PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA OBJEK PENELITIAN ANALISIS DATA KETENTUAN UMUM

1.13 Sistematika Penulisan

Sitematika penulisan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang uraian yang disajikan sehingga memudahkan pembaca dalam menanggapi keseluruhan penelitian yang telah penulis laksanakan. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab awal dari keseluruhan yang berisikan antara lain : Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Kerangka Pemikiran, Daftar Penelitian, Metode Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Subjek dan Informan, Teknik Analisis Data, Lokasi Dan Waktu Penelitian, Serta Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang mendukung proses penelitian atau berkaitan dengan objek yang diteliti, yaitu : Tinjauan Tentang Komunikasi, Komunikasi Sebagai Ilmu, Pengertian Komunikasi, Fungsi Komunikasi, Tinjauan Tentang Jurnalistik , Tinjauan Tentang Pers, Tinjauan Tentang Kebebasan Pers, Tinjauan Tentang Wartawan, Pengertian Wartawan, Etika Wartawan, Kode Etik Wartawan, Tinjauan Tentang Media Massa, Peran Media Massa, Fungsi Media Massa, Tinjau Tentang Implementasi

BAB III OBJEK PENELITIAN

Pada bab ini membahas tinjauan umum Tentang Wartawan, Sejarah Wartawan, PWI Cabang Jawa Barat, Sejarah AJI : Dari FOWI ke Aliansi , Aturan dan Perlindungan Bagi Wartawan.

BAB IV ANALISIS DATA

Meliputi: Deskripsi Data Informan, Deskriptif Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian.

BAB V PENUTUP

Meliputi kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian dan saran. 46 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi

2.1.1 Komunikasi Sebagai Ilmu

Komunikasi merupakan satu dari disiplin-disiplin yang paling tua tetapi yang paling baru. Orang Yunani kuno melihat teori dan praktek komunikasi sebagai sesuatu yang kritis. Popularitas komunikasi merupakan suatu berkah a mixed blessing.Teori-teori resistant untuk berubah bahkan dalam berhadapan dengan temuan-temuan yang kontradiktif. Komunikasi merupakan sebuah aktifitas, sebuah ilmu sosial, sebuah seni liberal dan sebuah profesi. 1 Istilah komunikasi dalam bahasa Inggris Communication berasal dari kata latin Communicatio, dan bersumber dari kata Communis yang berarti sama. Sama disini maksud adalah sama makna. Jadi kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi terjadi akan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapan, jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya mengerti makna dari bahan yang dipercakapan. 1 http:www.zimbio.comTranslate_carticlesGLRchr5uAi1Komunikasi+Sebagai+Ilmu+Pengetah uan Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan untuk mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal keterampilan manusia berkomunikasi secara otomatis melalui lambing-lambang isyarat, kemudian disusul dengan kemampuan untuk member arti setiap lambang- lambang itu dalam bentuk bahasa verbal. Kecakapan manusia berkomunikasi secara lisan menurut perkiraan berlangsung sekitar 50 juta tahun, kemudian memasuki generasi kedua dimana manusia mulai memiliki kecakapan berkomunikasi melalui tulisan. Bukti kecakapan itu ditandai dengan dengan ditemukannya tanah liat yang tertulis di Sumeria dan Mesopotamia sekitar 4000 tahun sebelum masehi. Kemudian berlanjut dengan ditemukannya berbagai tulisan dikulit binatang dan batu arca. Lalu secara berturutturut dapat disebutkan pemakaian huruf kuno di Mesir 3000 tahun SM, Alpabet Phunesia 1800 tahun SM, huruf Yunani Kuno 1000 tahun SM, huruf Latin 600 tahun M, pemakaian tinta dan kertas di Persia tahun 676 M dan di Eropa tahun 1200 M. Cangara, 2007 : 5 Oleh sebab itu di Amerika Serikat muncul Communication sciene atau kadang-kadang dinamakan juga commnicology – ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial. Kebutuhan orang-orang Amerika akan sciene of communication tampak sudah sejak tahun 1940-an. pada waktu seorang sarjana bernama Carl I. Hovland menampilkan definisinya mengenai ilmu komunikasi. Hovland mendefinisikan science of communication sebagai: “a systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted and opinions and attitudes are formed”. Effendy, 2009: 4 Department of Communication university of Hawaii dalam penerbitan yang dikeluarkan secara khusus menyatakan komunikasi sebagai ilmu sosial. Dan ditegaskan bahwa bidang studi ilmu sosial mencakup tiga kriteria yaitu bidang studi didasarkan atas teori, analisis kuantitatif atau empiris dan mempunyai tradisi yang diakui. Dalam penerbitannya department of communication university of Hawaii juga memberikan contoh-contoh untuk membuktikan komunikasi sebagai ilmu sosial.

2.1.2 Pengertian Komunikasi

Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi. Inti komunikasi adalah manusia. Ketika manusia ada maka semua lini kehidupan manusia tersebut adalah komunikasi. Dalam konteks inilah manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna karena dapat melahirkan komunikasi. Carl I. Hovland menyatakan dalam buku Etika Hukum Pers, Mahi M. Hikmat bahwa komunikasi adalah proses mengubah prilaku orang lain communication in the process to modify the behavior of other individuals. Sementara itu, menurut Wiliam Albig dalam Pengantar Ilmu Komunikasi Djoenarsih , “communication is the process of transmitting meaningful symbols between individuals.” Dalam arti komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna diantara indovidu-individu. Djoenarsih, 1991 : 16 Harold D. Lasswell mengemukakan dalam Byrnes, 1965 salah seorang peletak dasar ilmu komunikasi lewat ilmu politik menyebut tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab, mengapa manusia perlu berkomunikasi, antara lain : Pertama, adalah hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal- hal yang mengancam alam sekitarnya. Kedua, adalah upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Ketiga, adalah upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peranan. Jadi komunikasi jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ia diperlukan untuk mengatur tatakrama pergaulan antar manusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat, apakah ia seorang dokter, dosen, manajer, pedagang, pramugari, pemuka agama, penyuluh lapangan, pramuniaga dan lain sebagainnya. Pendek kata, sekarang ini keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam mencapai sesuatu yang diinginkan termasuk karir mereka, banyak ditentukan oleh kemampuannya berkomunikasi. Melalui komunikasi seseorang dapat mengajarkan atau memberitahukan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Adapun pendapat para ahli tentang pengertian Komunikasi dalam buku Etika Hukum Pers Mahi M. Hikmat 2011:69-70. Bernard Barelson Garry A. Steiner mengemukakan Komunikasi adalah proses transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, grafis, angka, dan sebagainya Selain Steiner, Everett M. Rogers menyatakan bahwa komunikasi adalah Proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Lalu Gerald R. Miller mengungkapkan bahwa komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Dan Harold Lasswell menjelaskan bahwa “Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh bagaimana. Menurut Hafied Cangara dalam buku Pengantar Ilmu komunikasi berdasarkan pendapat banyak ahli yang mengemukakan tentang pengertian komunikasi dapat memberikan gambaran bahwa komponen-komponen pendukung komunikasi diantaranya adalah: 1. Komunikator komunikator,source,sender 2. Pesan message 3. Media channel 4. Komunikan komunikan,receiver 5. Efek effect Dari beberapa pengertian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran maknapesan dari seseorang kepada orang lain dengan maksud untuk mempengaruhi orang tersebut.

