126
menyelidiki dan menentukan bagaimana asumsi- asumsi implisit budaya, frame
referensi, perspektif, dan bias dalam disiplin yang mempengaruhi cara dimana
pengetahuan dibangun di dalamnya.
3. Prejudice Reduction Pengurangan Prasangka
Aspek ini penting dalam menciptakan “perilaku etnik dan rasial yang positif”. Pada dasarnya, dimensi ini
adalah aspek pendidikan dimana guru membantu untuk mengurangi jumlah prasangka yang ada dalam
siswa.
4. Equity Pedagogy Ekuitas Pedagogy
Ekuitas Pedagogi ada bilamana guru mengubah ajaran mereka dengan cara memfasilitasi prestasi akademik
siswa dari berbagai ras, budaya, dan kelompok- kelompok kelas sosial. Ini termasuk menggunakan
gaya mengajar berbeda untuk memenuhi kebutuhan yang beragam dari siswa
5. An Empowering School Culture and Social Structure Memberdayakan Budaya Sekolah dan Struktur
Sosial
6. Memberdayakan Budaya Sekolah dan Struktur Sosial
dapat dilakukan dengan menggunakan keempat dimensi
lainnya untuk
membuat lingkungan
pendidikan yang aman dan sehat untuk semua. Adapun
Howard 1993
berpendapat bahwa
pendidikan multukultural
memberi kompetensi
multikultural. Siswa pada awal kehidupan akan hidup dan mengacu pada daerah, budaya, dan etnis masing-masing
dari mereka. Kesalahan dalam mentransformasi nilai,
127
aspirasi, etiket dari budaya tertentu, sering berdampak pada primordialisme kesukuan, agama, dan golongan
yang berlebihan. Faktor ini menjadi penyebab timbulnya permusuhan antar etnis dan golongan.
Menurut Baker dalam bukunya “Planning dan Organizing for Multicultural Instruction”
menjelaskan bahwa pendidikan multikultural mendidik anak untuk
melihat, mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, sebagai contoh adalah sistem, bahasa,
gaya hidup, dan lain sebagainya. Pendidikan multikultural menyangkup 3 aspek, yaitu: 1 Ide dan kesadaran
akan pentingnya nilai keragaman budaya, 2 Gerakan pembaharuan pendidikan dan 3 Proses.
Dengan adanya pendidikan multikutur sejak dini anak-anak diharapkan untuk mengerti dan menerima
keberagaman dari
masing-masing budaya,
etnis, suku, agama, termasuk pada usage cara individu
bertingkah laku; folkways kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat, mores tata kelakuan di masyarakat,
dan customs adat istiadat suatu komunitas. Dengan adanya pendidikan multikultur sejak dini, maka akan
menumbuhkan rasa toleransi, empati, simpati serta mampu dan mengerti untuk menerima keberagaman
perbedaan tanpa memandang golongan, status, gender, dan kemampuan akademik Farida Hanum, 2005.
Sobat Anak - Percik
Percik, merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial, demokrasi dan
keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tahun 1996 1 Pebruari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di
128
Salatiga yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat
LSM yang bergerak di bidang bantuan hukum serta pengorganisasian masyarakat. Para pendiri ini merupakan
sebagian dari staf akademik sebuah universitas di Salatiga yang terpaksa keluar dari universitas tersebut karena
menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan universitas yang dinilai tidak demokratis,
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta otonomi
kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk mewujudkan idealisme mereka mengenai
masyarakat yang demokrastis dan berkeadilan sosial.
Dalam hubungannnya dengan multikultural, Percik mencoba menawarkan satu alternatif melalui penerapan
strategi dan konsep berkaitan dengan pendidikan multikultural. Yang terpenting dalam pendidikan
multikultural menurut adalah seorang guru atau pendidik tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara
profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu
menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau
menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari
sekolah tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-
nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Dalam konteks Percik, usaha untuk mengurangi pilarisasi agama dan kecurigaan antara agama yang
129
muncul karena pilarisasi tersebut sudah di lakukan sejak berdirinya lembaga Percik melalui berbagai kegiatan
penelitian dan advokasi. Persoalan pendidikan anak menjadi hal yang di perhatikan Percik. Oleh sebab itu Percik
mencoba menggagas persoalan ini dengan membuat suatu forum lintas kultural anak yang dinamakan “Sobat Anak”
dimana forum ini bertujuan untuk memberi ruang bagi anak untuk belajar bersama tentang pluralisme melalui
bermain dan mengenal tradisi dari agama-agama yang ada.
