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura, Kalimantan serta sebagian Kalimantan Timur. Pada tahun 1958 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri Agama Nomor : 5 tahun 1958 tentang pembentukan beberapa Mahkamah Syari’ah antara lain Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar yang wilayah hukumnya meliputi Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya.2

4. Masa berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974

Setelah Undang-undang Nomor: 1 tahun 1974 berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 9 tahun 1975, maka Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar berangsur-angsur dikurangi wilayah hukumnya hanya meliputi Sulawesi-Selatan dan Tenggara saja, dan namanya berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang.

5. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989

Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang dikembangkan lagi menjadi dua Pengadilan Tinggi Agama, yakni Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang dan Pengadilan Tinggi Agama Kendari berdasarkan

2


(44)

undang Nomor: 3 tahun 1995, jadi Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang hanya mewilayahi Sulawesi Selatan saja dan Pengadilan Tinggi Agama Kendari mewilayahi Sulawesi Tenggara.

6. Masa Sekarang

Dengan berubahnya nama Kota Ujungpandang menjadi Kota Makassar pada tahun 2000, maka secara otomatis Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Dan pada tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Tinggi Agama Makassar berada di bawah naungan Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung yang ditetapkan pada tanggal 23 Maret 2004 yang sebelumnya berada di bawah naungan Departemen Agama RI.3

Berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2004 telah terbentuk propinsi baru di Sulawesi yakni Sulawesi Barat yang memiliki 5 wilyah kabupaten. Dengan terbentuknya propinsi baru tersebut, maka Pengadilan Agama yakni : PA Polewali, PA Mamuju, dan PA Majene masuk menjadi wilayah Sulawesi Barat. Dengan belum terbentuknya Pengadilan.

3


(45)

(46)

C. Kedudukan Dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar

Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yakni menyangkut perkara-perkara:4

1. Perkawinan; 2. Waris; 3. Wasiat; 4. Hibah; 5. Wakaf; 6. Zakat; 7. Infaq;

8. Shadaqah; dan 9. Ekonomi Syari’ah.

Di samping itu, Pengadilan TInggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan.

4


(47)

Fungsi:

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :5

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial bagi perkara banding.

2. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan administrasi peradilan lainnya.

3. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

4. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku Hakim, Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya.

5. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.

6. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Tinggi Agama dan Penagdilan Agama.

7. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan sebagainya.

Pengadilan Agama Merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di

5


(48)

tingkat pertama antara orang–orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.

Pengadilan Agama mempunyai dua kewenangan yaitu : 1. Kewenangan relatif

Kewenangan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kewenangan relatif pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kewenangan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja. Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis, sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Pengadilan Agama Jakarta Utara satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan peradilan agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.6

6

Chatib Rasyid dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama, Yogyakarta : UII Press 2009 h. 26


(49)

2. Kewenangan absolut

Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan agama yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan. Dalam perbedannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kewenangan peradilan umum. Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama atau mahkamah agung. Banding dari pengadilan agama diajukan ke pengadilan tinggi agama, tidak boleh diajukan ke pengadilan tinggi.7

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006).

2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik

7


(50)

menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide : Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).

5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan) (vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).

6. Fungsi Lainnya :

a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).


(51)

b. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.8

8

Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 24 November 2013 pkl.16.15wib


(52)

43

PADA PERKARA HADHANAH

A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (Dwangsom)

1. Dasar Hukum Dwangsom Sebagai Salah Satu Instrumen Pelaksanaan Putusan Hakim

Ketentuan mengenai lembaga dwangsom ini diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) atau yang lebih dikenal dengan singkatan Rv. Keberadaan lembaga dwangsom itu sendiri diatur dalam Bab V Bagian 3 Rv yakni dalam Pasal 606a dan 606b. Rumusan pasal tersebut (yang aslinya berbahasa Belanda) menurut Harifin Tumpa sama bunyinya dengan ketentuan Pasal 611a dan 611b Rv lama Belanda.1 Namun sebelum membahas lebih jauh rumusan kedua pasal tersebut ada baiknya dibicarakan terlebih dahulu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut ternyata masih diberlakukan dan diterapkan dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum. Bukankah Rv itu sendiri seperti dinyatakan Supomo sudah tidak berlaku lagi di Indonesia dengan dihapuskannya Raad Van Justitie dan

Hooggerechtshof, sejak itu yang berlaku sebagai hukum acara perdata di

1

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia,( Jakarta:Prenada Media Group, 2010). h.52.


(53)

Indonesia hanya HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) saja.2

Sementara Mertokusumo menyatakan bahwa Rv itu sudah tidak berlaku lagi di Indonesia sejak adanya Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 karena Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan berlakunya HIR dan RBg, dalam hal ini hukum acara perdata yang dinyatakan resmi berlaku hanya HIR untuk daerah Jawa dan Madura dan R.Bg untuk daerah lainnya di Indonesia3.