2.1.3 Fungsi Komunikasi

Fungsi-fungsi komunikasi dalam Hafied Cangara ditelusuri dari tipe komunikasi itu sendiri. Komunikasi dibagi empat macam tipe, yakni komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi antar pribadi, komunikasi public dan komunikasi massa. Komunikasi dengan diri sendiri berfungsi untuk mengembangkan kreativitas imajinasi, memahami dan mengendalikan diri, serta meningkatkan kematangan berpikir sebelum mengambil keputusan. Adapun fungsi komunikasi antar pribadi ialah berusaha meningkatkan hubungan insane human relations, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain. Komunikasi public berfungsi untuk menumbuhkan semangat kebersamaan solidaritas, mempengaruhi orang lain, member informasi, mendidik, dan mengibur. Dan komunikasi massa, berfungsi untuk menyebarluaskan informasi, meratakan pendidikan, merangsang pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan kegembiraan dalam hidup seseorang. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat terutama dalam bidang penyiaran dan media pandang dengar audiovisual, menyebabkan fungsi media massa telah mengalami banyak perubahan. Selain itu, Deddy Mulyana dalam bukunya Ilmu komunikasi suatu pengantar 2007 mengutip Kerangka berpikir William I. Gorden mengenai fungsi-fungsi komunikasi yang dibagi menjadi empat bagian. Fungsi-fungsi suatu peristiwa komunikasi communication event tampaknya tidak sama sekali independen, melainkan juga berkaitan dengan fungsi-fungsi lainnya, meskipun terdapat suatu fungsi dominan, diantaranya adalah :

1. Fungsi Komunikasi Sosial

komunikasi itu penting membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, kelangsungan hidup untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan. Pembentukan konsep diri Konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Pernyataan eksistensi diri Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau pernyataan eksistensi diri. Ketika berbicara, kita sebenarnya menyatakan bahwa kita ada.

2. Fungsi Komunikasi Ekspresif

Komunikasi ekspresif dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan emosi kita melalui pesan-pesan non verbal.

3. Fungsi Komunikasi Ritual

Komunikasi ritual sering dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dalam acara tersebut orang mengucapakan kata2 dan menampilkan perilaku yang bersifat simbolik.

4. Fungsi Komunikasi Instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan dan mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur persuasif Suatu peristiwa komunikasi sesungguhnya seringkali mempunyai fungsi-fungsi tumpang tindih, meskipun salah satu fungsinya sangat menonjol dan mendominasi

2.2 Tinjauan Tentang Jurnalistik

Pada masa kini, banyak orang yang memiliki persepsi tentang jurnalistik. Namun, dari sekian banyak persepsi jurnalistik, jika dibentangkan benang merah, secara substansial banyak memiliki kesamaan. Dalam konteks etimologi, jurnalistik berasal dari dua suku kata, jurnal dan istik. Jurnal berasal dari bahasa Prancis, journal, yang berarti catatan harian. Dalam bahasa Latin, juga ada kata yang hamper sama, yakni diurna yang artinya hari ini. Pada zaman Kerajaan Romawi Kuno saat Julius Caesar berkuasa, dikenal istilah acta diurnal yang mengandung makna rangkaian akta gerakan, kegiatan, dan kejadian. Hikmat, 2011 : 137 Kata istik merujuk pada istilah estetika yang berarti ilmu pengetahuan tentang keindahan. Keindahan dimaksud adalah mewujudkan berbagai produk seni dan atau keterampilan dengan menggunakan bahan-bahan yang diperlukan, seperti kayu, batu, kertas, cat atau suara. Hasil seni dan atau keterampilan dimaksud mengandung nilai-nilai yang bisa diminati dan dinikmati manusia. Oleh karena itu, secara etimologis, Jurnalistik dapat diartikan sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa sehari-hari. Karya seni dimaksud memiliki nilai keindahan yang dapat menarik perhatian khalayaknya pembaca, pendengar, pemirsa, sehingga dapat dinikmati dan dimanfaatkan untuk keperluan hidup manusia. Pengertian jurnalistik tersebut kemudian berkembang lebih pada makna sebagai suatu seni dan atau keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi dalam bentuk berita secara indah untuk memenuhi kebutuhan dan bermanfaat bagi pergaulan hidup manusia. Hikmat, 2011 : 138 Secara lebih luas, pengertian atau definisi jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya, sehingga terjadi perubahan sikap, sifat, pendapat, dan perilaku khalayak sesuai dengan kehendak para jurnalisnya. Suhandang, 2004:21. Susanto 1986 : 73 mendefinisikan, jurnalistik adalah kejadian pencatatan dan atau pelaporan, serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari. Onong Uchjana Effendy 2001:102 menyatakan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarluasannya kepada masyarakat. A.W. Widjaja 1986:27 menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun usulannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang actual dan factual dalam waktu secepat-cepatnya. Ensiklopedi Indonesia secara rinci menerangkan bahwa jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada. Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan pelaporan setiap hari. Jadi jurnalistik pers, bukan media massa. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, jurnalistik diarikan sebgaai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya. Kovach dan Resentiel menyatakan bahwa jurnalime hadir untuk membangun kewarganegaraan citizenship. Ia ada untuk memenuhi hak-hak warga Negara, untuk demokrasi. Di antara semua tujuan jurnalisme, tujuan utamanya adalah menyediakan informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri. Tugas berat itu harus dilaksanakan dengan memenuhi Sembilan elemen jurnalisme, yakni : 1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran 2. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga 3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi 4. Para praktisinya harus menjada independensi terhadap sumber berita 5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. 6. Jurnalisme harus menyediakan forum public untuk kritik maupun dukungan warga. 7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik, dan relevan. 8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan professional. 9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Jurnalisme modern Kovach Rosentiel, 2004 : 17 mulai muncul pada awal Abad ke-17 dan betul-betul lahir dari perbincangan, terutama diruang publik seperti kafe di Ingris, kemudian di pub, atau “kedai minuman”, di Amerika. Pemilik bar menjadi tuan rumah dari perbincangan yang seru tentang orang-orang yang bepergian. Mereka sering mencatat apa yang mereka lihat dan dengar dalam buku perjalanan yang disimpan di ujung meja bar. Di Inggris, kafe mengkhususkan diri pada jenis informasi spesifik. Surat kabar pertama kali muncul dari kafe-kafe ini sekitar 1609, ketika percetakan mulai mengumpulkan berita perkapalan, gossip dan argument politik dari kafe dan mencetaknya di atas kertas.

2.3 Tinjauan Tentang Pers

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Hikmat, 2011 : 21 Pengertian pers dirumuskan dalam Undang-Undang Pers yakni Undang- Undang Nomor 40Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan suara gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia”. Pengertian pers dalam arti sempit diketahui mengandung penyiaran- penyiaran pikiran, gagasan ataupun berita-berita dengan jalan kata tertulis, sebaliknya pers dalam arti yang luas memasukkan di dalamnya semua media komunikasi massa yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tulisan maupun dengan kata-kata lisan Kata pers berasal dari bahasa Inggris Pers, yang dipinjam pula oleh Inggris dari kata Pressyang berarti tekanan, jepitan atau pipitan. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Oleh karena pers adalah sebuah lembaga dan menjadi kekuatan ke empat setelah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Tentu harus ada aturan yang mengatur keberlangsungan pers di Indonesia, jika melihat dari fungsi pers yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial ini tentu bukan merupakan tugas mudah bagi para pelaku jurnalistik yang berada dalam pers karena dalam prakteknya tentu akan sangat banyak tantangan untuk mewujudkannya karena berbedanya kepentingan. Hikmat 2011 mengemukakan bahwa, setidaknya terdapat empat undang- undang yang berlaku saat ini yang berkait langsung dengan pengaturan kehidupan pers, yakni, undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang internet dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

