1
SPENDING BEHAVIOR PEMERINTAH KABUPATENKOTA SE EKS-KARESIDENAN SEMARANG TAHUN ANGGARAN 2008-2012
M. SHIDQI ADHIATMA 232010109 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
I. LATAR BELAKANG
Pelaksanaan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintah Indonesia telah lama dilakukan. Adanya otonomi menjadi salah satu bentuk perubahan dari adanya reformasi pemerintahan di
Indonesia. Otonomi merupakan bentuk dari hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki pemerintah daerah untuk mengurus terkait pemerintahan dan kepentingan masyarakat secara
otonom sesuai dengan peraturan. Pengertian tersebut dinyatakan dalam UU No. 32 tahun 2004, memperlihatkan keterlibatan pemerintah daerah dalam menjalankan urusan daerah semakin besar
bila dibandingkan dimasa sebelum otonomi. Konsep otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan berpengaruh dalam penyelenggaraan anggaran daerah. Saat ini, anggaran
pemerintah daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD disusun secara mandiri oleh pemerintah daerah sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintah
di wilayah masing-masing. Sistem dalam pemerintahan merupakan upaya mewujudkan pelayanan publik kepada
masyarakat. Pemerintahan daerah merencanakan, menyusun serta melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan dalam rencana keuangan tahunan dalam bentuk APBD. Melalui APBD,
pemerintah dapat menunjukkan alokasi belanja untuk menjalankan program kegiatan dan
2
sumber-sumber pendapatan serta pembiayaan yang muncul bila terjadi surplus atau defisit pada anggaran. Hal tersebut perlu disikapi oleh pemerintah daerah dengan Kebijakan Pembiayaan
Daerah Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2013. Ketika hal tersebut tercapai tentu dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD. Perwujudan pelayanan publik daerah
tertentu memiliki korelasi erat dengan kebijakan belanja daerah, selalu terjadi kendala penganggaran budget constraint, dimana terlalu banyak kebutuhan pemerintahan daerah tetapi
terbatasnya sumber-sumber pendapatan daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program atau kegiatan yang
berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap layanan publik daerah maupun kegiatan lain yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pembelanjaan yang baik dan berkualitas diharapkan
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pembangunan daerah diberbagai sektor.
Spending behavior merupakan perilaku belanja, bagaimana cara pemerintah menjalankan atau memanfaatkan sumber daya yang dimiliki pemerintah tersebut
1
. Spending behavior menggambarkan alokasi pembelanjaan yang dilakukan pemerintah daerah, dimana pengeluaran
yang dilakukan pemerintah dikeluarkan untuk kepentingan dapur pribadi dari pemerintah atau untuk memenuhi kebutuhan politik. Seberapa besar penggunaan belanja APBD untuk
masyarakat atau pelayanan publik. Maka spending behavior pemerintah perlu memperhatikan alokasi penggunaan anggaran belanja.
Deskripsi dan analisis APBD yang di terbitkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan DJPK merupakan salah satu upaya untuk menggambarkan spending behavior
1
http:www.ssb.noenforskningberegningsmodellerkommode-a-model-of-local-government-spending-behavior- in-norway
3
pemerintah daerah dengan memberikan gambaran tentang kondisi keuangan seluruh provinsi di Indonesia dengan berdasarkan data yang berasal dari APBD tahun anggaran dari keseluruhan
provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia. Dalam deskripsi dan analisis tersebut digambarkan secara lebih ringkas dan dilakukan agar lebih mudah ditelaah masyarakat umum. Deskripsi dan
analisis tersebut kurang efektif karena pada dasarnya setiap provinsi menerapkan kebijakan dan prioritas yang berbeda sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing daerah. Analisis
yang dipakai masih terbatas, karena deskripsi tersebut hanya bertujuan untuk memberi gambaran secara ringkas dan ringan bagi pembaca deskripsi tersebut, sehingga deskripsi analisis tersebut
kurang memberi gambaran APBD yang lebih luas. Deskripsi dan analisis yang dibuat oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan hanya dibuat pada setiap tahun anggaran saja dan
kurang menggambarkan secara detail gambaran APBD tahun- tahun selanjutnya. Beberapa penelitian lain terkait dengan spending behavior telah dilakukan sebelumnya,
yaitu mengenai Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan per-kapita. Hasil dari penelitian tersebut adalah Dana Alokasi Umum
berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan Belanja Modal. Hubungan Belanja Modal yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah, dan hubungan antara
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan Pendapatan per- kapita. Data diambil dari pemerintahan Kabupaten atau Kota se Jawa
–Bali. Tetapi penelitian tersebut tidak memberikan secara terperinci alokasi sektor belanja modal, alokasi mana yang
dimaksudkan dapat memberikan kontribusi dalam penelitian tersebut. Data yang diambil hanya pada tahun 2001
–2004, sehingga kurang komparatif Harianto, David, Adi, Hari, 2007.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan dan yang dilakukan oleh Harianto 2007 diatas, data yang dihasilkan masih dalam cakupan wilayah yang
4
masih luas yaitu tingkat provinsi. Cakupan wilayah yang luas membuat hasil penelitian kurang spesifik dan varian yang didapatkan sangat beragam. Dengan kemampuan masing-masing daerah
yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, maka rata-rata data yang dihasilkan kurang maksimal karena dengan kemampuan keuangan daerah yang berbeda-beda membuat analisis
yang digunakan terbatas. Cakupan wilayah yang semakin luas dengan banyaknya daerah administrasi yang diteliti, membuat penelitian yang dilakukan akan semakin sulit untuk
dikomparasikan. Penelitian yang dilakukan kurang bisa menggambarkan situasi yang ada, karena analisis yang dibuat hanya dibuat pada setiap tahun anggaran saja. Jadi kurang bisa
menggambarkan kondisi yang terjadi pada APBD dari tahun ke tahunnya. Menurut alat analisis tipologi klassen gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan
ekonomi masing-masing daerah, diteliti berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per- kapitanya. Kemudian daerah tersebut dibedakan menjadi 4 klasifikasi, yaitu : daerah cepat-maju
dan cepat-tumbuh high growth and high income, daerah maju tapi tertekan high income but low growth, daerah berkembang cepat high growth but low income, serta daerah relatif
tertinggal low growth and low income Aswandi, 2002. Dimana klasifikasi yang digunakan untuk membagi daerah kabupatenkota dalam penelitian ini adalah :
1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh, yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibanding rata-
rata Eks-Karesidenan. 2. Daerah maju tapi tertekan, yaitu daerah yang memiliki pendapatan perkapita lebih
tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding dengan rata-rata Eks-Karesidenan.
