Redefenisi Penistaan Agama

Redefenisi “Penistaan Agama” dalam Era Virtual Realitas
Mhd. Halkis1

Abstraksi
Tujuan artikel ini adalah untuk menggambarkan problem hukum pidana
terkait Penistaan Agama yang dibuat dalam era pasca-kemerdekaan diperlakukan
dalam era informatika, dalam hal ini disebut virtual realitas. Melalui analisa
hermeneutika ternyata yang menjadi persoalan bukan hanya masalah locus dan
subjek korban namun juga persepsi kita tentang meletakan perkara dalam kerangka
hukum. Terbukti bahwa Penitaaaan agama terkait dengan persepsi kita dalam
meletakan diri dalam suatu paradigm kritis sehingga menghasilkan cara pandang
yang lepas dari pokok perkara. Karena hukum produk politik, apakah keputusan
hukum akan melihat sikap politik penguasa.

Key Word; Penistaan Agama, virtual reality, subjek dan hukum.

1.

Pengertian
Terminologi “Penistaan Agama” mengemuka akhir-akhir ini sejak


Gubernur DKI non Aktif Basuk Tjahya Purnama alias Ahok mengatakan
““……dalam hati kecil bapak ibuk bisa saja tidak pilih saya,..”dibohongi” pakai

surat Al Maidah 51 dan macam-macam gitu loh….”” Pernyataan ini disampaikan
dalam suatu kegiatan resmi yang dilakukan Pemda DKI tanggal 27 September
2016.

Kalau dilihat dari fenomena ini secara profesioanal dan proporsional

struktural terdapat kekeliruan; Ahok tidak kompeten, karena menafsir ayat dalam
sebuah agama yang bukan keahliannya dan bukan pula agamanya, karena
kompetensi yang menafsir adalah tokoh dalam agama itu sendiri, setidak tidaknya
beragama itu sendiri sesuai dengan metode dan kaidah tafsir yang disepakati
agama itu sendiri, kalau Islam harus ulama tafsir yang telah diakui bersama
persyaratannya. Kemudian Ahok bicara di ruang publik secara resmi, yaitu acara
1

Dokror Ilmu Filsafat Universitas Indonesia, Dosen Filsafat Ilmu dan Logika Universitas Esa Unggul

Pemda itu sendiri.


Akan tetapi dari sisi lain,

Ahok kelihatan tidak sedang

membahas masalah ayat tersebut, apa yang diucapkan tersebut termasuk slip of the
tongue (terkeseleo lidah). Memang dalam kajian psikoanalisis masalah slip of the
tongue termasuk realitas, dalam hal ini Ahok memiliki troumatik dan ketakutan
dengan ayat tersebut. Hal ini dimaklumi karena memiliki sejarah dalam
memperjuangkan diri saat mencalonkan diri Bupati Belitung Timur, sehingga
keadaan tersebut bukan dalam konteks hukum.
Bagaimanapun persoalan yang berlanjut sampai saat ini adalah adalah
dampaknya; pertama, keluar dari konteks. Ahok sesungguhnya menawarkan cara
menafsir Al Qur’an sesuai dengan konteks, namun Ahok tidak menyebutkan Al
Qur’an ini dalam konteks apa ? Apakah dengan demikian Ahok menggiring orang

supaya tidak beragama? Kalau demikian nyatanya tentu fatal bagi Ahok. Kalau
penafsiran ayat ini merujuk pada Ibnu Kasir memang masalah umat Islam yang
harus menolak mengangkat pemimpin bukan dari Islam itu, sebagaimana
Penjelasan Ibnu Katsir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Allah Ta’ala melarang

hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani dan
sekutu-sekutunya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang
mukmin yang melanggar larangan ini, “Barang siapa di antara kamu mengambil

mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
lalim.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3: 417).

Kedua, menyulut emosi umat. Emosi tidak linear dengan rasionalitas. Umat
tidak lagi bicara apa itu benar atau salah, tapi yang salah harus dilawan, sehingga
terjadi gerakan mobilitas ratusan ribu massa tanggal 4/11 dan 2/12. Pada tataran
umum solusi yang dilakukan Ahok adalah minta maaf, adalah langkah yang baik.
Kalau ini tergolong pidana ringan maka perkara selesai. Akan tetapi kalau tetap
didudukan sebagai penista agama bagaimana?
Penistaan berasal dari kata “nista”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) berari; 1. hina, rendah, 2. tidak enak di dengar, 3. Aib, cela, noda.
Kemudian term “agama” diartikan dengan; ajaran, sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta

tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta

lingkungannya. Dengan demikian “Penistaan Agama” secara sederhana dapat

diartikan dengan menghina agama/kepercayaan seseorang, apakah kitab sucinya,
tuhannya atau pemuka agamanya. Kalau diartikan secara radikal penistaan agama
adalah membuka aib yang dimiliki oleh suatu kelompok umat beragama.
Kalau dilihat secara sederhana yang dimaksud Penistaan Agama dalam hal
ini perlu bukti. Untuk kasus Ahok perlu ada dibuktikan Surat Al Maidah 51 dapat
digunakan membodohkan umat dan

ada seseorang yang menggunakan untuk

membodohkan umat. Artinya ada dua subjek, yaitu ayat itu sendiri dan orang yang
menggunakannya. Kalau Ahok dapat membuktikan bahwa ayat tersebut
membodohkan, artinya Al-Qur’an tersebut melemahkan daya nalar umat maka
sesungguhnya Ahok tidak dapat dipersalahkan. Kemudian apa betul ada yang
menggunakan ayat tersebut untuk membodohkan umat ? Kalau Ahok ada bukti
bahwa seseorang untuk membodoh-bodohkan umat, maka Ahok juga tidak bisa
dipersalahkan. Dengan demikian Penistaan Agama secara sederhana akan sulit
dipersoalkan. Karena argumentasi ke-ilmuan akan bekerja untuk melindungi
kemuan sang subjek.

Akan tetapi Penistaan Agama dilihat secara radikal adalah membuka aib,
artinya kalau memang benar agama dapat digunakan untuk membodohkan umat
tapi itu merupakan aib, maka yang dipersoalkan bukan masalah perbuatan orang
yang menggunakan ayat Al Maidah, tapi karena aib bagi kelompok tersebut
sekalipun digunakan untuk membodohkan umat. Dengan demikian artinya Ahok
dilihat sebagai Penista Agama adalah dalam pengertian Radikal. Karena kalau
dilihat unsur yang dikandung dalam pasal ini adalah; kesengajaan, menyerang
kehormatan dan publikasi maka perbuatan sesorang tersebut termasuk dengan
penistaan. bukan masalah fakta terbukti dan tidak.
Kalau demikian maka pasal ini sesungguhnya tidak objektif dan tidak
relevan dengan perkembangan demokrasi. Kebebasan mengeluarkan pendapat
sesungguhnya dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945. Dalam era demokrasi
mengandung unsur kebebasan. Kita memungkinkan untuk bereksperesi terhadap
sesuatu.

Dalam politik bisa jadi termasuk dalam lingkup strategi menyerang

lawan. Kelemahan lawan dalam politik menjadi sasaran yang harus dibuka, kalau
memang itu fakta. Kelemahan tersebut kalau bersifat fakta dan meyakinkan maka
kelemahan tersebut merupakan nilai minus yang dapat mengurangi bobot

keberadaan kelompok lawan.

Jika memang demikian adanya negara dapat

menyelamatkan diri dari cengkraman kelompok yang dapat mengganggu
perkembangan negara itu sendiri. Kalau penghormatan tersebut bernilai positif,
maka penghormatan tersebut menjadi nilai tambah oleh suatu kelompok.

2.

Pengaburan Makna
Kalau ditempatkan Ahok sebagai peserta kontestan Pilkada DKI maka apa

yang dilakukan Ahok adalah strategi politik, membuka kelemahan lawan dan
dengan demikian tidak dapat dikatakan penghinaan, apalagi menista. Untuk itu
mestinya, Ahok diberi kesempatan untuk membuktikan kalau ayat tersebut dapat
digunakan mebodohkan umat.
Penistaan

Agama.


Kalau

Untuk itu perlu mendefenisi ulang tentang

sesorang

dapat

membuktikan

bahwa

Agama

membodohkan umat maka seseorang tersebut tidak termasuk penistaan, tapi
disebut dengan pembuktian. Jika tidak maka agama tidak menjadi konsumsi yang
relevan dengan dinamikan demokrasi dan pengembangan masyarakat. Pada sisi
lain mestinya agama dibuktikan sebaliknya, yaitu Agama sebagai alat untuk
mencerdaskan umat. Jika terbukti agama mencerdaskan umat maka pernyataan

yang mengatakan bahwa agama membodohkan adalah salah, sehingga Ahok dapat
dipersalahkan, membuat penyataan bohong, menghina atau Menista Agama.
Pada sisi lain kehidupan beragama dilindungi negara sebagaimana pasal 29
UUD 1945. Persoalannya dalam konsteks Kasus Ahok mana yang lebih utama, dan
kelihatannya Pasal 28 dan dan 29 tidak bisa dihadapakan pasal ini apple to apple
karena masing-masing pasal lahir dalam konteks dan tujuan yang berbeda. Untuk
itu kalau sebuah aktivitas keagamaan demi penghormatan un sich agama akan
berbeda dengan penggunaan agama dalam politik. Jika demikai kenyataannya
kelompok politik menggunakan simbol agama menjadi ancaman demokrasi, negara
akan jalan ditempat karena membonceng bukan bebannya. Agama idealnya
membimbing dan mencerdaskan tapi digunakan sebaliknya. Pemisahan agama