Forum ini menggelar kegiatan pertamanya pada november 2007 dengan nama “Ketupat Persahabatan”. Di
dalam acara ini anak-anak dari berbagai suku dan agama dikumpulkan menjadi satu untuk berbaur. Kebanyakan
dari mereka adalah berumur 6 -12 tahun atau dalam usia sekolah dasar. Awalnya mereka masih malu, dan hanya
mau bermain dengan orang tua mereka, akan tetapi lama- kelamaan mereka akhirnya mau bermain dengan sesama.
Anak-anak yang muslim banyak yang menggunakan kopiah atau peci, sedangkan yang perempuan banyak
yang memakai kerudung, anak-anak lain yang melihat atribut atau dalam berpakaian menimbulkan berbagai
pertanyaan, seperti “Kenapa memakai kopiah atau kerudung, sedangkan aku tidak?”. Pertanyaan-pertanyaan
semcam itu banyak sekali ditanyakan oleh anak-anak yang bukan beragama muslim. Setelah bermain anak-anak lalu
dikumpulkan untuk diberi pengertian mengenai kopiah atau kerudung hingga makna berpuasa bagi anak muslim.
Ada keunikan di dalam kegiatan ini, yaitu dilakukan simulasi mengenai silaturahmi dengan sasaran mengenal
tradisi perayaan hari raya Idul Fitri termasuk simulasi Salat
130
Ied. Dalam simulasi ini anak-anak yang tidak merayakan idul itri atau beragama selain Islam, akan mendatangi
anak-anak yang beragama Islam untuk bersilaturahmi, bersalaman dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah
dibuat. Setelah bersilaturahmi, anak-anak yang beragama Islam akan melakukan Sholat Ied disaksikan oleh anak-
anak lain yang beragama selain Islam. Harapannya bahwa anak-anak yang beragama selain Islam akan menanamkan
budaya silaturahmi dan meminta maaf kepada teman- teman yang beragama Islam atas kesalahan yang pernah
ia perbuat. Sedangkan untuk Sholat Ied, anak-anak akan mengetahui bagaimana peribadatan dalam perspektif
Islam, termasuk makna dari Sholat Ied itu sendiri.
Gambar:
6
Kegiatan Sobat Anak- Percik
Contoh lain adalah kegiatan pada bulan Februari 2010 dimana anak-anak diajak untuk mengikuti studi
banding di KPPT Salatiga. Anak-anak diperkenalkan dengan alam lebih dekat agar mereka mencintai dan
bersahabat dengan alam lingkungannya. Pada kegiatan ini banyak sekali diajarkan mengenai local wisdom, atau
6
Sumber gambar dari Percik, Pustaka Percik
131
kebudayaan lokal terkait dengan alam. Apa yang anak- anak bisa pelajari terutama di dalma menjaga alam supaya
ke depannya alam tersebut tidak punah dan bersahabat dengan manusia. Hal-hal kecil seperti membuang sampah
di tempat sampah, tidak membuang sampah di sungai dan mengambil sampah yang berserakan dan memasukkannya
ke tempat sampah merupakan sesuatu hal yang sederhana tetapi manfaatnya sangat besar di kemudian hari.
Yang tak kalah seru adalah kegiatan pada bulan Juli 2012 bertempat di Percik, anak-anak baik yang beragama
Kristen, Katholik, Budha, Islam maupun Hindu mereka diajak untuk mengikuti “Wisuda Bumi”, dimana kegiatan
tersebut diisi dengan peribadatan umat Hindu. Anak-anak diminta untuk melihat bagaimana umat Hindu beribadat,
apa saja yang dilakukan serta diperkenalkan mengenai tata cara peribadatan, salam apa yang digunakan beserta
dengan artinya menggunakan bahasa yang sederhana.
Gambar:
7
Kegiatan “Wisuda Bumi” yang diikuti oleh Sobat Anak
7
Sumber gambar dari Percik, Pustaka Percik
132
Sekolah komunitas “Qaryah Thayyibah”
Paradigma masyarakat kita bahwa untuk mencari ilmu haruslah bersekolah. Banyak sekali sekolah-sekolah
yang dibangun baik di pusat maupun di daerah. Ragamnya juga berbagai macam, ada yang kejuruan, international
school,
negeri, swasta atau banyak juga sekolah yang menggunakan orang asing native sebagai pengajar atau
guru. Masalahnya, sekolah saat ini tidak hanya menuntut tekad bulat untuk menuntut ilmu, namun juga harus
diiringi kesediaan dan kemampuan inansial orang tua dalam menyekolahkan anaknya. Sebagai contoh apabila
orang tua ingin menyekolahkan anaknya di Sekolah Dasar, bisa saja gratis, akan tetapi tetap ada biaya yang harus
dikeluarkan oleh orag tua, biaya seperti seragam, buku, iuran-iuran, belum lagi jika ada perjalanan studi banding.
