14
yang telah ditetapkan.hasil yang semakin mendekati sasaran atau tujuan, berarti semakin tinggi tingkat efektivitasnya.
2. Pengukuran Efektivitas
Menurut ahli manajemen Peter F. Drucker, efektivitas adalah melakukan pekerjaan yang benar doing the right thing sedangkan
efisiensi adalah melakukan pekerjaan dengan benar doing thing right. Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau
peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
8
Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Dengan kata lain, seorang manajer efektif dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan atau metode cara yang tepat untuk
mencapai tujuan.
B. Konsep Dasar Implementasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia implementasi diartikan dengan penerapan atau pelaksanaan.
9
Implementasi juga berarti perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan. Pengertian-pengertian ini memperlihatkan bahwa
kata implementasi bermuara pada aktivitas, tindakan atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan
sekedar aktivitas semata, akan tetapi juga kegiatan terencana dan dilakukan
8
T. Hani Handoko, Manajemen Yogyakarta: BPFE, 1998, Edisi Ke-2, h. 7.
9
M. Ridwan, Kamus Ilmiah Populer Jakarta: Pustaka Indonesia, 1999, h. 198.
15
secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai suatu tujuan kegiatan.
Dapat dikatakan bahwasanya implementasi mengandung arti bukan sekedar hanya aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan
secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.
C. Konsep Dasar Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Secara etimologi bahasa dakwah berasal dari bahasa Arab
ﺎﻋد -
اﻮﻋﺪﻳ
yang artinya mengajak, mengundang atau memanggil. Kemudian menjadi kata
ةﻮﻋد yang mengandung arti panggilan, undangan
atau ajakan.
10
Adapun pengertian dakwah secara terminologi yang dikemukakan oleh ahli adalah sebagai berikut: Amrullah Ahmad dalam “dakwah Islam
dan perubahan sosial”, menjelaskan tentang dakwah Islam sebagai berikut:
“Dakwah Islam merupakan aktualisasi imani teologis yang dimanifestasikan dalam bentuk suatu sistem kegiatan manusia
beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap, dan
bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosiokultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam
dalam semua segi kehidupan dengan cara tertentu.”
11
10
Hamzah Ya’kub, Pulisistik Islam, Teknik Dakwah Islam dan Leadership Bandung: CV Diponegoro, 1986, Cet. Ke-2, h. 13.
11
Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial Yogyakarta: PLPM, 1985, h. 2
16
Menurut H. M. Arifin dalam bukunya Psikologi Dakwah suatu pengantar studi, bahwa:
“Dakwah sebagai suatu kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilaksanakan
secara sadar dan berencana dalam mempengaruhi orang lain. Baik secara individu maupun kelompok agar timbul dalam dirinya suatu
pengertian, kesadaran, sikap penghayatan. Serta pengalaman terhadap ajaran agama sebagai pesan yang disampaikan kepadanya
tanpa adanya unsur-unsur paksaan.”
Definisi lain mengenai dakwah juga dikatakan oleh Prof. Toha Yahya Umar, bahwa pengertian dakwah dibagi menjadi dua bagian:
a. Pengertian umum. Dakwah adalah suatu ilmu pengetahuan yang
berisikan cara-cara, tuntunan, bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan suatu
ideologi, pendapat dan pekerjaan tertentu b.
Pengertian khusus. Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk
kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Dari definisi-definisi tersebut diatas, meskipun terdapat perbedaan
dalam perumusan tetapi apabila diperbandingkan satu sama lain, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa dakwah adalah usaha manusia untuk
menyeru atau mengajak orang kepada jalan yang diridhoi Allah SWT melalui cara atau metode tertentu agar terwujud pengalaman ajaran-ajaran
Islam dengan baik dan benar agar mendapat kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
17
2. Sejarah Dakwah
Sebagian ulama jumhur cenderung berpendapat bahwa ayat pertama atau wahyu yang pertama yaitu surah Al-A’laq iqra yang diterima oleh
Rasulullah melalui malaikat Jibril adalah merupakan permulaan dari sejarah dimulainya dakwah. Dengan demikian wahyu yang pertama diterima oleh
Rasulullah, langsung beliau sampaikan kepada isterinya, yang kemudian diceritakan kembali oleh Waraqah bin Naufal, walaupun secara formal belum
bisa dikatakan dengan dakwah. Akan tetapi, secara informal itu sudah dapat dikategorikan sebagai dakwah. Sebab Rasulullah sudah menyampaikan dan
memberitahukannya kepada orang lain, walaupun masih dalam lingkungan yang terbatas.
