Analisis Kriminologi Terhadap Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Gelap Narkotika

(1)

ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KETERLIBATAN

WANITA DALAM PEREDARAN GELAP

NARKOTIKA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

A

A

N

N

D

D

I

I

D

D

A

A

N

N

I

I

E

E

L

L

S

S

I

I

M

M

A

A

N

N

G

G

U

U

N

N

S

S

O

O

N

N

G

G

NIM. 070200436

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 1 1

ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KETERLIBATAN

WANITA DALAM PEREDARAN GELAP


(2)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

A

A

N

N

D

D

I

I

D

D

A

A

N

N

I

I

E

E

L

L

S

S

I

I

M

M

A

A

N

N

G

G

U

U

N

N

S

S

O

O

N

N

G

G

NIM. 070200436 Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum Pembimbing I

Prof. DR. Ediwarman, SH, M.Hum

Pembimbing II

Nurmalawaty, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Analisis Kriminologi Terhadap Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Gelap Narkotika”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

- Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Prof. DR. Ediwarman, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.

- Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.


(4)

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Pebruari 2011 Penulis

NIM : 070200439 Andi Daniel Simangunsong


(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metodologi Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II. BENTUK-BENTUK KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN NARKOTIKA ... 14

A. Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Narkotika ... 14

B. Pengaturan Tentang Pengedaran Narkotika ... 20

C. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika ... 23 BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN


(6)

WANITA TERLIBAT DALAM PEREDARAN

NARKOTIKA DITINJAU DARI SEGI KRIMINOLOGI ... 30

A. Gambaran Umum Kriminologi ... 30

B. Gender ... 36

C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam Peredaran Narkotika Ditinjau Dari Segi Kriminologi ... 39

BAB IV. UPAYA-UPAYA YANG PERLU DILAKUKAN UNTUK MENCEGAH ATAU MENANGGULANGI KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN NARKOTIKA ... 55

A. Kedudukan Perempuan Di dalam Hukum ... 55

B. Peranan Wanita Dalam Peredaran Narkotika ... 64

C. Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mencegah Atau Menanggulangi Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika ... 66

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

Oleh : A

ANNDDII DDAANNIIEELL SSIIMMAANNGGUUNNSSOONNGG NIM. 070200439

Penelitian ini berupa membahas tentang keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba. Hal ini disebabkan dewasa ini perkembangan peredaran narkoba semakin menunjukkan variasinya dimana dalam kegiatan yang bertentangan dengan hukum tersebut wanita dilibatkan. Sebagai landasan pembahasan akan dilakukan penelitian secara kepustakaan

Pembahasan yang akan dilakukan adalah tentang Bagaimana bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika, bagaimana upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika dan bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi.

Setelah dilakukan pembahasan maka diberikan kesimpulan bahwa : Bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika pada dasarnya adalah sebagai kurir narkotika. Bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam narkotika tersebut disebabkan posisi tawar perempuan yang sangat rendah terhadap laki-laki (pacar atau suami, dan komplotannya). Karena ancaman kekerasan, perempuan tidak kuasa menolak permintaan suami atau pacar. Atau, karena perempuan itu membutuhkan uang, atau sudah dipenuhi segala kebutuhan materinya, dengan kata lain dibuat menjadi tergantung, maka perempuan tidak mampu menolak permintaan laki-laki. Faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi adalah: Faktor ekonomi, dimana wanita menjadikan kegiatan pengedaran narkoba sebagai mata pencarian yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya, Status wanita yang merupakan isteri atau pacar dari seorang bandar narkoba, sehingga mau tidak mau ia dilibatkan dalam kegiatan lawan gendernya, Kurangnya respek kepolisian atau alat negara dalam melakukan pengawasan dan menemukan indikasi pengedaran narkoba melalui seorang wanita. Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba adalah: Memberikan sosialisasi kepada wanita tentang bahaya yang dapat dicapai dalam penggunaan narkotika, Memberdayakan wanita dalam kegiatan-kegatan positif dan juga membuka lapangan pekerjaan bagi wanita dan melakukan penegakan hukum secara konsisten dengan penerapan hukuman maksimal kepada pelaku pengedaran narkoba.


(8)

ABSTRAK

ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

Oleh : A

ANNDDII DDAANNIIEELL SSIIMMAANNGGUUNNSSOONNGG NIM. 070200439

Penelitian ini berupa membahas tentang keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba. Hal ini disebabkan dewasa ini perkembangan peredaran narkoba semakin menunjukkan variasinya dimana dalam kegiatan yang bertentangan dengan hukum tersebut wanita dilibatkan. Sebagai landasan pembahasan akan dilakukan penelitian secara kepustakaan

Pembahasan yang akan dilakukan adalah tentang Bagaimana bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika, bagaimana upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika dan bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi.

Setelah dilakukan pembahasan maka diberikan kesimpulan bahwa : Bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika pada dasarnya adalah sebagai kurir narkotika. Bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam narkotika tersebut disebabkan posisi tawar perempuan yang sangat rendah terhadap laki-laki (pacar atau suami, dan komplotannya). Karena ancaman kekerasan, perempuan tidak kuasa menolak permintaan suami atau pacar. Atau, karena perempuan itu membutuhkan uang, atau sudah dipenuhi segala kebutuhan materinya, dengan kata lain dibuat menjadi tergantung, maka perempuan tidak mampu menolak permintaan laki-laki. Faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi adalah: Faktor ekonomi, dimana wanita menjadikan kegiatan pengedaran narkoba sebagai mata pencarian yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya, Status wanita yang merupakan isteri atau pacar dari seorang bandar narkoba, sehingga mau tidak mau ia dilibatkan dalam kegiatan lawan gendernya, Kurangnya respek kepolisian atau alat negara dalam melakukan pengawasan dan menemukan indikasi pengedaran narkoba melalui seorang wanita. Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba adalah: Memberikan sosialisasi kepada wanita tentang bahaya yang dapat dicapai dalam penggunaan narkotika, Memberdayakan wanita dalam kegiatan-kegatan positif dan juga membuka lapangan pekerjaan bagi wanita dan melakukan penegakan hukum secara konsisten dengan penerapan hukuman maksimal kepada pelaku pengedaran narkoba.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dapat mengakibatkan sindrom ketergantungan apabila penggunaannya tidak berada di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan dan mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi pengguna, akan tetapi juga berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan Negara.

Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya peredaran narkotika itu sendiri, sedangkan peredaran gelap narkotika menyebabkan meningkatnya penyalahgunaan yang main meluas dan berdimensi internasional. Sebab itu diperlukan adanya upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan upaya pemberantasan peredaran gelap. Di samping itu upaya pemberantasan peredaran gelap narkotika secara illegal terlebih dalam era globalisasi komunikasi, informasi, dan transportasi sekarang ini sangat diperlukan.

Maraknya kasus peredaran narkotika di Indonesia secara umum dan Sumatera Utara khususnya telah merasuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakat, dari tingkat ekonomi bawah hingga ke tingkat ekonomi atas. Narkoba telah dijadikan mata pencaharian untuk memperoleh uang atau materi dengan cara yang mudah dan mengesampingkan upaya-upaya produktif yang legal. Fenomena permasalahan sosial ini selain melanggar


(10)

ketentuan hukum, tatanan adat budaya juga melanggar ketentuan agama.1

Keterlibatan wanita dalam walam peredaran narkotika baik itu sebagai pemakai atau pengedar atau sekaligus kedua-duanya untuk setiap tahunnya dari Dalam masyarakat modern sekarang ini, termasuk di Indonesia sudah menjadi keadaan yang biasa, seorang wanita aktif melakukan kegiatan diluar rumah tangga atau keluarganya. Hal ini baik karena dorongan faktor kebutuhan ekonomis yang meningkat maupun oleh faktor lain seperti sosial psikologis karena banyaknya wanita yang berpendidikan yang mempunyai berbagai keterampilan untuk bekerja.

Dengan semakin banyaknya wanita beraktifitas di luar rumah, maka bekerja maupun dalam aktivitas lain sebagaimana halnya pria, tentu juga berpengaruh dan terpengaruh oleh lingkungan sekelilingnya. Akibatnya wanita yang melakukan kejahatanpun semakin meningkat pula. Hal ini dapat dilihat diberbagai media massa tentang berita-berita kriminalitas yang dilakukan oleh wanita. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari tidak merasa heran atau menganggap hal yang luar biasa bila ada wanita merupakan indikator meningkatnya kwalitas kejahatan wanita. Hal ini menunjukkan betapa tertekannya kondisi sosial kaum wanita di satu sisi, yaitu mulai dari tekanan dalam keluarga sampai kepada masalah ekonomi yang semakin menghimpit, sehingga konstribusi ini menjadikan wanita terlibat dalam peredaran narkoba.

1

Zulkarnain Nasution, Menyelamatkan Keluarga Indonesia Dari Bahaya Narkoba, Citapustaka Media Bekerjasama dengan Pusat Informasi masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) dan GAN Indonesia, Bandung, 2004, halaman ix.