2.3.1 Tinjauan Tentang Kebebasan Pers

Kebebasan Pers merupakan suatu Hak Asasi Manusia yang di jamin dalam konstitusi yang terhadapnya tidak dapat dilakukan penyensoran, pemberdelan danatau pelarangan penyiaran. Jaminan akan kebebasan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Kalangan tokoh pers memandang kebebasan pers yang berkembang di Republik Indonesia dalam buku Etika Hukum Pers, karya Mahi M. Hikmat berbeda dengan kebebasan pers yang terdapat di Negara-negara liberal. Bahkan, untuk membedakan dengan Negara-negara liberal, sejak tahun 1999 melalui Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, istilah kebebasan pers diganti menjadi kemerdekaan pers. Kendati dalam konteks makna sama, tetapi pada realitasnya, menurut Ketua Dewan Kehormatan Pers PWI Jawa Barat, Naungan Harahap, terdapat perbedaan. Kebebasan pera hanya menuntut pemenuhan hak dan kewajiban, sedangkan kemerdekaan pers selain menuntut penenuhan hak dan kewajiban juga tanggung jawab terhadap beritatulisan yang dituliskan lewat media massa. Sementara itu, ketua Balai Jurnalistik ICMI Jawa Barat, Asep Samsul Romli menyebutkan bahwa Kebebasan Pers adalah pemberitaan tanpa sensor dari pihak manapun, makanya dalam Undang-Undang Pers disebutkan kemerdekaan pers. Kalau sudah merdeka tidak ada yang mengikat. Sejak jaman Presiden Habibie, kebebasan pers di Indonesia dibuka, sayangnya kalangan pers Indonesia belum siap untuk menikmati kebebasan itu sehingga terjadilah kebablasan. Pers Indonesia belum siap mental dan profesionalisme. Menurut Tokoh Pers, Atmakusumah Astraatmadja, kebebasan pers adalah kebijakan media wartawan dan redaktur untuk bekerja secara professional di bidangnya dalam memberikan karya jurnalsitik kepada umum. Profesionalisme ini diwujudkan dengan menyajikan karya jurnalistik untuk kepantingan publik, bukan berpihak pada salah satu lembaga, ideology, ekonomi, atau politik tertentu. Sebenarnya, di dunia ini tidak ada pers yang benar-benar independen dan keberpihakan merupakan suatu kewajaran sepanjang media yang bersangkutan meyakini keberpihakannya dan mengetahui konsekuensi yang akan dihadapinya. Media yang berpihak pada partai politik, ideology, bisnis, agama pasti akan memiliki keterbatasan karena ruang pembaca hanya pada kelompok atau satu golongan tertentu. Keberadaan media-media khusus yang memilih untuk melayani kelompok tertentu biasanya tidak akan langgeng, misalnya jika melayani kepentingan politik partai tertentu, maka kelangsungannya amat bergantung pada kedudukan partai politik tersebut, demikian pula jika dikaitkan dengan kepentingan bisnis pemodalnya. Ukuran menjaga independensi dan kebebasan pers, dapat dilakukan dengan melaksanakan pekerjaan sesuai standar jurnalistik yaitu mengemukakan akurasi, objektivitas, dan memberikan laporan yang seimbang, termasuk pemakaian bahasa dengan tepat. Menurut Pemimpin Redaksi Freedom House, Karim Karlekar, pada 2009 hampir seluruh Negara di dunia mengalami kemunduran dalam hal kebebasan Pers. Hal ini menurutnya, tahun kedelapan kalinya dunia mengalami kemunduran dalam hal kebebasan pers. Seluruh dunia, hanya 16 dari keseluruhan penduduk yang dapat menikmati kebebasan pers. Laporan Freedom House 2009 menunjukkan bahwa kebebasan pers di sejumlah Negara demokrasi krusial yang baru bangkit menunjukkan kelemahannya, bersamaan dengan semakin diperketatnya kendali media massa tradisional oleh pemerintahan dictator, juga mulai pengendalian terhadap kebebasan internet. Sikap pemerintahan atau parai penguasa terhadap kebebasan pers menjadi factor penentu bagi kebebasan pers, sedangkan di sejumlah Negara yang relative demokratis, kebebasan pers juga tetap beresiko. Pers memang tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan dengan organisasi yang bernama Negara. Oleh karena itu, eksistensi pers banyak dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh falsafah dan system politik Negara tempat pers itu hidup. Peranan pers sangat ditentukan oleh system politik tempat media massa itu berkembang. Konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu Negara.

