lawan. Kelemahan lawan dalam politik menjadi sasaran yang harus dibuka, kalau memang itu fakta. Kelemahan tersebut kalau bersifat fakta dan meyakinkan maka
kelemahan tersebut merupakan nilai minus yang dapat mengurangi bobot keberadaan kelompok lawan.
Jika memang demikian adanya negara dapat menyelamatkan diri dari cengkraman kelompok yang dapat mengganggu
perkembangan negara itu sendiri. Kalau penghormatan tersebut bernilai positif, maka penghormatan tersebut menjadi nilai tambah oleh suatu kelompok.
2. Pengaburan Makna
Kalau ditempatkan Ahok sebagai peserta kontestan Pilkada DKI maka apa yang dilakukan Ahok adalah strategi politik, membuka kelemahan lawan dan
dengan demikian tidak dapat dikatakan penghinaan, apalagi menista. Untuk itu mestinya, Ahok diberi kesempatan untuk membuktikan kalau ayat tersebut dapat
digunakan mebodohkan umat. Untuk itu perlu mendefenisi ulang tentang
Penistaan Agama. Kalau sesorang dapat membuktikan bahwa Agama membodohkan umat maka seseorang tersebut tidak termasuk penistaan, tapi
disebut dengan pembuktian. Jika tidak maka agama tidak menjadi konsumsi yang relevan dengan dinamikan demokrasi dan pengembangan masyarakat. Pada sisi
lain mestinya agama dibuktikan sebaliknya, yaitu Agama sebagai alat untuk mencerdaskan umat. Jika terbukti agama mencerdaskan umat maka pernyataan
yang mengatakan bahwa agama membodohkan adalah salah, sehingga Ahok dapat dipersalahkan, membuat penyataan bohong, menghina atau Menista Agama.
Pada sisi lain kehidupan beragama dilindungi negara sebagaimana pasal 29 UUD 1945. Persoalannya dalam konsteks Kasus Ahok mana yang lebih utama, dan
kelihatannya Pasal 28 dan dan 29 tidak bisa dihadapakan pasal ini apple to apple karena masing-masing pasal lahir dalam konteks dan tujuan yang berbeda. Untuk
itu kalau sebuah aktivitas keagamaan demi penghormatan un sich agama akan berbeda dengan penggunaan agama dalam politik.
Jika demikai kenyataannya kelompok politik menggunakan simbol agama menjadi ancaman demokrasi, negara
akan jalan ditempat karena membonceng bukan bebannya. Agama idealnya membimbing dan mencerdaskan tapi digunakan sebaliknya. Pemisahan agama
dengan negara dalam perjalanan banyak negara bukan solusi, tapi agama menjadi doktrin negara secara membuta juga tidak bermanfaat.
Sekarang kasus sudah berjalan, Ahok menjadi tersangka. Kalau melihat pasal yang diperutukkan oleh Jaksa Agung kepada Ahok tentang Penistaan Agama
dimaksud adalah melawan pasal 156 dan atau pasal 156 a KUHP. Menurut Pasal
156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat
Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Dilihat dari unsur-unsur yang
terkadung dalam pasal ini sangat subjektif, sehingga perlu kebijakan yang serius, termasuk phrase
“di muka umum”. Kalau pada awalnya di muka umum di sini
hanya masyarakat Pulau Pramuka bergeser ke dunia maya sehingga pertanyaannya apakah dunia maya relevan dengan pasal tersebut. Tanpakanya Pasal tersebut perlu
di gali tentang asal muasal dan maksud pasal tersebut. Dalam bahasa Belanda membedakan antara smaad menista dengan lisan
dan smaadschrift menista dengan tertulis. Kalau dilihat akar hukum ini yang berlaku di Belanda, khususnya Wetboek van Strafrecht tahun 1910 di Suriname
terkait dengan “
belediging
” pencemaran nama baik, pada Bab XVI
Belediging
dapat diartikan dengan “penghinaan”. Pada Pasal 320 di jelaskan bahwa “
Hij die opzettelijk iemands eer of goede naam aanrandt door telastelegging van een
bepaald feit
” dengan sengaja menyerang kehormatan seseorang dengan fakta tertentu” dengan tujuan untuk dipublikasikan
met het doel om daaraan ruchtbaarheid te geven, maka di beri sanksi maksimal enam bulan, dan kalau
tertulis maksimal satu tahun atau denta tidak lebih tiga ratus gulden. Kalau pasal ini dijadikan akar pasal KUHP 156 tersebut maka, pasal Penistaan Agama
dimaknai secara radikal, artinya tidak dikaitkan dengan bukti tapi aib yang dipublikasikan, maka Ahok masuk dalam lingkup pasal tersebut.
Kemudian pasal 156 a KUHP: Dipidana dengan pidana penjara selama-
lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut
di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada pasal ini terkait
dengan penodaan agama, namun akan terdapat kesulitan dengan maksud supaya tidak menganut agama apapun, karena akan kesulitan menghubungkan
pembicaraan Ahok dengan bukti agar tidak menganut agama. Karena kalau dikaitkan dengan Al Maidah 51 tersebut tidak memberikan makna bahwa muslim
yang tidak memilih Gubernur yang beragama Islam tidak dapat dikatakan tidak beragama.
3. Vitual Reality