(11)

mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan angka yang bervariasi. Untuk tahun 2004 jumlah tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara adalah sebesar 2648 kasus dimana yang berjenis kelamin wanita sebanyak 124 kasus atau sebesar 4,68% dari semua kasus narkotika. Untuk tahun 2005 mengalami peningkatan dimana jumlah tindak kejahatan narkotika ada sebesar 2326 kasus dan yang dilakukan wanita ada sebanyak 146 kasus atau sebesar 6,27%. Untuk tahun 2006 ada sebanyak 873 kasus dimana yang melibatkan wanita sebanyak 50 kasus atau sebesar 5,72%.2

Tahun 2007 ada sebanyak 1184 kasus kejahatan narkotika di Sumatera Utara sedangkan yang melibatkan wanita sebanyak 126 kasus atau sebesar 10,64%. Untuk tahun 2008 ada sebanyak 2996 dimana yang melibatkan wanita sebanyak 162 kasus atau sebesar 8,11%. Untuk tahun 2009 ada sebanyak 2143 kasus dan yang melibatkan wanita sebanyak 110 kasus atau sebesar 5,13%. Sedangkan untuk tahun 2010 ada sebanyak 1604 kasus tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara dimana yang melibatkan wanita sebanyak 94 kasus atau sebesar 6,22%.3

Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara juga menjelaskan untuk tahun 2010 adalah sebanyak 10 kasus tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara yang melibatkan suami isteri. Artinya dalam kasus ini ada dilibatkan wanita yang sekaligus berstatus sebagai seorang isteri dalam

2

Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) & Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan

3


(12)

hubungannya dengan kejahatan narkotika terlepas dari bentuk kejahatannya pengedar atau pemakai.4

Sedangkan data lainnya dari Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang menjelaskan tindak kejahatan narkotika kasus yang melibatkan ibu rumah tangga terbebas dari memiliki suami atau tidak ada pada tahun 2010 ada sebesar 12 kasus.5

Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang menjelaskan tindak kejahatan narkotika yang melibatkan wanita dalam peredaran gelap narkotika di Sumatera Utara untuk tahun 2010ada sebanyak 27 kasus.6

Selain itu penulis sangat ingin mengetahui faktor-faktor apa yang membuat wanita melakukan tindakan sebagai pengedar narkotika, hal ini dapat dilihat berdasarkan pemberitaan-pemberitaan yang dimuat di mass media

Berdasarkan angka-angka di atas maka keberadaan wanita sangat potensial dalam hal perkembangan kejahatan peredaran narkotika khususnya di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara.

Keadaan dan gejala-gejala ini merupakan masalah yang tidak hanya perlu diungkapkan tetapi juga memerlukan pengkajian-pengkajian baik secara sosiologis, psikologis maupun dari segi hukum yang berlaku. Masalah inilah yang menarik penulis untuk membahas hal tersebut.

4

Ibid.

5

Ibid.

6


(13)

seperti Harian Kompas, Waspada, Analisa dan sebagainya, dan juga media elektronik seperti RCTI, Indosiar, SCTV dan lain sebagainya.

Bertitik tolak dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Analisis Kriminologi Tentang Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkoba”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang mejadi permasalahan yang nantinya akan menjadi dasar dari penelitian ini dilakukan adalah sebagia berikut :

1. Bagaimana bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika? 2. Bagaimana upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau

menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika?

3. Bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan dari penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika.

2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi.


(14)

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagia bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pidana, khususnya yang berkaitan degnan keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba.

2. Secara praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi lembaga hukum, institusi pemerintah dan penegak hukum dikalangan masyarakat luas;

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan hukum pidana;

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Kriminologi Terhadap Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Gelap Narkotika” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penlisan skripsi yang bertemakan mengenai narkotika memang sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi dengan adanya keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika ini belum


(15)

pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kriminologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang muncul pada abad XIX yang pada intinya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan sebagai fenomena sosial.

Sutherland memasuki proses pembuatan Undang-Undang, dan reaksi terhadap pelanggaran Undang-Undang tersebut (reacting toward the

breaking of the law), dengan kata lain bahwa Sutherland melakukan

pembatasan terhadap objek studi kriminologi pada perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam konteks hukum pidana.7

1. Kriminologi klasik / classical criminology (C. Beccaria)

Dalam kriminologi terdapat beberapa aliran pemikiran yang bertujuan dalam menjelaskan fenomena kejahatan, yaitu :

Yaitu aliran yang mendasar pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental dari mausia dan mejadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi membuat mausia mampu mengarahkan dirinya sendiri dalam arti ia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya. Mahkluk yang mampu memahakmi dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendaknya.8

Dalam knsep yang demikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendakinya. Kunci kemajuan menurut

7

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, halaman 10.

8


(16)

pemikiran ini adalah kemampuan, kecerdasan dan akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan sehingga manusia mampu mengontrol nasibnya sendiri sebagia individu atau sebagai masyarakat.

Dengan demikian dalam rangka pemikiran ini lazimnya kejahatan dan penjahat didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang pidana, sedangkan penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan.

Dei delicti e dellea pene, paham indeterminis :

- Yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai kehendak bebas, artinya setiap manusia bebas menentukan tindakan apa yang akan dilaku-kannya termasuk untuk melakukan perbuatan jahat.

- Tugas hukum pidana dalam kriminologi klasik adalah mebatasi atau menentukan perbuatan yang dikulifikasikan sebagai kejahatan. Jadi dalam hal ini kejahatan hanya ditinjau dari sudut Undang-undang.

2. Kriminologi positif / positif criminology (C. Lambroso)

Aliran ini berpandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh factor-factor diluar kontrolnya, baik yang berupa favtro biologisnya maupun cultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginan dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat biologis dan situasi kulturalnya. Aliran pemikiran ini menghasilkan 2 (dua) pandangan:

a. Determinis biologis.

Yang menganggap bahwa organisasi social berkembang sebagia hasil indovidu dan perilakunya dipahami dan diterima sebagia pencerminan umum dari warisan biologis.

b. Determinis cultural.

Yang menganggap bahwa perilaku manusia dalam segala asfeknya selalu berkaitan dan mencerminkan cirri-ciri dunia sosio-kultural yang


(17)

melingkupinya.9

3. Kriminologis kritis.

Dalam kerangka pemikiran ini, maka tugas kriminologi adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah terhadap cirri-ciri penjahat dari asfek fisik, social, dan kulturalnya.

Pemikiran kritis yang dikenal dalam berbagai disiplin ilmu merupakan aliran yang tidak berusaha menjawab pertanyaan “apakah perilaku manusia itu be-bas atau ditentukan”, akan tetapi lebih mengarah untuk mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya, dimana ia hidup. Oleh karena kriminologi kritis mempelajari proses dimana kumpulan orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai criminal pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis bukan hanya mempelajari perilaku orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga perilaku dari aparat-aparat penegak hukum, di samping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan tertentu sebagai kejahatan.10

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka tugas kriminologi adalah menganalisa proses-proses bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu.

11

Istilah narkotika berasal dari bahasa Yunani yang disebut “ Narkotikos “ yang berarti kaku seperti patung atau tidur.12

9

Ibid., halaman 23. 10

Ibid.

11

Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) Dan Gerakan Anti Narkoba (GAN) Indonesia, Workshop Manajemen Penanggulangan Permasalahan Narkoba

Berbasis Sekolah (MPP-NBS), Asrama Haji, Medan, 3-6 Agustus 2003, halaman 3.

12

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum

Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 3.


(18)

patung atau tidur bila orang ini menggunakan bahan-bahan tertentu. Bahan-bahan tertentu ini dalam bahasa Yunani disebut Narkotika.

Narkotika ialah zat yang digunakan menyebabkan seseorang kaku seperti patung atau tidur (narkotikos). Lama kelamaan istilah narkotika tidak terbatas pada bahan yang menyebabkan keadaan yang kaku seperti patung atau tidur, tetapi juga bahan yang menimbulkan keadaan yang sebaliknya sudah dimasukkan pada kelompok narkotika.

Narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 di dalam Pasal 1 ayat (1) diterangkan :

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berlaku adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Narkotika. Pada masa ini terasa kesimpang siuran pengertian narkotika. Ada yang menyatakan bahwa narkotika itu adalah obat bius, sebagian mengatakan obat keras atau obat berbahaya.

F. Metodologi Penulisan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan telaah kriminologi terhadap keterlibatan wanita dalam peredaran gelap narkotika dengan mendasarkan penelitian pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(19)

2. Sumber Data

Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder. Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa pengambilan data yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai dengan objek yang diteliti.

4. Analisis Data

Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang menggambarkan fenomen-fenomena mengenai hasil penelitian dengan kalimat-kalimat sehingga dapat memecahkan rumusan masalah.

G. Sistematika Penulisan


(20)

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Pengaturan

Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Narkotika, Pengaturan Tentang Pengedaran Narkotika dan Bentuk-Bentuk Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika.

Bab III. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam Peredaran Narkotika Ditinjau Dari Segi Kriminologi

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Gambaran Umum Kriminologi, Pengertian Gender, dan Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam Peredaran Narkotika Ditinjau Dari Segi Kriminologi.

Bab IV. Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mencegah Atau Menanggulangi Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Kedudukan


(21)

Narkotika dan Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mencegah Atau Menanggulangi Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(22)

BAB II

BENTUK-BENTUK KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN NARKOTIKA

Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Narkotika 1. Sejarah Penbentukan Undang-Undang Narkotika

Kebijakan penanggulangan dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda

dengan dikeluarkannya ordonansi obat bius dan candu (Verdoovende

Middlen Ordonantie, Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536.