Itupun belum sekolah favorit atau sekolah yang bertaraf internasional dengan pengajarnya adalah orang asing.
Bagaimana jika ada seorang anak yang pintar dengan IQ tergolong jenius tetapi tidak mampu? Apakah sekolah
yang notabene adalah tempat untuk mencari ilmu hanya diperuntukkan bagi orang mampu?
Berkaca dari permasalahan diatas serta keresahan yang ada, Bahruddin, inisiator sekaligus penggerak model
pendidikan alternatif di Salatiga mengajukan ide untuk membangun Learning Based Community pendidikan
berbasis komunitas di desa Kalibening, kecamatan Tingkir, Salatiga. ‹Sekolah› setingkat SMP ini diberi nama
Qaryah Thayyibah QT yang berarti Desa milik Allah yang dilimpahi keberkahan. Kini QT sudah memiliki 150 siswa
setingkat SMP dan SMA. Qoriyah Toyibah merupakan sebuah kelompok belajar yang berada di lingkungan
133
paguyuban tani. Bahruddin merupakan lulusan PGA Pendidikan
Guru Agama yang setara SMA. Telah lulus dari universitas STAIN namun tidak mengambil ijasahnya hingga saat ini.
Bahruddin merupakan seorang aktivis yang kemudian membentuk kelompok tani di desanya sendiri yaitu desa
Kalibening.
Salah satu latar belakang didirikannya QT adalah keprihatinan dari masyarakat sekitar terutama dari
Bahruddin tentang pendidikan. Pada awalnya, QT berdiri secara tidak sengaja ketika Bahruddin hendak memasukkan
anaknya ke SMP. Warga di sekitar desa Kalibening dikumpulkan oleh Bahruddin kemudia bermusyawarah
bersama bagaimana dengan kelanjutan sekolah dari masing-masing anak dari tiap-tiap keluarga. Ada beberapa
warga yang mengaku keberatan dengan biaya pendidikan di SMP yang mahal. Kemudian Bahruddin berinisiatif
untuk mendirikan sekolah sendiri. Asalkan ada 10 orang yang mau mengikuti, Bahruddin akan mendirikan sekolah
sendiri. Awalnya banyak warga yang mencemooh ide tersebut. Namun, setelah bermusyawarah, ternyata ada
12 anak yang mau menyetujui untuk membuat sekolah sendiri. QT pun berdiri awalnya dengan 12 orang murid.
Tempat belajarnya pun berada didalam rumah Bahruddin sendiri.
Pada tahun 2003, QT sudah memiliki unlimited internet sumbangan dari seorang pengusaha warnet “indo.
net” salatiga. Bahruddin berasumsi bahwa setiap anak harus punya komputer. Oleh sebab itu, setiap anak setiap
harinya di wajibkan membawa uang Rp 3000 ,00. Uang itu diakumulasikan dengan rincian Rp 1000,00 digunakan
134
untuk menabung beli komputer, Rp 1.000,00 digunakan untuk membeli kebutuhan seperti kamus,gitar,dll dan
Rp 1.000,00 digunaka untuk membeli makanan dan susu setiap harinya. Setelah berjalan setengah tahun, Bahruddin
berhasil membeli komputer untuk muridnya.
Qoriyah Toyibah merupakan komunitas atau kelompok belajar bukan sekolah formal. QT ini didirikan
untuk memacu agar anak didiknya kreatif. QT ini merupakan suatu bentuk pendidikan alternatif. Buktinya,
para siswa yang masih berusia belasan tahun mampu membuat rancangan dan design properti layaknya
arsitek dan designer interior. Di QT, semua proses belajar mengajar ditentukan oleh siswa sendiri. Setiap senin
diadak upacara. Namun upacara disini bukanlah upacara dilapangan melainkan suatu bentuk diskusi untuk
menentukan apa yang akan dipelajari seminggu kedepan. Setiap senin pagi juga para siswa mengadakan kerja bakti
membuat pematang sawah di persawahan warga sekitar. Disetiap akhir semester, akan diadakan test semester yang
akan menguji sejauh mana siswa dapat mengembangkan imajinasinya dalam bentuk produk. Hingga kini, QT yang
sudah berusia 9 tahun memiliki 45 siswa. QT memiliki banyak penghargaan dari beberapa bidang. Salah
satu contohnya adalah Bahruddin yang memperoleh penghargaan “Pejuang Pendidikan”.