12
Dengan wahyu pertama itulah setelah beliau mengalami pertentangan jiwa dan kecemasan yang cukup lama, akhirnya Nabi Muhammad SAW
sampai kepada puncak keyakinan misi kerasulannya. Pada periode ini Nabi melakukan dakwah dengan sembunyi-sembunyi dan melakukan kegiatan
dakwah yang dimulai dari keluarga atau kerabat dan orang yang pertama masuk Islam adalah isteri beliau yakni Khadijah. Pada periode ini disebut
dengan Periode Makkah yang ditandai dengan aktivitas dakwah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dikarenakan banyak tantangan dari
orang kafir Quraisy. Setelah sepuluh tahun Nabi mengalami banyak cobaan dan rintangan,
akhirnya Nabi hijrah ke Kota Yatsrib Madinah dan melakukan dakwah di
12
Basrah Lubis, Pengantar Ilmu Daakwah, Jakarta: CV Tursina 1993, h. 27-34.
18
Kota Madinah dengan sambutaan yang sangaat baik oleh penduduk Madinah pada saat itu, menurut Thomas W. Arnold dalam bukunya The Preaching of
Islam, di Kota Madinah terdapat sebagian orang Yahudi yang mengenal ide tentang Messiah juru selamat yang akan turun, dan lebih cenderung
menerima Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Berbeda dengan penduduk agama Makkah, dimana ide tentang agama wahyu dan Nabi baru
adalah asing sama sekali, bahkan bertentangan dengan rasa martabat mereka yang menganggap dirinya lebih tinggi dari suku-suku agama lain, dan lebih
makmur karena menjadi pewaris yang mendapat kehormatan dalam menjaga koleksi patung-patung berhala nasional disekeliling Ka’bah yang dimuliakan.
Kemudian juga karena faktor antara suku asli bangsa Arab yaitu; Khazraj dan suku Aus telah lama terjadi pertentangan antara mereka, sehingga
mereka pun benar-benar merindukan agar terciptanya perdamaian dan ketentraman dan juga karena dari para pemuka masyarakat setempat bahwa
dengan memeluk agama Islam dapat diharapkan teratasi segala penderitaan akibat tidak adanya jaminan hukum yang positif selama ini. Faktor ini
membuktikan selama delapan tahun sesudah Nabi hijrah yang dengan kekuatan sepuluh ribu anggota pasukan dapat menaklukan Kota Makkah yang
selama sepuluh tahun berdakwah, yang sebelumnya hanya memperoleh suatu yang awal dalam kehidupan nasionalisme Arab terhadap perkembangan Islam
di seluruh dunia. Dengan kondisi serta situasi yang seperti ini, Nabi dapat melakukan
aktivitas dakwahnya dengan secara terang-terangan dan Nabi pun mulai
19
membangun dan merealisasikan ajaran Islam di kota Madinah dengan menggunakan metode atau strategi yang secara garis besar menurut A.
Halimi
13
dapat dibedakan menjadi empat sejarah peradaban dalam ajaran Islam, yaitu:
a. Sosio-Religius
Yang dimaksud sejarah dalam sosio-religius ini adalah pemantapan nilai-nilai religius Madinah sebagai masyarakat islam baru artinya, pola
dan juga sikap hidup masyarakat yang dikondisikan untuk menerima dan mempraktekkan aspek religius kedalam kehidupan sosial melalui masjid
sebagai sarana dan juga media dakwahnya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa langkah pertama Nabi adalah menerapkan strategi dengan
cara membangun masjid, langkah semakin mantap setelah jamiatan 1 16 Robiul Awal H 20 September 662 M Nabi menyampaikan khutbah
jum’at pertamanya yang secara garis besar berisi: 1
Bertaubat dan beristighfar hanya kepada Allah SWT 2
Mencari petunjuk Allah dengan senantiasa selalu bertaqwa kepada- Nya
3 Memperbaiki hubungan yang vertikal kepada Allah serta menjalin
hubungan yang baik dengan sesamanya 4
Memperbaiki dzikir dan selalu beramal shaleh.