Pada awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering terjadi dalam masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar pun semakin beragam, kenyataan ini menimbulkan kesadaran perlunya suatu undang-undang yang dapat menjangkau setiap penyalahgunaan narkotika, selain itu bahwa ketentuan dalam V.M.O Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536 tidak lagi memenuhi syarat sebagai undang-undang narkotika dan kenyataan bahwa tidak cocok lagi dengan administrasi pengadilan pidana.13 Maka pada tanggal 8 September 1971 Presiden lalu mengeluarkan Instruksi Presiden No.6 Tahun 1971 kepada Kepala Bakin yang pada prinsipnya memerintahkan Kepala Bakin untuk memberantas masalah-masalah yang menghambat pembangunan nasional, salah satunya adalah penyalahgunaan narkotika.14

13

M. Taufik Makarao, , dkk. Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, halaman 10

14


(23)

Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan hukum yang sudah ada belum dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan yang masih lama memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

a. Tidak adanya keseragaman dalam pengertian narkotika.

b. Sanksi yang terlalu ringan dibanding dengan penyalahgunaan narkotika.

c. Ketidaktegasan dalam pemberantasan penjual, pemilik, pemakai, pengedar dan penyimpan narkotika.

d. Ketidak serasian antara ketentuanhukum pidana mengenai narkotika. e. Belum adanya badan bertingkat nasional yang khusus menangani

masalah penyalahgunaan narkotika.

f. Belum ada ketentuan khusus wajib lapor dalam kasus penyalahgunaan narkotika.

g. Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.15

Kemudian pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 3086 dan dinyatakan berlaku sejak 26 Juli 1976, dalam perkembangan terakhir, undang-undang ini pun diganti dengan

Undang-undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang diUndang-undangkan pada tanggal 1 September 1997 dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor

67 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3698 dan berlaku sejak undang-undang tersebut diundangkan. Lahirnya undang-undang tentang

narkotika yang baru ini didahului dengan keluarnya Undang-Undang No.7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran

Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.

Kemudian pada tahun 2009 diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang mencabut ketentuan


(24)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143.

2. Kaidah Pidana Di Bidang Narkotika

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disamping mengatur penggunaan narkotika, juga mengatur secara khusus ketentuan-ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 yang berjumlah 37 pasal. Semua tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan, alasannya adalah bahwa narkotika dipergunakan untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaiaan narkotika secara tidak sah.

Dari ketentuan-ketentuan pidana tersebut maka pengelompokan kejahatan di bidang narkotika adalah:

a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika.

Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika bukan hanya perbuatan yang memproduksi narkotika saja melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu, berupa mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan

menyediakan narkotika untuk semua golongan.

b. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika.

Kejahatan narkotika ini dalam arti luas termasuk dalam perbuatan

15


(25)

membawa, mengirim dan mentransito narkotika, diatur dalam Pasal 81. Kemudian masih ada tindak pidana di bidang pengangkutan narkotika yang khusus ditujukan kepada nahkoda atau kapten penerbang karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.

c. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika.

Kejahatan yang meyangkut jual beli narkotika disini maksudnya bukan hanya jual beli dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor, impor dan tukar menukar narkotika. Dalam tindak pidana narkotika ini perbuatan menyalurkan dan menyerahkan narkotika juga termasuk dalam perbuatan jual beli narkotika.

d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika.

Dalam kejahatan ini oleh undang-undang dibedakan antara tindak pidana menguasai narkotika golongan I dengan tindak pidana menguasai narkotika golongan II dan III, karena golongan narkotika tersebut memiliki fungsi dan akibat yang berbeda.

e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I, golongan II dan golongan III dibedakan atas dua macam, yaitu penyalahgunaan narkotika untuk orang lain dan penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri.

f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika. Undang-undang narkotika menghendaki agar pecandu narkotika

melaporkan diri atau keluarganya yang melaporkan. Kewajiban tersebut apabila tidak dilakukan merupakan tindak pidana bagi orang tua atau wali yang bersangkutan.

g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika.

Seperti diketahui bahwa pabrik obat diwajibkan mencamtumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku

narkotika, kemudian untuk dapa dipublikasikan harus dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau pada media cetak ilmiah farmasi. Apabila hal


(26)

tersebut tidak dilakukan maka terjadi kejahatan narkotika yang menyangkut label dan publikasi.

h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika.

Yang dimaksud dengan proses peradilan meliputi pemeriksaan perkara di tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Sehingga perbuatan yang menghalang-halangi atau mempersulit jalannya proses peradilan yang bertujuan untuk proses peradilan tidak lancar atau tidak jadi sama sekali merupakan tindak pidana. Perbuatan menghalangi-halangi dapat dilakukan di semua tingkat pemeriksaan yang dilakukan oleh siapa saja, sedangkan pebuatan mempersulit dilakukan ketika pemeriksaan perkara sedang berlangsung yang dilakukan oleh orang yang sedang diperiksa oleh petugas atau pejabat pemeriksa.

i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika.

Dalam perkara narkotika ada kemungkinan bahwa barang bukti yang disita berupa tanaman yang jumlahnya sangat banyak, sehingga tidak mungkin barang bukti tersebut diajukan ke persidangan semuanya. Barang bukti yang demikian dilakukan penyisihan yang wajar dan selebihnya barang bukti itu dimusnahkan yang dibuat dan dimasukkan dalam berkas berita acaranya. Apabila tidak dilakukan maka dapat dikenakan tindak pidana.

j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu.

Sebelum seorang saksi memberikan keterangan dimuka sidang persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana maka ia wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya. Dengan cara ini diharapkan saksi


(27)

memberikan keterangannya selalu konsekuen. Dan apabila dalam perkara narkotika saksi tidak memberikan keterangan dengan benar dapat dipidana. k. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga.

Lembaga-lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang narkotika untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan narkotika yang ternyata melakukan kegiatan narkotika tidak sesuai dengan tujuan

penggunaan narkotika sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang, maka pimpinan lembaga yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana.

l. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur. Kejahatan di bidang narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan ini dilakukan pula bersama-sama dengan anak di bawah umur (belum genap 18 tahun). Anak-anak yang belum dewasa cenderung mudah dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang berhubungan dengan narkotika, karena jiwanya belum stabil akibat perkembangan fisik dan psikis.

Selain itu ada kemungkinan bahwa warga negara Indonesia yang bepergian ke luar negeri ataupun yang berada diluar negeri melakukan kejahatan narkotika dan setelah melakukan perbuatannya itu yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Dalam hal ini undang-undang narkotika akan selalu mengikuti warga negara Indonesia kemana saja perginya, ketentuan dalam undang-undang tersebut hanya dapat diberlakukan setelah pelakunya pulang ke tanah air.

Selain mengatur penggolongan kejahatan di bidang narkotika, undang-undang ini sudah mengenal ancaman pidana minimal yang dimaksudkan untuk pemberatan hukuman apabila tindak pidananya:

a. Didahului dengan permufakatan jahat. b. Dilakukan secara terorganisasi jahat. c. Dilakukan oleh korporasi.


(28)

d. Dilakukan oleh residivis.

Pengaturan Tentang Pengedaran Narkotika

Narkotika masuk ke Indonesia diketahui pada tahun 1969 di Jakarta. Pada waktu itu dari sejumlah pasien yang berobat ke Senatorium Kesehatan Jiwa Dharmawangsa oleh psikiater mendapati seorang pasien pengguna narkotika dan sejak itulah disadari bahwa narkotika telah masuk ke Indonesia.

Pola peredaran narkotika di Indonesia melalui udara terutama di pelabuhan udara yang banyak menerima wisatawan mancanegara. Meskipun diketahui Indonesia telah masuk narkotika tahun 1969 dalam tingkat peredaran Indonesia diketahui sebagai negara transit. Pada tahun 1999 status tersebut telah berubah menjadi negara tujuan pemasaran/pengguna. Perubahan terjadi setelah jumlah korban terus bertambah dan tertangkapnya jenis narkotika oleh petugas Bea Cukai di Bandara Internasional dalam jumlah yang banyak. Di samping itu pula aparat kepolisian berhasil menangkap/membongkar jaringan sindikat pengedar tingkat internasional di Hotel berbintang dan tempat-tempat pemukiman penduduk.

16 Sejak diketemukan sampai tahun 1972 jumlah pasien penyalahgunaan narkotika terus meningkat dan Senatorium kewalahan menanganinya. Pada tahun 1972 didirikanlah Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati.


(29)

Oleh karena pengawasan peredaran narkotika yang semakin ketat sejak tahun 1999 narkotika masuk ke Indonesia tidak hanya lewat pelabuhan udara tetapi melalui jalur laut dan darat dan dimungkinkan telah beredar ke kota-kota besar dan kecil di Indonesia. Di samping itu pula ada jenis-jenis narkotika yang telah diproduksi secara ilegal.17

Perkembangannya transaksi narkotika di Jakarta tahun 2000 setiap harinya diperkirakan 1,3 milyar rupiah yang diimpor secara gelap dari manca negara.18

2. Lewat orang yang diberi gaji/upah dengan membawa secara langsung yang tersimpan dalam kas/koper yang telah dikemas sampai tidak Sindikat jaringan pengedar sangat dideteksi oleh aparat Bea Cukai. Diperkirakan masuknya narkotika dari mancanegara tidak dapat dituntaskan mengingat adanya negara di Kawasan Asia yang mengandalkan ekspornya dari jenis-jenis narkotika. Di samping itu wilayah Indonesia bertetangga dengan negara Australia yang menjadi negara tujuan pemasaran setelah transit lebih dahulu di bandara internasional di Indonesia, setidaknya waktu transit dimungkinkan pengedar mengupayakan narkotika yang tertinggal.