2.4 Tinjauan Tentang Wartawan

2.4.1. Pengertian Wartawan

Wartawan adalah orang yang bertugas mengatur cara penyampaian isi pernyataan manusia dengan menggunkan surat kabar. Di Indonesia istilah wartawan mulai digunakan sesudah Indonesia merdeka, yang sebelumnya disebut jurnalis Jurnalist dari bahasa Belanda atau journalist dari bahasa Inggris Soehoet, 2003:4 Pengertian wartawan dirumuskan dalam Undang-Undang Pers yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”. Menurut Jakob Oetama, bahwa pengertian wartawan adalah jenis pekerjaan yang tidak saja berhubungan dengan perusahaan tempat dia wartawan bekerja, tetapi juga dan terutama berhubungan dengan suatu publik pembaca. Jurnalistik itu merupakan suatu profesi yang mulia.Para ahli-ahli sosiologi mengemukakan pendapatnya bahwa suatu profesi umumnya dikenali sebagai suatu pekerjaan yang berurusan dengan cara yang sangat etik denganhal-hal yang istimewa penting bagi seorang langganan atau bagi suatu komunitas. Seorang yang profesional adalah mendahulukan kepentingan umum di atas memikirkan kepentingan diri sendiri. Unsur-unsur utama yang mewujudkan suatu profesi, menurut ahli sosiologi ada empat 4 macam atribut profesional yaitu : 1. Otonomi dan dalam hal ini dimaksudkan kebebasan melaksanakan pertimbangan sendiri dan perkembangan suatu organisasi yang dapat mengatur diri sendiri, 2. Komitmen yaitu menitik-beratkan pada pelayanan dan bukan pada keuntungan ekonomi pribadi, 3. Keahlian yaitu menjalankan suatu jasa yang unik dan essensial, titik-berat pada teknik intelektual, periode panjang dari pada latihan khusus supaya memperoleh pengetahuan yang sistematik berdasarkan penelitian, 4. Tanggung jawab yaitu kemampuan memenuhi kewajiban-kewajiban atau bertindak tanpa kewibawaan atau penuntunan dari atasan, penciptaan serta penerapan suatu kode etik. Dalam bahasa Belanda “Jurnalistiek is een Vrij baantje” yang artinya kewartawanan itu suatu pekerjaan profesi yang besar. Dahulu orang masih menganggap bahwa kerja jurnalistik merupakan pekerjaan yang tidak perlu dipelajari. Seperti halnya pada zaman Acta Diurna orang cukup menyuruh para budak berlian untuk mengutip dan mencari berita, dank arena pekerjaan itu, mereka dikenal dengan sebutan diurnarius. Dalam perkembangan sejarahnya, orang yang khusus melakukan pekerjaan itu. Jurnalis dianggap sebagai hati dan jiwa industri jurnalisme. Dodge, 1967 : 84. Sangat boleh jadi demikian karena para jurnalis menciptakan isi produk jurnalistiknya dengan menggunkan perasaannya dan pikirannya sehingga industry tersebut bisa hidup dengan jiwa dan semangat tertentu. Justru karena itu pula jurnnalis masa kini selalu dihadapkan pada berbagai tantangan yang hebat. Tidak terbatas pada mencari dan mengumpulkan fakta dari peristiwa yang terjadi semata, namun pula dalam pengolahannya memerlukan profesionalisme yang memadai, baik dengan teknik-teknik komuniksinya maupun bidang pengetahuan yang terkait dengan peristiwanya. Para jurnalis sekarang harus bisa menjiwai produk jurnalistiknya dengan pengetahuan-pengetahuan yang bisa mengisi fungsi pers di masyarakatnya. Karenanya mereka dituntut untuk untuk memperoleh pendidikan yang khusus di bidang jurnalisme, sehingga ungkapan kuno yang menyebutnya bahwa wartawan “hanya dilahirkan dan tidak perlu dibuat” sudah tidak berlaku lagi. Rupanya atas pandangan demikian pula Dewan Nasional Amerika Serikat pada 1952 mendirikan suatu lembaga untuk tempat latihan para jurnalis. Namun demikian, tidak sampaii 1961 latihan tersebut diwajibkan kepada mereka yang terlibat dalam usaha persuratkabaran. Empat tahun kemudian, sekitar lima ratus remaja tiap tahunnya mengikuti latihan reporter dan fotografer. Pola demikian dikembangkan terus bertahun-tahun mencakup semua latihan dasar yang tradisional, kecuali terhadap mereka yang tamatan pendidikan akademis tidak pernah diberikan latihan dasar. Pada tahun 1996 Dewan tersebut memperluas latihan terhadap para jurnalis senior melalui kursus khusus dalam bidang industry, sain, dan lain sebagainya. Di Indonesia, untuk menjadi jurnalis professional sejak 1960 tersedia jurusan jurnalistik pada Fakultas Publisistik Universitas Negeri Padjajaran UNPAD yang tentunya memberikan semua ilmu pengetahuan yang terkait dengan kerja para jurnalis itu, atau jurusan publisistik pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia UI dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universita Gajah Mada UGM yang memberikan ilmu pengetahuan dimaksud di samping ilmu pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan publisistik. Selain dari itu, kini banyak lagi kursus-kursus maupun latihan-latihan khusus yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia PWI dan lembaga-lembaga pendidikan praktis serta akademis. Suhandang, 2004 : 55 Dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan tugas dan karyanya, para jurnalis tersebut terbagi dalam dua golongan, yaitu reporter dan editor. Reporter adalah jurnalis atau wartawan yang bertugas mencari dan mengumpulkan informasi atau bahan pemberitaan melalui peliputan peristiwa yang terjadi. Sedangkan editor adalah jurnalis yang bertugas mengedit, dalam arti menilai dan mempertimbangkan kellayakan dan kepentingan hasil karya para reporter untuk dijadikan beriita atau komentar, dan menyusunnya kembali menjadi produk jurnalistik yang siap cetak. Suhandang menjelaskan dalam buku pengantar Jurnalistik, Reporter merupakan factor yang terpenting dalam semua kegiatan pebuatan berita. Apakah dia bekerja di daerah ataupun meliput jalannya perkembangan dunia, tugasnya sama. Dia harus mengunjungi suatu peristiwa dan mencari informasi yang dapat dijadikan berita. Kadang-kadang caranya tidak lebih daripada Tanya jawab biasa saja; kadang-kadang berperan seperti intelejen, keras hati dan cerdik dalam penyelidikannya. Dalam kehidupan sehari-harinya ia mirip seorang ppahlawan dalam film roman, atau petugas yang rajin. Keistimewaannya, ia adalah petugas yang ulet, memiliki kecakapan pribadi yang lebih sempurna ketimbang rasa sekadar ingin tahu saja, berkeras hari pada kemauannya namun bukan anak kecil yang abadi. Dia memiliki sifat tidak puas pada seseorang atau pada peristiwa yang terjadi. Rasa penasaran dan perhatiannya yang kuat menyebabkan dia memilih pers sebagai tempat kerjanya yang utama. Baik tua atau muda, ia akan selalu merasa enjoy dalam bertugas memperhatikan jalannya kehidupan manusia, memantau drama politik dari belakang layar, menempatkan dirinya ditengah- tengah kota besar, menyaksikan segala kejadian alam, dan memiliki kartu pers sebagai simpai kehidupannya. Dahulu banyak orang yang kurang cakap namun tutur katanya baik, dan kadang-kadang dalam kehidupannya yang kurang memadai itu, mereka berusaha mencoba untuk menyusun suatu berita. Kini pekerjaan reporter begitu pasti dan banyaksaingan, sehingga tidak hanya cukup memiliki latar belakang pendidikan dan kecerdasan yang tajam. Karenanya belakangan ini Melville E. Stone, mantan Pemimpin Redaksi Associated Press, menyatakan bahwa kecerdasan reporter jauh lebih berharga ketimbang kecerdasan redaktur Bond, 2961 : 129. Semua reporter bekerja langsung dibawah penguasaan redaktur tertentu kriminal, kota, olahraga dan lain sebagainnya. Mereka tergabung dalam jajaran redaksi yang disebut desk. Dalam timnya para reporter dikenal sebagai beat man dan rekannya yang lain disebut leg man. Dalam dunia jurnalistik kedua sebutan itu dibedakan oleh cara pelaporannya. Beat man ditandai dengan tugas rutinnya meliput keadaan kota, pengadilan, markas besar kepolisian, hotel-hotel dan sebagainya. Hari —hari tugasnya dijalani untuk melakukan pencarian bahan berita, dan secara rutin mengadakan pendekatan kepada pejabat terkait. Melalui hubungan-hubungan demikian dia menajadi mahir dalam upayanya memperoleh informasi yang kadang-kadang bersifat rahasia dari relasinya yang ia bina itu. Leg man adalah reporter khusus yang ditugaskan meliput peristiwa- peristiwa tertentu oleh desk-nya. Mungkin seharian ia menangani wawancara, selanjutnya melaporkan suatu pidato, mengadakan suatu penyelidikan atau mengamati siding-sidang di komisi DPR. Untuk memperoleh beritanya sebanyak mungkin , ia memerlukan sepasang “kaki” yang baik dan inisiatif tinggi. Biasanya ia menulis sendiri naskah beritanya, dan dalam beberapa hal ditambahnya beberapa fakta, serta kemudian menghubungi para penyusun ulang re-writer berita di desk-nya untuk mencapai bantuan mereka dalam menyempurnakan bentuk beritanya. Beberapa leg man membatasi dirinya hanya pada memperoleh data atau fakta saj, dan penulisan beritanya diserahkan kepada redaktur desk yang bersangkutan. Apabila kita ringkaskan resep untuk menciptakan seorang reporter yang handal, kita dapat menderetkan bahan-bahannya seperti dasar pendidikan yang professional, memiliki perhatian yang kuat terhadap kehidupan dan tidak merasa puas terhadap segala sesuatu yang dijumpainya, memiliki semangat untuk menjernihkan sesuatu masalah melalui tulisan, jujur, dan dapat dipercaya serta selalu berusaha keras dalam menelusuri masalah sampai kisahnya berakhir. Semua itu dilakukannya tanpa banyak bicara walaupun kita selalu menegaskannya dengan mengatakan bahwa reporter itu memiliki “suara yang hebat”. Demikian juga melaksanakan tugasnya tanpa banyak bicara meskipun kita selalu mengatakan bahwa reporter yang baik akan memiliki kepribadian yang menyenangkan. Selain beat man dan leg man dikalangan reporter dikenal juga apa ayang disebut koresponden, yanitu wartawan yang menetap di suatu daerah dan bertugas meliput semua peristiwa yang terjadi di daerahnya, kemudian melaporkannya kepada para editor media massa dimana ia tercatat sebagaikaryawannya. Dalam hal ini kita pun mengenal koresponden luar kota, koresponden luar negeri, dan koresponden perang. Bahkan di Indonesia dikenal pula koresponden Binagraha yang bertugas khusus meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi di istana dan kantor tempat Presiden RI. Selain itu ada juga sukarelawan, diantara para wartawan yang secara formal bertugas meliput suatu peristiwa dalam rangka mengumpulkan bahan pemberitaannya, dalam proses pengadaan barang baku produk jurnalistik dikenal pula para sukarelawan atau lazim pula disebut jurnalis informan. Mereka melakukan kegiatan jurnalis tanpa ada ikatan dengan surat kabar atau media massa tertentu, bahkan tanpa pamrih apa pun kecuali refleksi psikologinya yang selalu ingin memberitahukan apa yang mereka lihat, dengar atau alami. Mereka bisa datang sebagai produk biasa orang awam, atau penulis dan pengarang. Selain itu, ada juga yang kegiatannya mirip dengan sukarelawan, namun pamrih utamanya adalah membawakan tugas instansi atau organisasinya sebagai petugas Public Relations dengan membuat sebuah press releas. Di samping itu pula ada wartawan yang tidak terikat oleh salah satu media massa, namun kegiatannya tetap melakukan kegiatan jurnalsitik, terutama mencari bahan berita dan mengolah serta menyusunnya untuk disampaikan kepada tiap media massa yang sudi memuatnya. Wartawan demikian dikenal dengan sebutan wartawan free lance.