13
A. Halimi, Strategi Dakwah: Islam Yang Terabaikan, Pada Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 5 No. 1 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, April 2002, h. 48-51.
20
Apabila pada khutbah jum’at yang pertama Nabi lebih menekankan aspek-aspek religius, maka khutbah jum’at yang terakhir 25 Dzulhijjah di
Arafah, Nabi menekankan pada aspek keadilan sosial, yang oleh para ahli disebut dengan “pernyataan akan hak-hak asasi manusia”. Isinya antara
lain: 1
Perlindungan terhadap hak-hak hidup 2
Kewajiban memenuhi semua amanah yang telah diterima 3
Penghapusan riba 4
Persaudaraan sesama muslim. b.
Sosio-Politik Bukti yang nyata dalam penerapan sejarah sosio-politik ini adalah
dengan disepakatinya satu konstitusi yang mengatur tata kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara, antara masyarakat Islam dengan masyarakat
non Islam dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Konstitusi yang dimulai pada tahun 622 M itulah oleh Arnold dinilai “sebagai suatu
gerakan yang sangat jitu”, dimana perubahan besar telah terjadi dan juga dialami oleh para pengikutnya yaitu, dari kelompok powerless tanpa
adanya kekuasaan yang menjadi satu komunitas yang memiliki kekuatan sosial-politik.
Dari berbagai strategi ini, ada beberapa prinsip dakwah dalam menata kehidupan sosial masyarakat dapat ditegakan. Antara lain: prinsip
persaudaraan, persamaan, persatuan, kebebasan, membela yang teraniaya. Prinsip kebebasan beragama, pertahanan dan perdamaian.
21
c. Sosio-Ekonomi
Setelah umat Islam memiliki kekuatan sosial-politik di kota Madinah, maka yang menjadi masalah utama adalah miskinnya
perekonomian yang tersedia. Hal ini semakin memprihatinkan setelah secara kualitas strata sosial umat Islam saat ini mayoritas sentra-sentra
perekonomian dikuasai oleh orang-orang Yahudi seperti Bani Nadhir dan Bani Quraidzah yang menguasai wilayah pertanian kurma di selatan kota
Madinah. Untuk mengatasi strategi semacam ini, ada dua teknik yang
dipergunakan oleh kecerdasan Nabi dalam membaca peta sosial ummat, dan langkah selanjutnya adalah legitimasi dari kehendak Allah SWT. Dari
kedua teknik ini adalah: 1
Memacu dalam semangat etos kerja serta produktivitas umat Islam dengan berdagang dan bertani kurma
2 Memblokir jalur perdagangan yang menuju pasar-pasar diwilayah
sebelah utara. Pemblokiran ini tidak berarti umat Islam menghalalkan segala cara dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Tentu hal ini
dilakukan dengan sesungguhnya sebagai upaya umat Islam dapat memperoleh kembali akan harta kekayaannya yang telah dirampas
oleh bangsa kafir Quraisy, yang pada saat itu umat Islam terusir dari kota Makkah
3 Sedangkan legitimasi yang telah dilakukan adalah dengan cara
mengeluarkan zakat dan shodaqoh yang sekaligus pengharaman praktek-praktek riba. Dalam ketetapan ini tentu sangant
22
menguntungkan dikarenakan telah tersediannya dana, proses dan aktivitas dakwah akan semakin lancar.