Berbagai kajian yang dilakukan pemerhati masalah narkotika disimpulkan bahwa pola peredaran narkotika sangat bervariasi yakni:

1. Lewat paket pos yang dikirim dari mancanegara kepada seseorang di negara tujuan dengan menggunakan nama alibi/alias, guna menghindari tertangkapnya si pemesan. Jika barang tersebut lolos dari sensor atau pengawasan aparat, Narkotika yang dalam paket sampai ke tangan pengedar/bandar.

16

Zulkarnain Nasution, dkk, Modul Penyuluhan Klasikal, Pencegahan Penyalahgunaan

Narkoba, GAN Indonesia dan Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara

(PIMANSU), Medan, 2004, halaman 46. 17

Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, Gunung Mulia, Jakarta, 1991, halaman 28. 18


(30)

terdeteksi alat sensor di pelabuhan udara.

3. Memperalat wanita Indonesia sebagai isteri dengan tujuan memudahkan keluar masuk Indonesia (orang Nigeria banyak memperisteri wanita Indonesia dan tempat tinggal di permukiman penduduk dan bersifat sosial kepada masyarakat sekitarnya).19

Bentuk-Bentuk Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika

Kasus peredaran narkotika di Indonesia ini untuk tahun ke tahun cendrung meningkat tajam. Bahkan peningkatan barang yang memabukkan itu pada tahun 2010 telah mencapai lebih dari separuh atau 62,34 persen dari jumlah peredaran tahun 2009.20

Kepala Bagian Represi Badan Narkotika Propinsi Surabaya mengatakan hingga saat ini heroin jenis itu belum ditemukan di Indonesia. Heroin jenis brownsugar dan white crystal itu dibuat di negara negara kawasan Segi Tiga Emas dan Bulan Sabit dan Afganistan. Pasokan barang langka ini terus masuk ke Indonesia dan peredarannya juga tiap tahun terus meningkat. “Untuk pertengahan tahun ini saja kami telah menyita sekitar 2,354 gram

Kuat dugaan, meningkatnya peredaran narkotika itu disebabkan semakin banyaknya sindikat narkotika internasional melakukan pemasokan. Ironisnya narkotika seperti heroin berjenis brownsugar

dan white crystal sudah banyak beredar dipasaran, padahal narkotika jenis itu

merupakan barang langka di Indonesia.

19


(31)

brownsugar,”21

Direktur IV Tindak Pidana Narkotika dan Kejahatan Terorganisir, Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Indradi Thanos menyebutkan, salah satu sindikat pemasok heroin jenis white crystal yakni Mr 2000 alias Ajah Joeseph asal Nigeria yang berhasil ditangkap di depan Mc Donald Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, Kamis (21/8) sekitar pukul 21:00 WIB, tengah malam.

Dari operasi dikedua tempat tersebut, polisi berhasil menemukan barang bukti berbagai jenis narkotika seperti 55 paket heroin, 56 butir pil ekstasi, 3 paket ganja kering dan 16 buah jarum suntik. Dalam operasi itu kepolisian juga menemukan heroin jenis brownsugar asal Bulan Sabit dan Afganistan serta heroin berjenis white cristal yang berasal dari kawasan Segi Tiga Emas yakni Laos-Burma-Thailand. Kawasan Segi Tiga Emas ini merupakan salah satu basis penyuplai narkotika untuk Asia.

Direktur Narkotika Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Arman Depari yang ikut melakukan operasi dikedua tempat tersebut menyebutkan ditemukannya narkotika jenis heroin langka di kedua tempat itu telah menunjukkan bahwasanya kawasan Menteng, Tenggulun dan Pegangsaan Timur dan sekitarnya sudah merupakan bagian dari pusat peredaran mafia atau sindikat narkotika internasional.

22 Dari operasi itu, kepolisian menetapkan tujuh orang tersangka yakni

20

C. Plint 1984, “Peredaran Narkoba Semakin Meluas”,

Diakses tanggal 6 Pebruari 2011. 21


(32)

Ajah Joseph atau Mr.2000 (Nigeria), Bethel Onye Oju atau Boni (Nigeria), Chris (Nigeria) napi LP Cipinang, Dadang (Napi LP Cipinang), Iwan Chandra, Wahyuni A dan Ati Suryani. Selain itu, kepolisian juga berhasil menyita sekitar 100 gram heroin.23

22

Ibidi.

23

Ibid.

Dari tersangka di atas ada dua orang yang berjenis kelamin wanita yaitu Wahyuni A dan Ati Suryani/ Jaringan ini biasanya memperalat para wanita Indonesia untuk dijadikan sebagai kurir untuk mengedarkan barang

haramnya. Pada point ini terlihat bentuk yang dimainkan oleh wanita dalam keterlibatannya dengan peredaran narkotika adalah sebagai kurir semata. Artinya si wanita dalam kapasitas ini diberikan imbalan dalam bentuk sejumlah uang untuk menyampaikan narkotika tersebut dari satu tempat ke tempat lain.

Meski barang bukti hanya 100 gram, tetapi setidaknya kepolisian telah mendapat petunjuk tentang peta jalur perdagangan narkotika dari Afrika Barat ke Indonesia. Petanya itu dari Pakistan ke India lalu Malaysia baru ke

Indonesia, mereka menggunakan jalur udara dan memasok sekitar 9 sampai 10 kilogram heroin per minggu. Pasokannya dari Segitiga Emas dan Afghanistan. Kalau dulu modusnya dari Myanmar ke China baru ke Indonesia.Tapi sekarang mereka memakai jalur baru lewat Kamboja dan Vietnam.


(33)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa bentuk utama keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika adalah sebagai kurir narkotika semata.

Menurut Sulistyowati Irianto, perempuan yang biasa dipilih oleh warga negara asing untuk dijadikan kurir narkotika, dan akhirnya dilibatkan dalam kejahatan narkotika adalah: muda usia, tingkat ekonomi rendah, pendidikan rata-rata Sekolah Menengah Atas. Perempuan-perempuan itu dikencani untuk waktu yang lama, dinikahi, dipenuhi kebutuhan materinya, dan dibuat agar timbul keterikatan dan ketergantungan.

Selain dihadapkan pada kondisi di atas pada beberapa kasus juga ditemukan wanita Indonesia yang bepergian ke luar negeri, dan tatkala pulang kembali ke Indonesia dijadikan sebagai kurir narkotika tanpa diketahui si wanita itu sendiri. Dalam kasus ini dimisalkan wanita Indonesia pergi ke Thailand. Tatkala di Thailand ia berkenalan dengan seorang warga Thailand.

24

Keterlibatan perempuan dalam pengedarkan narkotika berkaitan dengan posisi tawar perempuan yang sangat rendah terhadap laki-laki (pacar atau suami, dan komplotannya). Karena ancaman kekerasan, perempuan tidak kuasa menolak permintaan suami atau pacar. Atau, karena perempuan itu

membutuhkan uang, atau sudah dipenuhi segala kebutuhan materinya, dengan kata lain dibuat menjadi tergantung, maka perempuan tidak mampu menolak permintaan laki-laki.


(34)

Tatkala si wanita akan pulang ke Indonesia, wanita tersebut dititipi barang orang warga Thailand tersebut yang menjelaskan bahwa barang titipan tersebut adalah contoh kosmetik yang akan di pasarkan di Indonesia. Si wanita dibujuk agar membawanya dengan menjanjikan pembagian keuntungan.

Barang titipan yang menurut penitipnya adalah kosmetika ternyata adalah narkotika. Maka dalam kondisi ini si wanita telah menjadi korban dari sindikat pengedaran narkotika tanpa diketahui si wanita itu sendiri.

Bentuk lainnya dalam kaitannya dengan keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika adalah total menjadi kegiatan pengedaran tersebut sebagai suatu mata pencaharian dalam pemenuhan ekonominya. Selain difungsikan untuk pemenuhan ekonomi maka kegiatan pengedaran narkotika oleh wanita sangat dimungkinkan bahwa si wanita tersebut adalah juga sebagai pemakai. Sehingga dalam melakoni kegiatannya sebagai pemakai ia juga melakukan kegiatan pengedaran narkotika itu sendiri.

Hal-hal yang tidak pernah diperhitungkan oleh para perumus hukum adalah konteks sosial bagaimana suatu tindak kriminal berkaitan dengan narkotika itu terjadi. Berkembangnya kejahatan dalam masyarakat tidak pernah bisa dikejar oleh hukum, dalam hal ini adalah kejahatan dan kekerasan yang semakin canggih, yang antara lain menjadikan wanita sebagai pelaku atau korban. Hampir tidak pernah terpikirkan oleh para penegak hukum, bahwa

24

Sulistyowati Irianto, Kriminal Atau Korban, (Studi tentang Perempuan dalam Kasus


(35)

keterlibatan perempuan dalam perdagangan narkotika, adalah berkaitan dengan masalah kekerasan yang menempatkan perempuan sebagai korban. Di samping itu, barangkali juga tidak pernah terbayangkan oleh para penegak hukum, bahwa terlibatnya perempuan dalam perdagangan narkotika, merupakan bagian dari fenomena lain yang lebih luas, yaitu masalah perdagangan perempuan.

Masalah ini sekarang sangat merebak, bahkan menyita perhatian (lembaga-lembaga) internasional. Ciri-ciri yang memperlihatkan adanya

overlapping antara modus pengedaran narkotika melalui perempuan; dengan

perdagangan perempuan adalah adanya penipuan, jebakan, pemasungan kebebasan, dan pemindahan.