2.4.2 Etika Wartawan

Sejumlah pasal dalam peraturan perundang-undangan tentang Pers pun menegaskan bahwa wartawan adalah profesi. Kendati pada awal-awalnya pengakuan profesi untuk wartawan ini tidak dikenal. Baik dalam Undang-Undang No. 11 tahun 1966, Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 tentang pokok-pokok Pers, Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 11 Tahun 1966 dan peraturan menteri penerangan Republik Indonesia No. 01PerMenpen1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers tidak muncul istilah profesi. Namun Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tepatnya pada Bab I, Pasal 1 ayat 10, munculah istilah profesi, “Hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan ata u identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan”.kemudian, pada Bab III Pasal 8, “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum”. Landasan ini yang menguatkan bahwa wartawan adalah sebuah profesi. Hikmat, 2011 : 143 Menurut Sobur 2001:104, terdapat empat macam atribut professional yang melekat pada wartawan. Pertama otomi : ada kebebasan untuk melakukan pertimbangan sendiri dalam menjalankan tugas, termasuk adanya organisasi yang dapat mengatur diri sendiri. Kedua Komitmen: wartawan harus memiliki titik berat komitmen pada pelayanan terhadap masyarakat, bukan sekedar untuk keuntungan financial pribadi. Ketiga keahlian: untuk menjadi seorang wartawan perlu keahlian tertentu melalui proses pendidikan dan latihan. Keempat tanggung jawab: dalam menjalankan tugasnya wartawan harus dapat mempertanggung jawabkannya. Hal itu menguatkan bahwa dalam konteks formal wartawan harus memiliki etika. Tindakan PWI yang sudah lama membuat kode etik bagi wartawan adalah tindakan tepat. Secara filosofis, sejatinya semua pekerjaan, baik yang dapat dikategorikan profesi ataupun bukan harus memiliki etika. Bahkan orang per orang yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan juga terikat dengan etika, baik disengaja atau pun tidak; baik disadari ataupun tidak. Karena etika menyangkut hati nurani manusia yang membedakan dengan makhluk lain dalam takaran benar-salah; baik buruk. Namun, khusus bagi profesi, etika merupakan bagian penting dan formal yang harus ada dalam bentuk tertulis dan hasil kesepakatan di antara orang atau pihak yang terkait profesi tersebut. Bahkan, keberadaan kode etik bagi sebuah pekerjaan menunjukan tingkat profesionalisme pekerjaan tersebut.

2.4.3 Kode Etik Wartawan

Secara professional, hampir setiap profesi memiliki landasan moral sebagai dasar acuan bagi mereka untuk menjalankan tugas. Dalam konteks personal, para professional memiliki landasan moral agama. Namun dalam konteks komunal, setiap kelompok professional memiliki kesepakatan- kesepakatan dasar yang dijadikan acuan bagi mereka untuk merumuskan landasan moral profesi. Kesepakatan tersebut lahir dengan menggunakan parameter baik- buruk berdasarkan hati nurani mereka. Kesepakatan ini sering disebut sebagai kode etik profesi. Wartawan adalah sebuah profesi, sehingga orang yang bertugas sebagai wartawan adalah professional. Lakshamana Rao dalam Romli, 2003:97 mengemukakan, sebuah pekerjaan dapat disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal sebagai berikut. 1. Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tersebut; 2. Harus ada panggilan dan ketertarikan dengan pekerjaan tersebut; 3. Harus ada keahlian expertise 4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan Tampaknya, empat hal tersebut memenuhi pekerjaan wartawan, sehingga wartawan adalah profesi. Professional dalam konteks profesi manapun, termasuk profesi wartawan, tidak hanya menyangkut kemampuan atau keterampilan dalam menjalankan tugas kewartawanan, mencari, meramu, dan menyjikan berita, tetapi juga mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan kode etik. Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

2.5 Tinjauan Tentang Media Massa

Media Massa Mass Media adalah chanel, mediamedium, saluran, sarana, atau alat yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa, yakni komunikasi yang diarahkan kepada orang banyak channel of mass communication. Komunikasi massa sendiri merupakan kependekan dari komunikasi melalui media massa communicate with media. Yang termasuk media massa terutama adalah suratkabar, majalah, radio, televisi, dan film sebagai The Big Five of Mass Media Lima Besar Media Massa, juga internet cybermedia, media online. Adapun jenis media massa, peran media massa, karakteristik media massa dan fungsi media massa yang terangkum dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc sebagai berikut :

2.5.1 Jenis Media Massa:

1. Media Massa Cetak Printed Media. Media massa yang dicetak dalam lembaran kertas. Dari segi formatnya dan ukuran kertas, media massa cetak secara rinci meliputi a koran atau suratkabar ukuran kertas broadsheet atau 12 plano, b tabloid 12 broadsheet, c majalah 12 tabloid atau kertas ukuran foliokwarto, d buku 12 majalah, e newsletter foliokwarto, jumlah halaman lazimnya 4-8, dan f buletin 12 majalah, jumlah halaman lazimnya 4-8. Isi media massa umumnya terbagi tiga bagian atau tiga jenis tulisan: berita, opini, dan feature. 2. Media Massa Elektronik Electronic Media. Jenis media massa yang isinya disebarluaskan melalui suara atau gambar dan suara dengan menggunakan teknologi elektro, seperti radio, televisi, dan film. 3. Media Online Online Media, Cybermedia, yakni media massa yang dapat kita temukan di internet situs web.

2.5.2 Peran Media Massa

Denis McQuail 1987 mengemukakan sejumlah peran yang dimainkan media massa selama ini, yakni: 1. Industri pencipta lapangan kerja, barang, dan jasa serta menghidupkan industri lain utamanya dalam periklananpromosi. 2. Sumber kekuatan –alat kontrol, manajemen, dan inovasi masyarakat. 3. Lokasi forum untuk menampilkan peristiwa masyarakat. 4. Wahana pengembangan kebudayaan –tatacara, mode, gaya hidup, dan norma 5. Sumber dominan pencipta citra individu, kelompok, dan masyarakat.

2.5.3 Karakteristik Media Massa

1. Publisitas, yakni disebarluaskan kepada publik, khalayak, atau orang banyak. 2. Universalitas, pesannya bersifat umum, tentang segala aspek kehidupan dan semua peristiwa di berbagai tempat, juga menyangkut kepentingan umum karena sasaran dan pendengarnya orang banyak masyarakat umum. 3. Periodisitas, tetap atau berkala, misalnya harian atau mingguan, atau siaran sekian jam per hari. 4. Kontinuitas, berkesinambungan atau terus-menerus sesuai dengan priode mengudara atau jadwal terbit. 5. Aktualitas, berisi hal-hal baru, seperti informasi atau laporan peristiwa terbaru, tips baru, dan sebagainya. Aktualitas juga berarti kecepatan penyampaian informasi kepada publik.