Hal ini dipertegas pula dengan ketentuan dalam SEMA Nomor: 19/1964 dan SEMA Nomor 3/1965 yang menegaskan tentang berlakukannya HIR dan RBg. Sedangkan Pasal 393 ayat (1) HIR4 jo. Pasal 721 R.Bg dengan tegas melarang segala bentuk hukum acara selain yang diatur dalam HIR dan RBg tersebut. Atas dasar ketentuan pasal dalam HIR dan R.Bg tersebut maka seharusnya semua ketentuan yang terdapat dalam Rv itu dan termasuk aturan mengenai lembaga dwangsom tersebut sama sekali sudah tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan lagi. Dengan demikian mengenai lembaga dwangsom ini sebenarnya dapat dikatakan telah terjadi kekosongan (kevakuman) hukum. Lalu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut ternyata hingga saat ini masih diterapkan dan diberlakukan

2

Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri., (Jakarta: Fasco 1958), h. 11. 3


(54)

sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya terlebih dahulu dikemukakan beberapa pendapat pakar hukum dan juga yurisprudensi Mahkamah Agung berkaitan dengan hal ini.

Menurut beberapa pakar hukum antara lain Mertokusumo bahwa meskipun HIR dan R.Bg tidak mengatur mengenai lembaga dwangsom, tetapi karena dwangsom ini penting bagi penggugat untuk memaksa tergugat melaksanakan putusan maka tuntutan itu patut dikabulkan sepanjang diminta oleh penggugat.4 Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sutanto dan Oeripkartawinata bahwa walaupun Pasal 393 ayat (1) HIR jo. Pasal 721 R.Bg melarang segala bentuk hukum acara selain HIR dan R.Bg, tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dalamperkara perdata dapat digunakan peraturan lain seperti Rv.5

Demikian juga menurut Harifin Tumpa (Mantan Ketua Mahkamah Agung) bahwa meskipun Rv sudah tidak berlaku lagi sebagai pedoman hukum acara perdata di Indonesia, namun karena kebutuhan pada keadaan tertentu, di mana peraturan-peraturan yang ada tidak memadai maka praktik peradilan kita masih kadang-kadang harus memakai ketentuan-ketentuan hukum acara dalam Rv sebagai pedoman termasuk dalam hal lembaga

4

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. h.50 5

Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. (Mandar Maju, Bandung, 2002), h 8


(55)

dwangsom ini.6 Pendapat para pakar tersebut dipertegas pula dengan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 7 Mei 1967 Nomor: 38 K/SIP/1967 dalam perkara Frederika Melane Hilverdink von Ginkel berlawanan dengan Leon Johannes, di mana majelis hakim dalam putusan tersebut antara lain mempertimbangkan sebagai berikut: “Lembaga uang paksa, sekalipun tidak secara khusus diatur di dalam HIR haruslah dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR dan berdasarkan penafsiran yang lazim dari pada Pasal 393 HIR dapat diterapkan di pengadilan-pengadilan”.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa diterapkannya lembaga

dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum ternyata memang dapat dibenarkan karena tuntutan kebutuhan dalam praktik dan hal itu dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR maupun R.Bg. Adapun yang menjadi dasar penerapan lembaga dwangsom tersebut selain yurisprudensi Mahkamah Agung juga pendapat para pakar hukum (doktrin) sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

2. Dasar Penerapan Lembaga Dwangsom di Pengadilan Agama

Suatu persoalan yang sering dimunculkan pada beberapa diskusi dalam penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, adalah dapat atau tidaknya lembaga dwangsom diterapkan dalam putusan hadhanah oleh hakim.

6

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia,,( Jakarta:Prenada Media Group, 2010). h.50.


(56)

Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum antara lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom

dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencantumkan

dwangsom itu pihak tergugat akan mematuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan padanya. Hipotesa atas persoalan ini, tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga

dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.7

Dwangsom merupakan upaya optimalisasi kebijakan hakim dalam memutus Perkara, telah dipahami bahwa Peradilan Agama ialah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.8 Pasal ini menjelaskan para hakim di Pengadilan Agama berkewajiban untuk memutus dan menuntaskan setiap perkara yang masuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan tanpa terkecuali dalam bentuk penetapan dan putusan.

7

Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN, 2013), h. 319-320.