Dalam hal ini koreksi yang seharusnya dilakukan melalui perubahan 25

Memang dalam masalah perdagangan perempuan (dan anak perempuan) yang skalanya luas itu, ditenggarai bahwa perempuan korban antara lain dijadi-

kan sebagai pengedar narkotika, di samping sebagai pekerja seks (paling banyak), budak, dan perdagangan organ tubuh.

Kesulitan yang lebih mendasar adalah, adanya azas legalitas dalam hukum pidana yang harus dipegang secara sangat ketat oleh para penegak hukum, sehingga sulit bagi mereka untuk mengadakan penafsiran secara agak lain. Azas legalitas menuntut pendefinisian yang sangat jelas mengenai suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan atau kriminal. Tujuannya adalah agar tidak salah dalam menghukum orang, dan inilah yang dilihat oleh Pendekatan hukum berperspektif perempuan sebagai: hukum pidana melindungi pelaku, bukan korban.

25


(36)

atau reformasi di bidang hukum pidana (substansi hukum) ke arah yang lebih bersahabat kepada perempuan, hampir tidak pernah terjadi. Padahal, rumusan atau substansi hukum pidana yang kaku itu tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman, karena perempuan yang merupakan separuh lebih dari jumlah penduduk mengharapkan keadilan. Hal-hal yang pada masa lalu tidak dipikirkan sebagai kejahatan bagi perempuan, sekarang ini sudah dirasakan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia (perempuan), karena pengalaman-pengalaman perempuan semakin muncul ke permukaan.

Bila terjadinya perubahan substansi hukum sulit dilakukan, maka munculnya terobosan-terobosan dari para penegak hukum sangat diharapkan. Koreksi terhadap kekakuan hukum pidana sebenarnya dapat diatasi melalui adanya putusan-putusan pengadilan yang lebih ramah kepada perempuan. Perlu dipahami oleh para penegak hukum, bahwa berempati kepada perempuan dengan pengalaman–pengalamannya yang berbeda, bukanlah suatu dosa dalam penegakan hukum.


(37)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN WANITA TERLIBAT DALAM PEREDARAN NARKOTIKA DITINJAU DARI SEGI

KRIMINOLOGI

A. Gambaran Umum Kriminologi 1. Kriminologi

Sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang berkembang, kriminologi mempunyai tempat yang sangat penting dalam penegakan hukum. Namun walaupun demikkian, kriminologi belum mempunyai satu batasan atau pengertian yang tegas yang dapat dipergunakan secara seragam. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Para Kriminolog dengan sudut pandang masing-masing memberikan pengertian atau batasan tentang apa itu kriminologi.

Secara harafiah kriminologi berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Apabila dilihat dari akta tersebut, maka kriminologi mempunyai arti sebagai pengetahuan tentang kejahatan.

Beranjak dari pengertian kriminologi tersebut, Sutherland dan Cressey mengemukakan pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Made Darma Weda,

26

Secara harafiah tersebut memberikan suatu pengertian yang sempit bahkan dapat juga menjerumuskan pada pengertian yang salah. Pengertian kriminologi sebagai ilmu tentang kejahatan akan menimbulkan suatu persepsi bahwa hanya kejahatan saja yang dibahas dalam kriminologi.


(38)

bahwa “yang termasuk dalam pengertian krimonologi adalah proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi terhadap pelanggaran hukum.

Menurut pendapat Michael dan Adler, bahwa yang dimaksud dengna kriminologi adalah: “keseluruhan dari bahan-bahan keterangan mengenai perbuatan-perbuatan lingkungan mereka dan bagaimana mereka diperlakukan oleh badan-badan masyarakat dan oleh anggota masyarakat”

27

Dengan demikian kriminologi tidak hanya mempelajari masalah kejahatan saja, akan tetapi juga meliputi proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum serta reaksi yang diberkan terhadap para pelaku kejahatan.

28

I. Paul Topinard meneybutkan bahwa kriminologi adalah ilmu atau cabang ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan.

Beberapa sarjana atau kriminolog yang memberikan pendapatnya tentang pengertian kriminologi adalah :

2. W. A. Bonger memberikan nama lain ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya kepada krimonologi. 3. Wood mengemukakan bahwa kriminologi adalah meliputi segala

pengetahuan yang diperoleh baik oleh pengalaman, maupun teori-teori tentang kejahatan dan penjahat serta pengetahuan yagn meliputi reaksi-reaksi masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan itu.

4. Frij meneybutkan bahwa kriminologi adalah suatu ilmu pengetahaun yagn berhubungan dengan kejahatan baik sebagai gejala maupun sebagai faktor sebab akibat dari kejahatan itu sendiri

5. Paul Moedigdo menyebutkan bahwa krimonologi adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia.29

26

Algra NE, dkk, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983, halaman 121. 27

Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, halaman 2. 28

Ibid., halaman 1.

29

B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1991, halaman 182.


(39)

Di luar dari pendapat tersebut diatas, paham klasik menyebutkan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti dilinkuensi dair kejahatan sebagai suatu gejala social. Sementara paham lain berpandangan bahwa krimonolgi itu merupakan ilmu yang empiris yang ada kaitannya dengan kaedah hukum.

Walaupun dari beberapa pengertian atau paham tentang kriminologi terserbut diatas, ada menunjukkan beberapa perbedaan, seperti penempatan kriminologi itu sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dan atau cabang dari ilmu lain, akan tetapi pokok permasalahan yang menjadi pembahasannya pada dasarnya adalah sama,. Yaitu meneliti ataupun mempelajari kejahatan dengan seluas-luasnya serta bagaimana reaksi masyarakat kepada penjahat.

Dari berbagai pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kriminologi itu adalah merupakan perpaduan ilmu dan pengetahuan yagn mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial, bagaimana teknik atau cara penanggulangannya, serta bagaimana pula reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan.

2. Teori-teori tentang kejahatan dalam konsep kriminologi a. Teori differential association

Teori ini dilandaskan pada proses belajar. Kejahatan seperti juga perilaku pada umumnya merupakan sesuatu yang dipelajari. E. Sutherland menyebutkan 9 (Sembilan) proporsi yang menyebabkan terjadinya perilaku kejahatan, yaitu :


(40)

1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negative, berarti perilaku itu tidak diwarisi.

2. Perilaku kejahtan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa isyarat.

3. Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negative ini berarti komunikasi yang bersifat tidak personal, secara relative tidak mempunyai peranan penting dalam hal terjadinya kejahatan.

4. Apabila kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari meliputi teknik melakukan kejahatan motif-motif tertentu, dorongan-dorongan melakukan kejahatan sert aalasan pembenar termasuk sikap-sikap. 5. Arah dari motif dan dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi

dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat terkadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai suatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi namun kadang ia dikelilingi oleh orang-orang yagn melihat aturan hukum sebagia sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.

6. Seseorang menjadi dilinkuen karena akses dari pola-pola piker yang lebih melihat aturan hukum sebagia pemberi peluang dialkukannya kejahatan dari pada yang melihat hukum sebagai sesuatu yang harus duiperhatikan dan dipatuhi.

7. Differential association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas dan intensitasnya

8. Proses mempelajari perilaku kejahtan yang diperoleh melalui hubungan pola-pola kejahatan dari anti kejahatan yagn menyangkut seluruh mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar pada umumnya.

9. Sementara perilaku kejahatan merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai umum. Akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan oleh kebuntuhan dan nilai-nilai umum itu, sebab perilaku yang bukan kejahatan juga merupakan pernyataan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.30

b. Teori anomi

Teori ini menyatakan bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran terhadap norma-norma

30

Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Madju, Jakarta, 1994, halaman 256.


(41)

kemasyarakatan merupakan wujud reaksi normal. Dalam pengertian ini berusaha menunjukkan bahwa “berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat dalam masyarakat dalam realitasnya telah mendorong orang-orang dengan kualitas tertentu cenderung berperilaku menyimpang mematuhi norma-norma kemasyarakatan”.31

Dua unsur yang dianggap perlu untuk diperhatikan dalam mempelajari berbagai bentuk perilaku dilinkuensi adalah unsur-unsur dari struktur sosial dan cultural. Unsure cultural melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means. Goal diartikan sebagia tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan yagn sudah membudaya, meliputi kerangka aspirasi dasar manusia, seperti dorongan untuk hidup, sedangkan means merupakan aturan-aturan dan cara-cara control yang melembaga dan diterima sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang membudaya tersebut.32

1. Conformity, merupakan perilaku yang terjadi manakala tujuan dan cara

yagn sudah ada pada masyarakat diterima dan melalui sikap itu seseorang mencapai keberhasilan.

Kedua unsur tersebut saling bekerjasama. Untuk pengadaptasian yang terjadi dalam masyarakat terhadap dua unsur tersebut, Merton mengemukakan 5 (lima) bentuk pengadaptasian, yaitu :

2. Innovation, terjadi manakala seseorang terlalu menekankan tujuan

yang membudaya tanpa menginternalisasikan norma-norma kelembagaan yang megnatur tata cara untuk pencapaian tujuan yang membudaya.

3. Ritualisme, pada umumnya merupakan kecenderungan yang terjadi

pada stratifikasi masyarakat menengah dan rendah

4. Retreatisme, mencerminkan orang-orang yang terlempar dair

kehidupan kemasyarakatan, termasuk didalamnya pergaulan bebas.