2.5.4 Fungsi Media Massa

Fungsi media massa sejalan dengan fungsi komunikasi massa sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut. Menurut Harold D. Laswell mengemukakan fungsi media yakni Informasi to inform, Mendidik to educate, dan Menghibur to entertain. Selain Laswell, Wright mengemukakkan fungsi media massa diantaranya adalah : 1. Pengawasan Surveillance – terhadap ragam peristiwa yang dijalankan melalui proses peliputan dan pemberitaan dengan berbagai dampaknya –tahu, panik, terancam, gelisah, apatis, dsb. 2. Menghubungkan Correlation – mobilisasi massa untuk berpikir dan bersikap atas suatu peristiwa atau masalah. 3. Transmisi Kultural Cultural Transmission – pewarisan budaya, sosialisasi. 4. Hiburan Entertainment. Dan fungsi media massa menurut De Vito adalah Menghibur, Meyakinkan, iklan, mengubah sikap, call for action, Menginformasikan, Menganugerahkan status – menunjukkan kepentingan orang-orang tertentu; name makes news, “Perhatian massa = penting”, Membius – massa terima apa saja yang disajikan media, Menciptakan rasa kebersatuan –proses identifikasi. Tak jauh berbeda dengan fungsi media menurut para ahli, Fungsi media massa UU No. 401999 tentang Pers diantaranya: 1. Menginformasikan to inform 2. Mendidik to educate 3. Menghibur to entertain 4. Pengawasan Sosial social control –pengawas perilaku publik dan penguasa.

2.6 Tinjauan Tentang Implementasi

Implementasi Pressman Wildavsky tentang implementasi kebijakan. Bahwa Implementasi adalah proses untuk mewujudkan rumusan kebijakan menjadi tindakan kebijakan; dari “politik” ke “administrasi”. Pressman Wildavsky mengemukakan bahwa Implementasi adalah proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya. Implementasi memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif. Efektivitas implementasi ditentukan oleh kemampuan untuk membuat hubungan dan sebab-akibat yg logis antara tindakan dan tujuan. Hubungan kerja dalam organisasi pelaksana: Perumus kebijakan Manajer Pelaksana. Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang. Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier dalam Abdul Wahab, 1990:51 mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-Undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan instansi pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap Undang-Undang atau peraturan yang bersangkutan. Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini harus digaris-bawahi ada kata-kata serangkaian terstruktural yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrumen. Pengertian implementasi kebijakan Lineberry 1978 dalam Fadillah Putra 2003:81 menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut : 1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana 2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana standard operating proceduresSOP 3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran; pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinasbadan pelaksana 4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan kebijakan policy-making tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan. Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan tidak lebih dari suatu perkiraan forecasting akan masa depan yang masih bersifat semu, abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidak- berhasilan kebjakan akan diketahui. Bahkan Udoji dalam Abdul Wahab 1997:59 dengan tegas mengatakan “the execution of policies is as important if not more important that policy- making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Oleh karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan. Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang dimaksud. Islamy dalam Yuyun Ningsih 2004:28 mengatakan bahwa “Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif intended maupun yang negatif unintended ”. Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain pencapaian tujuan harus diupayakan pua untuk meminimalisir ketidakpuasan dissatisfaction dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa akan datang. 78

BAB III OBJEK PENELITIAN

3.1. Tinjauan Tentang Wartawan

3.1.1 Sejarah Wartawan

Menurut Naungan Harahap dalam interview bersama penulis menjelaskan bahwa “Sejarah wartawan di Indonesia sangat lah panjang ceritanya, wartawan sudah ada sejak jaman penjajahan sebelum Indonesia merdeka. Dan sejarah wartawan tentu berkaitan dengan keberadaan pers di Indonesia”. Di ceritakan bahwa Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang ketika Gubernur Jendral Jan Pieter Coon menerbitkan buku tangan Memorie der Nouvelles pada tahun 1615. Media ini resmi terbitan pemerintahan Hindia Belanda yang menyiarkan berita dan informasi mengenai maskapai dagang Belanda VOC; Sedangkan penerbitan Bahasa Jawa pertama terbit di Surakarta pada tahun 1855 yaitu Bromartari, tahun 1856 terbit harian Berbahasa Melayu pertama yaitu Soerat Kabar Bahasa Melaijoe di Surabaya. Lalu kemudian, muncul ide penggabungan surat kabar yang ketika itu, ada beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja Otista, beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo melayu, dan Sumatera Shimbun Jepang-Kanji. Berbicara sejarah pers Indonesia Modern dimulai pada tahun 1902 dimana Abdul Rivai menerbitkan surat kabar Bintang Hindia di Sumatra Barat. Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. RRI Radio Republik Indonesia terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan SekutuInggris, dan juga adanya hambatan distribusi. Dan hal yang harus diingat dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Sejarah wartawan ada tak terlepas dari perjuangan kemerdekaan, wartawan merupakan salah satu komponen pembebas negeri dari penjajah yang ikut berjuang. Sejarah pers di Kota Bandung tentu juga sama dengan sejarah wartawan nasional yang berjuang bersama dengan rasa nasionalisme tinggi membebaskan negeri. Beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja Otista, RRI Radio Republik Indonesia terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Sejarah wartawan di Kota Bandung seiring dengan sejarah lembaga Pers yang didirikan di Bandung seperti Persatuan Wartawan Indonesia dan Aliansi Jurnalistik Independen.