dengan negara dalam perjalanan banyak negara bukan solusi, tapi agama menjadi
doktrin negara secara membuta juga tidak bermanfaat.
Sekarang kasus sudah berjalan, Ahok menjadi tersangka. Kalau melihat
pasal yang diperutukkan oleh Jaksa Agung kepada Ahok tentang Penistaan Agama
dimaksud adalah melawan pasal 156 dan atau pasal 156 a KUHP. Menurut Pasal
156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat
Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Dilihat dari unsur-unsur yang
terkadung dalam pasal ini sangat subjektif, sehingga perlu kebijakan yang serius,
termasuk phrase “di muka umum”. Kalau pada awalnya di muka umum di sini
hanya masyarakat Pulau Pramuka bergeser ke dunia maya sehingga pertanyaannya
apakah dunia maya relevan dengan pasal tersebut. Tanpakanya Pasal tersebut perlu
di gali tentang asal muasal dan maksud pasal tersebut.
Dalam bahasa Belanda membedakan antara smaad (menista dengan lisan)
dan smaadschrift (menista dengan tertulis). Kalau dilihat akar hukum ini yang
berlaku di Belanda, khususnya Wetboek van Strafrecht tahun 1910 di Suriname
terkait dengan “belediging” (pencemaran nama baik), pada Bab XVI Belediging
dapat diartikan dengan “penghinaan”. Pada Pasal 320 di jelaskan bahwa “Hij die

opzettelijk iemands eer of goede naam aanrandt door telastelegging van een
bepaald feit” (dengan sengaja menyerang kehormatan seseorang dengan fakta
tertentu” dengan tujuan untuk dipublikasikan (met het doel om daaraan

ruchtbaarheid te geven), maka di beri sanksi maksimal enam bulan, dan kalau
tertulis maksimal satu tahun atau denta tidak lebih tiga ratus gulden. Kalau pasal
ini dijadikan akar pasal KUHP 156 tersebut maka, pasal Penistaan Agama
dimaknai secara radikal, artinya tidak dikaitkan dengan bukti tapi aib yang

dipublikasikan, maka Ahok masuk dalam lingkup pasal tersebut.
Kemudian pasal 156 a KUHP: Dipidana dengan pidana penjara selamalumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat

permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut

di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa
pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada pasal ini terkait
dengan penodaan agama, namun akan terdapat kesulitan dengan maksud supaya
tidak menganut agama apapun, karena akan kesulitan menghubungkan
pembicaraan Ahok dengan bukti agar tidak menganut agama. Karena kalau
dikaitkan dengan Al Maidah 51 tersebut tidak memberikan makna bahwa muslim
yang tidak memilih Gubernur yang beragama Islam tidak dapat dikatakan tidak
beragama.

3.

Vitual Reality

Persoalan menyertai masalah ini adalah diupload ke internet oleh Pemda

DKI sehingga tersebar ke seluruh jagat raya. Pada tatan ini terdapat sisi negatif dan
postif. Dampak positif tentu tidak dipersoalkan, tapi dampak negatifnya tidak dapat
dikendalikan.

Pada

saat

diupload

ini

terdapat

pergeseran

audien

dari

perkampungan ke dunia maya. Pada saat di masyarakat perkampungan tidak
memiliki atensi terhadap “Al-Maidah yang dipakai untuk membodohkan umat”,

namun ketika sampai pada audien tertentu pernyataan tersebut menyentuh “harga
diri” sehingga menimbulkan reaksi berbagai. Audien pada awalnya sebagai subjek

yang memilki legal standing untuk menuntut Ahok tidak merasa dihina beralih ke
dunia subjek lain melalui dunia maya, maka perlu diselidiki. Ahok sebagai sang
subjek pada dasarnya hanya dimaksudkan untuk konsumsi warga kampung nelayan
tersebut, tapi bergeser ke ruang publik melalui dunia maya dengan sasaran tidak
lagi sesuai dengan maksud sang subjek, maka keberadaan dunia maya diletakan
pada realitas yang sesungguhnya persoalan berada dalam lingkup virtual realitas.
Kalau dikaitkan dengan pasal 28 ayat 2 UU no 11 Tahun 2008 tentang ITE
yang memungkinkan mengatur kehidupan virtua realitas berlu dicermati, sekalipun
dalam proses hukum tampaknya dalam sistem hukum acara diperuntuk kepada
Ahok sudah tak dimunkinkan lagi digunakan. Pasal ini berbunyi: Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan

rasa

kelompok masyarakat

kebencian
tertentu

atau

permusuhan

berdasarkan

atas

suku,

individu
agama,

dan/atau
ras, dan

antargolongan (SARA), maka yang menjadi masalah adalah perbuatan yang
menyebarkan yang dipersoalkan sehingga yang persoalkan kepada Ahok adalah
perbuatan menyebarkan, bukan penistaannya.
Kalau melihat feneomena perkembangan pasal Penistaan Agama ini terkait
dengan; Penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah. Garis pemisah antara
penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah sulit dibuat. Dalam Wetboek van
Strafrecht diatur dalam Pasal 261-271 tentang Smaad (Penghinaan), belediging
(pencemaran nama baik) dan laster (fitnah). Penghinaan adalah pernyataan negatif
umum tentang seseorang. Pencemaran nama baik adalah pernyataan tertentu yang
mencoba untuk mempengaruhi nama baik seseorang. Pernyataan itu tidak benar,
maka disebut fitnah.
Dalam era Viartual Realitas ini barangkankali dapat melihat pandangan
Luuk Jonker seorang Pengacara/Konsutan Hukum, ahli IT dan Ahli Hak Paten
Belanda menjelaskan; Social media en internet zijn een krachtig middel om (juist
ook) een

negatieve boodschap over te brengen (www.holla.AG0216) (bahwa

Media Sosial dan Internet adalah cara yang ampuh untuk menegatifkan sebuah
pesan). Luuk Jonker mencontohkan artikel 10 van het Europees Verdrag inzake de
Rechten van de Mens (EVRM) yang melindungi HAM bertentangan dengan artikel
8 EVRM untuk menghormati kehormatan sendiri dan reputasi. Menurut Jonker
sangat mudah mengalihkan persolan melalui media masa dan internet, dan itu
sangat tergantung siapa yang bicara kadangkala mengabaikan sedang berpicara
apa, sesuai dengan pepatah “wie geschoren wordt, moet stil zitten” (siapa yang

dicukur harus duduk diam). Untuk itu hakim harus mempertimbangkan bias-bias
yang terjadi dalam interpretasi pasal-pasal tersebut.
Dalam Hukum Islam jika belum diatur dalam Al Qur’an dan Hadis para

Ulama dapat melakukan Ijtihat baik dalam bentuk istihsan, istishab, istidlal atau
yang lainnya namun dengan persyaratan setidaknya-tidaknya kesamaan sebab
antara dalil dan masalah. Kalau melihat dimensi epistemologi yang diharapkan
antara masalah dan teori relevan. Kalau memang konsisten dengan hukum
continental, jika belum ada hukum yang mengaturnya, maka gugatan termasuk

cacat formil, hakim akan mengenyampingkan atau putusan disebut niet
ontvankelijke verklaard atau disebut juga Putusan NO.

4.

Kesimpulan

Terdapat persoalan cara mendudukan pokok perkara dengan objek perkara.
Pada satu sisi peristiwa di luar konteks hukum, namun pada sisi lain penyelenggara
hukum terdesak harus membuktikan secara formil di pengadilan. Persoalaan
pertama adalah kepemilikan agama dan kompetensi mengatasnamakan agama
sebagai hak privat atau hak kolektif. Penistaan Agama bagi sang subjek yang
terbagi atau secara total. Kalau subjek real adalah masyarakat pulau seribu,
sedangkan masyarakat Islam adalah formil ber-KTP “Islam”. Persoaalannya siapa
yang berhak mengklaim atas nama agama dalam lokus dan subjek korban yang
berbeda. Dengan demikian perlu meredefenisi “penistaan agama” di era kita,
karena teknologi informatika saat ini dengan mudah menggeser locus dari relitas
kepada virtual realitas dan dinamika kehidupan demokrasi intersubjek bernegara
yang kabur, dimana konteks subjek-objek bersengketa dalam kebersamaan yang
sulit dipisahkan. Untuk itu Pasal dalam UU ITE dapat merespon tentang adanya
pergeseran lokus dan mempertimbangkan esensi subjek yang bertikai. Dalam hal
pergeseran lokus maka perbuatan tidak hanya dibebankan kepada yang melakukan
perbuatan membuat, tapi juga dibebankan juga dengan orang yang menebarkan
dalam konteks yang berbeda dimaksud. UU ITE diharapkan dapat merespon arena
kehidupan subjek dalam mempengaruhi penilaian dan posisi hukum mana yang
dipertuntukan padanya.