5. Rebellion, merupakan perjuangan yang terorganisasi ditujukan untuk

mengadakan perubahan-perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik dengan maksud untuk menunjukkan struktur sosial yang telah membudaya.33

31

Mardjono Reksodipuro, Mencari Faktor Sebab Kejahatan, Prasarana Dalam Workshop Pemasyarakatan, UNPAD-FHPM, Bandung, 1971, halaman 34.

32

Ibid.

33


(42)

c. Teori netralisasi

Pada dasarnya teori netralisasi ini beranggapapan bahwa aktifitas manusia selalu dikendalikan oleh pikirannya. Menurut teori ini orang-orang berperilaku jahat disebabkan adanya kecenderungan dikalangan mereka untuk merasionalisasikan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan kepentingan masyarakat. Lebih jauh Sykes dan Matza merinci bentuk atau kecenderungan penetralisasian dikalangan para pelaku kejahatan menjadi 5 (lima) kecenderungan, yaitu :

1. The Danial Of Responsibility,mereka menganggap dirinya sebagai

korban tekanan-tekanan social, misalnya kurang kasih sayang dan lainnya.

2. The Denial Injury, mereka berpandangna bahwa perbuatannya tidak

mengakibatkan kerugian besar dimasyarakat.

3. The Denial Of Victim, yang berpandangan bahwa mereka adalah

pahlawan.

4. Condemnation of the Comdemners, yang beranggapan bahwa orang

yang mengutuk perbuatan mereka sebagia orang-orang yang munafik.

5. Appeal Top Higher Loyality, mereka merasa dirinya terperangkap

antara kemauan masyarakat luas dan hukumnya dengan kebutuhan kelompok kecil atau minoritas darimana mereka berasal atau tergabung, misalnya kelompok gang.34

d. Teori Control

Teori control (Theorie Control Social) beranggapan bawha indovidu di dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama, kemungkinannya menjadi baik atau jahat. Baik atau jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakat. Ikatan sosial seseorang dengan masyarakat dipandang sebagai faktor pencegahan timbulnya perilaku

34

JE. Sahetapy, Teori Kriminologi Suatu pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, halaman 52.


(43)

menyimpang. Seseorang yagn lemah atau terputus ikatan sosialnya dengan masyarakat bebas melakukan penyimpangan.35

Gender secara keliru sering diartikan sebagai jenis kelamin, sehingga kedua kata ini perlu dipahami pengertiannya secara benar. Jenis kelamin atau seks adalah penan-daan individu manusia ke dalam kategori laki-laki dan perempuan berdasar karakteristik biologis (genital eksternal dan organ-organ seks internal), genetik (kromosom) dan hormon.

Seseorang dapat melemah atau terputus ikatan sosial dengan masyarakatnya, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga control sosial informal, disini ialah sarana-sarana tersebut dapat diidentikkan dengan lembaga adar, suatu sistem control sosial yagn tidak tertulis namun memperoleh pengakuan keabsahan pemberlakuannya di masyarakat.

B. Gender

Akan terasa sulit sekali dalam memberi suatu pengertian tentang perempuan, karena konsep pengertian tentang suatu kata dari kata perempuan itu timbul hanya untuk membedakan jenis kelamin saja.

Tidak ada yang membedakan dan mempertanyakan mengapa sebutan itu timbul, tidak ada pula orang mempertanyakan beda dari sebutan perempuan itu sendiri, baik perempuan dengan sebutan wanita.

36

Gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi,

35

Ibid., halaman 54. 36


(44)

dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas. Gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Peran gender bersifat dinamis, dipenga-ruhi oleh umur (generasi tua dan muda, dewasa dan anak-anak), ras, etnik, agama, lingkungan geografi, pendidikan, sosial ekonomi dan politik. Oleh itu, karenanya perubahan peran gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi, budaya, sumberdaya alam dan politik termasuk perubahan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pembangunan atau penyesuaian program struktural (structural adjustment program) maupun pengaruh dari kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global.

Hanya saja dimungkinkan fungsi penyebutan wanita diarahkan kepada kata yang menggairahkan, atau gambaran tentang fungsi perempuan sebagai suatu bidang yang memberi gambaran bahwa imaginasi tentang kata wanita itu adalah sesuatu yang menggugah kegairahan saja.

Sedangkan pengertian tentang pemakaian kata dari perempuan itu sendiri sering dimaknakan sebagai gambaran sosok yang begitu anggun, serta mempunyai kharisma yang begitu bersahaja, jauh dari unsur yang menggairahkan serta mempunyai suatu makna yang dibutuhkan sekali dalam suatu kehidupan rumah tangga. Fungsi yang demikian lebih sering disebut


(45)

dengan peran kodratinya sebagai ibu rumah tangga yang baik bagi kehidupan anak-anaknya serta kehidupan suaminya.

Identifikasi yang demikian tentang makna perempuan ditambah dengan perbedaan jenis kelamin, maka hal tersebut tidak dapat disalahkan karena suatu identifikasi adalah merupakan kenyataan yang ditemui. Pengertian tentang pemakaian kata sebagai suatu pembeda makna, termasuk pengertian tentang perempuan sebagai suatu jenis kelamin di luar laki-laki, tidak akan pernah berubah, kecuali memang ada sebutan lain yang membedakan jenis kelamin tersebut.

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, disebutkan bahwa pengertian perempuan adalah jenis sebagai lawan laki-laki.37

Dengan hal uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa pengertian tentang perempuan itu hanya terbatas sebagai suatu sebutan dalam

Pengertian di atas juga timbul karena adanya perbedaan jenis kelamin. Pada satu sisi adalah pria dan pada satu sisi lagi adalah perempuan. Hanya saja terkadang pengertian tentang makna perempuan ini yang meletakkannya pada peran tradisional, maka dalam tafsiran yang ada bahwa perempuan dalam arti perempuan diberikan suatu tingkat penilaian yang lebih terhormat. Hal ini dapat dilihat bahwa perempuan itu sebagai seorang ibu yang membesarkan serta melahirkan keturunan, maka peranan yang sedemikian adalah sangat mulia di dalam aturan serta norma yang terdapat di dalam masyarakat.

37

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, halaman 738.


(46)

membedakan jenis kelamin saja, hanya saja fungsi penyebutan wanita lebih difokuskan pada makna yang menggairahkan sedang kata perempuan difungsikan sebagai kaum yang dihormati.

C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam Peredaran Narkotika Ditinjau Dari Segi Kriminologi

Keterlibatan wanita dalam walam peredaran narkotika baik itu sebagai pemakai atau pengedar atau sekaligus kedua-duanya untuk setiap tahunnya dari mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan angka yang bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 1

Data Usia dan Jenis Kelamin Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Narkoba di Sumatera Berdasarkan Tangkapan Kepolisian Tahun 2003-2010

Tahun U S I A Jenis Kelamin

6-11 12-15 16-18 19-23 24… Diketahui Tdk Lk Pr Diketahui Tdk 2003 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2004 0 30 379 1188 1051 0 2524 124 0 2005 0 44 386 957 991 0 2180 146 0 2006 0 6 79 355 717 15 823 50 299 2007 0 18 227 973 902 147 1058 126 1056 2008 1 27 159 777 1821 212 2834 162 1 2009 0 19 99 458 1432 132 2033 110 1 2010 2 7 94 272 1059 183 1511 94 12 Jumlah 3 151 1423 4980 7973 689 12983 812 1369

Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) & Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa data usia yang terbesar sebagai pelaku tindak pidana kejahatan narkoba adalah berada pada usia 24 tahun ke atas, diikuti oleh usia 19-23 tahun dan kemudian usia 16-18 tahun. Berdasarkan


(47)

hal tersebut maka semakin tinggi usia pelaku maka semakin besar jumlah pelakunya. Demikian juga perbandingan untuk jenis kelamin bahwa laki-laki lebih besar jumlahnya sebagai pelaku tindak pidana kejahatan narkoba apabila diperbandingkan dengan perempuan.

Berdasarkan tabel di atas untuk tahun 2004 jumlah tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara adalah sebesar 2648 kasus dimana yang berjenis kelamin wanita sebanyak 124 kasus atau sebesar 4,68% dari semua kasus narkotika. Untuk tahun 2005 mengalami peningkatan dimana jumlah tindak kejahatan narkotika ada sebesar 2326 kasus dan yang dilakukan wanita ada sebanyak 146 kasus atau sebesar 6,27%. Untuk tahun 2006 ada sebanyak 873 kasus dimana yang melibatkan wanita sebanyak 50 kasus atau sebesar 5,72%.

Tahun 2007 ada sebanyak 1184 kasus kejahatan narkotika di Sumatera Utara sedangkan yang melibatkan wanita sebanyak 126 kasus atau sebesar 10,64%. Untuk tahun 2008 ada sebanyak 2996 dimana yang melibatkan wanita sebanyak 162 kasus atau sebesar 8,11%. Untuk tahun 2009 ada sebanyak 2143 kasus dan yang melibatkan wanita sebanyak 110 kasus atau sebesar 5,13%. Sedangkan untuk tahun 2010 ada sebanyak 1604 kasus tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara dimana yang melibatkan wanita sebanyak 94 kasus atau sebesar 6,22%.


(48)

Tabel 2

Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Suami Isteri Daerah Sumut Tahun 2010

No. Nama

Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket.