A. PWI Cabang Jawa Barat

Sejarah pembentukannya dimulai sejak 5 Februari 1950 tatkala sejumlah wartawan Bandung berkumpul di Jl Dalem Kaum 52 kantor surat kabar berbahasa Sunda Sipatahoeunan. Dilatarbelakangi oleh keinginan untuk merperkuat ikatan wartawan republieken dalam menghadapi pihak kolonial, mereka terpanggil untuk mendirikan PWI yang secara nasional sudah terbentuk sejak tahun 1946 di daerah. Dalam pertemuan kedua di tempat yang sama para peserta sepakat mendirikan PWI Kring Bandung. Yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Moehamad Koerdie, Atje Bastaman, Achmad Sarbini, Syarief Sulaiman, M.O. Koesman, Rochdi Partaatmadja, M. Royani, Chaidir Ghazali, Sakti Alamsyah, Moh. Kendana, Djamal Ali, AZ Palindih, Dajat Hardjakusumah, R. Bratanata dan Burhanudin Ananda. Syarif Sulaeman ditetapkan sebagai ketua dan M.O. Koesman sebagai sekretaris. Baru tiga bulan berdiri, pada bulan Mei 1950 PWI Kring Bandung menghadapi ujian cukup berat. Dalam penerbitan 16 Mei 1950, harian Sipatahoenan menurunkan tajuk rencana yang menyoroti masalah korupsi di lingkungan Training Centrum Militer. Tulisan tersebut membuat pihak militer tersinggung, sehingga Atje Bastaman yang saat itu menjadi hoofredactur pemimpin redaksi dipanggil untuk dimintai keterangan. Kebetulan yang bersangkutan sedang ke luar kota sehingga yang memenuhi panggilan itu adalah Achmad Sarbini sebagai wakil hoofredactur. Oleh pihak militer Achmad Sarbini diminta menyebutkan siapa nama penulis tajuk rencana tersebut, namun yang bersangkutan tetap menganggap hal itu sebagai rahasia. Akibatnya ia sempat dibentak dan ditakut-takuti. Merasa diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, Achmad Sarbini melaporkan peristiwa itu kepada pengurus PWI Kring Bandung. Pengurus PWI meminta laporan tertulis, dari laporan mana kemudian dikeluarkan pernyataan resmi. Intinya, 1. PWI Kring Bandung menyampaikan laporan Achmad Sarbini kepada berbagai pihak termasuk Gubernur Militer Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, Menteri Penerangan RI, Menteri Penerangan RIS dan PWI di Jakarta; 2. Menyatakan tidak sepantasnya Sdr A. Sarbini di dalam negara hukum diperiksa secara kruisverhoor oleh suatu instansi yang tidak berhak secara hukum. Dengan terjadinya peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Sarbini” itu PWI Kring Bandung memperoleh perhatian dari berbagai pihak, termasuk dari PWI di Jakarta. Ketika PWI akan mengadakan lustrum I, PWI Kring Bandung ditunjuk sebagai penyelenggara. Dalam pertemuan yang dihadiri lebih dari 100 utusan itu hadir pula Menteri Penerangan RI Pelaupessy dan Ketua PWI Djawoto. PWI Kring Bandung saat itu juga pernah memecat salah seorang anggotanya karena ketahuan menerima uang sogokan sehubungan dengan berita yang ditulisnya. Pada masa kepengurusan berikutnya, di mana M.O. Koesman terpilih sebagai ketua, PWI Bandung merintis terbentuknya lembaga pendidikan jurnalistik yang mendapat dukungan antara lain dari tokoh pers Adinegoro, dengan mendirikan Institut Publisistik. Awalnya lembaga pendidikan kewartawanan tersebut bergabung dengan lembaga pendidikan Drg R. Moestopo. Bukan hanya wartawan muda, yang tua-tua pun banyak yang menambah ilmu di lembaga tersebut. Lembaga inilah yang kemudian menjadi Fakultas Publisistik, cikal bakal Fakultas Ilmu Komunikasi Fikom di Universitas Padjadjaran Bandung. PWI Bandung juga merintis kerjasama dengan Nederlandsche, Journalisten Bond di negeri Belanda. Lewat kerjasama ini, beberapa anggota PWI Bandung sempat diundang untuk mengunjungi Belanda dan beberapa negara Eropa lainnya. Salah seorang anggotanya, Dajat Hardjakusumah, tercatat sebagai wartawan Indonesia pertama yang meliput Sidang Umum PBB di New York. Dalam Kongres PWI di Makassar tahun 1961, utusan PWI Bandung Dajat Hardjakusumah, Atje Bastaman dan Sakti Alamsyah menyatakan bahwa PWI harus tetap mandiri sebagai organisasi profesi. Pernyataan ini untuk menandingi suara-suara peserta kongres lainnya yang didominasi oleh kecenderungan arah politik saat itu yang dikuasai pihak komunis. Kecenderungan itu makin mengental dalam Kongres PWI di Jakarta tahun 1963. Setelah meletusnya aksi G30SPKI, di tubuh PWI Bandung terjadi gejolak yang membuat organisasi wartawan ini terpecah. Yang menjadi pemicunya adalah pernyataan PWI Bandung terhadap peristiwa G30SPKI dikeluarkan tanggal 14 Oktober 1965, yang oleh sebagian anggotanya dianggap tidak tegas. Akibatnya, anggota-anggota tersebut menyatakan mosi tidak percaya dan sepuluh hari kemudian membentuk kepengurusan baru. Dengan dukungan PWI Pusat, pengurus PWI Bandung ini dengan cepat mengadakan kristalisasi di tubuh organisasinya. Sebanyak 12 anggotanya semuanya wartawan surat kabar Warta Bandung yang memihak komunis -- hingga kini masih kontroversi-- dipecat, sementara 2 orang diindikasikan GestapuPKI --sebenarnya juga kontroversial, bahkan tidak terbukti--. Dari yang dua orang ini, salah satu di antaranya adalah Dajat Hardjakusumah. Peristiwa ini menjadi berlarut-larut karena meskipun pihak Pepelrada Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah Jawa Barat, sebagai pihak yang bertanggungjawab di bidang politik dan keamanan, telah menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak terbukti sebagaimana yang dituduhkan, keanggotaan Dajat Hardjakusumah tetap tidak dipulihkan oleh organisasinya. Kongres PWI Palembang tahun 1970 menghasilkan kepengurusan kembar yang dikenal sebagai PWI Diah ketuanya B.M. Diah dan PWI Rosihan ketuanya Rosihan Anwar. Perpecahan itu menular pula ke PWI Bandung. Tanggal 22 Januari 1971 B.M. Diah melantik pengurus PWI Cabang Bandung, meski sebagian besar wartawan di Bandung mengakui PWI Cabang Bandung yang diketuai Atang Ruswita sebagai organisasi yang syah. Beruntung, perpecahan tersebut hanya berlangsung selama tiga bulan. Setelah di tingkat pusat kepengurusan PWI menyatu, pada bulan Maret dua kepengurusan PWI Cabang Bandung pun berintegrasi kembali. Sesuai keputusan Konferensi Kerja Nasional Konkernas PWI di Banjarmasin tahun 1981, PWI Cabang Bandung menjadi PWI Cabang Jawa Barat. Objek penelitian yang diteliti adalah beberapa orang wartawan yang berdomisili di Bandung. Dan bertempat kerja di kota Bandung yakni media yang menjadi tempat bekerjanya berada dikota Bandung dan lebih sering melakukan liputan di wilayah bandung.