Hingga kini, setiap bulannya QT memiliki newsletter
8
yang dibuat oleh siswanya sendiri. Pembiayaan untuk pembuatan itu pun dimusyawarahkan bersama dan
akhirnya memperoleh keputusan bahwa setiap bulannya
8
Buletin
135
setiap anak diharuskan membayar Rp6.000,00 untuk mengganti ongkos cetak. Selain itu, sudah banyak karya-
karya dari para siswa di QT ini selain newsletter dan novel, ada juga lukisan dan komik serta video clip yang mereka
buat sendiri mulai dari perekaman, editing hingga tahap akhirnya.
Selain karena keprihatinan terhadap pendidikan, latar belakang dari Bahruddin dalam mendirikan QT adalah
karena masalah yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini yaitu ketika seorang anak masuk dalam pendidikan
paling rendah yaitu tingkat SD, mereka malahan tidak pernah mempelajari masalah-masalah sosial yang terjadi
di daerhanya sendiri melainkan belajar tentang kerajaan- kerajaan Singasari, Majapahit,dll. Yang Bahruddin
inginkan adalah mengajak siswanya untuk berikir keluar dari “kotak” hal-hal atau pelajaran pelajaran formal
dan mengajak agar siswanya berikir secara lokal tentang masalah-masalah yang terjadi di daerah sekitar mereka.
Konsep dari QT hampir mirip dengan homeschooling, akan tetapi ada beberapa hal yang beda, yaitu jika
homeschooling menerapkan kurikulum serta mata pelajaran
yang harus dipelajari siswa, di QT tidak ada acuan mata pelajaran. Jadi siswa secara bebas memilih mata pelajaran
atau pengetahuan yang ia inginkan dan ia butuhkan. Homeschoolin
g sendiri secara sederhana sering diartikan pendidikan atau sekolah di rumah, kritik yang ada
mengenai homeschooling adalah interaksi siswa dengan orang lain menjadi terbatas, karena mereka jarang bertemu
antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan di QT, lingkungan sekitar dan masyarakatnya adalah ‹sekolah›
bagi siswa QT. Jadi model pendidikan alternatif dijamin
136
tidak akan mengisolasi siswa dari lingkungannya. Justru mendorong siswa untuk terlibat aktif di lingkungannya.
Kedua hal diatas digagas oleh Bahruddin karena sesuatu yang dipaksakan, seperti sekolah-sekolah pada
umunya hasil nya tidak akan baik atau bahkan tidak produktif. Lihat saja bagaimana anak usia sekolah dasar
sudah “dicekoki
9
” pengetahuan yang sangat luas, berbeda dengan pendidikan di luar negeri bahwa pengetahuan
yang diberikan kepada siswa sangatlah fokus. Akibatnya anak-anak bukan menjadi konsumtif akan pengetahuan,
karena terlalu banyak pengetahuan yang diserap, tetapi anak menjadi tidak produktif.
Gambar
10
: Bahruddin pencetus Pendidikan Alternatif QT
9
Diberi tanpa memperhatikan kondisi dari yang bersangkutan
10
Sumber gambar http:www.hidupkatolik.comfotobank imagessajut-ahmad-bahruddin-hidup-katolik.jpg
137
Gambar
11
: Kegiatan-kegiatan di Pendidikan Alternatif QT
Bahruddin memiliki konsep bahwa siswa atau anak haruslah mandiri dalam belajar. Di dalam pendidikan
alternatif seperti QT ini, anak dikondisikan untuk terbiasa belajar secara mandiri. Bayangkan, jika selama 6 tahun
mereka dilatih untuk memilih sendiri apa yang akan mereka pelajari. Juga merumuskan sendiri bersama teman
satu forum materi yang akan dipelajari dan menyiapkan sendiri segala macam perangkat yang dibutuhkan untuk
belajar, maka bisa dipastikan setelah lulus ‹sekolah› dia tidak akan kesulitan untuk terus belajar meski sudah tidak
berada di lingkungan sekolah.
Prinsip dasar QT adalah memberi kebebasan pada siswa untuk belajar apa pun yang mereka sukai. Guru
di QT disebut pendamping hanya memberikan ide atau masukan, apakah nanti akan diterima anak atau tidak,
semua dikembalikan ke siswa.