8

Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


(57)

Dalam menjalankan fungsi peradilan ini, para hakim Peradilan Agama harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakan hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan, kemanfatan dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapatkan perhatian yang seimbang dan profesional, meskipun dalam praktik sangat sulit mewujudkannya.9

Seperti telah diuraikan di atas bahwa lembaga dwangsom telah diterapkan sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini. Diterapkannya lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum memang dapat dibenarkan dan dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR maupun R.Bg. Hal ini selain didasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung juga sejalan dengan pendapat para pakar hukum berkenaan dengan hal itu. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana halnya dengan di lingkungan peradilan agama. Apakah peradilan agama juga berwenang menerapkan, mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom tersebut sebagaimana peradilan umum, dan kalau peradilan agama berwenang, apa saja dasar penerapannya.

9

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-5 (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230


(1)

Hlm. 10 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks. menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, kemudian dalam Pasal 1 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, bahwa kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna ;

Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, karena sesuai kodratnya seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan mempunyai kelebihan dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, demikian juga sebaliknya bagi anak-anak yang belum dewasa terlebih lagi anak perempuan yang masih balita sangat memerlukan kedekatan psikologis, emosional dan kedekatan fisik dengan ibu kandungnya, hal mana sejalan dengan pendapat pakar Hukum Islam dalam Kitab Al Bajuri juz II hal 195 yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat Pengadilan Tinggi Agama, sebagai berikut :

Artinya : “Apabila seorang laki-laki bercerai dengan isterinya, dan dia mempunyai anak dari perkawinannya dengan isterinya itu, maka isterinya lebih berhak untuk memeliharanya” ;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan, penggugat / terbanding sebagai ibu kandung kedua anak tersebut tidak/belum menikah dengan seorang lelaki lain (belum bersuami) dan pula telah menetap tempat tinggalnya bersama dengan ibu kandung penggugat / terbanding di Jalan Landak Baru No.94 I, RT.006, RW.003, Kelurahan Banta-bantaeng, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, sehingga penggugat / terbanding sebagai ibu kandung kedua anak tersebut telah memenuhi syarat untuk menjadi pengasuh dan pemelihara anaknya, dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama sependapat dengan Hadits Nabi Riwayat


(2)

Hlm. 11 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks. Abu Daud yang diambil alih sebagai pendapat Pengadilan Tinggi Agama, sebagai berikut :

Artinya : “Dari Abdullah bin Amru: Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasul, anakku ini dulu keluar dari perutku, susuku sebagai siraman baginya, dan kuda betina ini baginya sebagai barang milik. Ayahnya sekarang telah menthalak serta ingin meminta anak ini dariku." Rasulullah kemudian bersabda kepada sang wanita, "Kamu lebih berhak atas anakmu selama kamu belum menikah ";

Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama mempertimbangkan pula bahwa ternyata pada diri penggugat / terbanding tidak terbukti adanya ketidak cakapan untuk menerima hak sebagai pemegang hak hadlanah terhadap anaknya tersebut, atau dengan kata lain penggugat / terbanding dipandang layak dan memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pemegang hak hadlanah sebagaimana dimaksud dalam kitab Kifayatul Ahyar juz II halaman 94 sebagai berikut :

Artinya : “Syarat-syarat hadlanah itu ada tujuh, berakal, merdeka, beragama Islam, menjaga kehormatan, amanah (dapat dipercaya) tinggal di tempat yang dipilih dan belum menikah dengan laki-laki lain. Jika tidak terpenuhi salah satu diantara syarat –syarat tersebut maka gugurlah hak si ibu untuk memelihara anaknya”.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, telah nyata dalil-dalil gugatan penggugat / terbanding terbukti dan dalam pemeriksaan perkara ini tidak ternyata terdapat alasan dan atau halangan menurut hukum bagi penggugat / terbanding sebagai pemegang hak hadhanah terhadap kedua orang anaknya yang belum mumayyiz tersebut, dan dengan memperhatikan kepentingan anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sesuai Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka gugatan penggugat / terbanding tersebut patut dikabulkan, oleh karenanya pertimbangan Pengadilan


(3)

Hlm. 12 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks. Agama dalam putusannya dan amar putusan dalam pokok perkara dapat dipertahankan ;

Menimbang, bahwa penetapan hak hadhanah (pemeliharaan anak) terhadap dua orang anak tersebut kepada penggugat / terbanding, tidak mengurangi hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan tergugat / pembanding selaku orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, demikian juga tidak menghapus kewajiban Tergugat selaku ayah dalam menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan kedua orang anaknya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa oleh karena kedua anak penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding tersebut berada dalam penguasaan tergugat / pembanding, dan agar jaminan penyelesaian perkara a quo dapat dijalankan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, maka Pengadilan Tinggi Agama secara ex officio dalam putusan perkara a quo perlu mencamtumkan diktum amar menghukum tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua anak tersebut kepadapenggugat / terbanding, meski pun tidak diminta dalam petitum primair, akan tetapi sesuai dengan petitum subsidair yang meminta putusan seadil-adilnya, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 499 K/Sip/1970 tanggal 4 Februari 1970 yang menyatakan “bahwa pengadilan boleh memberi putusan yang melebihi apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya”, dalam hal ini Pasal 189 ayat (3) Rbg. tidak berlaku secara mutlak, sebab Hakim dalam menjalankan tugas harus bertindak aktif dan selalu berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara ;