B. Sejarah AJI : Dari FOWI ke Aliansi

Sejarah memang seharusnya ditulis sebelum para tokohnya meninggal atau tak tentu rimbanya. Sekaligus juga agar orang-orang licik dan punya kepentingan pribadi tak menyalahgunakannya. Pencatatan penting untuk mengkorfirmasi dari para pelaku sejarah tersebut, yang tentunya mempunyai pikiran dan pandangan yang tak sama. Kalau bicara masalah sejarah Aliansi Jurnalis Independen, saya harus mengacu pada sejarah Forum Wartawan Independen FOWI di Bandung. Sebulan lalu Juli 2004 saat saya tengah siap-siap pindahan dari tempat kontrakan ke rumah pinjaman kakak saya, saya menemukan berkas-berkas mulai dari undangan pertama sampai hasil pertemuan, dan rencana pertemuan berikutnya. Saat itu sekitar tahun 1991. Idenya waktu itu, karena banyak tekanan terhadap para jurnalis, namun pembelaan masih tak memadai. Bukan saja dari satu-satu organisasi wartawan yang ada waktu itu PWI-Persatuan Wartawan Indonesia, bahkan para petinggi di perusahaan tempat wartawan itu bekerja cenderung menyalahkan para wartawan, dan kembali menjalin kerjasama yang manis dengan para penindas itu. Selain itu, kami para wartawan muda juga tengah menjalin banyak kerjasama dengan para mahasiswa dan aktifs-aktifis pergerakan pro demokrasi. Para aktifis atau gerakan mahasiswa agar tak tercium pihak intelejen, hanya mau mengundang jurnalis-jurnalis yang mereka percayai. Karena pada masa itu banyak perusahaan pers disusupi para intel yang jadi jurnalis. Saya masih ingat, pertemuan pertama di rumah kontrakan saya di Jln. Ir.H.Juanda Dago No.372, di sebuah rumah semi permanen dengan tembok seperempat dan gedek di atasnya. Beginilah bunyi dan naskah asli Undangannya : Forum Wartawan Independent FOWI. Kepribadian Wartawan Indonesia, menurut Kode etik Jurnalistik, wartawan Indonesia adalah warga negara yang bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, bersifat ksatria dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia serta perjuangan emansipasi Bangsa dalam segala lapangan dan dengan itu turut bekerja ke arah keselamatan Masyarakat Indonesia sebagai warga dari masyarakat Bangsa-bangsa di dunia. Jelas dalam kode etik jurnalistik mengajak kita menyelamatkan Bangsa ini dengan segenap kemampuan dan daya yang kita miliki. Sebagai wartawan kita wajib turut serta menyelamatkan Bangsa Indonesia. Kebebasan berkumpul dan berserikat juga dijamin oleh UUD 1945 dan Piagam Hak Asasi Manusia. Tak ada seorangpun atau satu pihak yang dapat menghalangi. keinginan seseorang, atau sekelompok orang untuk berkumpul. Atas dasar keinginan bersama, tercetus keinginan dan buah pikiran untuk berkumpul bertukar pikiran dalam sebuah forum. Sebagai langkah pertama telah diadakan pertemuan di Jln.Dago 372 Bandung. Dengan keterbatasan waktu dan kesempatan untuk mengundang, melalui telepon, facsimili maupun pertemuan tak disengaja. Direncanakan mengadakan pertemuan pada 24 Mei 1992, Ahad. Dalam undangan untuk pertemuan informal itu tercantum 24 wartawan. Yaitu : Tjahya Gunawan dan tri Haryono dari Harian Kompas. M.Yamin dari Harian Surya, Lucky Rukminto dari Majalah dwi mingguan Forum Keadilan, Enton Supriyatna, Achmad Setiyaji, Soni Farid Maulana, Ida Farida, Teguh, Ella dan Asep Bakry dari Harian Umum Pikiran Rakyat. Walid Syaikhun dari MBM Editor, Ahyani dari Harian kedaulatan Rakyat, Petty dari The Jakarta Post, Syawal dan leila dari radio Mara FM, Imbalo dari Radio Ganesha, Taufik Abriyansah dan ahmad Taufik dari MBM Tempo, Hidayat Gunadi dari Harian Pelita, Setiyaji P dari MBE Prospek, Wisnu dari Majalah islam Suara Hidayatullah, Nor Pud Binarto dari Radio Tri Jaya FM. Kerana keterbatasan segalanya yang bisa terhubungi yaitu warga Harian Pikiran Rakyat, Warga harian Kompas, warga Hariab Surys, warga MBM Tempo, Warga MBM Editor, Warga The Jakrta Post, warga Radio Mara FM, Warga Harian Pelita, warga Majalah Forum keadilan dan warga radio tri Jaya FM. Sedangkan yang hadir pada pertemuan awal itu, adalah : Enton Supriyatna, Lucky Rukminto, Ahmad Taufik, Walid Syaikhun dan M.Yamin. Kemana yang lauinnya? Tjahya Gunawan kebetulan sedang mendapat tugas di Tanggerang. Tr Haryono ada tugas deadline, kampanye PDI minggu itu. Teguh dari PR terserang penyakit semoga lekas sembuh. Petty ada acara tujuh hari di rumahnya. Atas usulan forum pada pertemuan 24 mei itu disepakati untuk ditambah kawan-kawan lainnya, yaitu : Edi Hidayat dari Media Indonesia, Suherman dari mandala, Aep Saefudin dari Harian Gala dan Ina Pamungkas dari Harian Pikiran Rakyat. Kesepakatan untuk mengadakan pertemuan lagi juga tercetus dalam forum informal, yaitu : Pada : Hari AhadMinggu, 14 Juni 1992 Waktu Pukul 15.00-19.00 WIB Tempat : Jln.Dago 372 Sebelum Hotel Sheraton Inn. Bandung. Undangan sengaja berbentuk seperti ini bagi kawan-kawan wartawan lain yang ingin turut serta dalam forum ini kami persilakan hadir pada waktu dan tempat di atas. Turut Mengundang : Lucky Rukminto, Enton Supriyatna S.Walid Syaikhun, Ahmad Taufik dan M.Yamin. Acara pertemuan-pertemuan sampai mengkristal hingga pertemuan- pertemuan berikutnya. Untuk mendapat manfaat dari sekadar silaturahmi dan juga untuk menarik khalayak wartawan lebih banyak adalah dengan mengisi otak kepala kita charge baterry dengan tokoh-tokoh yang berkompeten dalam bidangnya. Janji-janji dari kawan yang tergabung dalam FOWI mulai menebar jaring dengan nara sumber untuk bertemu. Pertemuan pertama yang bisa diwujudkan yaitu dengan Rahman Tolleng, tokoh pergerakan politik, di rumahnya di kawasan Gegerkalong, Bandung.

1.2 Aturan dan Perlindungan Bagi Wartawan

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Secara professional, hampir setiap profesi memiliki landasan moral sebagai dasar acuan bagi mereka untuk menjalankan tugas serta memiliki payung hukum yang dapat menjamin profesinya atau dalam proses menjalankan tugasnya. Dalam konteks personal, para professional memiliki landasan moral agama. Namun dalam konteks komunal, setiap kelompok professional memiliki kesepakatan-kesepakatan dasar yang dijadikan acuan bagi mereka untuk merumuskan landasan moral profesi. Kesepakatan tersebut lahir dengan menggunakan parameter baik-buruk berdasarkan hati nurani mereka. Kesepakatan ini sering disebut sebagai kode etik profesi. Wartawan adalah sebuah profesi, sehingga orang yang bertugas sebagai wartawan adalah professional. Lakshamana Rao dalam Romli, 2003:97 mengemukakan, sebuah pekerjaan dapat disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal sebagai berikut. 1. Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tersebut; 2. Harus ada panggilan dan ketertarikan dengan pekerjaan tersebut; 3. Harus ada keahlian expertise 4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan Selain kode etik, yang menjadi rujukan langkah pers, media massa, dan wartawan dalam berkiprah adalah ketentuan yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini sejalan dengan teori umum bahwa system pers tidak dapat melepaskan diri dari system politik yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, system pers Indonesia diberi nama system pers Pancasila. Pancasila menjadi dasar bagi semua kegiatan di Republik Indonesia, termasuk Pers. Secara konstitusional, pers Indonesia memiliki landasan ideal yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebetulnya semua sila dalam pancasila harus tercermin dalam berbagai kegiatan yang dilakukan di Indonesia, termasuk Pers. Namun yang menjadi landasan utama pers adalah sila ke empat, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Sila ini dijabarkan dalam pasal-pasal yang ada pada UUD 1945. Khususnya mengenai pasal yang berkait dengan pers diantaranya : pasal 28 yang berbunyi, “kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang- undang.” Kemudian, pasal 28 F yang berbunyi, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencar, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Upaya implementasi dari pasal tersebut pun dengan mengubah peraturan perundangan tentang pers. Awalnya, kehidupan pers diatur melalui Undang- Undang No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang setahun kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1967. Lima belas tahun kemudian, lahir Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 yang mengokohkan kedudukan pemerintahan Orde Baru. Sejalan dengan berhembusnya aming reformasi, sehingga hal-hal yang bernuansa Orde Baru menjadi agenda pokok reformasi, sehingga Undang-Undang tentang pers pun setelah berlaku selama lebih kurang tujuh belas tahun, direformasi menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Karena Undang-Undang tersebut lahir dimasa reformasi dengan semangat yang tinggi untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan Orde Baru, maka terdapat perubahan yang sangat signifikan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 jika dibandingkan dengan undang-undang pers sebelumnya. Kendati dalam konteks isi, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 sangat ringkas, tetapi dari sisi substansi terjadi perubahan besar-besaran. Dimana substansi yang terdapat dalam Undang-Undang yang Disahkan pada tanggal 23 September 1999 oleh Presiden Republik Indonesia Bacharudin Jusuf Habibie diantaranya :

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. 2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi. 3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi. 4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. 5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. 6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia. 7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing. 8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik. 9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa melawan hukum. 10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. 11. Hak Jawab adalah hak seorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. 13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. 14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.

BAB II ASAS, FUNGSI, HAK KEWAJIBAN

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Yang Dilakukan Oleh Pers Ditinjau Dari KUHP Dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

1 31 113

Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dalam Memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers Bagi Wartawan Kota Bandung

7 78 167

Peranan Kepolisian terhadap Insan Pers dalam Merahasiakan Identitas Narasumber sebagai Pelaku Kejahatan Melalui Liputan Investigasi Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

1 12 100

WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 3 14

PENDAHULUAN WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 2 34

KESIMPULAN DAN SARAN WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 3 40

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SECONDARY RAPE OLEH PERS ATAS PEMBERITAAN TENTANG PERKOSAAN DI MEDIA MASSA DIKAITAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS.

0 1 1

Undang Undang No 40 Tahun 1999

0 0 14

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG - UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

0 0 11

PERBANDINGAN SISTEM PERS YANG DIANUT INDONESIA DI ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS) - repository perpusta

0 0 9