1 Feri (35), Sri (37) Satuan I Narkotika Polda Sumut Shabu-shabu Pasangan suami isteri, pengedar

2 An (25), Sh (18) Poldasu Ganja Pengedar Pasnagan suami ister

3

MB (35), SM (25), Mul (18)

Polres Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan Belawan

Ganja Pengedar

Suami isteri

4

Masjulase (41), Hariyah (37), Siwen Shangker (26), Erwin Syahputra (35)

Ganja ganja Suami isteri,

Pengedar dan Pemakai

5 K (23), N Br n (19), HP (17) Polsekta Patumbak Shabu-Shabu Pemakai 1 wanita Pengedar Suami isteri

6 G.S Polsek Kualuh Hulu Ganja Pasangan suami isteri pengedar

7

Gani (23), Ana (18), BG (27)

Sat Narkotika dan polsek Sei Tualang Raso Polres T. Balai

Ganja Pemakai dan pengedar

pasangan suami isteri

8 Hsj (25), sn (25) Polres Tapsel Putau Pasangan suami isteri pemilik putaw

9

Rp alias Roma (37), EN br. Sinambela (35)

Satuan Narkotika Polres Tapteng

Ganja Suami isteri pengedar

ganja

10 BH (34), Bus (33) Petugas Bea Cukai Pel. Teluk Nibung Shabu-shabu Bandar suami isteri Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU)

& Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan.

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara juga menjelaskan untuk tahun 2010 adalah sebanyak 10 kasus tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara yang melibatkan suami isteri. Artinya dalam kasus ini ada dilibatkan wanita yang sekaligus berstatus sebagai seorang isteri dalam hubungannya dengan kejahatan narkotika terlepas dari bentuk kejahatannya pengedar atau pemakai.


(49)

Tabel 3

Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Ibu Rumah Tangga Daerah Sumut Tahun 2010

No. Nama

Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket. 1 Hariyah (30) Polsekta medan

Kota

Ganja Pengedar/IRT

2

Wiwik Poltabes MS dan Polsekta Percut Sei Tuan

Shabu-Shabu Pengedar/IRT

3 Sur (35) Polsekta Medan Labuhan

Shabu-Shabu Pengedar/IRT

4 MB (35) Polres KP3 Belawan

Ganja Pengedar/IRT 5 Tri (32) Polres Tebing

Tinggi

Shabu-Shabu Pengedar/IRT 6 HPS (42) Polres P. Siantar Putaw Pengedar/IRT 7 Mar (28) Polresta

Tanjungbalai

Ganja Pengedar/IRT 8 S Br. S (31) Polsek Sei Tualang Shabu-Shabu Pengedar/IRT 9 BS Vr S (25) Polres Sibolga Ganja Pengedar/IRT 10 IR (28) Reskrim Polsek

Pulau Brandan

Shabu-Shabu Ganja

Pengedar/IRT 11 Atik Baja (41) Polsek P. Brandan Ganja Pengedar/IRT 12 JL (38) Polsek Bilah hulu Ganja Bandar

Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) & Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan.

Berdasarkan tabel di atas yang didapatkan dari Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang menjelaskan tindak kejahatan narkotika kasus yang melibatkan ibu rumah tangga terbebas dari memiliki suami atau tidak ada pada tahun 2010 ada sebesar 12 kasus.


(50)

Tabel 3

Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Wanita Daerah Sumut Tahun 2010

No. Nama

Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket. 1 S (32) Poltabes Medan Ganja

Shabu-shabu

Pengedar Wanita 2 Udriasih (38) Poltabes Medan Shabu-Shabu

Ekstasi

Ratu Bandar (wanita)

3

TR (38), R (38), S (37), Y (28) E (27)

Poltabes Medan Shabu-Shabu Ganja Pengedar Dua orang wanita 4 Hendra (35) Lidiasasri (19)

Poltabes Medan Shabu-shabu Pengedar Satu wanita

5 Mul (29) Poltabes Medan Shabu-shabu Pengedar Satu wanita 6 Masjulase (41), Hariyah (37) Polsekta Medan Kota

Ganja Suami isteri, pengedar dan pemakai

7 RK (33) Polsek Medan Baru Ekstasi Pengedar wanita

8 Mar (50 Polsek Medan Baru Ganja Pengedar satu wanita

9 Yuni (2) Polsek Medan Baru Shabu-Shabu Pemakai satu wanita

10 Ratih Ariani (34)

Polsek Medan Belawan

Ganja Pengedar wanita

11

Wiwik Poltabes MS dan polsekta Percut Sei Tuan

Shabu-Shabu Pengedar seorang wanita

12 Sur (35) Polsekta Medan Labuhan

Shabu-Shabu Pengedar wanita 13 Acin (34) Poldasu Shabu-Shabu Pengedar wanita 14 DH (43) Polres Binjai Shabu-Shabu Pengedar wanita 15 J br S (40) Polsek Sei Bungai GAnja Pengedar wanita Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU)

& Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan.

Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang menjelaskan tindak kejahatan narkotika yang melibatkan wanita dalam


(51)

peredaran gelap narkotika di Sumatera Utara untuk tahun 2010 ada sebanyak 27 kasus.:

Berdasarkan angka-angka di atas maka keberadaan wanita sangat potensial dalam hal perkembangan kejahatan peredaran narkotika khususnya di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara.

Terkejut adalah suatu panorama yang selalu menjelma ke dalam jiwa kala mendengar dan atau melihat sosok tiang bangsa bernama wanita terpaksa bertekuk lutut dalam sindikat pengedaran narkotika. Pencitraan sosok wanita yang briliyan, hebat, luar biasa dan mampu menciptakan generasi-generasi yang tangguh seakan runtuh tiba-tiba tatkala ia terjerumus dalam sindikat narkotika, meski itu bukan penyebab satu-satunya. Alih-alih menjunjung tinggi hak-hak perempuan, yang terjadi justru para pengedar narkotika menjerumuskannya dalam sindikat pengedaran barang haram, yang secara otomatis juga akan menghancurkan generasi bangsa (the lost generation).

Narkotika sendiri adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, dan Obat-obatan Berbahaya. Selain itu ada kata-kata lain yang mempunyai makna yang sama, yaitu: NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif) dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif). Narkotika merupakan permasalahan seluruh masyarakat Indonesia bukan hanya Negara ataupun badan-badan tertentu yang memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa.

Adanya keterpurukan wanita kedalam narkotika dari banyaknya data yang menunjukkan peningkatan jumlah wanita sebagai pemakai dan pengedar narkotika sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan awal sub bab ini.

Memang banyak faktor yang telah terbukti menyebabkan wanita terlibat didalamnya, baik trauma masa kecil, adanya paksaan dari kekasih/suami, dan


(52)

yang menjadi alasan umum adalah kondisi ekonomi yang mencekik. Bagi para pengedar narkotika wanita dianggap sebagai pesuruh dengan gaji tak sepadan atau tidak sama sekali dan dijebak sebagai patron atau kurir pengedaran narkotika.

Berdasarkan hal tersebut ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab seorang wanita menjadi pengedar gelap narkotika yaitu:

1. Faktor ekonomi.

Lemahnya ekonomi seorang wanita ikut terlibat dan terjerumus dalam kejahatan narkotika.

2. Terikat hubungan perkawinan atau pasar.

Para bandar narkotika sering memacari perempuan dan bahkan sampai mengawininya dan akhirnya disuruh untuk mengedarkan narkotika.

3. Kebiasan perempuan yang suka jalan-jalan atau berbelanja, karena bandar narkotika selalu memberikan iming-iming penghasilan yang besar dengan waktu yang singkat dan juga dijanjikan diberikan fasilitas yang mewah.

Masalah ekonomi adalah masalah fundamental bagi seseorang melakukan kejahatan, termasuk melakukan kejahatan pengedaran narkotika. Tidak adanya pekerjaan tetap dan juga sulitnya memasuki dunia kerja serta kebutuhan hidup yang semakin membesar memberikan kondisi bagi seseorang termasuk wanita dalam melakukan kegiatan yang melanggar hukum yaitu melakukan pengedaran narkotika.

Berlangsungnya perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan


(53)

ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmonisasi, konflik-konflik eksternal dan internal, juga disorganisasi dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Peristiwa-peristiwa tersebut di atas memudahkan individu menggunakan pola-pola responsi/reaksi yang inkonvensional atau menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Demikian juga dengan kegiatan pengedaran narkotika ditujukan untuk mempertahankan hidup di tengah-tengah hiruk pikuk alam pembangunan.

Faktor ekonomi sering dihubungkan dengan kemiskinan. Faktor ini sangat esensial dalam hal merujuk terjadinya ketimpangan-ketimpangan sosial, khususnya ketimpangan dalam pemenuhan kehidupan individu. Sehingga kelompok miskin ini tidak dapat menikmati kesejahteraan sosial yang paling minimal sekalipun. Bahkan acapkali didengar bahwa kemiskinan adalah titik pangkal timbulnya kejahatan termasuk memberikan dorongan bagi seorang wanita untuk menjadi pengedar narkotika.

Kemiskinan adalah kondisi di mana terdapat kekurangan pendapatan

(insufficiency of income) dan/atau keadaan tidak tersedianya akses (lack of

acces) barang-barang serta jasa-jasa kebutuhan dasar tertentu bagi keluarga atau

perorangan yang membutuhkannya.