Menimbang, bahwa sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 791 K/Sip/1972, tanggal 26 Februari 1973 dan No. 307 K/Sip/1976, tanggal 7 Desember 1976 yang mengandung abstrak hukum, bahwa “uang paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang dan harus ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil bila keputusan yang bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti “, maka Pengadilan Tinggi Agama berpendapat bahwa mengenai tuntutan penggugat / terbanding agar menghukum tergugat / pembanding membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap hari apabila tergugat / pembanding lalai melaksanakan isi putusan, adalah hal yang dapat dibenarkan dan beralasan


(4)

Hlm. 13 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks. mengingat eksekusi anak berbeda dengan eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang yang di lapangan kadang mendapatkan kendala, sehingga diperlukan cara khusus untuk memudahkan pelaksanaan eksekusi, diantaranya melalui uang paksa (dwangsom), oleh karena itu tuntutan penggugat / terbanding a quo dapat dikabulkan ;

Menimbang, bahwa segala hal yang telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam pertimbangannya dan tidak dipertimbangkan lagi oleh Pengadilan Tinggi Agama atau tidak bertentangan dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama, oleh Pengadilan Tinggi Agama dapat disetujui dan diambil alih sebagai pertimbangan sendiri;

Menimbang, bahwa dengan tambahan dan perbaikan pertimbangan tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks. tanggal 28 November 2012 M., bertepatan tanggal 14 Muharam 1434 H., dapat dikuatkan dengan perbaikan dan penambahan amar putusan yang bunyi lengkapnya akan dituangkan dalam diktum putusan ini;

Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara ini dalam tingkat pertama dibebankan kepada Penggugat, dan dalam tingkat banding dibebankan kepada Pembanding;

Mengingat segala ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku dan hukum syara, yang berkaitan dengan perkara ini ;

M E N G A D I L I

- Menyatakan permohonan banding pembanding dapat diterima; DALAM EKSEPSI

- Menyatakan tuntutan provisi dari penggugat / terbanding tidak dapat diterima ; DALAM PROVISI

- Menolak eksepsi tergugat / pembanding ; DALAM POKOK PERKARA

- Menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor


(5)

Hlm. 14 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks. 14 Muharam 1434 H., yang dimohonkan banding, dengan perbaikan dan penambahan amar sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan penggugat / terbanding ;

2. Menetapkan anak yang bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5 tahun 7 bulan dan Hilwa Nuratifah binti Wawan, umur 4 tahun 6 bulan, berada di bawah hadhanah penggugat / terbanding, Sri Derajat Tenriola binti A. Abd. Kadir sampai dengan anak tersebut berumur 12 tahun (mumayyiz); 3. Menghukum tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua orang anak

tersebut pada petitum angka 2 di atas kepada penggugat / terbanding ; 4. Menghukum tergugat / pembanding untuk membayar uang paksa

(dwangsom) kepada penggugat / terbanding, sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap hari apabila ia lalai melaksanakan isi putusan tersebut terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap ;

5. Menghukum penggugat / terbanding untuk membayar biaya perkara di tingkat pertama sebesar Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu rupiah) ; 6. Menghukum tergugat / pembanding untuk membayar biaya perkara di

tingkat banding sebesar Rp. 150.000.- (seratus lima puluh ribu rupiah). Demikian diputuskan dalam sidang musyawarah majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar pada hari Senin tanggal 4 Februari 2013 M., bertepatan tanggal 23 Rabiulawal 1434 H. yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Drs. H. Wakhidun A.R., S.H., M.H., dan Drs. Masrur, S.H., M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, dibantu oleh Drs. H. Zainudin Zain, S.H., Panitera Pengganti, tanpa dihadiri oleh para pihak yang berperkara;

Hakim Anggota, Ketua Majelis

ttd ttd

Drs. H. Wakhidun A.R., S.H., M.H Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H. ttd

Drs. Masrur, S.H., M.H. Panitera Pengganti, ttd


(6)

Hlm. 15 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks. Perincian biaya :

1. Materai : Rp. 6.000,00

2. Redaksi : Rp. 5.000,00

3. Proses penyelesaian perkara : Rp.139.000,00

Jumlah : Rp.150.000,00

Untuk Salinan,

Panitera Pengadilan Tinggi Agama Makassar