Apakah dengan model alternatif seperti ini akan
11
Sumber gambar
http:halamandunia06.blogspot. com201302mengenal-lebih-jauh-sekolah-alternatif.html
138
membuat siswa atau anak bisa berprestasi? Pertanyaan tersebut sempat ditanyakan kepada Bahruddin selaku
penggagas dari pendidikan alternatif ini. Menurut Bahruddin, justru dengan konsep ini anak malah lebih giat,
semangat, rajin dan tahu akan kebutuhan yang ia butuhkan, untuk prestasi beliau mengungkapkan siswanya banyak
menorehkan prestasi
12
, diantaranya yaitu Maia Rosyida, yang sudah menulis 20 buku. “Saat ini umurnya 18 tahun,”
ungkap Bahruddin. Saat mulai bersekolah di QT, Maia menyampaikan kalau suka menulis, maka yang dilakukan
para pendamping adalah mendukung dan mendorongnya untuk terus menulis. Hasilnya, benar-benar tak terduga,
karena si anak didukung melakukan sesuatu yang sesuai minatnya, dalam waktu singkat 20 buku berhasil
ditulisnya. Sebagian di jilid, di-copy dan disebarluaskan oleh pihak sekolah, sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit
profesional.
Fina, Izza dan Siti, tiga orang siswa QT berhasil menerima penghargaan Creative Kids Award dari Yayasan
Creatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi. Ketiga anak itu membuat karya tulis berjudul “Haruskah UN Dihapus?”
Karya tulis itu dibuat sebagai tugas akhir sebelum mereka lulus dari QT.
Belum lagi sejumlah karya berupa hasil penelitian, ilm, musik yang dibuat oleh siswa-siswa QT. Semua
karya tersebut ide orisinal dari si anak dengan masukan para pendamping. Semua karya yang mengagumkan
itu bersumber pada sebuah prinsip pendidikan yang membebaskan anak untuk mempelajari apa yang dia
12
Saduran http:manusiaindonesiaraya.blogspot.com201106 sekolah-tanpa-sekolah-pendidikan.html
139
suka, sambil tetap mendampingi dan mendukung sebisa mungkin. Anggapan orang untuk berprestasi anak
haruslah diberikan pengarahan dengan ketat, ikut berbagai macam les atau bimbingan belajar dengan jadwal yang
padat, guru-guru yang berkualitas atau bahkan native
13
nampaknya terpatahkan dengan adanya prestasi yang bisa dihasilkan oleh anak-anak dari pendidikan alternatif QT.
Dengan ketiadan jadwal pelajaran, tanpa guru, gedung sekolah, laboratorium justru mendorong para siswa untuk
lebih kreatif.
Berdasakan dari cerita tentang QT, dapat diketahui bahwa kebudayaan di kelompok tani di desa kalibening
sangatlah kuat. Kebudayaan merupakan satu unit interpretasi, ingatan dan makna yang ada dalam manusia
dan bukan sekedar dalam kata-kata. Kebudayaan meliputi kepercayaan,nilai dan norma. Berdasar dari cerita QT,
masyarakat setempat masih mempercayai bahwa sesuatu yang dibangun bersama akan berhasil dan buktinya
QT masih dapat bertahan hingga sekarang. Unsur kekeluargaan dalam kelompok tani desa Kalibening
pun masih tinggi. Hal itu dapat dibuktikan ketika ada salah satu warga desanya yang tak mampu membiayai
anaknya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah formal, mereka mengadakan musyawarah untuk menyelesaikan
masalah tersebut dan akhirnya bersama-sama mendirikan QT. Dalam setiap senin pagi, para siswa mengadakan
gotong royong membuat pematang sawah. Hal ini juga menunjukkan bahwa kebudayaan di desa Kalibening
masih sangatlah kuat.
13
Guru Native orang asing
140
QT terbentuk karena adaya komunikasi yang baik yang diciptakan antara warga sekitar dan dengan
Bahruddin. bentuk komunikasi yang mereka lakukan adalah dengan cara musyawarah. Melalui musyawarah,
masyarakat terutama masyarakat desa Kalibening dapat mengungkapkan aspirasinya sehingga komunikasi dapat
berjalan dengan efektif dapat terbentuklah keputusan untuk mendirikan QT.
Pendidikan Alternatif Sebagai Pendidikan Multikultural
Penjelassan diatas mengungkapkan bahwa pengertian multikultural terutama dalam dunia pendidikan. Apa
yang sudah dilakukan oleh Percik dengan Sobat Anak, maupun Bahrudin dengan ‘Sekolah” Qaryah Thayyibah
QT merupakan pendidikan multikultural. Meminjam aspek dari Baker
14
1994: 11 dikatakan bahwa paling tidak ada 3 aspek yang terkait dengan pendidikan multikultural,
yaitu
1. Ide dan Kesadaran akan Pentingnya Nilai Keragaman Budaya