Tuntutan kebutuhan rumah tangga yang tak dapat ditunda, akhirnya memaksa wanita menjadi survivor dalam mengatasi kemiskinan keluarga. Latar belakang itu juga yang terjadi pada wanita pekerja seks komersial.Dalam


(1)

Dan perkembangan peradaban manusia serta pertumbuhan ilmu pengetahuan yang erat sangkut pautnya dengan berbagai segi kehidupan manusia, kini menghadapi suatu samudera yang luas penuh dengan masalah khususnya bahaya terhadap penyalahgunaan narkotika baik bahaya terhadap perorangan maupun juga bahaya terhadap masyarakat dan juga negara yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan terutama melanda remaja tidak hanya di kota-kota besar namun juga ke desa-desa, demikian juga tidak hanya kelompok atau golongan orang berada tetapi juga melanda masyarakat yang tidak punya.

Sesuai dengan Undang-Undang Narkotika, bahwa tujuan dan kegunaan dari pada undang-undang narkotika tersebut antara lain adalah untuk

terciptanya satu undang-undang yang mengatur tentang narkotika yang lebih luas cakupannya, lebih lengkap dan lebih verat ancaman pidananya bagi yang melanggar maupun bagi orang yang mengetahui akan adanya narkotika tetapi tidak memberi tahukannya kepada pihak yang berwajib juga dapat dipidana karena sebagaimana kita ketahui bahwa penyalahgunaan narkotika merupakan bahaya yang sangat mengerikan karena narkotika merusak pribadi -–pribadi yang menyalahgunakannya baik phisik maupun mental, semakin banyak jumlah pecandunya dapat membawa gangguan terhadap masyarakat dengan

meningkatnya kriminalitas dan berbagai penyakit masyarakat lainnya dan bila pecandu-pecandu narkotika telah merata akan membawa kehancuran bagi bangsa dan negara, di samping itu juga undang-undang narkotika dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat umumnya dan generasi muda/remaja pada khususnya agar dapat terhindar dari penyalahgunaan narkotika.

Dalam pelaksanaan Undang-Undang NArkotikaini adapun masalah dan hambatan yang dihadapi dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) bahagian besar yakni:

a. Dalam menerapkan sanksi pidana yang berat terhadap terdakwa selalu dihadapkan pada usia muda dan masih berstatus pelajar.

b. Belum terdapatnya keseragaman tindakan dalam menanggulangi bahaya narkotika sehingga ada kalanya antara aparat penegak hukum tidak jarang berbeda pendapat dalam penerapan pasal dari undang-undang Narkotika. c. Selama ini dalam masyarakat kita memang ada semacam dua sikap dalam

memandang korban narkotika. Sikap pertama sebagaimana terwakili oleh kalangan berwajib atau kepolisian, memandang korban narkotika adalah pelanggar hukum maka mereka dicurigai, jika perlu ditangkap, masyarakat yang terwakili oleh kalangan medis memandang korban narkotika sebagai pasien yang sakit, perlu diobati.

Di samping itu yang kena sanksi hukum sebenarnya adalah pemakai dan pengedarnya yang tidak bertanggung-jawab. Penggunaan narkotika untuk


(2)

ini yang sering kena tangkap atau muncul ke pengadilan adalah para pemakai. Itu terlihat dalam kasus-kasus di Pengadilan selama 10 tahun terakhir ini. Keadaan ini perlu diperhatikan melihat tertuduh hanyalah pemakai-pemakai saja, untuk pengedar dan gembong-gembongnya jarang diajukan, untuk itu memang aparat penegak hukum dan polisi pada khususnya perlu lebih ulet lagi untuk memberantas jaringan pasar narkotika.

Penanggulangan penyalahgunaan narkotika di klanagan remaja dilakukan sedini mungkin melalui tindakan-tindakan yang bijaksana setelah mengetahui sebab-sebab penyalahgunaan narkotika yang sebagian besar adalah kaum remaja. Di samping itu perlu diungkapkan sebab-sebab munculnya para pengedar serta beberapa sebab yang erat kaitannya dengan bidang sosial, ekonomi, kultural dan mental. Kemudian perlu dipahami akibat-akibat negatif yang membahayakan bagi pelakunya serta dampak samping yang pasti

merugikan dan meresahkan kehidupan masyarakat. Secra global upaya

penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja dapat dilakukan secara moralistik dan abolionistik. Cara moralistik dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan narkotika adalah menitik beratkan pada pembinaan moral dan membina kekukuhan mental masyarakat, juga membina moral dan mental anak remaja. Dengan pembinaan moral baik masyarakat lebih-lebih anak remaja tidak mudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. Nilai-nilai moral akan mampu menggagalkan setiap orang bermoral dengan sendirinya akan menjauhkan diri dari penyalahgunaan narkotika. Dengan pembinaan agama yang sebaik-baiknya berarti masyarakat termasuk anak remaja akan memiliki kekuatan mental yang kokoh sehingga tidak mudah melanggar hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berarti pula tidak akan menggunakan narkotika dan obat-obatan yang sejenis secara ilegal.

Cara abolisionistik dalam usaha menanggulangi penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja adalah mengurangi, bahkan untuk menghilangkan sebab-sebab yang mendorong para penegdar narkotika di wilayah Indonesia dengan motivasi apapun, menutup kesempatan untuk menggunakan sarana pelayanan umum baik milik pemerintah maupun swasta di dalam menunjang lancarnya lalu lintas narkotika secara melawan hukum, memelihara

kewaspadaan masyarakat terhadap penyalahgunaan narkotika. Dewasa ini yang tidak kalah pentingnya ialah meningkatkan usaha untuk memperkecil, bahkan meniadakan faktor-faktor yang membuat para remaja terjerumus dalam

penyalahgunaannya. Faktor-faktor tersebut antara lain, broken home atau quasi broken home, frustrasi, pengangguran dan kurangnya sarana hiburan bagi remaja.

Menurut undang-undang narkotika dinyatakan sebagai kejahatan dan pelanggaran. Usaha penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika, khususnya bagi kaum remaja tersebut di atas sesuai dengan upaya


(3)

kejahatan (crime prevention) yang banyak dipakai oleh negara-negara yang telah maju, asas ini merupakan gabungan dari 2 sistem yakni :

1. Cara moralistik, dilaksanakan dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama, moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan.

2. Cara abolisionistik, berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan dengan memberantas sebab-musababnya umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor penyebab kejahatan maka usaha untuk mencapai kesejahteraan untuk mengurangi kejahatan disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara abolisionistik.

Menanggulangi penyalahgunaan narkotika tidak jauh berbeda dengan upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya. Cara moralistik dan

abolisionistik dapat dilaksanakan secara bersama-sama akan tetapi dapat pula digunakan salah satu dari keduanya. Penggunaan dengan cara-cara yang ada hendaknya memperhatikan kondisi yang paling memadai untuk mencapai hasil yang diharapkan. Menanggulangi sedini mungkin untuk memperoleh tingkat usaha efisien dan efektif, upaya ini berarti pula sebagai pencegahan terhadap timbulnya penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat luas termasuk usia dewasa dan orang tua.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika pada dasarnya adalah sebagai kurir narkotika. Bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam narkotika tersebut disebabkan posisi tawar perempuan yang sangat rendah terhadap laki-laki (pacar atau suami, dan komplotannya). Karena ancaman kekerasan, perempuan tidak kuasa menolak permintaan suami atau pacar. Atau, karena perempuan itu membutuhkan uang, atau sudah dipenuhi segala kebutuhan materinya, dengan kata lain dibuat menjadi tergantung, maka perempuan tidak mampu menolak permintaan laki-laki.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi adalah:

a. Faktor ekonomi, dimana wanita menjadikan kegiatan pengedaran narkoba sebagai mata pencarian yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya.

b. Status wanita yang merupakan isteri atau pacar dari seorang bandar narkoba, sehingga mau tidak mau ia dilibatkan dalam kegiatan lawan gendernya.

c. Kurangnya respek kepolisian atau alat negara dalam melakukan pengawasan dan menemukan indikasi pengedaran narkoba melalui


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Algra NE, dkk, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983.

B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1991.

Bambang Sunggono, Hukum Lingkungan dan Dinamika Kependudukan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

JE. Sahetapy, Teori Kriminologi Suatu pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

M. Taufik Makarao, , dkk. Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005.

Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Mardjono Reksodipuro, Mencari Faktor Sebab Kejahatan, Prasarana Dalam Workshop Pemasyarakatan, UNPAD-FHPM, Bandung, 1971.

Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) Dan Gerakan Anti Narkoba (GAN) Indonesia, Workshop Manajemen Penanggulangan Permasalahan Narkoba Berbasis Sekolah (MPP-NBS), Asrama Haji, Medan, 3-6 Agustus 2003.

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, Gunung Mulia, Jakarta, 1991.

Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Madju, Jakarta, 1994.


(6)

Sulistyowati Irianto, Kriminal Atau Korban, (Studi tentang Perempuan dalam Kasus Narkotika Dari Perspektif Hukum Feminis), MAPPI FHUI, Jakarta, 2010.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara, Aksara, 1988.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

Zulkarnain Nasution, dkk, Modul Penyuluhan Klasikal, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, GAN Indonesia dan Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU), Medan, 2004. Zulkarnain Nasution, Menyelamatkan Keluarga Indonesia Dari Bahaya

Narkoba, Citapustaka Media Bekerjasama dengan Pusat Informasi masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) dan GAN Indonesia, Bandung, 2004.

B. Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

C. Internet:

C. Plint 1984, “Peredaran Narkoba Semakin Meluas”,

.

Yahoo.com, “Dalam Perdagangan Narkoba, Perempuan Adalah Korban”,