5
3. Daerah berkembang adalah yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan perkapita lebih rendah dibanding rata-rata Eks-
Karesidenan. 4. Daerah relatif tertinggal yaitu adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan
dan pendapatan perkapita yang lebih rendah dibanding dengan rata-rata Eks- Karesidenan.
Menurut analisis tipologi klassen, kondisi pemerintah daerah di Eks-Karesidenan Semarang beragam. Kabupaten Semarang masuk pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan pada
tahun 2010. Mengalami peningkatan menjadi daerah cepat maju dan cepat tumbuh di tahun 2011 dan 2012. Kota Semarang sepanjang tahun 2010 sampai 2012 berada pada daerah klasifikasi
cepat maju dan cepat tumbuh. Kabupaten Kendal di tahun 2010 dan 2011 berada pada klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh. Pada tahun 2012 mengalami penurunan klasifikasi menjadi daerah
maju tapi tertekan. Kota Salatiga berada di klasifikasi daerah maju tapi tertekan sepanjang tahun 2010 sampai 2012. Kabupaten Grobogan berada dalam klasifikasi daerah relatif tertinggal
ditahun 2010 dan 2011. Meningkat ditahu 2012 menjadi daerah berkembang pesat di tahun 2012. Kabupaten Demak sepanjang tahun 2010 sampai 2012, berada pada klasifikasi daerah relatif
tertinggal. Penelitian ini menggambarkan kondisi keuangan daerah dalam APBD dengan lingkup
yang lebih sempit yaitu terbatas pada Eks-Karesidenan Semarang pada tahun anggaran 2008 sampai 2012. Wilayah Eks-Karesidenan Semarang menarikdipilih untuk dianalisis karena
keragaman atau variansi pemerintah daerah diwilayah itu dalam tipologi klassen. Eks- Karesidenan Semarang mencakup Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kota Salatiga,
Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Demak. Analisis pada tingkat
6
Karesidenan akan lebih komparabel karena masih dalam satu wilayah provinsi yaitu Jawa Tengah. Kebijakan-kebijakan dan prioritas yang diambil di Eks-Karesidenan Semarang, tidak
jauh berbeda dan potensi antar daerah masih bisa dikatakan pada level yang sama, sehingga dapat diketahui lebih jelas seberapa efektif dan efisien pemerintah daerah dalam mengelola
sumber daya pengeluaran belanja dari tahun ketahun dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Analisis yang dipakai lebih luas karena dalam penelitian ini memasukan analisis yang
belum tercantum dalam Deskripsi dan Analisis APBD yang dibuat oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. Analisis ini menggunakan data Anggaran APBD Eks-Karesidenan
Semarang tahun anggaran 2008-2012, Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran 2008-2012.
Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan analisis tentang keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam menggambarkan kondisi keuangan APBD
baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan se Eks-Karesidenan Semarang. Maka rumusan persoalan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran spending behavior
pemerintah daerah di Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 berdasarkan analisis rasio keuangaan Belanja Daerah?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran spending behavior Pemerintah Daerah Eks-Karesidenan Semarang dalam menggunakan sumber daya untuk
pengeluaran Belanja Daerah. Manfaat yang peneliti harapkan atas penelitian ini adalah dapat menggambarkan
penggunaan anggaran belanja pemerintah daerah di Eks-Karesidenan Semarang. Hasil analisis tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan untuk Pemerintahan yang di jadikan objek penelitian
7
sebagai bahan evaluasi dan dasar pengambilan kebijakan bagi pemerintahan. Menjadi bahan bagi investor yang akan menginvestasikan di Eks-Karesidenan Semarang, seberapa besar yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah atas upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah di berbagai sektor. Spending behavior dapat digunakan pemerintah pusat
untuk menindak lanjuti pengalokasian dana yang sekiranya daerah pemerintahan tertentu sangat amat membutuhkan anggaran yang lebih besar guna meningkatkan pelayanan daerah.
II. TINJAUAN PUSTAKA Belanja Daerah