d. Sejarah Diplomasi dan Korespondensi
Diplomasi dialog dan korespondensi da’wah bil khitabah sesungguhnya merupakan strategi yang terbilang cerdas, sebab dengan
cara strategi ini banyak ditentukan kepiawaian dalam diplomasi pelaku dakwah. Baik diplomasi yang dilakukan secara verbal dialog maupun
diplomasi yang dilakukan secara non verbal korespondensi. Oleh karena itu, penguasaan logika dan juga bahasa sangat diperlukan dalam strategi
ini demi untuk menghadapi mitra dialog yang berbeda agama. Untuk itulah dengan cara berdialog dapat diharapkan untuk saling
mengenal dan juga dapat menimba ilmu pengetahuan tentang agama mitra dialognya dan juga dapat mencari titik persamaan serta kesepakatan untuk
dijadikan landasan hidup yang rukun dalam suatu masyarakat. Keempat sejarah dakwah Nabi tersebut penerapannya selalu
didasarkan kepada budi pekerti yang luhur. Karenanya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa kunci utama kesuksesan dalam dakwah Nabi,
disamping sasaran yang tepat dalam merumuskan strategi, teknik serta metodenya juga disebabkan oleh sikap dan kepribadian Nabi SAW.
Demikian setelah Islam berkembang pada masa Madinah, dakwah Islam pun secara terus menerus berkembang dengan pesat hingga pada masa
Khulafaur Rasyidin dengan sebuah prinsip toleransi yang dikembangkannya.
14
14
Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam: Sejarah Dakwah Islam Jakarta: Wijaya, 1981, Cet. Ke-2.
23
3. Hukum Dakwah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum mengandung arti undang-undang atau peraturan. Dengan demikian, hukum dakwah adalah
suatu undang-undang atau peraturan yang mengatur pelaksanaan dakwah, tentu saja undang-undang atau peraturan ini disandarkan kepada hukum
syariat Islam yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Dakwah atau berdakwah hukumnya adalah wajib bagi yang mengaku
dirinya muslim, kewajiban ini merupakan kesepakatan kolektif yang dilakukan pada masa sahabat dan para tabi’in.m karena dakwah hukumnya wajib, maka
setiapn muslim wajib menunaikan dakwah kapan dan dimana saja dengan kapasitas kemampuannya masing-masing.
Bagi orang muslim, dakwah merupakan manifestasi iman yang mantap dan didukung oleh tingkat kesadaran yang tinggi. Iman dalam arti yang luas
bukan hanya pengakuan hati yang terdalam dan juga ucapan yang verbal dimulut. Akan tetapi, iman harus diaktualisasikan dengan berupa tindakan-
tindakan, perbuatan dalam rangka menegakkan syariat Islam dimuka bumi ini. Al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan rujukan utama ummat
manusia menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban dalam dakwah ini. Sebagaimana terdapat pada ayat-ayat berikut ini:
a. Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 :
☺ ☺
24
Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik, Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. An-Nahl: 125
b. Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 110 :
☺ ⌧
☺
☺ ⌧
Artinya: “Kamu adalah ummat yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia. Menyeru kepada yang munkar dan berimanlah hanya
keapda Allah SWT. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” QS. Ali- Imran: 110
Masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an serta hadis Nabi yang menunjukan tentang kewajiban dalam dakwah, sehingga dakwah merupakan
suatu hal yang wajib. Hal ini bisa dilihat dari ayat-ayat dan hadis Nabi dari segi lafadznya. Misalnya pada kalimat wal-takun “dan hendaklah ada” pada
kalimat diatas dalam tata bahasa Arab, huruf lam yang terdapat dalam kalimat
25
tersebut adalah lam amar lamul amri yang artinya mengandung kepada perintah. Demikian pula dengan surat An-Nahl ayat 125 pada kalimat ‘ud-u
“serulah, ajaklah” adalah merupakan fi’il amar yang bersifat perintah. Menurut A. Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Islam dan Politik “upaya
membingkai peradaban” menyatakan bahwa dakwah Islam adalah yang bertujuan untuk mengharapkan potensi manusia agar eksistensi mereka
memiliki makna di hadapan Tuhan dan juga memiliki sejarah kehidupannya, karena pada dasarnya manusia memiliki hakikat fitrah QS. 30; 30 dan
manusia telah melakukan kesaksiannya bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang sebenarnya.
15
Dengan demikian, tujuan akhir dakwah Islam adalah terwujudnya “Khairul Ummah” yang basisnya didukung oleh muslim yang berkualitas
“Khairul Bariyyah” yang oleh Allah dijanjikan ridho-Nya QS. 98; 7-8. Namun khairul ummah harus terlebih dahulu oleh terwujudnya khairul
bariyyah, karena ummah merupakan sebuah konsep kesatuan yang fikrah. Sedangkan khairul bariyyah merupakan konsep sumber daya syaksiyah. Untuk
itu, tegaknya khairul ummah bersifat determinatif atas terwujudnya khirul usrah. Khairul usrah juga merupakan determinatif atas terwujudnya khairul
ummah.
4. Prinsip-Prinsip Dakwah
Prinsip mengandung pengertian dasar atau asas kebenaran yang
15
A. Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban Jakarta: Pustaka Dinamika, 1999, h. 15.
26
menjadi pokok pada dasarnya berfikir, bertindak, dan sebagainya. Pada esensinya dakwah adalah meletakkan prinsipnya kepada al-Qur’an dan al-
Hadis. Menurut H.A. Hasanuddin bahwa prinsip dakwah selalu terbuka kepada kesempatan yang luas untuk melakukan ijtihad.
Sekalipun dakwah merupakan kewajiban terhadap setiap muslim tanpa memadang apakah ia berasal dari golongan manapun dan mengesampingkan
status sosialnya. Akan tetapi, bukan berarti dakwah dapat dilaksanakan sekehendak hati tanpa mengindahkan tata cara yang sopan dan juga santun,
seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam melakukan misi dakwahnya dengan cara ditampilkan dengan sempurna supaya setiap orang
ataupun masyarakat yang diserunya itu merasa tergugah hatinya, yang pada akhirnya ingin mengikuti jejak ajaran Islam yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW dengan sadar dan juga penuh dengan tanggung jawab. Oleh karena itu, disinilah signifikasi prinsip-prinsip dakwah yang harus menjadi pedoman
terhadap para pelaku dakwah. Secara tersurat prinsip-prinsip dakwah terdapat dalam al-Qur’an surat
An-Nahl ayat 125, yang didalamnya terdapat tiga hal penting sebagai acuan dalam melakukan dakwah.
Yang pertama dengan hikmah. Dalam berdakwah yang harus terlebih dahulu dilakukan adalah dengan cara hikmah, yakni dengan memperhatikan
tingkat pelajaran yang akan dijelaskan kepada objek dakwah setiap kalinya berdakwah. Sehingga tidak memberatkan dengan tugas-tugas yang banyak
sebelum cukup persiapan mental para mad’u. Menurut Said al-Qathani dalam
27
bukunya yang berjudul Dakwah Islam Dakwah Bijak, menjelaskan bahwa hikmah mengandung pengertian tentang perkataan dan juga mengandung akan
perbuatan dalam melakukan sesuatu pada tempatnya. Dakwah dengan menggunakan hikmah harus terlebih dahulu diawali dengan berbagai
persiapan agar apa-apa yang akan dicapai itu menjadi kenyataan. Analisa ini menyangkut kepada sumber daya pelaku dakwah da’i,
materi, media, metode dan objek dakwah serta situasi dan juga kondisi yang berkembang, sehingga dakwah yang telah dilaksanakan itu akan benar-benar
dapat menghujam secara langsung kepada masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada saat yang bersamaan.
Yang kedua adalah dengan memberikan pelajaran yang baik mauidzah hasanah. Pelajaran dengan baik dan indah yang dilakukan oleh
juru dakwah akan masuk dengan baik pula, serta akan menyelami sebuah perasaan dengan lemah lembut dan akan menerima kesejukan terhadap para
objek dakwah. Dakwah bukan dilakukan dengan kekerasan serta dengan hadirkan yang tidak perlu disampaikan. Sesungguhnya dengan berlemah
lembut dalam memberi pelajaran sering kali dapat membuka hati yang kasat dan akan dapat melembutkan hati yang sekeras batu, dan akan menghasilkan
yang lebih baik dari pada dakwah yang dilakukan dengan cara kekerasan, ancaman dan hinaan.
Ketiga adalah dengan cara berdiskusi dengan baik mujaadalah. Apabila dakwah terpaksa dilakukan dengan perdebatan, maka berdiskusilah
dengan cara yang baik. Berdiskusi dengan tidak menekankan serta melecehkan seseorang yang beda pendapat, tidak menghina dan juga
28
merendahkan. Seorang juru dakwah harus tetap menghormati seseorang yang diajak
bicara tanpa melihat akan status sosialnya. Yang terpenting adalah harus terlenbih dahulu memiliki prinsip-prinsip yang kokoh bahwasanya
kemenangan dalam berdiskusi bukan tujuan utama. Akan tetapi berdiskusi hanyalah semata-mata menyampaikan sebuah informasi yang benar dan
membawanya kepada jalan kebenaran. 5.
Unsur-Unsur Dakwah Dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan yang didalamnya
melibatkan sejumlah unsur-unsur tertentu. Dimana unsur tersebut membentuk dalam sebuah sistem yang saling berhubungan secara kolektif, saling
mendukung dan juga saling menjelaskan. Adapun unsur-unsur dakwah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Da’i
Pada prinsipnya seseorang yang telah mengaku dirinya sebagai seorang muslim adalah Da’i pelaku dakwah. Setiap muslim yang
mukallaf wajib menyampaikan dakwahnya kepada orang lain sesuai dengan kemampuannya masing-masiing, dan sebagai seorang juru dakwah
sekurang-kurangnya harus memiliki hal-hal sebagai berikut: Pertama, sanggup dalam menyelesaikan beban yang bditegaskan
kepada dirinya khususnya dalam mempertahankan ajaran agama sebagai kebenaran yang mutlak, dan menyebarluaskan nilai-nilai keagamaan
sebagai keyakinan dan prinsip hidup yang benar. Kedua, mampu merubah
29
hidup manusia menjadi lebih berharga bernilai dan juga memberi kemampuan kepada mereka untuk menjadikan hidupnya di dunia ini
sebagai investasi kehidupannya di akhirat kelak. Ketiga, pribadi yang selalu eksis dan konsisten terhadap tujuan dakwah.
b. Mad’u
Mad’u adalah segenap manusia. Terlepas apakah ia dalam kepastiannya sebagai mahluk individu, keluarga, kelompok, masyarakat.
Pada dasarnya manusia dalam pandangan Islam terbagi kedalam dua kelompok, yakni kelompok yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim
dan kelompok manusia yang diluar Islam. Kedua golongan inilah yang akan menjadi sasaran dakwah.
Dalam perspektif psikologi manusia hanya dapat didekati dari tiga pendekatan. Pertama, manusia sebagai mahluk individu memilik
keinginan yang harus terpenuhi secara seimbang, yakni kebutuhan akan material kebendaan, pemenuhan aspek ini akan memberikan kesenangan
terhadap kehidupan manusia. Kemudian kebutuhan spiritual dalam pemenuhan aspek ini akan memberikan suatu ketenangan, ketentraman
dan kedamaian dalam hatinya. Kedua, sebagai makhluk sosial, manusia cenderung untuk selalu
hidup berkelompok dan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, secara esensial manusia dapat survive dimuka bumi ini apabila
ia manusia dapat bekerjasama dengan yang lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak dapat hidup sekehendaknya, dikarenakan
30
manusia telah terikat dengan aturan-aturan atau norma yang telah berlaku dilingkungannya. Menurut Jamaludin Kafie dalam bukunya psikologi
dakwah, mengemukakan bahwasanya manusia terikat dalam sistem hidup tiga dimensi: yakni dimensi kultural kebudayaan dan peradaban,
dimensi struktural bentuk hubungan sosial dan dimensi normatif tatakrama dalam kehidupan sosial.
D. Musabaqah Tilawatil Qur’an